Sabtu, 12 Maret 2011

Ara dan Burung Nuri (cerpen)

Tak ada tempat seperti surga
'tuk ku abadikan hidupku denganmu
barisan syair yang terindah
akan ku lantunkan
teruntuk dirimu, Ara....
Separuh sukma jiwaku.

***

18 juli 2010

"halo, Ra..." sapa seorang pemuda pada orang yang menghubunginya diujung sana.

Setelah genap, 6 kali orang yang sama menghubunginya, baru pemuda ini berkenan untuk mengangkat telepon orang itu.

"aku lagi nyetir, Ra... Nanti aku telfon lagi ya. Apa Ra? Emang mau ngomong apa? Aduh nanti lagi aja ya Ra, nanti aku telfon lagi. Udah dulu ya Ra, bye." pemuda tadi segera menekan tombol merah pada keypad handphonenya.

Semena-mena? Ya, tentu saja. Pemuda tadi tidak tau, betapa orang diujung telfon sana begitu merindukannya, betapa orang itu sangat ingin mendengar suaranya.

Ditemani lantunan suara merdu milik seorang penyanyi pria yang membawakan lagu bergenre jazz dari CD yang disetelnya, mobil hitam mengkilap yang dikemudikan pemuda tadi meluncur mulus, membelah lalu lintas sore kota London.

Sudah hampir 4 tahun pemuda tadi menetap dikota ini. Ia sudah terbiasa dengan bangunan-bangunan mewah dengan arsitektur khas yang berjejer rapi disepanjang jalan, ia juga sudah terbiasa dengan 4 musim yang menyatroli kota ini selama 1 tahun, dan tak bisa dipungkiri kota ini menyedot begitu banyak rasa kagum yang dimiliknya. Tapi bukan berarti ia lupa pada tanah airnya. Warna kulitnya yang sawo matang seakan jadi pengingat dari mana ia berasal. Indonesia. Tanah gemah ripah dengan semboyan cantik berbunyi bhineka tunggal ika.
Ah, apa kabar negrinya itu sekarang??

***

London, 24 september 2010

Haii Ara,
bagaimana kabarmu dan burung Nuri kita? Disela lembaran kertas soal yang bercecer dimejaku, ku sempatkan menulis surat ini untukmu.

Ra, ini surat ke 5 dalam 2 bulan terakhir yang aku kirimkan padamu, tapi tak satupun balasan mendarat ditanganku. Apa kamu marah? Kenapa akhir-akhir ini, kamu sangat sulit dihubungi? Ada apa sebenarnya? Aku merindukanmu Ra, sangat merindukanmu. Dan aku harap kamu pun begitu.


Salam sayangku...


Ps : doakan aku, Ra. Lusa aku akan mengikuti perlombaan drama musikal, doakan semuanya lancar ya Ra.

***

London, 19 Oktober 2010

Ara... Masihkah kamu mengingatku? Atau memang sudah ada penggantiku?
Aku tidak akan marah bila itu memang benar. Karena waktu dan jarak terkadang memang bisa melahirkan perubahan. Aku tidak akan menuntutmu untuk mempertahankan kisah kita, meski rindu tak pernah berkurang sedikitpun dalam relungku, tapi biar itu hanya menjadi milikku, sendiri.

Oya, Ra. Perlombaan drama musikalku berjalan lancar. Trimakasih atas doanya.

Dan satu lagi. Ara, kalau kamu ingin tau keadaanku saat ini. Sungguh aku tidak pernah baik-baik saja semenjak kau 'menghilang' !!!

Salam sayangku...

***

London, 28 November 2010

bila aku tau dari awal, beasiswa ke London ternyata hanya akan membuatku jauh darimu. Aku betul-betul tidak akan pernah mengambilnya. Aku memang kuat Ra, aku memang tegar. Tapi taukah kamu, tanpa kamu aku berjalan dalam pesakitan. Ayolah Ara, barang satu atau dua kata saja sudah cukup untukku. Ada apa sebenarnya?

