Sabtu, 12 Maret 2011

Malaikat Hidup Gue -part 18-

"Ag. . .Agni. .." ujar Iel terbata.

Mendengar nama Agni disebut, tubuh Cakka langsung bereaksi, aliran darahnya seakan membeku seiring dengan otak dan jantungnya yang seperti berhenti dari tugasnya. Ia terdiam, perutnya serasa ditanduki pasukan banteng-banteng yang datang langsung dari spayol. Lehernya seperti dipasung, hingga sulit sekali menoleh.

Tepat pada detik ke 20 setelah Iel menggumamkan nama keramat -untuk Cakka- itu, Cakka menoleh. Ia mendapati Agni, menatapnya dengan binar kekecawaan.

"lo jadiin gw taruhan Kka?" tanya Agni, meski bibirnya mengulum senyum tipis, tapi ada getar perih pada nada bicaranya dan Cakka tau hal itu.

"Agni gw. .."

"iya atau nggak Kka? Cuma jawaban itu yang pengen gw denger." tegas Agni, ia tidak ingin jawaban yang bertele-tele hanya 2 pilihan, iya atau tidak, dan semua akan segera jelas baginya.

"iya Ag." Cakka mengalihkan pandangannya, dari wajah Agni ke bidang datar dari semen yang tengah dipijaknya, "tapi gw sa-"

PLAAK

Belum sempat kalimat rumpang itu terlengkapi oleh Cakka, tangan Agni sudah mendarat tepat dipipi Cakka.

"arggh" erang Cakka, yang secara reflek langsung mengelus pipinya yang memerah.

"sakit Kka?? Dan lo tau, hati gw jauh lebih sakit Kka. Sakit banget. Lo tuker semua yang gw kasih buat lo cuma dengan semangkok bakso dan segelas jus. Iya Kka? Lo jahat Kka, lo keterlaluan, dimana perasaan lo?" Cakka terdiam, rasanya ucapan Agni barusan terlalu manis untuknya, ia pantas mendapatkan cacian yang lebih dari ini.

"Agni, gw bisa jelasin, plis dengerin gw."

"apa yang mau lo jelasan Kka, APA? Lo mau memperjelas kalau cewek kayak gw sama sekali bukan type lo dan gak cocok buat lo? Thanks Kka, tapi gak perlu, gw udah cukup jelas." Agni segera berlari meninggalkan kantin dengan titik air mata yang mulai mengalir membentuk alur di kedua pipinya.

Cakka segera mengejarnya, berharap dewi fortuna barang sebentar saja, mau berpihak padanya, hingga Agni mau untuk sekedar mendengarkan penjelasan Cakka.

Adegan romantis dinovel-novel picisan khas anak remaja pun kini mendapat kan visualisasi nyatanya, melalui Agni dan Cakka.

"Agni, dengerin gw dulu." Cakka berhasil meraih dan mengunci pergelangan tangan Agni dalam kelima jarinya.

"lepas Kka." pinta Agni.

"Ag, plis, kasih kesempatan buat gw jelasin."

"udah lah Kka, lo mau ngomong apalagi sih, gw kecewa banget Kka sama lo. Tadinya gw mau ngasih lo surprise, gw mau ngajak lo baikan, tapi ternyata malah gw yang dapet SURPRISE dari lo."

"gw gak ada maksud buat nyakitin lo, Ag. Gw sayang sama lo, gw bener-bener sayang sama lo."

"kita putus Kka, dan semuanya sampe sini aja. Thanks buat semuanya, doain gw juga ya, supaya gw bisa cepet lupain lo. Kita masih bisa temenan Kka, sekarang tolong lepasin tangan gw." Agni terlihat mulai bisa mengontrol emosinya, suaranya tidak lagi bergetar sedih, kini lebih terkesan tenang dan tegas.

Cakka menurut, tidak ada alasan untuk menahan Agni lebih lama lagi. Gadisnya itu telah mengambil keputusan. Ia memilih pergi dan itu sangat wajar. Setimpal atas sakit yang telah Cakka ukir dalam hatinya.

Cakka menunduk untuk kesekian kalinya, membiarkan angin berdesau membawa Agni dan segala tentangnya, pergi. . . ..


