Sabtu, 12 Maret 2011

Malaikat Hidup Gue -part 17-

Bunyi prang itui ternyata berasal dari sebuah vas keramik yang beradu dengan lantai marmer yang mendasari teras rumah Ify. Vas cantik itu sepertinya meluncur bebas setelah tersenggol lengan Rio yang hilang keseimbangan. Alhasil, tidak seperti wujud semula, kini hanya tinggal serpisahan-serpihan tanpa bentuk yang bercecer disisi kiri tubuh Rio.

"Riiooo" Ify menyerukan nama pemuda itu, seraya bergerak mengguncang-guncangkan tubuh lemas Rio yang terkolek dilantai.

"Rio, Rioo, kamu kenapa? Rio. . . .kalian kok bengong sih, buruan pindahin Rio." sentak Ify pada Iel, Alvin dan Cakka yang masih terbengong-bengong diambang pintu. Tanpa harus di bentak untuk kedua kalinya oleh Ify, mereka bertiga dengan cepat segera membopong rio dan memindahkannya ke kamar tamu rumah Ify.

"gila si Rio, kurus-kurus berat juga" komentar Cakka.

"sempet ya, lo ngomong kayak gitu?" balas Ify ketus, ia segera mengambil posisi duduk disamping tempat tidur Rio.

Rio, ia terlihat sangat pucat, bibirnya pun semu membiru, jaket besar yang membungkus tubuhnya membuat ia terlihat lebih kurus.

"Rio, bangun dong. Kamu kenapa sih?" meski tanpa air mata, tapi suara Ify terdengar parau seperti berusaha keras menahan tangis yang siap pecah kapan saja.

"udah dong Fy, liat noh pipinya Rio sampe pada merah begono, lo tepukin mulu. Dia cuma pingsan kok, kecapekan kayaknya, nyariin elo dari pagi. Mana gw yakin tu anak pasti belum makan." ujar Iel yang berdiri membentuk barisan kecil menyamping bersama Alvin dan Cakka.

"apa lo bilang? Cuma? Pingsan, lo bilang cuma? Lo gak liat Rio pucet udah kayak orang mati gitu."

"hush, galau ya lo, ngomong asal nyeplos aja." protes Cakka.

"lo semua tu yang galau, stres, lebay. Udah tau si Rio sakit, gw gak masuk aja pake bilang-bilang." cibir Ify kesal.

"lho? lo kok jadi nyalahin kita sih. Rio sendiri yang nelpon kita nanyain elo. Ekh elonya malah jalan sama tu anak baru, nyesel gw maksa-maksa Acha nulis keterangan izin buat absen lo hari ini, gw kirain elo nemenin Rio." Cakka melipat kedua tangannya dan memandang Ify dengan tatapan UDAH-JELAS-JELAS-YANG-SALAH-TU-ELO.

"udah-udah. Kok jadi maen salah-salahan sih. Gini aja deh Fy, lo mending sekarang suruh pembantu lo buatin bubur buat Rio, trus kasih Rio minyak angin dihidungnya biar cepet sadar, ditangannya juga biar badannya gak dingin. Kita gak bisa lama-lama Fy, kita mesti cabut." intruksi Alvin.

"kalian gimana sih. Temen lagi begini malah mau pergi. Gak setia kawan banget deh." dumel Ify, memandang dengan tak bersahabat pada ketiga most wanted boysnya Citra Bangsa yang tengah berdiri didepannya.

"nona Alyssa Saufika Umari yang menurut sahabat saya, Rio, cantik. Gara-gara nyariin lo kita udah bolos latihan basket, padahal dikit lagi final, Rio sih enak emang lagi dispen. Dan ini ya, 20 menit lagi, 20-me-nit-la-gi, kita harus udah nyampe jakarta buat perform di acara baksos. Ngerti lo?" jelas Cakka, gemas.

"tapi kan-"

"udah lah Fy" potong Alvin, "acaranya gak mungkin kita cancel. Lagian lo pasti bisa kok jagain Rio."

"yaudah,yaudah. DOMAT !!! ter-se-rah. Pergi sono yang jauh." balas Ify ketus.

"ck" Cakka berdecak keras, sangat kesal dengan Ify hari ini, benar-benar menguji kesabaran.

"untung gw ganteng, kalo kagak, udah gw apain juga deh ni cewek, satu." Cakka mulai merancau tak jelas dalam hati.

"oke deh. Kita cabut Fy, kalo ada apa-apa telepon ya." pesan Iel sebelum ketiganya menghilang dibalik pintu jati coklat didepan sana.

