Sabtu, 12 Maret 2011

Malaikat Hidup Gue -part 19-

Seakan dè javu, keadaan seperti ini terulang kembali. Bedanya dulu mereka melantunkan doa-doa tulus untuk Ify, tapi sekarang mereka memohon dengan sungguh-sungguh pada Tuhan untuk keselamatan Gabriel. Semua duduk dengan gelisah, tapi tidak ada satu orang pun yang berniat untuk buka mulut, hanya denting hujan yang terdengar berkeracak riuh diluar sana. Rio, Cakka, Alvin, Ify, Sivia, Shilla serta Agni, mereka semua duduk berjejer, memenuhi sebaris kursi berwarna biru yang disediakan pihak rumah sakit, didepan sebuah kamar rawat, flamboyan no 28. Ya, kamar yang Iel bilang rumah keduanya. Saat dilarikan kerumah sakit ini, para petugasnya seperti sudah hafal betul kemana Iel harus dibawa. Setelah menunggu sekitar 59 menit, tepat pada detik ke-24 sebelum genap satu jam mereka menunggu, kenop pintu kamar itu terlihat bergerak, sejurus kemudian daun pintu didepan sana mulai berayun dan berderik terbuka. Seorang dokter yang cukup familiar untuk Rio, keluar dari dalam. Rio segera bangkit dari duduknya, lalu menghampiri dokter tadi. Dari semua yang ada ditempat itu, tentu saja Rio lah yang paling khawatir dengan keadaan Iel, karena memang hanya ia yang tau, bagaimana sebenarnya kondisi sahabatnya itu.

"bagaimana keadaan Gabriel, dokter ?" tanya Rio, cemas.

Dokter bernama lengkap, Fadli Nugraha tadi hanya tersenyum simpul, lalu menepuk pundak Rio beberapa kali.

"tidak perlu khawatir Mario, Gabriel tidak apa-apa. Ia hanya terlambat melakukan transfusi jadi kondisinya sedikit lemah. Seharusnya kemarin jadwal Gabriel melakukan transfusi darah. Setelah di transftsi, nanti sore Gabriel juga sudah diizinkan pulang." jelas dokter Fadli.

"syukurlah.," Rio menghela nafas, lega.

"transfusi ??" lirih seseorang. Rio tehenyak, suara tadi menyadarkannya bahwa saat ini bukan hanya ada ia dan dokter Fadli, di tempat ini. Ada berpasang-pasang telinga, yang ikut mendengarkan percakapan singkatnya tadi.

"kenapa Iel harus transfusi darah ?" suara itu kembali melontarkan sebuah pertanyaan.

"memang ada apa dengan saudara saya, dok ?" karena belum mendapatkan jawaban, suara itu kembali terdengar bertanya.

"apa kamu yang bernama Alvin?" tanya dokter Fadli.

"ya, saya Alvin. Dokter sudah mengenal saya ?"

"ya, tentu saja. Gabriel banyak bercerita tentang kamu pada saya." balas dokter Fadli sambil tetap tersenyum ramah, "maaf Alvin. Kalau selama ini saya terpaksa harus merahasiakan banyak hal dari kamu, tentang Gabriel, tapi ini semua atas permintaannya." lanjutnya.

"sudah saatnya mereka tau, dok." sela Rio.

"ya, tentu Mario, tentu saja." dokter Fadli terlihat mengangguk kecil, sebelum melanjutkan ucapannya, ia menghela nafas berkali-kali, "Gabriel menderita thalassemia major. Semacam penyakit darah keturunan, yang cukup berbahaya."

"apa ?? nggak, nggak mungkin dok. Iel itu se-"

"sehat maksudmu, Alvin?? Ya, penderita thalassemia memang tidak pernah terlihat ringkih diluar, itu karena transfusi darah yang secara rutin harus dijalaninya. Apa kamu pernah melihat Gabriel menggunakan alat, mmh, semacam...suntikan ?" tanya sang dokter yang diamini Alvin dengan sebuah anggukan.

"penderita thalassemia selain harus transfusi dengar rutin, ia juga harus melakukan suntik desferal setiap harinya. Itu untuk mengurangi timbunan zat besi sebagai efek dari seringnya transfusi darah. Atau singkatnya seorang penderita thalassemia major seumur hidupnya akan sangat bergantung pada dua hal itu, transfusi dan suntik desferal."

"apa dokter tidak salah mendiagnosa ? Maksud saya, ya, Iel sama sekali tidak seperti orang sakit." tukas Alvin.

"orang tuamu sudah membawa Gabriel ke-8 rumah sakit bertaraf internasional dan hasilnya sama. Apa kamu masih meragukannya ?"

"jadi orang tua saya sudah tau ?" tanya Alvin, dokter Fadli menganggukkan kepala yang berarti 'iya'.

"dan nggak ada yang ngasih tau gue." lirih Alvin, ditundukkan kepalanya dalam-dalam.

"sekali lagi saya tegaskan, itu permintaan Gabriel sendiri, Alvin."

"la...lalu..se..parah apa keadaan Iel sekarang ?" tanya Alvin hati-hati.

Dokter Fadli menggeleng lemah, perlahan ia melepas kacamata yang sedari tadi membingkai matanya yang tegas.

