Sabtu, 12 Maret 2011

Adakah Yang Sempurna ?? (part 2)

***

saat yang indah hanya menyapamu diawal,
tapi tak pernah menemanimu lagi sepanjang perjalanan dan tak juga menunggumu diakhir,
apa yang akan kamu lakukan?

Dua jempol dariku jika kamu masih bisa mengeja nama Tuhan, tanpa getar protes dan tuduhan.

***

"selamat malam bu, selamat malam Alyssa." sapa dokter itu ramah.

Apa??
Oh iya,
aku sampai lupa mengenalkan namaku,
Alyssa Saufika Umari.
Indah kan, namaku?
3 kata itu katanya, didapat kedua orang tuaku dari Al-Qur'an. Ya. . .walaupun aku belum tau secara pasti makna dibalik namaku itu, tapi aku yakin ada seuntai doa yang disematkan kedua orang tuaku didalamnya. I-F-Y. Satu huruf vokal yamg disusul 2 huruf konsonan. 3 huruf itulah penyusun nama panggilanku, Ify.

"bagaimana keadaanmu Alyssa?" tanya dokter tadi dengan senyum menawan.

"panggil saya Ify saja dok, rasanya aneh di panggil Alyssa. Saya baik-baik saja, dan akan jauh lebih baik bila segera keluar dari tempat ini tentunya." jawabku seraya menyeringai lebar.

Dengan sudut mataku, aku menangkap siluet milik Ayah, Acha dan Kak Riko yang menari didinding putih kamar ini, perlahan siluet itu terus bergerak mendekat sampai para pemilik bayangan tadi kini berdiri nyata didepanku.

"bu, pak. Bisa saya bicara dengan anda berdua, diruangan saya, sekarang juga." suara berat berwibawa itu kembali terdengar diantara suara-suara berderik binatang malam.

"ada apa dok? Bicarakan saja disini. Keluarga kami sangat terbuka. Jadi tidak perlu ada yang dibicarakan secara tertutup. Toh kami nantinya akan tau juga, iya kan yah, bun?" usul Kak Riko.

Sip. Masku ini tau saja keinginanku.

"iya Man, kalo ada yang sekiranya penting, bicarakan saja disini, agar aku tidak perlu menjelaskan lagi pada putra-putriku yang bawel ini." pinta ayah pada dokter Aiman.

"baiklah" sang dokter terdengar pasrah, ia segera membuka amplop yang sejak tadi menghuni genggamannya, "mulai sekarang mungkin kamu harus lebih akrab dengan rumah sakit Alyssa. . ." jelasnya singkat.

Misterius sekali lelaki ini, apa coba maksud ucapannya itu?
Memang kenapa dengan aku dan rumah sakit, mengapa kami harus akrab, aneh sekali?

"kau ini bicara apa Aiman?" tanya ayah.

"Alyssa terkena penyakit Lupus." ujarnya.

Aku tidak mengerti penyakit apa itu Lupus. Tapi tiba-tiba saja rasa takut itu menyerangku. Berasal dari gumpalan mendung hitam diluar sana, lalu menari terseret udara bebas, melewati dahan-dahan pohon palem dan masuk melalui celah-celah kecil jendela, disisi kanan tempat tidurku.
Angin.
Pesan yang ia bawa tersampaikan sudah, ntah dari siapa tapi rasa dingin dan sedih yang ia bawa benar-benar terasa menjalari setiap jengkal tubuhku.

Apa itu tadi Lupus? Seperti judul lagu saja, oh bukan itu pupus ya.
Namanya imut sekali, Lupus. Tapi melihat ekspresi khawatir dari Kak Riko yang calon dokter itu, rasanya penyakit ini tidak ada imut-imutnya sama sekali, bahkan mungkin lebih mengerikan dibanding influenza dan panu.

"Lupus? Penyakit apa itu?" ujarku, penuh rasa ingin tau.

"bukan penyakit apa-apa, Fy." tukas Kak Riko, aku bisa menangkap picingan matanya memberi kode pada doker Aiman.

"ayolah kak. Aku sudah cukup dewasa untuk tau apa yang sebenarnya terjadi dengan tubuhku." protesku.

"betul, Alyssa-"

"Ify dok."

"oh, ya, baiklah. Ify berhak tau, agar dia juga bisa lebih menjaga kondisi tubuhnya."

hhaha. Kalah kau kali ini, mas Riko jelek. Ledekku dalam hati.