Ketika seorang hamba berbuat kesalahan,
tidak akan banyak yang ia minta dari Tuhannya.
Hanya sedikit kesempatan,
untuk kembali ke masa lalu,
dan memperbaiki tinta mana yang salah dalam goresan jalan takdir, di hidupnya.

***

DUUK

Sebuah stik drum melayang dan menyentuh dahi Debo, membuat sang empunya dahi meringis kesakitan. Debo segera mengalihkan pandangannya dari selembar kertas penuh partitur-partitur lagu rumit didepannya. Ia mencari biang kerok dari insiden melayangnya stik drum tadi, dan bola matanya berhenti tepat pada sosok manis didepan pintu ruangan ini. Rambutnya sebagaian terurai dimainkan angin kecil, sedangkan yang lain melekat pada dahi dan pipinya yang dilumuri keringat.

"lo apain Rio?" tanya gadis tadi, Ify.

"oh jadi lo kesini disuruh Rio? Cemen banget dia." cela Debo, ia segera bangkit dan menghampiri Ify.

"lo apain Rio?" Ify mengulangi pertanyaannya.

"gak gw apa-apain." jawab Debo santai.

"BOHONG !!"

"lo sendiri kan yang bilang, cowok brengsek itu lagi sakit, dan gw pantang berantem sama orang sakit, gak seru."

"mau lo apa sih? Emang Rio ada masalah apa sama lo?"

"gak ada, gw cuma mau. . . .. Lo. .jadi cewek gw. Tinggalin Rio."

"mimpi lo? Gw gak mungkin ninggalin cowok gw cuma buat cowok kayak lo."

"apa tadi lo bilang, cowok lo? gw gak salah denger? Cowok pura-pura kali ya?"

Ify terdiam cukup lama, lidahnya kelu, darimana Debo tau soal itu??

"udahlah tinggalin Rio, Fy. Dia tu sama sekali gak peduli sama lo, buktinya dia ceritain semua tentang rahasia itu ke gw." cibir Debo.

"oh iya, lo udah kenal Dea?" tanya Debo, Ify mengangkat kepalanya demi mendengar nama Dea disebut.

"kalo lo belum kenal, setelah denger rekaman ini, lo bakal tau siapa Dea. . ."

Debo mengeluarkan ponselnya, lalu menekan beberapa tombol pada keypadnya, dan rekaman berdurasi 25 detik yang diambil tadi pagi itupun berputar mengisi ruang dengar Ify.

"Dea itu sepupu gw, sekaligus satu-satunya cewek yang Rio sayang, jadi. . . gak usah berharap sama Rio, Fy."

kata-kata Debo barusan menjadi tamparan yang keras untuk Ify. Selama ini Ify telah menjadi pemimpi yang hidup didunia nyata, sangat kontras tentu.
Tapi sekarang tidak lagi, Ify sudah menarik seluruh jiwanya untuk hidup dan menjalani dunia yang nyata.
"gak usah berharap sama Rio."

tidak. Ify tidak akan mengharapkan pemuda itu lagi. Tidak akan pernah lagi.

Merasakan matanya yang mulai memanas, Ify yakin sebentar lagi air matanya akan bertumpah ruah. Sehingga tanpa say good-bye dulu dengan Debo, Ify segera pergi meninggalkan ruang musik itu. Ia berjalan tergesa, menyusuri koridor-koridor yang ramai, melewati beberapa gerombolan siswi-siswi yang tengah asik dengan majalah ataupun brosur-brosur alat kecantikan dan pakaian dengan tulisan sale yang bertebaran dimana-mana. Sesekali Ify menyusut air matanya, yang sejak tadi membentuk riak kecil dipipinya.

"Fy, Ify. . .." Ify segera menghentikan langkahnya saat mendengar namanya dipanggil seseorang. Setelah menghapus sisa-sisa air matanya, Ify menoleh.

Ia membelokkan langkahnya, menuju taman. Melewati pohon Akasia yang harus merelakan beberapa helai daunnya diterbangkan angin. Ify berhenti didepan gerombolan kecil yang duduk melingkar tak jauh dari papan kecil bertulis 'Apotek Hidup'.

"kenapa Vin?" tanya Ify datar, ia yakin suara Alvinlah yang memanggilnya tadi.

"lo darimana, abis nangis ya?" tanya Alvin.

