Sabtu, 12 Maret 2011

Malaikat Hidup Gue -part 21-

Cakka melongo.

Apa yang dilihatnya benar-benar membuat lututnya bagai dilolosi tulang-belulang. Desiran darahnya serasa beku, rahangnya seakan terpagut dalam posisi menganga dan sulit untuk dikembalikan seperti keadaan normal.

"Ada apa lagi, ini ?" lirih seorang gadis dengan suara bergetar.

Cakka menoleh, didapatinya Sivia sudah terduduk lemas disampingnya, dengan dua mata bersorot sendu yang mulai mengeluarkan air mata.

"Bangun, Vi..." Cakka meraih tangan gadis itu, lantas dengan lembut membingbingnya kearah objek yang membuat mereka sama-sama terpana. Benda mati itu... Ya, Cakka ataupun Via tentu hafal betul siapa pemiliknya.

Benda itu, satu dari sekian banyak yang sering berjejer rapi di selasar rumah Alvin. Mobil berwarna silver keluaran terbaru, dengan plat nomer yang didesain khusus untuk seorang Alvin. Mobil yang baru dua bulan ini kuncinya mendarat di tangan kokoh Alvin. Mobil yang dihadiahkan Omanya untuk Alvin, cucu kesayangannya. Tapi sekarang, mobil yang harganya bisa ditaksir mencapai 9 digit itu benar-benar tak berbentuk. Tidak bisa lagi dikategorikan dalam deretan kendaraan mewah. Entah telah besinggungan dengan apa mobil itu. Sampai-sampai bannya tidak lagi berjumlah empat, bagian depan dan belakang benar-benar ringsek, rusak parah.

Tapi tentu saja bukan itu yang jadi soal. Yang menggelayutkan rasa cemas dalam benak Cakka dan Sivia adalah, jika mobilnya saja separah ini lantas bagaimana dengan pengemudinya ? Bagaimana dengan Alvin ??

"Selamat siang, Pak." tegur Cakka, setelah berdiri tepat dihadapan seorang bapak berseragam polisi lengkap dengan segala macam atributnya.

"Selamat siang de. Ada yang bisa saya bantu ?" balas salah satu dari kedua polisi yang ada disana, yang lain masih sibuk memasang police line disekitar mobil Alvin.

"Mmh... apa mobil ini baru saja mengalami kecelakaan, Pak ?" tanpa diberitahu pun Cakka sudah tau betapa bodohnya pertanyaan yang baru saja ia ajukan.

"Astaga Cakka, anak idiot kena busung lapar juga tau kalau tau mobil ini abis kecelakaan. Bego banget lo." rutuknya dalam hati.

"Iya dik, baru saja terjadi kecelakaan dikawasan Dago, dan mobil ini yang mengalami kerusakan paling parah. Pengemudinya sudah ditangani oleh pihak rumah sakit sejak 5 jam yang lalu. Kami juga sudah mencoba menghubungi keluarga korban." papar polisi tadi.

"ba..bagaimana kronologisnya, Pak ? Lalu bagaimana kondisi terakhir korban ?" tanya Cakka dengan suara bergetar. Kalau saja bukan laki-laki, ia akan langsung histeris atau minimal menangis tersedu-sedu seperti yang tengah Sivia lakukan sekarang.

"Menurut saksi mata, mobil korban melaju dengan kecepatan tinggi dari arah timur, dari arah yang berlawanan mobil pick up berusaha menyalip kendaraan di depannya namun kehilangan kontrol dan menabrak mobil korban dari depan. Bersamaan dengan itu, dari belakang mobil truk pengangkut pasir juga lepas kendali dan menghantam bagian belakang mobil ini." jelas polisi tadi, ia menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, "Kami pihak kepolisian belum tau pasti bagaimana kondisi korban, karena saat tiba dilokasi, korban sudah dilarikan ke rumah sakit ini. Apa adik ini, mengenal korban ? Kami sudah menghubungi nomor milik saudara Gabriel, ia menyanggupi untuk segera datang kemari, tapi sampai saat ini, kami belum bertemu dengan saudara Gabriel." lanjut polisi tadi.

"Gabriel juga baru saja dilarikan kerumah sakit ini Pak. Begini saja, kebetulan saya keluarganya, nanti saya akan coba menghubungi orang tua Alvin." jawab Cakka, sedikit berbohong.

"kami harap adik bisa segera menghubungi keluarga korban, kami khawatir pihak rumah sakit akan ragu-ragu melakukan tindak penyelamatan kalau tidak ada persetujuan pihak keluarganya." kata polisi kedua yang sekarang ikut bergabung dalam kelompok kecil yang tampaknya tengah asik berdiskusi di selasar rumah sakit.

"Baik Pak, saya akan menghubunginya sesegera mungkin. Sekarang, Alvinnya sendiri dimana, Pak ?"

"Ruang ICU lantai dasar."

"trimakasih, Pak. Kalau begitu kami permisi dulu." Cakka mengangguk hormat.

"trimakasih juga atas kerjasamanya. Selamat sore." balas polisi pertama dengan nada yang tegas dan berwibawa.

Cakka segera menggandeng Sivia, meraih tangan gadis yang sedari tadi masih sibuk menangis.

Saat tiba ditikungan yang mengarah ke kiri untuk menuju ruang ICU Sivia menarik tangannya dari Cakka.

"Kenapa lagi, Vi ?" tanya Cakka gusar. Kenapa disaat-saat seperti ini, Sivia malah melancarkan aksi diam mematung seperti itu.

"Ak..akuu..ak..aku.."

"Kenapa Vi ? Ayolah kita mesti cepet liat keadaan Alvin."

"Maaf Kka, tapi aku..aku mau liat keadaan Iel dulu."

Sumpah demi apapun, saat ini ingin sekali Cakka menggunakan tangannya untuk menyadarkan gadis ini.

