Jumat, 24 Juni 2011

Rahasia Orion Part 6

Rahasia Orion Part 6
"Bintang Jatuh"

***

"Sore Kia…"

Kia. Entah untuk siapa sapaan itu diucapkan. Tapi toh dua orang yang tengah duduk di gazebo itu sama-sama terongong.
Sore Kia. Dua kata itu di rapal riang oleh seorang gadis dengan terusan warna lilac, yang kini tengah melangkah menyusuri jalan setapak berdasar rumput teki hijau terang, menuju gazebo tempat Rio dan Alvin tertegun rapi. Gadis tadi menggigit bibir saat menyadari efek sapaannya untuk dua orang pemuda itu. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan, sadar bahwa nama itu tabu untuk di rapalnya. Ia tahu bahwa satu dari dua pemuda yang sama-sama memicing mata kearahnya, mempunyai history dengan nama itu. "Maaf ya, kelepasan..." Gadis manis berambut ikal itu berujar lirih sambil memetakan ekspresi menyesal.
Rio melirik Alvin yang kebetulan juga tengah mengintip siluet saudara tirinya itu lewat ekor mata sipitnya. Rio mengangkat bahu. 
Gadis tirus lantas ikut duduk bersama Rio dan Alvin di Gazebo kecil itu. Bangunan mungil yang merupakan bagian dari rumah mewah keluarga Haling itu, seperti apa yang pernah Shilla katakan, tampak sangat mirip dengan saung-saung di pedesaan. Kayu-kayu jati penyusunnya halus dan rapi meski tanpa pelitur. Lantainya yang terbuat dari bilah-bilah bambu akan selalu menyuarakan nada yang sama setiap kali di duduki, kreyot-kreyot. Ditambah dengan kentungan berbentuk cabai yang bergemelutuk saat tersentuh angin, dan samak (tikar) dari anyaman jerami-jerami kering yang di gelar disana, ah, gazebo ini jadi seperti saung yang dicomot langsung dari desa untuk melengkapi keunikan Rumah Besar.

"Gue baru buat brownies. Cobain ya." pinta Ify dengan wajah berbinar berusaha mencairkan suasana yang tegang akibat sapaannya tadi. Dibukanya tutup tempat kue yang di bawanya dengan semangat, "Cobain deh, enak nggak ?"
Rio dan Alvin saling berpandangan. Sebuat pertanyaan seperti tercetak jelas dan besar-besar pada kening kedua pemuda tampan itu, aman-nggak-ni ?
Mengingat track record Ify yang lebih sering gagalnya dibanding berhasil dalam memasak, akhirnya dengan enggan Rio dan Alvin meraih masing-masing satu kerat brownies buatan Ify. Setelah gigitan pertama, Rio dan Alvin kompak melahap sisa brownies di tangan mereka dengan sekali suap, lantas buru-buru ditelan tanpa menguyahnya lama-lama. Ketika potongan brownies itu berhasil melewati pangkal lidah, keduanya mendesah lega.

Ify menatapi kedua pemuda itu dengan siratan kecewa, "Segitunya sih kalian," katanya, ketus.

"Emm, sebenarnya nggak parah-parah banget kok, Fy. Cuma gue saranin, kalau lo mau belajar masak, mending dari yang gampang-gampang aja dulu." hibur sekaligus usul Rio, pemuda itu juga masih ketar-ketir merasakan pahit yang masih menempel pada lidahnya.

"Ya udah deh, ini biar gue kasih kucing aja." Ify segera merapikan dan menutup kembali kotak kuenya.

"Yakin kucingnya mau ?" celetuk Alvin, datar.

"Ih, lo jahat banget sih Vin, ngomongnya."

"Emang. Gue jahat dan Rio baik, semua juga bilang gitu." timpal Alvin, ketus.

"Udah Fy, jangan dengerin Si Alvin." Rio mengacak poni gadis yang memilih duduk di sebelahnya itu, "Eh, Fy. Katanya ada tugas bikin makalah Bahasa Inggris ya ? Buatin dong Fy, lo kan jago tu kalau buatin kayak gituan. Yayaya, buatin ya." pinta Rio.

"Hobi banget sih ngerepotin Ify, kenapa nggak minta buatin Shilla." cibir Alvin yang kini mulai terlihat sibuk dengan SLRnya.

"Eh, nggak pa-pa kok. Biar gue aja yang buatin." sergah Ify. Setidaknya dengan begini Ify merasa di butuhkan oleh Rio, "Oh iya, lo mulai masuk sekolah lagi, kapan Yo ?"

"Gue keasikan libur ni Fy, jadi malas sekolah. Hehe."

"Ck. Lo tu udah kelas XII, Mario. Jangan main-main gitu dong sama sekolah lo. Lo udah ketinggalan banyak materi tau, pokoknya gue mau paling lama lusa lo harus udah masuk. Kalau soal catat-mencatat, nanti gue sama Shilla bisa bantu." tutur Ify panjang lebar. Persis seperti seorang Ibu yang menasehati putranya agar tidak nakal dan harus rajin ke sekolah.

"Enak banget sih hidup lo, Yo." sahut Alvin, singkat.

"Ya, beginilah nasib orang ganteng, Vin. Apalagi gue orangnya suka nggak tegaan nolak bantuan dari orang lain. Hehe." Rio terkekeh, kedua matanya yang masih sipit selepas tidur siang, jadi tinggal segaris saat kedua ujung bibirnya ditarik membentuk senyum memukau, "Iya, gue bakal masuk, fy.”

***
Potongan puzzle itu mulai dikirim Orion...

Mungkin masanya telah tiba, sebuah rahasia harus dikuar. Seharusnya penemu kepingan puzzle itu berkenan untuk mulai merangkainya. Melongok pola hidup seperti apa yang sedang atau akan di susun oleh sang takdir. Jika dulu kaki-kaki kecil milik bocah-bocah cilik itu, bahkan belum cukup panjang untuk menjejak kulit bumi ketika mereka menunggangi sepeda kumbang Eyang kakung, kini kaki-kaki itu telah begitu kokoh menyokong tubuh masing-masing.
Sudah seharusnya, waktu mendewasakan lakon-lakon itu.
Liku hidup yang terlalui, semestinya membuat air mata mengkristal, tidak perlu ada tangis saat apa yang di harapkan tak sesuai dengan yang telah di gariskan.

Ternyata ada rahasia kecil, di Rumah Besar...

***
Ruangan itu kosong, dalam artian tidak ada manusia lain selain Shilla, disana. Tadinya gadis yang pandai memasak juga menyulam ini, berniat untuk duduk manis selama menunggu kedatangan Eyang Putri, yang katanya menunggu Shilla di ruang kerja Narendra Haling.
Tapi ternyata, sulit untuk menahan dirinya agar tidak menelusuri ruangan yang baru pertama kali dimasukinya itu, setelah sekian minggu menetap di Rumah Besar. Ruangan ini terkesan begitu misterius, sama seperti pemiliknya yang lebih sering berdiam khidmat dan memandang teduh pada Shilla, lewat kedua bola mata di balik kaca mata tanpa bingkai yang sering digunakan putra tunggal keluarga Haling itu.
Ada 3 lukisan dalam ruangan ini, dan ketiganya menampilkan objek yang sama, pohon kiara. Dengan daun-daunnya yang di pulas hijau cemerlang serta batangnya yang kecoklatan, terbingkai anggun dalam figura-figura yang cantik. Shilla jadi ingat, Rio pernah berkata bahwa Papanya sangat menyukai pohon Kiara.
Disisi lain ada lemari kaca besar, memuat puluhan buku-buku tebal yang kebanyakan judulnya berbahasa asing, dan satu set sofa warna karamel yang mengisi pojok kanan ruangan ini. Penerangan yang minim, serta dominasi warna kecoklatan, mempertegas kesan tenang dan tersembunyi.
Shilla mundur teratur, sambil mengamati foto Rio kecil (balita tepatnya) bersama Papa dan Almarhummah Mamanya yang dipasang didinding, bersisian dengan piagam penghargaan untuk Narendra S. Haling sebagai pengusa muda terbaik, yang di anugrahkan beberapa tahun silam pada pria itu. Wanita itu. Yang menggendong bayi Rio, Shilla seperti sudah pernah melihatnya. Tapi enyah dimana. Tanpa sengaja, lengan gadis itu menyenggol sebuah buku tebal bersampul merah hati dengan gambar bendera Perancis. Buku itu jatuh berdegam, selembar foto keluar dari dalamnya. Shilla meraih foto itu, keningnya lantas berkerut rapat. Itu adalah potret Shilla cilik bersama Ibunya, "Kok om Haling punya foto ini ?" gumamnya pelan, satu pertanyaan baru tiba-tiba tercetus dalam benaknya, "Narendra Haling. Kayaknya pernah dengar nama itu, tapi dimananya ?"

Tap-tap-tap

Dentum suara sepatu yang kian jelas, mengisyaratkan seseorang telah berjalan mendekat kearah ruangan ini, dan itu pasti Eyang Putri. Dengan asal Shilla meletakkan foto dan buku tadi, "Mungkin Ibu pernah menyebut nama itu, wajar kan ? om Haling kan sahabat dekatnya." begitu fikir Shilla.
Gadis yang mewarisi mata jernih Sang Ibu itu, ternyata tidak mau repot-repot menyusun potongan puzzle yang telah di kirimkan Orion. Ia lantas duduk manis di sofa dan berlagak asik membolak-balikkan majalah flora yang di sambarnya dari kolong meja kecil dihadapannya, tidak berminat untuk tahu lebih banyak lagi, mengenai foto atau pun hal-hal lain yang berkenaan dengan hubungan persahabatan Sang Ibu dengan Narendra Haling.

"Mengurus rumah saja tidak becus. Rumput sudah setinggi itu tapi tidak di rapikan. Jam segini dapur masih seperti kapal pecah. Dasar pemalas semua." gerutu Eyang Putri yang baru saja masuk, seraya mengibas-ngibaskan kipas lipatnya di depan wajah.

Shilla tersenyum kalem, "Ada apa Eyang ?" tanyanya, basa-basi.

"Eh, Shilla, sudah lama ?"

"Shilla juga baru datang kok. Eyang ada apa cari Shilla ?"

"Oh, tidak apa-apa, Shil. Eyang hanya ingin ngobrol denganmu. Tidak ke beratan bukan ?"

