Minggu, 06 Februari 2011

Dalam Rumah-Mu (cerpen)

Orang bodoh adalah orang yang selalu merasa tidak dicintai.
Orang bodoh adalah orang yang selalu merasa tidak penting.
Orang bodoh adalah orang yang mau dipermainkan perasaannya sendiri.
Dan orang bodoh adalah orang yang sangat pintar menghancurkan dirinya.

*

Aku berjalan gontai, menyerupai zombie, menuju salah satu sudut sekolahku. Dengan terus menunduk, kuselusuri kawanan rumput hijau yang menyelimuti tanah yang kupijak. Satu...dua...tiga... daun-daun jambu kering mulai berjatuhan, tak kuasa menahan dera angin rupanya. Begitu pula denga air mataku, satu persatu mulai menetes membentuk riak kecil dipipiku, sesekali aku menyusutnya dengan punggung tanganku, tapi sepertinya kelenjar air mataku sedang begitu rajin berproduksi, hingga tangis ku tak kunjung mereda. Tanpa menunggu lama, aku segera masuk menerobos bangunan bercat putih dengan kusen-kusen bercat coklat gelap ini. Bangunan yang terletak paling ujung setelah deretan kelas XII, bangunan ini yang selalu dengan ikhlas menawarkan rasa sejuk dan ketenangan setiap aku memasukinya. Masjid sekolahku.

Aku melirik jam biru muda yang melingkari pergelangan tangan kiriku, masih ada 2 jam pelajaran sebelum bel pulang sekolah berdentang. Tapi aku sama sekali tidak berniat mengikuti 2 jam pelajaran terakhir itu. Fisika, ah, aku benci pelajaran itu. Aku tidak pernah mengerti, kenapa aku yang bercita-cita ingin menjadi psikolog ini harus berkutat dan berkenalan dengan rumus-rumus ciptaan Newton dkk.
Jadilah, aku lebih memilih pergi kesini, ke masjid sekolah.

Bruk

aku segera membanting tubuhku, terduduk dengan kasar beralas lantai masjid berkeramik putih yang kali ini entah mengapa terasa sangat dingin. Dari kaca berukuran sedang didepanku, tampak di luar sana mentari sudah terusir oleh mendung, pergi bersama semua potongan-potong mimpi kecil yang telah kususun. Angin berdesau lirih, seakan ingin berhenti sejenak di sekitarku dan menertawakan kemalanganku.

Kualihkan pandanganku, melihat nilai-nilai hasil Try Out, yang sejak tadi menghuni genggamanku. Nilai matematika, biologi, fisika dan kimiaku, semua di bawah lima.
Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa lulus kalau nilaiku begini?
Dari awal sudah kubilan, aku tidak suka IPA, aku tidak suka. Kenapa mereka memaksaku masuk jurusan ini?
Dua tahun, dan aku tersiksa, sangat tersiksa, apa mereka mengerti?

"aku bukan kakak, Mah. Aku tidak suka IPA, Pah. Hiks," aku mulai menangis kembali, entah sudah berapa liter air mata yang ku keluarkan hari ini.

"sorry, bisa nggak elo kecilin suara nangis lo. Gue lagi baca dan sangat terganggu," suara baritone itu membuatku terpaksa berhenti menangis dan mengangkat kepalaku. Mataku mendapati seorang pria tengah duduk bersila disalah satu sudut tempat ini. Sepertinya tadi aku terlalu 'bersemangat' untuk menangis, hingga saat memasuki masjid ini aku tidak sadar, telah ada orang yang lebih dulu menghuninya.
Aku menatap pria itu dengan sinis. Apa-apaan orang itu, memang siapa dia, menyuruhku mengecilkan tangisanku?

"ngapain elo ngeliatin gue kaya gitu?" tanya pria itu, setelah menangkap basah aku yang tengah memandanginya.

Aku tidak menjawab, hanya menunduk sambil memeluk kedua lututku. Dalam hati kurutuki pria itu, ada seorang gadis menangis bukannya simpati atau apa, malah menyuruh mengecilkan suara tangisan, dasar pria aneh.

"eh, cewek. Ni," pria itu, tiba-tiba saja sudah duduk disampingku, seraya mengangsurkan sebuah sapu tangan bermotif kotak-kotak kearahku. Aku menerimanya, dengan agak ragu.

"kenapa lo nangis?" tanyanya, singkat. Tapi aku tidak yakin dia sedang bicara denganku, matanya saja tidak lepas dari buku tebal bersampul coklat yang dipangkunya. Maka kuputuskan untuk diam, tidak menjawab pertanyaannya.

"elo mau bunuh diri ya?" tanyanya lagi, tapi kali ini sambil melirik kearah tangan kananku yang memegang sebuah cutter.

"jangan disini!" lanjutnya, berkata.

"hah?" aku mengerutkan keningku, apa maksudnya dengan kalimat 'jangan disini' tadi?

"iya maksud gue, kalau elo mau bunuh diri, jangan disini. Ini kan rumah Allah. Tapi kalau lo udah nggak punya referensi tempat lain buat bunuh diri. Ya udah, terserah deh lo mau bunuh diri disini juga, asal tunggu setengah jam lagi ya," ujarnya, setelah itu ia kembali fokus pada bacaannya, "tunggu gue selesai baca dulu, paling sebentar lagi. Kalau elo bunuh diri sekarang, nanti gue keseret-seret lagi. Masih mending kalau gue cuma dijadiin saksi sama polisi, nah kalau dijadiin tersangka? Kan repot," lanjutnya, cuek.

"oh." tanggapku singkat.

OK. Dia memang benar, pikiran untuk mengakhiri hidup memang sempat berkelebat di otakku, dan cutter ini memang aku bawa siapa tau sewaktu-waktu aku sudah siap merealisasikan kelebatan pikiran itu.
Tapi tunggu, tunggu, kalau di novel-novel romantis, seharusnya pria ini mencegahku, menyemangatiku atau apalah, tapi kok malah gini? Dia malah menyuruhku menunggu sampai ia selesai membaca. Ya Tuhan, setidak-berarti itukah aku?

"eh, nama elo siapa?" suara berat itu kembali terdengar.

"Ara. Ngapain tanya-tanya?" balasku, sinis.

"ya, supaya gue tau aja. Kalau besok ada berita siswi SMA ditemukan tewas di Masjid, berarti itu elo, Ara," ucapnya santai.

Huh. Benar-benar orang aneh. Wajahku langsung terasa membara. Hei-hei! aku saja belum yakin akan mengakhiri hidupku, tapi kenapa dia sudah berfikir sejauh itu?
Orang seperti ini ni yang harus segera dilenyapkan dari muka bumi. Sok cuek, sok dingin, tidak berperasaan bikin darah tinggi, saja.

"kok elo malah gitu sih?" protesku, kesal.

"gitu gimana?" ia balik bertanya. Tapi lagi-lagi ia tidak memandangku, malah mengeluarkan buku baru yang kali ini bersampul biru tua dari ranselnya.

"ya, harusnya elo kan mencegah gue, nyemangatin atau apa kek, kok kayanya elo malah ngedukung niat gue bunuh diri?"

Pria tadi mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata dengan nada tak peduli, "Lah, emang bakal ngaruh ya?"

"ngaruh gimana?"

"orang-orang kaya elo, yang pengen bunuh diri gitu biasanya suka sok-sokan. Mau dijejelin nasihat, mau dicekokin kata-kata penyemangat,,pasti nggak akan didengerin. So, ngapain gue repot-repot nyemangatin lo? palingan juga nggak didengerin. Kalau elo mau bunuh diri, ya bukan urusan gue, itu hak lo." balasnya, santai.

Aku benar-benar gemas pada pria ini. Rasanya tanganku sudah sangat gatal ingin menonjok mukanya atau yang lebih sadis, aku cincang-cincang tubuhnya, kumasukan dalam koper lalu kuhanyutkan ke samudra Hindia. Biar tau rasa dia. Berada didekat pria macam ini membuat sisi kriminalku, muncul.

"S. Aditya?" gumamku, membaca sebuah nama yang tersulam rapi pada blazer kuning yang dikenakan pria itu, "itu nama lo? S-nya itu apa? Sinting atau sadis?" tanyaku berniat mencela.

Pria tadi langsung memandangiku dengan tatapan tidak suka, "nama gue Stevano Aditya, elo bisa panggil gue Vano," tukasnya.

"oh, salah tebak ya gue?" sahutku tak acuh, "tapi yang ini pasti nggak salah tebak, elo pasti anaknya orang kaya kan? Yang mau apa aja tinggal tunjuk. Lo pasti nggak pernah, ngerasain putus asa kan? Makanya lo lancar banget ngomong kayak tadi," cerocosku, berapi-api, "lo nggak tau, gimana sulitnya hidup gue. Lo juga nggak tau kan, segimana nggak adilnya Tuhan sama gue?" lanjutku, masih dengan sedikit emosi.

Dengan ekor mataku, aku bisa melihat Vano melotot kearahku.

"oya? masa? Gue jadi penasaran, emang sesulit apa sih hidup lo? Sampai elo berani bilang Tuhan nggak adil sama lo?" katanya, sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi dan melipat kedua tangannya di depan dada. Oh, menantangku bercerita rupanya. Baiklah...

Aku menarik nafasku dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Setelah melakukan hal serupa beberapa kali, aku mulai merasa siap untuk bercerita. Kulihat Vano masih bertahan dengan ekspesinya yang dingin dan datar.

"orang tua gue," aku mulai membuka ceritaku, "mereka maksa gue masuk jurusan IPA, gue selalu dipaksa ngikutin jejaknya kakak, gue juga harus ngambil fakultas kedokteran buat kuliah, padahal gue sama sekali nggak suka. Mereka selalu banding-bandingin gue sama kakak kandung gue, yang kelewat perfect itu. Padahal jelas-jelas kita tu beda. Belum lagi, sekarang setelah ayah pensiun, ibu gue makin gencar nyindir-nyindir gue, katanya harusnya gue bisa dapet beasiswa kaya kakak supaya beban orang tua gue nggak terlalu berat. Tapi mana mungkin coba? Gue tu sama sekali nggak suka IPA, gimana mau berprestasi dan dapat beasiswa? Belum lagi, sobat-sobat gue....." dan meluncurlah semua cerita itu dari mulutku, aku terus bercerita, tidak peduli walaupun satu-satunya pendengarku adalah pria-sok-cuek-yang-asik-sendiri-dengan-bukunya.

Kuceritakan dari A sampai Z, semua hal yang kuanggap tidak adil untukku. Tentang Angel, Dhiska, Caca, sahabat-sahabatku yang semakin menjauh dan seakan tidak mau peduli lagi dengan keluh kesahku, tentang Gabriel yang lebih memilih Dhiska, setelah hampir 2 tahun kami lalui bersama sebagai sepasang kekasih. Padahal Dhiska adalah sahabatku sendiri. Ralat !! Mantan sahabat maksudnya.

Selama aku bercerita, Vano tidak menanggapi apa-apa, malah kembali asik dengan buku-bukunya, hanya komentar-komentar singkat seperti, "oh gitu?", "trus?", "oh, iya-iya." atau anggukan kecil dari Vano yang menandakan ia masih mendengarkan ceritaku. Aku tak peduli apa dan bagaimana responnya, saat ini yang aku butuhkan hanya teman bercerita, orang yang mau mendengarkan keluh kesahku dan hadirnya Vano disini walaupun tidak banyak berpengaruh tapi itu sudah lebih dari cukup.

"gimana gue nggak mau bunuh diri coba kalau hidup gue begini terus ?"

"oh gitu."

aku mendelik, "heh!!" kurebut buku yang sedari tadi menyedot perhatian Vano, "elo kok malah asik sendiri sih? Lo nggak dengerin gue ya? Percuma dong gue cerita panjang lebar." gerutuku, berang.

Vano menoleh, memandang tajam keaarahku, "udah cuma segitu doang masalah lo?"

Ish, meremehkan sekali pria ini, batinku.

"jadi kalau gue simpulkan dari cerita lo, lo kecewa sama orang tua lo karena mereka terlalu memaksakan keinginan mereka ke elo. Lalu lo ngiri sama kakak lo-"

"eh, siapa yang ngiri? Gue cuma nggak suka dibanding-banding terus sama dia." protesku.

"ya OK. Gue anulir. Elo ngerasa terbebani punya kakak yang kelewat sempurna. Terus elo juga ngerasa sobat-sobat lo mulai menjauh dan terakhir, cowok lo selingkuh, gitu?" seakan membuat daftar, Vano mengacungkan jari-jarinya satu persatu setiap dia menyebutkan masalah-masalah yang aku ceritakan tadi.

"jadi intinya, lo punya 4 alasan buat bunuh diri. Terus lo udah pikirin, lo punya berapa alasan buat nerusin hidup ?" lanjutnya, bertanya.

"lah, emang gue masih punya alasan ya buat hidup?" sahutku dengan senyum getir.

Vano mengangkat bahunya, "ya, menurut gue sih masih. Pertama lo belum sempet ikut Ujian Nasional, padahal waktunya tinggal beberapa minggu lagi. Kedua, lo belum ngerasain haru-birunya acara perpisahan. Ketiga, lo belum ngerasain gimana serunya jadi mahasiswa. Dan secara gue udah ngerasain jadi mahasiswa walaupun baru satu semester tapi percaya deh, itu tu seru banget. Banyak pengalaman baru yang bakal beda banget sama masa-masa SMA lo. Keempat, elo belum sempet nanya sama temen-temen lo, kenapa mereka jauhin lo. Kelima, lo belum sempet nyari cowok baru yang lebih baik dari si Gabriel tadi, buat nunjukin bahwa dia yang rugi ninggalin lo. Dan keenam, kalo lo muslim, pasti lo nyesel nggak akan ketemu shalat Ashar hari ini."

Aku mendengarkan setiap kalimat yang Vano ucapkan dengan sungguh-sungguh dan saat ia merapal kata, shalat. Aku terdiam. Shalat?

"pantas saja Tuhan tidak adil padamu Ara. Coba ingat kapan terakhir kali kamu menunaikan kewajibanmu yang satu itu, kapan Ara?" suara itu seakan muncul secara ghaib, bergaung dalam otak dan fikiranku, serta menusuk-nusuk relung hatiku.

Melihat aku yang terdiam, Vano melanjutkan perkataannya, tanpa mau repot-repot menungguku yang sedang mencoba mencerna kalimat-kalimat yang ia lontarkan sebelumnya, "dan satu lagi. Sebelum lo bunuh diri, elo harus tau, Ra. Setiap malam ada sepasang suami istri yang selalu ngedoain elo. Ada seorang ibu dan seorang ayah yang selalu sayang sama lo dan berharap elo berhasil. Dan suatu saat, kalau elo bener-bener berhasil, mereka nggak akan minta apa-apa, Ra. Nggak sedikitpun. Mereka cuma bakal bilang 'ini putri kami, ini Ara putri kebanggaan kami. sekarang Ara telah sukses.' apa elo nggak kepingin liat senyum bangga mereka?"