"Vi, lo jangan egois gini dong. Alvin tu masih cowok lo, dan posisinya sekarang dia pasti jauh lebih butuhin lo ketimbang Iel. Emang lo gak pengen tau apa, gimana kondisinya ?" Cakka memicing mata kearah Sivia, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat-kuat disisi tubuhnya.

"Tapi aku khawatir sama Iel." jawab Sivia sambil terus menunduk dalam-dalam dan memilin-milin ujung bajunya.

"Alvin tu selalu ada buat lo, dia sayang banget sama lo. Sekarang apa salahnya kalau elo prioritasin dia dulu dibanding Iel."

"Kka, aku cuma mau liat Iel dulu, sebentar."

"Ya Ok. Ok. Terserah, terserah lo Vi. Tapi lo inget baik-baik, kata-kata gue. Kehilangan itu gak enak, dan seharusnya elo jaga apa yang udah lo punya, jangan ngejar apa yang belum pasti." pesan Cakka. Ia lantas berbalik dan meninggalkan Sivia dengan hati dongkol setengah mati. Tak habis fikir.

Sedangkan Sivia, tanpa menunggu detik bergulir terlalu lama lagi, ia langsung berlari memutar arah setelah Cakka berlalu. Sivia tidak merasa perlu, repot-repot mencerna apa yang dikatakan Cakka tadi. Ia khawatir pada Alvin, tapi lebih dari 70% hatinya mencemaskan Iel, Sivia tidak bisa dan tidak ingin mengingkari kenyataan itu.

Ia berjalan cepat, menyusuri bangsal-bangsal rumah sakit. Melewati beberapa kamar dan ruang kerja dokter-dokter spesialis dirumah sakit ini.

Gadis ini kemudian mengatur nafasnya setelah sampai di depan pintu kamar rawat yang biasa Iel tempati. Setelah irama nafasnya dirasa telah kembali teratur, Sivia menyibak sejumput rambut yang jatuh ke depan tubuh melewati bahunya, setelah itu diputar kenop pintu kayu didiepannya.

Saat daun pintu terbuka, Sivia mendapati Iel sedang berusaha turun dari ranjangnya.

"Iel !! Kamu mau ngapain ?" tanya Sivia, seraya membantu memapah Iel, "Agninya mana ?" lanjutnya bertanya.

"Agni ke toilet. Via, Alvin, Vi.... Alvin. Tadi yang telfon aku tu polisi, mereka bilang Alvin kecelakaan jam sebelas tadi, dan dilarikan ke rumah sakit ini. Ayo Vi, kita cari Alvin." tutur Iel panik, kedua tangannya mengguncang-guncangkan pundak Sivia.

"Iya Yel, iya. Aku tau kok, sekarang Cakka lagi liat kondisi Alvin."

"Jadi kamu udah tau Alvin kecelakaan, Vi ?"

Sivia mengangguk.

Iel mendengus keras-keras. Matanya yang semula terlihat galau dan khawatir, kini berkilat marah.

"Terus kenapa kamu malah ada disini ? Kenapa gak ikut Cakka ?" kata Iel dengan nada menyentak.

"Ak..aku cu..cuma mau liat kondisi kamu dulu Yel, aku khawatir sama kamu." jawab Via takut-takut. Beda dengan sentakan Cakka sebelumnya, sentakan Iel tampaknya lebih berefek pada gadis berkulit putih ini. Matanya yang indah langsung meluncurkan jejak-jejak air mata yang lantas berpencar membasahi kedua pipinya, sebelum akhirnya jatuh menetes diatas permukaan lantai berkeramik putih yang dipijaknya.

"Aaaargh." Iel mengacak rambutnya, "Kamu tuu..." Iel menunjuk lurus kearah Sivia, lalu melempar tinjunya ke udara, entah apa maksudnya.

"Via, aku mohooon. Jangan lagi peduliin aku. Jangan bikin aku serba salah, Vi. Aku udah relain kamu buat Alvin dan sekalipun aku gak ada niat buat rebut kamu dari dia. Ok, Vi, dulu mungkin pernah ada kita. Mimpi kita, kisah kita, harapan kita. Tapi sekarang beda. Sekarang cuma ada aku dan kamu, aku dengan kehidupanku, begitu juga kamu. Kamu dan Alvin adalah dua orang yang sangat aku sayangi dan akan sangat membahagiakan buat aku kalau kalian bisa bersatu." Iel menyentuh kedua pipi Sivia dan menyeka air mata yang terpeta disana.

"Apapun yang pernah aku lakuin buat kamu, itu gak ada apa-apanya dibanding semua hal yang pernah Alvin lakuin buat kamu. Kamu harus bisa bahagia disisinya."

Tanpa membiarkan Sivia menimpali segala macam ucapannya tadi, Iel sudah berlalu. Sivia hanya bisa memandangi punggung pangeran masa kecilnya itu dengan perasaan tak menentu.

***

Cakka melongok ke dalam ruang ICU didepannya, lampu yang ada diatas pintunya padam. Berarti tidak ada tindakan medis yang sedang dilakukan didalam sana. Jantung Cakka berdegup kian cepat. Apa ia sudah terlambat ? Apa Alvin sudaahh...

Tidak. Tidak. Cakka segera menepis fikiran-fikiran buruk yang menyambangi otaknya.

Cakka sedikit kaget, saat dirasakan tepukan pelan di pundak kirinya. Seorang suster berdiri tepat dibelakangnya.

"Ada yang bisa saya bantu, dik ?" tanya suster tadi, dengan lembut.

"Mmh, iya Sus. Begini, tadi pukul 11 ada korban kecelakaan kan ? Katanya, dilarikan ke ICU lantai dasar, tapi kok tidak ada ya?"

"Oh, pasien itu ya ? Operasi yang dilakukan pada pasien telah usai 3 jam yang lalu. Sekarang pasien sudah di pindahkan ke kamar inap, di lantai 3. Kamar mawar nomor 11"

"Oh, gitu ya Sus. Trimakasih kalau begitu."

"Sama-sama, dik. Permisi."

Setelah suster tadi lenyap dari jangkauan matanya, Cakka segera berjalan kearah kanan, menaiki lift menuju lantai 3.

