Sabtu, 12 Maret 2011

Adakah Yang Sempurna ?? (part 4)

Aku tak  percaya lagi
Dengan apa yang Kau beri
Aku terdampar disini
Tersudut menunggu mati

kenapa ada derita ??
bila bahagia tercipta
kenapa ada sang hitam ??
bila putih menyenangkan

***

"sudahlah Fy, tidak perlu mendesak Shilla seperti itu." sela kak Riko, aku tau dia juga pasti merasa sangat kecewa, "aku hargai keputusanmu Shilla, dan maaf kalau aku terlalu berani berharap lebih padamu..."

kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat.

"ekhm," kak Shilla berdehem kecil, lalu tersenyum penuh arti, "jadi kapan kamu akan melamarku pada kedua orang tuaku??" tanyanya dengan nada menantang.

Aku yang sedari tadi menunduk memandangi rerumputan, mulai mengangkat kepalaku, begitu pula dengan kak Riko.

"ma...maksudmu??" tanya kak Riko.

"ck, masa kamu tidak mengerti sih, payah." gerutu kak Shilla, "maksudnya jadi kapan pak dokter ini akan melamarku langsung kepada orang tuaku? Kalau aku sih pasti menerimamu, tapi kan belum tentu kedua orang tuaku sejutu." jawab kak Shilla santai, sambil memamerkan senyum manisnya.

Kak Riko mulai menampakan tanda-tanda kehidupan di wajahnya, ia mulai menarik kedua sudut bibirnya, "jadi...jadi kamu menerimaku Shilla?" katanya hati-hati.

"ya, sejauh ini, aku belum menemukan alasan untuk menolakmu." balas kak Shilla.

"ah, akhirnya," ujarku lega, "jadi resepsinya akan berlangsung dimana nih?" ceplosku. Baik kak Shilla ataupun kak Riko langsung terlihat salah tingkah dan tersipu-sipu.

"itu masih jauh, cantik. Riko harus mau menungguku menyesaikan kuliahku." tukas kak Shilla.

"yah itu terlama lama kak, masih 2 tahun lagi. Kalau aku keburu mati bagaimana?" celetukku asal, dan tanpa perlu diingatkan aku langsung merutuki diriku sendiri.

Bodoh kamu Fy, bodoh !!

Mengapa kata-kata semacam itu harus terlontar tanpa di proses dulu oleh otakku.

Semua langsung terdiam, senyum kak Shilla dan kak Riko seketika itu juga menguap. Aku jadi merasa sangat bersalah, sepertinya aku sudah meruntuhkan pilar-pilar kebahagian yang baru saja mencuat diantara kami.

"dek.." kak Riko duduk bersimpuh didepan kursi rodaku, dan kalau kak Riko sudah memanggilku dengan sebutan 'dek' seperti barusan itu artinya ia sedang serius.

"kamu dengar ini baik-baik. Kalau aku berjodoh dengan Shilla, kamu, dek. Kamu yang akan menjadi pendamping penganti wanitanya. Kamu akan memakai kebaya, kamu dan bunda yang akan membantuku menyiapkan semuanya dan kelak anak-anakku akan memanggilmu bibi, kamu akan menemani mereka bermain. Tolong jangan bicara seperti itu, aku sedih mendengarnya. Kamu pasti sembuh Ify, kamu pasti sembuh." tutur kak Riko penuh keyakinan.

"maafkan Ify, kak." aku memeluk kakakku, menumpahkan tangisku dipundaknya.

"jangan seperti orang tak beragama, ingat kita masih punya Tuhan, Fy. Tuhan yang tidak akan pernah tidur, dan akan selalu mendengarkan doa-doa kita." tambah kak Riko.

"iya Fy, nanti kamu yang akan membantuku memilih gaun pengantin, dan aku juga akan melakukan hal sama saat kamu dan Rio menikah. Jalanmu masih sangat panjang Fy. Banyak hal yang belum kamu raih, jadi jangan dulu patah arang ya." pesan kak Shilla, sambil mengelus rambutku, lembut.

Aku hanya mengangguk pasrah.
Hahahaha, batinku benar-benar tertawa miris.
Menikah dengan Rio?
Ya, sepertinya itu hanya akan terjadi dalam fikiran kak Shilla dan khayalanku saja.

Masih dalam pelukan kak Riko, ku alih pandanganku pada langit kelam diatas sana. Bulan itu, ternyata ia masih bertahan disana. Ah, malam benar-benar tertolong dengan kehadirannya, jadi tidak terlalu mencekam meski gelap mendominasi setiap sudut tempat ini. Bulan itu, apakah Rio juga sedang memandanginya, sama seperti aku saat ini? Masihkah ia menggantungkan mimpi-mimpi kecil beserta doa dan harapan untuk hari esok, seperti yang sering kami lakukan selama ini.
Kalau iya, bulan....
Tolong sampaikan padanya bahwa aku sangat merindukannya.
Sangat, sangat, sangaaat merindunya.