Aku semakin membisu. Kata-kata Vano sepertinya menyedot kemampuan otakku untuk merangkai kalimat. Vano benar, ya dia benar. Dan kebenaran itu mencekat nafasku, menyudutkanku dari segala arah.

"lagian, Ra. Kenapa sih elo nggak suka masuk IPA? Padahal kan keren." ujar Vano, kini ia telah kembali berkutat dengan buku-buku tebalnya.

"karena gue udah tau, 1 tambah 1 itu 2. Gue lebih tertarik mempelajari hal-hal yang terus berkembang mengikuti perubahan zaman. Lagi pula emang penting ya buat seorang psikolog belajar rumus kekekalan momentum, atau berapa diameter plasma darah ? Nggak kan ?"

"oh jadi elo mau jadi psikolog ?" aku menjawab pertanyaan Vano dengan sebuah anggukan kecil, "terus elo udah ngomongin semua ini sama orang tua lo?"

aku tercenung sesaat, mencoba memutar kembali memori yang tersimpan rapi di otakku, mengingat-ingat sejumlah pertengkaranku dengan orang tuaku.

"mmh... ya, nggak juga sih. Gue cuma bilang gue nggak suka disama-samain sama kakak." jawabku.

"pantesan aja."

"pantes apanya?"

"ya, pantes aja orang tua lo nggak ngerti apa mau lo. Pasti mereka cuma mikirnya alasan lo itu nggak rasional, kekanak-kanakan. Coba kalau elo jelasin tentang cita-cita lo, tentang pilihan lo dari awal, mungkin situasinya bakal beda, sekarang"

Aku memeluk kedua lututku dan menumpukan daguku diatasnya, "iya juga kali ya..." gumamku, ragu.

"bener kan? Elo sih apa-apa cuma diliat dari sudut pandang lo sendiri. Coba deh, lo pikir, kalau mati sekarang lo kehilangan kesempatan buat mengkaji ulang setiap masalah yang lo punya." timpalnya. Aku mendesah. Aneh memang. Aku baru sekali bertemu dengan laki-laki yang mengaku mahasiswa semester dua, bernama Vano ini. Tapi entah mengapa semua keluhanku bisa mengalir dengan lancar dihadapannya.

"tapi kan semuanya nggak sesimple itu. Lo nggak tau sih, gimana rasanya jadi gue," ujarku defensif. Aku memang salah, tapi rasa-rasanya tidak sepenuhnya semua itu karena kesalahanku kan? Bagaimana dengan Gabriel yang berselingkuh dengan sahabatku sendiri, apa itu juga karena kesalahanku?

"emang," jawab Vano santai, "gue emang nggak tau rasanya jadi elo. Sama kayak elo yang nggak tau gimana rasanya jadi orang tua lo. Lo nggak tau kan, gimana rasanya dibantah sama anak sendiri, padahal mereka cuma berharap yang terbaik buat lo." Vano berhenti sesaat untuk menarik nafas, lalu segera menyambung kalimatnya kembali, "lo juga pasti nggak tau kan, gimana rasanya jadi kakak lo, mungkin dia juga ngerasa capek harus terus-terusan jadi panutan."

aku mati kutu, benar-benar tak berkutik. Argumen-argumen penuh penyangkalan yang gencar ku lontarkan diawal percakapanku dengan Vano, kini menguap entah kemana.

"jangan terus-terusan mojokin gue gitu dong, lo bikin gue makin ngerasa jadi orang paling menderita sedunia tau nggak?" keluhku, jengkel.

"CK" Vano berdecak keras, "lo nggak sehebat itu kal,." sanggahnya.

Heiii!!! Tanggapan macam apa it?. Memang apa hebatnya jadi orang paling menderita sedunia?

"emang apanya yang hebat kalau jadi orang paling menderita? Aneh deh lo." seruku.

"lo tau nggak, ada lebih dari 6 milyar manusia didunia ini, dan untuk jadi orang paling menderita sedunia, elo harus bersaing sama 6 milyar manusia yang lain. Lo yakin penderitaan lo sehebat itu, sampai bisa mengalahkan orang sebanyak itu?" aku ternganga mendengar jawabannya.

"logila lo aneh." tukasku tak terima, sepertinya daritadi tak ada satupun kalimat yang aku ucapkan benar dimata pria ini.

"aneh tapi bener kan?" tantangnya, aku tidak menjawab, malah melengos, membuang muka. Mencoba mengatur nafasku, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, berharap gas itu bisa sedikit melegakan perasaanku yang sejak tadi sesak dijejali ucapan-ucapan Vano.

"liat deh, isi buku itu!" Vano menunjuk bukunya yang tadi kurebut paksa dan masih bertengger nyaman dipangkuanku.

Aku tak membantah. Perlahan, aku mulai membuka buku itu. Halaman demi halaman pun terurai, dan semakin jauh buku itu kubuka, aku semakin bergidik ngeri dan merasa sedikit mual.

Buku itu berisi gambar orang-orang yang entah karena apa, kepalanya botak, wajahnya dipenuhi ruam-ruam merah berbentuk seperti kupu-kupu di sekitar hidung dan pipi, kulit mereka melepuh dan terkelupas, seluruh badan mereka terlihat bengkak-bengkak. Dan kebanyakan dari mereka adalah kaumku, wanita.
Merasa tidak kuat untuk melihat lebih jauh, buku itu segera kusodorkan pada pemiliknya.

"elo masih yakin, kalau elo orang paling menderita sedunia, sekarang?"

Duh. Kenapa sih anak rese ini paling jago membuatku bungkam setelah mendengar kata-katanya yang kelewat tepat sasaran? Dan lagi-lagi aku memutuskan untuk diam. Ya, diam itu emas, daripada aku bersuara. Yang ada kata-kataku, lagi-lagi akan jadi bumerang sendiri buatku. Aku memilih menunduk, memandangi tanganku yang bergerak-gerak, gelisah. Tertangkap oleh mataku, jam biru muda yang kukenakan. Tiba-tiba aku teringat, ini jam dari Mamah. Yang diberikan tanpa alasan apa-apa, hanya karena aku dengan iseng menunjukkam jam ini saat kami jalan-jalan di Mall. Dalam sekejap, perasaan rindu pada MAmah membuncah didadaku, menyesakkan, menggiring air mataku untuk segera meluncur.

"mereka itu para penderita Lupus. Dan yang harus lo tau, dengan keadaan mereka yang kayak gitu banyak yang masih bisa dan mau bertahan hidup, mencoba menerima apa yang telah Tuhan takdirkan. Apa lo nggak malu sama mereka, kalau elo bunuh diri cuma karena masalah-masalah yang nggak ada seujung kukupun dari apa yang mereka harus hadapi?" lanjut Vano.

"gue..gu..gue-"

"ya udah lah, elo gak perlu repot-repot jawab pertanyaan gue. Toh, gue juga udah mau cabut. Gue udah telat. Eh, gue kan diundang buat ngisi pertemuan anak-amak KIR hari ini, nah, anak-anak KIR biasanya kumpulan dimana sih ?" tanya Vano, sambil mulai membenahi barang-barangnya dan memasukkannya dalam ransel.

"di Lab. Dari sini lo lurus aja, pokoknya yang samping kooperasi." jawabku sekenanya.

"oh OK, thanks ya. Gue duluan. Sekarang silakan deh kalau elo mau bunuh disi. Semoga berhasil ya, bye cewek aneh." pamit Vano, yang segera bangkit dan berjalan membelakangiku.

"Vano," panggilku, setelah ia sudah sampai di ambang pintu, Vano menoleh dan menggerakan dagunya seakan bertanya 'apa?'.

"gue mau klarifikasi, pertama gue bukan cewek aneh. Kedua, gue emang nggak mau dan nggak akan pernah bunuh diri," kataku tegas.

Vano menggangguk, "bagus deh. Lo dianugrahi Tuhan kehidupan di dunia ini pasti karena ada suatu alasan. Saat ini mungkin elo belum tau apa alasan itu, tapi yang pasti bukan untuk diakhiri dengan cara dramatis dan sinetron banget, kayak ngiris nadi pake cutter. Lo bakal dapetin yang terbaik dalam hidup, kalau elo juga berusaha melakukan yang terbaik yang bisa lo lakuin. Dan satu lagi, kalau elo bilang gue anak orang kaya, gue anggap itu sebagai doa. Ayah gue cuma supir angkot, dan ibu gue tukang jual kue keliling, tapi gue bersyukur kok atas apa yang gua punya sekarang ini, semoga elo juga gitu ya.." katanya diiringi sebuah senyuman.

Aku tertawa kecil, "thanks ya..." kataku tulus.

Aku ikut berdiri saat tubuh Vano melenggang pergi dari masjid ini. Dari kejauhan kupandangi punggungnya, kalau-kalau ada sepasang sayap disana. Ah, ternyata tidak ada. Dia bukan malaikat. Tapi apapun dan siapapun Vano dia pasti bentuk pertolongan dari Tuhan untukku. Untuk mengentasku dari kegelapan, untuk melapangkan fikiran dan hatiku agar lebih bijak dalam menilai apapun.

"t'rimakasih Tuhan," lirihku.

Tuhan memang tidak pernah tidur, Ia selalu ada dan akan lebih dekat dari urat leher. Bermunajatlah pada-Nya, mintalah pertolongan-Nya saat kamu menemukan hal yang sukar. Niscaya Ia akan membantumu dengan caranya sendiri. Cara yang bahkan mungkin tak pernah kamu duga, lewat seorang pria berusia belasan tahun yang baru dua semester menjadi mahasiswa, misalnya.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya pelan, aku tersenyum. Aku ingin segera pulang. Aku ingin memeluk Mamah. Aku ingin membuatkan minum untuk Papah. Aku ingin bercerita tentang hari ini pada kakak. Aku ingin menelfon sahabat-sahabatku. Aku ingin minta maaf pada mereka semua. Aku ingin memulai semuanya dari awal. Dan aku ingin berteriak pada dunia, bahwa aku bukanlah orang paling menderita sedunia. Justru sebaliknya, aku orang paling bahagia sedunia, karena aku masih memiliki mereka. Mamah, Papah, kakak dan sahabat-sahabatku. Mereka orang-orang yang aku sayangi dan menyayangiku.

***

Kekagumanku Pada Sosok Mario (cerpen)

Kekagumanku Pada Sosok Mario (cerpen)


Malam semakin larut,bulan seakan mencurahkan seluruh tenaganya untuk menerangi bumi yg gekap pekat. Kerlipan bintang keperakan,menerpa daun-daun pinus yg bergesekan diterpa angin malam. Awan hitam juga sudah aktif berarak menjatuhkan butiran embun kepermukaan tanah.

Jam dikamar itu,kini berdentang 4 kali,tanda jam 4 pagi,seorang pemuda sudah terjaga sejak tadi,kini ia masih memandangai layar laptopnya,satu tangan menyangga kepalanya.
Mario Stevano Aditya Haling,atau Rio,begitu ia akrab disapa.
Rio sulit memejamkan kembali matanya,setelah terjaga tadi.

"pagi yo," sapa seorang anak laki-laki berparas oriental.
"udah bangun lo?" lanjutnya bertanya.
"ekh,lo vin,gw kira siapa. Iya gw gak bisa tidur dari jam 2 tadi" jwb rio.
"jah,yg mau ngerayain ultahnya,gak bisa tidur deh" goda cowok yg disapa 'vin' tadi.
"ngapain lo kesini" tanya rio dgn pandangan tak lepas darh laptopnya.
"jadi gak boleh nih? Gw bela-belain,dari malang kemanado taunya...."
"iya...iya...koko alvin,gitu aja ngedumel"
"gw kesini cuma mau kasih tau" jwb alvin.
"kasih tau apa?" rio mengalihkan pandangannya,menatap alvin.
"buka fb deh,trus baca notes orang ini" perintah alvin,sambil menyerahkan secarik kertas.

Disana tertulis 3 buah kata 'AKU RISE SEJATI' begitu kata yg terangkai disana.
"males akh,ngapain,paling isinya cerita-cerita gak penting bikinan orang itu. Iya kan" tuduh rio.
"cerita-cerita yg dibuat ICL bagus kok,yo..." sergah alvin.
"bagus apanya sih vin,mereka tu sebenarnya,tau gak sih. Gw aja baru 13 thn beberapa jam yg lalu. Tapi dicerita mereka??apa coba?  Meluk ifylah,gandeng sivialah,kencan sma shilla ?? Pdhl gw deket aja kagak sama mereka. Atas dasar apa coba mereka bikin cerita konyol kayak gitu" rio sewot.
"cuma cerita ini kok,lo gak berhak marah atas kreativitas mereka yo" saran alvin.
"sayangnya gw berhak marah,karena mereka make nama gw" rio memencet tombol-tombol lapopnya,kasar.
"cuma pinjem nama,selama lo pak dirugiin,why not??" alvin pembawaannya memang lebih santai dan cool.

Alvin mengalihkan laptop rio kearahnya,diketikkan sebuah nama,Lalu mengarahkan kursor ke kolom search dan, klik disusul bunyi klik yg kedua, tak berapa lama profil akun 'AKU RISE SEJATI' terbuka. Dipojok kiri,terdapat gambar seorang gadis sdang tersenyum,tangan kirinya tertengger anggun dipinggangnya dan tangan kanannya memegang sebuh kaset. Rio tau benar kaset itu,gambarnya dan keempat kawan seperjuanganannya terpampang memghiasi cover kaset itu,'album IC 4'. gadis itu memakai bacu kuning khas rise,dgn sebuah pin rise tersemat didada sebelah kiri.

Sejenak ingatan rio seakan disetel otomatis,tepuk tangan riuh rendah,teriakan yel-yel untuknya,decak kagum para juri,candaan kak okky,panggung yg megah,sorot lampu yg gemerlap, kerinduan seakan menjalari tubuhnya.

"baca deh" alvin mengarahkan kembali layar laptop kehadapan rio.

'KEKAGUMANKU PADA SOSOK MARIO'

rio mendelik,itu judul notes pemilik akun tersebut.
Disana tertera bahwa catatan itu dibuat tepat pd pukul 00.00 tengah malam.

Tangan rio sedikit bergetar,kemudian bunyi klik pelan terdengan.
Notespun terbuka.






Kekagumanku pd seorang mario

mario stevano aditya haling,aku sudah sangat fasih mengucapkan nama itu,seakan memberi kekuatan tersendiri setiap aku merapalnya.

Awalnya aku tak peduli pada dia,dia hanya seorang anak kecil yg sedang mengikuti kontes nyanyi. Tak berarti apapun untukku, aku tak pernah melihat performnya,aku tak peduli rapor merah ataupun biru yg diterimanya,pdhl senyum tulusnya selalu menyapa setiap sabtu dan minggu dilayar TV ku.

"cintailah aku sepenuh hati,sesungguhnya aku tak ingin kau pergi..."

itu potongan lirik pertama yg kudengar darinya. Jujur saja aku jatuh cinta dgn suara lembutnya,tapi tentu gengsi untuk mengakuinya,karena,ya.... aku sudah 16tahun. Alasan konyol kan.