Shilla menggeleng.

Eyang Putri kembali bersuara, setelah sebelumnya merapikan tatanan rambutnya yang tergelung anggun, "Kamu betah tinggal disini, Nak?"

"Betah Eyang. Betah sekali. Semua baik sama aku."

"Bagus kalau begitu," wanita tua itu merapatkan punggungnya pada sofa, "Rio juga sepertinya menyukai kehadiranmu. Kalian terlihat cukup akrab. Sejak Rendra memutuskan untuk menikah lagi, setahun yang lalu, anak itu jadi pemarah dan sensitif. Tapi setelah kamu tinggal disini, saya lihat Rio jadi lebih sering tertawa dan jarang marah-marah. Sifat manjanya juga sepertinya mulai hilang."

Shilla menarik satu ujung bibirnya, "Hilang dari mana coba ?" batinnya sarkatis. Mengingat beberapa malam yang lalu Rio merajuk di depan pintu kamarnya hanya untuk meminta Shilla menemaninya makan malam, padahal waktu itu Shilla sedang asik bermimpi candlelight dinner bersama pangeran tampan dari negeri antah-berantah, "Lo nggak makan juga nggak pa-pa, temenin gue aja." begitu seloroh Rio, dengan ekspresi anak kucing manis meminta semangkuk susu.

Atau Rio yang entah dengan alasan apa, hanya mau digantikan perban lengannya oleh Shilla saja. Itu pun harus extra pelan, atau pemuda itu dengan berlebihan, akan mengaduh kesakitan.
Tapi anehnya, Shilla selalu senang melakukan apapun yang Rio minta. Ia tak pernah merasa keberatan atau pun merasa di repotkan untuk itu semua. Tanpa sadar Shilla menggeleng malu-malu, bibirnya tersenyum tipis.

"Kenapa Shil ?"

"Eh, emm... Enggak Eyang, nggak pa-apa."

"Oh iya, saya dengar dari Rendra, Ibumu telah meninggal. Saya turut berduka cita ya. Lalu bagaimana kabar Ayahmu sekarang ? Dimana dia tinggal ?" tanya Eyang Putri hati-hati, seolah kata-katanya ibarat jarum yang salah-salah bisa memecahkan sesuatu yang telah di jaga dengan begitu apik.

"Ayah sudah meninggal sejak aku kecil, Eyang."

"Meninggal ?" mata Eyang Putri melebar seketika seiring dengan mulutnya yang ternganga.

"Kenapa ? Apa Eyang juga mengenal Ayahku ?"
Eyang Putri mengulur napas panjang, "Ti…Tidak. Saya tidak mengenal Ayahmu. Saya hanya mengenal Lisha, dia perempuan yang sangat baik dan menyenangkan. Dia juga cantik sepertimu."

Shilla hanya mengangguk kecil. Sudah banyak yang berkata demikian padanya. Bahwa Shilla memang sangat mirip dengan Ibunya. Shilla lebih senang menggerai rambut panjangnya, sama seperti Lisha. Warna kulit kuning langsat dan bibirnya yang merah alami, serta bulu matanya yang lentik, juga benar-benar di warisi dari Sang Ibu. Bukan hanya soal fisik, sampai masakan dan warna favorit pun Shilla idem dengan Lisha.

"Oh, iya kamu boleh menyimpan foto ini." Eyang Putri mengulurkan selembar foto yang baru saja diambilnya dari meja kerja Haling. Kertas bergambar itu mengabadikan dua lengkungan senyum milik Lisha dan... Narendra Haling. Shilla merasa belum pernah melihat Ibunya tersenyum begitu bahagia seperti dalam foto di tangannya.

Shilla mengamati kertas bergambar itu dengan heran, sebetulnya seberapa dekat Ibunya dengan Haling. Kenapa Haling tidak pernah mengunjungi Ibunya dulu ?

Saat gadis cantik itu mengangkat wajahnya kembali, di dapati seraut senyum pada wajah Eyang putri, "Foto itu sebagai bukti bahwa Mahesa dan Rendra bersahabat, tidak berarti apa-apa. Saya hanya ingin setelah melihat foto itu, kamu tidak perlu merasa sungkan terhadap keluarga ini. Kami semua menyayangimu, sama seperti kami menyayangi Lisha." terang Eyang Putri, "Dan mengenai Ayahmu. Yakinlah, walaupun dia tidak memelukmu, mengantarkanmu kesekolah, atau pun membelikan kado saat ulang tahunmu, tapi Ayahmu juga pasti sangat menyayangimu juga." imbuhnya dengan suara bergetar, seperti menahan tangis.

Siapa pula yang tak merasa sakit, saat menerima kenyataan, belasan tahun seorang anak terpaksa hidup dalam kebohongan, hanya karena perjanjian konyol, yang terabaikan.

***
Horisan tanpa pulasan jingga. Senja mulai merayap, tapi mendunglah yang berkuasa. Matahari pulang ke peraduannya di giring gulungan awan hitam. Rintik gerimis mulai luruh satu-persatu. Menimbulnya denting, ketika beradu dengan genting-genting bangunan ini. Membuat bercak-bercak gelap padan jalana beraspal diluar sana. Hawa dingin mulai ikut ambil bagian, menusuki setiap pori-pori kulit, mengayun-ambing setiap insan agar segera merapat dengan kasur dan selimut tebal.

Ify mendesah pelan, "Setengah enam." katanya, setelah melirik jam tangan merah muda senada bando dan tas selempang yang ia kenakan.

Gadis manis itu segera menggerakan kursor dan melakukan beberasa prosedur untuk mematikan laptopnya. Setelah selesai, Ify lantas merapikan serakan kertas-kertas penuh coretan yang memenuhi meja di hadapannya.

Semuanya sudah rampung, dan Ify baru menyadari sekelilingnya, sangat sepi dan mulai temaram, "Kayaknya udah nggak ada orang di sekolah."

Ify baru saja menyelasaikan cerita bersambung yang kelanjutannya harus segera di setorkan ke Aruna, lusa. Dan untuk menulis dengan tenang, tentu tidak bisa dilakukannya dirumah. Ayahnya sangat tidak suka melihat Ify menekuni dunia tulis-menulis, dunia yang sebetulnya bisa membuat Ify merasa sangat bahagia.
Sebetulnya, Ify mempunyai satu impian. Impian yang sama sekali tidak berkenan Ayahnya untuk sekedar mendengarkannya. Ya, mendengarkan kemauan Ify akan jadi hal terakhir yang ingin di lakukan Sang Ayah dalam hidupnya.
Masuk jurusan bahasa dan ambil fakultas sastra untuk kuliahnya, itulah sebenarnya impian Ify. Tapi tentu tidak akan pernah terwujud, karena ia merupakan salah satu dari beberapa orang yang tidak diperbolehkan bermimpi dan memilih oleh Sang Takdir. Kalau untuk kebanyakan orang, hidup adalah suatu pilihan, maka untuk Ify kehidupan tak lebih dari sebuah keharusan yang menjenuhkan.
Kalau di rumah, gadis itu harus bermain kucing-kucingan dengan Sang Ayah, setiap ingin mengasah bakat menulis Ify yang didapat dari Bunda tercintanya. Ayah Ify menginginkan putri semata wayangnya menjadi seorang dokter, dan itu sudah tidak bisa ditawar lagi. Kadang Ify berfikir, hidupnya sama sekali bukan miliknya, ia tak lebih dari seorang robot yang dipaksa melakukan banyak hal untuk membahagiakan orang lain, bukan untuk kebahagiaan dirinya sendiri.

Ceklik

Glek. Ify menelan ludah. Detik berikutnya, rasa panik mengbungkus rapat tubuhnya yang mematung.

Pintunya terkunci. Sepertinya petugas sekolah tidak melihatnya didalam saat mengunci semua pintu ruangan.

Ify segera mengaduk-ngaduk isi tasnya, mencari benda mungil, produk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari, kian canggih. Setelah mendapatkan handphonenya, Ify berniat menghubungi Alvin, tapi kemudian teringat isi sms yang di kirimkan pemuda itu beberapa waktu yang lalu.

Gue mau hnting foto k kta tua. Mau ikt g?

"Pasti Alvin belum pulang." batin Ify. Dengan cepat, otaknya mengusulkan satu nama, di tekannya beberapa tombol pada keypad handphonenya lalu benda mungil itu di dekatkan ke telinga, "Halo Yo, lo dimana ? Oh, Ok. Ok. Sama supir kan ? Yo, jemput gue, please..... Gue masih di sekolah... Ke kunci di ruang OSIS..... Iya, ya udah, buruan ya Yo.... Gue takut ni, disini sepi banget. Ok. Gue tunggu."

Ify menghela napas lega, Rio bilang sedang ditaman kota. Kalau tidak terjebak macet, dalam waktu 15 menit, seharusnya pemuda itu sudah sampai di sekolah. Ify mencoba untuk tenang, ia memilih duduk di salah satu kursi yang paling dekat dengan pintu.
Sebentar-sebentar gadis itu melirik jam tangannya. Sudah 15 menit, tapi Rio belum juga datang. Langit di luar sana bertambah gelap. Guyuran hujan menjajah bumi tanpa ampun. Ify semakin ketakutan, wajahnya pucat pasi, ketika di dengar bunyi kresek-kresek dari dalam lemari besar tempat beberapa arsip lawas di simpan. Kilat memainkan perannya, membelah langit dengan cahaya biru keunguan. Di susul guntur yang ditabuh bersahutan bak genderang perang Negeri Indraprasta dan Gandara. Membuat Ify terlonjak kaget dan semakin was-was. Di tambah lagi dari luar terdengar bunyi langkah-langkah kaki. Padahal tidak ada deru mobil yang datang sejak tadi. Mulut Ify terus berkomat-kamit merapal doa, lengannya memilin-milik rok dengan gelisah. Suara langkah kaki itu kian dekat kearah Ruang OSIS. Suara apa itu ? Rio kah atau.....

"KYAAA... Bukain dong, gue mohon. Siapa pun, tolong bukain. Ya Tuhan lindungi hamba. Toloong..." Ify berteriak sekencang mungkin, sambil menggebrak-gebrak daun pintu yang masih tertutup rapat.