***

Aku selalu berusaha untuk bisa mengimbangi kepak sayapmu.
mengantarkanmu terbang menjelajahi dunia.
ku kerahkan seluruh kekuatanku untuk melawan dera angin yang akan menghalau perjalananmu.
Berdua kita arungi masa.
Lalu, maukah sejenak kau berhenti saat ku rapuh, saat kedua sayapku melemah, dan hampir patah?
Maukah kau menungguku saat ku lelah?
Mau kah? Masih mau kah?

***

Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu

Seperti alunan detak jantungku
Tak bertahan melawan waktu
Dan semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang telah hilang

Biarkan aku bernafas sejenak
Sebelum hilang

Tak 'kan selamanya
tanganku mendekapmu
Tak 'kan selamanya
Raga ini menjagamu
Jiwa yang lama segera pergi
Bersiaplah para pengganti...

Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi...

***

setelah satu minggu aku terpenjarakan dalam ruang serba putih itu, kamar anggrek no 24. Hari ini aku diizinkan pulang. Kondisiku berangsur membaik, lagi pula hari ini adalah hari 'yang seharusnya' menjadi hari pertunangan kak Riko.

Tapi seakan tidak betah berlama-lama, atmosfer gembira yang tadi memayungi keluargaku, tiba-tiba sama menguap. sesaat setelah kak Riko menerima telfon yang entah dari siapa dan tanda ba-bi-bu lagi ia segera menyambar kunci mobilnya lalu pergi begitu saja. Tanpa ucapan 'assalamualaikum' yang biasanya tak pernah luput tertasbih dari bibirnya saat hendak pergi atau kembali kerumah.

Detik berikutnya otakku langsung gencar mencetuskan berbagai pertanyaan? Ada apa sebenarnya? Siapa ya menelfon kak Riko? Apa yang dibicarakannya dengan kak Riko?

Setelah bergulat dengan rasa was-was dan khawatir, akhirnya aku bisa sedikit bernafas lega, saat sekitar dua jam berikutnya lamat-lamat suara mobil kak Riko terdengar memasuki halaman rumah kami.
Aku, Acha dan bunda segera menyongsong kedatangan kak Riko dengan setengah berlari keluar. Baru sampai diambang pintu, kami bertiga kompak membatu.
Terlihat, sebuah mobil berwarna putih mengekor dibelakang mobil kak Riko, sirinenya yang khas mampu menggetarkan tubuh. Bunyi itu terdengar lebih mencekam dari gaungan petir, sentakan guntur ataupun teriakkan halilintar.

Perlahan, kedua mobil tadi melambat sebelum akhirnya berhenti diselasar rumah kami. Kak Riko segera keluar dengan ekspresi sedih yang teramat sangat.

"bunda.." hanya satu kata itu yang sempat kak Riko ucapkan sebelum ia terduduk lemas.

"kamu kenapa, nak?" tanya bunda lembut, "berdiri sayang, ada apa?"

kak Riko nampaknya tidak perlu repot-repot menjawab. Karena potongan peristiwa berikutnya sudah bisa memaparkan jawaban, bahkan lebih dari sekedar yang ingin kami ketahui.

Lidahku kelu, tubuhku bergetar hebat, jantungku beregup kencang, saat sosok kaku itu digotong melewatiku.

"innalillahi wa innailahi rodziun." suara lirih milik bunda, seakan menjadi cambuk untuk kedua kakiku yang tadi serasa lemas dilolosi tulang belulang.

"ayaaaaaah" teriakku dan Acha bersamaan, kami menubruk dua petugas berseragam putih yang jadi menggotong jasad.....ayah kami.

"ayah bangun, ayaaah. Jangan tinggalan Acha. Ayah bangun." tangis Acha mulai pecah.

"ay-ah," kataku terbata. Ya, hanya satu kata itu yang bisa keluar dari bibirku, sisanya tercekat ditenggorokkan.

"ayah kecelakaan." suara parau kak Riko terdengar bersamaan dengan raganya yang berjalan gontai kearahku, disampingnya bunda bergerak menyerupai zombie, mata sendunya dipenuhi titik-titik air mata.

"cuaca sangat buruk menyebabkan trouble pada penerbangan. pesawat ayah gagal melakukan pendaratan darurat. Seluruh awak dan penumpang, dipastikan tewas." jelas kak Riko.

"BOHONG, BOHONG, INI BUKAN AYAH, BUKAN." raung Acha tak terima, "kak Riko, ayo bilang kak, ini semua bohong kan'" desaknya, bunda langsung memeluk Acha.

"ayah belum sempat melihatku diwisuda, padahal itu adalah harapan terbesarnya. Ayah belum sempat melihatku jadi dokter." kak Riko terus meracau, seraya memeluk erat-erat jenazah ayah.