Ara, awal tahun depan aku akan pulang. Dan aku berjanji, orang yang pertama akan ku temui adalah kamu, apa kamu masih mau bertemu denganku, Ra?

salam sayangku...

***

London, 21 Desember 2010

Cita-citaku sudah ku genggam. Saatnya aku mengejar cinta yang dulu ku tangguhkan. Dan aku harap semuanya belum berubah,belum terlambat. semoga kamu masih Ara yang dulu, Ara yang sama, yang menangis di bandara 4 tahun lalu untukku.

Aku tidak peduli Ra, kalaupun suratku ini hanya akan jadi sampah dirumahku, atau hanya akan jadi penghuni lacimu, aku juga tidak akan memintamu membalas surat ini, karena kita akan segera bertemu Ra, semoga kamu senang mendengar kabar ini dariku.

Sampai bertemu, Ara...

***

Secarik kertas yang ditunggu itu pun datang, dan kini tengah bergetar dalam genggaman seorang pemuda. Tidak seperti yang diharapkan, isi lembaran putih itu bukan luapan rasa gembira, tapi deretan kata yang membuat hati pemuda tadi, ketar-ketir sendiri membacanya.


Jakarta, 09 Januari 2011

Hi Dear,

maaf aku baru bisa membalas suratmu. Aku baik baik saja, dan aku sangat berharap kamu juga baik disana. Jangan terlalu memikirkan keadaanku, fokuslah pada studymu disana. Aku juga minta maaf kalau balasan surat dariku ini tidak sesuai dengan keinginanmu. Surat singkat ini hanya berisi tentang permintaan seorang gadis tak sempurna agar kekasihnya lekas melupakannya. Mungkin terdengar aneh ya? Tapi inilah kenyataannya. Mengingatku, menyayangiku, hanya akan membuatmu sakit.

Aku telah lebih dulu melupakanmu, dan semoga kamu juga bisa segera melupakanku.

Jangan mencoba menemuiku setelah tiba di Jakarta.

Ara.

Ps : Nuri baik-baik saja.


Bagaimana mungkin otak pemuda tadi tidak sibuk membuat penyangkalan atas apa yang dibacanya? Setelah 4 tahun mereka bertahan, melawan bentangan jarak dan guliran waktu, dan sekarang semua harus berakhir seperti ini?
Berakhir, tanpa ada satu alasan pun yang bisa ia jadikan pemakluman.

"kenapa Ra, apa yang salah denganku ?" lirih pemuda tadi bingung.

Ya, tentu saja ia tidak mengerti. Dimana sebenarnya letak kesalahannya, sampai-sampai Ara memilih untuk menyudahi hubungan dengannya?

Sivia gadis chinese bermata sipit dengan parah ayu dan tutur kata yang lembut. Ify, gadis manis dengan dagu tirus dan matanya yang indah, asli Indonesia. Sampai Acha, si primadona kampus, gadis asli London, berkulit putih, rambut panjang bergelombang, serta lengkung senyum cantik yang menurut orang-orang jadi saingan terberat bagi sang pelangi. Dan masih banyak lagi, gadis-gadis yang bisa dibilang diatas standart, berlomba mencari perhatiannya. Tapi semua di abaikan, semua di tampik dengan halus, hanya karena satu gadis, Ara. Apa semua itu masih kurang? Bukankah kunci sukses dari longdistance adalah bisa saling percaya dan setia?

***

15 Januari 2011

Malam terlihat lebih suram dari biasanya. Desau angin sepertinya belum cukup tangguh untuk mengusir awan-awan kelabu yang menggelayuti langit. Bulan dan bintang, sama sekali tidak bisa berkutik dikepung kawanan mendung. Tapi pemuda ini tak goyah. Meski malam menampakkan suasana tak bersahabat, ia tetap berniat memenuhi ucapannya untuk menemui Ara dihari pertama ia menjejakkan kakinya kembali di Indonesia.

Pemuda tadi terus berkonsentrasi pada jalanan remang didepannya. Mobil avanza silvernya merangkak teratur menyusuri jalan-jalan ibu kota.