"saya selalu benci pertanyaan ini." kata dokter Fadli, berat. Terlihat ia begitu enggan untuk bicara lebih lanjut dan
memaparkan semuanya, "Gabriel, ya...dia sudah saya anggap sebagai putra saya sendiri." dokter Fadli, malah memberikan potongan kalimat yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan Alvin sebelumnya.

"dok, Iel masih bisa sembuh kan?" tanya Alvin, penuh keyakinan.

Dokter Fadli menggeleng, "sejauh ini bahkan belum ditemui solusi lain untuk penderita thalassemia major, selain transfusi. Kalau kamu ingin tau separah apa kondisi Iel saat ini, jawabannya hanya dua kata, sangat parah." balas dokter Fadli, getir. Hati Alvin mencelos, lututnya serasa gemetar dan seluruh tubuhnya lemas.

"Iel sudah mengalami gagal jantung, jantungnya tidak lagi bisa bekerja secara normal. Karena jantungnya sudah tidak bisa berfungsi secara sempurna, terjadi pembengkakan pada organ krusial lainnya. Seperti hati dan limfa. Tulang-tulangnya juga semakin rawan patah dan sangat rapuh." tutur dokter Fadli, menjelaskan.

Semua orang -kecuali Rio- yang sejak tadi ada disana, dan menjadi pendengar yang baik, tanpa berani membuka mulut untuk ikut berkomentar, kini menampakkan respon yang hampir sapa. Ternganga tak percaya ?
Benarkah ? Benarkah ada penyakit seperti itu ditubuh Iel ?
Saking tidak percaya, Cakka sempat mencubit tangannya sendiri dan meringis kesakitan sesudahnya. Berarti ini bukan mimpi.

"tapi saya selalu salut pada Gabriel. Aktivitasnya tidak sedikit, tapi ia tetap bisa bertahan sampai usianya yang hampir 17 tahun. Padahal pada umumnya penderita thalassemia major hanya mampu bertahan sampai usia 8 tahun. Ia tidak pernah mengeluh, dan setiap saya bertanya pada Gabriel, tentang apa yang menjadi motivasi untuknya, dia hanya akan selalu menyebut satu nama...." dokter Fadli, tersenyum lembut, "Alvin. 'Alvin saudara saya yang paling hebat, saya tidak akan meninggalkannya sendiri', Gabriel selalu berkata demikian." jelas dokter Fadli.

Alvin membisu. Sebesar itukah rasa sayang Iel padanya? Tapi Alvin? Hanya karena seorang gadis, Alvin tega memukuli Iel sampai ia terkapar di rumah sakit. Disatu sisi, hatinya mulai trenyuh, tapi sisi yang lain menyangkal habis-habisan.

"dia sudah membohongimu Alvin. Dokter Fadli pasti hanya menambah-nambahi, kalau Iel menyayangimu, ia tidak akan pernah tega menyakitimu." suara ghaib semacam itu muncul dan terus berpusar diotaknya.

"jangan berkecil hati. Sekarang kalian sudah tau kan bagaimana kondisi Gabriel ? Dia tidak butuh tangisan, tapi dia butuh doa dan semangat dari kalian. Percayalah, mukjizat itu akan selalu ada. Baiklah, saya permisi dulu kalau begitu. Selamat siang." pamit dokter Fadli. Setelah melempar seulas senyum, beliau berlalu. Jas putihnya berayun lentur mengiringi tubuhnya yang perlahan menjauh.

"hiks, hiks. Iel..." isakan tertahan itu berasal dari seorang gadis yang bersembunyi dibalik bahu Ify.

"sabar ya, Vi..." Ify mencoba menenangkan sahabatnya itu.

Rio sudah menjelaskan semuanya, perihal Iel dan Via pada teman-temamannya. Ia terpaksa mengingkari janjinya pada Iel. Toh, cepat atau lambat semua juga akan tau. Dari pada mereka mendengar versi Alvin, yang tidak objektif pastinya, jadi akan lebih baik dan adil, kalau Rio yang menceritakannya.

isakan kecil milik Sivia tadi, ternyata mampu menyulut kembali bara yang tadi sudah hampir padam di hati Alvin. Alvin mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"lo udah tau semuanya, Yo ?" tanya Alvin datar.

Rio tidak menjawab.

"ikut gue, Yo !!" pinta Alvin.

"Vin, kontrol emosi lo." ujar Cakka mengingatkan, ia tau kilatan emosi itu masih meletup-letup, terlihat di kedua manik mata Alvin.

"ikut gue, Mario." Alvin mengulangi ucapannya. Ia lalu berjalan lebih dulu, mengabaikan tatapan-tatapan memohon dari teman-temannya. Rio, dengan terpaksa, mengekor dibelakang.

Kedua pemuda ini, lalu berhenti tepat di taman rumah sakit ini. Taman itu sepi, mungkin karena hujan yang belum juga mereda jadi tidak ada yang berkenan mengunjunginya. Dalam beberapa detik saja, baju Alvin dan Rio sudah langsung basah kuyup disembur air hujan. Sepatu mereka juga sudah dipenuhi lumpur, hasil genangan-genangan air yang bercampur tanah.