Sepeninggalan Iel dkk, Ify memandangi lekat-lekat wajah pemuda yang tanpa disadari telah mengisi ruang-ruang dalam hatinya yang selama ini dibiarkan kosong oleh Ify. Jari telunjuknya mulai menyusuri lekuk wajah tenang dengan kesan kokoh dan dingin, milik rio.
Terakhir, kelima jarinya beradu dengan helai-helai rambut hitam Rio yang menyusup lembut disela-sela jarinya.

"maafin aku Yo, aku bikin kamu susah." sesal Ify.

"Dea. . . .."

"apa Yo?"

"De. . .aa. . ..Deaa."

pelan, tapi mampu menghancurkan. Rio memang merapal nama itu sangaaaatt pelan. Cenderung tak terdengar malah. Tapi bagi Ify suara kecil itu sudah lebih dari cukup untuk membunuh padang bunga merah jambu yang tumbuh dihatinya, mampu meruntuhkan langit-langit harapan yang sudah terlanjur Ify bangun.

Nampaknya Ify berlebihan bila berharap Rio memiliki perasaan yang sama dengannya? Lihat saja. Bahkan dalam alam bawah sadarnya saja yang Rio ingat hanya Dea, D-E-A. Bukan dirinya. Tapi Ify tak bergeming. Ia hanya menangis, ya cara favorit kaum hawa untuk meng-ekspresikan kesedihannya. Riak kecil itu mulai menetes dari kedua bola mata Ify, lalu bermuara pada punggung tangannya, tapi genggamannya ditangan Rio tak mengendur sedikit pun. Seakan ingin mempertegas pada 'si masa lalu' bahwa seharusnya ia segera pergi dari kehidupan Rio.

"kenapa rasanya sesakit ini Yo?"

***

cerca cahaya itu hanya berasal dari sebatang lilin putih. Api kecil diujungnya selalu menari-nari seakan mengikuti ritme hembusan angin yang bertiup lembut dalam ruangan ini. Disela temaram seperti ini, tanpa lampu yang berpijar menerangi, garis-garis hitam dan putih pada grand piano itu masih nyata terlihat. Perlahan gadis yang sejak tadi sibuk dalam diam, mulai menyentuh permukaan piano itu dengan lembut.

"Fy." suara serak dan sentuhan kecil dibahunya membuat gadis tadi sedikit terlonjak.

"huh, ngagetin aja sih. Gw kira apaan tadi." gerutu gadis tadi, Ify.

"mati lampu ya?" tanya Rio.

Tidak ada suara yang keluar dari mulut Ify hanya sebuah anggukan yang berarti 'iya'.

"ekh tadi gw taro bubur sama susu dikamar, tapi pasti udah dingin, gw ambil dulu ya, mau gw angetin. Lo tunggu sini aja."

"gak usah Fy." larang Rio, seraya menarik lengan Ify, hingga si pemilik tubuh duduk terhempas disisi Rio.

"buburnya udah gw makan kok. Lo disini aja."

"udah dimakan? Emang masih enak? Itu udah dari 2 jam yang lalu lho." Ify sekilas melirik jam besar yang pendulumnya terus bergerak seiring detik yang terus bergulir.

"gw laper banget Fy. Jadi langsungan aja gw makan. Soal rasa mah urusan kesekian."

"maaf ya Yo. Gara-gara gw. . . .." Ify menggantung kalimatnya.

Kira-kira apa ya kata-kata yang enak digunakan agar tidak ada kesan ke-PD-an.

"gak pa-pa kali Fy. tapi lain kali, kalo mau pergi-pergian kayak tadi kasih tau gw atau yang lain. Gw kan takut elo kenapa-kenapa." sela RIO , sebelum Ify menyelesaikan kalimatnya.

"elo khawatir, sawa gw?"

"ya. . .gw gak enak aja gitu kalo lo kenapa-kenapa. Nyokap bokap lo kan udah nitipin lo sama gw."

"jadi cuma karena itu ya? Bukan karena Rio khawatir sama gw." batin Ify sedih. Ia memutuskan segera menunduk, berharap bisa menyembunyikan satu tetes air mata yang sudah bergulir dari matanya.

"ekh, lo mau maen piano, Fy?"

"ha? Ya nggak lah. Serem amat mati lampu begini mainin piano."

"hhe, iya ya. Ekh gimana, lo udah mulai latihan buat persiapan kontes piano yang brosurnya gw kasih waktu itu?"

"mmh, gw gak mau ikut Yo."

"lho? Kenapa?" mesti dalam gelap, Ify bisa merasakan kilatan penuh tanyaa dikedua mata Rio yang sedan memicing tajam kearahnya.