Sampai detik ini aku masih bisa tersenyum kecil, dan masih berfikir sekaligus berharap, Lupus itu bukan suatu penyakit yang harus aku khawatirkan. Mungkin hanya sekelas dengan sakit maag atau paling parah, temannya tipus barang kali.

"sebelumnya maaf kalau ini terdengar jahat. Jujur saat menerima tes Labolatorium mu, saya sangat tertarik. Unik dan sangat langka, seluruh dokter ahli baik dari pusat ataupun cabang-cabang didaerah khusus datang untuk menyampaikan diagnosanya mengenai penyakit yang kamu derita. Awalnya kami menyangka kau terkena penyakit ginjal karena ginjalmu terlihat memiliki sedikit problem. Tapi dokter Cakra, yang spesalis darah mengatakan bahwa kamu terserang DBD, melihat ruam-ruam merah disekitar wajahmu. Dan setelah berbagai analisa bermunculan, kesepakatan itupun datang, saat dokter Singgih menemukan file pasien lamanya, yang 8 tahun lalu meninggal dunia karena penyakit yang sama denganmu, Lupus. Semua gejalanya cocok dengan yang kau alami sekarang." jelas dokter Aiman, panjang lebar.

"apa berbahaya dok?" tanya bunda cemas, sebenarnya tidak usah bertanyapun semua manusia berotak pasti sudah tau jawabannya.
Mengingat ada penderita yang sampai meninggal, berarti penyakit ini termasuk kategori berbahaya. Hanya saja, naluri seorang ibu yang selalu berharap yang terbaik untuk buah hatinya tengah bekerja kali ini.

"berbahaya bu, sangat berbahaya. Apalagi bila si penderita tidak bisa menjaga kondisinya agar selalu prima. Ini semacam pengkhianatan yang dilakukan sistem kekebalan pada tubuh manusia. Sistem imun tubuh yang seharusnya bersifat melindungi dari berbagai penyakit, malah berbalik menyerang tubuh penderita."

"karena berasal dari dalam tubuh penderita sendiri, Lupus jadi sudah hafal betul, titik-titik vital yang bisa diserangnya. Ini menyebabkan Lupus sulit sekali terdeteksi. Kadang gejalannya menyerupai radang, DBD, gagal ginjal atau bahkan AIDS." dokter Aiman masih dengan setia menjelaskan perihal Lupus pada kami.

"apa. . .apa. . .Kak Ify masih bisa sembuh dok??" kini giliran Acha yang bersuara.

Sedangkan aku? Ya. . ..masih bisa menegakkan tubuhku saja, harusnya aku sudah mendapatkan applause besar-besaran.

"untuk sembuh total tentu saja tidak bisa. Tidak mumgkin kan kita membasmi sistem imun kita sendiri? Tapi semua bisa diupayakan. Tidak sedikit penderita Lupus yang berumur panjang, tapi banyak juga yang menyerah dan berakhir pada kematian. Tergantung kita, bagaimana menyikapinya, karena Lupus itu bisa diajak berdamai. Mungkin akan sangat berat, karena selain sakit yang luar biasa pada persendian, secera fisik juga akan mengalami perubahan yang sangat signifikan, tapi ya. .. kita masih punya tuhan untuk mengadu dan berkeluh kesah, bukan?"

"nah Ify, coba dengarkan kata-kataku ini. Cobalah bersahabat dengan penyakitmu ini, karena ia akan selalu menemanimu mulai sekarang. Usahakan agar kondisimu selalu baik, kurangi aktivitasmu, jangan terlalu sering terkena sinar matahari secara langsung, atur pola makanmu, lakukan olahraga ringan secara rutin. Jangan sampai Lupus menemukan celah untuk menyerang paru-parumu, itu sangat berbahaya. Berjuanglah Ify, karena seganas apapun, Lupus tidak akan bisa merenggut cita-cita dan masa depanmu. Mengerti?"

Aku hanya mengangguk kecil. Kalimat dokter Aiman sebetulnya, sama sekali tak tertangkap indera pendengaranku, otakku juga menolak mencerna setiap gerak bibir dokter itu.

"baiklah, saya permisi dulu. Arif, aku akan selalu membantu penyembuhan putrimu, aku janji." bibir dokter Aiman kembali bergerak-gerak ntah bicara apa pada ayah.

"trimakasih Man, kau memang sahabat terbaikku."

"aku permisi kalau begitu. Selamat malam."