Entah apa yang hendak dilakukannya, Acha tiba-tiba saja berlari kekamarnya. Aku hanya bisa memandangi ayunan rambut indahnya, dengan tatapan nanar. Acha memang yang paling dekat dengan ayah, dan miris rasanya melihat adik bungsuku itu begitu terguncang nampaknya. Tak berapa lama Acha kembali.

"ayah, Acha bawakan bolpoin dan rapor Acha. Ayah belum menanda-tangani rapor Acha, ayo ayah bangun. Tanda-tangani rapor Acha, Yah. Dan ini..." acha membuka sebuah majalah, "Acha udah milih, yah. Acha mau kado ini untuk ulang tahun Acha, ayah harus membelikan ya."

aku tau, Acha tidak sungguh-sungguh dengan kado yang ia minta. Karena aku melihat, Acha hanya menunjuk sederet tulisan bukan sebuah barang. Acha seperti orang hilang akal.

"aku sudah menyiapkan batik untukmu, Mas. Hari ini adalah hari pertunangan anak kita, apa kamu lupa, Mas? Segeralah bangun, jangan sampai keluarga Nugraha menunggu kita terlalu lama." kini giliran bunda yang meracau dengan nada penuh harap.

Sedangkan aku?

Entah lah, aku tidak bisa merasakan apa-apa sekarang, bahkan aku tidak bisa merasakan helaan nafasku sendiri. Limbung dan kosong seperti melayang dalam ruang hampa.

"ya Allah dimana engkau? Dimana keadilan-Mu? Mana, mana kasih sayang yang selalu Kau janjikan. Aku tidak sekuat itu, aku tidak setegar itu untuk menerima semua ujian ini."

***

Ada pepatah yang mengatakan 'kalau kamu ingin tau bagaimana seseorang hidup, maka lihatlah saat ia mati.'

Dan ayahku orang baik, sangat baik. Itu terlihat dari jumlah pelayat yang tidak henti-hentinya berdatangan, ikut melantunkan doa-doa dan penghormatan terakhir untuk ayah. Sanak saudara dan tetangga, serta teman-teman kerja ayah juga sudah berdatangan sejak kabar kepergian ayah tersebar.

Tapi aku memilih mengunci diriku dikamar. Aku tidak ingin para pelayat yang ingin mendoakan ayah, takut melihat kondisiku.

Aku baru keluar, sesaat sebelum acara pertunangan kak Riko digelar.

Ya, karena kak Shilla dan keluarganya sudah ada dirumah kami, kak Riko meminta agar pertungannya dilangsungkan didepan jenazah ayah sebelum di kebumikan.

Ah, kenapa jadi seperti ini sih? Kenapa kak Riko harus menyematkan cincin dijari gadis yang sangat dicintainya dalam suasana duku seperti ini.
Seorang ayah yang selalu berjuang, mengabaikan lelahnya untuk kami, mengapa ia tidak diberi kesempatan barang sebentar untuk menyaksikan putra kebanggaannya , bertunangan.

Aku tidak kuat, benar-benar tidak kuat. Apalagi saat kak Shilla juga ikut menangis, disela lantunan hamdallahnya, "alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah." hanya itu yang kak Shilla ucapankan setelah kak Riko menyematkan cincin dari emas putih dijari manisnya.

Aku memutuskan untuk segera kembali kekamar. Duduk disalah satu sudut kamarku, yang remang. Lamat-lamat lantunan ayat-ayat suci al-qur'an mulai terdengar kembali dari luar.

Aku merasakan sekujur tubuhku mulai nyeri dan ngilu kembali.
Tidak. Tidak boleh. Tubuhku tidak boleh nyeri dan ngilu lagi, karena sekarang tidak ada lagi, ayah yang akan dengan sabar memijitiku.

"ayaaaahh." lagi-lagi tangisku terurai, ku gigit ujung bantalku , berharap itu bisa mengurangi perih yang ku rasakan.

Sudah cukup. Cukup. Aku lelah menangis, kenapa air mata ini tak mau berhenti??

Drrt.drrt.drrt

Ponselku mulai bergetar tak nyaman dalam saku jeansku. Aku mengabaikannya, sampai getar ponsel itu berhenti dengan sendirinya. Setelah menghela nafas berulang kali, dan merasa sedikit lebih baik, aku segera mengecek ponselku.

61 panggilan tak terjawab.
Dan itu berasal dari nomor orang yang sama, Rio.

Drrt.drrt.drrt

ikon gagang telfon dengan tanda panah berarti ada panggilan masuk muncul di LCD ponselku yang ngerjap-ngerjap.

"halo." sapaku, parau.

"Ify, bagaimana keadaanmu? Aku turut berduka cita ya. Aku boleh menemuimu kan Fy, sekarang ? Ayolah Fy, berhentilah menghukumku dengan cara seperti ini. Aku sangat mengkhawatirkanmu, aku tidak mungkin membiarkanmu sendiri disaat seperti ini." orang diujung telfon sana langsung menyerocos tanpa jeda, aku malah tak yakin ia sempat menarik satu helaan nafas atau tidak, selama mengeluarkan kalimat-kalimat tadi.