Tepat, setelah Cakka tiba dikamar mawar nomor 11, seorang pria berdasi pastel dengan kemeja warna senada yang dibalut jas putih, keluar dari kamar itu.
Ragu-ragu, Cakka mendekat lalu melontarkan pertanyaan yang sudah diujung lidahnya, "Bagaimana kondisi Alvin, dokter ??" tanya Cakka, pada pria yang diyakininya adalah seorang dokter itu.

"Adik keluarga pasien ?"

"Iya dok, saya sepupunya. Orang tua pasien sedang diperjalanan." jawab Cakka asal. Ia terpaksa berbohong karena kalau tidak mengaku keluarga Alvin, seperti pihak polisi ataupun rumah sakit enggan memberikannya informasilebih rinci.

"Sebelumnya kami pihak rumah sakit mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah melakukan tindakan medis tanpa menunggu persetujuan keluarga. Tapi ini terpaksa kami lakukan agar bisa sesegera mungkin menyelamatkan nyawa pasien. Kalau untuk kondisi pasien sendiri, mendengar kecelakan dahsyat yang menimpanya, rasanya untuk tetap hidup saja itu sudah mu'jizat. Tapi ternyata Tuhan memberikan lebih, pasien tidak mengalami cidera-cidera parah, hanya saja... Hanya saja.. Terjadi kerusakan pada bola mata pasien akibat tertancap serpihan-serpihak kaca. Kami sudan melakukan operasi dan berjalan lancar." tutur sang dokter dengan sangat jelas.

"Apaa.. apa kerusakan itu menyebabkan kebutaan, dok ?" tanya Cakka hati-hati.

"Ya, tapi tetap bisa sembuh apabila pasien mendapatkan donor mata."

Tubuh Cakka benar-benar lemas, serasa bumi sebentar lagi akan menenggelamkannya bersama keterkejutannya atas semua ini.

"Baiklah," ujar sang dokter sambil menepuk-nepuk pundak Cakka, "Pasien sudah bisa ditemui, tapi tidak boleh lebih dari 2 orang yang masuk kedalam. Dan kalau orang tuanya datang, tolong beritahu agar segera menemui saya. Permisi. Selamat sore."

Cakka membungkuk kecil,memberi hormat pada sang dokter, sebelum dokter itu berlalu.

Ceklik.

Pintu coklat itu dibuka Cakka setelah dokter tadi menghilang. Di dalamnya seorang pemuda dengan wajah oriental yang khas tengah duduk bersandar dialasi bantal yang menempel pada kepala tempar tidur, dengan bagian sekitar mata yang di tutupi kain perban.

"Alvin..." lirih Cakka.

"Cakka ya ?" tebak pria tadi, ia menyeringai lebar.

"Iya Vin, ini gue. Kok bisa jadi kayak gini sih Vin ? Sejak kapan elo ngebut segala ?" tanya Cakka yang telah duduk ditepi ranjang Alvin sekarang.

Alvin mengangkat bahunya dengan santai, "Semalem gue tu ke Malang, nemuin orang tua gue, kebetulan mereka lagi di Indonesia. Gue pengen ngobrol banyak, terutama tentang Iel. Setelah semaleman ngobrol, pas paginya gue bangun, gue baru inget ada final pertandingan basket hari ini. Akhirnya, karena gak mau telat, gue nekat nyetir sendiri Malang-Jakarta, pas udah deket-deket Dago dan gak tau gimana kejadiannya, gue cuma denger ada bunyi BRAK, terus gak tau lagi. Semuanya gelap."

"Terus sekarang perasaan lo gimana ?"

"Legaa..."

Cakka mengerutkan kening, "Lega gimana maksud lo ?"

"Yang lain mana ? Iel mana, Kka ?" bukannya menjawab pertanyaan Cakka sebelumnya, Alvin malah balik bertanya.

Cakka sempat kelimpungang mengarang jawaban yang baik dan benar, karena tidak mungkin ia bercerita semua yang telah terjadi, pada Alvin.

"Iel lagi cari minum di cafètaria, Via lagi ke toilet, yang lain masih nunggu prosesi penyerahan tropi bergilir di GOR."

"Oh, jadi kita menang ??" wajah Alvin semakin berbinar, sama sekali tidak seperti orang yang baru saja kehilangan penglihatannya.

"Iya Vin, kita menang."

"Good job, boys. Sayang gue gak bisa ikutan tadi."

"Alvin..." suara berat milik seorang pria terdengar hampir bersamaan dengan suara lembut milik gadisnya. Disusul oleh langkah rusuh kaki-kaki mereka yang mendekat kearah Alvin.

"Syukur, elo selamet Vin." Iel mengurut dada.

"Iel ?" tangan kanan Alvin terjulur seperti mencari-cari sesuatu.

Iel tersenyum getir melihat keadaan saudaranya itu, "Gue disini Vin." Iel meraih tangan kanan Alvin.

"Gue masih tetep ganteng kan, Yel, walaupun pake-pake perban begini." celetuk Alvin, lalu terkekeh pelan.

"Apa sih lo Vin, malah cengengesan kayak gitu." cibir Iel.

"Biar aja. Elo juga yang sakit parah, masih suka cengengesan." Alvin membela diri.

"Lo aneh deh Vin, ada apa sih ?"

"Gak ada apa-apa." timpal Alvin santai, "Via.. Mana Via ? Tadi gue denger suaranya."

Melihat kenyataan bahwa Alvin masih mencari-cari dan menyadari keberadaannya, membuat Sivia makin merasa bersalah. Ia hanya bisa melempar pandangan takut-takut kearah Alvin dan Iel, bergantian.

"Ii..iya Vin. Aku disini." jawab Sivia, gugup.

"Aku mau ngomong Vi, sama kamu. Berdua aja, boleh ?"

Sivia mengangguk, meski sadar Alvin tidak akan melihat anggukannya.

Cakka dan Iel yang sudah merasa diusir secara halus, merekapun keluar dari kamar itu.