Ify hanya menjawab dengan gelengan kepala. Detik selanjutnya Ify asik mengamati satu persatu ekspresi teman-temannya. Cakka dengan tatapan sedih stadium akhir, Iel dan Alvin dengan raut penuh rasa bersalah dan Sivia yang tengah mengatur nafasnya, sepertinya gadis chubby ini baru selesai meluapkan kemarahannya beberapa detik lalu.

"ada apaan sih?" tanya Ify ingin tau.

"nanti deh, eksklusif gw ceritain ke elo." jawab Via singkat.

Ify hanya mengangguk faham, sepertinya tidak tepat juga kalau ia mendesak agar Via menceritakannya sekarang.

"Rio mana Fy? Dia gak kenapa-napa kan? Kok gak muncul-muncul?" tanya Iel.

Nama itu benar-benar berefek luar biasa pada mata Ify. R-I-O. Hanya tiga huruf, tapi bisa mencampur-adukkan semua rasa dalam dadanya. Semua menjadi terasa sesak dan menyulitkan, hanya air mata yang bisa dijadikan indikator bahwa semua tidak sedang baik-baik saja.

"lho, kamu kenapa Fy?" tanya Via heran, melihat Ify bukan hanya menangis, tapi terisak parah sampai kedua bahunya bergetar.

"maafin gw Yo, lo duluan yang bongkar semuanya di depan Debo, jangan salahin gw, kalau gw lakuin hal yang sama. Gw gak tahan lagi nyimpen rahasia ini sendirian." batin Ify.

Ify menarik nafasnya, dan menghembusnya perlahan, setelah beberapa kali melakukan hal yang sama, akhirnya Ify merasa siap untuk bercerita.

"gw sama Rio tu sebenernya---"

Ify mulai menceritakan semuanya dari awal. Saat pertama kalinya Ify ngobrol dengan Rio, saat Rio meminta bantuannya. Semua berjalan lancar sejauh ini, tapi hari ini semuanya berubah karena kedatangan orang dari masa lalu Rio, Debo. Ify juga mengakui perasaannya yang mulai tumbuh untuk Rio. Semua ternganga tak percaya mendengan cerita Ify, bahkan Cakka sejenak benar-benar lupa dengan apa yang telah menimpanya setelah mendengar cerita Ify.

"lo sama Rio gak lagi ngerjain kita kan sekarang?" tanya Iel tak percaya.

Ify menggeleng lemah.

"kenapa Rio gak pernah cerita tentang semua ini sama kita, apa dia masih nganggep kita orang asing?"tanya Alvin ntah pada siapa.

"Rio pasti punya alesan, nyembunyiin semuanya dari kita. Mungkin dia gak mau kita ngeliat dia sebagai cowok lemah." ujar Iel bijak.

"apapun alesannya, Rio tu salah. Manfaatin kebaikan orang lain." balas Via.

'hei Sivia Azizah tidakkah kau sadar. Kau sama saja dengan Rio' suara itu secara ghaib muncul dalam hati Via, memupuk rasa bersalahnya pada pemuda tampan ya duduk disisinya.

"gw tutupin semuanya, bahkan dari sahabat gw sendiri. Tapi Rio? Seenaknya dia bongkar semua, gimana kalo sampe rekaman itu nyebar, apa Rio gak mikirin perasaan gw." lirih Ify sedih.

"udah Fy, sabarnya. Kita bakal bantuin kamu kok. Udah ya, jangan nangis." hibur Sivia, ia lalu memeluk tubuh Ify dan mengusap-ngusap punggungnya.

"lo ngomong aja dulu sama Rio, setelah kayak gini baiknya gimana? Ntar kita temenin." saran Cakka dan langsung diamini serentak oleh teman-temannya yang lain.

***

"hhahaha, jadi elo tu mantannya Cakka, shill? Kok bisa sih? Cakka gak pernah cerita deh sama gw." kata Rio, masih sambil tertawa sejak beberapa menit lalu.

"dih, ketawa lo pengen gw bayar deh Yo. Rese banget sih, emang kenapa kalo gw pernah pacaran sama Cakka?"

"hhehe. Ya gak pa-pa sih. Gak nyangka aja." jawab Rio, sambil tersenyum penuh arti.

"biasa aja bisa kali ya, senyumnya." shilla memutar kedua bola matanya.