"gw. . .gw. .gw gk bisa maen piano."

"huu bohong lo. Kata Via, waktu kecil lo jago main piano dan pengen banget jadi pianis hebat?"

"itu kan dulu Yo."

"lha emang apa bedanya?"

"huufh." Ify mengeluarkan partikel karbon dalam tubuhnya dengan satu hembusan kasar.

"nenek gw, Yo."

"nenek lo? Kenapa sama nenek lo, dia ikut kontes itu juga?" tanya rio, asal.

"ya nggak lah. Ngaco lo. Maksud gw, gw gak mau main piano lagi itu karena nenek gw. Lo tau kan gw anak tunggal?" Ify melontarkan sebuah pertanyaan yang mungkin tidak membutuhkan jawaban dari siapapun. Karena tanpa menunggu Ify segera menyambung kata-katanya.

"dulu gw tinggal sama nenek gw, pas gw kelas 4 SD, gw mau ikut lomba pianis disini, di Bandung. Waktu itu nenek gw lagi di surabaya nemenin tante gw yang baru lahiran, tapi gw maksa banget supaya nenek bisa dateng. Dan akhirnya, ya begitu lah. Lo tau kan kecelakan kereta Argo sekitar tahun 2003. Nenek jadi salah satu korban yang tewas, dan mulai saat itu gw benci banget sama benda ini." Ify melirik sinis piano didepannya dengan sudut matanya.

"oh, kalo gitu lo bodoh." tegas Rio, Ify mendelik, "harusnya lo makin semangat dong buat jadi pianis setelas apa yang nenek lo korbanin cuma sekedar buat liat lo kontes. Ayolah Fy, ini saatnya lo tunjukin sama nenek lo, pengorbanannya gak sia-sia, lagian ya, gw pengen banget liat lo mainin piano ditengah panggung besar, disorot lighting, pake gaun trus nyanyian lagu favorit gw, andaikan aku punya sayap. Lo pasti keliatan cantik banget." ujar Rio sambil menerawang, menatap langit-langit hitam diatasnya.

"gw. . .gw gak tau Yo. Ya udah lah, gw mau tidur aja. Lo juga cepet istirahat sana." Ify pun bangkit dan segera beringsut dari posisi duduknya. Ditinggal dalam kegelapan seperti saat ini, membuat Rio sedikit bergidik apalagi ia baru saja membicarakan orang mati bersama Ify. Dengan gerak cepat ia segera menyambar lilin yang tinggal setengah dan pergi kekamarnya dengar langkah cepat.

Baru selang 3 detik setelah Rio menutup pintu kamarnya, ketukan halus terdengar dari luar.

"Yo, tidur di ruang TV aja yuk. Gw takut." Ify langsung menyerocos saat daun pintu berderik terbuka.

"ah, takut apaan sih Fy?"

"pokoknya gw takut. Ayolah Mario, cepetan bawa bantal sama selimut lo." Ify menarik-narik tangan Rio, persis anak kecil yang meminta imbalan atas bantuan yang telah diberikan pada ibunya.

"iya, iyaaaa" Rio mencubit pipi Ify gemas. Ekspesi manja Ify memang selalu menarik bagi Rio. Lucu saja melihatnya merengek macam tadi. Dan ekspresi tadi menduduki posisi kedua dari playlist hal yang paling Rio suka dari Ify. Yang pertama tentu saja, bawelnya itu lho.

***

guliran ban pada motor ninja hitam itu berhenti tepat didepan pagar kayu rumah Sivia. Agni turun dari motor itu dan segera merapikan rambutnya yang tadi bergerak liar dimainkan angin malam.

"lo yakin gak mau ikut masuk Ko? Mau ujan lho." pengendara motor tadi mengangkat kaca helmnya lalu tersenyum sekilas sebelum berkata, "gak deh, gw langsungan aja. Lo mau gw jemput gak, nanti?" tanyanya.

"gak usah Ko, ntar gw naik taksi aja. Thanks ya udah mau nganter."

"oke sama-sama. Gw duluan ya Ag, bye."

"bye. Hati-hati, Ko." pesan Agni pada Riko yang mulai menjauh dengan motornya.

Setelah sosok Riko yang tadi mengantarnya, hilang ditelan remang malam, Agni segera berjalan menyusuri jalan setapak berkerikil yang terhampar dari pagar sampai teras rumah Via. Setelah mencapai pintu kayu didepannya, Agni segera mengetuknya perlahan, tok-tok-tok.

Suara kayu padat yang beradu dengan jemari Agni, disaut sebuah suara dari dalam rumah.

