Selasa, 25 Juni 2013

Jangan Sedih, Pagi...

Hai pagi!
Kita bertemu lagi.
Masih bersedia membuka hari?
Ah, kamu baik sekali.
Beruntung yang mengenalmu, pagi.

Hai pagi!
Kita bersua lagi.
Bagaimana kabarmu hari ini?
Tampaknya kamu muram sekali.
Jangan sedih, pagi.

Pagi kemana dia?
Iya, dia sang surya?
Bukankah kalian biasa bersama?
Mengapa sekarang dia tidak ada?
Kemana surya?
Mengapa belum datang juga.
Lihat, pagi jadi tak berwarna tanpa kehadirannya.

Pagi, bolehkah aku bertanya?
Kemarin angin mengabariku.
Katanya, kalian sedang berseteru.
Pagi dengan surya, benarkah kalian sedang bersimpang rasa?
Angin bilang, akhirnya surya memilih pergi.
Setelah membuat pagi jatuh hati.
Ah, padahal kalian sangat serasi.
Mengapa surya tega sekali?

Oh ya, aku tahu jawabannya.
Pagi, kemari!
Akan kuceritakan apa yang aku ketahui.

Sebelum petang, aku bertemu surya.
Dia pulang keperaduannya digandengi duka.
Kasihan dia, tampak begitu merana.
Aku menyapanya, lalu kami bertukar kata.
Pagi, surya bilang dia kecewa.
Bukankah kalian sudah berkawan lama?
Mengapa harus ada yang jatuh cinta?
Surya tidak suka.
Surya kesal sekali.
Mengapa pagi pura-pura tuli.
Bukankah sudah berulang kali surya bisiki.
Tentang siapa yang dia ingini.
Tentang siapa yang dia cintai.
Pagi sudah tahu kan?
Bulan, hanya bulan.
Surya memilih bulan, meski mereka sulit dipersatukan.
Surya mau bulan, hanya bulan.
Itulah alasan surya akhirnya pergi.
Dia tak ingin pagi yang baik hati, semakin tersakiti.
Semoga pagi mengerti.

Nah, sekarang pagi telah kuberi tahu.
Sudahlah, jangan lagi sendu.
Penduduk bumi tidak suka pagi yang cengeng.
Berhentilah menangis dan jadilah cerah.

Pagi, ayo berseri-seri lagi.
Bermainlah dengan fajar atau embun yang luruh ke bumi.
Lupakan surya!
Banyak yang membenci keegoisannya.
Percayalah!
Surya akan menuai sesal.
Persis seperti yang pernah aku rasakan.
Sangat menyesal.
Karena salah menetukan pilihan.


best regard
via

Sabtu, 22 Juni 2013

Bianglala

Kalian tahu bianglala?
Beberapa tahun lalu aku menangis melihat benda bundar besar itu. Berputar-putar mengerikan di atas ketinggian. Aku takut, takut sekali.
Tapi Ibu menggenggam tanganku, Ibu bilang bianglala itu baik. Dia tidak akan menyakitiku, apalagi menghempaskanku hingga jatuh.
Dari atas bianglala, aku akan melihat hal-hal baru yang belum pernah terjamah sepasang bola mata kecilku kala itu.
Ibu yakinkan, bahwa aku bukan penakut. Bianglala saja sih bukan apa-apa untukku.

Karena Ibu, untuk Ibu, aku ambil langkah pertama menuju bianglala. Baru saja satu langkah, ah sialnya ketakutan itu kembali menyergapku. Rasanya sakit sekali.
Dalam hati terapal pinta, Ibu, tolong usir rasa takut itu, untukku.
Tanpa perlu berkata-kata, Ibu mengerti ketakutanku. Ibu berjanji akan menemaniku menikmati putaran bianglala pertamaku.
Ah akhirnya, itulah kali pertama aku mengenal bianglala. Ibu, terima kasih atas pengertian untuk segala cemas dan takut yang tak terkatakan.