Ah, Jakarta? Setelah 4 tahun ia tinggalkan tidak banya perubahan yang terjadi. Jakarta tetap dengan kepulan asap abu-abu menyesakkan, tetap dengan deru mobil yang memekak telinga dan Jakarta, tetap dengan kilau kaca dari gedung-gedung yang berdiri angkuh yang menjamur disetiap sudut kota ini.

Seulas senyum terus menghiasi wajahnya, satu buket bunga lily favorit Ara, dan ribuan kata rindu telah ia persiapkan. Tak peduli pada penolakan gadis itu disuratnya tempo hari.

Perlahan, roda-roda mobil melambat sebelum akhirnya berhenti total didepan sebuah rumah bergaya natural dengan dominasi warna putih dan biru laut. Pemuda tadi merapikan pakaiannya, sekilas di lirik spion mobilnya untuk memastikan penampilannya sempurna. Setelah siap, ia berjalan mantap ke arah pintu rumah di depannya.

ting-tong, ting-tong

Dipijitnya bel disisi pintu ukir bercat putih itu, dengan tidak sabar. Tak lama pintu berdecit terbuka, seorang gadis hitam manis menyapanya dengan tatapan shock.

"malam Dea." sapa pemuda tadi, sambil memamerkan senyum miringnya yang semakin menyempurnakan wajah tampannya.

Dea tertegun, kaget.

Siapa sangka, biang onar dikelas, biang rusuh SMAnya, kini berdiri dihadapannya dengan karisma dan wibawa yang luar biasa.

Kacamata tanpa bingkai yang ia kenakan dan kemeja putih yang lengannya digulung hingga ke siku membuatnya terlihat cerdas dan dewasa.

"hellooo." pemuda tadi mengibas-ngibaskan lengannya didepan wajah Dea, yang tengah terpaku menatapnya, "malam Dea." ulangnya.

"oh, eh, iya..ii...ya, malam Rio." jawab Dea tergugup.

Pemuda bernama lengkap Mario Stevano Aditya tadi, tersenyum kecil.

"Ara ada? Ekh, emm, maksudnya Shilla. Apa Shilla ada?" tanya Rio.

Gadis yang Rio cari memang bernama lengkap Ashilla Zahrantiara, atau Shilla begitu ia akrab disapa, dan Ara adalah panggilan sayang Rio untuk Shilla.

"Shil..la, Shilla, dia itu anu Yo. Shilla, aku..."

melihat raut tegang dan gugup yang terpancar jelas di wajah lembut Dea, Rio menduga-duga, pasti ada suatu hal yang telah terjadi.

"Shilla mana De? Boleh aku bertemu dengannya?" tanya Rio lagi.

Dea masih terdiam, tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Samar-samar malah selaput bening yang terlihat melapisi matanya. Rio semakin penasaran,

"Dea, Shilla mana?" tanya Rio sambil mengguncang-guncangkan pundak gadis yang tengah menunduk dalam-dalam dihadapannya.

"Shilla, dia..."

"dia apa De? Tolong cepat katakan, Shilla kenapa?"


"Shilla kecelakaan."

***

04 Februari 2011

Angin berdesir pelan, dengan usil memainkan anak-anak rambut gadis itu. Gadis cantik yang tengah terduduk dibawah jalinan pohon mendevilla yang tumbuh merambat dengan bunga-bunga putih menjuntai. Sepertinya ia sedang asik memandangin kerlipan bintang-bintang dilangit. Siluet milik gadis itu masih terlihat anggun bagi Rio, meski ia mengamati gadis itu hanya dari kejauhan.

Rio tersenyum getir, entah mengapa penjelasan Dea perihal keadaan gadis itu seakan memaku kedua kakinya dengan bumi. Rio merasa tidak pantas menghampiri gadis itu. meski perasaan semacam ini sudah sering kali ditepisnya, tapi tetap saja rasa bersalah itu terus saja mengulik hatinya.