"tunggu bentaarr. . .." ujar penghuni rumah.

"VIIAAA. . ." Agni langsung memeluk tubuh sahabatnya yang terlihat lebih kurus itu, setelah Via muncul dari balik pintu yang terbuka.

"aduh Agni, apaan sih? Dateng-dateng meluk orang gak kira-kira." Via meronta berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Agni yang lebih efektif untuk membunuh sepertinya.

"maaf ya Vi. Gw baru bisa jenguk lo sekarang." kata Agni setelah melepas pelukannya, "lo udah sembuh?"

"huu, makanya, jangan berantem mulu sama Cakka. Jadi gak bisa barengan sama yang lain buat jengukin aku." jawab Via.

"akh jangan ngomongin Cakka deh, gak asik. Ekh, gw gak disuruh masuk ya Vi?" celetuk Agni.

"hhehe, ya udah, ayo masuk !!"

keduanya lalu memasuki rung tamu, rumah Sivia. Wangi lavender dari pengharum ruangan yang digantung didekat kipas angin langsung menyapa indera penciuman.

"gimana kamu sama Cakka sekarang?" tanya Via, setelah mereka mengambil posisi duduk bersisian disofa biru penghuni ruang tamu rumah Sivia.

"huh, tau deh Vi. Gak jelas." Agni mendorong punggungnya agar bersandar ke sofa.

"cerita dong Ag, sama aku. Aku yakin nih ya, pasti ada yang kamu sembunyiin ya? Iya kan?" tebak Via.

"kasian tau, kata Iel, Cakka ancur banget semenjak kamu diemin dia."

"nih, lo liat deh." Agni mengangsurkan HPnya.

"ini Cakka sama Keke kan? Apa hubungannya sama kalian?"

"lo kenal cewek itu?"

"ya. . .sekedar tau lah, dia ade kelas aku, waktu di SD. Mmh, kamu jealous gitu sama dia ya?" tanya via hati-hati.

"wajar kan?" balas Agni santai.

"huh, ya gak wajar lah. Keke itu sepupunya Cakka. Semenjak ibunya meninggal dan papanya, ya begitu lah, lo tau kan? Hak asuh Cakka jatuh pada ayah Keke dan Cakka kadang tinggal dirumahnya Keke."

"ya emang sih mereka itu deket banget. Kata Alvin, dulu Shilla mutusin Cakka juga karena jealous sama Keke, dikiranya si Cakka selingkuh."

"jadi cewek itu sodaranya Cakka?"

"iya. Aku sama Alvin pernah dikenalin kok sama Keke. Anaknya asik, cantik, lucu gitu. Cakka suka manggil dia princess."

"tapi bukan cuma itu Vi, gw juga ngerasa berubah banget semenjak pacaran sama Cakka. Gw ngerasa lemah, dan terlalu bergantung sama Cakka."

"Agni, kamu itu cewek. Jadi wajar aja kali, kalo bergantung sama cowok asal gak keterlaluan, itu emang kodrat kita kan. Lagian aku rasa sih, semua perubahan kamu itu kearah positif kok, jadi harusnya kamu makasih tu sama Cakka. Aku, sama Ify, jujur aja lebih seneng kamu yang sekarang. Kita jadi berasa temenan sama cewek, bukan sama kuli pasar. Hhehe." Via terkekeh sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk hurus V.

"huu, sialan lo."

"trus gimana nih, baikan dong sama Cakkanya, iya kan, iya dong, pasti baikan dong." Via menaik turunkan alis matanya sambil mencolek-colek dagu Agni.

"ikh, Vi, apaan banget deh lo, geli gw." Agni menyingkirkan tangan jahil Sivia dari dagunya, "doain aja deh ya. Ekh, ngomong-ngomong sakit apa lo, sampe ke RS lagi?"

"hah? Ekh, emm, anu gw, itu gw apanya, anu kecapean aja Ag."

"kecapean? Yakin lo? Emang lo abis ngapain, nina boboin gajah?"

"ya, mmh, gitu deh." balas via singkat.

Berbeda dengan hatinya yang bisa bergerak sangat cepat, bertalu riuh dalam tubuhnya, suara Via malah tersendak-sendat seperti balita yang baru belajar mengeja ma-ma-pa-pa.

"ohh." tanggap Agni singkat.

"ekh ada Agni? Kok gak dibuatin minum sih Vi?" mama Via datang membawa beberapa kain, sepertinya baru usai menjahit.

"ekh, hhehe, iya lupa ma. . .." Via nyengir dan menggaruk-garuk kepalanya.