"jangan pernah menemuiku."

klik

hhahaha, aku hebat bukan?
Aku jelas-jelas butuh seseorang untukku bersandar, untuk membagi tangisku, untuk menguatkanku. Tapi saat ada orang yang akan dengan suka rela meminjamkan bahunya untuk tempatku menumpahkan tangis, aku malah menampiknya dengan sangat tidak sopan.
Ya, aku baru sadar. Ternyata aku memang sangat pandai, mempersulit hidupku.

"maafkan aku, Yo." lirihku, menyesal.

Dari luar, suara tangis dan lantunan surat yasin terus membaur. Seakan berlomba-lomba untuk sampai secepat mungkin ke telingaku dan menguar kenangan-kenangan tentang ayah, yang sejak tadi sudah memberontak ingin keluar, sekuat apapun usahaku untuk tidak mengingatnya.

"kenapa ayah pergi?" lagi-lagi tiga kata itu yang terlontar dari mulutku.

Sebuah pertanyaan bodoh yang tercetus oleh otak seseorang yang didera rasa kehilangan maha dahsyat.
Sejurus kemudian, tanpa perlu diiming-imingi bujuk dan rayu, jiwaku dengan senang hati sudah berkelana, menjelajahi puzzle-puzzle kenangan yang selama hampir 18 tahun ini ku susun bersama sosok seorang ayah. Potongan-potongan kenangan manis itu muncul satu persatu, berkelebatan bak film yang sengaja diputar secara otomatis dalam otakku. Terasa sangat menyesakkan.

Ayah mendorongku diatas sepeda biru muda beroda tiga, hadiah ulang tahunku yang ke-5.

Ayah datang dalam keadaan basah kuyup, sambil menenteng satu kantong kresek dan berkata padaku, "akhirnya ayah menemukan penjual martabaknya, ini untuk putri ayah yang cantik.".

Ya Tuhan, aku ingat kejadian itu, dan aku belum sempat mengucapkan trimakasih pada ayah. Tangisku semakin deras, ku pejamkan mataku, tapi dalam gelap, kelebatan kenangan itu malah semakin nyata.

Saat ayah menggendongku diatas punggungnya, saat ayah mengajariku mengaji, mengajakku bermain hujan, membuatkan sarapan untuk Riko dan Ify kecil saat bunda sedang kedatangan tamu bulanannya.
Dan sekarang ia telah pergi, benar-benar pergi untuk selamanya. Sebelum kami bisa membalas satu pun peluh, yang metetes karena kerja kerasnya untuk kami.

Ayah...

Sekarang kami tidak akan bisa lagi melihatmu dimeja makan setiap pagi, melihatmu yang dengan sangat khusyuk' mengimami shalat berjamaah kami.

Cukup Tuhan, aku mohooon.
Ambil, ambil saja otak ini, hati ini, mata ini. Mereka, benar-benar membuatku merana. Aku tidak ingin mengingat ayah lagi, aku tidak ingin menangis, aku tidak ingin merasakan kehilangan. Ku mohon cukup, Tuhan.


***

Pancaran warna jingga keemasan dari langit sore, terpantul sempurna diatas permukaan kolam ikan kecil di pekarangan rumahku. Mentari masih semangat berpijar meski kilaunya mulai meredup dirundung lembayung senja. Bunga-bunga pukul empat berwarna merah yang tumbuh liar disekitar pagar, nampak mulai merekah indah.

Hanya saja, ada satu yang menjadi pertanyaan untukku. Mentari adalah kiblat untuk bunga kuning besar yang tumbuh berjejer rapi bersisian dengan tanaman euporbhia bunda. Bunga matahari, ya, menurut ilmu biologi yang ku pelajari, bunga ini menanggapi rangsang cahaya matahari dengan selalu tumbuh menghadap kearah datangnya sinar matahari itu sendiri, lalu bagaimana jika mentari berpulang seperti saat ini? Kemana ia akan berkiblat?

Atau ia akan layu, sama seperti aku yang langsung memutuskan untuk menyerah saat aku kehilangan arahku, kiblatku, panutanku, Ayah.

Satu, dua, tiga...
Daun-daun mangga kering mulai berjatuhan, terlalu rapuh untuk menahan terpaan angin rupanya. Bersamaan dengan gugurnya daun-daun itu, suatu cairan hangat juga terasa mulai mengalir membentuk alurnya sendiri dipipiku. Disekitarku gas-gas oksigen ku yakini masih berseliweran, tapi nampaknya hemoglobin dalam darahku kehilangan kemampuan untuk mengikatnya, hingga ku rasakan sesak memenuhi rongga dadaku.

Seminggu sudah ayah berpulang menghadap Rabb-nya, tapi sungguh, tidak sedikit pun kerelaan itu berkenan mampir dalam benakku. Aku masih sering berharap ayah tengah duduk manis dengan kopi dan korannya setiap pagi. Aku masih berharap, bisa melihat ayah mengenakan seragam pilotnya lagi. Tapi harapan itu sia-sia, dan akan selalu sia-sia.aku tau itu.