Semua orang akan heran bila aku bilang aku rise sejati..
Aku tak tau banyak tentang dia, bahkan aku baru menyaksikannya setelah masuk babak 5 besar.
Bayangkan??

Tercipta untukku,symphoni yg indah,I'm yours,
aku tak pernah melihat penampilannya membawakan lagu-lagu itu.

Menyesal,tentu saja.
kini Aku hanya bisa menyaksikan penampilan yg diabadikan lewat video-video,mendengar suara indahnya hanya lewat ponselku,melihat senyumnya hanya dlm foto-fotonya.

tapi sekarang sungguh aku tdk lagi peduli,aku memang gadis kelas 2 SMA,tp toh bukan suatu dosa bila aku mengagumi seorang anak berusia 13 thn yg memang berbakat. Tuhan sungguh aku rela menukar apapun dlm hidupku untuk sekedar melihat senyumnya dari dekat.
 ingin sekali bertemu dgn nya,dan menyatakan kekagumanku langsung padanya..

Ntah apa yg membuat ku begitu kagum padanya, senyumnya kah,suaranya kah,atau mungkin pribadinya.
yang aku tau rio mengajariku tentang banyak hal,
yang jelas aku sangat menyayanginya..

aku ikut kecewa..
saat kontes itu hanya menempatkannya sebagai runner up.
Aku ikut bersedih..
saat semua orang memojokkannya,saat rise mulai berkurang dan memilih untuk keluar. Saat itu ingin sekali rasanya aku menepuk pundaknya,sedikit memberinya kekuatan.
aku ikut bahagia..
saat semua orang memujinya,semua mata memandang kagum padanya.

beberapa saat lagi,rio akan genap berusia 13 thn.
Sedih,tentu saja sangat sedih.
Aku yg mengaku rise sejati ini,malah terbaring disini,tdk bisa bergabung dg rise yg lain.
Tapi tentu aku tetap berharap rio bahagia,sama sekali tdk berharap dia sedih seperti aku,dihari jadinya.

Meski aku dan rio berdiri dalam pilar keyakinan yg berbeda,aku tak pernah lupa mengurai doa untuknya dalam sholatku.


Ya tuhan dia berikan kebahagiaan,lindungi dia,mudahkanlah dlm meraih cita-citanya,warnai hari-harinya dngn kasih sayangmu,limpahkan rahmatmu kepadanya,lewat orang-orang yg menyayanginya. Naungi ia dg langit-langit keselamatan,berikan untukny yg terbaik,yg terindah. Seperti engkau ciptakan dia sebagai semangat terindah dlm pesakitanku.

Sungguh,bila ini akhir dari perjalananku,aku sangat ingin sejenak singgah,bertemu rio,menjabat tangannya dan melihat senyumnya sekali saja,sekali..

Rise indonesia yg tdk bisa merayakan hari special ini,langsung bersama rio, jgn pernah bersedih, dari sini kita tetap bisa merayakannya,mengirim doa dan harapan-harapan kecil kita untuknya...

Harapan ku untuk dia,MARIO..

Tetaplah jadi dirimu, selalu ingat bahwa kamu tak pernah sendiri, saat kamu merasa sepi,cobalah tengok kebelakang disana selalu ada doa dan dukungan dari rise untukmu.
Selalu sayangi rise.beri yg terbaik untuk orang-orng yg tulus menyayangimu.
Semoga kamu menjadi sosok yg lbh dewasa dan menghargai keistimewaan yg tuhan titipkan kepadamu.
Tetap tundukan kepalamu,jgn berjalan dgn angkuh,tebarkan senyum manis dan canda tawamu,agar semua orang selalu bahagia saat berada didekatmu.
Tetaplah menjadi rio yg dulu,rio kebanggaan rise.
Tetaplah menjadi marionya RISE...


Mungkin nanti,rio bukan lagi idola cilikku,bukan lagi rio yg imut dan lucu,tapi apapun itu kekagumanku tak kan tandas untuknya.. Dan aku,akan tetap menjadi.. 'RISE SEJATI' seperti yg apa selalu rio  bilang.


Bandung 23 oktober

salam Rise Indonesia



stelah membaca notes tadi,rio tertegun sesaat.

Benarkah?adakah orang yg sesayang itu kepadanya?
Benarkah?adakah orang yg sedalam itu mengaguminya??


"Yo" rio tersentak,karna pukulan halun dipundaknya.
"banyak banget ya yang sayang sama lo,jgn pernah kecewain mereka,yo" pesan alvin,lalu ia berdiri dan tak lama ia berlalu dgn bunyi ceklik pertanda pinta ditutup.

Rio kemudian menggerakkan kursor ke arah koleksi foto, ia semakin terkejut,ada sekitar 2000 lbh,fotonya tersimpan dlm album si 'aku rise sejati',dlm berbagai pose dam momen,sedangkan foto si pemilik fb hanya beberapa.

Rio mengamati salah satunya,terlihat seorang gadis tersenyum dgn jilbab putih gading tertengger indah menyelubungi mahkotanya
"cewe berjilbab juga gak kalah cantik" gumamnya.


sesaat kemudian rio mematikan laptopnya,menyibak tirai coklat itu dan segera cahaya pagi dari mentari,menerobos hangat memasuki ruang bercat coklat pucat ini.
"udah pagi ternyata" celetuknya,sambil berlalu menyambar handuknya.


Mentari mulai muncul,malu malu,dgn garis kuning yg melengkung sempurna.
Fajar mulai luruh dan arak-arakan awan hitam mulai hilang.


Hari ini 24 oktober 2010,tepat 13 tahun usia rio.
Dia dan keluarga serta seluruh rise indonesia tentu sangat menanti-nanti hari ini.
Siang nanti rio akan merayakan hari jadinya ditaman laut bunaken,tentu akan sangat membahagiakan untuknya berkumpul merayakan hari jadinya dgn orang-orang yg sangat menyayanginya.



---------



ditempat lain

seorang gadis pucat dan kurus tertunduk dalam pembaringannya,matanya berkaca-kaca..
"happy birthday rio,happy..hikz..birthday rio..happy..birthday,happy..birthday.happy birthday rio.." ia bernyanyi lirih dan tersengal,selang pernafasan yg terpasang dihidungnya membuatnya sulit berkata.
Ia melihat jam diponselnya,tepat 00.00.
"make a wish" gumamnya.
"ya tuhan dalam meski sedihku,dalam sakitku,dalam susahku,aku tetap berharap rio bahagia" batinnya.

"fuuuihh" ia meniup lilin yg berdiri ditengah-tengah kue tart,disekelilingnya tertulis Happy Bornday prince of Rise.

Lilin itu pun padam,ntar mengapa semuanya menjadi gelap,gelap sekali,perlahan mata gadis itu terpejam,sinarnya redup direnggut kanker otak yg dideritanya. Dia telah pergi...pergi sbg seorang RISE SEJATI.



---

angin bertiup lembut,atmosfer tawa dan kebahagian tersebar dimana-mana.
Saking asiknya rio dan rise tak menyadari bahwa mentari kini sudah mulai condong kearah barat.

"ekhm" rio berdehem,perhatian seluruh rise tertuju kepadanya.
"kaka-kaka rise,semua,gak kerasa udah seharian ya kita sama-sama.makash bgt ya,kaka-kaka semua udah mau dateng kesini,kita udah nyanyi-nyanyi,foto-foto..." rio berhenti sejenak,matanya menyapu semua orang yg hadir,ia merasa gelombang rasa sayang dan trimakash memburu dihatinya.
Ia menunduk,sungguh,sungguh,rio tak ingin Menangis,tapi matanya mulai terasa panas dan perih.

"rio...rio.emmh,kaka semuanya sampein salam sayang rio ya,buat temen-temen rise yg lain yg gak bisa dateng kesini. Sampein,rio selalu sayang sama mereka" tak terasa 2 butiran bening meluncur dari mata indah rio,disusul derai tangis haru dari rise.
"rio gak bisa kasih apa-apa,dan rio bukan apa tanpa kalian,untuk itu makasih,makasih,makasih buat semuanya" rio langsung menghambur kepelukan mamanya dan menangis tersedu.
Rise yang hadirpun nampak terharu saat tau,rio juga begitu menyyangi dan menghargai mereka. beberapa diantara mereka pun ikut terisak pelan.

Acarapun akhirnya usai, saat rio akan kembali menaiki mobilnya untuk pulang,ada tangan kecil yg menahannya.

"tunggu kak" panggil seseorang,rio menoleh,seorang anak kecil duduk dikursi rodanya dan tersenyum.
"kak rio... Temen-temen aku titip salam untuk kaka" katanya lugu.
"salam sayang juga ya,dari kaka buat kamu dan temen-temen kamu" balas rio.
"kita semua dipanti asusan bintang sayang bgt sama kak rio dan kak alvin" katanya sambil melirik kearah alvin yg berdiri disamping rio.
"panti asuhan" batin rio.
"iya,makasih ya.." rio tersenyum manis.
"yaudah deh,dede pulang dulu ya,sampe ketemu kak,dadahh"
"dadahh" rio melambaikan tangannya.

tak berapa lama,mobil riopun mulai bergerak perlahan. Rio kembali menolek kebelang dimana serombongan anak rise melambaikan tangan ke arahnya.
"gimana seneng,yo??" tanya mama rio lembut.
"seneng mah" jwb rio singkat.
"gimana gak seneng tante? Kaka-kaka risenya cantik-cantik gitu" goda alvin,rio hanya tersenyum..
Bayangan anak-anak rise tadi semakin jauh dan mengecil.
"tuhan..kapan ya bisa kumpul kayak tadi lagi" batin rio




malam hari



rio sudah mandi dan berganti pakaian.
sekarang ia sedang termenung disudut kamarnya,ia merasa sangat menyesal atas sikapnya selama ini. Selalu mengelusatas sms-sms dari fansnya,tdk pernah membalas wall diakun fbnya ataupun merasa capek kalo harus membalas mention-mention yg menumpuk.
Keangkuhan sesaat menguasainya dulu,tapi sekarang tentu berbeda,dia sangat menyadari apapun yg dilakukannya tanpa doa dan dukungan rise,dia bukan apa-apa sekarang.rasa syukur kepada tuhan pun membuncah dihatinya..
Rio lalu meraih gitar kesayangannya keatas pangkuannya.
ia memetik senar-senarnya dan melantunkan sebuah lagu..

bukan  dengan  barang  fana  kau  membayar  dosaku
dengan darah  yg  mahal
tiada  noda  dan  celah
bukan  dengan emas perak  kau  menebus  diriku
oleh  segenap  kasih  dan  pengorbananmu..

ku  telah  mati  dan  tinggalkan
jalan  hidupku  yg  lama
semuanya  sia-sisa  dan  tak  berarti  lagi
hidup  ini  kuletakkan  pada  mesbahmu  ya  tuhan
jadilah  padaku  sepert i yg  kau  ingin...

rio lalu terdiam.

Sesaat setelah nyanyiannya usai terdengar pintu diketuk,padahal ia sudah sangat lelah dan ingin berbaring ditempat tidurnya yang nyaman.

"yo,ada RFC tu" suara manya terdengar dibalik pintu.
Ingin rasanya ia mengumpat mereka,sempat terpikir untuk tidak menemui mereka,tapi kemudian pikiran itu dibuangnya.

Rio keluar dari kamarnya sambil tersenyum,bergegas keberanda depan rumahnya, disana ada skitar 15 orang rise dgn kado yg terbungkus indah ditangan masing-masing.
"happy bornday rio"
"happy bornday ya"
"wish you all the best dde.."
bergantian mereka mengucapkan selamat pada rio.
"makasih ya..kaka-kaka dari mana nih??" tanya rio ramah.

Obrolan serupun terjalin diantara mereka,sampai tak terasa deritan jangkrik sudah semakin ramai pertanda malam sudah semakin larut.

"rio sebelum kita pulang,nyanyi donk" pinta salah seorang dari mereka. "bentar ya" rio beranjak kekamarnya.
Tak berapa lama ia kembali sambil menentang sebuah gitar dari kamarnya,ia lalu duduk ditengah-tengah mereka. Jreng rio mulai bernyanyi.


berjanjilah.. wahai sahabatku.
bila kau tinggalkan aku,tetaplah tersenyum
meski hati sedih dan menangis,
ku ingin kau tetap tabah,menghadapinya..

bila kau harus pergi dan meninggalkan diriku,
jangan luoakan aku..

semoga dirimu disana kan baik-baik saja.
disini aku kan selalu rindukan dirimu,
wahai sahabatku..

Sejenak ia memejamkan matanya,teringat seseorang yang tadi menyadarkannya atas kasih sayang Rise terhadapnya, meski hanya lewat sebuah notes.

"kaka,dimanapun kaka beradamrio selalu berdoa yang trbaik buat kaka,dan semoga suatu saat kita bisa ketemu. rio juga pengen ngucapin trimakasih langsung sama kaka."

ia lanjut bernyanyi..

bila kau harus pergi dan meninggalkan diriku,
jangan luoakan aku..

semoga dirimu disana kan baik-baik saja.
disini aku kan selalu rindukan dirimu,
wahai sahabatku..

RINDUKAN DIRIMU..



"yyeeeee,bagus banget" puji anak-anak Rise,rio tersenyum.

tak berapa lama,mereka memutuskan untuk pulang,rio mengantar sampai gerbang rumahnya..
"dadah RIO"
"bye.."

"rio gak akan jecewain mereka." tekadnya.

rio pun bergegas masuk ke rumahnya,karena malam sudah semakin larut.
dan mungkin Rise-Rise disanajuga,sudah terlelap dalam mimpi mereka tentang Rio..

Akankah Kakak Kembali ?? (cerpen)

Akankah Kakak Kembali ?? (cerpen)


"kaka pasti bakal sering kesini,fy" ucap seorang anak laki-laki.
"tapi kak.."
"ssstt" ia meletakkan jari telunjuknya dibibir gadis yg disapa ify itu.
"kaka mohon fy,jakarta-jogja juga kan gak jauh-jauh banget"

keduanya kembali terdiam,mentari sore itu semakin memerah pertanda akan segera terbenam,angin sore menerpa kulit mereka,perlahan.

"tapi kak rio janji ya,bakal sering-sering nengokin ify sama temen-temen disini." pinta ify sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
"siap,kaka janji tuan putri" balas anak laki-laki yg kerap dipanggil rio itu,ia pun balas menautkan kelingkingnya dan tersenyum lembut,ify mencoba tersenyum dan membendung airmatanya. Meski Rio itu telah berjanji utknya tapi rasa sedih tak mau menguap meninggalkan relungnya.

Sore itu,ify dan rio tengah menikmati pemandangan mentari yg hendak menutup hari ini. Mereka terduduk pada sebuah batu dekat sungai,gemericik air sungai pun seakan mengerti kegelisahan 2 anak manusia ini.

Nanti malam rio harus meninggalkan panti asuhan tempat mereka tinggal,ia sudah mendapatkan orang tua asuh dan akan segera hijrah ke jakarta.

"ify,pasti bakal kangen banget sama kaka" keluh ify.
"kaka juga fy" balas rio.