Awalnya, baik Alvin maupun Sivia sama-sama terdiam. Menunggu yang lain untuk memulai pembicaraan.

"Vin, maafin aku ya.." akhirnya Sivialah yang berinisiatif menyudahi keheningan yang tercipta beberapa detik lalu.

"Maaf buat apa?"

"buat semuanya. Buat kebodohan aku, buat keegoisan aku, buat kebohongan yang pernah aku lakuin. Aku bener-bener minta maaf atas semua itu."

"kenapa harus kamu yang minta maaf ? Justru disini aku yang paling salah, dan wajar aja kalau karena kesalahan itu, aku juga yang paling sakit. Aku gak peka, aku gak mau peduli, padahal segala macam fakta udah dibeberkan didepan mata aku. Aku dengan PDnya tetap berfikir bahwa kamu sayang sama aku, dan cuma sama aku. Gak ada yang lain. Dan tanpa sadar aku nyakitin banyak hati, termasuk hati aku sendiri. Sekarang kamu bebas Via, kamu gak perlu lagi belajar sayang sama aku, sayangi orang yang emang bener-bener pilihan kamu, aku akan tetap turut bahagia atas itu." Alvin mengucapkan kalimat panjang itu dengan tulus.

Sivia memandangi lelat-lekat pemuda yang sedikit pucat, dihadapannya itu. Ada perasaan tidak rela, ketika ia mendapati kalimat-kalimat yang baru saja dilontarkan pemuda itu.
Sivia tidak lagi menangis, tapi sorot matanya terlihat lebih nelangsa dibanding sebelumnya. Air wajahnya, seakan menunjukkan gadis 16 tahun ini tengah memikul beban orang sedunia.

"Maksud kamu apa Vin ??"

"Hubungan kita berakhir, sampai sini aja Vi. Mungkin, Aku gak cukup sabar untuk bertahan dengan orang yang sama sekali gak bisa membuka hatinya buat aku. Kamu dan iel adalah dua orang yang sangat aku sayangi, dan akan sangat membahagiakan buat aku kalau kalian bisa bersatu. Aku rasa itu akan jauh lebih baik."

Kalimat itu lagi. Kalimat yang sama persis dengan kalimat yang diucapkan Iel. Sivia membatin sedih. Merasakan dirinya seperti disetarakan dengan bola yang bisa dengan mudah dioper kesana-kesini. Ia menggigit bibir, menahan tangisnya agar tidak pecah.
Bukan, Sivia bukan menangis karena pada akhirnya ia tidak mendapatkan satu pun dari dua saudara ini. Itu terlalu picik.
Ia menangisi kebodohannya sendiri. Ia menangis karena sadar, telah melukai dua hati yang sejatinya sama-sama sangat menyayanginya.

"Dari aku kecil kalian selalu jagain aku, lalu kenapa sekarang saat kalian sama-sama dalam kesulitan, kalian malah minta aku jauhin kalian ? Aku cuma pengen ada selalu disamping kalian berdua, gak peduli apapun status aku." batin Sivia.

"Via...kok kamu diem aja sih? Kamu pasti lagi nangis ya ? Maaf Vi, aku gak bermaksud bikin kamu sedih, tapi aku bener-bener minta supaya mulai sekarang kamu harus selalu ada disamping Iel. Anggap aja ini permintaan aku yang terakhir."

"Kamu ngomong apa sih, Vin ?"

"Aku gak pernah minta apapun sama kamu sebelum ini. Aku harap permintaan aku kali ini, bisa kamu penuhin Vi. Jadilah malaikat hidupnya Iel, ajak dia bermimpi, suruh dia bertahan, bujuk dia supaya cepet sembuh. Kamu mau kan Vi ?"

"Kenapa mesti aku Vin ? Aku rasa kalau kamu mau Iel sembuh, harusnya kamu minta tolong sama dokter-dokter ahli. Bukan aku."

"Satu-satunya tindakan medis yang bisa menyelamatkan Iel adalah cangkok sumsum tulang, tapi sayangnya itu udah gak mungkin lagi..."

Alvin menerawang, mengingat pembicaraannya kemarin malam dengan kedua orang tuanya.
Ia merasa perlu untuk menceritakan obrolan singkat itu pada Sivia.

"Kemarin malam aku menemui orang tuaku di Malang...."


FlashBack : On

Tiga orang dalam ruangan ini terbalut hening. Hiruk pikuk kendaraan yang melintasi jalan raya didepan salah satu hotel di daerah Malang ini, sama sekali tidak menggugah minat mereka untuk melanjutkan obrolan yang sempat terhenti. Detik terus berlalu, tapi tetap tak ada jawaban untuk pertanyaan pemuda sipit yang tengah duduk diapit kedua orang tuanya itu.
Sesekali hanya helaan nafas panjang yang sering terdengas, menggambarkan dengan tegas betapa berat beban yang tengah merundung penghuni-penghuni salah satu kamar hotel ini.

"Kenapa pada diem sih ? Atau jangan-jangan bener ya, yang anak pungut itu Alvin bukan Iel , iya ?" desak pemuda sipit tadi, pada kedua orang tuanya yang masih terlihat letih dalam balutan baju kantor mereka.

"Cukup Alvin !! Itu pertanyaan yang sangat bodoh. Jelas-jelas kamu ini anak kami. Kamu putra kandung papa." balas sang papa dengan suara tegas.

"Lalu kenapa banyak banget yang kalian sembunyiin dari aku. Bahkan aku gak tau kalau kalian bangun panti asuhan dan parahnya pembangunan panti asuhan itu atas permintaan Iel. Kenapa kalian lebih sayang sama Iel, kenapa ? Aku ngerasa jadi orang asing ditengah keluargaku sendiri." pemuda sipit tadi, Alvin, ia setengah berteriak, otot-ototnya nampak sangat kentara, menyembul disekitar pelipisnya.