"kamu itu gimana sih. Ya sudah tante buatin minum dulu ya nak Agni."

"ekh, gak usah tante. Gak usah repot-repot. Agni juga udah mau pulang tan, udah malem."

"oh, gitu. Kok buru-buru?"

"takut kemaleman tan, lagian udah lama juga kok Agni maennya. Agni pamit ya tan, gw pulang Vi." Agni mencium tangan mama Via.

"ecie, cie, pasti mau langsung ketemu Cakka." goda Via, jahil.

"apaan sih lo." Agni menyenggol lengan Via.

"hhahaha."

tawa renyah milik Via tadi mengiringi Agni yang keluar dari rumahnya.

***

Desau angin masih menyuguhkan dingin yang khas, karena matahari belum mau berbagi sinarnya, pagi ini. Mendung yang samar-samar melapisi gradasi warna langit nampaknya telah membuat risih sang surya hingga sampai detik ini belum juga muncul. Padahal sekarang sudah pukul 06.45.

Dua orang remaja menyusuri lapangan yang berhias tiang ring dikedua sisinya. Jemari mereka bertaut erat, seakan mempertegas status tak terbantah yang mereka sandang, the best couple Citra Bangsa.

"hhaii, pagi Ify, pagi Rio." sapa seorang pemuda dengan senyum khasnya. Ia berdiri memblokir jalan Ify dan Rio, dengan santai ia menggelembungkan permen karet yang sejak tadi ia kunyah. Gelembung berwarna merah pucat itu muncul dari mulutnya.

"emmh, Fy. Gw boleh pinjem cowok lo bentaran ya."

"lo mau apa sih De?" tanya Ify setengah jengkel pada manusia didepannya itu.

"weist nyantai aja Fy. Gw cuma mau pinjem Rio bentar kok. Boleh ya cantik?"

"ya udah Fy, tolong bawain tas gw ya," tutur rio, suaranya masih terdengar serak dan lemah.

"tapi Yo. .."

"gak pa-pa Fy, udah sana kamu ke kelas." Rio mengusap puncak kepala Ify, lalu tersenyum menenangkan, "ayo De." ajak Rio pada pemuda tadi, Debo.

Ify hanya bisa memandangi keduanya dengan tatapan nanar. Entah mengapa, ada ketakutan yang pelan-pelan menyusup dalam hatinya.

***

BRUUK

suara gaduh itu sedikit kontras dengan ruangan pengap dan sunyi ini. Buliran-buliran debu yang menjadi penghuni terbanyak tempat ini, langsung berterbangan saat tubuh Rio jatuh bersentuhan dengan lantai dingin gudang sekolah ini. Rio tidak segera bangkit, kedua kakinya masih terasa ngilu dan lemas untuk menopang tubuhnya. Dipangdanginya tubuh tegap Debo dan kilatan kebencian dari bola matanya, dari posisinya sekarang.

"Mario Stevano Aditya Haling. . . .masih inget lo sama gw?" tanya Debo sinis, "oke, karena gw baik hati, gw perkenalkan diri gw lagi ke elo, gw Debo sepupunya Dea, cewek yang udh elo BU-N-U-H.

Dan sakit. Sangat sakit. Luka itu dibuka lagi, perih itu dikorek lagi, Rio kembali merasakan jatuh dan terpuruk mendengar kata-kata terakhir yang Debo rapal barusan.

"gw gak pernah bunuh Dea." sanggah Rio.

"ELO YANG BUNUH DEA."

"BUKAN. BUKAN."

"ELO YANG BUNUH DEA. ELO BUNUH SEPUPU GW, ELO PEMBUNUH, PEMBUNUH." Debo menunjuk-menunjuk wajah Rio,

"dan pembunuh GAK PANTES bahagia. Gw bakak bikin hidup lo hancur, kayak elo yang udah bikin hidup mama-papa Dea hancur."

"elo tau, mamanya Dea sampai bagi-bagiin tas, pakaian, buku-buku dan semua barang-barang Dea. Mereka sekarang sampai pindah ke Aussie, itu semua gara-gara lo. Tapi sekarang Liat. LIAT DIRI LO MARIO, LIAT !!! Lo malah pacar--"

"CUKUP DEBO. ITU SEMUA TAKDIR, GAK SEUJUNG KUKU PUN GW BERHARAP DEA PERGI, GW JUGA HANCUR." Rio memotong ucapan Debo, dengan nada tak mau kalah.