Sedangkan diluar, tak jauh dari Ruang OSIS, Gabriel tertegun. Menatap langit yang dengan brutal tengah mencurahkan hujan. Pemuda yang menjabat sebagai ketua ekskul jurnal itu, baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai editor majalah Aruna. Ketika hendak pulang, hujan deras malah menghadangnya.
Lamat-lamat Gabriel mendengar teriakan panik yang di serukan Ify. Sedikit enggan, Gabriel mencari sumber suara itu. Dalam hati, ia mengucap doa. Semoga yang di dengarnya adalah benar suara manusia. Bukan makhluk halus, jin atau saudara-saudaranya.

"Ify ? Yang didalam kamu, Fy ?" tanya pemuda itu, setelah memastikan bahwa teriakan tadi berasal dari Ruang OSIS. Gabriel yakin, yang tadi di dengarnya adalah suara Ify. Percuma mengagumi Ify hampir dua tahun kalau suara manja khas gadis itu saja , ia tidak mengenalinya.

"Iya Yel, ini gue. Tolong bukain, gue ke kunci." sahut suara dari dalam.

"Ok. Ok. Kamu minggir ya Fy. Pintunya biar aku dobrak."

Pemuda itu mengambil ancang-ancang. Dengan kekuatan penuh, dibenturkannya tubuh bagian kanan pada pintu, beberapa kali. Pada kali ketiga, pintu baru terjeblak terbuka. Bersamaan dengan itu, Rio datang bersama Shilla dan supirnya. Tanpa aba-aba apaun, Ify yang telah berhasil keluar dari ruangan yang hampir membuatnya mati ketakutan tadi, lantas berlari melewati Gabriel dan langsung menubruk tubuh tegap Rio. Pemuda itu sampai terhuyung beberapa langkah kebelakang. Ify menumpahkan tangisnya pada dada bidang Rio, memeluk pemuda itu dengan kedua tangannya yang gemetar, "Rio... Rio.." nama itu beberapa kali terdengar diucap dengan lirih, di sela tangis ketakutannya.

Gadis yang mahir berbahasa Belanda itu, entah terlalu sibuk menangis atau masih di dera kepanikan, sampai-sampai ia melupakan dua hal yang sebenarnya cukup krusial.
Pertama, ia lupa mengucapkan terima kasih pada orang yang menyelamatkannya tadi. Karena sialnya, dewa penolong itu bukan seperti apa yang diharapkan Ify, dia bukan Rio, bukan Rio.
Kedua, seharusnya ia menyadari, bahkan Rio tidak bereaksi apapun setelah Ify menangis tersedu-sedu di dekatnya. Tidak balas merangkul atau mengelus lembut rambut Ify, bahkan kedua bibirnya masih terkatup rapat. Tidak ada kalimat-kalimat penenang yang seharusnya di dengar Ify. Lengan kanan pemuda itu tergantung di samping tubuhnya, sedang yang lain masih bertautan dengan jemari gadis cantik yang menatap Ify dengan ekspresi yang sulit diartikan. Oh, mungkin Rio bereaksi. Ya, reaksi yang bisa di sebut penolakan, barangkali. Rio tamp[ak sekali kurang nyaman mendapat pelukan dari gadis yang hampir selama 6 tahun menjadi sahabatnya itu.
Tanpa ada yang mencoba untuk mendengarnya, malam ini, ada tiga tangisan yang mengguyur bumi. Tangisan langit, tangisan Ify dan tangisan sebentuk hati milik Gabriel. Ia merasakan denyutan menyakitkan yang mengoyak hatinya, membuat kakinya harus mengeluarkan kekuatan extra untuk tetap dapat berdiri tegak. Nyeri itu ternyata bukan hanya pada tubuhnya yang berkali-kali bertumbukan dengan pintu, tapi juga pada hatinya.
Apa disaat sepanik itu, Ify masih sempat memilih atau memang nalurinya yang bekerja ? Naluri, dimana hanya ada nama Rio yang terpahat begitu dalam, disana.
Kenapa ia tidak pernah diinginkan oleh semua orang, seperti Rio ?
Kenapa gadis itu selalu mengabaikannya, setiap kali ada Rio ?
Sebenarnya, apa dosa yang pernah dilakukannya pada pemuda itu , mengapa Rio selalu menghancurkan kehidupannya ?
Air langit boleh saja luruh, udara boleh saja dingin, tapi tidak dengan hati Gabriel. Setelah apa yang di lihatnya, saat Ify berlari melewatinya. Saat Ify merengkuh tubuh milik pemuda lain. Saat Ify lebih memilih menumpahkan tangisnya di dada Rio. Ah, mungkin Gabriel akan belajar merelakan Ify bersama Rio, kalau saja Rio bisa menjaga dan menyayangi Ify. Tapi sekarang lihat saja, pemuda itu malah bergeming, "Lo brengsek, Yo." tutur hatinya.

Potongan adegan-adegan tadi, bagai api yang kemudian menyulut bambu-bambu kebencian. Asap kemarahannya mengepul dan membuat sesak. Menyisakan jelaga yang kian berkerak, membuat sebentuk hati itu makin gelap dan menyedihkan.

***

"Lo suka bintang ya ?" suara baritone Rio terdengar kembali, setelah beberapa menit terlewati dalam diam.

Ah, tapi tak selamanya kata-kata itu penting, bukan ? Kadang diam, bisa lebih pandai bercerita dan mengungkap apa yang oleh lisan sulit terungkap. Ada deburan kecil yang menggetarkan jiwa, saat dua telaga beningnya melirik siluet cantik milik Shilla dan Rio baru menyadari itu. Rio juga baru tahu, duduk berjam-jam bersama Shilla tidak pernah membuatnya bosan, walaupun keduanya lebih banyak diam dan hanya memandangi langit gelap dengan bintang-bintang yang jumlahnya tidak begitu banyak.

"Nggak." jawab gadis yang duduk disamping Rio, sambil memeluk lututnya.

"Kalau gitu lo pasti suka bulan ?" tanya Rio, lagi.

Yang diajak bicara, hanya menjawab dengan gelengan kepala. Sepertinya, gadis itu tengah berkonsentrasi penuh mengamati langit kelam yang memayungi bumi, malam ini. Seolah-olah ada sesuatu yang amat penting yang akan muncul dari langit dan ia akan sangat menyesal kalau sesuatu itu terlewat.

"Terus, kenapa lo ngeliatin langit sampai segitunya ?"

Tanpa menoleh, gadis yang mengenakan piama biru tua dan sendal kelinci lucu itu menjawab, "karena aku suka malam.”

"Malam ?" Rio melirik gadis di sebelahnya dengan kening berkerut tipis, "Kenapa ?" lanjutnya, bertanya.

"Karena, kalau malam, nggak ada matahari. Nggak ada surya."

"Haha," Rio tertawa mendengar penuturan gadis di sebelahnya, "Ya iyalah Shil, di belahan bumi manapun kalau lagi malam pasti nggak ada matahari. Alasan lo aneh deh." cibir Rio.

Shilla menoleh, mencondongkan kepalanya sedikit ke kanan. Mata indahnya berkilau, memantulkan cahaya bulan sabit yang bercokol anggun di peraduannya. Ditatapi pemuda tampan itu dengan seksama, "Tapi buat aku nggak sesederhana itu Yo." sahutnya, "Matahari itu surya, surya itu matahari. Dari kecil aku nggak suka matahari, karena tiap liat matahari aku selalu ingat Ayah. Ayah jahat, dia pergi bahkan sebelum aku punya sesuatu tentang Ayah, yang bisa aku kenang." tutur Shilla seraya menerawang. Menenggelamkan diri dalam genangan kisah manis yang kemudian jadi tangis miris saat Sang Ibu pada akhirnya juga harus berlutut takluk pada maut.

"Tapi itu kan takdir, Shil. Siapa sih yang mau mati ? Nggak ada, termasuk Ayah lo."

"Pada awalnya aku juga berfikir kayak gitu, tapi setelah aku dewasa, aku rasa ada yang aneh. Aku dan Ibu nggak pernah dapat kunjungan dari keluarga Ayah. Mungkin kami adalah orang-orang yang nggak pernah di harapkan kehadirannya di kehidupan Ayah. Mungkin aja Ayah tinggalin kami gitu aja, tapi Ibu tutupin semuanya dari aku, bisa aja kan ?"

"Lo terlalu banyak nonton sinetron deh Shil. Dugaan lo itu berlebihan."

"Kamu bisa bilang gitu, karena kamu nggak tau gimana rasanya nggak punya Ayah. Ayah kamu baik dan sayang banget sama kamu." ujar Shilla, tertahan. Suaranya bergetar, ia sudah ingin menangis. Tapi tidak, tidak di depan Rio lagi.

"Hei." Rio membentangkan kedua tangannya, kemudian merengkuh Shilla menyandarkan kepala gadis itu pada pundaknya, "Jangan sedih gitu dong. Mulai sekarang, Papa gue itu Ayah lo. hibur Rio, sehalus mungkin.

Shilla tersenyum bahagia. Tuhan memang maha adil. Shilla fikir setelah Ibunya meninggal ia akan merasa sendiri dan kesepian, tapi ternyata di tempat yang baru ini, Shilla menemukan begitu banyak orang-orang yang peduli dan menyayanginya.

"Bintang jatuh, Yo." Shilla menarik tubuhnya dari pelukan Rio, ia menunjuk kelebatan cahaya keperakan yang meluncur cepat dari langit, "Make a wish." seru gadis itu, ia sudah lebih dulu menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan memejamkan mata, bibir tipisnya bergerak-gerak merapal sesuatu. Rio malah asik memandangin Shilla yang dengan naifnya masih percaya pada keajaiban yang dibawa bintang jatuh. Pemuda itu tersenyum kecil, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Beberapa waktu kemudian, Shilla telah usai dengan acara 'make a wish' nya. Diusapkan kedua telapak tangannya kewajah, sambil bergumam, "Amin."

"Masih percaya Shil, sama yang begituan ?" tanya Rio.

Shilla menggeleng, "Nggak juga sih, tapi lucu aja gitu. Hehe. Eh, kamu tadi minta apa ?" tanya Shilla dengan nada riang, sepertinya ia sudah melewati fase-fase mellow pasca mengingat Ayahnya, tadi.