"Yo. . ." panggil seseorang.

Rio menoleh, parkiran saat itu untungnya memang sudah sepi, jadi kedatangan Ify dan 'pasukannya', tidak begitu banyak menyita perhatian. Rio tentu mensyukuri hal itu.

"kita harus ngomong, Yo." kata Ify serius.

"ekhm" Debo yang kebetulan melewati tempat itu, melirik dan berdehem penuh arti.

"soal apa? Rekaman itu? Sorry Fy,gw gak ada waktu. Gw mesti nganterin Shilla balik." Rio sudah bisa menebak, Ify berubah sejak menemui Debo dan pasti itu karena rekaman itu. Rio juga mengerti tatapan penuh tanda tanya yang digencarkan teman-temannya, tapi Rio tidak ingin repot-repot menjelaskan semuanya, hatinya sudah terlalu kalut. Ia hanya tinggal menunaikan janjinya pada Debo, menjauhi Ify.

"ayo Shill." Rio menarik tangan Shilla.

"lho kok, tapi. . ." gumam Shilla bingung, tapi ia hanya pasrah saat tubuhnya didorong masuk dalam avanza Rio.

"TUNGGU" teriak Sivia. "

Selain pembohong, lo ternyata pengecut juga ya Yo? LO MANFAATIN IFY DAN SEKARANG NINGGALIN DIA GITU AJA, BAHKAN TANPA UCAPAN MAKASIH. GAK TAU DIRI LO." bentak Via, emosi.

"kalo lo gak bisa lupain cewek yang udah mati itu, ikut aja lo mati sama dia, itu jauh lebih baik. DASAR PEMBOHONG." umpat Via, pedas. Via tidak pernah sekasar ini sebelumnya, tapi mengetahui sahabatnya terlukai tentu Via tidak terima.

"apa lo bilang Vi? Pembohong?" Rio berjalan ke arah Via dan menatapnya tajam. Jujur saya, tatapan Rio itu benar-benar bisa melolosi tulang belulang dan membekukan aliran darah, dingin dan menusuk.

"ngaca dong lo Vi. Lo juga pembohong kan Vi, bahkan lo lebih JAHAT dari gw. Lo sadar gak? Hah? Hati-hati aja Vin, jangan kena tipuan tampang sok polos cewek ini." Rio mempertegas ucapannya sambil menunjuk lurus ke arah Via. Ia lalu berbalik, segera memasuki mobilnya dan secepat mungkin pergi dari tempat itu.

Semua diam. Memandangi mobil Rio yang melesat cepat meninggalkan debu-debu yang melayang ke udara.

"apa maksud Rio, Vi? Kamu bohong apa?" tanya Alvin menyelidik.

"aku. . .ak. .aku, aku gak bohong apa-apa Vin. Rio ngaco." bela Via.

"gak mungkin Rio asal ngomong kayak gitu, pasti ada alesannya."

"dia itu pembohong Vin."

"kamu yang bohong, iya kan Vi? Jawab !! APA YANG KAMU SEMBUNYIIN DARI AKU" bentak Alvin, berang.

Ia yakin Rio tidak sedang berbohong ataupun main-main saat memperingatkannya tadi.

"Vin, gak usah bentak-bentak Via gitu dong, dia cewek lo." tegur Iel.

"denger ya Vi, kalo kamu gak mau jujur, oke, aku bakal cari tau sendiri apa yang kamu sembunyiin dari aku." setelah selesai dengan kata-kata Alvin segera pergi meninggalkan Via yang masih tertegun.

"Vin. . . .Alvin !!" panggil Debo, yang setengah berlari kearah Alvin.

"kenapa?" tanya Alvin malas.

"nih. Gw cuma mau ngasih ini buat Lo." Debo menyerahkan sebuah benda pada Alvin.

"ya udah, gw duluan ya Vin, bye." Debo mengangkat tangan kanannya, lalu pergi meninggalkan Alvin yang masih bingung.

"apaan sih isinya?"

***

"diminum dulu Yo." ujar Shilla seraya membungkuk menaruh nampan berisi 2 gelas jus jeruk yang dibawanya."

"ekhm." Shilla berdehem kecil, lalu duduk disamping Rio. Tapi pemilik tubuh jangkung itu tak menggubrisnya barang sediki punt, raganya seperti kosong ditinggal berkelana oleh pikirannya.