Kali ini…
Aku dipertemukan kembali dengan bianglala.
Hanya saja, jika dulu orang yang memegang tanganku adalah Ibu, sekarang yang berdiri di sampingku adalah kamu.
Ini memang bukan bianglala pertamaku, entah yang kedua, ketiga atau…ah entahlah itu tidak penting menurutku karena sekarang tetap saja bianglala membuatku takut seperti dulu. Mengapa?
Karena bianglala yang kutemui sebelum ini ternyata membuatku jatuh dan lukanya belum hilang hingga kamu datang, sekarang.
Awalnya, kamu juga meyakinkan aku bahwa bianglala yang kamu perkenalkan kali ini, tidak akan menambah daftar luka yang harus aku obati.
Bianglala yang ada dihadapan kita kan membuat siapapun yang berputar bersamanya, merasa seperti layang-layang. Terbang, ringan.

Karena kamu, untuk kamu, aku belajar berani.
Ini tidak akan sulit. Ya seharusnya tidak akan sulit sebelum tiba-tiba ada yang berteriak di hadapanku. Di depan wajahku. Tepat.
Katanya, kamu tidak akan cocok dengan bianglala itu, kamu tidak cukup kuat untuk menghalau angin yang akan menderamu, lihat saja, kamu hanya akan disakitinya.

Ah, benarkah begitu?
Kamu…
Mengapa malah diam saja?
Tidak bisakah mengatakan sesuatu yang membuatku berani.
Mengapa malah diam saja?
Tidak bisakah merasakan ketakutanku.
Oh ya, mungkin aku berkhayal terlalu tinggi saat berharap kamu mampu mengerti cemasku, mampu merasakan ketakutanku, tanpa aku harus berkata apa-apa, tanpa aku harus bercerita. Ya aku yang berharap terlalu tinggi. Aku yang salah.

Kamu tidak akan mau menemaniku seperti Ibu hahaha tentu saja tidak.
Kamu pasti takut aku akan merepotkan selama perjalanan. Kamu pasti mulai bertanya-tanya, jangan-jangan bianglala yang kamu perkenalkan memang tidak cocok denganku. Kamu mulai ragu. Tapi mungkin, kamu terlalu baik untuk berkata jujur. Mungkin, kamu takut menyakitiku, karenanya kamu memilih diam. Ah ya sudahlah.

Hei kamu, terakhir, aku hanya ingin memberi tahu.
bianglala itu, yang kamu perkenalkan padaku...
Tahukah?
Orang-orang lebih mengenalnya dengan nama sayang.
Bianglala itu, yang kamu perkenalkan padaku...
Sekarang, aku memilih menikmati putaran demi putarannya sendirian.
Ya, aku saja. Sendiri.

Jumat, 07 Juni 2013

Mengapa Abu-abu?

Mengapa abu-abu?
Mengapa bukan hitam saja?
Hitam saja sekalian.
Agar kujelajahi hari dengan emosi, iri, serta dengki.
Agar jelas keburukanlah satu-satunya pilihan untukku.
Agar pasti tiada kawan bagiku, selain kejahatan.
Mengapa tidak hitam saja?
Agar gelap semua.
Agar pahit semua.

Mengapa abu-abu?
Mengapa bukan putih saja.
Putih saja sekalian.
Agar aku jadi cahaya untuk orang-orang yang begitu menyayangiku.
Agar aku melangkah beriringan dengan kebaikan.
Agar hatiku mulia, pribadiku memesona tanpa cela.
Mengapa tidak putih saja.
Agar terasa menyala.
Agar terang semua.

Mengapa harus abu-abu?
Mengapa tidak warna-warni.
Seperti pelangi.
Maka aku akan jadi seberani merah.
Maka aku akan jadi seceria kuning.
Dan selalu menyejukkan seperti hijau.
Ya, pelangi saja.
Biar kedatanganku diharapkan.
Biar kehadiranku dikagumi.
Dan pergiku disesali.
Mengapa bukan pelangi saja.
Agar cerah semua.
Agar indah semua.

Mengapa harus abu-abu?
Abu yang tidak jelas. Abu yang entah bersih atau kotor.
Aku benci abu-abu, yang selalu bertengkar dalam tempurung kepalaku.
Aku benci abu-abu, yang membuat langkahku tersendat-sendat. Yang membuat aku terlalu banyak menimbang. Yang membuat aku perlu jutaan kali memikirkan perasaan orang lain, yang bahkan tidak pernah mau repot-repot melindungi kesakitanku.
Aku benci sisi abu-abu yang ada dalam diriku. Yang perlahan meramurkan siapa aku yang sebenarnya?
Jadi siapa aku?
Putihkah? Pelangikah?
Atau jangan-jangan hitam yang dibenci banyak orang?
Ah, aku takut. Takut sekali.


best regard
via