Daun pintu didepan sana, ku lihat bergerak, lalu tertutup rapat kembali setelah dokter Aiman menghilang dibaliknya. Tanpa bicara sedikit pun, aku memandangi wajah anggota keluargaku satu persatu. Kenapa tidak ada yang tertawa dan berteriak 'BERCANDAAA' kepadaku. Kenapa mereka melihat ku, dengan tatapan menyedihkan seperti itu, seolah-olah aku akan mati besok?

"bunda, tolong matikan lampunya. Aku ingin tidur." pintaku singkat, lalu merebahkan tubuh ringkihku diatas kasur.

"ayah, bunda sama Acha pulang saja. Biar Riko yang menjaga Ify disini. Besok Riko tidak ada kuliah." saran Kak Riko.

"baiklah jaga adikmu baik-baik, segera hubungi kami kalau terjadi sesuatu." pesan ayah.

Aku yang belum larut dalam tidurku, melirik sedikit kearah pintu. Terlihat ayah tengah merangkul bunda dan Acha yang masih menangis, membimbing keduanya untuk segera keluar melewati ambang pintu.

Huh. Bukankah mereka tau, aku paling benci orang yang menangis didekatku.

Bunyi terakhir yang terdengar hanya 'ceklik' dari pintu yang Kak Riko tutup. Setelah itu sunyi. Mungkin Kak Riko juga sudah beranjak tidur.

Dan dalam sepi yang menakutkan ini, sosok hangat itu muncul bersama senyum manisnya dalam pikiranku. RIO. Ah, sedang apa kekasihku itu. Bisakah ia merasakan kaget dan takut yang tengah ku rasakan sekarang. Rio, apa dia masih bisa menerimaku, kelak bila ia tau keadaanku.
Sanjungannya, perhatiannya, tatapan teduhnya, masihkah gadis seperti aku berhak memilikinya?

Tuhan mengapa harus aku?

Mengapa kau tidak adil tuhan? Diluar sana masih banyak orang yang lebih berdosa dariku, tapi mengapa aku yang kau hukum seberat ini??

Tanpa terasa air mataku mengalir, berarak pelan, lalu berlabuh membentuk genangan diatas bantal.

"ya allah. . .allahu akbar. .hiks. . .allahu akbar. Allah. . .allaaahh." sambil meremas ujung bantalku aku terus melafaz nama-Nya, berharap Ia masih berkenan mengangkat penyakit ini dari tubuhku.

***

Aku terduduk beralas sajadah yang tergelar menyamping sedikit dari arah barat. Masih dengan mukena yang menyelubungi tubuhku. Aku tercenung. Merenungi semua tingkah polahku selama 17 tahun ini. Adakah kesalahanku yang membuat Tuhan marah besar kepadaku?

Aku baru saja menyelesaikan shalat tahajjudku, dan tengah menunggu kumandang adzan subuh. Biasanya pagi buta seperti ini, aku akan membuka jendela kamarku dan menyapa planet venus, satu-satunya planet yang dapat dilihat dari bumi dan sering dijuluki bintang kejora. Tapi kebiasaan itu ku tangguhkan kali ini.

"ekhm." deheman kecil itu, memecah lamunanku. Sepertinya Kak Riko juga telah terjaga, aku berjalan kearahnya.

Trek

saklar lampu yang tertempel di dinding, ku tekan. Ruangan yang tadinya temaram menjadi lebih terang.

"ekh, udah bangun kamu, Fy?" tanya Kak Riko, basa-basi.

"udah dari tadi kali. Kamu melamun terus sih kak." aku melirik layar laptop yang terbuka didepan sana, "woalah pantesan saja. Liatin ini toh." aku menunjuk kearah layar laptop dengan dagu tirusku.

Disana gambar seorang gadis cantik, terpasang sebagai wallpaper. Gadis dengan lengkung alis hitam yang sempurna, mata bulat dengan binar kelembutan yang khas, bibirnya yang terpulas merah alami dan garis hidung indah yang dibingkai gerai jilbab putih, melambai diterpa angin pantai -background foto itu pantai-, wajah itu terkesan tegas dan berkepribadian kuat, dengan senyum kalem yang khas tanpa dibuat-buat.

"jangan dipandangi terus. Lihat tuh muka mbak Shilla sampai merah begitu" godaku jahil.

"Ify, jangan menggodaku seperti itu."

"hhahaha, hayoo, kakak menyukai kak Shilla ya?" tebakku.

"tidak."

"benarkah? Tidak salah lagi, maksudnya?"

"tidak, aku tidak menyukainya, tapi aku menyayanginya."

aku tersenyum geli mendengar pengakuan kak Riko. Aku kira, ia kelak akan menikah dengan buku-buka tebalnya, tapi syukurlaaahh. Ternyata masku ini masih normal karena menyukai seorang gadis.