"Minta supaya mama selalu bahagia dan di kasihi Tuhan." jawab Rio asal, karena jelas-jelas ia tidak meminta apapun tadi, malah sibuk menatapi profil Shilla. Tapi ia tak sepenuhnya mengarang, permintaan seperti yang Rio sebutkan tadi memang selalu di rapalnya. Ada ataupun tidak ada bintang jatuh, Rio selalu mendoakan Mama tercintanya.

"Itu aja ?"

Rio mengangkat kedua alis tebal yang melintang diatas kedua bola matanya, "Emang lo kira, gue mesti minta apa lagi ? Gue udah punya semuanya. Jadi orang kan nggak boleh serakah Shil, nanti Tuhan marah. Gitu kata Mama, dulu." papar Rio.

Shilla mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada dagu, "Iya juga sih, kamu mau minta apa lagi coba, kamu udah punya segalanya." aku Shilla.

"Kalau elo ?"

"Emm... Kalau aku punya dua permintaan. Pertama aku minta supaya Mama selalu bahagia dan nggak perlu ngerasani sakit lagi kayak dulu. Dan yang kedua, aku minta..." Shilla menggantung kalimatnya sampai disitu, tiba-tiba saja wajahnya terasa panas. Sepertinya darah sedang melakukan keduri pada kedua pipinya, hingga kini merona merah, "Aku minta... Aku.. Minta Kamu.." selesai berujar demikian, Shilla berdiri lantas berjalan meninggalkan gazebo yang mulai rutin mereka kunjungi setiap malamnya sejak satu pekan terakhir.

"Shil, mau kemana ?" tanya Rio. Pemuda itu sebetulnya masih sedikit bingung mengartikan 'aku-minta-kamu' nya Shilla tadi. Seharusnya ada kalimat penjelas setelah tiga kata itu, misalnya aku minta kamu jadi kakakku, atau aku minta kamu jadi teman aku, sahabatku, pacarku, atau aku minta kamu menemaniku, pokoknya kalimat penjelas lah. Bukan sekedar pernyataan gantung seperti yang Shilla ucapkan.

"Kedalam. Aku ngantuk. Lagian udah malam." jawab Shilla, yang sudah sampai pada jembatan kecil yang merentang diantara kolam ikan besar di salah satu sudut halaman Rumah Besar.

"Oh, good night kalau gitu."

"Night too."

Shilla langsung berlari kecil, memasuki Rumah Besar. Selepas kepergian Shilla, Rio tertegun. Ia menyadari, ada sesuatu yang tidak biasa yang sedang terjadi pada dirinya. Dulu Rio pernah memohon satu permintaan, agar Tuhan membiarkannya jatuh cinta lagi, setelah kepergian Acha. Dan mungkinkah apa yang ia rasakan pada Shilla adalah jawaban atas doanya selama ini?

Pluk

Sebuah pesawat dari kertas, entah berasal darimana tiba-tiba saja mendarat mulus tepat diatas punggung Rio. Rio lantas menoleh, diraihnya pesawat kertas itu, "Ada tulisannya," gumam Rio.

Anggaplah ini analogi.
Adakah sama ulat dengan perasaanku, Rio ?
Ulat itu menjijikkan. Kalau kamu janjikan kelak ia akan jadi kupu-kupu cantik, ulat itu rela meluangkan waktunya, lebih dari yang pernah diluangkannya. Ulat itu bersedia ditutup, diselubungi serat-serat lapisan kepompong. Disembunyikan dulu sebelum akhirnya jadi indah.
Tapi kalau kamu tidak bisa berjanji bahwa kelak ulat itu akan jadi kupu-kupu. Biarkan saja ia mati. Jangan peduli. Jangan beri daun-daun harapan yang hanya akan membuatnya tumbuh kian besar dan tambah menjijikkan.
Pun dengan perasaanku Rio, adakah kamu mau menyadarinya. Di alam mimpi pun tak apa, mau kah kamu menjanjikan aku sesuatu ? Agar ada alasan buatku menunggu lebih lama, karena sejujurnya, aku belum ingin menyerah.

Rio membaca tulisan yang menyemut rapi, mengisi pesawat kertas tadi, "Rio ? Rio gue ? Tapi siapa yang nulis ini ?"

***

"Kalian berdua kan sudah kenal dekat dengannya, bagaimana ?"

"Lupakan dia Vin, Mama hanya ingin kamu bahagia. Ini masa depanmu. Dan manusia hidup untuk masa depan, bukan bertahan dengan masa lalu."

"Menurut Rio itu konyol, pasti rasanya aneh."

Dalam balutan diam, dialog-dialog itu justru kegirangan. Seperti mendapat sound terbaik untuk terus berdengung, mengusik Alvin.
Seperti teratai yang mengapung pada permukaan air, kemudian dilempari kerikil, setika ia jadi oleng. Alvin ingin berkata tidak, tapi rasanya sulit sekali. Ah, benar-benar tidak enak. Gamang. Tak ada yang jelas dan pasti.
Semua jadi seperti tebak-tebakkan. Ia bisa saja bahagia, tapi tidak tertutup kemungkinan, Alvin akan menyesali keputusannya di kemudian hari. Kenapa sih, Alvin tidak bisa seperti Rio yang mulutnya benar-benar mewakili hatinya. Sedangkan ia, terlalu banyak berfikir dan menimbang.
Pemuda berwajah oriental itu, terduduk dikusen jendela kamarnya. Sepertinya Alvin berniat menghabiskan sisa malam disitu. Saat ditatapnya langit dengan pandangan nanar, dua bola mata sipinya menangkap kelebatan cahaya keperakan dari langit, Alvin segera merapal doa dalam hatinya. Sebetulnya, ia tidak percaya dan menganggap hal ini konyol, tapi untuk kali ini, ia benar-benar berharap bintang jatuh atau apapun yang baru saja dilihatnya itu dapat membawa sebuah keajaiban untuk hidupnya.

“Apa ini saatnya aku lupain kamu, Aya?” 

***

"Love you, dear."

"Me too."

klik.

Sambungan telepon terputus. Ify tersenyum lebar sesudahnya. Mendengar suara penelpon tadi, suara Bundanya, memang benar-benar bagai mereguk air es teh manis favouritenya, di tengah Sahara.

"... Juara tidak selalu yang pertama atau yang terdepan, Ify. Tapi mereka yang berjuang sungguh-sungguh dan mereka yang bersabar juga seoarang juara..."

Kalimat itu adalah bagian dari dialog yang dilakukan via telepon oleh Ify dan seseorang di seberang sana, barusan. Gadis itu berniat kembali menata hatinya, menjadikan kata-kata tadi sebagai pondasi. Harapan yang ia bangun selama ini, tidak boleh porak-poranda, hanya karena gadis desa seperti Shilla.
Tadinya Ify sempat berfikir Rio tidak lagi peduli padanya setelah ada Shilla, karena selama perjalanan pulang setelah Ify terkunci di Ruang OSIS, Rio malah lebih banyak bergurau dengan Shilla dibanding menanyakan bagaimana keadaannya? Tapi fikiran itu segera ditepis, ketika pesan singkat yang di kirimkan Rio, masuk dalam list inbox nya.

Gue khawatir, Fy. Lo gk pa-pa kan?


Meski terkesan terlambat, tapi tak apa, toh pesan itu tetap mampu membuatnya sedikit merasa lebih baik. Ify mengulas senyum simpul, seraya memandangi LCD ponselnya. Ia beringsut bangun dari posisi tengkurap di kasur empuk ber-bed cover gambar bunga-bunga lavender itu, lantas beralih duduk di depan meja belajarnya. Ada tumpukkan buku-buku, alat-alat tulis, frame foto, dan pernak-pernik lainnya. Tepat diatas meja bercat pastel itu, tertempel jadwal pelajaran kelas XII MIPA 1.
Gadis pendiam itu, kemudian menggerakkan jari-jari lentiknya, meraih secarik kertas yang tadi sudah dibubuhi beberapa kalimat dengan tinta hitam. Kertas itu, dilipatnya membentuk sebuah pesawat mainan. Simpul-simpul lipatan itu dengan rapi membentuk pesawat kertas yang lucu. Dengan langkah pelan, Ify berjalan menuju balkon kamarnya. Balkon di seberang sana masih menyala lampunya, berarti pemiliknya masih terjaga.

"Bintang jatuh," desis gadis manis itu, ketika cerca sinar keperakan itu terlihat olehnya, meluncur membelah langit malam, "Bintang bawa surat kecil ini pada orang yang memang pantas membacanya." pinta Ify dalam hati. Lantas di terbangkanlah pesawat kertas itu, lalu di pandangi hingga menghilang.

"Ify..." suara berat seseorang menyerukan nama gadis yang tengah asik melamun di balkon kamar itu.

Ify menoleh.

***


Minggu, 19 Juni 2011

Rahasia Orion Part 5

Rahasia Orion Part 5
Masa Lalu

***

"Aku harus pulang ke kampung Yo."

"Pulang ?" Rio mengerutkan kening, "Kenapa? Lo nggak betah tinggal disini ?"

Shilla menggeleng dengat cepat, hingga sebagian anak-anak rambutnya terkoyak seiring gerakan kepalanya, sedang sisanya direkatkan oleh air mata, pada kedua pipinya. Bibir gadis itu mengukir senyum tipis, "Aku nggak seharusnya tinggal disini, Rio. Aku nggak pantas."

"Kata siapa? Gue senang lo tinggal disini. Eyang, Papa, semua suka sama lo." Rio menghampiri Shilla, masih dengan kedua tangan yang disembunyikan di belakang punggung. Pemuda itu ikut duduk di sisi Shilla yang sedang membenahi isi tas hitam di atas kasur yang sudah di penuhi berlembar-lembar pakaiannya, yang baru saja di jarah dari lemari besar di kamar ini.

"Nggak Yo. Aku cuma bisa bikin masalah. Orang-orang nggak suka sama aku."

"Shilla... Lo ngomong apa sih ? Ada apa sebenarnya ?" Rio memandangi Shilla dengan lembut.

"Yo," Shilla menghentikan aktivitasnya, ia balas memandangi Rio dengan tatapan sendu dari kedua bola matanya, "Baru beberapa hari aku tinggal di sini, aku udah bikin kamu sama Alvin marahan. Aku bikin kamu kehujanan, bikin kamu sakit, bikin Tante Gladys hampir diusir. Aku selalu bikin masalah, Yo."