"apa dengan menangis, ayahmu akah hidup lagi, heuh? Kenapa orang-orang dirumah ini begitu bodoh, masih saja menangisi orang mati."

hei, siapa itu yang berani berkata begitu lancang. Aku segera menoleh, seorang gadis berjilbab putih gading keluar dari dalam rumah, menghampiriku yang terduduk di ayunan dibawah rimbunan daun pohon mangga.

Kak Shilla?

Sejak kapan mulut gadis itu begitu lancang??

"aku kecewa pada kalian semua." lanjutnya setelah berdiri dihadapanku.

"kalian orang-orang pintar, tapi dimana otak kalian?" aku memicing mataku, kenapa sih, dia? Kemasukan setan mulut cabe sepertinya.

"kalau dengan ditangisi ayahmu akan kembali lagi, pasti sudah sejak kemarin beliau bangkit lagi dari kuburnya, tapi mana?" lanjut kak Shilla dengan nada mencibir, kedua tangannya terlipat didada.

"kamu bicara apa sih?" tanyaku dengan nada tidak suka.

"aku bicara tentang kenyataan." jawabnya lugas. Dan tanpa memberiku kesempatan untuk menyela, kak Shilla sudah menyambung kembali kalimatnya, "aku memang bukan siapa-siapa di keluarga ini. Aku hanya.... Aku.." kak Shilla, malah mulai terbata-bata melanjutkan ucapannya, "aku hanya tidak ingin usaha tunanganku disia-siakan." lanjutnya.

Aku terdiam,semakin tidak faham apa maksud ucapan kak Shilla barusan, dan aku juga sama sekali tidak mau repot-repot memahaminya.


"lihat dirimu Alyssa Saufika Umari, kau bahkan lebih menyedihkan dari penderita AIDS yang di vonis akan segera mati dalam 2 hari" cela kak Shilla.

Aku tidak peduli, sama sekali tidak. Gadis ini sepertinya baru dijatuhi karung berisi satu ton batu tepat dikepalanya, jadilah bicaranya ngawur seperti barusan.

"kamu tau, Ify. Riko sedang berusaha mengajak kalian bangkit. Membangun kembali keluarga ini. Mengakhiri duka yang sudah berhari-hari menyelubungi rumah ini. Tapi kalian semua mengabaikannya, kalian semua lebih memilih terbenam dalam kesedihan. Sampai kapan, kalian terus seperti ini?"

Seketika, tiba-tiba kak Shilla bersimpuh ditanah, bahunya bergetar hebat dan saat ia mengangkat kepalanya,tampak riak deras sudah membanjiri paras ayunya.

"aku mohon Ify," kak Shilla beringsut, lalu bersujud menyentuh kakiku, "aku mohon jangan menangis lagi, jangaaan. Kasian Riko, ia paling tidak suka melihat keluarganya menangis. Kamu, Acha dan bunda adalah orang-orang yang sangat berarti untuknya. Ia sedang berusaha menguatkan kalian, menguatkan dirinya sendiri, tolong bantu dia. Hiks....

"kamu tau kan ia tengah menyelesaikan skripsinya, Riko akan segera sidang untuk kelulusannya, Riko butuh dukungan kalian. Jangan sampai ia gagal, kasian Riko. Dia sangat ingin meraih gelar sarjananya dan membuat ayah kalian bangga." tutur kak Shilla panjang lebar.

"kakak bangun kak, jangan seperti ini."

aku mengerti sekarang, ucapan-ucapan pedas sebelumnya adalah wujud dari kasih sayangnya yang begitu tulus untuk kakakku.

"kak Shilla, aku tau kakak sangat menyayangi kak Riko. Tapi tidak semudah itu untuk bangkit. Kami telah kehilangan seorang pemimpin yang tak tergantikan, tidak mudah untuk keluarga ini kembali seperti dulu, kak." kataku, sambil menunduk dalam-dalam.

"Ify, lalu kamu fikir untuk apa ayahmu begitu semangat mencekoki Riko dengan berbagai ilmu pengetahuan., menjejalinya dengan ilmu-ilmu agama? Itu karena ayahmu ingin mempersiapkan putranya untuk jadi seorang pemimpin yang tangguh, yang bisa diandalkan, yang pantas menggantikannya saat beliau harus pergi. Aku saja bisa mempercayai Riko, lalu kenapa kalian yang keluarganya sendiri, tidak bisa??" ujar kak Shilla, kini dengan nada yang lembut seperti biasanya.