"Yo." panggil Shilla, "MARIOOO DIMINUM DULU. . ." teriak Shilla.

"ekh, hah? apaan shill?" balas Rio, gelagapan.

"huu, makanya jangan ngelamun terus. Daritadi gw ngomong dikacangin. Lo lagi ada masalah ya sama Ify?"

"hah, gak kok." jawab Rio berbohong.

Sungguh, Rio tidak ingin lebih banyak lagi orang yang tau tentang sandiwara yang selama ini, berusaha dipentaskan secara apik olehnya dan Ify. Bukan apa-apa karena Rio tau, Ifylah yang nantinya akan sangat dirugikan. Ify pasti akan dicap sebagai cewek bodoh yang mau-maunya dimanfaatkan oleh Rio.

"ya, lepas dari ada atau gak ada masalah itu sih urusan lo berdoa, gw gak berhak tau juga. Tapi cara lo ngehindar tadi bisa bikin hubungan gw sama Ify dan temen-temen lo merenggang lagi. Kesannya lo lebih mentingin gw dibanding Ify."

"iya gw tau Shill, sorry ya, nanti gw jelasin ke mereka."

"yeah, it's Oke, kali ini gak pa-pa. Ya udah diminum dulu tu Yo." Shilla menunjuk 2 gelas kaca berisi minuman segar, dengan gadunya.

Rio mengangguk, mulai mengangkat gelasnya, menyesap sedikit demi sedikit isi gelas itu. Es batu berbentuk kotak-kotak kecil dalam gelas iku bergerak, dan siap menjalarkan efek dingin saat cairan kuning itu sampai di tenggorokan.

"lo sendirian Shill?" tanya Rio,mencoba memecah diam yang sempat hadir diantara ia dan Shilla beberapa detik lalu.

"nggak kok. Semenjak kejadian konyol waktu gw mau bunuh diri itu, nyokap bokap gw ngerasa bersalah banget. Apalagi setelah gw coba omongin baik-baik tentang semua yang gw mau dan gw rasain. Gw yang kesepian, gw yang kangen mereka, gw yang ngiri sama temen-temen gw, dan ya. . . ..akhirnya mereka ngerti juga kok. Nyokap gw mutusin buat tinggal disini, ngurusin usaha batiknya di Indonesia. Biasanya sih, jam segini udah dirumah, tapi gak tau deh sekarang lagi kemana?" jawab Shilla, binar bahagia terpancar jelas saat ia berceritakan tentang perubahan sikap orang tuanya.

"oh gitu, seneng dong dikau. . ."

"pastinya seneng bangeeet, Yo."

"trus, hubungan lo sama Zeze dan Angel, gimana?"

"mereka berdua udah gw coret dari daftar sahabat. Mendingan gw temenan sama Oik, Acha, Gita atau yang laen deh, daripada temenan sama dua nenek lampir macam mereka." Shilla melipat kedua tangannya dan mengerucutkan bibirnya.

"auww. Rioo, sakit tau." keluh Shilla, saat tangan Rio mencubit pinggangnya, pelan.

"ahhahahaha." Rio tertawa puas.

"seneng lo? Rese banget sih, lo kira gw milik negara maen asal cubit aja." ujar Shilla sewot.

"hhaha, abis lo kayak anak kecil aja sih, pake manyun-manyun segala. Ekh, nih ya Shill, coba dari dulu lo tu bersikap baik, manis, kayak sekarang. Langsung gw minta jadi cewek gw deh, jadi calon istri kalo perlu." celetuk Rio.

"ya, manusia kan gak ada yang sempurna Yo. Butuh proses pembelajaran dulu buat berubah jadi yang lebih baik." jawab Shilla diplomatis, "mantap banget ya kata-kata gw, hhehe." lanjutnya terkekeh.

"siang sayaang." sapa seorang wanita cantik dengan beberapa kresek belanjaan yang berjejal di tangannya.

"mama dari mana?" tanya Shilla.

"belanja." wanita tadi mengangkat kedua tangannya yang dipenuhi tentengan belanjaan, "katanya, kamu pengen mama masakin. Ekh ada siapa nih, mama gak dikenalin, Shill?"

"oh, iya. Ini Rio ma, Rio ini mama aku." kata Shilla memperkenalkan mamanya.