"Shil, itu bukan-"

"Belum lagi di sekolah," potong Shilla, "Aku tu bingung mau temenan sama siapa, Veronna itu tempat sekolahnya anak orang-orang kaya, obrolan  mereka, gaya mereka, sikap mereka kebanyakan nggak cocok sama aku, Yo. Ify juga, dia belum pernah tu ajak aku ngobrol selama kita sebangku. Kalau ditanya pun jawabannya singkat-singkat, seadanya. Aku sedih Yo, aku kangen kampungku, aku ngerasa asing banget tinggal di sini."

Shilla merasakan pelupuk matanya memanas. Butiran-butiran air mata sudah terakumulasi secara berlebihan disana. Shilla yakin, dengan satu kali kedipan saja, butiran air mata itu akan langsung terjun bebas tanpa bisa lagi dibendung. 

"Itu cuma perasaan lo aja, Shil. Gue sama Alvin udah baikan kok, semua yang terjadi belakangan ini, bukan sepenuhnya salah lo. Lagi pula lo lupa, lo ke sini kan buat sekolah yang benar, raih cita-cita dan bikin bangga Ibu lo. Jangan pulang Shil, gue senang lo ada di sini," pinta Rio.

Shilla menunduk dalam, menyembunyikan semburat rona merah yang tiba-tiba saja memulas pipi pualamnya setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rio. Seketika, apa yang bergumul di otaknya, tentang beragam alasan yang membuat Shilla ingin segera pulang ke kampong tadi, menguap. Hilang begitu saja. Ah ada apa dengan diri Shilla? Mengapa hatinya bisa begitu mudah dibolak-balikan oleh seorang Rio dan ucapan-ucapannya. Apa mungkin karena hati itu tanpa sengaja telah tertawan oleh pemuda tampan di hadapan Shilla? Sudah Jatuh hatikah Shilla pada Rio?

"Shil," Rio menggumamkan nama Shilla, sudah lebih dari tiga kali ia memanggil gadis itu, hanya saja tak ada respon dari Shilla. Jiwa Gadis itu sepertinya benar-benar belum kembali ke dunia nyata, masih sibuk berfikir perihal hatinya. Pada kali keempat, barulah Rio mendapat sahutan dari Sang Empunya nama yang tadi di rapalnya, "Shilla."

"Eh, hah, iya ? Kenapa Yo ?" tanya Shilla, tergagap.

"Jangan pulang ke kampung ya, gue mohon."

"Emm..." Shilla tampak menimbang, memasang ekspresi khusyuk pada wajah cantiknya.

"Gue sogok deh, nih !!" Rio mengulurkan kedua tangannya yang sejak tadi tersembunyi di belakang punggung. Tangan kanan pemuda itu menjingjing plastik bening berisi beberapa buah kerupuk, sedang yang satunya membawa sebotol kecap manis, "Kata bi Arum, lo suka makan kerupuk pakai kecap ?" imbuh pemuda itu.

"Masa sogokannya kerupuk doang sih ?" gerutu Shilla. Gadis itu melipat kedua tangannya di dada sembari memajukan bibir tipisnya beberapa centi.

"Terus lo maunya apa dong ? Gue kasih deh, apapun yang lo minta tapi jangan pergi ya. Please, jangan ya..." rajuk Rio, ia menelungkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Mmh... Kamu betulan nggak mau aku pergi ?"

"Ya betulan dong, Shil."

Shilla mendesah pelan, "Oke. Aku nggak akan pergi, tapi kamu harus cepat masuk sekolah ya, Yo. Gimana ?"

Rio tersenyum lebar, "Sip. Gue bakal cepat masuk sekolah," ujar pemuda itu mantap, "Karena nggak jadi pergi, ajarin dong, gimana caranya makan ini pakai ini !!" pinta Rio, sambil menunjuk kerupuk dan kecap yang tadi di bawanya secara berurutan.

Shilla menarik kedua sudut bibirnnya, keatas. Di hapusnya sisa-sisa lelehan air mata yang menyelusup diantara bulu-bulu lentik yang menghiasi matanya. Gadis itu lantas meraih makanan favouritenya yang tergeletak diantara ia dan Rio, "Masa makan kayak di ginian aja nggak bisa. Caranya gini, " Shilla menuangkan cairan kental berwarna hitam dari botol kecil bertutup merah itu ke telapak tangannya, "Sini deh!" ujar Shilla pada Rio. Pemuda itu menurut, tidak menyadari seringai nakal yang terpeta pada wajah cantik gadis di sebelahnya. Rio mendekat. Dengan cepat, Shilla segera mengoleskan kecap yang menggenang pada telapak tangannya ke pipi kanan Rio, saat pemuda itu lengah, "Kena!" seru gadis itu, langsung bangkit dari duduknya sambil tertawa.

Rio terkesiap, "Errr... Shillaaa, lo apaan sih ?" Ia segera menggerakkan tangannya untuk membersihkan pipi kanan yang dilumuri kecap manis, sebelum akhirnya Shilla mencekal lengan kokoh itu.

"Selama di dalam kamarku, kecapnya nggok boleh di hapus dong." ujar gadis itu sambil mengedipkan sebelah matanya.

Rio menjulurkan lidahnya, "Dasar jail." cibir pemuda itu, "Awas aja, kalau kesasar lagi, lo nggak akan gue cariin." ancam Rio.

"Hahaha," Shilla tertawa renyah, "Biarin aku kan nggak akan nyasar lagi." balasnya. Shilla sudah kembali duduk di sebelah Rio. Tangannya yang tadi mencekal lengan Rio, kini sudah sibuk menuangkan kecap manis pada kerupuk, "Eh, tapi makasih banget ya Yo, kalau waktu itu nggak ada kamu, aku nggak tau deh-"

"Gimana nasib aku." lanjut Rio, "Ya ampun Shil, gue sampai hafal tau nggak sih, sama kata-kata lo. Lo kayaknya udah ratusan kali deh bilang makasih." celetuk Rio sembari menerima kerupuk berkecap yang diangsurkan Shilla, "Ini langsung dimakan ?" tanya pemuda itu dengan kedua alis terangkat.

Shilla yang telah lebih dulu melahap kerupuknya, hanya mengangguk kecil, "Eh, tapi aku masih penasaran Yo, kok waktu itu kamu tau aku ada di lapangan yang itu ?"

"Waktu gue telepon elo, sebenarnya gue udah ada di Neptun Estate. Pas lo bilang ada di dekat pos satpam, gue langsung cari-cari pos satpam di sekitar sana. Dan akhirnya ketemu, gue udah liat lo, pas mau gue panggil, eh lo malah lari. Kita ikutin lo, tapi lo kayaknya bekas atlit marathon ya, cepet banget larinya, udah gitu masuk ke gang-gang kecil pula, mobil gue kan mesti susah payah biar bisa masuk. Coba lo larinya ke jalan-jalan gede, gue sama Ify pasti bisa lebih cepet nemuin lo." papar Rio diiringi bunyi kres-kres-kres dari kerupuk renyah yang di lahap ia dan Shilla.

"Ya namanya juga panik, Yo. Mana sempat pilih-pilih jalan." bela Shilla.

"Eh, iya Shil. Lo kan waktu itu tanya, pajangan kaca yang dikamar gue itu dapat dari mana ? Gue baru inget, itu punya temen kecil gue, namanya-"

"Rio, Shilla, Ayo makan dul-" seorang wanita tua menyeruak masuk ke dalam Krisan room, mata wanita tua itu melebar seketika, melihat wajah Rio dan Shilla, serta lantai kamar itu yang sama-sama di ceceri kecap, "Astaga, kalian ini apa-apa sih ?" serunya seraya menggeleng-gelengkan kepala.

"Eh Eyang" ujar Rio dan Shilla kompak, seraya menyeringai lebar kearah Eyang Putri yang malam ini terlihat sangat anggun dengan pakaian bernuansa batik yang dikenakan. gurat-gurat kecantikan masa muda yang di miliki wanita berusia lebih dari setengah abad itu, memang tidak benar-benar mengelupas di usia senjanya.

"Sudah cepat basuh wajah kalian, dan segera turun. Yang lain sudah menunggu untuk makan malam."tegas Eyang Putri lalu berbalik masih sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang kali ini di hiasi sanggul kecil.

"Sip Eyang !!" ujar Rio dan Shilla hampir bersamaan.

***

Matahari mulai merangkak naik. Menghapus pulasan fajar di ufuk timur. Menyudahi malam yang temaram dan menggantinya dengan cahaya baru. Babak yang baru. Hari yang baru. Bumi telah siap mengantarkan manusia-manusia penghuninya untuk menggapai cita-cita, meraih semua yang mereka mau, menempuh jalan yang telah mereka pilih. Pagi yang indah, dengan denting dawai embun yang bertalu kecil saat merosot ke tanah, setelah kian rapuh bergantung pada dahan-dahan angsana. Bau tanah yang wangi, menyelusup indera pembau, menawarkan aroma ketenangan dan harapan. Seolah berkatalah tanah pada jutaan manusia, selama aku masih kau pijak, maka tidaklah ada sesuatu yang tabu untuk kau raih.
Shilla menyambut hari ini dengan semangat baru. Dengan ceria gadis itu melangkah, menyusuri jalanan berbatu menuju gerbang utama. Bus sekolah berwarna biru pucat telah menunggunya, di depan sana. Selama Rio belum bisa masuk sekolah, Shilla lebih memilih untuk diantar-jemput bus sekolahnya, ketimbang harus pergi dan pulang bersama Alvin. Bukan apa-apa, Shilla sudah cukup trauma dengan kejadian tempo hari, dan tentu ia tidak cukup bodoh untuk mencobanya lagi di kemudian hari. Apalagi sejauh ini, Alvin juga sama sekali belum mengibarkan bendera putih, lambang perdamaian kepadanya.
Rambut pajang gadis itu berurai lincah mengimbangi hentakan langkahnya. Ketika memasuki bus, Shilla melempar senyum ramah pada teman-teman satu sekolahnya. Ia memilih duduk di kursi ke-3 dari pintu, di sebelah Muthia, gadis jangkung berambut sebahu itu mengangguk kecil saat Shilla datang, "Pagi Muthi," sapa Shilla ramah.