*

Mentari seakan begitu cepat kembali keperaduannya,kini cahaya bulan samar-samar mulai menerpa daun-daun asoka didepan panti.

"kaka pamit ya fy,jaga diri kamu,kaka sayang bgt sama ify" tak terasa mata rio mulai panas,memerah.
"kak rio juga,jgn lupa makan,ify gak mau kaka sakit" selaput bening mulai luruh dari mata ify,sekuat apapun ia menahan tangisnya,tetap saja tdk berhasil.
"kaka punya ini,satu untuk kaka dan satu lagi buat ify" kata rio sambil mengangsurkan sebuah cincin berhias nama RIFY ditepinya. Ia menjadikan cincin itu sbg bandul pd kalungnya. Ify menggenggam erat cincin itu.
"sampe jumpa kak"
"sampe ketemu,fy"

rio pun melepaskan genggamannya pd tangan ify.

"rio ayo." panggil iel,anak dari orang tua asuhnya.

Rio mulai berjalan menjauh,diiringi isak tangis teman-temannya dipanti itu.
"bunda,rio titip ify ya" Pesan rio pd bunda romi.

Ify sangat enggan melepas rio,karnaia sungguh sangat menyayanginya,ia merasa tdk memili siapa-siapa lagi setelah kepergian orang tuanya,dan hanya rio yg bisa menghiburnya...
Tapi keinginan rio sangat kuat untuk mendapatkan gelar sarjananya dijakarta.

"apa kak rio bakal kembali bunda?" tanya ify nanar.
"pasti fy" jwb bunda romi,mantap.

Saat hendak memasuki mobil,rio kembali menoleh menatap ify,matanya yg biasa bersinar ceria,kini redup ditelan kepedihan.

Ify berlari kearah rio,dan memeluknya erat. Tangisnya pecah diatas pundak rio,rio membelai rambut lurus ify.

Walaupun langit pada malam itu
Bermandikan cahaya bintang
Bulan pun bersinar betapa indahnya
Namun menambah kepedihan

Ku akan pergi meninggalkan dirimu
Menyusuri liku hidupku
Janganlah kau bimbang
Dan janganlah kau ragu
Berikanlah senyuman padaku

selamat tinggal kasih
sampai kita juga lagi
aku pergi takkan lama

hanya sekejab saja
ku akan kembali lagi
asalkan engkau tetap menanti

Rio bernyanyi dgn lirih,berharap pesan yg ia selipkan pd sepenggal lirik tadi dpt ditangkap oleh ify.

"jangan lupain ify kak" ify bergumam seraya melepas pelukannya
"gak ada,buat kaka lupain kamu,fy"
"rio,ayo.." panggil iel lagi.
"kaka akan selalu kasih kamu kabar fy" tak lama suara derum mobil menyala,rio membuka kaca mobil,sekilas ia tersenyum, "dadah semuaaa" ujarnya.

Tak berapa lama,mobil sedan hitam itupun menjauh,siap membentangkan jarak yg akan segera memisahkan ify dan rio,perlahan,lalu hilang ditelan gelap malam.

*

satu thn kemudian

pluk-pluk-pluk

seorang gadis melempari sungai dgn kerikil,membentuk riak-riak kecil pd permukaan air, teratai yg mengapung anggun diatasnya pun ikut goyah.
Mentari hari itu seperti sedang bekerja dlm performa terbaiknya,tdk terlalu panas,tp cahayanya membias sangat cerah menyinari seluruh bagian bumi.
Gadis itu menatap sendu,gelisah terpeta jelas pd raut wajahnya. Ia sedang menunggu seseorang yg sangat ia rindukan,pd surat terakhirnya rio berjanji akan menemui ify disini hari ini.

"selamat pagi nona alyssa" sapa seseorang,ify menoleh.
"kak riooo" spontan langsung memeluknya
"ify kangeeen"
"kangen sih boleh fy,tp jangan kenceng-kenceng juga kali meluknya,uhuk,uhuk" rio terbatuk.
"hhehe,maap kak"
"fy..."
"hm??"
"kok makin jelek aja sih" ejek rio.
"iiikkhh,kak rio jahat amat sh" ify memukul-mukul pundak rio. Ify memanyunkan bibirnya..
"jiah,ngambek.." goda rio sambil mencolek-colek dagu ify,ifynya tetap manyun.
Rio menarik kunciran rambut ify,hingga rambut ify terurai jatuh menyentuh pundaknya.
"ikh,kak rio,balikin" seru ify.
"ambil donk" tantang rio,saat ify mendekat,rio berlari menjauh.
"kejar donk,wlek"
"kak rio tunggu,awas ya,kalo kena" ify terus berlari,tp langkah kaki rio yg panjang,tentu tak dpt diimbangi oleh ify. Keduanya terus berlarian dibawah terpaan mentari,melepaskan kerinduan yg tlah mengendap dlm hati masing-masing.
"hosh,hosh,hosh,udah akh,kak ify capek" ify menyerah.
"yah,ify payah" ejek rio.
"kak kita foto-foto yuk"
"okeh"

merekapun mulai bergaya,pose-pose aneh dan ajaib mulai diabadikan dalam jepretan-jepretan kamera ponsel ify.

"udah akh fy" ucap rio.
"yah,kakak... Ekh,kakak kok pucet bgt sih,sakit ya" tanya ify cemas.
"gak kok,kecapean aja mungkin" jwb rio.
"ohh" ify ber'oh'

keduanya kembalh terdiam,melihat hamparan sawah dgn pematang yg teratur dihadapan mereka,juga bau rumput khas kota jogja yg sudag setahun ini,rio tinggalkan.

"IFY" teriak sivia,shabat ify,ify berbalik kearah sivia.
"hei,ngapain kamu disini" tanya via seraya menghampiri ify.
"aku lagi main fy,sama kak rio" jwb ify
"kak rio??mana?" tanya via bingung. Sontak ify berbalik.
"lho,tadi kak rio disini vi" jelas ify,via hanya menggelengkan kepalanya.
"kasian ify,pasti dia kangen bgt sama kak rio" batin via.
"daritadi juga gak ada siapa-siapa fy,udah akh,balik yuk,udah mau gelap" ajak via,smbil memandang langit yg mulai biru keabuan.
"tadi kak rio disini kok" ify menggaruk kepalanya,via langsung menarik tangan ify.
"udah akh,pulang yuk"

dari kejauhan,sepasang mata teduh mengamati via dan ify yg mulai menjauh,tersamar langit yg menggelap, "maaf fy..." bibir pucatnya bergumam lirih.

*

Dua hari kemudian.

Pagi ini ify kembali ketepi sungai,bau embun dan semilir angin pagi sedikit membuatnya menggigil. Langit masing kelabu,jalanan pun masih lengah. Kicau burung menemani ify,menunggu sosok itu,sosok Rio.

"kak rio,kemana shh" gumamnya Setelah pertemuan mereka 2hari lalu,rio tdk pernah lagi mencoba menemuh ify.
Sudah 2hari ini ify rutin mengunjungi tempat ini,saat mentari mulai menyapa bumi ataupun saat mentari mengucapkan selamat tinggal,ify selalu menyempatkandiri utuk mengunjungi tempat ini. Tapi rio tak pernah muncul lagi disini, kemana sebenarnya dia?

Alun sebuah symphony,kata hati disadari...

Ponsel ify berbunyi..

Nomer tak dikenal.
ify mengeryitkan dahi.

"halo" sapa ify
"halo fy,ini kaka" balas orang disebrang sana.
"kak rio? Kaka dimana?"
"emmh,kaka udag dijakarta,fy. Maaf ya,kaka gak sempet pamit.
"ohh"

ify kecewa,kerinduannya selama 1tahun hanya terbayar 1hari,bahkan rio tdk berpamitan padanya.
Setidak berarti itukah ify dimata rio?
Beberapa detik,mereka terdiam,meski tanpa bicara,mereka sama-sama tau,kesedihan yg dirasakan.

"selamat tinggal ify,sampai kita jumpa lagi,aku pergi takkan lamaa,hanya sekejap saja ku akan kembali lagi,asalkan kau tatap menanti..," suara rio,membuat ify tdk mampu menahan isaknya.
"jangan nangis fy." pesan rio.
"kak"
"ya.."
"ify sayang kaka"

rio tidak menjawab,sambungan telepon malah terputus,ify menangis sejadi-jadinya,ia sangat ingin bertemu rio,melihat wajahnya,memeluknya dan memastikan rio selalu baik-baik saja.

semburat merah dari ufuk timur mulai menerpa wajahnya yg dibanjiri air mata.

"ify kamu kenapa?" tanya via,yg melihat ify menangis.
"kak rio vi,hiks"
"sabar ya,besok kita kejakarta,kamu bisa ketemu rio disana,aku udah minta pak duta buat nganter kita besok"usul via.
"serius vi??" tanya ify,sivia mengangguk,ify memeluk sahabatnya itu.


To : kak rio
kak aku mau kejakarta

from : kak rio
ngapain,gak usah fy.

To : kak rio
aku kangen ketemu kaka

tapi sms terakhir ify itu pending,saat ify mencoba menelfon,nomor itu juga sudah tidak aktif, "huufh,kak rio gak asik" keluh ify.

*

Dijakarta.

Tok.tok.tok.

"permisi"

Dua orang gadis berdiri didepan pintu sebuag rumah mewah bercat putih.
Pandangan keduanya masih asik berkeliling mengamati bangunan-bangunan besar yg berdiri angkuh,lampu-lampu yg menyilaukan mata,dan kendaraan mewah yg merayap dijalanan.
"jakarta panas ya" keluh via,

Tak berapa lama pintu berdecit terbuka,

"ify"
"hai kak iel" sapa ify,pd gabriel,sodara angkat rio.
"ad ad,ada apa fy" iel tergugup.
"kak rionya ada kak" tanya ify sambil melengok kedalam rumah.
"maaf ya fy,rio sebenernya...hufh" iel menbuang nafasnya sejenak.
"rio udah gak ada,fy" iel menunduk,seakan sangat sulit mengeluarkan kata itu dari tenggorokannya.
"hhahaha,jangan becanda donk kak"
"gw serius fy,rio udah meninggal setaun yg lalu"
"gak mungkin,trus siapa yg selalu nulis surat buat aku,siapa yg 3 hari lalu dateng ke jogja. Kak iel bohong,liat ni.." ify mengeluarkan ponselnya.
"ini nomernya kak rio"

via mengamati nomer itu, "ini kan tanggal lahir kamu dan rio,fy,kalo disatuin."

06122410

ify baru menyadarinya,via benar,mana ada nomer ponsel seperti itu,air matapun segera keluar,sangat menyedihkan rasanya menerima kenyataan bahwa orang yg selama 1thn ia nanti, 1thn ia rindukan,ternyata sudah tdk ada. Hatinya menjerit mengingat terakhir kali ia bertemu dgn rio. Saat itu tangan rio memang dingin dan wajahnya pucat, foto terakhirnya,pesan dari rio,ntah bagaimana bisa menghilang seluruhnya.

*

dipemakaman.

Langit mulai berwarna jingga pucat dgn mentari membuat sempurna,diujung barat. Kesinilah iel mengajak ify dan via,kesebuah pemakaman,barisan pohon kamboja dgn bunganya yg berguguran menyentuh tanah,mengiringi derap kaki mereka. Barisan nisan memenuhi setiap titik pandangan mereka. Langkah mereka terhenti saat samapai di sebuah kuburan,nisannya tertulis sebuah nama yg sangat ify kenal.. MARIO STEVANO ADITYA.
Disinilah sosok tampan itu tertidur pulas selamanya,ia harus pergi setelah kritis selama 3hari setelah menyelamatkan seorang anak dari kecelakaan,tapi naas malah maut menghampirinya.

"Tiga hari lalu tepat Satu tahun rio meninggal fy,mungkin dia nemuin lo buat pamit langsung,karna dia tau gw gak pernah sanggup ngasih tau orang panti soal kematiannya.surat.sms,foto, semua itu mungkin karna rio.belum rela ninggalin kalo. Gw nyesel bgt fy,nyokap gw juga,rio bahkan belum sempet liat sekolah barunya,tapii..." iel tdk sanggup meneruskan kalimatnya.

Selamat.tinggal...ify.sampai..kita...Jumpa..lagi..aku pergi.takkan.lama...hikz,hanya..sekejap .saja,ku.akan...kembali lagi....

Terbata-bata ify menyanyikan lagu itu.
"akankah kaka kembali?" lirih Ify, "berapa lama lagi,ify harus nunggu?" gumamnya.

Kemarahan dan kekecewaan akan taqdir,membuncah didada.
Ingin ia merutuki tuhan atas semua ini,kesedihan menguasai dirinya.
Ify takut,takut menghadapi hari esok,ify tak bisa bertahan tanpa rio,disisinya.
Ify terus menangis,airmata seakan enggan untuk berhenti,ia meremas gundukan tanah merah didepannya.

Sivia hanya bisa memandang nanar, "kita balik kehotel yuk fy,udah mau gelap" ajak via.
"trus kak rio sama siapa?" ify bergumam tak jelas,tatapan matanya kosong tak terarah.
"fy aku mohon,jgn kayak gini" sivia mulai ikut menitikan air mata,ia memapah ify yg seperti raga tanpa jiwa.

"akankah dia kembali vi?"
"akankah kaka kembali"
"aku cuma pengen liat senyumnya,sebentar aja,apa dia mau kembali vi?" ify bergumam sendiri,iel dan via sangat sedih melihat keadaan ify,ntah apa yg harus mereka upayakan nantinya untuk mengembalikan ify yg dulu.

Mereka tetap berjalan perlahan meninggalkan komplek pemakaman yg mulai gelap dan sunyi.

"selamat tinggal ify,sampai kita jumpa lagi" gumam sosok yg berpakaian serba putih,ia berdiri tak jauh dari sana,ia tersenyum perih, "kenapa aku harus secepat ini kau panggil tuhan??"

wusssss
tiba-tiba angin berhembus kencang.

Happp

iel,menangkap selembar foto yg melayang diudara, foto ify dan rio sedang tersenyum kearah kamera,dgn background hamparan sawah khas jogjakarta.

"ify bener,rio sempet mengunjunginya. Mungkin rio blm ikhlas meninggalkan ify" lirih iel.
Via ikut mengangguk setuju,mereka terus berjalan dibawah sinar bulan dan kukukan burung hantu...


THE END

Aku Nggak Suka Sad Ending, Shill. (cerpen)

Aku Nggak Suka Sad Ending, Shilla.

***

"lebay," komentar seorang pemuda saat keluar dari sebuah bioskop.

"selalu gitu," batin gadis yang berjalan di sampingnya.

Keduanya berjalan ke arah parkiran, pemuda itu membukakan pintu mobil untuk gadisnya.

"kenapa sih, yo? Filmnya bagus kok," gadis itu akhirnya membuka mulut.

"bagus apanya sih? dari awal sampai akhir kamu nangis terus, apa bagusnya film kayak gitu?" jawab pemuda yang bernama rio itu.

"aku kan terharu, yo," balas si gadis.

"shilla sayang, aku nggak suka liat kamu nangis, entah itu hanya karena sebuah novel atau film."