"kamu masih punya kehidupan Fy, begitu juga dengan Acha dan bunda. Kalian harus segera melanjutkan kehidupan kalian, belum saatnya untuk berhenti sekarang. Percayalah, Tuhan selalu punya rencana dibalik setiap perkara. Dan kamu tidak akan pernah tau rencana itu indah atau buruk, kalau kamu tidak pernah berusaha untuk terus melangkah maju. Apapun yang terjadi sekarang, kita ini harus 'nrimo lan legowo, Fy. Lha wong kita ini cuma hamba, ndak punya kuasa apa-apa."

aku melirik sekilas kearah kak Shilla yang kini duduk disampingku. Aku tidak pernah tau kalau didunia ini ada orang yang kata-katanya mengandung kekuatan magic yang bisa menentramkan hati. Aku tersenyum kecil, ya mungkin beginilah wujud bidadari surga yang selalu Allah janjikan untuk pria-pria yang shaleh.

"Tuhan memberikan kehidupan untukmu didunia ini pastilah ada alasannya. Dan kewajibanmulah mencari tau apa alasan itu, tapi rasa-rasanya bukan hanya untuk dihabiskan untuk menangisi orang yang telah berpulang."

aku mencoba menyusun setiap kalimat yang diucapkan kak Shilla. Mencoba meyakininya dan menjadikannya pondasi untuk kehidupan baru yang akan segera ku jalani.

Kak Shilla, benar. Aku harus segera keluar dari belenggu kesedihan. Ayah tidak akan bangga sedikitpun kalau tau putrinya yang telah dididik tentang ikhas dari kecil, ternyata sama sekali tidak mencoba mengamalkan keikhlasan itu sendiri.

***

Embun masih bergelantungan diranting-ranting pohon, nampak berkilau diterpa cerca sinar mentari yang baru muncul malu-malu. Memang belum terasa hangat, tapi sepertinya sudah cukup untuk jadi alarm alam bagi burung-burung kecil dan ayam jago untuk mulai bersenandung riuh. Aku melirih jam tangan biru muda yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Kombinasi jarum pendek dan jarum panjangnya menunjukkan waktu baru beranjak 20 menit dari pukul 6 pagi.
Sambil menunggu, kak Riko memanaskan mobilnya, aku menyisiri rambut Acha yang tergerai indah melewati bahunya.

"pagi Achaaaantiiik" pemuda bersenyum khas itu menyapa Acha dengan manis, "pagi kakak-kakak iparku," lanjutnya menyapa, aku dan kak Riko.

"pagi Zy." balasku, pada pria tadi, Ozy.

"siapa yang kamu maksud kakak ipar, bocah?" tanya kak Riko, sambil melipat kedua tangannya didada dan menggoyang-goyangkan kaki kanannya.

"hhehe, piss kak." Ozy malah cecengesan, sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuh huruf V, "ish, Raissa...kamu cantik sekali dengan kacamata itu." puji Ozy, sambil tersenyum jahil.

"jangan menggodaku." balas Acha ketus.

"aku tidak akan pernah berani menggodamu. Kamu kan galak." celetuk Ozy santai.

"iiihh, Ozyyy kamu itu ya...." Acha langsung berdiri dan memukuli bahu Ozy sekenanya.

"tu kan galak." tutur Ozy, seraya menghindar dari serangan bertubi-tubi yang digencarkan Acha.

"dasar bocah." kak Riko menggeleng-gelengkan kepalanya.

"dasar orang tua." balas Ozy dan Acha kompak.aku terkekeh pelan.

"Cha, sebaiknya kita segera berangkat." saran Ozy setelah mendapat tatapan angker dari kak Riko.

"OK." Acha segera menyelempangkan tas coklatnya ke bahu, "nih..." ia mengangsurkan sebuah kotak makan kepada Ozy.

"apa ini?"

"sarapan buat Ozy. Ozy pasti langsung kesini kan setelah mengantar patung-patung ayah Ozy? Pasti Ozy belum sempat sarapan, jadi Acha buatkan roti bakar untuk Ozy." jelas Acha dengan senyum bangga. Aku tau, Acha menyiapkan roti itu sudah sejak shubuh.

"makasih ya Cha. Nanti kita makan sama-sama disekolah. Sekarang kita berangkat, yuk." ajak Ozy yang sudah bertengger diatas jok sepeda kebanggaannya.

"Acha, berangkat ya kakak-kakak, assalamualaikum." pamit Acha.

"walaikumsalam." timpalku bebarengan dengan kak Riko.

Sejurus kemudian, sepeda Ozy sudah berbelok ke kanan jalan lalu menghilang.

Hari ini, tepat 2 minggu setelah kepergian ayah. Dan kami sepakat untuk segera melanjutkan kehidupan kami. Meski kak Riko masih sering melamun, Acha masih sering menangis memeluk foto ayah, dan bunda masih sering memeluk dan menciumi baju seragam ayah. begitu pula dengan aku yang belum bisa sepenuhnya mengikhlaskan kepergian ayah. saat orang normal mampu berjalan dua atau tiga langkah dan aku hanya bisa maju setengah langkah, aku harus tetap berjalan, ya, kami harus tetap berusaha untuk maju. kami harus tetap bisa tabah, harus tetap saling menguatkan dan saling menjaga.