"siang tante" sapa Rio sopan.

"siang. Oh ini toh yang namanya Rio. Shilla banyak cerita tentang kamu lho !!"

"wah, cerita apa aja Shilla tentang Rio, tan??"

"banyak, katanya kamt itu baik, ganteng, pinter, jago main basket, suaranya bagus, ker-"

"mamaa, apaan sih, malu-maluin aja. Udah sana, sana, sana." Shilla segera memotong ucapan mamanya yang ia yakini akan membuat pipinya semakin merah kalau dilanjutkan.

"idih anak mama pipinya meraaah.."

"mamaaaaa"

mama Shilla hanya tertawa kecil dan segera berlalu ke dapur setelah puas menggoda putrinya.

"hhahaha, ketauan deh, lo fans fanatik gw ya, mau tanda tangan sama foto bareng gak?" rio menaik-turunkan kedua alisnya.

"diem deh Yo, kalo nggak gw tendang lo, mau?" ancam Shilla.

"widih takut ditendang akh, mending gw balik aja. Thanks ya minumnya, bye Shilla. . ."

"lho kok balik sih?"

"kenapa emangnya? Takut kangen ya? Buka aja akun twitter gw, lo liatin deh tu puas-puas foto gw disana."

"wooo, PD gila lo."

"jah, masih aja gak ngaku. Gw ada janji Shill, jadi harus cepet-cepet cabut. Gw balik ya, daah."

"oh ya udah. Hati-hati Yo."

Rio hanya membalas pesan Shilla dengan acungan ibu jari, ia segera meng-gas avannza hitamnya dan langsung meluncur cepat meninggalkan rumah mewah Shilla.

***

"huuufh" pemuda sipit ini dengan ringan melabuhkan tubuhnya diatas kasur empuk berseprai abu di kamar itu.

"darimana lo??" tanya sang empunya kamar.

"lo lagi ngapain Yel, betah bener didepan laptop?" bukannya menjawab pemuda tadi malah balik bertanya.

"ngerjain tugas. Ngapain lo disini, balik sana ke alam lo, ganggu konsentrasi gw aja." titah Iel, sang pemilik kamar.

"ya elah, numpang ngadem Yel. Kamar gw ACnya rusak. Ek Yel, gw pinjem DVD lo ya."

"emang DVD lo kenapa, jangan-jangan lo jualin semua ya, Pit?"

"gw pengen nyetel disini aja," jawab pemuda tadi, si sipit -Alvin maksudnya-.

"den Iel, ada mas Rio dibawah." suara lembut penuh rasa hormat itu terdengar dari balik pintu.

"iya Bi, suruh tunggu bentar" sahut Iel.

"ngapain tu si kunyuk item kesini." tanya Alvin, sambil memainkan remote DVD yang kini tengah berada ditangannya.

"gw ada janji sama dia soal basket, dia yang bakal gantiin gw jadi kapten, jadi mau sharing aja gitu." jawab Iel.

"kok Rio, kenapa lo gak minta gw yang gantiin lo jadi kapten basket?" celetuk Alvin. Nada bicaranya memang santai bahkan terkesan bergurau, tapi ucapan tadi sebenarnya adalah reaksi kekecewaan yang ditunjukkan Alvin dengan caranya sendiri.

"lo jadi waketos OSIS aja dipecat, gimana gw mau percayain posisi kapten basket ke elo." jawab Iel santai, tapi benar-benar telak, menancap di hati Alvin.

"sialan lo." komentar alvin singkat, "ekh, emang lo gak bakal maen, kok di ganti Rio?"

"ya, pengennya sih maen, jaga-jaga aja."

"jaga-jaga buat apa?"

"ya jaga-jaga aja deh pokoknya. ya udah akh, gw kebawah ke bawah dulu ya. Lo jangan ngobrak-ngabrik barang gw." pesan Iel.

"iye, iye. Bawel lo" cibir Alvin.

Setelah Iel menghilang dibalik pintu, alvin menimang-nimang sekeping kaset yang ia terima dari Debo tadi siang.

Dengan cepat, setelah kaset itu masuk ke dalam DVD Iel, Alvin segera menekan tombol play.