"kalau gitu, buruan tembak."

"mati dong."

"heuh, maksudku, cepat nyatakan perasaanmu padanya, kak."

"tidak perlu kau suruh pun, kalau keadaannya memungkinkan pasti sudah ku nyatakan perasaanku. Sayangnya dia penentang keras faham 'sahabat jadi cinta' sedangkan kau tau sendiri, aku ini sahabatnya sejak kecil."

"hm, kalau begitu, ajak saja langsung menikah. Dia kan kontra terhadap faham 'sahabat jadi cinta' dalam artian kak Shilla pasti tidak setuju kalau ada yang sahabatan lalu pacaran, ya mungkin Kak Shilla berfikir tidak enak kalau nanti putus, tapi kalau sahabat jadi istri, apa dia juga tidak setuju?"

"bukankah berumah tangga itu tidak jauh berbeda dengan persahabatan, hanya saja yang haram telah menjadi halal saat tali pernikahan telah bersinambung." jelasku panjang lebar, ntah kupungut darimana saja kata-kata barusan.

"ah, aku belum siap kalo menikah, dan aku yakin Shilla pun demikian."

"tapi setidaknya, kak Shilla perlu tau perasaanmu. Maksudku, lamar saja dulu, soal menikah, kalian kan bisa bertunangan dulu, tapi itu juga kalau kau berani, kak."

"apa maksudmu? Kamu kira aku tidak berani, eh?"

aku hanya mengangkat kedua pundakku, dan tersenyum mengejek.

"tapi Fy, bagaimana kalau aku ditolak?"

"peristri saja tuh kodok-kodok di lab fakultasmu. Mereka pasti banyak yang sudah menaruh hati padamu." jawabku seenaknya, "atau bunuh diri saja, pohon mangga didepan rumah kita sepertinya masih sangat kokoh." tambahku. Kak Riko bersungut, bibirnya maju beberapa centi kedepan. Ih, seperti anak perempuan saja kakakku ini.

"bodoh saja kalau aku bunuh diri hanya karena seorang gadis." balasnya, sambil mencubit kedua pipiku.

"siapa tau kau ingin mendaftar jadi calon penghuni neraka, berkomplot dengan fir'aun dan kawan-kawan mungkin"

"kamu saja duluan, wlek." kak Riko menjulurkan lidahnya.

"yang tua dimana-mana yang duluan."

"lah, aturan dari mana tu?"

"aturan punyaku, tau. Wlek." aku balas menjulurkan lidahku.


Allahu akbar

Allahu akbar


"alhamdulillah." ucapku berbarengan dengan kak Riko, saat gema adzan subuh lamat-lamat memecah sepi. Berseru memanggil berjuta umat, untuk segera terjaga dan bersujud pada Tuhannya. Diluar sana arak-arakan fajar diufuk timur, pastilah juga sudah mulai muncul.

"kita shalat berjamaah ya, tunggu kakak wudhu dulu." kata kak Riko yang segera bangkit dari posisi duduknya.

Aku mengangguk.

***

Setelah berhasil membuat jengkel dokter Aiman, akhirnya aku 'diusir' juga dari tempat laknat, bernama rumah sakit itu. Beneran deh, tempat itu hanya membuat penyakitku tumbuh semakin cepat. Tirai-tirai putihnya, teriakan serta raung tangis pasien lain, membuat aku merasa malaikat maut semakin dekat denganku.

Haaaah, Lega !!! Akhirnya, aku bisa kembali kekamar bercat hijau lembut dengan gambar dan pernak-pernik sapi lucu yang mendominasi setiap sudut kamar ini, kamarku.

"Fy, ini foto Rio, sewaktu perform di Semarang ya?" suara lembut itu kembali terdengar dan ini sudah kali ke 6 atau 7 kali mungkin, pemilik suara itu selalu saja membahas topik yang sama, Rio.

"iya De, kau suka foto itu? Ambil saja untukmu."

Dea, suah dari setengah jam lalu menemaniku. Katanya dia diutus Rio untuk menjengukku. Rio sedang mengurus regen dan sertijab untuk OSIS periode baru, jadi dia tidak bisa datang.

"serius? Ini betulan untukku? Boleh?"

aku heran, ada apa dengan mata itu, terlihat berbinar semangat sekali, itu kan hanya selembar foto?

"senang sekali De? Itukan hanya foto Rio. Apa kau menyukainya, eh?" tanyaku to the point.