Karena dunia terus berputar, menggulirkan masa yang tak pernah mau menunggu. Maka ku putuskan untuk berpacu, mengimbangi gerak cepat sang waktu. Berharap, didepan sana akan segera aku temui titik penghabisan dari segala ujian ini.

"kamu yakin Fy, akan masuk sekolah hari ini?" pertanyaan dari kak Riko, berhasil menyita perhatianku yang tadinya ku curahkan pada sepasang burung kecil yang tengah mengepak-ngepakkan sayapnya yang kecoklatan.

"walaupun tidak ada dirukun islam, menuntut ilmu itu hukumnya wajib kan kak ?? Jadi untuk apa aku tidak yakin dalam menunaikan kewajiban." balasku mantap.

Aku benar-benar sedang menata hati, mempertebal benteng pertahananku, dan pertanyaan semacam tadi benar-benar tidak ingin ku dengar.

"apa....kamu sudah...siap, bertemu Rio ?"

aku tersenyum tipis.

"siap ataupun tidak, aku tidak bisa terus menghindarinya kan? Dulu aku berharap kondisiku akan membaik, jadi ku putuskan untuk tidak menemui Rio dulu sebelum aku sembuh. Tapi rasanya, untuk sembuh seperti dulu lagi akan sangat sulit, jadi ya, barangkali ini memang saatnya aku menemui Rio. Kalau dia masih mau menerimaku dengan keadaan seperti inh, aku akan sangat bersyukur. Tapi kalaupun tidak, mungkin Rio memang bukan jodohku."

"Rio pasti akan menerimamu. Kamu cantik, kamu juga baik, tidak ada alasan untuknya menyia-nyiakanmu." tandas kak Riko.

"wah, kalau begitu kakak lupa. Diluar sana bahkan banyak sekali gadis yang lebih baik dan jauh lebih cantik dariku, yang mengharapkan Rio."

"tapi Rio kan sangat menyayangimu ?"

"ya, aku harap juga masih begitu." balasku, sedikit ragu, "kak, bunda bagaimana ? Apa tidak apa-apa kalau kita...."

"jangan khawatir, Fy," sela kak Riko, memotong kalimatku yang memang enggan untuk ku perjelas, "kakek sudah menyuruh bunda untuk mengurus usaha percetakannya yang di Jogja. Jadi mulai lusa bunda sudah aku sibuk dengan aktivitas barunya."

"oh, syukurlah kalau begitu. Ya, sudah. Berangkat yuk, kak."

"OK. Sebentar ya, kakak pamitan dulu sama bunda." kak Riko segera memasuki rumah.

Aku mengecek kembali penampilan baruku, rok abu dan kemeja putih panjang, serta jilbab putih yang membungkus rapi mahkotaku, lalu kacamata yang sama dengan yang dikenakan Acha, untuk menyarukan mata kami yang masih sedikit terlihat sembab.

"tidak terlalu buruk." batinku, menghibur diri sendiri.

"ayo Fy, berangkat." ajak kak Riko. Aku menurut, segera memasuki sedan putih metallic, hadiah ulang tahun ke-17 kak Riko.

***

Aku menghirup udara, sebanyak mungkin. Aku gugup. Rasanya ingin sekali meninta kak Riko putar-balik, dan kembali kerumah. Keberanianku tiba-tiba saja menciut, hatiku mencelos, saat menatapi gedung bertingkat tiga didepan sana. Gerombolan siswa berseragam putih abu seperti aku, mulai memasuki gerbang gedung ber-plang SMA Budi Dharma, itu. Entahlah, apa reaksi siswa-siswa itu kalau aku masuk kesana. Aku tidak bisa membayangkannya, tapi..... bismillahhirrohmanirrohim...
Dengan menyebut nama-Mu Ya Allah, semoga segalanya Engkau permudah.

"Fy..." panggil Kak Riko, aku menoleh, "berjuang ya dek, kakak selalu mendoakanmu." pesannya.

Aku mengangguk, lalu memamerkan seulas senyum, "aku turun ya kak, assalamuaikum." pamitku.

"walaikumsalam."

Dan detik berikutnya, terasa bergulir begitu cepat. Sekarang mau tidak mau, aku sudah berjalan menyusuri komplek sekolahku. Tempat aku menempa ilmu selama hampir 3 tahun. Ah, sudah berapa bulan, aku tidak bersekolah. Rasanya rindu juga, pada gedung bercat hijau muda ini. Awalnya, aku kira semua akan berjalan lancar, tapi ternyata tidak. TIDAK. TIDAK SAMA SEKALI.
Beberapa siswi mulai memekik ketakutan, dan sebagian lagi langsung mempercepat langkah mereka saat aku melewati koridor-koridor antar kelas.