Ya, Rio harus bertahan dengan pendapatnya, pendapat yang telah Ify tanamkan untuk ia yakini. INI SEMUA TAKDIR. Rio tak boleh kembali terpuruk, susah payah ia dan Ify mengembalikan kehidupannya yang dulu. Rio baru bisa tersenyum lagi, baru bisa tertawa lagi, ia tidak mau menjadi rapuh lagi seperti dulu.

"elo ambil Dea dari gw, lo bikin Dea lupa sama gw, bahkan Dea gak dengerin nasehat gw buat jangan pergi waktu itu, dan semua itu karena elo. Tapi apa? Lo malah bunuh dia, lo bunuh sepupu tercinta gw." Debo mendorong kembali tubuh Rio, setelah susah payah, sang empunya tubuh berusaha bangkit.

"lo gak tau apa-apa, jadi elo gak berhak ngomong kayak gitu ke gw." balas Rio.

Rio benar. Debo sama sekali tak tau apa-apa tentangnya. Tentang Rio yang selama berbulan-bulan dihantui jeritan Dea, Rio yang tiap malam harus terjaga karena mimpi-mipi buruk yang rutin bertamu dalam tidurnya, Rio yang dengan bodoh pernah mencoba mengakhiri hidupnya, Rio yang terpaksa pindah ke Bandung karena ditinggalkan dan dijauhi seluruh temannya yang menyalahkan Rio atas kematian Dea. Ayolah? Apa yang Debo tau? Bukan hanya Debo yang kehilangan tapi Rio, ia jauh lebih kehilangan. Bahkan sampai sekarang, huruf-huruf penyusun nama gadis hitam manis itu masih terpatri jelas dalam sudut-sudut ingatannya, D-E-A

"cih, lo bener-bener brengsek ya Yo. Lo kira gw gak tau, gw ngamatin lo jauh-jauh hari sebelum gw pindah, Liat nih." Debo melempar berlembar-lembar foto kewajah Rio, ya. . . .sebagian besar adalah foto-fotonya dengan Ify. Dan Rio kini baru sadar, ia selalu tersenyum bila sedang bersama gadis itu, hampir di semua foto.

"lo salah Debo, gak semua hal bisa lo liat dari luar aja, kayak gini."

"apa yang salah. Lo kira gw gak tau? Lo sekarang happy kan punya banyak fans, temen-temen yang populer, cewek yang sayang sama lo, tapi gw gak akan biarin semua itu berlangsung lama. Alyssa Saufika Umari, kira-kipa apa ya yang bisa gw lakuin sama cewek itu?"

"lo jangan macem-macem sama Ify."

"kenapa, heh? Lo cinta, sayang sama dia? Trus apa kabar Dea di hati lo? Atau bahkan mungkin lo udah gak inget sama Dea?"

"ITU GAK BENER, GW GAK PERNAH LUPAIN DEA, DAN IFY, GW GAK CINTA SAMA DIA, DIA CUMA PACAR BOHONGAN GW, PUAS LO. Dia gak ada artinya. . ..gak ada artinya buat gw." Rio menunduk dalam setelah menyelesaikan teriakannya.

Prok-prok-prok.

"wauwww." seseorang muncul dari balik pintu yang tadi sedikit terbuka,

"hasilnya bagus bos, nih." orang itu mengangsurkan ponselnya kearah Debo.

"ekhm." Debo berdehem kecil, "kita denger suara lo dulu yuk Yo. Katanya suara lo merdu banget ya?" kata Debo, dengan nada mencela.

Klik

tombol tengah ditekan dan dari ponsel itu, pekikan suara marah Rio barusan, terekam sangat jelas.

"thanks brother, rekaman lo bagus banget." ujar Debo sambil menepuk pundak orang tadi, Dayat.

"sip bos" Dayat tersenyum puas.

"BRENGSEK LO BERDUA." umpat Rio.

"oh masa Yo? Berarti kita sama dong ya? Gimana kalo sesama orang brengsek kita barter aja. Lo jauhin Ify dan gw pastiin rekaman ini aman atau elo lebih pilih besok hubungan lo yang kamuflase itu bakal jadi tranding topic di Citra Bangsa."

"mau apa lo sama Ify?"

"gak akan gw apa-apain kok, gw cuma enek aja ngeliat lo berdua sok-sok tak terpisahkan, kemana-mana berdua. Mual gw liatnya. Jadi gimana, deal?" Debo mengulurkan tangannya.

Rio terdiam, uluran tangan Debo terlihat seperti objek yang sangat menakutkan untuknya saat ini.