"sejak kapan lo tau Iel sakit ??" tanya Alvin.

"gue juga ba-"

BUGG

Tinju Alvin mendarat tepat di ulu hati Rio, sebelum Rio sempat melanjutkan jawabannya.

"sejak kapan elo tau kalau Via sama Iel selingkuh dibelakang gue ?"

"Vin, maafin gu-"

BUGG

Pukulan Alvin lagi-lagi menghujam tubuh Rio. Rio terhuyung dan jatuh tersungkur di tanah. Lumpur kecoklatan, langsung bercipratan dan memulas kemeja putihya.

"lo pikir, elo tu siapa sih Yo, heuh? ELO TU BUKAN SIAPA-SIAPA. ELO CUMA ORANG BARU." raung Alvin.

Rio masih berusaha untuk bisa bangun, tapi BUGG.
Lagi-lagi, kepalan tangan Alvin menderanya. Kali ini, tepat di pelipis kanan Rio. Seperti di film-film kartun, Rio merasa banyak burung-burung berputar-putar disekitar kepalanya.

"BANGUN LO !!" sentak Alvin.

"berhenti mukulin gue, Vin. Berhenti !!" seru Rio, gusar, "apa lo pikir, gue mau, gue seneng ? Karena jadi satu-satunya orang yang tau rahasia Iel. Nggak Vin, nggak sama sekali." tandas Rio.

"cih, ada hak apa lo minta gue berhenti mukulin lo. Orang kayak elo tu pantes dihajar."

"ELO YANG PANTES DIHAJAR, ELO GAK TAU TRIMAKASIH." cerca Rio.

"sialan lo..."

tangan Alvin sudah melayang diudara, mengambil ancang-ancang untuk segera mendarat di bagian manapun, dari tubuh Rio.

"jangaaann," teriak seorang gadis, membuat kepalan tangan Alvin terkunci diudara.

"cukup Vin, cukup. Gue mohon." pinta gadis tadi.

"diem lo, Fy. Gak usah ikut campur, kalo elo gak mau kena pukul." gertak Alvin.

"gue gak takut, Vin. Silakan kalo elo mau pukul gue." balas gadis tadi lantang, Ify.

"shit." umpat Alvin, sambil mengeksekusi tinjunya di udara.

"elo tu childish banget sih, Vin. Elo tu udah dewasa Vin, harusnya lo mikir dulu kalau maju ngehajar orang. Elo salah sasaran, tau." ujar Ify, tegas.

"kesalahan Rio gak sefatal yang ada di otak lo. Soal penyakit Iel, kalau pun ada orang yang paling pantes buat dipukulin. Itu orang tua lo. 17 tahun mereka nyembunyiin semuanya dari lo. Dan soal Via. Harusnya dia yang lo pukul, kenapa dia gak jujur dari awal kalau dia gak cinta sama lo? buka mata lo, Vin." tutur Ify panjang lebar. Bak pengacara profesional, Ify benar-benar total membela kliennya agar lolos dari sanksi apapun.

"gue gak peduli, gak-pe-du-li. Buat gue Rio tetep salah." sanggah Alvin.

Ify tersenyum sinis, "elo cuma nyari orang buat melampiaskan emosi lo, iya kan? Dasar labil. Pantes aja Via lebih suka sama Iel"

"apa maksud lo?"

"maksud gue, elo ABG labil. Beda banget sama Iel yang dewasa dan peduli banget sama perasaan orang-orang disekitarnya. Jelas ??"

"hahaha," Alvin tertawa mengejek, "Ify, Ify. Nggak usah sok ngomentarin gue deh. Elo pikir, elo gak labil. Mau-maunya lo dimanfaatin Rio. Dan parahnya elo malah jatuh cinta sama dia, ckckck. LABIL LO !!" cibir Alvin, sambil melempar sebuah senyum miring tak bersahabat. Setelah itu, Alvin pergi. Meninggalkan Ify dan Rio yang sama-sama terpaku, mendengar pernyataan Alvin barusan.

Rinai hujan masih bergulir. Meski tidak sederas tadi, tapi sekujur tubuh dua anak manusia ini sudah terlanjur basah kuyup. Sama halnya seperti perasan mereka yang terlanjur tergelincir telalu jauh dalam lubang yang mereka buat sendiri. Rio dengan kecamuk rasa bersalahnya, dan Ify dengan perasaannya, yang selalu mendesak minta diungkapkan.

"Fy.," suara berat itu menyerukan nama Ify.

Ify diam saja, tidak berniat menoleh atau menyahut. Ia menunggu kelenjar air matanya untuk berhenti berproduksi terlebih dulu. Tidak sabar dengan respon diam yang ditunjukkan Ify, rio berjalan menghampirinya. Berdiri tepat dihadapan gadis itu. Perlahan dengan ibu jari dan telunjuknya, diangkat dagu tirus Ify, hingga kedua manik mata mereka bertemu.

"apa yang dibilang Alvin tadi gak bener kan Fy ??" tanya Rio lembut.

Bukannya menjawab, Ify malah menangis. Air matanya membaur dengan air hujan yang dengan brutal, menyentuh wajah cantiknya.