Ya mungkin akan sedikit menyinggung perasaan Dea, tapi jujur saja, aku tidak suka dengan ekspresi Dea yang berlebihan seperti tadi. Rio itu milikku, CATAT M-I-L-I-K-K-U.

Mmh, paling tidak untuk saat ini. Sebelum semuanya berubah.

"tentu saja tidak, diakan pacarmu." balas Dea sambil melengos, kembali mengobrak-abrik meja belajarku.

Sedangkan aku, sekarang malah lebih tertarik berbicara dengan Dea, dibanding menyusuri halaman demi halaman majalah remaja dipangkuanku.

"benarkah?" tanyaku lagi.

"apa sih maksudmu?" aku tersenyum tipis, menanggapi suara bernada sewot yang dikeluarkan Dea.

"tidak ada maksud apa-apa, dear. Hanya saja kalau benar kau menyukai pangeranku itu," aku memberikan penekanan tak terbantah pada kata pangeranku, "mungkin aku harus memutuskan hubunganku dengannya, karena aku tidak ingin menyakiti hati sahabat sebaik kamu." aku menjelaskan maksudku, ya dengan ditambah sedikit bumbu-bumbu halus tentunya, agar ucapanku terdengar lebih enak dan tidak menyinggung.

"tidak perlu. Aku tidak penyukai Rio."

"oke, aku berharap itu benar. Lalu?"

"lalu apa?"

"lalu siapa yang kau suka? Ku lihat akhir-akhir ini kamu berubah, lebih ceria dan sering tersenyum."

"oh, mmh, aku menyukai. . . .aku. .mmh, menyukai Cakka, kapten basket sekolah kita."

aku mengerutkan dahi, menautkan kedua ujung alisku, "tapi bukankah, kamu pernah bilang, ingin berpacaran hanya dengan yang seiman denganmu? Setauku Cakka seorang muslim, aktif di rohis malah." ujarku.

"ya, aku hanya mengaguminya saja."

aku menggelengkan kepalaku, bagaimana Dea ini, tadi dia bilang menyukai Cakka, sekarang menganulirnya menjadi kagum. Ada-ada saja.

Sebenarnya tidak perlu membohongiku, De. Aku tau siapa orang yang sebenarnya kau sukai. Mungkin pangeran kita sama ya, De. Batinku.

Dan untuk orang yang umurnya tak jelas sepertiku, melepas orang yang dicinta untuk pergi mencari kebahagian lain yang tidak ia dapatkan disisiku adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Tapi tunggulah barang sejenak, aku belum siap melepasnya. Tunggulah sampai egoku untuk selalu memilikinya ini, hilang.

"De?"

"hm?"

"kalau aku jelek, gendut, tidak eperti sekarang lagi, apa kau masih mau berteman denganku?" aku melihat, Dea mulai mengangkat wajahnya dari novel berbahasa Prancis didepannya. Ia lalu menghampiriku yang duduk bersila diranjang.

"apa aku pernah meminta bundamu untuk melahirkan putri yang cantik untuk ku jadikan kawanku?" Dea malah berbalik menanyaiku, aku menjawabnya dengan sebuah gelengan.

"nah itu kau tamu. Tuhan itu Maha Adil, Fy. Kalau hanya yang cantik saja yang boleh memiliki sahabat, lalu menurutmu bagaimana orang-orang yang ditakdirkan lahir tidak cantik, eh?"

aku terdiam, mencermati setiap kata yang Dea keluarkan.

"aku akan selalu jadi sahabatmu, bagaimanapun keadaanmu. Aku akan selalu ada di belakangmu saat kau membutuhkan dorongan, dan akan selalu berada didepanmu, saat kau butuh perlindungan. Memang kenapa, kok kamu bertanya seperti itu?"

"tidak apa-apa, aku hanya ingin mendengar jawaban apa yang kan kamu berikan."

semoga De, semoga ucapanmu benar adanya. . .

"ekh, sudah jam 4, aku ada les, jadi aku pulang dulu ya." pamit dea, seraya meraih tas beaksen totol-totol, lalu menyelempangkannya dibahu.

"oke, hati-hati dijalan ya."

"sipp, cepat sembut ya mbak. . ."

sejurus kemudian sosok dea menghilang, tertelan pintu dari kayu jati berpelitur mengkilap, disisi kanan kamarku.

Sepeninggal Dea, aku kembali menekuni hobi baruku, melamun. Tapi lamunanku dirunyamkan oleh sekelabat kupu-kupu bersayap kuning, yang hinggap didekat jendela kamarku.