Satu detik


dua detik


tiga detik


kaset yang di stel alvin tadi, menayangkan gambar-gambar yang membuat dada Alvin seperti dihujam ribuan batu-batu besar, sakit dan sesak. Matanya melebar, tangannya mengepal di samping tubuhnya, Alvin bangkit dari posisi duduknya, apa maksud gambar di depan sana?

Si pembidik objek nampaknya berada di depan dua sosok itu, meski jaraknya tak terlalu dekat, tapi Alvin hafal betul pemilik dua siluet dalam gelap yang muncul dalam gambar didepan sana. Alvin tau, siapa gadis itu, gadis berambut panjang dengan kedua bola mata bening memantulkan cahaya bulan, yang tengah bersandar manja dibahu Iel. Alvin tau, siapa gadis ya tengan dipandangi saudaranya dengan tatapan penuh cinta itu.
Alvin tau,
Alvin tau betul siapa mereka, dua orang yang sedang berpelukan itu, Gabriel dan gadisnya, Sivia Azizah.

Jadi ini kebohongan yang dimaksud Rio?

Tidak percaya dengan penglihatannya, Alvin mengulang pemutaran kaset tadi. Tapi ia tidak menemukan setitik celah pun untuk menyangkal kebenaran gambar-gambar yang bergerat dalam televisi didepannya. Dalam amarah yang berkumpul di ujung kepalanya, Alvin mengingat sesuatu. Dengan tergesa dihampirinya, laptop Iel yang tergeletak pasrah diatas meja belajar Iel. Saat menyala, layar laptop itu menampilkan wallpaper foto Iel dengan seorang gadis. Ah, gadis itu lagi Sivia. Ia nampak sangat cantik dengan dua buah bunga bougenville yang tersemat dirambutnya, serta senyumnya, Alvin belum pernah melihat senyum semanis itu dari Via.

Foto itu diambil beberapa bulan lalu, saat Iel dan Via mengunjungi karantina untuk penderita kanker.

"secret. . ." suara Alvin terdengar berbisik membaca nama sebuah file.

Alvin segera membuka file itu. Memang apa sih isinya?

Pupil mata Alvin mulai bergerak cepat, menyusuri bait demi bait tulisan Iel, termasuk sebuah puisi yg waktu itu belum sempat Alvin baca sampai selesai . . . . .

(part 15)---Lalu apa masalahmu, Gabriel?? Bukankah ini memang pantas untukmu. Bertahan. Hanya itu hal paling indah yang bisa aku lakukan untukmu, SIVIA AZIZAH...

Membaca kalimat terakhir yang tersusun rapi disana, seluruh darah Alvin serasa dipompa naik ke seluruh kepala, rautnya menjadi merah padam.

"pengkhianat lo berdua. PENGKHIANAT !!! Brengsek lo Yel. Brengsek." umpatnya, marah.

Tentu saja marah, sangat marah. Dua orang yang paling berarti untuknya, dua orang yang akan ia lindungi meski harus bertaruh nyawa, Alvin rela menukar apapun yang ia miliki agar kedua bahagia, tapi apa? Apa balasannya?

"AARGGH" Alvin menyampar seluruh benda yang ada diatas meja belajar Iel, hingga. . ..

DUUK

Sebuah kotak cukup besar, bekas sepatu, terjatuh dan mendarat diatas lantai putih kamar Iel.
Isinya pun terkuak, sebuah boneka kayu, surat yang sudah merapuh, beberapa pasang jepit, ikat rambut, jam tangan, sapu tangan dan terakhir secarik kartu berwarna abu keperakan.
Sampulnya sedikit berkilau diterpa sorot murka dari mata Alvin. Beruntung kamar ini belum menyerupah jalur Gaza saat ini. Alvin membukanya perlahan, mencoba mengulur waktu sedikit sambil menguatkan hatinya, ntah kejutan apa lagi yang akan ia dapatkan setelah membaca kartu itu.

Hei Gabriel jelek.
Aku sudah mengembalikan semua barang yang kamu berikan. Sekarang mana? Boleh kan aku mengambil hatiku kembali. Aku membutuhkannya untuk belajar mencintai saudaramu itu -seperti yang kamu minta-
Sivia

habislah sudah !!! Hancur !! Semuanya berakhir !!