Ify. Disatu sisi Rio tidak akan pernah bisa jauh dari gadis itu, Rio sadar betul hal ini, apalagi disaat-saat sulit seperti sekarang. Tapi disisi lain, bila rekaman itu tersebar, orang yang akan sangat tersakiti tentu saja Ify. Ah, tuhan. . . Mengapa Rio menyeret gadis itu terlalu jauh dalam kehidupannya. Lalu apa yang sekarang harus ia pilih?

Perlahan, tangan Rio bergerak, lalu terulur guna menjabat tangan yang tadi sempat meremas kerah seragamnya dengan kasar.

"deal." lirih Rio.

"oke, keputusan yang tepat. Cabut yuk, Yat."

"ekh, bos. Lo lupa kasih suprise buat dia?"

"emm, lo aja deh yang jalanin, gw pengen liat aja."

BUGG-BUGG-BUGG

suprise yang Dayat maksud tadi ternyata adalah pukulan dan tonjokan yang sekarang bertubi-tubi menghujani tubuh Rio. Rio sama sekali tidak memberi perlawanan. Pikirannya masih melayang-layang antara Dea dan Ify, masa lalu dan mmmh. . .masa depannya mungkin.
Semua hal tentang kedua gadis itu berlarian menyerbu dan memaksa masuk dalam otaknya.

"udah, udah. Ntar anak orang mampus lagi. Udah buruan cabut yuk." ajak Debo, lalu berjalan lebih dulu dari Dayat yang mengekor dibelakangnya, meninggalkan Rio yang kini bersimpuh dilantai.

***

Jam istirahat sudah berbunyi sejak 15 menit lalu, segala macam kue, gorengan, es, makanan-makanan berkuah dan sebagainya sudah menjerit-jerit minta di beli. Semua siswa tanpa harus dikomandoi, secera serentak langsung menyerbu kantin.
Ya. . .bel yang berbunyi 3 kali -bel istirahat- memang selalu jadi surga bagi para siswa, apalagi bagi mereka yang telah bertarung dengan pasukan rumus-rumus.

Tapi gadis ini masih terduduk di bangkunya, jari-jarinya malah asik memainkan bolpoin hitamnya. Ify. Ia masih saja menunggu Rio yang sejak jam pertama tidak juga muncul, padahal Debo saja sudah kembali sejak tadi. Ify jadi khawatir, pasti ada yang tidak beres.

"RIO !!!" teriak Ify, saat orang yang ditunggu datang.

"Rio lo kenapa, lo kemana aja?" tanya Ify cemas, apalagi melihat banyak bercak darah dan lebam keunguan yang memenuhi wajah Rio. Dan mata itu, mata Rio, kenapa penuh air mata seperti saat pertama kali Ify mengobrol dengannya, dulu.

"kamu kenapa Yo? Kok sampe begini?" suara Ify bergetar, pandangannya pun mulai berbayang tersamar air mata.

"jangan nangis Fy." setelah mengucapkan tiga kata itu, Rio memeluk Ify, erat sekali. Dan entah benar atau tidak, Ify merasakan bulir air mata Rio sedikit membasahi anak-anak rambutnya.

"sorry ya Fy, gw baru balik. Gw takut yang lain khawatir kalo liat gw kayak gini." kata Rio, setelah melepas pelukannya.

"iya tapi kamu kenapa? Kamu diapain sama Debo, kok sampe begini." Ify menyentuh pelan sudut bibir Rio.

"aww, sakit Fy." erang Rio.

"sorry, sorry. . ." Ify segera menarik tangannya.

"lho Rio? Lo kenapa? Ada apa Fy?" tanya Shilla yang muncul membawa beberapa proposal ditangannya. Hari ini adalah hari pertama Shilla masuk setelah kejadian percobaan bunuh diri tempo hari.

"Shilla, gw titip Rio ya. Bawa ke UKS trus obatin lukanya. Tolong ya, gw ada urusan." pinta Ify.

"lho kok gitu?" tanya Shilla bingung.

"mau kemana Fy?" tanya Rio, sedikit berteriak pada Ify yang sudah hampir berbelok diujung koridor.

"nyari kunyuk sialan." jawab Ify singkat, Rio tau siapa yang Ify maksud.

"Ify jangaan !!!" larang Rio, tapi terlambat Ify sudah tidak mungkin mendengar kata-kata Rio, karena jarak yang sudah cukup jauh dan dengung berisik anak-anak yang mulai berkicau gaduh ntah menceritakan apa.

"jadi gimana? Mau langsung ke UKS Yo?" tanya Shilla lembut.

Rio hanya mengangguk pasrah, mereka lalu berjalan beriringan menuju UKS.