"gila, itu orang?" celetukan itu terdengar jelas ditelingaku. Aku mencoba tetap tersenyum ramah, tapi sepertinya tidak ada satu orang pun yang berniat membalas senyumku. Mereka malah membelalakkan mata, seakan-akan aku ini alien yang wajib ditonton.

"dasar norak, apa kalian belum pernah melihat penderita Lupus." cibirku dalam hati.

"itu kak Ify? Yang anak cheers itu kan, kenapa jadi begitu??" tanya seorang adik kelas pada teman-temannya yang sedang bergerombol didepan kelas saat aku melewati mereka.

"iya, ya. Kok jadi seram begitu." komentar yang lain.

"kena tulah barang kali, ku dengar dia sering menolak pria-pria yang memintanya jadi pacar." timpal yang lain.

"kalau sudah begitu, siapa ya yang mau dengannya ?" ujar salah satu dari mereka.

"sabar Ify, sabar. Tidak usah dihiraukan." aku terus berkomat-kamit merapal berbagai kalimat penguat. Ku pererat pegangan tanganku pada tas selempang yang ku kenakan.

"itu Ify ya? Kok jelek sekali, nyesel saya pernah menyukainya." tutur seorang pemuda yang tengah melintasi ku, bersama temannya.

"pantas saja Rio sekarang lebih memilih Dea ya?" meski telah berjarak sekitar 3 meter, aku masih bisa mendengar kalimat itu.

Aku menggigit bibir bawahku. Rio dan Dea? Benarkah apa yang aku dengar tadi ?

Aku segera mempercepat ritme ayunan kedua kakiku, setengah berlari aku berbelok kekiri menuju kelasku yang berada diujung deretan kelas XII.

XII IPA 1.

Sekarang aku telah sampai. Berdiri tepat diambang pintu kelasku. Aku tidak peduli lagi dengan tatapan-tatapan menghina, kaget ataupun tidak suka yang dilayangkan hampir oleh seluruh penghuni kelas itu. Tatapan dan fikiranku, langsung tertawan oleh dua orang yang duduk berdekatan itu. Mereka tampak sangat asik bercanda, sambil tertawa mengamati entah majalah apa yang ada didepan mereka.

Rio dan Dea. Sejak kapan mereka begitu dekat. Sejak kapan Dea berani melingkarkan tangannya diatas bahu Rio, dan sejak kapan Rio menyuguhkan senyum semanis itu pada gadis lain, selain aku. Sejak kapan?

Pelan, aku mulai melangkah, menghampiri mereka berdua.

"ekhm," aku berdehem, "permisi Rio, ini tempatku." kataku berusaha sebiasa mungkin.

"ASTAGA..." pekik Rio, ia sedikit berjingkat dari kursinya saat melihatku.

Berbeda dengan Dea yang sudah sering mengunjungiku dalam kondisi seperti ini, Rio belum pernah sekalipun tau bagaimana keadaanku. Jadi wajar saja, kalau dia shock, melihat manusia seperti ku tiba-tiba berdiri dihadapannya.

Meski aku tau itu wajar. Tapi tetap saja, rasanya sakit. Sangat sakit. Hanya satu kata yang Rio ucapkan, tapi itu sudah lebih dari cukup membuatku jatuh kembali. Satu kata yang dilontarkan pria itu, Rio, orang yang sangat aku sayangi, bagai bom nuklir yang memporak-porandakan benteng pertahananku. Habislah semuanya disini !!! Desau angin yang sering mengejekku itu benar. Aku lemah. Bahkan terlalu lemah, untuk bisa menahan gelombang air mataku. Semuanya telah usai, rasanya tidak ada alasan apapun untukku terus bertahan.

Aku segera berlari, berlari, mencoba menjauh dari kenyataan. Mencoba memuntahkan pil-pil pahit yang dijejalkan secara paksa padaku, hari ini.

Aku tidak peduli, umpatan-umpatan kasar orang-orang yang tertabrak olehku. Aku terus berlari, pergi sejauh mungkin, pergi meninggalkan dunia ini kalau perlu.

***

Ternyata tidak,
kamu tidak mau menunggu kedua sayapku sembuh.
Menunggu kekuatanku kembali.
Kamu lebih memilih untuk terus terbang, menggapai anganmu.
Mengejar matahari, menyentuh bulan dan menari bersama bintang.
Sedangkan aku?
Aku akan terus disini, terpuruk dan tidak akan pernah mau mencoba untuk bangkit kembali.
karena kamu telah meninggalkan aku..

***

1 komentar:

Unknown mengatakan...

viaa.... beneran gu sedih baca cerbung ini... lo keren bisa buat cerbung yang ini..
penyakit nya sama kayak penyakit yang gue derita.. ini di kemas begitu menarik kata-katanya mantap! terus juga pemerannya rify menjadikan cerbung ini tambah menarik lagi..











Numpang promo ya jangan lupa juga buat berkunjung ke blog saya:
obat kista tradisional.
obat pelangsing herbal
terimakasih sebelumnya

Posting Komentar