Ia benar-benar berharap, mulai hari ini akan mempunyai banyak teman, sehingga tidak perlu mengadu hal-hal tidak penting, kepada Rio seperti semalam. Shilla benar-benar merasa tidak enak, masih untung keluarga Rio mau menampung dan membiayai semua keperluannya, ia malah dengan tidak tahu diri meminta untuk pulang, bahkan Rio harus membujuknya untuk tetap tinggal, dan itu hanya karena hal sepele. Masalah teman? Ah, memangnya apa niat Shilla hijrah ke Jakarta? Cari teman? Tentu saja bukan. Ia ingin sekolah dan menjadi  seorang dokter jantung. Syukur kalau selama proses merintis cita-cita, Shilla mengenal orang-orang baru yang mau dijadikan temannya, tapi kalaupun tidak, ya apa mau di kata?

"Eh, hehe.. Pagi Shil," balas Muthia, sedikit ragu, "Tumben lo nyapa gue Shil, hehe."

"Memang kenapa ? Nggak boleh ya ?"

"Eh, bukan gitu. Boleh kok, boleh banget malah. Cuma tumben aja." balas Muthia, "Lo tinggal di rumahnya Rio ya, Shil ?" tanyanya, ingin tahu. Sebenarnya sudah sejak lama Muthia ingin menanyakan hal itu, tapi Shilla yang kemarin-kemarin lebih banyak diam, membuat Muthia sangsi untuk bertanya.

"Iya," jawab Shilla kalem, "Ayah sama Ibuku udah nggak ada, jadi om Haling ngajak aku tinggal dirumahnya, katanya beliau sahabat dekat ayah sama ibu," papar Shilla jujur.

"Huaaa, mauu bangeett." koar gadis itu dengan wajah berbinar-binar,"Diajak tinggal di rumahnya Oom Rendra, tiap hari lo bisa ketemu Rio sama Alvin dooong. Shilla, beruntung banget sih lo.." dengan gemas, Muthia mencubit kedua pipi Shilla.

"Ya ampun, segitunya kamu, Muth." tanggap Shilla seraya mengelus-ngelus pipinya yang memerah, "Walau gimana pun, lebih beruntung kamu kali Muth, masih punya orang tua." imbuh Shilla.

"Ya, tapi tetep aja Shil, gue envy sama lo. Tapi sebelum tinggal di Jakarta memang lo tinggal dimana, Shil ?"

"Cihideung."

"Wah, kampungnya Rio dong ?"

"Memangnya Rio dari Cihideung ya ?"

"Iya, masa lo nggak tau, Rio kan lahiran Cihideung, setahu gue dia pindah ke Jakarta setelah Mamanya meninggal." tutur gadis ceriwis itu.

Shilla tertegun. Rio berasal dari Cihideung? Gadis itu mulai menyusun puzzle-puzzle harapan sekaligus dugaan yang beberapa kepingannya telah ia temukan.  Apa Rio itu kawan kecilnya dulu...
Shilla membuang pandangannya keluar jendela. Terlihat jejeran gedung-gedung tinggi yang berkelebatan, serta kendaraan-kendaraan berbagai jenis yang sudah ambil bagian dalam menyumbangkan polusi di pagi hari yang masih sejuk ini. Gadis cantik itu menyusuri masa kecilnya, seiring gilasan roda bus yang menyusuri jalanan beraspal ibu kota. Di tapakinya memoar-memoar tentang masa-masa menyenangkan itu. Ah, kemana sebenarnya, kawan kecilnya itu?
Shilla memejamkan matanya, ia tidak pernah merasa serindu ini pada kawan kecilnya itu. Sebenarnya sudah sejak lama Shilla menina-bobokan masa lalu itu. Tapi entah mengapa, setelah mengenal Rio, masa lalu yang telah lama terlelap itu seakan diusik dan terbangun kembali dari tidur panjangnya, "Kamu dimana Lana. Apa masih ingat sama aku ?" lirih gadis itu.

"Apa Shil ?" tanya Muthia.

Shilla menoleh, baru menyadari bahwa ia tidak sedang melamun di dalam kamarnya, ada orang lain yang duduk disebelahnya dan kini tengah memandanginya dengan heran, "Eh, mmh, nggak kok. Nggak. Hehe."

"Oh, kirain tadi lo nanya apa gitu sama gue. Eh iya, lo ambil ekskul apa, Shil ?"

"Emh, Drama Musikal mungkin." balas Shilla.

"Pasti karena Rio anak DM juga yaaaa... Ciee..." tebak seorang pemuda tampan yang tiba-tiba menyembulkan kepala dari belakang kursi, tempat duduk Shilla dan Muthia. Pemuda dengan dasi longgar yang tergantung di lehernya, serta kemeja putih tanpa blazer itu menaik-naikan kedua alis mata hitamnya.

Shilla terkekeh, "Iya, Fel. Lagi pula Drama Musikal kayaknya seru." tambahnya.

"Kalau gitu, lo ikut Club Badminton juga dong Shil, Rio juga kan anak Club Badminton." usul pemuda bernama Feldy itu. Ia adalah salah satu siswa putra yang cukup dekat dengan Rio.

"Nggak deh, Fel. Kalau badminton aku nggak bisa." tolak Shilla.

"Yaaah. Kan belum di coba Shil, ikutan aja, gue ketuanya lho." bujuk Feldy, belum menyerah.

"Terus ngaruh gitu ya, kalau elo ketuanya ?" cibir Muthia, "Udah sana-sana, ganggu aja lho." usir Muthia, setelah sebelumnya melayangkan gulungan kertas karton tepat mengenai kening Feldy. Pemuda yang terkenal playboy itu, sambil bersungut-sungut akhirnya kembali duduk manis di kursinya.

Shilla tertawa kecil. Dalam hati, ia membatin, ternyata tidak sulit juga mengajak anak-anak Jakarta berteman. Mungkin kemarin-kemarin Shilla terlalu minder untuk berbaur dengan mereka, sehingga teman-temannya pun enggan menegur atau mengajak Shilla bergabung.

"Eh, gimana keadaan Rio ? Udah sembuh ?" suara Muthia kembali terdengar, disela raungan mesin bus yang membawa mereka menuju bangunan mewah Veronna High School.

"Udah baikan kok. Sebentar lagi juga udah bisa sekolah."

"Oh gitu. By the way, kalian berdua sebenarnya ada hubungan apa sih ? gosip-gosipnya kalian pacaran ?"

Shilla menggeleng, "Nggak lah."

"Lah, kenapa emangnya, menurut gue kalian cocok lo. Lagian ya Rio itu kan cakep, baik, kaya pula, kurang apa coba ?" Muthia menggerakkan satu-persatu jemarinya. Seperti membuat daftar atas hal-hal mengagumkan yang menurutnya dimiliki oleh seorang Mario, "Atau lo lebih suka tipe yang cuek-cuek kayak Alvin gitu ya ?"

"Aduh, Muthia apaan sih, pagi-pagi udah ngaco banget deh ngomongnya. Aku nggak ada apa-apa kok sama mereka berdua."

"Tapi saran gue sih lo mending sama Rio aja Shil, siapa tau lo malaikat yang di kirimkan Tuhan buat mengobati trauma yang Rio alami," ujar Muthia dengan nada yang di dramatisir. Gadis itu menerawang, sambil meletakkan kedua tangannya di dada. Shilla mengerutkan keningnya, gadis di sebelahnya ini entah tipe manusia ekspresif atau memang suka berlebihan.

"Trauma gimana maksudnya ?" tanya Shilla, sambil mulai membenahi seragam yang ia kenakan. Bus mulai memasuki pelataran Veronna High School. Kedua belia itu, Shilla dan Muthia terpaksa harus menyudahi obrolan mereka. Lantas, ikut turun bersama siswa-siswi yang lain, saat bus berwarna biru pucat yang mereka tumpangi, akhirnya berhenti tepat di halamar parkir Veronna.
Shilla dan Muthia masih berjalan beriringan sampai di koridor utama. Mereka lalu berpisah, saat Muthia pamit ke kantin untuk membeli sarapan. Shilla berjalan sendiri menuju kelasnya. Gadis yang mengenakan bando biru tua sebagai penghias rambut panjangnya itu, terus melempar senyum pada teman-teman sekelasnya yang kebetulan berpapasan di jalan. Beberapa mata yang masih berkilat sinis terhadapnya, coba di abaikan begitu saja.
 "Pagi Fy," tegur Shilla, setelah sampai di kelasnya dan meletakkan tas berwarna ungu miliknya pada kursi kosong di samping Ify.

Gadis berambut ikal itu menoleh, tersenyum tipis, lantas berujar, "Pagi Shil."

"Pagi-pagi udah sibuk aja, Fy ?" tanya Shilla pada gadis manis yang tengah sibuk bergulat dengan laptopnya itu. Shilla ikut memandangi layar laptop Ify yang menampilnya tulisan-tulisan serta tabel-tabel yang tidak Shilla mengerti.

"Iya nih, Shil. Lagi di kebut, bentar lagi kan regen. Supaya program kerja yang belum tercapai sama OSIS angkatan kita, bisa di kerjain sama anak-anak OSIS tahun depan." jelas Ify, masih dengan fokus yang tidak terbagi dari layar laptopnya.

Shilla hanya mengangguk kecil, lantas mengeluarkan buku-buku fisika dan alat tulisnya.

Sejurus kemudian Ify menutup laptopnya dan duduk menyamping menghadap Shilla, "Maaf ya Shil." ujarnya, sedikit tertahan.

Shilla menoleh, kepalanya di miringkan ke sisi kanan, kerutan tipis terpeta pada kening mulusnya, "Maaf buat apa Fy ?" tanyanya keheranan.

Ify mendesah tak kentara, "Semalam, Rio telepon gue. Maaf ya Shil. Gue sering cuekin lo. Tapi gue nggak maksud kayak gitu kok, gue cuma..." Ify terdiam sejenak, membiarkan kalimatnya tergantung disitu, ia belum menemukan kata-kata yang cocok untuk menyambungnya, karena tidak mungkin kalau Ify harus berterus terang bahwa semua sikapnya selama ini karena rasa cemburunya pada Shilla. Apalagi mengingat bagaimana semalam Rio meneleponnya tepat pukul satu dini hari hanya untuk Shilla, bagaimana Rio meminta Ify agar bersikap lebih baik pada Shilla, bagaimana pemuda itu bercerita bahwa ia tidak ingin melihat Shilla sedih, itu benar-benar menyesakkan untuk Ify. Kalau saja Ify tidak pandai-pandai mengontrol emosinya, sudah barang tentu, gadis cantik di hadapannya itu sudah habis dimaki-maki. Untungnya ia sudah cukup terlatih untuk menyembunyikan perasaannya dan menekan segala macam gejolak dalam hatinya.