Isyarat hadirnya cinta yang paling mudah terbaca
adalah ketika kamu tidak rela seseorang tersakiti,
dan akan segera menghalau pesakitan itu dengan tanganmu sendiri, b
agaimanapun caranya. Ketahuilah, Itu dia yang bernama cinta.

***

"lo serius Kka?" pertanyaan itu sudah genap 5 kali ditanyakan Alvin dan Iel secara bergantian, dan Cakka sudah sangat bosan menjawabnya, karena sebetulnya ditanyakan berapa kalipun jawabannya tidak akan berubah.

"lo berdua tu budek apa bego sih. Daritadi gw udah bilang, gw serius." jawab Cakka santai, seolas yang sedang dibicarakan hanya hal tidak penting seperti kenapa-beruang-kutub-tinggalnya-di-kutub??

"trus kapan lo brangkat?" tanya Alvin yang sudah tidak konsen dengan kacang-kacang kulitnya.

"mmh, abis pertandingam final basket." jawab Cakka yang masih asik memainkan sedotan yang mencuat dari gelas jus jeruknya.

"HAAAH?" seru Alvin dan Iel hampir bersamaan.

"berarti gak ada seminggu lagi dong, lo yakin Kka, tega banget lo ninggalin kita." kata Iel.

"yaelah, ya gw yakin lah. Ini juga buat kebaikan gw. Gw pengen bokap gw sembuh total dan bisa jagain gw lagi kayak dulu. Dan om gw yakin setelah pengobatan di singapore nanti kesempatan buat sembuh cukup besar, selama pengobatan bokap gw, gak mungkin kan gw tinggal disini. Lagian cuma sekitar satu tahun kok, gw ambil kuliah juga di Indonesia."

"kalo gw keburu mati sebelum ketemu lo lagi gimana?" tanya Iel.

"elo ngomong apa sih? Udah deh ya, singapore itu gak jauh-jauh amat, gak usah pada berlebihan, cewek semua deh lo pada." cibir Cakka.

"huh, dunia itu gak adil ya." kata Iel, ngawur.

"apa hubungannya?" Cakka mengerutkan dahinya.

"iye yel. Dunia emang gak adil, apalagi buat lo. Dunia udah empet aje liat muka lo." ejek Alvin.

Mereka kemudian terdiam, saling melempar pandangan lalu tawa mereka tiba-tiba sama membuncah.

"HHAHAHAHA."

"lo bener Vin, dunia emang gak adil banget buat soara lo ini. Liat aja udah item, ceking, kagak laku-laku pula." timpal Cakka.

"woo dasar cakdut, china blangsak." balas Iel, "awas aja lo, Pit. Gak bakal gw akuin sebagai sodara."

"lha aku yo' ra' sudi." balas Alvin tak mau kalah.

"hhahaha, udah lama ya kita gak ejek-ejekan kayak gini. Kangen gw sama masa-masa d'orions yang dulu. Rasanya udah lama ya kita gak ngumpul-ngumpul dan mulai sibuk sama urusan masing-masing." tutur Cakka.

"ekh personil d'orions kurang satu. Rio kemana ya?" tanya Alvin, pada siapapun yang mau menjawab.

"kata Ify ada urusan, daritadi pagi juga gak nongol-nongol kan?" jawab Iel.

"Kka lo udah bilang ini semua sama Agni?" tanya Alvin, tiba-tiba, "gw rasa Agni berhak tau." lanjutnya.

"setelah gw di Singapore, gw bakal belajar lupain Agni, setahun gw rasa cukup. Buat gw semuanya udah jelas, Agni gak mau bergantung sama gw itu artinya dia gak mau gw ada disampingnya." tutur Cakka pasrah.

"tapi pamitan sama Agni gak ada salahnya Kka." saran Alvin.

"gak ada gunanya Vin, toh dia udah gak peduli. Ketemu Agni cuma bakal bikin gw ragu lagi buat pergi." jawab Cakka.

"sabar ya Kka, gak nyangka. Padahal awalnya kan lo cuma jadiin Agni taruhan." kata Alvin lagi, dari nada bicaranya terdengar heran dan tidak percaya.

"iya mana lo ingkar janji lagi. Katanya traktir sepuasnya, ekh taunya cuma bakso sama jus doang, huu, rugi gw." dumel Cakka.

"jadi kalian cuma taruhan?" ujar suara dingin yang khas dari belakang Alvin dan Cakka.

Iel yang kebetulan sedang fokus pada sepiring siomaynya langsung mengangkat wajah. Melihat siapa yang berdiri didepannya, Iel menelan ludah, wajahnya memucat.


***

0 komentar:

Posting Komentar