"Alvin, maafkan mama, kalau kamu merasa di perlakukan tidak adil. Tapi percayalah, kamu putra kandung mama. Mama hanya berfikir diusianya yang belum genap 17 tahun dengan penyakit separah itu, Iel lebih labil dan butuh diperhatikan dibanding kamu. Mama tidak bermaksud membeda-bedakan, kalian berdua sama-sama putra kebanggaan mama. Mama rela berkorban apapun untuk kalian." tutur mama Alvin dengan mata berkaca-kaca.

"Papa juga minta maaf, Vin. Kalau selama ini terlalu keras pada kamu. Papa juga sering membanding-bandingkan kamu dengan Iel, tapi itu semata-mata karena Papa mau dengan kondisi kamu yang jauh lebih baik dari Iel, kamu paling tidak bisa selangkah lebih maju darinya, kamu lebih bisa membuat kami, orang tua kandungmu bangga. Tapi kenyataannya, selama ini kamu malah lebih sibuk dengan band, basket, fotografi, kamu tidak pernah serius dengan nilai-nilai akademikmu. Papa hanya takut, masa depan kamu akan terbengkalai karena hobi-hobi yang kamu jadikan prioritas itu. Mama ataupun papa tidak ada yang berniat membuatmu tidak nyaman, maafkan kami kalau selama ini kamu merasa tersisih." kata Papa Alvin, sungguh-sungguh. Sorot matanya begitu hangat, tidak lagi berang dan penuh kekesalan.

Alvin tercenung, Papanya benar. Selama ini, dengan egois, Alvin selalu menganggap apa yang dipilihnya adalah yang terbaik. Ia lebih sering memberontak, berbeda dengan Iel yang selalu mengangguk patuh, apapun yang dititahkan atas dirinya.

Alvin melirik Papa dan Mamanya bergantian, "Maafin Alvin ya Ma, maafin Alvin, Pa... Alvin sering bikin mama sama papa kesel. Alvin lebih sering ngelawan kalian." ucapnya penuh sesal. Alvin lantas memeluk mamanya dengan erat. Sesaat Ia terbius oleh usapan lembut sang mama di kepalanya. Belaian halus seorang ibu yang entah sudah berapa lama tidak dirasakannya.

"Kamu sudah besar, Alvin. Pertanyaan semacam tadi Papa harap tidak akan kamu lontarkan lagi. Kamu yang lahir dari rahim Mama, dan DNAmu yang cocok dengan Papa. Apapun yang terjadi, kamu anak kandung kami, dan tidak ada yang bisa merubah itu." tandas sang Papa, sambil menggulung kemeja garis-garisnya lalu berjalan kearah meja, meraih sebotol air mineral yang ada diatasnya.

"Ma, Pa... Apa Iel, tidak bisa sembuh dari penyakitnya ? Kata dokter, penyakitnya sudah sangat parah ?" tanya Alvin, tiba-tiba.

Ekspresi kedua orang tuanya yang semula tersenyum hangat kini berubah muram. Alvin sadar pertanyaannya barusan benar-benar berosmosis ria dengan cepat, atmoser ruangan ini tiba-tiba saja jadi pilu.

"Iel bisa sembuh hanya dengan transplantasi sumsum tulang, tapi pendonornya harus dari pihak keluarga kandung dan dilakukan sebelum menginjak usia 12 tahun. Papa sudah berusaha mencari orang tua Iel kemana-mana, tapi saat menemukan alamatnya ternyata kedua orang tua Iel sudah meninggal. Papa terus berusaha mencari tau dimana kediaman keluarga Iel yang lain. Tapi hingga detik ini hasilnya nihil. Lagipula usia Iel sudah menginjak 17 tahun." tutur sang Papa, terlihat sangat sedih.

"Jadi maksudnya Iel gak bisa sembuh ?" Alvin merasa hatinya dihujani gumpalan-gumpalan rasa bersalah yang bermetamorfosa menjadi batu-batu besar yang menyesakkan. Mengingat pertengkaran terakhirnya dengan Iel, dan sampai detik ini Alvin belum bertegur sapa lagi dengan saudara angkatnya itu.

"keajaiban itu bisa saja terjadi, Nak. kita hanya bisa berdoa.." ujar Mama Alvin singkat.

FlashBack : Off


"Baguslah, berarti hubungan kamu sama orang tua kamu membaik kan, sekarang." timpal Sivia setelah Alvin menyelesaikan cerita.

"Ya, tapi bukan itu point pentingnya. Intinya, Iel gak butuh lagi pertolongan medis. Dia butuh seorang motivator, dan aku yakin kamulah orangnya."

"Kita, Vin. Bukan cuma aku atau kamu aja. Tapi kita."

"Jadi kamu mau bantu aku, supaya Iel sembuh ?"

"Asalkan kamu mau janji satu hal sama aku?"

"janji ? Janji apa ?"

"biarin aku ngerawat kamu Vin, paling gak sampai mata kamu sembuh. Anggap aja itu tanda trimakasih aku atas semua kebaikan kamu selama ini. Kau mau janji ?"

Alvin tidak mengiyakan, karena dalam hatinya, ia telah berjanji untuk tidak berhubungan lagi dengan gadis ini lagi. Demi saudaranya, demi Iel.
Alvin memilih untuk tersenyum kecil, dan untungnya Sivia sepertinya menganggapnya senyum itu sebagai jawaban 'iya'. jadi Alvin tidak perlu repot-repot menampik janji yang di ajukan Sivia sebagai syarat untuknya.

"Ya udah kalau gitu, aku keluar ya. Kamunya istirahat." pamit Sivia.

Alvin mengangguk. Sivia kemudian membantu Alvin berbaring, membenahi letak selimutnya, lalu mengelus rambut hitam Alvin beberapa kali.

"Kamu orang baik Vin, sangat baik. Kata malaikat itu lebih cocok buat kamu, dibanding aku." tutur Sivia dalam hatinya.