Dibohongi, dikhianati, ditipu, dipermainkan, HHAHAHA, apa kirinya yang sangat cocok untuk Alvin lakukan sekarang? Sepertinya ia sangat bingung harus berbuat apalagi. Lihatlah dia hanya bisa diam terpaku. Adakah yang berkenan membantunya?
Apa yang harus dilakukannya, membunuh Iel kah??

"Alvin !!" suara berat itu, sangat jelas ditelinga Alvin, memancing seluruh aura negatif dalam tubuhnya, matanya berkilat menakutkan.
Hawa dingin yang ditawarkan AC itu tak lagi tersisa, yang ada hanya emosi yang memanas.

"gw kan udah bilang, JANGAN OBRAK-ABRIK BARANG GW." bentak Iel, ia segera menarik surat yang tadi di genggam Alvin.

Iel kini terdiam, meresapi getar takut dan khawatir yang kini memeluknya erat.

"kenapa lo tega, Yel?" kata Alvin dengan suara dingin dan ekspresi datar.

"tamatlah gw." vonis Iel dalam hatinya, semua sudah berakhir sekarang, pasti berakhir.
Persaudaraannya dengan Alvin, ntah akan jadi apa nantinya.

"vin, gw bi--"

BUG-BUG-BUG

"PENGKHIANAT LO YEL, BRENGSEK, KALIAN BERDUA BOHONGIN GW, TEGA BANGET LO BERDUA. GW PERNAH SALAH APA SAMA LO YEL, GW SALAH APA??" Alvin meradang, tinjunya terus menerus menghantam tubuh Iel.

"gw rela berbagi orang tua sama lo, tapi lo rebut orang tua gw Yel, mereka lebih sayang sama lo dibanding gw. Lo gantiin gw jadi waketos padahal cuma itu satu-satunya yang bisa gw banggain ke papah, lo pilih Rio jadi vokalis, lo pilih Rio yang gantiin lo jadi kapten basket, padahal lo tau, dua hal itu, cita-cita gw."

"tapi gw terima Yel, gw terima, gw ngerasa gak ada hak buat marah sama lo. Tapi kali ini gw berhak, berhak banget buat marah. Dimana perasaan lo Yel, gimana kalo lo jadi gw?"

alvin mencurahkan semua kekecawaan yang selama ini ia pendam. Baginya selama orang-orang yang ia sayangi bisa tersenyum, semua sudah lebih dari cukup. Tapi semua dibalas dengan kebalikannya.

"maafin gw Vin, tapi gw gak pernah bermaksud kayak gitu, percaya sama gw."

"gimana gw bisa percaya sama lo, lo itu pembohong. Gw bakal suruh orang tua gw balikin lo ke panti, ORANG GAK TAU DIRI." cela Alvin.

"elo yang gak tau diri Vin, elo. Harusnya lo makasih karena gw mau relain Via buat lo."

"apa lo bilang, makasih? Makan nih makasih gw."

BUUGG-BUGG

"cukup Vin, udah." suara Rio terdengar disela raung pertengkaran dua saudara ini. Rio yang mendengar teriakan-teriakan dari bawah, langsung berlari ke kamar Iel, diatas.

"gak usah ikut campur Yo, lo juga pasti kebagian kok tinju dari gw. Sekarang giliran cowok brengsek ini dulu." Alvin menunjuk Iel.

"dia sodara lo vin."

"gw gak pernah punya sodara kayak dia."

di saat Rio dan Alvin masih sibuk berargumen, Iel merasakan pandangannya mengabur, kepalanya berdenyut hebat, nafas tersengal dan sekujur tubuhnya terasa nyeri.

BRUG

Iel jatuh tersungkur.

"Iel. . ." Rio segera berlari ke arah Iel.

"ambulance Vin, ambulance" teriak Rio, panik. Tapi Alvin sama sekali tak bergeming.

"ALVIN !! Panggilin ambulance atau lo bakal nyesel seumur hidup." Rio mengingatkan, tapi sama saja Alvin tetap mematung tak berniat untuk beranjak. Hanya memandang kosong, pada tubuh Iel yang makin memucat.

"keterlaluan lo Vin." Rio menggelengkan kepalanya, dengan tergesa ia berlari kembali kebawah mengambil handphonenya dan segera menghubungi ambulance, untuk melarikan Iel ke Rumah Sakit.


***

0 komentar:

Posting Komentar