"nggak Fy, gue mohon. Ayo Fy, bilang kalau itu semua gak bener. Plis Fy." batin Rio.

"Fy..." Rio kembali menyerukan satu suku kata itu, potongan dari nama Ify.

"Fy, dengerin gue. Elo nggak boleh say-"

"diam Mario, diaaam." sentak Ify, tiba-tiba, "lo pikir elo siapa Yo ? Elo selalu ngelarang gue suka sama lo, apa hak lo, heuh? Gue udah terlalu sering dengerin elo Yo, sekarang elo yang harus dengerin gue."

"tapi Fy, elo salah kalau sayang sama gu-"

"kenapa Yo ? Kenapa gue yang salah ? Elo Yo, yang salah. Elo terlalu sempurna, terlalu sulit bagi cewek normal buat gak suka sama lo. Dan gue masih normal."

"tapi elo tau kan Fy, gue gak sesempurna itu...gue..."

"gue tau Yo, gue tau banget. Tapi itulah bodohnya gue, bahkan elo tetep sempurna dimata gue, padahal elo udah nunjukkan semua sisi buruk lo. Dan kalau bisa milih gue juga gak mau Yo, sayang sama orang yang gak pernah mau melepas masa lalunya. Gue juga capek, Rio. Capek. Hiks, hiks."

"kalau gitu berhenti Fy, berhenti sayang sama gue. Berhenti !!"

"GUE UDAH COBA RIO, TAPI SUSAH YO, SUSAH. KENAPA SIH LO GAK NGERTI JUGA ?"

"Fy, ini tu salah. Elo cuma bakal nyakitin diri lo sendiri."

"gue gak takut Yo. Toh, gue udah sering sakit. Apa setiap elo cerita panjang lebar tentang Dea, setiap elo mangil-manggil nama Dea, setiap lo bandingin gue sama Dea, apa lo pikir gue gak sakit ?"

"Fy, gue mohon, lupain semua perasaan elo buat gue, karena gue gak mungkin bisa bales semua itu. Gue gak bisa lepasin masa lalu gue."

"sampai kapan sih Yo, lo mau kayak gini? Gue selalu berusaha ada buat lo, tapi kenapa si masa lalu itu yang selalu nomer satu dihati lo?"

"Fy.... Dea itu segalanya buat gue dan gak akan pernah ada yang bisa gantiin dia." lirih Rio, sambil menunduk dalam.

"fuiihh" Ify menghembuskan nafasnya, detik berikutnya ia tersenyum simpul.
Kedua bola matanya menatap lembut pada pria didepannya.....

Kali ini..
Hampir habis dayaku
membuktikan padamu
ada cinta yang nyata
setia...
hadir setiap hari
tak tega, biarkan kau sendiri
meski sering kali kau malah asik sendiri.

Satu bait lagu itu, entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba mengalun begitu saja dari bibir Ify yang membiru karena dingin, tangannya mulai bergerak, menelusuri setiap lekuk sempurna wajah Rio, yang dipahat dengan indah oleh Sang Pencipta.

"OK. Gue nyerah Yo. tapi walaupun bukan gue, gue tetep berharap suatu saat akan ada orang lain yang bisa buka hati lo. dan  lo perlu tau satu hal Yo, gue-"

"RIO, IFY..." suara teriakan seorang gadis, membuat Rio dan Ify reflek, menoleh.

"Rio, kok ujan-ujananan sih ? Terus itu muka lo kenapa ?" gadis itu tampak cemas, ia segera memayungi tubuh Rio dengan payung ungu kotak-kotak yang dibawanya.

Ify tersenyum miris.

"mungkin dia orangnya ya, Yo." batin Ify. Tanpa sepatah kata pun, dengan setengah berlari, Ify segera pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum air matanya semakin sulit dikontrol, dan dadanya semakin sesak.

"masalah lo berdua belum selesai ya ?" tanya gadis tadi hati-hati. Tangan kanannya mulai sibuk membersihkan darah yang menitik disudut bibir Rio.

Rio menggeleng lemah, "emang gak ada yang perlu diselesaikan, Shil, kita gak pa-pa." jawabnya singkat.

"oh, OK. Ya udah, masuk aja yuk, jangan disini terus. Entar lo malah sakit lagi." saran gadis tadi, Shilla.

"Shil, emang tampang gue nyebelin banget ya? Kok kayaknya orang-orang seneng banget nonjokkin gue." celetuk Rio sambil mencoba menggerak-gerakkan rahangnya yang terasa sakit dan kaku.

"hehehe," Shilla tertawa kecil, "nggak kok Yo. Mungkin elo terlalu ganteng Yo, jadi pada ngiri gitu sama lo." ceplos Shilla.

"ck, bisa aja lo, Shil." timpal Rio diiringi seulas senyum.

Keduanya terus berjalan, menapaki rerumputan yang terlihat makin segar setelah tersentuh air hujan. Cipratan-cipratan air mengekori setiap langkah kaki mereka. Tangan kanan Shilla melingkari lengan kiri Rio. Dan tanpa bisa ditampik, sulur-sulur rasa hangat mulai merambat dan meliliti tubuh Rio, selepas kepergian serta pengakuan Ify yang sempat membuatnya beku.