"aduh duh, rio sayang belajar gombal dari siapa sih?" goda shilla seraya mencubit pipi Rio dengan tangan kanannya.

Rio hanya membalas dengan senyum, "aku nggak suka yang sedih-sedih, shil. apalagi sad ending. Bukannya semua orang pengen akhir yang menggembirakan?"

"tapi hidup itu kan nggak selalu indah."

"justru karena itu, hidup itu nggak selalu indah, terus kenapa kita mesti nambah buruk keadaan dengan nonton atau baca yang sedih-sedih?" jelas rio sambil tetap fokus pada kemudi mobilnya, "kamu tau mentari shil? dia selalu terbit dengan indah dan tenggelam juga dengan indah, jadi bukan nggak mungkin kan kehidupan kita akan selalu indah kayak mentari," lanjut rio.

rio dan shilla. mereka adalah sepasang kekasih, sudah dua tahun mereka berpacaran. Tapi kemesraan dan kebahagiaan mereka sama sekali tidak berkurang malah terlihat terus bertambah seiring usia hubungan mereka. Shilla yang dengan setia menyuguhkan senyum dan kasih sayang untuk rio, ataupun rio yang selalu menghujani shilla dengan pujian dan ketulusan. keduanya memang sangat cocok. Setiap mata yang melihat mereka tentu tak dapat mengungkap apapun, selain rasa iri.

"kalo aku pribadi sih, lebih suka sad ending, yo," ucap shilla tiba-tiba, memecah keheningan yang tadi tercipta di antara keduanya.

Rio hanya mengangkat kedua alisnya.

"buat aku, cerita atau film yang sad ending itu, lebih dapet feelnya," lanjut shilla sambil tersenyum manis sekali,
senyum yang selama dua tahun ini selalu berhasil menghadirkan bunga-bunga kecil di hati rio.

"tapi nggak dengan kisah kita kan?" kata rio, satu tangannya menggenggam erat tangan shilla.

"kamu salah, yo. Bahkan mungkin kita akan jadi bagian dari cerita sad ending itu," batin shilla, "oh iya, tentu. Aku selalu pengen kita, atau tepatnya kamu, aku selalu pengen kamu bahagia," jawab shilla mantap, "eh yo, berarti kamu nggak pernah baca novel-novel aku dong?" tanya shilla. gadis itu mnerucutkan bibir tipisnya.

"Hehe," Rio menyeringai, "maaf ya sayang, kamu kan tau aku paling malas baca novel-novel cewek kayak gitu. Lagian kenapa sih kamu selalu nulis novel yang berbau kematian, perpisahan, kenapa nggak kamu buat cerita dari kisah kita, pasti nggak akan ada sedih-sedihnya kayak gitu," ujar rio sambil terus melajukan mobilnya melewati jalanan kota bandung dengan kelap-kelip lampu malamnya.

Shilla adalah mahasiswa semester dua yang akfif di dunia tulis menulis. ia juga di kenal sebagai penulis yang mahir dan berbakat, setiap ceritanya selalu mampu mengurai air mata setiap para pembaca.

"tapi yang ini dibaca ya," shilla mengangsurkan sebuah buku bersampul warna kuning dengan judul seribu burung kertas tertulis dengan huruf sambung warna biru laut, "ini mungkin yang terakhir dan kamu harus baca, sampai selesai ya," pinta shilla.

"Yang terakhir sad ending maksudnya?" tanya Rio, lagi-lagi shilla tidak menjawab hanya tersenyum singkat, "Ok deh," sanggup Rio pada akhirnya. walaupun rio tidak mengerti makna di balik kata 'yang terakhir' dari shilla tadi.

CCIIITTTT

Rio menghentikan mobilnya, mendadak.

"sivia!" gumamnya.

"mana yo?" tanya shilla.

"itu shil," rio menunjuk ke arah kerumunan orang banyak di ujung jalan.

Rio dan Shilla segera keluar dari mobil, menerobos segerombolan orang di depan mereka. Dan mata mereka sontak melebar, melihat sivia, sahabat mereka, menangis histeris seraya duduk memangku tubuh kaku seorang pemuda yang bersimbah darah. di sisi gadis itu, terparkir kendaraan yang dari bentuknya sekarang sudah tidak bisa dibilang mobil lagi.

"Bangun Gabriel, bangun. jangan tinggalin akuuuu," sivia terisak tak keruan, butiran-butiran bening itu sudah mengalir deras membasahi pipinya.

"nggak selalu happy ending kan yo?" bisik shilla, lalu menghampiri sivia ingin menenangkan gads itu.

rio tertegun, "tapi sad ending itu milik orang lain, shil. nggak akan pernah jadi bagian dari kita," teguhnya dalam hati.

Lalu keduanya menghampiri sivia dan gabriel, kekasihnya yang ternyata sudah tewas di tempat karena kecelakaan yang baru saja menimpa mereka.

*

rio segera menyambar jaket dan kunci motornya, secepat mungkin melarikan kuda besi itu ke arah rumah sakit. sesampainya di gedung besar bernuansa putih itu, Rio segera berlari menyusuri koridor rumah sakit, ia terus berlari. Ia berkali-kali menabrak orang yang berlalu lalang tapi tak diacuhkannya, wajah pemuda itu mengisyaratkan kekhawatiran yang mendalam. Sejak menerima kabar bahwa shilla koma, yang ada dibenaknya tentu hanya gadis itu.

Ceklikk

pintu kamar rawat shilla dibuka, pemandangan di depannya membuat rio ragu untuk melanjutkan langkahnya. tapi sedetik kemudian diteguhkan hatinya. Shilla sudah tertidur pulas sejak tiga hari lalu, begitu kabar yang ia terima dari Kak Alvin, kakak sulung Shilla. rio menghampiri tempat tidur shilla. Dibelainya rambut shilla yang biasanya terurai hitam dan indah, tapi kini sudah mulai tanggal satu persatu.

"mimpi kamuudah berapa episode, shil? Bangun dong, apa kamu nggak kangen sama aku?" rio mulai bergumam kecil.

Ia tak menyangka, baru seminggu rio meninggalkan shilla ke manado karena keperluan keluarga dan saat rio kembali ia harus mendapati gadisnya terkulai lemas di ranjang rumah sakit. Rio larut dalam kesedihannya, ketakutan dan cemas telah membayanginya sejak tadi. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, pelan.

"jangan murung gitu, beri dia semangat!" kata kak alvin, "maafin shilla yo, dia nggak kasih tau soal penyakitnya ke elo selama ini. kanker darah dan sekarang udah stadium lanjut," jelas alvin.

BBRRAAAKK

Hati rio seakan diruntuhi langit, ia limbung bahkan ia tak lagi mampu merasakan deru nafasnya sendiri. Pikirannya dihempas jauh, jauuuhh sekali dari dugaannya. Gadisnya, gadis yang selama lebih dari dua tahun ini menghujaninya perhatian, yang selalu menjadi tamu dalam mimpi-mimpi indahnya, yang selalu tersenyum ceria, ternyata menyimpan rahasia besar. ternyata dirundung sakit yang begitu parah. lalu bagaimana Rio bisa tidak tau? kenapa ia bisa begitu teledor mengamati kesehatan kekasihnya yang belakang memeburuk. Rasa sesal pun memenuhi rongga dada Rio.

"tuhan, pindahkan rasa sakitnya kepadaku, biar aku yang menggantikannya, biar aku yang melawan rasa sakit itu. kembalikan tawanya tuhan, kembalikan senyumnya," pinta rio dalam hati.

"shilla nggak suka lihat lo sedih, lo itu semangatnya dia, kasih dia motivasi, temenin dia, bujuk dia buat bangun, cuma lo yang bisa yo, gue yakin!" tambah kak alvin.

*

"siapa yang kamu mimpiin sih shil? Sampai kamu betah banget tidurnya. udah dua minggu lho Shil, kamu tidurnya," ucap rio yang saat itu sedang menemani shilla.

Rio memang selalu menemani shilla, tak pernah alpa, ia ceritakan semua kegiatannya setiap hari. rio berharap shilla dapat mendengarnya dan segera sadar, "shil, kita kan mau nyomblangin sivia sama kakalvin, kamu lupa? ayo dong, kamu cepet bangun, aku udah punya rencana ni," lanjut rio.

Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. diraihnya sebuah buku bersampul kuning yang beberapa minggu lalu diberikan shilla. rio belum juga selesai membacanya, jangankan dibaca, disentuh pun belum. Rio memang tidak suka membaca novel-novel cengeng khas anak cewek. Tapi kali ini ia memcoba untuk mulai membacanya, halaman demi halaman. Rio sangat terkejut, barisan kata yang terangkai dalam novel itu membentuk sebuah kisah. kisahnya dengan Shilla. Ini kisah mereka, rio dan shilla, rio sangat hafal jalan ceritanya bahkan ia bisa menebak apa yg akan terjadi di part-part selanjutnya tanpa harus membacanya dulu. Tapi saat sampai pada klimaks buku itu, rio tak mengerti, ini sedikit berbeda dengan kisahnya, di sana dikisahkan tokoh ara, pemeran wanita sakit keras, tapi vano kekasihnya selalu dengan setia memberikan semangat. Vano juga percaya akan satu mitologi kuno dari jepang tentang 1000 burung kertas. Siapa yang menerbangkan 1000 burung kertas dan menuliskan harapan di dalamnya, maka harapan itu bisa terwujud. Dengan semangat tokoh vano dalam cerita itu, membuat 1000 burung kertas dan menerbangkannya bersama sebuah harapannya. Alhasil, voila, sembuh. Kesehatan ara, berangsur membaik dan keduanya bisa bersama merangkai mimpi dan jalan mereka kembali.

happy ending. Sesuai permintaanmu pangeranku. Love you

Itu isi secarik kertas kecil yang tersimpan di akhir halaman novel itu.

Tanpa pikir panjang dan dengan harapan kisahnya akan sama dengan cerita dalam novel itu, rio pun sejak saat itu mulai membuat burung-burung kertas dengan torehan kata yang berbunyi.

tuhan, aku mohon, biarkan dia dan senyumnya kembali menghiasi hari-hariku, aku mohon.

setiap hari rio membuat burung-burung kecil dari kertas. Ia selalu berharap, meski harapan itu hanya sebulir embun atau sekecil debu. Begitupun hari ini, senja mengiringi rio menerbangkan burung kertasnya yg ke 999. Rio menatap burung itu yang mulai menjauh tertiup angin sore.

"RIO,SHILLA SADAR. dia pengen ketemu lo," teriak alvin dari kejauhan.

Riopun segera berlari ke kamar shilla. Ah akhirnya doanya dikabul Tuhan.

"shilla," panggil rio, shilla tersenyum.

"aku kangen kamu, tau. Kamu lama banget di manadonya," ujar shilla manja.

"kalo kangen kenapa baru bangun sekarang?"

"yo," lirih shilla, matanya memandang lurus ke langit-langit, "aku suka cerita sad ending, karena aku merasa bagian darinya. aku suka cerita sad ending, karena setelah membacanya aku merasa semakin kuat. aku...hoeks, hoeks," tiba-tiba shilla muntah dan mengenai pakaian rio, "hoeks,hoeks... maaf yo."

Rio tersenyum maklum, "nggak pa-pa shil, nggak pa-pa," kata rio tulus, dengan tangannya dibersihkan bibir shilla dan pakaiannya, tanpa rasa jijik sekalipun, "udah ya, shil,kamu istirahat aja."

"dingin ,yo" lirih shilla.

Rio pun memeluknya, ia merasakan degup jantung shilla yang mulai melemah, juga deru nafas gadis itu yang mulai tidak teratur.

"tunggu sini ya shil," rio melepaskan pelukannya, ia berlari ke taman rumah sakit dimana tasnya tadi ia tinggalkan begitu saja setelah menerbangkan bunga kertas.

Rasa takut dan air mata sudah menyertainya sejak tadi, bayangan perpisahan pun semakin jelas di mata.

Di taman itu ia melipat burung kertas terakhirnya, segera ia terbangkan tapi sebelum burung itu mengudara, hujan telah lebih dulu menghujamnya. Burung kertas itupun perlahan jatuh, menyentuh tanah. Rio tertegun, tubuhnya basah kuyup diguyur air hujan.

"haruskah sad ending?" batinnya tak terima.

Rio berjalan gontai ke kamar Shilla, ia benar-benar putus asa. Rio tidak heran ketika melihat kak Alvin menangis di depan pintu kamar rawat Shilla, ia juga tidak terkejut melihat monitor di sebelah tempat tidur shilla yang berubah jadi garis lurus. Ya mungkin memang harus seperti ini pada akhirnya. Rio terduduk lemas, gadisnya telah pergi, tak akan ada lagi senyum manisnya, curahan kasih sayangnya, limpahan perhatiannya. Saat jasad shilla didorong melewatinya, ia berdiri, dipeluknya tubuh kaku itu untuk terakhir kali, dingin. Kehilangan menjalari setiap inci tubuhnya, pedih.

"Aku nggak suka sad ending shil, nggak suka dan nggak akan pernah suka," bisiknya. mungkin inilah dulu yang dimaksud shilla 'yang terakhir', novel yang dibaca rio beberapa hari yang lalu adalah karya shilla yang terakhir.

Hujan yang turun kala itu mengantarkan aroma perpisahan dan kesedihan. Melepas seseorang yang kita cintai tentu lebih sulit dibanding harus menjagnyaa seumur hidup.

jika hidup adalah sebuah perjalanan maka mati adalah sebuah tujuan


the end.

***
Best regard

via

Pelangi Persahabatan Kami (cerpen)

Pelangi Persahabatan Kami

***

separuh darimu menjadi bagian dari kami
separuh darimu memberikan kekuatan pada kami
dan separuh darimu menjadi setitik kehidupan untuk kami


tetesan air langit masih saja mengguyur bumi, sejak tadi pagi.
Awal november. ah ya, tentu saja hujan yang berkuasa. bahkan tumpahan air langit itu tidak mengizinkan senja muncul hari ini untuk sekedar menjemput mentari kembali keperaduannya. Dan aku masih terdiam di sini sejak beberapa menit lalu. mendengar dendang tangis milik seseorang yang sepertinya aku kenal. Pemuda tampan dan manis begitu kata orang tentangnya. Tapi aku tak tau bagaimana rupanya, ya... karena memang aku belum pernah melihatnya. Aku ify, karena sebuah kecelakaan aku buta sejak kecil dan karena itu pula aku tinggal dipanti ini setelah orang tuaku meninggal akibat kecelakaan yang sama. dengan langkah tersaruk, kucoba menghampiri pemilik dendang tangis itu.

"ngapain kamu disini sendirian yo?" tanyaku padanya.

"jangan sok peduli. pergi sana!" ketusnya padaku.

"yo, ayo kita masuk, kamu kan baru sembuh." ajakku sedikit memaksa.

"gue bilang jangan sok peduli! udah lo pergi sana. gue baik-baik aja. GUE SEHAT," tekannya setengah berteriak, "Gue nggak kayak lo sama teman-teman lo yang lemah, penyakitan," tambahnya, kasar.