Tak bisa menampik, Via menyadari ada rasa nyaman yang menjalari tubuhnya, saat kedua matanya menelusuri lekuk sempurna wajah Alvin, "Apa rasa itu mulai ada, Tuhan? Kalaupun iya, ia datang terlambat, sangat terlambat." lagi-lagi batinnya riuh bergumam, berbanding terbalik dengan bibir tipisnya yang terkunci rapat.

Perlahan, Sivia melangkah keluar, meninggalkan Alvin yang entah sudah tertidur atau belum, Sivia tidak tau, karena kedua mata Alvin berbalut kain perban.

Diluar, Cakka dan Iel tengah berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Disisi kanan pintu terdapat sederet kursi berwarna biru yang dua diantaranya telah ditempati Agni dan Ify. Via menatap mereka satu-persatu, tapi tiba-tiba saja kepalanya berkunang, perutnya sakit, keringat dingin mulai meluncur dari dahinya.

"Alvin bilang apa, Vi ?" tanya Iel.

Sivia tidak menjawab, ia terlalu sibuk dengan sakit yang menderanya.
Sivia merasakan tubuhnya limbung, kedua kakinya lemas, lantas semua jadi hitam dan gelap.
Ia pingsan.

***

"Via tidak apa-apa, hanya kelelahan. Kalian sudah bisa menjenguknya didalam. Silahkan." ujar seorang dokter
yang baru saja usai memeriksa Sivia.

Setelah berkata demikian, sang dokter melonggarkan dasi garis-garis hitam-abu yang mencekat lehernya, lalu melenggang pergi meninggalkan 4 orang anak yang tengah memandangnya dengan tatapan menuntut suatu penjelasan.

"Dok !!" panggil Iel.

Dokter tadi berhenti berjalan, lalu menoleh.

"Apa Sivia itu pasien dokter Raka ?" tanya Iel, pada dokter yang bernama Raka tadi.

"Ya, Via pasien saya." jawab dokter Raka seraya mengangguk.

"Mmh, setau saya... Dokter biasa menangani pasien yang bermasalah dengan ginjalnya, lalu... apa.. Sivia juga mengalami masalah pada ginjalnya, sehingga harus ditangani oleh dokter ?"

Dokter Raka tersenyum sekilas, "Kamu Gabriel ya ? Pasien kebanggaannya dokter Fadli ?" tanyanya.

Ia menganggukkan kepala.

"Pantas. Kamu sepertinya sudah hafal ya dokter-dokter disini berikut spesialisasinya." Dokter Raka menepuk pundak Iel, sebelum melanjutkan kalimatnya, "Sivia memang pasien baru saya. Awalnya Via ditangani oleh dokter kulit, karena sering gatal-gatal terutama dibagian punggungnya, tapi beberapa waktu lalu, terdeteksi bahwa ginjalnya mengalami kerusakan. Via sering minum obat-obat sakit kepala dalam jangka waktu yang sudah cukup lama dan kurang mengkonsumsi air putih, sehingga kinerja kedua ginjalnya mengalami penurunan."

"Maksud dokter, Via mengalami gagal ginjal ?" kini giliran Ify yang bersuara.

"Mungkin terlalu ekstrem kalau dibilang gagal ginjal, kedua ginjalnya masih berfungsi walaupun tidak sempurna. Tapi itu bisa saja terjadi kalau Via terus-terusan menolak melakukan transplantasi ginjal."

"Jadi sampai sekarang Via masih menolak melakukan tranplantasi dok ? Tapi kenapa memangnya ? Setau saya transplantasi semakin cepat dilakukan akan semakin baik." kata Agni, ikut menimpali.

"Pendonor ginjal harus dari keluarga kandung. Ginjal Via dengan ibunya cocok, tapi Via menolak kalau ibunya harus mendonorkan satu ginjal untuknya. Kami sudah meyakinkan Via bahwa seseorang tetap bisa hidup normal dengan satu ginjal, tapi Via tetap bersikukuh menolaknya. Selain itu masalah biaya juga menjadi kendalanya." dokter Raka kembali memaparkan semua hal yang diketahuinya dengan sangat rinci.

Semua terdiam. Alvin, lalu sekarang Via.
Ya, tidak heran kalau Cakka, Iel, Ify ataupun Agni, sama-sama tidak berselera untuk bicara.

"Ada lagi yang ingin kalian tanyakan ?" tawar dokter Raka.

"tidak dok. Kami rasa cukup. Trimakasih banyak." balas Cakka.

"Baiklah saya permisi kalau begitu. Selamat malam." pamit dokter Raka, diiringin seulas senyum.

Setelah sosok dan bayangan dokter Raka hilang ditelan remang malam, Cakka, Iel, Ify dan Agni segera masuk ke dalam kamar rawat umum yang berisi 4 ranjang tidur. Disalah satu kepala satu ranjang itulah, Sivia menyandarkan tubuhnya yang lemas.

Sivia mengangkat wajahnya, ketika bunyi tap-tap-tap dari sepatu yang beradu dengan lantai, berhenti. Dihadapannya 4 orang tengah kompak mempertontonkan raut kecewa di wajah mereka.

"Maafin aku..." lirih Sivia, ia sudah tau dimana letak kesalahannya. Menutupi hal sekrusial itu dari sahabat-sahabatnya tentu bukan suatu tindakan yang patut dibenarkan.

"Kita maafin kamu kok cantik, sama kayak kita bersedia maafin Iel dulu." tutur Agni, sembari merengkuh tubuh sahabatnya itu dalam sebuah pelukan hangat.

"Tapi mulai sekarang janji ya, gak pake rahasia-rahasiaan lagi kalau ada apa-apa." tambah Ify, yang juga turut memeluk kedua sahabatnya.

Cakka dan Iel, hanya bisa memandangi tiga sahabat itu dengan sorot mata penuh kerinduan.

"Kapan kita terakhir kumpul-kumpul di kantin ya, Yel ? Gue sampai lupa, gue kangen d'orions." ujar Cakka setengah berbisik. Gabriel mengangguk setuju.