***

Lelahmu...
Jadi lelahku juga
Bahagiamu, Bahagiaku pasti
Berbagi...
Takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati

Kali ini...
Hampir habis dayaku
Membuktikan padamu
Ada cinta yang nyata
Setia, hadir setiap hari
Tak tega, biarkan kau sendiri
Meski sering kali
Kau malah asik, sendiri...

Ify teruduk dalam diam, dikamarnya. Tidak seperti bibirnya yang terkatup rapat, hatinya masih saja sibuk ber-orasi, sibuk memaki kebodohannya.

"hei, Ify. Bukankah Rio telah melarangmu jatuh cinta kepadanya berulang-ulang kali ? Sekarang apa yang bisa kamu lakukan, menangis ? Cengeng kamu, rasakan !! Rasakan Ify !!" cercaan itu seakan terus bergaung dalam hatinya dan menjalari seluruh tubuhnya.

Ah, rasanya hidup manusia akan benar-benar lebih mudah, tanpa sebentuk hati.
Titipan Tuhan yang satu itu benar-benar merepotkan. Kadang mau tapi malu, benci tapi rindu, galau, resah, nah bagaimana tidak merepotkan coba kalau manusia harus merasakan hal-hal seperti itu, dan itu semua gara-gara yang bernama hati itu tuh.

Sama seperti Ify saat ini. Dengan seenaknya hatinya telah memilih, terlanjur mematri satu nama dan tak berniat sedikitpun untuk menggantinya dengan nama yang lain. Tapi sayangnya, pemilik nama itu tidak lagi memiliki sebentuk hati yang utuh untuk diserahkan pada Ify. Pemilik nama itu, terlanjur menggadaikan hatinya, pada masa lalu.

Ify jadi teringat sebait lirik dari salah satu lagu histnya Kerispatih, "mencoba memahami, bimbangmya nurani 'tuk pastikan semua..."

ya, memahami bimbangnya nurani? Berulang-kali sudah, Ify mencoba memahami segalanya, tapi hingga detik ini kepastian itu tak kunjung ia temukan. Malah Ify, mendapati dirinya terseret semakin jauh dalam kebimbangannya. Jadi, apa sebenarnya yang harus Ify lakukan? Harus bertahankah? Atau ini saatnya menyerah dan mulai belajar melupakan pemilik nama itu?

Rinai air hujan, hanya satu-satu terdengar membentur atap-atap rumah. Mendung nampaknya juga masih bingung, akan mencurahkan air langit habis-habisan malam ini, atau menyimpannya, agar esok denting dawai alam itu masih bisa bernyanyi. Mengghibur hati-hati yang sendiri, agar tidak terpuruk dalam kesepian.

"aku kira aku kuat Yo, aku kira aku cukup kuat buat nyimpen perasaan ini sendirian." suara parau Ify mulai terdengar, menggeser serpihan hening yang tadi berkuasa di kamar ini, "kenapa aku harus bersaing sama masa lalu itu Yo ? Masa lalu yang gak pernah mau mati ? Kenapa kamu gak mau liat aku ? Aku yang selalu berusaha ada disamping kamu."

Benar kata orang, pelangi itu hanya untuk dinikmati bukan untuk dimiliki. Begitu pula Rio untuk Ify. Ia hanya untuk dilihat dan dikagumi dari jauh, tidak untuk direngkuh. Karena semakin Ify merusaha mengejar, indahnya akan semakin nyata, tapi jarak yang terbentang akan semakin jauh. Rio sama sekali tak akan terjamah dan tergapai olehnya.

Seiring dingin yang mulai menggelitiki kulitnya, kenangan-kenangan itu pun berkelebatan minta ditengok kembali oleh Ify.

Ulangan fisika, air matanya, boneka spongebob, Dea, senyuman Rio, rekamam Debo, usapan lembut dipuncak kepala Ify, payung Shilla.

Semua hal itu berlomba menyerbu otak Ify, seakan ingin mempertegas siapa yang paling juara, kenangan yang maniskah atau yang pahit ??

"aku harus gimana, Yo ?" lirih Ify, terdengar pasrah. Kedua tangannya semakin erat melingkari lututnya.

Ada yang bilang obat paling aman dan manjur untuk seseorang yang patah hati adalah menumbuhkan cinta pada orang yang juga pernah merasakan patah hati.
When you ever broken hearted, effeccacious charm for it you must make love for somebody who also ever broken hearted.

kalau ungkapan itu benar, berati Ify harus segera berpaling dari Rio, dan mencari orang yang senasib denagannya. Orang yang juga pernah patah hati ??

Tapi siapa?
Apa.... Alvin??

Tok-tok-tok

pintu kamar Ify, terdengar diketuk pelan.

"non Ify, ada mas Rio..."


Hampamu...
Tak 'kan hilang semalam
oleh pacar impian
tetapi kesempatan
untukku...
Yang mungkin tak sempurna
tapi, siap untuk diuji
ku percaya diri
cintaku lah yang sejati...