"Nggak pa-pa kok Fy, harusnya aku yang minta maaf karena udah ngadu-ngadu hal sepele kayak gitu sama Rio," tutur Shilla tidak enak, "Emh, Fy !! Aku boleh tanya sesuatu ?"

"Tanya aja."

"Kata Muthia, Rio itu punya trauma soal cewek ? Memang trauma kenapa sih ?" Shilla membenahi posisi duduknya, menghadap Ify.

Ify tersenyum simpul, "Si Mumuth sih nggak usah di percaya Shil, tu anak memang biang gosip. Trauma sih kayak nggak deh, cuma belum ketemu yang lebih baik dari Acha, mungkin." Ify mengangkat kedua bahunya. Gadis itu memandangi Shilla dengan alis terangkat, seolah mengisyaratkan Shilla agar lanjut bertanya kalau memang masih ada yang ingin di tanyakan. Mendapati Shilla malah bergeming dengan tatapan penuh makna tak terbaca yang terbias dari bola-bola matanya yang indah, Ify memilih untuk memutar tubuhnya. Menghadap papan tulis yang masih berhias coretan-coretan sisa pelajaran kemarin. Petugas piket hari ini sepertinya belum sempat menjamah dua papan tulis itu.
Satu persatu penghuni kelas XII MIPA 1, berdatangan. Mengisi bangku-bangku kosong dalam kelas ini. Bangku-bangku yang akan menemani perjuangan dan tahun terakhir mereka menuntut ilmu dengan seragam putih-abu abu.

Shilla menoleh, saat di dengarnya helaan napas panjang yang di hembuskan oleh teman sebangkunya dengan dramatis, "Kenapa ?" tanya gadis itu, heran.

Ify terlihat menimbang, ada sesuatu yang harus ia ceritakan. Ah, tapi mungkin juga tidak. Bukan porsinya untuk mengungkit masa lalu itu, masa yang mungkin dengan sangat keras telah coba untuk di hapus dari ingatan masing-masing pelakunya. Apa pentingnya ia bercerita tentang semua itu pada Shilla, lagi pula kelak Shilla juga pasti akan tahu, bahkan mungkin dari Rio sendiri. Sementara itu, Shilla bukannya tak acuh dengan nama asing yang tadi di sebutkan Ify. Acha. Mendengar nama itu, tanpa alasan yang pasti tiba-tiba saja ada denyutan nyeri yang menjamah hatinya dan gadis cantik itu nampaknya masih kesulitan untuk memberikan nama yang pas untuk apa yang dirasakannya kali ini. Ia belum pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya. Acha. Sepertinya, nama itu begitu lekat dengan kehidupan Rio. Acha. Mungkinkah pemilik nama itu adalah bagian terpenting dalam diri seorang Rio, napasnya kah, atau aliran darahnya ?

"Acha itu cinta pertamanya Rio, Shil." suara lirih Ify, akhirnya jadi jawaban untuk pertanyaan yang Shilla lontarkan dalam hati.

Yang berkecamuk dalam batin Ify pada akhirnya mengguguskan satu keputusan. Ify akan menceritakan semuanya pada Shilla, berharap dengan mengetahui betapa berartinya Acha untuk Rio, Shilla akan mundur teratur dari usahanya mendekati Rio. Shilla melirik Ify sekilas, sebentuk wajah dengan dagu runcing itu menegang kaku. Rautnya begitu dingin dengan tatapan kosong yang terpatri pada papan tulis di depan kelas.

"Acha cantik, pintar, ramah dan putri seorang dokter. Rio bilang sudah menyukainya sejak lama, sejak kecil. Acha cinta pertamanya. Tapi mereka baru resmi jadian pas kelas 3 SMP. Mereka berdua sangat cocok, semua pasangan yang liat mereka pasti iri. Sampai akhirnya, tiba-tiba ada kabar mereka putus, katanya Rio mergokin Acha selingkuh. Pemandangan Acha yang nangis-nangis di depan Rio atau Rio yang bentak-bentak Acha, udah jadi rahasia umum. Setahu gue Acha tu sayang banget sama Rio dan itu terbukti, nilai-nilai Acha langsung merosot setelah putus dari Rio, akhirnya pas mau masuk SMA, Acha dan orang tuanya mutusin buat pindah. Dan setelah itu Rio baru tau apa yang sebenarnya terjadi dari Alvin. Acha minta bantuan Alvin buat ceritain semuanya. Ternyata cowok yang di liat Rio bareng Acha dulu, adalah pasien Papanya Acha. Acha berusaha ngasih perhatian dan semangat hidup buat pasien itu. Sejak saat itu Rio nyesel banget nggak pernah kasih Acha kesempatan buat jelasin semuanya. Dan sampai sekarang pun, gue nggak yakin Rio udah bisa lupain Acha" setelah menyelesaikan ceritanya, Ify menghela nafas panjang. Bukan hal yang mudah baginya mengurai lagi kisah itu, karena tanpa ada seorang pun yang tahu, sedih yang Rio alami kala itu, juga menjadi miliknya. Menyambangi tanpa jeda. Mengusik kala terjaga. Dan Mendekap saat terlelap. Saat melihat Rio tertawa dengan Acha, ia terisak dalam hati. Tapi ketika melihatnya terpuruk, nalurinya ternyata kian tersiksa, menjerit tak karuan.

"Sekarang Acha dimana ?" tanya Shilla, datar.

"Dia pergi. Tinggalin Rio gitu aja. Tanpa kabar apapun."

"Kamu suka Rio, Fy ?" tanya Shilla tiba-tiba, tatapannya begitu lembut memagut coklat gelap manik mata Ify.

Ify mengangkat sebelah alis matanya, ekspresi gadis itu datar, seolah pertanyaan Shilla barusan bukan dan tidak berarti apa-apa, "Nggak lah  Shil. Kita sahabatan." jawabnya berbohong. Kebohongan yang tidak perlu sebetulnya. Kebohongan yang akan membuatnya menyesal.

***

Gambar-gambar bergerak yang tersaji di balik layar kaca televisi di depannya, sama sekali tidak menarik perhatian pemuda ini. Meski rumah yang dihuninya tidak terlalu besar, tapi tetap saja di tinggal seorang diri seperti ini membuatnya kesepian. Apalagi kalau teringat masa-masa dimana keluarga kecilnya dulu begitu harmonis dan bahagia. Ia tidak pernah merasa sepi, tidak pernah sendirian, tidak pernah merasa kekurangan perhatian, karena luapan kasih sayang kedua orang tuanya tak pernah alpa membanjiri hari-harinya. Tapi sekarang, entahlah, menguap kemana tawa dan kehangatan keluarganya yang dulu.
Suara tap-tap-tap dari sepatu yang beradu dengan lantai, memecah lamunan pemuda itu. Ia segera menegakkan posisi duduknya, lantas tersenyum manis. Tak lama, seorang wanita cantik, menyeruak masuk dengan penat yang begitu jelas menggelayuti paras anggunnya. Ada lingkaran kehitaman pada kantung mata wanita tadi. Ia merebahkan tubuhnya yang kelewat letih pada sofa hijau tosca, tak jauh dari tempat duduk Si Pemuda tadi.

"Mama tumben udah pulang," tegur Si Pemuda sambil berjalan menghampiri wanita yang di panggilnya Mama tadi, "Baru jam 7." tambahnya setelah melirik jam besar yang di pasang bersebelahan dengan sebuah lukisan kawanan kuda, "Tapi nggak pa-pa deh, aku kan jadi bisa minta masakin makan malam sama Mama." Pemuda tadi kini tengah memijit-mijit pundak Mama tercintanya.

Sang Mama mendelik, menatapi putra semata wayangmya dengan raut kesal, "Maaf Yel, tadi Mama lelah, kalau kamu lapar dan ingin makan malam, beli saja di luar."

"Ma, sekali-kali Mama masak kek buat aku. Kapan coba terakhir kali Mama buatin aku makan malam ? Mama tu selalu sibuk, nggak pernah perhatiin aku."

"Yel, kamu jangan manja gitu dong. Mama kerja juga kan buat kamu. Bersikaplah dewasa, kamu sudah besar, Gabriel."

"Aku tu bukannya manja Ma, aku cuma kangen sama Mama. Mama nggak pernah ada waktu buat aku, selalu kerjaan-kerjaan ini yang Mama pentingin." Pemuda tadi, Gabriel, merebut beberapa map yang di tenteng Sang Mama. Dengan cepat, di sobeknya lembaran-lembaran berisi abjad-abjad yang tersusun rapi, itu.

Sang Mama melotot, geram, "YOU'RE STUPID. Apa yang kamu lakukan Gabriel ??" tangan wanita itu sudah terangkat, siap mendaratkan tamparan di pipi putranya.


"Mama nggak berhak tampar Iel." ujar pemuda itu seraya menahan lengan Mamanya yang sudah tergantung di udara, dengan tangan kirinya.