Kata-kata Dea, terus saja berdengung disekitar telinganya, tapi isi dari batok kepalanya sama sekali belum bisa atau lebih tepatnya belum mau, menyinkronkan antara penjelasan Dea dengan kenyataan yang ia lihat. Karena bila semaunya telah disusun, sudah diruntun dan diurutkan, hanya akan ada satu hal yang Rio dapati, kebenaran. Dan Rio benci kebenaran itu.

"Shilla sudah di Bandara waktu itu, tapi dia minta balik lagi. Katanya burung nuri pemberianmu tertinggal dan menurut Shilla, kamu akan sangat marah kalau Shilla sampai menelantarkan burung nuri itu. Menurutku itu sangat bodoh, aku sudah melarangnya kembali pulang. Apalagi pesawat juga akan segera berangkat sekitar setengah jam lagi. Tapi Shilla ngotot, ia minta untuk membawa mobil sendiri, dan berjanji akan kembali secepatnya.

"tapi sampai pesawat berangkat, Shilla nggak juga datang. Om dan tante sudah sangat cemas, kami akhirnya membatalkan niat mengunjungimu di London. Satu jam berikutnya, Om menerima telfon dari kepolisian yang mengabarkan bahwa mobil Shilla mengalami kecelakaan. Saat itu juga aku ingin mengabarimu, tapi orang tuamu melarang. Mereka ingin kamu konsentrasi dulu dengan study mu di London. Karena statusku hanya sebagai sepupunya Shilla, aku hanya bisa menurut dengan keputusan-keputusan yang telah dibuat orang dewasa. Ya, aku tidak bisa berbuat banyak, bahkan saat Om dan Tante sudah angkat tangan dan berniat melepas semua alat medis yang menopang hidup Shilla selama 5 bulan ia koma. Aku hanya menangis dan berdoa, berharap datangnya keajaiban.

"sampai suatu hari ku bawa burung nuri pemberianmu ke rumah sakit, aku bisikan pada Shilla bahwa burung itu kesepian. Dan akhirnya berhasil, Shilla sadar. Tapi terjadi masalah pada pembuluh darah diotaknya, aku tidak tau separah apa kerusakannya, yang jelas menurut dokter, Shilla tidak akan bertahan lama, walaupun ia telah melewati masa-masa tersulitnya. Tapi dokter itu bukan Tuhan kan? Aku percaya Yo, Shilla pasti bisa sembuh, tolong bantu dia Yo, dampingi dia.

"dan satu lagi, maaf Yo. Aku sudah membohongimu mengenai surat, surat yang kamu terima itu, aku yang menulisnya."

Saat mendengar penjelasan Dea itu, Rio hanya diam tak banyak memberi komentar ataupun pertanyaan. Kecelakaan naas yang menimpa Shilla terjadi tepat pada tanggal 18 juni, dan hanya berselang sekitar satu jam setelah Shilla menelfon Rio, waktu itu. sepertinya yang ingin Shilla bicarakan waktu itu adalah perihal kunjungannya ke London. Dan jahatnya, waktu itu Rio dengan semena-mena memutus sambungan telfonnya.

Apa gunanya nilai-nilai A yang bertebaran dikertas-kertas ulangannya. Apa gunanya tropi-tropi penghargaan dan gelar sarjana yang telah diraihnya, kalau Shilla sama sekali tidak akan bangga, bahkan mungkin ia sama sekali tidak mengerti sekarang.

Setelah menarik seluruh bagian jiwanya dari alam penyesalan, Rio mulai berjalan mendekati Shilla. Ia melangkah pelan, agar tidak membuat Shilla kaget, lalu mengamuk seperti 2 hari yang lalu. Rio tidak ingin menambah koleksi bekas cakaran-cakaran Shilla di tubuhnya. Sambil mendekat, hatinya merapal berbagai kalimat penguat, "kamu harus kuat Rio, Shilla butuh Rio yang kuat.". Kalimat semacam ini terus dijejalkan Rio, dalam otaknya, entah berefek atau tidak.

"hai Ara." sapa Rio.

Gadis yang disapa Ara tadi menoleh, memandangi Rio dengan tatapan bingung dan bibir yang mengerucut.