Dibelahan bumi yang lain, seorang pemuda melakukan hal yang hampir sama dengan Ify. Membisu dalam kamarnya yang gelap. Bukan, bukan karena keluarganya belum membayar tagihan listrik. Tapi pemuda ini, memang tak berniat sama sekali untuk menyentuh saklar lampu. Ia terlalu takut. Takut slide-slide bayangan pengkhianatan dan kebohongan itu akan semakin nyata bila memperoleh pijar sinar lampu.

Alvin. Ia masih asik dengan 2 benda yang sama, ditangannya. 2 lembar foto, fotonya dan Iel, serta fotonya dengan Via. Sudah bisa ditebak, posisi duduk bersandar dengan tatapan menerawang semacam ini bukan baru beberapa menit berlangsung, tapi pasti sudah berjam-jam lamanya.

"semuanya udah gue lakuin Vi, buat lo. Cuma buat lo. Apapun gue kasih buat lo. Tapi..." Alvin terdiam, sebentar. Ia menarik nafas, mengambil oksigen yang tersedia di udara sebanyak mungkin sebelum ia melanjutkan racauannya, "Apa gue mesti ganti muka gue Vi, biar mirip Iel, baru lo bisa sayang sama gue ? Jawab Via, jangan diem aja." seperti orang yang sudah tidak waras, Alvin berbicara sungguh-sungguh pada selembar foto, dan detik-detik berikutnya, Alvin terdiam seperti menunggu sebuah jawaban dari foto itu.

Ah, gadis putih berlesung pipi itu benar-benar sudah berhasil memporak-porandakan otak dan hati Alvin.

Andai ada yang mau mengerti, sedikit saja. Dibalik letupan emosinya, dibalik sorot kemarahannya, dibalik umpatan-umpatan kecewanya, ada yang lebih dalam dari itu. Luka yang lebih dalam, dari apa yang bisa orang bayangkan. Sakit, menyesakkan. Entah sampai kapan luka yang terlanjur membekas itu akan terus menganga. Entah berapa guliran waktu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka itu.

Alvin. adakah yang mau peduli padanya, atau berkenan sedetik saja untuk membayangkan bagaimana perasaan pemuda ini. Kepercayaannya hanya dihargai bualan-bualan manis tanpa makna. Ketulusannya hanya dibalas senyum-senyum dari topeng yang sengaja dipasang lakon-lakon sandiwara, untuk mengelabuinya.

JEDDEERR

Kilat, seakan membelah angkasa. Disusul gemuruh petir menggelegar, yang menggetarkan kaca-kaca berbingkai kusen kayu.

Seakan bolham berukuran 1000 watt muncul diotaknya, pemuda berparas oriental itu, bangkit. Sejurus kemudian, ia meraih kunci motornya dan dengan cepat Alvin sudah menghilang dibalik pintu. Sepertinya keperkasaan petir tadi, telah memberikannya keberanian untuk melakukan sesuatu.


Kau selalu meminta
terus ku temani
dan kau s'lalu bercanda
andai wajahku diganti
kau melarangku pergi
karna tak sanggup
sendiri...


Saat manusia normal di seantero kota ini mulai berhenti dengan aktivitasnya dan berniat segera membungkus diri dalam balutan selimut tebal. Seorang gadis malah terjaga dari tidur singkatnya, ia mulai menggeser guling empuk yang sejak tadi dipeluknya. Pukul 21.15, ah, berarti baru sekitar 45 menit ia tertidur.

"CK" ia berdecak kesal, karena matanya sepertinya tidak ingin diajak terpejam lagi.

Perlahan, dijejakkan kedua kakinya pada lantai. Dingin, sangat dingin. Gadis itu lalu berjalan gontai kesudut kamarnya. Ya, mungkin untuk orang sepertinya lah, pepatah 'hidup enggan mati pun segan' tercipta. Kalau ada kontes berjalan mirip zombie, bisa dipastikan gandis berkuncir kuda inilah yang akan keluar sebagai juara.

Kedua tangannya kini mulai sibuk dengan benda bulat berwarna orange yang tadi diambilnya dari sudut kamar. Duk-buk-duk,
suara pantulan bola basket yang bergerak centil ditangannya, membuat gadis ini tersenyum tipis.

"Agniii....jangan main basket malem-malem dong sayang, berisik..." teriakan mamanya dari luar itu, membuat gadis tadi, dengan terpaksa harus menghentikan aktivitas yang sedikit bisa menghiburnya.

Agni. Kini ia memilih untuk kembali merebahkan tubuhnya di tempah tidur, "fuhh" ia menghembuskan nafas, dengan gusar. Berharap rasa lega akan segera menelusup memenuhi rongga dadanya yang sudah longgar, karena gas karbondioksida baru saja ia keluarkan.

Tapi alih-alih menjadi lega, dadanya malah terasa semakin sesak juga sakit, seperti dihimpit batu-batu besar dan panas. segala hal tentang Cakka, bak Sianida. unsur beracun itu  akan lebih dulu  menenuhi rongga dadanya, lebih cepat diikat oleh sel darah merahnya dan secara langsung akan segera tersebar ke setiap inci tubuhnya.

"lo tau Kka, satu-satunya hal yang pengen banget gue lakuin sekarang adalah bales semua perbuatan lo Kka, semuuaanya..." batin Agni.