Kepak sayapnya yang lincah menyita perhatianku.

Ah, kupu-kupu.
Awalnya aku sama sekali tidak tertarik pada metamorfosis yang dialaminya. Ulat yang berubah jadi makhluk lucu yang tengah menari diatas bunga-bunga, menurutku itu proses alamiah yang biasa saja. Kemunculan pelangi yang melalui proses penguapan, pembiasan, dan sebagainya, terasa lebih mencengangkan.

Tapi taukah kalian. Ulat adalah suri teladan nomor satu bagi manusia, untuk bisa bertahan dalam pesakitan. Sejatinya menjadi kepompong itu tidak semudah yang kita ketahui dari buku-buku biologi. Kepompong adalah bentuk perujian untuk mendapatkan sesuatu yang indah nantinya.

Lalu apakah aku bisa mempraktekan teori metamorfosis ulat dalam kehidupanku? Bertahan hingga sesuatu yang indah itu datang untukku bisa ku jangkau??

Tapi bahkan aku ternyata tak sekuat ulat, aku menyerah dengan ujian ini. Penyakit ini, benar-benar membuatku putus asa. Ah, air mata ini lagi. Ayolah Ify, kamu tentu tidak ingin kan wajahmu bertambah jelek dengan mata sembab sebesar bola kasti. Berhentilah Fy, berhentilah menangis.

Aku tiba-tiba mengingat sesuatu, sesuatu yang harus aku lakukan demi orang yang aku sayangi. Toh aku sudah berjanji untuk membantunya, tempo hari. Aku segera meraih ponselku, menekan bebera tombol pada keypadnya, lalu ku dekatkan ketelinga.

"halo" sapa orang disebrang sana.

"halo, assalamualaikum." balasku.

"walaikumsalam. . ."

percakapan pun terjalin antara kami. Lalu ku tutup sambungan telepon itu, setelah mendapat kepastian bahwa orang yang ku telepon tadi, mau bertemu denganku.

Berikutnya, aku kembali berkutat dengan ponselku, ku tekan tombol 2 yang langsung menghubungkanku dengan pemilik nomor +6285710099695.

"yes dear." suara lembut yang sangat aku rindukan itu segera menyapaku.

"Yo, kamu dimana, udah selesai urusan OSISnya?"

"udah kok. Aku lagi OTW ke rumahmu. Dea masih disitu?"

"dia sudah pulang 15 menit lalu. Kalau begitu aku tunggu ya, aku mau memintamu mengantarku ke cafè Volantte."

"baiklah, 15 menit lagi aku tiba di rumahmu."

"hati-hati kalau begitu, bye."

"bye, dear."

klik.

Setelah tombol merah ku tekan, sambungan pun terputus.

"sayang, kamu sudah minum obat?" suara lembut bunda terdengar, bersamaan dengan wajahnya yang menyembul dari balik pintu.

"sudah bunda."

"baguslah kalau begitu."

"bun, aku mau keluar sebentar boleh? Sama Rio kok, sebentar saja."

"benar dengan Rio?" aku mengangguk, "ya sudah, tapi jangan lama-lama. Kamu kan harus banyak istirahat dulu." pesan bunda.

"iya bunda sayaaang, makasih ya."

***

Klenengan yang bergerak centil, menimbulkan denting lucu saat pintu cafè ditutup atau dibuka oleh pengunjung. Cafè di kawasan dekat tempat wisata ini tidak pernah sepi, suara perbincangan seru, atau pun senda gurau pengunjungnya menjadi ciri khas tempat ini. Tapi keramaian rupanya tak menjalari meja kami. Aku, Rio dan Ozy, tidak ada satupun yang membuka pembicaraan yang belum tercipta hingga menit kedua puluh kami berada disini.

"ekhm." aku berdehem kecil, rasanya karena aku yang mengajak Ozy untuk datang kemari dan ikut menyeret Rio demi memperoleh izin bundaku, maka sundah menjadi kewajiban untukku memulai pembicaraan. Lagi pula jenuh rasanya, menghabiskan lebih dari 20 menit hanya dengan memandangi kepulan asap dari cangkir berisi capuccino yang ku pesan.

"Zy sebelumnya, makasih ya, kau sudah mau meluangkan waktumu untuk datang kemari." aku tersenyum seramah mungkin, meski aku sadar ruam-ruam diwajahku ini pasti tetap akan terlihat janggal, "mmh, sebenarnya, aku hanya ingin bertanya, kenapa kamu memutuskan Acha, apa benar semata karena kesibukannya?"