Ah menyakitkan sekali ucapan pemuda ini. ada apa dengannya? mengapa mulutnya bisa bicara setajam dan semenusuk itu? Tapi sudahlah, aku tidak peduli dengan apa yang baru saja dikatakannya, yang terpenting adalah segera mengajaknya masuk karena udara di pelataran sini, mulai terasa mendingin. aku tentu tak akan tega membiarkan rio, sahabatku, sendirian di luar padahal cuaca sedang begitu tak bersahabat apalagi dia baru sembuh dari sakitnya.

"kalo kamu nggak mau masuk, aku juga bakal tetep di sini temenin kamu," ancamku.

"udah deh, PERGI SANA!!!"

Aku merasa dorongan keras pada tangan kananku, hingga tubuhku tersungkur. sepertinya Riolah pelaku pendorongan itu.

"ify!!!" teriak suara baritone yang aku yakini milik Alvin.

kemudian terdengar langkah-langkah kaki yang berlarian ke arahku dan sepasang tangan lembut yang membantuku untuk bangun.

"fy, kamu nggak apa-apa?" suara seorang gadis menyapa indera pendengaranku, sepertinya aku mengenal suara itu. suara milik sivia, sahabat sekaligus gadis yang membantuku berdiri tadi (sepertinya).

Mereka semua adalah sahabat-sahabat terdekatku. Alvin, Sivia dan Rio tentunya. kami berkawan sangat dekat. Alvin adalah penderita penyakit kerusakan hati, sedangkan sivia menderita gagal ginjal. Aku sendiri (seperti sudah aku katakan tadi), buta. Panti ini memang dibangun khusus untuk anak-anak seperti kami. anak-anak yang diberikan kelebihan oleh Tuhan. Ya penyakit-penyakit yang kami derita, aku menyebutnya sebagai kelebihan. bukan apa-apa aku hanya tidak ingin menambah beban hidup anggap saja semua yang Tuhan berikan padamu kemarin, hari ini ataupun esok adalah kelebihan yang pantas disyukuri. paling tidak itu akan membuatmu merasa lebih baik dan mengurangi beban. Di panti ini kami merasa lebih nyaman, kami merasa sama dan senasib, di sini kami belajar saling melengkapi, belajar peduli, saling menyemangati dan berbagi.

Tapi rio? Dia berbeda dengan kami, seperti yang (sering) dia katakan, Rio tidak sakit. Tidak cacat seperti kami. setauku, sebelas tahun yang lalu, ibu panti membawa seorang anak berusia sekitar lima tahun. anak itu menagis terus. Ibu panti bilang beliau menemukan anak itu, di station. Anak itu menangis kebingungan mencari ibunya. mungkin dia terpisah dari orang tuanya atau mungkin sengaja di tinggal. Ah, entahlah, itu tidak penting untuk kami. Saat itu yang kami fikirkan adalah kami akan mempunyai teman baru lagi yang bernama Rio.

"orang tuaku, pasti akan menjemputku."

itu adalah kalimat andalan rio yang aku hafal betul. Dulu saat awal-awal Rio tinggal di panti, anak itu menolak setiap kali kami ajak bermain. Dia sepertinya tidak suka dengan keberadaan kami, dia lebih suka sendiri, asik dengan dunianya yang entah berisi apa, tak ada yang tau, karena memang tak pernah dibagi. Tapi seiring berjalannya waktu, sosok asli rio mulai muncul. Rio anak yang lucu dan baik hati. Pada dasarnya rio itu ramah dan penyanyang, kami semua jadi mulai terbiasa membaur dengannya, sebagaimana Rio pun mulai bisa menerima kami sebagai bagian dari hidupnya yang baru.
Aku, sivia, alvin dan rio memang sangat akrab. Kami sering bermain bersama. Rio mengajari banyak hal pada kami, termasuk semangat yang tak pernah padam untuk sembuh. Rio yang mengajari alvin bermain gitar, menemani bermain sepak bola, bahkan rio juga tidak canggung membantu sivia merawat bunga-bunganya. Rio juga selalu menceritakan hal-hal yang tidak bisa aku lihat, seperti keindahan saat mentari terbenam, bunga yang bermekaran, rinai hujan, juga tentang sosok alvin dan sivia. Rio bilang alvin itu ganteng, tinggi, kulitnya putih. sedangkan sivia, cantik, pipinya bulat menggemaskan. Dan rio bilang kalau aku itu manis, dengan dagu tirus dan rambut lurus yang membingkai wajahku.

Tapi entah mengapa sejak beberapa bulan lalu, sosok rio mulai berubah. ia kembali menjadi rio yang dulu, yang tertutup, yang tak mengizinkan seorangpun masuk dalam hari-harinya. rio yang cenderung kasar dan sangat menyebalkan.

"yo, kamu apa-apaan sih?" bentak alvin.

"LO NGGAK USAH IKUT CAMPUR!"

"tapi kita sahabat kamu yo dan kita sedih liat kamu kayak gini. ada apa sebenarnya?" tambah sivia.

"kamu kenapa sih yo? Kita kangen rio yang dulu," tanyaku sehalus mungkin.

"ini gue rio. Yang ada di hadapan lo semua, inilah rio yang asli. Rio yang kemarin udah mati. MATI!"

aku mendengar langkah-langkah kaki menjauh, sepertinga sepasang kaki milim Rio. Ya Tuhan ada apa dengan sahabatku itu?

*

sore itu selepas hujan, kami bertiga, aku,alvin dan sivia (lagi-lagi tanpa Rio), berkumpul di danau bintang. Danau ini, riolah yang menemukannya. Sudah berapa lama rio tidak mengunjungi tempat ini? Akhir-akhir ini, rio lebih sering mengunci diri di kamarnya. Danau ini menurut cerita Rio, di kelilingi barisan pohon pinus dengan daun-daun mungilnya yang berwarna hijau cerah yang selalu berhias butiran-butiran air selepas hujan. Air danaunya bergerak perlahan membiaskan langit di atasnya. Saat malam, danau ini akan menghamparkan ribuan bintang, karena itulah Rio menamainya danau bintang.

"eh, eh lihat ada pelangi!" kata alvin, heboh.

"oh ya?" balasku.

"iya fy," jawab sivia, singkat.

"andai ada rio di sini, pasti dia akan dengan senang hati bercerita tentang perwujudan pelangi itu," batinku,
"aku kangen rio" gumamku.

"kita juga, fy." timpal alvin dan sivia bersamaan.

Setelah itu, kami terdiam. Tak berapa lama pelangi pun hilang. kami bergegas untuk pulang, Sivia menuntunku perlahan. tapi kemudian derap kami terhenti.

"ada apa?" tanyaku tak mengerti.

ternyata alvin dan via melihat rio melangkah perlahan ke arah sebuah pohon, rio menggali lubang di sana dan menguburkan sesuatu.

"Eh Rio kenapa? kok kayaknya nangis?" sivia bertanya-tanya.

"rio nangis? Aku mau samperin dia," kataku.

"jangan fy, entar kamu kena bentak lagi. udahlah mungkin dia udah nggak butuh kita." cegah alvin.

"tapi dia kan sahabat kita, kasihan," belaku.

"Iya Fy, tapi mungkin Rio emang lagi butuh sendiri untuk beberapa waktu," imbuh Sivia.

*

Dua minggu setelah kejadian itu, sekarang di sinilah kami. ditemani suara guntur yang melolong menyeramkan, kami berdiri bisu menunggui sosok lemah seorang pemuda. Dari percakapan Alvin dan Sivia, pemuda itu tertidur pulas dalam sebuah ruangan, ia terlihat begitu letih, guratan kesakitan hampir menghilangkan ketampanannya. Rambutnya menipis, kulitnya pucat, bibirnya hampir seputih salju dan tangan yang dulu selalu diulurkan untuk membantu teman-temannya, kini terkulai tak berdaya di sisi tubuhnya. memilukan bukan?

Air mata? Ah ya tentu tak dapat lagi dihitung, berapa banyak yang sudah tertumpah.

"rio selalu bilang, kalian segalanya untuknya, maafkan sikap rio selama ini pada kalian. dia hanya tidak ingin kalian sedih saat dia pergi nanti," jelas ibu panti kepada kami.

Aku terisak, "ibu jangan bilang begitu, rio pasti sembuh. Kita selalu mendoakannya," ucapku getir.

Semua hanyut dalam kesedihan dan doa. Doa untuk sahabat terbaik kami. Aku takut, entah mengapa aku merasa rio akan segera pergi meninggalkan kami, tapi segera kutepis perasaan itu. Bagaimana jadinya kami tanpa dia, bukankah dia yang selama ini menyemangati kami, yang ikut merasakan kesakitan alvin, yang ikut menangis melihat sivia kemoterapi, yang selalu berbaik hati jadi tongkatku, cahayaku. Tentu tuhan tidak akan sejahat itu, mengambilnya dari kami. Bersamaan dengan doa yang terus mengalir untuk rio yang sedang berjuang di dalam sana, memori tentang riopun mengalir dalam fikiran kami masing-masing.

"HAHAHA."

kami kompak menertawakan rio yang (sepertinya) terpeleset ke dalam air danau saat itu, rio tentu saja hanya ketawa-ketiwi tidak jelas. memang sangat aneh bocah itu.

"eh, eh, lihat tu ada pelangi," tunjuk sivia.

"eh iya, tapi kok nggak ada warna hijaunya ya?" tanya alvin heran.

"bukan nggak ada vin, mungkin belum jelas. Pelangi itu akan selalu datang dengan warna yang lengkap. sama kayak kita yang selalu sama-sama," jelas rio.

"iya ya Yo, pengen deh kita selalu sama-sama. persahabata kita kayak warna-warni pelangi gitu, selalu lengkap. Tapi sayangnya nggak mungkin ya, suatu hari, salah satu dari kita pasti bakal pergi duluan. hm... nggak kebayang gimana sedihnya."

"jangan ngomong git dong Vi. alvin pasti bakal dapat pendonor hati, kamu pasti bakal dapat ginjal yang cocok dan ify juga akan bisa melihat lagi. percaya deh, suatu saat kalian akan sembuh dan lihat pelangi itu sama-sama sambil tersenyum," tutur Rio, menyemangati

"iya aku percaya. aaaaa...jadi nggak sabar pengen bisa liat pelangi," seruku.

*

kami berlari kecil di koridor rumah sakit. sivia terus menggandeng tanganku. Senyum manis merekah di sudut bibir kami.

Rio sadar.

Ah bahagia sekali rasanya mendengar berita ini dari ibu panti.

"rio," sapa alvin.

"haiii," rio tersenyum, kami menatapnya sedih, "pada kenapa sih, nggak usah didramatisir gitu deh. gue sadar bukan buat liat kalian sedih-sedih gitu."

"kamu harus janji yo." kata alvin.

"janji apa?" tanya rio.

"janji nggak bakal ninggalin kita," lanjut alvin.

"iya. dan kamu juga harus cepet sembuh yo," tambahku.

Rio tidak mengiyakan, "Gue pengen jalan-jalan ke luar. kalian mau anterin kan? nggak akan lama kok, sebentar aja," pinta rio.

"ya udah ,tapi sebentar aja ya. kamu kan harus istirahat," balas Alvin.

"aku minta izin ke dokter dulu kalau gitu," usul sivia.

*

kamipun mulai menyusuri jalan berumput menuju ke taman rumah sakit dan kalian tau? Rio meminta aku. aku yang buta ini, untuk mendorong kursi rodanya. Dia selalu mengarahkanku, menuntunku ke jalan yang tepat. Aku semakin sadar akan sangat sulit berpisah darinya, dia adalah titik cerah yang tuhan kirimkan untuk sosok-sosok dalam kegelapan seperti aku. Saat sampai, kami disambut oleh bau khas tanah yang yang tersiram air hujan.

"eh, eh, ada pelangi," teriak via.

"selalu indah," guman rio.

Kami semua menatap barisan warna itu. akupun seakan menemukan lengkungan berwarna itu dalam kegelapan.

"aku pengen jadi warna merahnya, kuat dan berani, supaya bisa jagain kalian," kata alvin, tiba-tiba.

"kalo aku pengen jadi kuning, ceria dan periang, supaya aku bisa bikin hari kalian selalu cerah," lanjutku.

"aku pengen jadi warna hijaunya, tenang dan lembut. Biar aku bisa bawain kalian kesejukan." tambah sivia.

"dan gue pengen jadi hujannya," ucap rio.

"kenapa hujan yo? Kenapa nggak jadi langitnya. langit tempat pelangi bergantung," saranku.

"suatu saat, kita pasti akan pisah, dan gue bakal jadi orang pertama yang mempersatukan kita. Kalian tau kan, pelangi nggak akan muncul tanpa seruan hujan. Karena itu gue pengen jadi hujan, hujan yang akan memanggil kalian, warna-warni pelangi."

aku menangkap kata-kata itu sebagai ucapan selamat tinggal. bukankah Rio dulu bilang kami akan melihat pelangi bersama-sama sambil tersenyum. lalu kenapa sekarang tiba-tiba pemuda ini bicara tentang perpisahan? Aku berfikir bahwa rio sadar bukan untuk sembuh, tapi hanya untuk mengizinkan kami mendengar suaranya untuk yang terakhir kali.

"kita balik yuk yo!" ajakku.

"entar fy, tunggu pelanginya hilang," rio menolak.

Kami menikmati kemunculan pelangi sore itu, pelangi terakhir yang bisa kami nikmati bersama kehadiran rio. karena setelah itu, bersamaan dengan pelangi yang memudar, mata riopun perlahan merapat. terpejam dan tak akan pernah terbuka lagi untuk selamanya. kami tidak akan mendengar celoteh ramai pemuda itu lagi ataupun permainan musiknya yang mengagumkan.

"hiks," aku mendengar sivia terisak.

"pelanginya udah hilang yo, ayo kita balik," lirih alvin.

Kita sama-sama tau bahwa jiwa rio telah meninggalkan raganya. Aku menggenggam tangan rio, sedingin es. Saat menuju rumah sakit aku kembali yang mendorong kursi roda itu, kali ini alvinlah yang mengarahkanku. kami fikir permintaan Rio agar akulah yang mendorong kursi rodanya adalah permintaan terakhir pemuda baik hati itu. kini tentu berbeda, raga yang duduk di atas kursi roda tak lagi menunjukan arah yang harus kutempuh. Kami semua terdiam, merasakan gejolak kesedihan dalam relung hati.

*

hari itu cuaca cerah, burung- burung berterbangan di angkasa. Kami berdiri di sini, di bawah sebuah pohon besar di tepi danau bintang.

"sekarang vin!" pinta sivia.

alvin pun mulai menggali tanah itu, tak berapa lama sebuah kotak muncul dari dasar lubang yang tidak terlalu dalam. Alvin mengambil dan membersihkannya dari beberapa bulir tanah. Kami bertiga sepakat untuk segera membukanya. Membuka kotak yang rio kubur waktu itu. Saat kami membukanya, kami dapati lima buah benda di sana, hiasan meja berbentuk gitar dari alvin, syal biru tua dari sivia, gantungan kunci berbentuk bola basket dariku dan selembar foto. Foto kami berempat sedang tertawa lepas menatap kamera.