Agni memandangin langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos tanpa detail, "andai diotak gue ada tombol delete," lirih Agni, berandai-andai, "pergi sebentar bisa kali ya, Kka. Gue pengen tidur, jadi stop. Stop bayang-bayang lo, gangguin hidup gue. Pergi lo jauh-jauh, bawa sekalian sakit hati yang lo kasih buat gue." Agni menutup wajahnya dengan bantal. Merasa sudah cukup lelah dengan fikiran-fikirannya sendiri tentang satu objek yang  sama, Agni pun tertarik untuk mencoba kembali tidur.

"good night Cakka, have a nice dream." lirih Agni, lalu menarik selimut tebalnya hingga menutupi seluruh tubuhnya.

Namun tak kau lihat
terkadang malaikat
tak bersayap
tak cemerlang
tak rupawan
namun kasih ini
silahkan kau adu
malaikat juga tau
aku...
'kan jadi, juaranya...

***

Sivia masih berkutat dengan kertas dan pulpen, dimeja belajarnya. Meski kedua matanya sudah memerah, merajuk meminta dipejamkan, tapi Via sama sekali tidak berniat untuk segera bangkit dari kursinya dan berbaring diatas kasur. Kemelut fikiran yang berseliweran diotaknya, Via yakini tidak akan membuatnya terlelap dengan mudah. Jadi, ia memutuskan untuk mengerjakan tugas mengarang prosa yang diberikan guru bahasa Indonesianya.

Tik-tok, tik-tok

jarum detikan berwarna merah pada jam berbentuk pinguin yang terpajang di sisi meja belajar Via, terus bergerak. Sedangkan jarum pendek dan jarum panjangnya tampak berhimpitan diangka 10.

Sivia berhenti dari aktivitas menulisnya, dipandangi kertas yang sudah terisi susunan kalimat-kalimat hampir 3/4nya. Pupil matanya mulai bergerak, menyunting ulang setiap tanda baca ataupun huruf-huruf yang mungkin telah salah ia bubuhkan. Dan ternyata, benar saja. Banyak sekali kesalahan pada karangannya kali ini, dan kesalahan-kesalahan yang tertera disana semakin mempertegas bahwa otaknya memang sedang tidak mau diajak berkomromi, barang sebentar. Tidak mau bekerja, selain memikirkan kedua pemuda itu. Huh, bagaimana bisa dalam karangan yang ia tulis, nama Iel ataupun Alvin terbubuh begitu saja dibeberapa bagian. Bahkan kalimat terakhir yang baru beberapa detik lalu Via tuliskan membuatnya tercekat sendiri.
'maafin aku, Alvin.'

Astaga !! Sebesar inikah rasa bersalah yang harus ia tanggung ??

Semoga saja kau
kan kau dapati
hati yang tulus mencintaimu
tapi bukan, Aku....

Alunan suara merdu milik sammy terdengar dari handphone Via yang sudah mengerjap-ngerjap dengan tidak sabar.

Panjang umur sekali pemuda ini. Baru saja partikel-partikel tubuh Via, riuh rendah membicarakannya, ekh sekarang orangnya telfon.

"ha..halo, Vin?" sapa Via sedikit gugup.

Tidak ada sautan dari ujung telfon sana.

"halo, Alvin ?" Via mengulangi sapaannya.

Tetap bisu. Hening. Rasa cemas mulai menyerang Sivia. Jangan-jangan ada apa-apa dengan Alvin.

"Alvin, ha-"

aku memang terlanjur mencintaimu
dan tak pernah kusesali itu
seluruh jiwa telah ku serahkan menggenggam janji setiaku

belum sempat Sivia menyelesaikan sapaannya yang ketiga, suara lembut Alvin terdengar lirih, ditelinga Via. Gleek. Via menelan ludah. Entah perasaannya saja, atau memang benar, suara Alvin bergetar seperti menahan sesuatu. Sarat akan nada getir dan pedih, membuat Via tak kuasa menahan lelehan air matanya.

"Vin, aku min-"

ku mohon jangan jadikan semua ini
alasan kau, menyakitiku
meskipun cintamu
tak hanya untukku
tapi cobalah
sejenak mengerti...

Tidak diberi kesempatan untuk bicara, Via memutuskan untuk hanya menjadi pendengar yang baik. Ia mulai bangkit dari kursinya. Dan, entah didorong oleh apa atau siapa, Via malah menghampiri jendela kamarnya, yang dihalangi gorden putih susu. Via menyibaknya perlahan. Ia ternganga...

Bila rasaku ini rasamu
sanggup kah engkau ??
Menahan sakitnya terkhianati cinta yang kau jaga

coba bayangkan kembali
betapa hancurnya hati ini, kasih
semua telah terjadi

Alvin. Pemuda itu berdiri dihalaman rumah Via, dibawah guyuran air hujan. Tapi Via tidak segera menghampirinya, memayungi Alvin dan mengajaknya masuk. Via malah terpaku ditempatnya, dengan tatapan nanar diawasinya Alvin yang berdiri ditemani keremangan diluar sana. Detik berikutnya Via terduduk lemas di lantai, kepalanya terkulai bersandar pada dinding, isakannya semakin jelas, bahkan Alvin pun pasti bisa mendengarnya di ujung telfon.