"mmh, iya. Benar kak." jawab Ozy singkat.

"kalau begitu sekarang berbaikanlah dengannya, karena Acha sibuk lagi, dia tidak mau nyanyi ataupun pemotretan lagi. Ia juga tidak mau keluar, bahkan hanya sekedar untuk makan. Itukan yang kau mau??" aku mengeluarkan nada bicara sedikit tegas.

"tapi kak ak--"

"katamu masalahnya karena kesibukan Acha, berarti tidak ada kata tapi, sebagai bantahan."

"ya, baiklah. Aku mengaku. Sebetulnya memang bukan itu masalahnya."

"lalu apa?"

aku sudah menduga, pasti kesibukan Acha, hanya dijadikan alasan oleh Ozy untuk mengakhiri hubungannya dengan Adikku. Aku mengenal Ozy, dia tidak akan berfikir kekanak-kanakan dengan langsung memutuskan Acha, karena Acha sibuk.

Setelah puas memandangi pohon-pohon bambu yang menari luwes bak putri keraton, akhir Ozy kembali mengarahkan pandangannya padaku dan mulai bercerita.

Flashback : on

Ozy masih asik melirik-lirik kotak berbalut kertas kado merah muda dengan jalinan pita senada yang berpola ditengah kotak. Ia terus mengayuh sepeda kebanggaannya, yang dipasangi keranjang hitam dimuka untuk biasa digunakan Ozy menyimpan patung-patung ukuran kecil saat mengantar pesanan pelanggan ayahnya. Ozy bersiul kecil, menyusuri komplek perumahan mewah tempat kediaman Acha. Rumah-rumah bertingkat, dengan pagar menjulang kokoh dan barisan pohon yang tertata rapi, menjadi pemandangan biasa dikawasan elite ini.

Braakk !!!

Suara ban sepeda depannya yang membentur besi mengkilap didepan sana membuat Ozy terkesiap. Besi mengkilap berwarna merah yang sering dijuluki mobil itu berhenti secara mendadak. Dan sepeda Ozy yang memang tidak dilengkapi rem otomatis tentu saja langsung menyeruduk honda jazz merah itu.

"astaga mobilku." pekik pria dengan wajah tak kalah oriental dengan aktor-aktor korea, yang baru keluar dari mobilnya.

"oh kau rupanya. Sudah bosan hidup tenang, euh? Apa maksudmu menabrakan sepeda jelekmu itu ke mobilku?" cibir pria tadi.

"kenapa kau menyalahkanku? Lha wong jelas-jelas kamu yang salah, berhenti sembarangan." bukan bermaksud memperuncing bambu perang yang sudah dihunus, tapi bagi Ozy membela diri itu penting, bila memang dalam posisi benar.

"kau itu Ozy kan? Pria paling beruntung sekaligus paling tidak tau malu, iya kan? Kau anak pembuat patung, yang berpacaran dengan Raissa Arif, hhahaha, pakai pelet apa kau, sampai Acha lebih memilihmu dibanding aku."

Oh, ada perkara lain rupanya. Bukan hanya sebatas tentang tabrakan kecil tadi.

"EDGAR, TUTUP MULUTMU !!" bentak Ozy berang, "aku rasa tabrakan barusan tidak ada sangkut pautnya dengan hubunganku dengan Acha." sangat jelas Ozy tidak terima dengan perkataan pria bernama Edgar itu.

Edgar, atlet tampan yang meski baru kelas IX, namanya sudah cukup dikenal di Indonesia karena prestasinya dalam bidang olahraga. Selain itu, paras tampannya juga menambah nilai plus untuk Edgar. Tidak sedikit yang menyayangkan penolakan Acha terhadap pria itu, dan lebih memilih Ozy, yang tidak ada apa-apanya, seujung kukupun.

"heii, apa ini?" Edgar meraih kotak kado yang Ozy letakkan dalam keranjang sepedanya.

"kembalikan !!! Itu milikku."

"tidak !!"

"KEMBALIKAN"

"okelah kalau kau memaksa, Nih. . ." dengan sengaja Edgar melempar keras-keras kotak kado Ozy, ke jalanan beraspal tempat ia dan Ozy kini berpijak.

Tutupnya langsung terbuka, isi kotakpun terkuak. Ada sebilah bambu yang ntah bagaimana di sulap menjadi benda cantik dengan goresan-goresan indah yang dibubuhkan Ozy, disana-sini. Polesan warna-warna cerah dan gambarnya yang lucu menyarukan bahan dasar benda itu, yang hanyalah sebilah bambu. Sederhana dan manis, sama seperti Acha.