Lantas, di hempaskan lengan wanita yang tengah mengandungnya itu dengan satu sentakan yang sangat kasar. Tanpa berkata apa-apa lagi, Gabriel menyambar jaket hitamnya yang tergeletak diatas sofa. Pemuda itu lalu melengos pergi, mengabaikan suara Sang Mama yang menyerukan namanya berulang-ulang kali.
Tanpa tujuan, Gabriel membiarkan kaki-kakinya melangkah sekehendak hati. Menyusuri kolong langit yang remang di tinggal pulang oleh Sang Raja Siang. Gabriel ingin berbagi. Tapi getir yang dirasa, ketika tersadar ia bahkan tidak punya siapa-siapa lagi selain Mamanya. Mama yang sangat menyebalkan, "Sial," umpatnya dibarengi tinju yang dihantamkan pada udara. Bahkan alam pun seperti memusuhinya. Tidak ada bintang-bintang mungil, yang bisa diajaknya untuk berbagi cerita. Mengapa semua jadi seperti ini ? Kemana perginya, masa-masa indah itu ? Pertanyaan semacam itu terus berpusar bak beliung, melibas seluruh logika dan kesadaran yang tersisa. Semua gara-gara keluarga busuk itu. Akhirnya, pemikiran semacam itulah yang di cetuskan emosinya.       
Gabriel terus berjalan tanpa tujuan, kedua tangan kokohnya terkepal kaku, rahangnya mengeras, matanya berkilat penuh amarah.
Setelah beberapa menit terlewati hanya dengan berjalan tanpa tujuan, sepasang kaki beralas sandal biru tua itu tiba-tiba terhenti, di depan sebuah toko florish langganannya. Gabriel tersenyum cerah. Sepertinya ia tahu, hal apa yang harus ia lakukan, setidaknya untuk mengurangi kekacauan dalam dirinya. Pemuda menjulang itu, kemudian memasuki toko sederhana di pinggir jalan itu. Setelah melakukan transaksi dengan pramuniaga toko itu, berpindahlah sebuket mawar putih ke dalam genggamannya. Dengan langkah yang lebih ringan, Gabriel meninggalkan tempat itu. Menuju rumah dengan sepetak kebun krisan dan dua pohon mangga di muka. Rumah Ify. Kebetulan seingatnya hari ini adalah jadwal Ify les piano di rumahnya. Jadi paling tidak, Gabriel berharap, dentingan permainan piano gadis pujaannya itu bisa meredam kemarahan yang tengah bergolak dalam hatinya.
Jarak Orion Estate dengan perumahan tempat Gabriel tinggal memang tidak begitu jauh, bisa di tempuh dengan hanya berjalan kaki. Tak lama, Gabriel sudah sampai di depan sebuah rumah mewah dengan pagar besinya yang di cat dengan warna putih. Seakan mewakili penghuninya, rumah itu terkesan begitu manis dan sederhana dimata Gabriel.
Pemuda itu baru saja akan meletakkan buket mawar yang di bawanya di tempat biasa, seperti yang selama ini dilakukannya, saat suara lembut seorang gadis menyapanya dari belakang.

"Iel ?"

Gabriel berbalik. Kaget setelah melihat sosok cantik Ify dengan piama coklatnya, berdiri di hadapannya dengan ekspresi heran, "Ngapain lo malam-malam disini ? Ada perlu ya ? Soal Aruna ?"

"Eh, emm, nggak Fy. Anu aku... itu.. aku mau.. itu sebenarnya aku anu... itu mau, mauuu ke rumah Iley. Ya, ke rumahnya Iley." jawab Gabriel asal. Keringat dingin sebesar buliran biji jagung langsung bercucuran membasahi pelipisnya.

"Oh, urusan jurnal ya ?" Ify manggut-manggut faham. Iley dan Gabriel, keduanya memang merupakan anggota jurnal yang paling aktif, "Terus itu ?" Ify menunjukkan rangkaian mawar putih yang bertengger anggun di atas kotak pos rumahnya.

"Oh aku... aku nggak tau Fy, itu bukan punya aku. Tadi aku cuma berhenti buat ngikat tali sepatu aja."

"Sepatu ? Kamu kan pakai sandal, Yel." sergah Ify.

Gabriel menundukkan kepala, menatapi kakinya yang memang dialasi sandal jepit biru tua, "Eh iya. Emh, tadi bersihan celana ding, kecipratan lumpur soalnya."

Kalau di sekolah ada tugas mengarang alasan untuk berkilah, maka pemuda itu lah yang diramalkan mendapat nilai yang paling rendah. Karena sejak tadi, alasan-alasan yang di ucapkan benar-benar tidak berbobot.

"Oh, betulan bukan punya lo ?"

"Bukan Fy."

Ify mengangkat pundaknya, "Oh, punya secret admirer gue kali ya, hehe." Ify terkekeh sambil berjalan ke arah kotak pos rumahnya guna meraih mawar-mawar cantik itu.

"Eh, kamu abis ketemu Alvin ya ? Emang nggak ada jadwal les piano ?"

"Gue abis ketemu Rio sih. Nggak, lesnya gue cancel. Karena Rio minta bantuan buat bikin power point tugas biologi. Eh, tapi lo tau dari mana, hari ini gue ada les ?"

"Oh, itu. Aku sering aja denger kamu main piano setiap hari senin, kalau lagi pas kebetulan lewat sini. Jadi aku fikir kamu pasti lagi les." jawab Gabriel, lidahnya sepertinya semakin lancar dan pintar berbohong.

"Oh. Ya udah deh Yel, kalau nggak ada perlu, gue masuk ya ?"

"Eh, iya. Silakan Fy. Good night ya." Gabriel tersenyum lebar.

"Night too. See you tomorrow." Ify melambaikan tangannya, lalu mulai berjalan memasuki rumahnya.

Sedangkan Gabriel masih mematung di depan rumah Ify, dengan senyum manis tersungging di wajahnya. Mungkin percakapan singkat malam ini, tidak akan berarti apa-apa untuk Ify. Tapi bagi Gabriel sendiri, 10 menit percakapannya dengan Ify barusan, pasti akan bisa membuatnya bermimpi indah, malam in.

Untuk seorang pemuja, tidak ada satu hal sekecil apapun itu, yang tidak berarti tentang sosok pujaannya.

***

Desau angin sore mulai genit menggoda daun-daun mungil pohon angsana yang tumbuh menjadi pelengkap halaman rumah Rio, yang mengagumkan. Setelah puas dengan upaya menggosongkan penduduk bumi dengan teriknya di siang hari, Matahari sore ini mulai mau berdamai. Sinarnya masik cukup cerah, berjatuhan disela semak tanaman bunga pukul empat yang mulai merekah, dan tentu saja tidak begitu panas sampai bisa membuat ubun-ubun mendidih seperti siang tadi.
Kawanan awan putih, berputar-putar dengan siaga, seolah di tugasi menghalau mendung hitam yang berani mengusik keperkasaan Sang Surya. Sedangkan dari balik rimbunan pohon besar di halaman ini, beberapa ekor burung pipit berbulu kecoklatan dengan malu-malu mengintip kebawah. Mengamati gadis cantik yang asik berkutat dengan benang warna-warni dan jarum yang berukuran sedikit lebih besar di banding jarum jahit biasanya. Gadis itu tampak sangat sibuk dan mencurahkan seluruh konsentrasinya pada pola dan simpul yang di buat pada kain strimin di pangkuannya. Gadis itu, tidak menyadari bahwa sejak beberapa menit yang lalu ada seorang pemuda yang telah mengambil posisi duduk di sampingnya, "buat lo." Ujar pemuda berkulit putih itu, dingin.

Baru setelah mendengar suara yang merapal dua kata itu, gadis tadi mengangkat wajahnya. Ia memandang bergantian antara pemuda bermata sipit di hadapannya dengan segulung arum manis yang di sodorkan kearahnya.

"Buat aku ?"

"iya, ambil !!"

Lagi-lagi hanya dua kata, dan lagi-lagi bernada dingin. Jadi terkesan lebih seperti menodong di banding memberi, siapa juga yang tidak enggan untuk menerimanya.

"Nggak gue racunin kok Shil, lo tenang aja. Tapi nggak gratis juga."

"Maksudnya ?"

"Lo mesti bantu gue. Buruan ni terima dulu."

Shilla akhirnya mengulurkan tangan kanannya. Meraih arum manis yang sejak tadi sudah berteriak-teriak minta segera di lahap. Gulungan seperti kapas berwana pink itu memang tampak begitu menggiurkan.

"Tolong bilang sama Rio, kalau gue udah bersikap baik sama lo." tutur Pemuda Sipit tadi, setelah arum manis berukuran besar yang susah payah di belinya itu berpindah dari tangannya, "Gimana deal ?"

"Itu aja, Vin?"

"Hm."

"Ok. Deal." sahut gadis tadi, enteng. Serta-merta, segera di lahap arum manis di tangannya dengan sangat bersemangat, hingga bagian wajah di sekitar mulutnya di penuhi makanan yang tak pernah alpa di beli Shilla setiap kali mengunjungi pasar malam sewaktu di desa.

"Eh, aku jadi kayak dèja vu deh. Dulu juga aku sering dikasih arum manis sama La-"

Shilla menghentikan kalimatnya, saat Alvin tiba-tiba saja memajukan wajahnya. Shilla membesi ditempatnya, matanya tak berkedip, sedangkan Alvin masih terus menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Shilla. Dua mata mereka beradu. Kilatan teduh milik Shilla, ternyata mampu melelehkan bongkahan es milik Alvin. Andai ia punya kuasa, akan di hentikannya detikan waktu. Alvin ingin lebih lama lagi menikmati setiap detail indah paras cantik gadis bermata jernih di hadapannya. Tanpa sadar tangannya terulur, "Lo doyan apa lapar, semangat bener makannya." dengan alibi membersihkan wajah Shilla, tangan kanan pemuda itu menyentuh lembut pipi pualam Shilla.

"Shil," suara baritone Rio, membuat Alvin dengan cepat menjauh dari Shilla. Sedangkan Shilla, merasa tidak ada hal istimewa yang telah terjadi, gadis itu hanya melempar senyum manis pada Rio, "Lo di cari Eyang tuh." ujar Rio santai, dari teras rumah. Pemuda itu berjalan dengan malas ke gazebo. Dari tampangnya yang kusut dan rambutnya yang awut-awutan, terbaca sekali bahwa Rio baru saja usai menunaikan ritual tidur siangnya, "Hooamm," Rio menguap lebar-lebar sambil membentangkan kedua tangannya, "Lo ngapain masih disini, Shilla ? Buruan sono, lo mau di amuk Eyang ?" suruh Rio.

"Ya udah, iya-iya, aku pergi." Shilla menurut. Gadis berbaju jingga dengan bawahan rok putih polos itu, segera beringsut dari duduknya, lantas berjalan ke arah Rumah besar.

Setelah Shilla dan bayangannya menghilang dibalik pintu utama, Rio memicing mata pada Alvin, "Lo ngapain tadi sama Shilla ?" tanya pemuda yang kini tengah merebahkan tubuh dengn posisi terlentang dan kedua tangannya yang terlipat mengalasi kepala.

"Kan lo yang suruh gue baikan sama Shilla." jawab Alvin kalem.

Sebelum sempat Rio menimpali perkataan Alvin, siluet seorang gadis bergerak-gerak mendekat kearah gazebo, "Sore Kia..."

Semua terdiam. Hening.

***