"bu..kan.. Ara..bu..kan." ia menggeleng, "aku.. Shil..la.. Bukan...Ara." jelasnya terbata-bata, persis seperti anak kecil yang baru belajar bicara.

Rio menarik nafasnya dalam-dalam, lalu tersenyum ramah, "eh, iya, Rio lupa. Maaf ya Shilla." ujarnya sabar.

"ka..mu te..mannya...Shilla? Bu..kan..orang...ja..hat? Kita..te..man?" Shilla memiringkan kepalanya dan memandangi Rio dengan sorot mata sangat polos.

Rio berjongkok di depan kursi roda Shilla, di pandangi seperti itu oleh Shilla membuat benteng yang susah payah Rio bangun akhirnya runtuh juga. Satu tetes air mata mulai bergulir dari bola mata Rio.

"iya, kita teman Shilla." jawab Rio. lirih.

Shilla lagi-lagi menggeleng, "jangan ...na..ngis.. Shilla..nggak..su..ka." ujarnya.

Tangan kanan Shilla mulai bergerak menyapu titik air mata diwajah Rio.

"ki..ta..teman..ya ? Nama..ka..mu..siapa?"

"aku Rio, Shilla. Dan kita teman. Aku bukan orang jahat."

kalimat itu kembali Rio ulangi. Sudah sekitar 3 minggu Rio di Indonesia, dan pertanyaan-pertanyaan serta jawaban seperti tadi selalu berulang setiap harinya. Pagi, siang, sore, malam, Rio selalu harus memperkenalkan dirinya lagi-lagi-lagi dan lagi pada Shilla. Surat yang waktu itu Dea kirim, benar. Shilla memang sudah 'melupakannya'.

"ka...mu..pange..ran..ganteng." ucap Shilla sambil tersenyum tulus, "seper..ti.. ini." lanjut Shilla, ia menunjuk gambar pangeran berkuda pada sampul sebuah buku dongeng anak-anak yang ia pegang.

"kalau Rio pangeran, Shilla mau nggak jadi putrinya?" tawar Rio.

"mau,mau,mau...nan..ti ki..ta..naik kuda..ke..ista..na ya Rio?" rajuk Shilla manja.

Rio mengangguk.

Jujur tak pernah terbayang oleh Rio, bahkan dalam mimpi terburuknya sekalipun, Shilla akan jadi seperti ini. Gadis cantik yang cerdas, aktif dan tegas, mantan ketua OSIS, anggota tim cheers di SMA dulu, mahasisa yang aktif dalam kegiatan sosial dan aktivis lingkungan hidup sejati, sekarang jadi seperti ini?

Mana Shillanya yang dulu? Yang setiap hari sibuk menggerutu perihal global warming, efek greenhouse ataupun pencemaran lingkungan. Mana Shilla yang selalu mencekokinya nasihat agar tidak mengkonsumsi junk food secara berlebihan. Mana Shilla yang selalu menenteng proposal-proposal kegiatan amal?

Yang ada dihadapan Rio sekarang adalah wujud yang sama, tapi ia berbeda?sangat berbeda.

"pange..ran..Rio bintang..itu..siapa ya yang..pu..nya?" tanya Shilla seraya menerawang memandang langit.

"memang kenapa?"

"Shil..la..suka..bin..tang. Boleh..nggak ya kalau Shil..la..minta..satu ?" tanya Shilla lagi, masih dengan terbata-bata.

"Shilla mau bintang?"

"Shil..la..suka..ditinggal.. sama orang..orang. Shil..la nggak su..ka..sendiri..an. Kalau..Shilla pu..nya..bintang, bin..tangnya..pasti..mau temenin..Shilla terus-terusan."

Rio menunduk dalam, ucapan Shilla barusan serasa tamparan maha dahsyat yang menghujam kesadarannya.

5 bulan Shilla koma dan tak sedetik pun Rio berada didekatnya. Ia membiarkan gadis yang sangat ia sayangi itu berjuang sendirian. Sedang ia? Rio malah sempat disibukkan dengan pemikiran bahwa Shilla telah memiliki orang lain, saat balasan untuk suratnya tak kunjung Rio terima.