Kau tau Cha, batang bambu tidak akan tumbuh sangat besar dan berlebihan,
sama seperti perasaan kita.
Akan lebih indah, bila tumbuh sesuai porsinya,
dan tidak melebihi cinta kita pada Sang Pencipta.


"hoeks, menggelikan sekali kata-katamu ini" cibir Edgar, setelah membaca setengah dari surat yang Ozy sematkan dalam kotak kadonya, "dan apa ini? Apa kado jelek ini akan kau berikan pada Acha? Astaga dimana otakmu?" tanya Edgar semakin meremehkan.

"kau kira Acha sudi menerima barang sampah seperti ini, kalau membelikan kado yang layak saja tidak bisa, bagaimana kau akan membahagiakan Acha."

"Ahmad Fauzi Adriansyah, berfikirlah. Acha terlalu sempurna untuk disandingkan denganmu. Lihat dirimu, apa sih yang bisa kau berikan untuk Acha. Bila kamu menyayanginya, harusnya kamu lebih memikirkan kebahagiannya, bersama denganmu tidak akan memberikannya kebahagian, mengerti?? Dan sekarang, jauhkan sepeda bututmu itu dari mobilku, cepat."

Ozy terdiam, tak bergeming. Kata-kata Edgar barusan terlalu benar untuk disangkal, tapi hatinya tidak mau menerima kebenaran itu.

"HEI, apa kau tuli?" sentak Edgar geram.

"hah? Apa?" tanya Ozy, linglung. Maklum saja, jiwanya baru pulang, dari berkelana.

"aah, sudahlah." Edgar mengibaskan lengan kanannya dan segera melangkah memasuki mobilnya."

"jauhi Acha, sebelum kau menyeretnya terlalu jauh dalam hidupmu yang menyedihkan itu, anak-tukang-patung." pesan Edgar sebelum mobilnya melaju, meninggalkan kepulan asap menyesakkan.

Flashback : off


"kata-kata Edgar berulang kali ku renungi. Dan aku rasa dia benar, aku sama sekali tidak pantas untuk adikmu, kak." Ozy menyelesaikan ceritanya, dengan kepala tertunduk.

Kenapa sinetron sekali sih, kisah cinta Acha-Ozy ini?

"apa kau pikir adikku, tipe orang yang memilah-milah dalam bergaul?" tanyaku sinis, jujur saja aku sangat tersinggung. Apa Ozy pikir Acha itu gadis matre yang akan menuntut ini dan itu sehubungan dengan materi.

"tidak. Tentu sja tidak. Hanya saja, aku ingin Acha mendapatkan yang benar-benar pantas untuknya, seperti Edgar mungkin."

"jadi kau ingin menyodorkan adikku pada pria yang sepertinya sombong macam Edgar itu?" kini giliran Rio yang berbicara, aku tau Rio juga merasa tidak srek dengan pola pikir Ozy yang mm. . . Bisa dibilang, dangkal.

"bukan kak, bukan seperti itu."

"ayolah Zy. Acha sangat terpukul dengan keputusan sepihakmu itu. Aku juga merindukan saat-saat melihat kaliat shalat berjamaah berdua dirumah kami, aku rindu saat Acha kau jemput dengan sepedamu itu. Berbaikanlah dengannya Zy, aku mohon." pintaku, sungguh-sungguh. Ini demi orang yang sangat aku sayangi, adikku.

"kak, aku. . ."

"kamu tidak perlu rendah hati Zy. Kamu sudah cukup tampan untuk mendampingi adik manisku itu. Kau juga cukup pintar untuk jadi guru privatnya." timpal Rio, aku bisa melihat seringai lebarnya pada Ozy.

"tapi apa Acha mau berbaikan denganku?"

"munafik sekali kalau dia menolakmu, setelah bermalam-malam menangisimu." tegasku.

Setelah kembali terdiam, beberapa saat, aku melihat Ozy mengangguk kecil.

"kau mengangguk? Apa itu berarti iya?" tanyaku penasaran, "apa kau akan segera berbaikan dengan Acha." lanjutku, bertanya.

"mmh, maaf kak, tapii. . ." Ozy menggantung kalimatnya.

Huh, bertingkah sekali bocah satu ini. Lihat saja, rasanya ingin sekali ku tonjok hidungnya kalau sampai ia tidak jadi berbaikan dengan adikku.

"maaf kak, tapi aku. . ."


***

0 komentar:

Posting Komentar