***

Agni berjalan gontai menyusuri trotoar jalan yang masih dihuni beberapa penjajak makanan kecil. Tangannya mencengkram erat tas selempang yang ia kenakan, sesekali kakinya menendang-nendang kerikil kecil yang bergeletakan disepanjang jalan yang dilalui. Angin malam yang dingin membuatnya berkali-kali harus membenahi cardigan coklatnya agar lebih erat menempel pada tubuhnya, kadang Agni juga menggosok-gosokan telapak tangannya untuk
menghalau rasa dingin.

Tin.. Tiinn

Sebuah cagiva hitam berhenti tepat didepannya. Sang pengemudi tersenyum ramah setelah melepas helm fullface yang dikenakan.

"Riko ?"

"Sendirian Ag ?? Darimana ?"

"Eh, iya, gue sendiri. Abis dari RS, jengukin temen."

"Oh, ya udah, yuk. Gue anter pulang aja. Udah malem, gak baik cewek jalan sendirian malem-malem."

Agni melirik jam digital hitam yang melingkari pergelangan tangannya. Jam 9 malam. Ternyata memang sudah larut malam, pantas saja sudah mulai sepi.

"Gak deh Ko, gak enak kalau cewek lo liat. Apalagi dia sobat gue juga, entar malah salah faham lagi." Agni menolak dengan halus.

"Ya elah, nyantai aja kali, Ag. Cewek gue gak cemburuan kok. Udah ah, ayo naik." bujuk Riko.

"Beneran gak pa-pa nih ?"

"Iya, iya, bawel deh. Udah pegangan lo." perintah Riko setelah Agni diboncengnya.

Meski enggan, Agni menurut. Dilingkarkan kedua tangannya pada pinggang Riko. Setelah itu, cagiva hitam andalan Riko melesat cepat, membelah lalu lintas malam kota Bandung.

Dari kejauhan, seseorang yang memperhatikan Agni dan Riko, mulai berbisik perih pada angin, "Semoga lo bahagia sama pilihan lo." gumamnya, sarat akan nada kecewa.

Percayalah,
tidak ada hal lain yang lebih menyesakkan,
selain penyesalan yang selalu datang dibuntuti kata terlambat.

***

"Iya Yo... Aku janji gak akan nangis lagi. Ya aku cuma ngerasa gak enak aja. Iya.... Kamu juga baik-baik ya disana.... Jangan lupa makan..... Hahaha, Ok. Kamu hutang satu lagu sama aku kalau gitu..... Sip-sip, bye..."

Shilla mengulum senyum simpul, setelah menekan tombol merah pada keypad handphonenya.

"Dimana Rio ?" suara berat itu membuat Shilla terperejat. Hampir saja handphonenya terlepas dari genggaman tangannya.

"De.. Debo, sejak kapan lo disitu ?"

"udah lama. Cukuplah buat denger semua pembicaraan lo sama Rio barusan."

"Jangan sok tau deh lo, tadi tu bukan Rio." sergah Shilla, gadis ini menekan seluruh rasa gugupnya dan betul-betul berusaha untuk bersikap sewajar mungkin. Ia tidak ingin, rencana yang sudah tersusun apik, berantakan hanya karena keteledorannya.
"Elo gak usah ngelak deh, Shil. Gue udah mergokin lo telfon sembunyi-sembunyi kayak gini, 3 kali. Pertama, pas final basket. Kedua, pas kita jenguk Alvin dan ketiganya, sekarang. Gue yakin yang lo telfon itu Rio kan ?"

"Bukan !!"

"Bohong !!"

"Udah deh, lo jangan ngaco."

"Ok. Kalau gitu, siniin HP lo." Debo dengan sigap merebut handphone Shilla.

"Privat number." gumamnya, setelah beberapa detik memeriksa handphone Shilla.

"Udah gue bilang, yang telfon tadi tu bukan Rio. Ngeyel sih lo." Shilla masih terus mempertahankan argumennya, dengan kasar ia merebut kembali handphonenya dari tangan Debo.

"Shil, gue yakin lo pasti tau kan dimana Rio sekarang ? Lo harus kasih tau Ify, dia jauh lebih berhak tau ketimbang lo." desak Debo, ia merasa berhutang budi pada Ify, dan berharap ia bisa membalasnya dengan mendesak Shilla agar memberitahukan keberadaan Rio.

"kenapa emangnya? Kenapa Ify lebih berhak tau dari gue ?"

"Karena Ify bener-bener sayang sama Rio."

"Oh, trus Rionya ? Apa dia juga sayang sama Ify, kalau iya kenapa Rio ngehindarin Ify ?"

"Jadi benerkan lo tau sesuatu, lo tau kan Rio dimana ?"

"Iya, gue emang tau dimana Rio. Terus lo mau apa, heuh ?"

"SHIL, ELO HARUS KASIH TAU IFY DIMANA RIO." raung Debo. Untungnya saat itu seluruh siswa kelas XI IPA 1 sedang berolahraga, sehingga pertengkaran dua orang ini tidak terlalu menyita perhatian.

"GAK-AKAN-PERNAH." ujar Shilla tegas.

"Elo jangan keterlaluan gitu dong Shil."

"Gue ?" Shilla mengarahkan telunjuknya kedepan wajahnya, "heh, justru yang keterlaluan tu mereka, gak Ify, gak Iel, cuma nambah-nambahin beban fikirannya Rio doang. Si alvin juga, seenak-enaknya gebukin anak orang. Pas Rio ada, disalah-salahin, Rio menghindar dibilang pengecut. Mereka gak ada yang ngerti kan, gimana perasaan Rio ? So, yang keterlaluan siapa ? Mereka semua tu yang keterlaluan. Terutama lo, perusak. Jadi jangan sok care deh, sama Ify, Rio ataupun yang lain." cibir Shilla sinis, "Tapi tenang aja, gue gak sejahat yang lo fikir kok, gue bakal kasih tau Ify dimana Rio, tapi nanti kalau Rio udah siap ketemu Ify."

"Gimana kalau Rio gak pernah siap ketemu Ify lagi ?"