"Rio..Shil..la mau ketem..patnya bintang..bintang." kata Shilla, tiba-tiba.

Rio kembali mengangkat wajahnya, didapatinya Shilla tengah menjulurkan kedua tangannya keatas, seperti hendak menggapai satu dari sekian banyak bintang yang menghiasi langit, malam ini.

"iya, nanti kita ketempatnya bintang ya. Nanti Rio temenin, tapi sekarang kita masuk dulu ya, sudah malam." Rio mulai bangkit dari posisi jongkoknya, lalu membersihkan pulir-bulir debu yang menempel pada celana panjangnya.

Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, hingga rambut panjangnya bergerak lincah kesana-kemari, diikuti dengan gerakan tangan yang berarti menolak. Bersamaan dengan itu seekor burung kecil bertengger di pegangan kursi roda Shilla. Burung itu mengepak-ngepakkan kedua sayapnya, yang berwarna kuning bercampur semburat hijau.

Rio kembali berjongkok.

"Rio..nggak..usah i..kut. Shilla mau..per..gi sendi..ri. Rio disi..ni..aja..jagain Nuri.. Shil..la..ketempat bin..tang sen..diri." Shilla mengacungkan satu jari telunjuknya.

Nuri adalah burung kecil pemberian Rio, saat ia sempat pulang ke Indonesia bulan mei tahun lalu. Usia burung itu sudah hampir 1 tahun, tapi burung lucu itu masih tetap gesit beterbangan, warna bulu-bulunya juga masih sangat indah. Shilla menjaganya dengan sungguh-sungguh, nampaknya.

Dan hanya dua hal itulah yang Shilla ingat, setelah ia sadar dari koma. Bahwa namanya adalah Shilla, dan ia memiliki seekor burung nuri yang ia beri nama Nuri pula. Selebihnya Shilla tidak ingat apa-apa lagi.

Rio terdiam, apa ucapan Shilla barusan bisa dibilang ucapan selamat tinggal?
Apa Shilla akan pergi?

Tiba-tiba, Rio merasakan ada dua tangan yang memeluknya. Dua tangan milik Shilla.

"Shil..la sayaaaang seka..li, sa..ma Rio." lirih Shilla.

Rio tidak berkata apa-apa, suaranya terasa tercekat di tenggorokan. Otaknya benar-benar tidak bisa bekerja, bahkan hanya untuk sekedar merangkai kata, Rio-juga-sayang-Shilla.

Ia hanya bisa membalas pelukan Shilla, mendekapnya erat, agar Shilla tidak akan pernah pergi meninggalkannya.

***

Bintang malam katakan padanya
aku ingin melukis sinarmu dihatinya...


 8 tahun kemudian.

Seorang pemuda dengan kemeja hitam dan dasi biru tua yang bergantung longgar dilehernya, muncul dari balik pintu. Menyeruak masuk kedalam kamar bercat coklat pucat ini. Merasa sangat lelah, ia segera menghempaskan tubuhnya diatas sofa empuk berwarna pastel yang menghadap langsung kearah jendela. Diluar sana, terlihat angkasa yang terbagi dua, berwarna jingga kemerahan di ufuk barat dan sebagian lagi telah berwarna ungu gelap. Satu persatu bintang mulai menampakkan wujudnya, malam ini akan jadi malam yang cerah sepertinya.

"apa kamu sudah sampai ditempatnya bintang-bintang, Shilla ??" tanya pemuda tadi entah pada siapa, karena nyatanya tak ada satu orang pun yang menghuni kamar itu selain dirinya.

Seperti biasa, tangannya secara reflek langsung bergerak menyusuri meja kayu disampingnya. Diraih satu bingkai berisi sebuah foto. Foto peristiwa paling sakral dalam hidupnya, foto pernikahannya.