"ternyata memang manis," batinku.

Ya, inilah kali pertama aku melihat wajah rio. pemuda itu memang terlihat manis, wajahnya ramah, tatapan matanya hangat dan senyumnya, tipe senyum yang selalu berhasil membuat siapapun yang melihatnya ingin ikut tersenyum. Sekarang kami bertiga telah sembuh. tak tahu ada keajaiban apa dan bagaimana ceritanya, tiba-tiba sehari setelah kepergian rio menuju keabadian, ada seorang pendonor yang suka rela memberikan separuh dari dirinya untuk menjadi setitik kehidupan untuk kami.

Dan terakhir, penghuni kota Rio adalah sepucuk surat yang ditaruh di dasar kotak. Alvin mulai membuka dan membacakannya. Aku dan sivia mendengarkan.

Gue Rio. gue bukan cowok hebat, bukan pemain basket, penyanyi terkenal ataupun cowok keren yang diuber-uber banyak cewek. Gue Rio dan gue cuma cowok biasa. seorang yang baru nemuin kebahagian di sini. di panti ini. gue baru ngerasain gimana rasanya disayangi, gimana indahnya diperhatiin dan dianggap ada. dari kecil gue sendiri, nggak tau lah mungkin gue dibuang sama orangtua gue, mungkin mereka nggak sanggup biayain hidup gue, atau mungkin karena gue anak dari hasil hubungan gelap. ah itu nggak penting buat gue. gue bersyukur karena dengan gitu akhirnya gue bisa ketemu mereka. Ify, sivia dan alvin. Sobat kebanggaan gue. semangat gue, hidup gue.
Gue rela nuker apapun yang gue punya demi mereka. Saat gue tau, mereka bakal cepat ninggalin gue, gue takut, gue sedih. gue berdoa supaya gue duluan yang dipanggil tuhan, supaya gue nggak perlu ngerasain sedihnya kehilangan mereka. Dan tuhan kabulin doa gue dengan kanker otak. haha lucunya sesaat gue sempet berfikir itu anugrah, tapi gue langsung sadar ,gimana mereka kalo gue pergi, siapa yang bakal jagain mereka?
Berpura-pura semuanya baik-baik aja, tentu bukan hal yang mudah, jadi gue milih jauhin mereka. Gue nggak mau semangat mereka buat sembuh hilang saat tau keadaan gue. Gue nyesel sama doa gue, gue nggak yakin sanggup biarin mereka sedih. gue nggak akan sanggup ninggalin mereka, gue masih pengen liat senyum mereka. Akhirnya gue putusin, gue titipin sebagian dari gue ke mereka. kalau suatu saat gue benar-benar pergi, gue bakal donorin mata untuk ify hati untuk alvin dan ginjal untuk sivia. semoga tuhan kasih keajaiban dan organ-organ tubuh gue cocok sama mereka dan gue bakal tetap bisa di sisi mereka meski dalam wujud yang nantinya akan berbeda.


Tak ada airmata yang tercurah dari kami bertiga, melepas sahabat terbaik kami tentu bukan dengan airmata. dan kmai yakin rio tidak akan suka melihat kami menangis. Lagipula hujan telah mewakili kami. aneh ya, saat ini hujan turun cukup deras, padahal hari sangat cerah, bahkan mentari tak beranjak dari tempatnya. Kami berlari-lari kecil di tengah hujan, seperti yang sering rio lakukan dulu, kami berkejaran dan tertawa lepas menikmati hujan. Biarlah raganya menjauh, tapi kasih sayangnya tentu masih mengalir dalam deru darah kami.

"eh, liat ada pelangi," tunjuk sivia.

"kamu berhasil jadi hujan yo," ucapku lirih.

"rio berhasil bawain pelangi buat kita," lanjut alvin.

Kamipun berdiri tegak, menautkan tangan kami, menatap barisan warna yang di kirim sahabat kami,pelangi persahabatan kami.


the end

***
best regard

via 

Tanpa Tangan Kananku (cerpen)

Tanpa Tangan Kananku (cerpen)

***

Kemilau cahaya mentari menerobos masuk ke dalam kamar anak laki-laki itu. Sang empunya kamar tiba-tiba tersentak, ia terjaga dari mimpi-mimpi kecilnya. Segera ia bangkit dan menyibak selimut hangatnya. dijejakkan kakinya kelantai, ah masih terasa dingin ternyata. Dengan tergesa diambilnya tas sekolah doraemon di meja dekat tempat tidurnya, dikeluarkan sebuah gambar dari dalam tas itu. Sepasang kaki mungil itu langsung berlari lincah keluar kamar. entah apa yang akan dilakukan bocah lucu itu.

"ma, pa, mama, papa!!!" teriaknya menunggu sahutan.

Seorang perempuan paruh baya tergopoh-gopoh menghampirinya.

"aden, kok udah bangun?" tanya wanita yang ternyata pembantu rumah tangga, di rumah mewah itu.

"bi, mama sama papa mana?" tanya bocah itu.

"nyonya sama tuan sudah berangkat ke bandara tadi pagi-pagi sekali, den. Mereka ada rapat di luar kota." jelas si Bibi.

"yaahh, padahal aku mau nunjukin ini," rajuk anak itu kecewa, sambil mengangsurkan buku gambarnya.

"wah, bagus sekali gambarnya. dapat nilai 9 ya?" puji si Bibi saat mengamati gambar anak laki-laki itu.

"bi,aku pengen deh main ke dufan bareng mama sama papa, aku pengen makan es krim bareng mereka. Aku kangen mereka, bi," rengek anak itu dengan suara manja khas anak kecil sambil memeluk pinggang si Bibi.

si Bibi membalas pelukannya dengan mengelus rambut anak majikannya itu, "iya, nanti ya, kalo mereka sudah tidak sibuk. Aden tau kan mereka sibuk itu juga buat aden. Sekarang mandi dulu ya, kan mau sekolah."

Mario stevano, begitulah nama yang diberikan orang tuanya kepada bocah laki-laki itu. Ia baru berusia 6 tahun, tahun ini adalah tahun pertamanya di Sekolah Dasar. Rio adalah anak yang manis dan pintar, ia ramah dan penyayang. Celoteh dan tingkahnya selalu membuat orang lain, gemas. Rio anak yang baik, tidak pernah rewel meski sering ditinggal orang tuanya bekerja. Tapi bagaimanapun Rio hanya seorang anak kecil yang kadang merindukan saat-saat bersama orang tuanya, ia juga ingin rapor sekolahnya diambil oleh orang tuanya, seperti teman-teman yang lain. ia ingin orang tuanya yang merawatnya saat sakit, ia juga sangat ingin merayakan ulamg tahun bersama mama-papanya, bukan hanya kue ulang tahun bertingkat atau kado-kado yang menggunung, bukan... bukan itu yang rio harapkan.

*

"mama, besok mama dateng ya ke sekolah rio, sekolah rio mau ngadain acara peringatan hari ibu," pinta rio sambil bersandar manja di bahu mamanya. Kebetulan hari itu mamanya sedang berada di rumah.

"mama nggak bisa rio, besok mama ada kerjaan."

selalu begitu, rio hafal betul, kata-kata itu. Karena memang selalu kata-kata itulah yang terlontar saat rio meminta mama atau papanya menemaninya, entah untuk sekedar main ,mengajari membuat PR ataupun datang ke acara sekolah rio.

"tapi besok Rio nyanyi lho, ma. Mama nggak pengen lihat?"

"sama bibi aja ya, sayang."

"Rio maunya sama mama" rengek rio.

"ya udah, besok mama usahain ya. Udah sana main lagi!"

mama rio kembali berkutat dengan laptop, pena dan kertas-kertasnya. Rio pun menurut, bocah itu keluar dengan senyum manis mengembang di wajah lucunya, mengingat mamanya akan hadir di sekolahnya, besok. Setelah beberapa langkah, rio berbalik, ia berlari kecil ke arah mamanya, lalu dengan tangan-tangan kecilnya dipeluk mama tercintanya itu.

"I LOVE YOU, MOM," ucap Rio tulus dengan bahasa inggris khas anak SD.

Mama Rio tersenyum kecil, kemudian dielusnya rambut rio dengan lembut.

*

kubuka album biru penuh debu dan usang kupandangi semua gambar diri kecil, bersih belum ternoda
fikirku pun melayang dahulu penuh kasih teringat semua cerita orang tentag riwayatku
nada-nada yang indah s'lalu terurai darinya tangisan nakal dari bibirku takkan jadi deritanya


suara rio mengalun memenuhi ruangan itu. memang belum terdengar merdu, tapi cukup untuk membuat orang terharu karena lagu itu terlantun dari bibir kecil dengan segenap ketulusan. Dentingan piano dan barisan lilin di belakang rio, membawa semua orang larut dalam bayangan sosok seorang ibu.

Tangan halus dan lembut t'lah mengangkat tubuh ini, jiwa raga dan seluruh hidup rela dia berikan

"lagu ini, buat mama Rio tercinta," ucap rio di sela-sela jeda lagunya.

Kata mereka diriku slalu ditimang kata mereka diriku slalu dimanja...

sejak awal rio berdiri di panggung, sudah berkali-kali ia menatap barisan penonton di hadapannya, berharap menemukan sosok mamanya berdiri dan tersenyum kepadanya. Tapi hingga detik ini, Rio tidak juga melihat mamanya disudut manapun diruangan ini.

Oh, bunda ada dan tiada dirimu kan selalu, ada di...

Rio sudah hampir menyelesaikan penampilan bernyanyinya. lagu yang ia nyanyikan akan segera berakhir, mungkin sama dengan harapan rio atas kedatangan mama ataupun papanya, semuanya sudah hampir kandas. Terakhir kali, matanya menyapu setiap sisi ruangan itu, tapi hasilnya tetap nihil. Ia menarik nafas sejenak dan meneruskan nyanyiannya tadi.


Ada didalam hatikuuu...


Prok-prok-prok suara tepuk tangan penonton menutup penampilan rio.

"t'limakasih" rio tersenyum dan membungkuk.

Rio turun dari panggung diiringi tatapan kagum para orang tua murid yang hadir.

mama nggak datang, mama bohongin Rio, batin rio kecewa.

Tapi rio tidak menangis seperti layaknya anak kecil lain, tidak ada setitik pun airmata yang terpeta di wajah lucunya, ia terus tersenyum. Senyum tulus yang selalu disuguhkan pada siapapun yang ia temui.

*

malam telah begitu larut, gelap dan sunyi. Hanya deritan jangkrik yang masih terdengar meraung di tengah kebisuan malam, tapi rio belum juga terlelap masih asyik bermain dengan puzzle-puzzlenya.

"ayo den, sudah malam,aden bobo yuk!" bujuk si bibi.

"Rio pengen nunggu mama sama papa pulang, Bi" rio menolak.

Tak berapa lama deru mobil terdengar memasuki halaman rumah rio, rio segera membukakan pintu.

"mama, papa" sapa rio, bersemangat.

"rio kok, belum bobo?" tanya Mamanya.

"Rio mau kasih liat ini ma, pa. Lihat Rio dapet nilai MTK 100. Nilai Rio paling tinggi lho," rio bangga, sambil menyodorkan selembar kertas dengan tulisan khas anak TK dan angka 100 tertulis di sudut kanan atasnya. Tapi mama ataupun papanya tidak ada yang berminat untuk sekedar mengulurkan tangan dan meraih kertas yang disodorkan rio itu.

"iya, nanti papa beliin hadiah ya," balas papa rio sambil lalu.

Sedikit kecewa, tapi rio tidak menyerah. Ia berlari kecil, lalu menarik tangan mama dan papanya. "Rio punya kejutan. ayo ma, pa, lihat!"

"rio, mama sama papa capek, besok aja ya," ujar sang mama.

Rio tetap menarik tangan kedua orang tuanya ke arah bagasi. Di sana tertengger dengan anggun sebuah mobil berwarna hitam mengkilap, mobil itu keluaran terbaru, harganya tentu sangat mahal. mobil itu baru tiba sore tadi di rumah rio.

"lihat ni, mobil papa rio gambarin, supaya kalo mama sama papa pergi kerja, mama sama papa selalu ingat rio. kata bu guru gambar rio bagus," rio menunjukkan gambar di atas mobil baru papanya itu.

Ia menggambari mobil itu dengan paku. alhasil mobil mewah itu menjadi korban kepolosan rio. Mobil itu dipenuhi coretan crayon dan lecet-lecet akibat goresan paku.

"ini mama," rio menunjuk satu gambar dari tiga gambar yang ada, "ini papa dan yang kecil ini-"

tiba-tiba papa rio menarik tangan kanan rio, mengambil gagang sapu terdekat dan....

Plak-plak-plak.

Tangan kecil itu dipukuli sejadi-jadinya.

"bandel kamu, bandel. Siapa yang suruh coret-coret mobil papa, bandel!!!" seru papa rio marah, mungkin karena sangat lelah dan emosi, ia jadi begitu tega berbuat seperti itu pada putra semata wayangnya.

"ampun pa, ampun...ampun pa," rio menangis terisak-isak, tangan kanannya sudah merah berdarah.

"sudah pa, sudah. kasian ri,o" mama rio mencoba menenangkan suaminya yang tengah dikuasai amarah.

"sudah tuan, kasian den rio," si bibi datang dan langsung memeluk tubuh rio.

"BAWA DIA, DASAR ANAK NAKAL! KAMU JUGA TIDAK BECUS MENJAGA ANAK KECIL BISA-BISANYA RIO MENGGAMBARI MOBIL SAYA SEPERTI INI. NGAPAIN SAJA KAMU?" papa Rio memaki-maki si Bibi dengan suara keras.

"hiks, hiks, tangan Rio sakit, Bi..." lirih rio.

*

Lima hari kemudian, luka di tangan rio membengkak, badannya pun sudah tiga hari ini sangat panas. Si bibi sudah berulang kali bicara pada orang tua rio agar segera membawanya ke Rumah Sakit.

"beri saja parasetamol atau dikompres, paling demam biasa. Saya belum ada waktu untuk mengantar Rio ke Rumah Sakit, bi" begitu jawaban mama rio.

Papa Rio lebih parah lagi, "anak itu memang sangat manja" komentarnya, pedas.

Tepat satu minggu setelah kejadian itu, rio dilarikan ke Rumah Sakit karena sudah hampir seharian rio tak sadarkan diri.

"amputasi!"

CTTAAARR

kilatan petir bagai berlomba menghujam hati orang tua rio, saat mendengar keputusan dokter. Ternyata mereka terlambat, tangan kanan rio infeksi dan harus diamputasi. Mama rio terus menangis, membayangkan putra tunggalnya akan cacat. Dan beribu sesalpun singgah di benak papa rio. Anak yang selalu ceria, anak yang tanpa mereka sadari selalu membuat mereka bangga...aarrghhh, entah apa yang akan dikatakan rio kelak ketika dewasa, bila mengetahui kebodohan orang tuanya. entah bagaimana orangtua Rio menjelaskan semuanya pada anak itu.

sehari pasca operasi, rio sudah dipindahkan ke kamar inap. mama rio masih terus terisak saat mengamati rio yang sangat lucus aat tertidur pulas.