"Gampang aja. Berarti Ify gak akan pernah ketemu Rio lagi." Shilla menyeselesaikan kalimatnya dengan santai. Lalu berlenggang keluar kelas menuju lapangan, setelah sekilas melempar senyum menyebalkan lengkap dengan tatapan extra mencibir pada Debo.

"Rio-Shilla ? Kok jadi gini sih." gumam Debo, bingung.

***

Waktu sudah beranjak setengah jam dari tengah malam, tapi kedua mata indah milik pemuda ini tak kunjung terpejam. Tetesan cairan yang kemudian mengalir melalui selang yang menempel pada lengan kirinya serta bunyi tik-tok-tik-tok dari jam dinding persegi panjang didepannya terdengar lebih jelas daripada sebelumnya. Ia selalu benci saat-saat sendiri seperti ini. Ini kelewat sunyi, terlalu sepi, dan bayangan itu pasti akan datang lagi. Menyeretnya hingga kedasar yang paling gelap dalam hidupnya, memaksanya untuk kembali pada sebuah masa yang harusnya sudah terlupakan sejak lama.

Pemuda ini tidak tau lagi, mana yang lebih sakit. Tubuhnya atau hatinya. Masa lalu itu terus menghantui langkahnya. Mengusiknya saat terjaga, menekannya saat terlelap, ia benar-benar tersiksa.

Mungkin terlalu lelah, akhirnya sayup-sayup kelopak matanya mengatup, alis-alis matanya teranyam sempurna. Pemuda itu, ia tertidur.


Mereka bilang setiap kali angin berhembus,
seseorang disuatu tempat tengah menitipkan salam rindu untuk orang terkasihnya.
Mereka bilang setiap kali langit gelap,
seseorang disuatu tempat telah meminta bintang-bintang untuk menghiasi mimpi orang tersayangnya.
Mimpi... Terkadang jadi isyarat tak terbaca berisi jawaban atas pertanyaan yang kau ajukan.


Pemuda tadi berjalan disebuah padang. Luas. Hijau. Dan sangat indah. Disisi kirinya tampak mawar-mawar dengan aneka warna tengah di gandrungi kawanan kupu-kupu. Disisi kanannya, pantulan mentari sore terbias jelas dipermukaan air danau yang tenang. Di depan serta belakang pemuda tadi, ilalang-ilalang setinggi pinggul berayun luwes disentuh angin. Pemuda tadi terlihat bingung, dimana Ia sekarang ? Disurga kah ??

Ya, ini pasti surga, karena tepat saat pemuda tadi menoleh, matanya menangkap sosok cantik bak malaikat degan cahaya putih yang memancar dari setiap inci tubuhnya, senyum manis terpeta pada parasnya yang ayu, tatapannya lembut seumpama lembayung senja, rambutnya terurai, berkilau dan meliuk mengikuti gerak tubuhnya.

Pemuda tadi terpana.

"Apa kabar Yo ? Lama ya kita gak ketemu." suara itu menyapanya syahdu, terdengar merdu seperti nyanyian putri-putri duyung penghuni danau hitam pada film Harry Potter and The Goblet of Fire.

Pemuda tadi terkesiap. Sosok itu mengenalnya, "Dea ?" gumam pemuda tadi, ragu-ragu.

Sosok cantik tadi mengangguk.

"kamu betul-betul Dea ?"

"Iya Rio, aku Dea. Aku nemuin kamu buat ngembaliin ini." sosok cantik yang mengaku jelmaan Dea itu menarik lengan kanan Rio dan menggambarkan lambang Love yang dibubuhi tulisan hati ditengah-tengahnya.

"Ini hatimu," katanya seraya tersenyum, "Maaf, aku menahannya terlalu lama. Aku rasa kamu mulai membutuhkannya untuk menyayangi orang lain. Kamu selalu bilang aku adalah bintangmu. Tapi kamu perlu tau Rio, gadis yang jatuh bangun membantumu itu adalah mataharimu. Orang bisa hidup tanpa bintang, tapi gak ada yang sanggup hidup tanpa matahari. Aku gak akan pernah rela, kalau tempatku di hatimu digantikan orang lain, tapi aku akan lebih gak rela kalau kamu hancurin hidup kamu, dan jadiin aku sebagai alasannya. Itu konyol."

Pemuda tadi masih mematung. Rio, dengan kaku hanya satu kalimat yang ia ucapkan, "Aku kangen kamu, De."

Sosok Dea lagi-lagi hanya mengumbar senyum. Sepertinya ia sadar betul senyumnya lebih indah dari seluruh bunga-bungaan yang ada didunia.
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Dea menjauh, semakin lama semakiiin jauh. Tangan Rio terus terulur berusaha menyentuh sosok cantik itu, tapi Dea tak lagi ada dalam jarak yang bisa Rio jangkau.

"De, kamu mau kemana ? Jangan tinggalin aku lagi, De. Aku ikut kamu, Deaa..."

"Aku bahagia ditempatku Yo, dan kamu juga harus bahagia disana. Salam untuk malikatmu dan untuk Debo."

Sosok Dea lantas menghilang ditelan gumulan kabut putih.

Bruk.

Rio menjatuhkan dirinya. Bersamaan dengan itu, akalnya dibenturkan pada sebuah kesadaran. Masa lalu telah melepaskan belenggunya. Sekarang tinggal Rio sendiri, sudah beranikah ia hengkang dari masa lalu dan menjemput masa depannya ? Sudah cukup tangguhkah ia kalau suatu saat, ia harus kehilangan lagi ??

"aku akan membantumu..."

Suara lembut itu membuat Rio mengangkat wajahnya ?? Seorang gadis dengan kedua sayap dibalik punggungnya, mengulurkan tangan dengan tulus kearah Rio.

"kamu..."

Rio terhenyak, tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya memburu. ia terbangun dari tidur singkatnya. Apa yang barusan ia alami ? Mimpikah ?
Tapi kenapa terasa begitu nyata.

"Shilla..." gumam Rio, tanpa sadar.


***

0 komentar:

Posting Komentar