Perlahan disentuhnya kaca yang mengukung foto itu. Aktivitas seperti ini sudah puluhan bahkan ratusan kali ia lakukan. Setiap rasa rindu menderanya begitu hebat, menatap langit berbintang ditemani foto itu adalah penawar rindu yang paling ampuh untuknya.

Dalam foto itu terlihat seorang gadis mengenakan gaun panjang berwarna putih susu. Rambutnya dihiasi rangkaian bunga mawar putih yang disusun membentuk sebuah tiara (a.k.a mahkota), disampingnya seorang pemuda tampan berdiri tegap, tubuhnya terlihat gagah berbalut jas putih. Tangan mereka bertautan, senyum manis merekah menghiasi wajah-wajah bahagia itu. Keduanya sangat cocok dan serasi. Ya, dalam foto itu adalah Shilla dan Rio, dihari pernikahan mereka, 24 Oktober 2011.

Rio telah berjanji pada dirinya sendiri, untuk tidak akan meninggalkan Shilla lagi. Tepat dihari ulang tahunnya, Rio memperkukuh janjinya didepan para saksi, untuk selalu ada disamping Shilla dan selalu menjaganya. Dan itu jadi kado paling indah selama hidupnya.

"Papaaa..."

Suara cempreng seorang bocah membuyarkan lamunan Rio.

"papa udah pulang??" tanya gadis kecil berkuncir dua yang tengah berdiri diambang pintu, jemari kecilnya masih memegangi gagang pintu.

"iya, sini sayang." Rio melambaikan tangannya, memberi isyarat agar gadis kecil tadi mendekat, "kan katanya Nuri mau main ke timezone." tambah Rio.

"kita jadi mainnya, Pa?" tanya gadis bernama Nuri tadi, sambil berlari kecil kearah Rio. Rambutnya yang dikuncir 2 berayun ringan mengimbangi gerak tubuhnya. Nuri langsung duduk di pangkuan Papa tercintanya.

"jadi dong sayang, Papa kan udah janji." jawab Rio.

"ish, papa belum mandi ya? Bau.." kata Nuri, sambil menggelembungkan pipinya, lucu sekali.

"hu, masa Papanya dikatain bau sih? Papa batalin nih jalan-jalannya." ancam Rio.

"eh, nggak, nggak, Papa wangi kok. Papa capek ya, mau Nuri pijitin?" tawar Nuri, seraya memijat-mijat tangan Rio.

Rio hanya menggeleng dan mengelus puncak kepala putri tunggalnya dengan lembut.

Shilla memang sudah pergi, 5 tahun lalu. 2 tahun setelah Nuri kecil lahir. Shilla meninggal setelah gangguan pada sistem pembuluh darah diotaknya semakin parah, dan menyebabkan penyumbatan aliran darah ke otak. Sebelum meninggal Shilla sempat sembuh walaupun tidak kembali normal 100%. Paling tidak gadis itu sudah bisa mengingat Rio dan sifat seperti anak kecilnya juga hilang perlahan.

Sebelum pergi Shilla juga telah meninggalkan kenang-kenangan paling indah, Nuri.

Nuri, gadis ini bisa dibilang Shilla kecil. Ia memang sangat mirip dengan ibunya. Kulitnya yang putih bersih, rambut panjangnya yang hitam, mata bulat yang di hiasi tatanan alis yang melengkung sempurna, dan bibirnya yang merah alami. Nuri ini benar-benar cetak biru dari Shilla.

nama Nuri dipilih Rio dan Shilla, untuk mengenang burung kecil mereka yang sudah mati saat Nuri kecil lahir.

"aku sudah menjaga Nuri, Shilla. Persis seperti permintaanmu. Aku harap kamu sudah sampai ya ditempat bintang-bintang dan semoga kamu berkenan menjadi bintang untuk kami disini."



Tau kah engkau wahai langit
aku ingin bertemu membelai wajahnya

kan ku pasang hiasan
angkasa yang terindah
hanya untuk dirinya

lagu rindu ini ku ciptakan
hanya untuk bidadari hatiku tercinta
walau hanya nada sederhana
izinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan...


THE END

0 komentar:

Posting Komentar