"kapan terakhir kali kita mengecup keningnya ya, pa?" tanya mama rio lirih pada suaminya yang sedang duduk termenung dengan tatapan kosong.

"ergghh," rio mengerang dan mulai membuka matanya, "mama, papa."

"iya, nak?" tanya mama rio yang langsung mendekatkan wajah pada Rio.

"maafin Rio ya, ma, pa. Rio janji nggak akan nakal lagi," bukannya menjawab mama rio malah menangis tersedu.

rio berusaha bangun untuk menenangkan mamanya dan..."tangan? kemana tangan rio mah? Papah kemana tangan rio?" Rio kebingungan melihat tangannya yang tinggal sebelah, "ampun pa, rio minta maaf. kembaliin tangan rio pah, nanti rio nggak bisa gambar lagi," selaput bening pun mulai luruh satu-persatu dari mata rio.

"sayang, maafin mama," mama rio menghamburkan pelukannya, "Rio sakit nak, tangan rio harus dipotong kalau nggak nanti rio nggak bisa ketemu mama sama papa lagi, nggak apa-apa ya nak. Rio jangan nangis, nanti mama ikut sedih sayang."

Tiba-tiba saja papa Rio meraih pisau buah yang ada di atas meja kecil dekat tempat tidur Rio, "Rio potong tangan papa saja nak, ayo cepat potong tangan papa. ini semua gara-gara papa. Rio boleh hukum papah nak. potong tangan papa!!!" papa Rio menangis, dari ekspresi wajahnya tampak penyesalan yang luar biasa. belum pernah Rio melihat papanya sesedih itu.

"Papa..." Rio memeluk papanya dengan satu tangan, "Rio nggak mau potong tangan papa, rio nggak mau. Rio nggak apa-apa kok tangannya dipotong, daripada Rio nggak bisa ketemu papa sama mama lagi." rio mengusap air mata papanya dengan lembut, "tapi ma, pa, rio sekarang udah nggak punya tangan kanan, apa Rio tetap anak mama sama papa?" tanya rio polos.

orang tuanya mengangguk. "kamu tetep putra papa. mario putra kebanggaan papa."

Rio tersenyum, "Rio sayaaang banget sama mama dan papa." ucap rio tulus.

Ucapan rio tadi membuat relung dada orang tuanya semakin penuh sesak dengan rasa bangga. Rio begitu berbesar hati padahal cobaan yanh diberikan Tuhan sangat berat untuk ukuran anak seusianya. Rio adalah anugrah paling luar biasa yang Tuhan titipkan pada kedua orang tua Rio.

*

Seorang pria dan wanita berdiri mengapit seorang pemuda tampan dengan senyum khasnya. Mereka berada dalam sebuah pameran. pameran tunggal, MARIO STEVANO.

Aula gedung itu kini dipenuhi guratan warna warni dari kuas yg ditorehkan oleh tangan kiri rio. Tiga belas tahun telah berlau semenjak kejadian menyedihkan itu dan pelukis terkenal, itulah rio sekarang. ia membuktikan bahwa cacat tidak bisa menghambat bakat dan impiannya. Dengan bangga kini ia berdiri tegak, diiringi pujian dan sanjungan yang selalu terlontar dari mulut pemuja lukisannya.

"ma, pah, rio mau bilang makasih. Kalo dulu papa nggak mukul tangan rio, mungkin sampai sekarang rio akan lebih suka mencoret-coret mobil dibanding menggambar di atas kanvas," ucap rio sambil tersenyum polos, senyum khas rio yang sejak kecil sudah menjadi cirinya.

Orang tua Rio pun hanya mampu mengucap syukur yang tak terbilang jumlahnya karena telah dianugrahi anak seluar biasa Rio. Mereka menatap haru pada putra mereka yang tengah menuai sukses dengan segala keterbatasannya. mereka sangat bangga, bangga pada putra mereka, rio si anak tanpa tangan kanan.

The end

***

best regard

via

Dunia Tak Selalu Memihak (cerpen)

Dunia Tak Selalu Memihak (cerpen)

***

dunia tidak selalu memihak
dunia tidak selalu menyayang
maka bertahanlah jika kamu mampu
tapi menyerahlah dengan terhormat bila kamu lelah


matahari kala itu bersinar sangat terik, memandang dengki pada bumi yang berpohon minim.

"korannya pak, koran, koran. Koran pak, bu," seorang pemuda dengan suara lantang begitu bersemangat menjajakan koran dagangannya di pertigaan jalan saat lampu merah.

"dek,koran!" panggil seorang bapak, berjaket coklat gelap.

"ini pak, 7 ribu rupiah," ucap pemuda tadi setelah menyerahkan koran pada Sang Bapak, "wah pak, nggak ada kembalian, ada uang kecil?" lanjut pemuda tadi saat menerima uang 20 ribuan yang disodorkan pelanggan pertamanya hari ini.

"ya sudah, ambil saja kembaliannya," balas Sang bapak sambil tersenyum.

"betul pak?"

bapak itu mengangguk sebelum menutup kembali kaca mobilnya.

"terima kasih pak terima kasih," ucap pemuda itu seraya membungkuk beberapa kali.

cha, kita bisa makan enak sekarang cha, batin pemuda itu.

pemuda itu terlalu senang hingga ia tidak memperhatikan jalanan di sekitarnya dan...

BRAKKK...ciiitt...

Sebuah motor menyerepetnya, koran yang dipeluk pemuda itupun jatuh berhamburan.

"woiii, punya mata nggak sih lo?" sentak pengemudi motor itu dan langsung pergi.

"auu," erang pemuda tadi, ia lantas berusaha bangkit memunguti koran-korannya, "yah, semua rusak," keluhnya, "nggak bisa dijual lagi gong. gimana nih?" ia memandangi koran-korannya dengan perasaan sedih, "uangnya? Mana uangnya?" ia tersentak uang yang tadi digenggamnya pun ikut hilang entah kemana.

*

"cha,kakak pulang,"

"eh, kak rio. Untung kakak udah pulang, acha udah laper ni," balas seorang gadis kecil bernama Acha, "Lho,kak rio? kenapa kok tangannya lecet-lecet begitu?"

"cha, maafin kakak ya, kakak nggak bawa makanan. tadi kakak diserempet orang dan semua koran dagangan kakak rusak," jelas pemuda bernama rio itu.

"oh iya nggak apa-apa kok, acha juga belum laper-laper banget, yang penting kak rio nggak kenapa-kenapa kan?" Acha tersenyum maklum.

'krruuukkk'

Mulut acha mungkin bisa berbohong, tapi tidak dengan perutnya yang memang sudah merengek-rengek minta diisi. mendengar suara perut acha yang menyirikan bahwa adiknya itu sedang kelaparan membuat Rio merasa sangat tidak berguna sebagai kakak.

"mmm... acha ambilin air panas ya buat bersihin lukanya," sela acha mengalihkan perhatian.

maafin kakak, cha. maafin kakak, batin rio.


*
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali rio sudah bangun dan pergi ke pasar, "hari ini aku harus dapat uang buat beli makanan buat acha" tekadnya.

Dipasar rio bekerja tanpa lelah, peluh bercucuran membasahi wajahnya. Rio bolak-balik memanggul belanjaan ibu-ibu dipasar. setelah siang hari, rio memutuskan untuk pulang dan membelikan makanan untuk adik kesayangannya yang sedang menantinya di rumah. tapi sesampainya di pelataran rumah terdengar suara tangisan Acha, perasaannya tidak enak, manusia sialan itu pasti lagi-lagi mengganggu adiknya.

"aaaaaaarrgghh," jerit suara dari dalam rumah.

"AYAH!!!" sentak rio, "Ayah apa-apaan sih jangan sakitin Acha," katanya seraya memeluk acha yang terduduk ketakutan di sudut ruangan.

"kamu habis bekerja kan? sekarang mana, kemarikan uang kamu!"

"NGGAK!!! APA AYAH NGGAK MALU, HARUSNYA AYAH YANG MENCARI UANG, YANG MEMBERI KAMI MAKAN. AYAH INI MANUSIA TAPI KELAKUAN AYAH SEPERTI BINATANG," teriak rio, lantang.

PLAKKK

tamparan keras mendarat di pipi kanan rio.

"kak rio," jerit acha, "jangan ayah, jangan pukul kak rio!"

"DASAR ANAK KURANG AJAR KAMU, MANA SINI UANGNYA!!!" sentak sang Ayah seraya pergi dan merebut uang hasil kerja rio hari ini.

"kak rio," ucap acha lirih sambil menghapus darah yang menitik dari sudut bibir rio, "acha takut kak."

rio hanya tersenyum, memeluk acha dan mengelus rambutnya, "ma, kenapa mama begitu cepat ninggalin kita, Ayah jahat ma. andai mama masih di sini," ucap rio dalam hati.

Rio dan Acha, kakak-beradik yang setahun lalu di tinggal pergi oleh ibu mereka. Semua menjadi susah sejak saat itu, sang ayah yang diharapkan bisa menjaga dan melindungi mereka, malah menjadi seorang pemabuk karena frustasi atas kepergian istri tercintanya.

*

suatu malam, Rio dan Acha lagi-lagi harus kembali pergi tidur dalam keadaan perut yang lapar. seharian ini mereka hanya meminum air putih yang malah membuat kembung tanpa bisa menghilangkan rasa lapar sedikit pun.

"ma, jangan tinggalin acha, ma. Acha ikuuut..." acha mengigau dalam tidurnya.

"cha! acha kenapa?" tanya rio lembut, sambil memegang kening acha, "ya tuhan! kamu panas banget, Cha. kamu sakit?"

acha tidak menjawab. dari hidungnya malah keluar darah segar.

Tanpa pikir panjang, rio menggendong acha dan berlari kerumah sakit, "kamu sabar ya,cha. Acha harus kuat, kakak akan bawa acha kerumah sakit."

di tengah jalan, hujan deras turun, disertai kilat dan guntur. Rio terpaksa berhenti di emperan toko. Acha memucat dan menggigil, rio melepas kaosnya dan menyelimutkannya ke tubuh acha. Rio memeluk acha dengan erat. malam seakan ikut berduka dan menangis melihat dua anak manusia yang tersisih ini.

"tolooonng, tolong adik saya," Rio berteriak meminta pertolongan, saat beberapa mobil berlalu-lalang melewati jalan di hadapanny. tapi tak ada satu pun yang peduli.

Saat hujan mereda, rio kembali menggendong acha di punggungnya. kaki pemuda itu gemetar karena dingin, tapi tak dihiraukannya.

*

"dok bagaimana keadaan adik saya?" tanya rio kepada seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa Acha.

"adikmu mengalami gangguan pada lambungnya. selain itu juga sudah berapa hari adikmu tidak makan? tubuhnya kekurangan nutrisi," papar sang dokter.

"kalau begitu tolong berikan yang terbaik untuk adik saya dok! bantu dia agar segera pulih, tolong dok."

"kami akan melakukan yang terbaik, jika anda sudah selesaikan administrasinya. silakan anda urus, lebih cepat, lebih baik."

rio tertegun, "tapi dok... saya... saya tidak punya uang," Rio menunduk sedih.

"rumah sakit ini punya prosedur yang harus dipenuhi oleh semua orang yang akan menggunakan jasa pelayanan dari kami. maaf, kami tidak bisa berbuat banyak."

"baik dok, baik. saya akan carikan uang administrasinya. tapi saya mohon biar adik saya tidur di kamar inap ini sementara saya mengusahakan uangnya. jangan suruh saya membawanya kembali ke rumah dok. saya mohon."

"baiklah. tapi saya sarankan agar anda secepatnya mengurus administrasi karena tindakan medis terhadap adik anda sangatlah penting. telat sedikit, akan fatal akibatnya."

Rio mengangguk faham. dengan kalap ia berlari pontang-panting mencari uang. benar kata orang, mencari uang di kota besar itu ternyata lebih sulit dari mencari jarun dalam tumpukan jerami. rio sudah berkeliling mencari pinjaman, tapi tak ada hasil. bahkan pemuda itu sempat berfikir untuk menjual organ dalam tubuhnya demi kesembuhan acha, tapi tidak ada yang beminat membeli ginjal, jantung atau sepasang matanya sekalipun. rio benar-benar putus asa, entah bagaimana nasib acha nantinya.

*

Dan usaha Rio gagal, ia tetap tidak bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatan acha. akhirnya pemuda itu terpaksa harus merelakan adik kesayangannya pergi selama-lamanya.

"Kenapa Acha tinggalin kak rio? apa acha nggak sayang sama kakak? kenapa cha?" isak rio sambil mengelus nisan acha. Tak ada pelayat, tak ada karangan bunga, bahkan rio harus menggali makan acha sendirian. beginilah nasib orang miskin, yang kehadirannya selalu dipandang sebelah mata, bahkan lihat saja dunia seakan ikut memusuhi mereka.

"Rio," suara berat milik ayah rio terdengar menyerukan nama pemuda itu, "maafin ayah, yo. ayah salah, ayah khilaf, maaf. Ayah sayang kalian."

"MAU APA AYAH KESINI, SENENGKAN? PUASS LIHAT ACHA MATI?" bentak rio, "SAYANG?? DIMANA SAYANG AYAH WAKTU KITA KELAPARAN, WAKTU KITA KETAKUTAN, HAH? AYAH TAU, ACHA SELALU NUNGGUIN AYAH BUAT MAKAN BARENG, ACHA SELALU TIDUR DI KURSI BUAT NUNGGU AYAH PULANG ,TAPI APA? AYAH NGGAK PERNAH PEDULIIN DIA, SEKARANG DIA MATI, AYAH PUAS KAN? AKU NGGAK MAU KENAL AYAH LAGI, NGGAK MAU!!!" rio berlari tanpa arah, ayahnya berusaha mengejar, hingga..

BRAKK.

Rio merasakan tubuhnya dihantam besi, entah dari kendaran berjenis apa. Namun setelahnya semua jadi gelap. saat membuka mata rio melihat sosok mamanya dan acha, mengulurkan tangan kepadanya. Rio menggapainya,tubuh rio terasa ringan, terangkat ke angkasa. ia merasa damai dan bahagia. Acha tersenyum, "acha kangen kakak, kita pergi sama-sama ya."

Saat melihat ke bawah dilihat jasadnya bersimbah darah, dengan sang ayah yang menangis meraung-raung disisinya.
Tapi rio tidak peduli. acha dan mamanya telah menjemputnya menuju keabadian. Rio dengan senang hati akan ikut mereka. rio tidak peduli dengan dunia di bawah sana, dunia di mana seorang pun tak ada yg mau meliriknya, dunia yg tak sedikit pun kasihan kepadanya.

RIO ADITYA

biarlah hanya nama itu yang tertinggal di dunia sana, sebagai seorang yang terabai, seoarang yang pernah menorehkan langkah-langkah kecil, dari sepasang kaki rapuhnya.


THE END

***

best regard

via