"cukup Vin, aku mohon. Cukup... Maafin aku Vin, aku mohon..." pinta Via. Ia ingin Alvin segera menyudahi lagu itu. Tapi Alvin sepertinya tidak peduli, apa yang dirasakan Via saat ini tidak ada seujung kukupun dari apa yang ia rasakan. Lagu itu mulai detik ini, bisa dipastikan akan langsung masuk playlist lagu yang Via benci dan akan langsung menduduki posisi pertama, mungkin.

Ku mohon jangan
jadikan semua ini
alasan kau, menyakitiku
meskipun cintamu
tak hanya untukku
tapi cobalah sejenak mengerti

bila rasaku ini rasamu
sanggupkah engkau ??
Terkhianati cinta yang kau ja-

klik

Via terpaksa menekan tombol merah untuk segera mengakhiri telfon, dengan kasar. Setelah itu, Via menon-aktifkan handphonenya. Ia tau itu sama sekali tidak sopan, tapi mau bagaimana lagi ??

"maafin aku, Vin. Aku udah kecewain kamu, aku bikin kamu sedih. Maaf Vin, maaf.."

entah sudah untuk yang keberapa ratus kali kata maaf itu terlontar. Tapi sungguh. Sebanyak apapun Via merapalnya, tidak akan merubah apapun. Hanya akan mempertegas kenyataan, bahwa ia SALAH dan kesalahannya telah menghancurkan hidup orang lain.



Memilihlah, selagi kamu masih di beri kesempatan untuk itu.
Karena sejatinya, hidup adalah pilihan.
Bila sedetik saja kamu terlambat menentukan.
Maka takdirlah yang akan ber-andil.
Dan saat itu, bukan lagi saatnya untuk memilih, tapi saatnya kamu melepaskan salah satunya.

***

Seakan mendukung euforia yang akan segera tercipta, cuaca hari ini sangaaaaatt cerah. Matahari berkilau hangat, arak-arakan awan putih cemerlang berpatroli memutari angkasa, seperti telah siaga untuk segera mengusir gumpulan mendung yang nekat muncul hari ini. Angin bertiup semilir, seakan menbisikkan kata-kata semangat untuk semua peserta pertandingan. Selayaknya pertandingan basket pada umumnya, para suporter pasti berlimpah ruah. Apalagi ini pertandingan akhir, pertandingan final antara SMA Citra Bangsa dengan SMA Yos Sudarso.

Tapi berbeda dengan alam yang sangat antusias menyaksikan pertandingan puncak yang akan segera berlangsung dalam waktu kurang dari 30 menit lagi, Cakka malah nampak putus asa.

"bagaimana Cakka, apa mereka sudah bisa dihubungi ?" tanya sang pelatih, gusar.

Cakka menggeleng lemah.

Semua yang berada di ruangan yang terdiri dari barisan loker-loker itu, terlihat sama cemas dan kesalnya dengan Cakka.

"udah Kka, gue main aja ya. Gue bisa kok." usul Iel.

"nggak !!" tegas Cakka.

"Kka, gue gak selemah yang lo fikir. Plis, izinin gue main." desak Iel

"Yel, gak ada yang bilang lo lemah. Tapi lo baru keluar dari rumah sakit, lagian lo udah janji kan, sama kita. Lo cuma bakal nonton pertandingan final ini, dan gak akan ikut main." ujar Cakka, yang diamini dengan anggukan teman-teman yang lain.

"iya, Yel. Kamu gak usah main ya... Alvin sama Rio pasti bakal dateng kok. Mungkin kejebak macet." tambah Via.

"ini, ini... Rio, Rio telfon gue." Ozy segera menyodorkan telfonnya pada Cakka.

Ya, mengingat Iel tidak bisa bermain, dan permainan Ozy dibabak penyisihanwaktu itu cukup baik, pelatih merekrut Ozy untuk bergabung dengan tim inti.

"halo Yo, lo dimana?.......Lho, emang kenapa kalo gue yang angkat?......APA?? Yo, lo jangan bercanda deh." Cakka memandangi teman-temannya satu persatu.

"Rio, lo jangan macem-macem deh. Siapa yang bilang gitu? Kita semua tuh sayang sama lo........Yo, RIO !! Lo dimana ?? RIO, jangan ditutup Yo, Mario !!!"

tuttut.tuttut.

"aaargh SHIT." saking kesalnya, Cakka melempar Handphonenya. Benda elektronik itu langsung pecah menjadi beberapa bagian setelah beradu dengan lantai.

"Rio.....aargh, anak itu kenapa sih ??" Cakka malah mengacak-acak rambutnya.

"ada apa sama Rio, Kka?" tanya Ify.

"Rio bilang dia mau pergi... tapi nggak mau kasih tau dia mau kemana, gue takut kalo dia ngelakuin hal yang nggak-nggak." jawab Cakka.

"ja..jadi.. Rio beneran pergi ??" Ify langsung terduduk lemas dikursi panjang yang berada dekat, di sampingnya.

Shilla berbalik dan segera keluar dari ruang ganti baju itu, "maafin gue. Maafin gue Fy.. Maafin gue semua.. Gue terpaksa..." batinnya, menyesal.


***

0 komentar:

Posting Komentar