Sabtu, 12 Maret 2011

Adakah Yang Sempurna ?? (part 3)

Dalam setiap sujudku, ku hambakan diriku pada-Mu Sang Pemilik Kehidupan.
Dalam setiap helaan nafas, ku pasrahkan jalanku pada-Mu,
ku tasbihkan puja dan puji untuk Engkau Dzat Yang Maha Sempurna.
Dalam untaian setiap doa, aku tidak ingin meminta banyak padamu,
hanya kesembuhan.
Hanya kesembuhan, ya Allah.

***


"maaf kak, tapi aku. . . .tidak tau bagaimana caranya meminta maaf pada Acha dan mengajakannya berbaikan." kata Ozy, polos.

Sekilas aku bertukar pandangan dengan Rio, dua detik berikutnya tawa kami sudah menjadi pusat perhatian, apalagi sebelumnya Rio sampai memuncratkan minumannya saat mendengar pengakuan Ozy.

"ya ampun Ozy. . . dimana sisi romantismu sebagai pria. Mengajak baikan saja bingung begitu. Coba ceritakan bagaimana dulu kau meminta Acha menjadi pacarmu, aku jadi penasaran." pinta Rio.

"nothing special kak Rio. Aku hanya menelepon Acha dan memintanya jadi gadisku, dan ya. . . Acha langsung meng-iyakan permintaanku." jelas Ozy dengan tampang super duper polos seperti anak kucing yang minta dielus.

"ckck, bisa-bisanya Acha menerimamu." celaku.

"memang pada dasarnya Acha itu sederhana Fy, tidak sepertimu." ledek Rio.

"apa maksudmu?" tanyaku seraya mengangkat daguku tinggi-tinggi.

"hhehe, hanya bercanda Fy." jawab Rio terkekeh, "tidak perlu khawatir, nanti ku bantu, Zy." tawar Rio.

Ozy mengangguk setuju.

"ya sudah, ayo kita pulang Fy, aku bisa digorok ayahmu kalau dia tau kau sudah kelayapan." rio segera bangkit, mendorong kursi kayu berdetail rumit yang tadi didudukinya. Tubuh jangkungnya langsung menutupi sisa-sisa sinar mentari yang tadi terpantul lembut lewat jendela-jendela tinggi berkusen kayu cantik dengan ukurin bunga-bunga kecil.

"ayo !!" Rio mengulurkan lengannya kearahku.

"kami duluan ya Zy" pamitku, terlihat Ozy tersenyum dan mengangguk.

Tak lama, kini aku dan Rio telah berjalan beriringan, meninggalkan cafè Lavontte, menyusuri trotoar yang dipenuhi penjajak makanan kecil. Dari kue-kue basah dan kering aneka jenis, gorengan, es dan sebagainya.
Aku mengedarkan pandangananku. Diujung jalan sana, terlihat seorang gadis berusia sekitar 5 tahun merengek menarik-narik ujung baju ibunya. Ia menunjuk-nunjuk kedai kecil pedagang coklat yang berdiri tak jauh dari sana. Aku tersenyum kecil, gadis kecil itu tak beda jauh dengan Ify kecil yang juga akan langsung menangis saat permintaannya tak dipenuhi.

Yeah !! Aku rindu masa-masa itu, masa kecil yang indah tanpa beban. Ternyata aku belum siap memilih jalanku sendiri, belum siap beranjak dari rengkuh hangat seorang ibu, belum, aku belum siap, aku belum siap menjadi dewasa.

Pandanganku kembali menyapu keadaan disekilingku, sampai akhirnya bola mataku terpaut pada sepasang kekasih yang tengah menautkan jari kelilingkingnya. Mereka berdiri dibawah pohon flamboyan yang sedang tak berbunga. Sepertinya mereka baru saja mengikrarkan suatu janji.

Emmh, melihat sepasang kekasih itu, sepertinya jadi ada yang kurang. Tapi apa ya??

Oh itu dia yang kurang, Rio.
Kenapa dia berjalan mendahuluiku, kenapa tangannya hanya beranyun disisi tubuhnya? Tidak menggandengku seperti biasanya.

"RIO. . ." panggilku, aku melihat Rio menoleh sekilas, tapi ia tidak mengentikan hentakan langkah dari kedua kaki panjangnya.

"kok kamu ninggalin aku sih?" rajukku.

"mobilku terparkir lumayan jauh dari sini Fy. Kalau tidak cepat, kita bisa kemalaman."

"memang sejauh apa sih? Ada dari sini ke Prancis atau dari sini ke Kanada." tanyaku dengan nada kesal.

Rio diam tak menjawab, masih tetap berjalan cepat dengan kedua tangan bersembunyi pada saku jeansnya.

Aku tau, ini bukan Rio ku. Atau  ini memang Rio, tapi ia malu berjalan denganku?
Ya. . .pasti Rio malu. Pria setampan dia berjalan membawa gadis beruam merah, dengan rambut menipis dan kedua pipi yang gembil, memang sangat kontras.


dan kini,
Mata itu berkilat dengan binar teduh yang meredup.
Keteguhan pun terguncang, melahirkan percik keraguan.
Masihkah sama yang lalu dengan yang sekarang harus terjalani?
Sebentuk hati itu, masihkah disana bertulis namaku??


***

air dari selang panjang itu mengalir kecil, menyentuh halus daun-daun bunga hias bunda. Gemericik airnya, saat menyentuh rumput ataupun yang bercipratan sedikit ke tubuhku, membawa efek dingin yang menyejukkan.

"Cha, ayolah !!" teriakku dari luar, masih sambil menggoyang-goyangkan selang air ditanganku.

"kasian Ozy, sudah berlumut pasti dia menunggu dibelakang." komentar Rio yang asik duduk diberanda rumahku, bersama majalah flora ditangannya.

"ayo kak, aku siap. Kita hunting fotonya dipantai aja ya kak, aku pengen motret sunset." cerocos Acha yang baru muncul dari dalam rumah.

"kalau begitu, tolong taruh pot ini dulu ya Cha, dihalaman belakang, sebentar." pintaku.

"baiklah." Acha menurut, ia segera mengangkat pot kecil berisi tanaman mawar yang berbunga hanya satu, dan sejurus kemudian ia sudah berbelok ke halaman belakang. Aku dan Rio segera mengekor dibelakang berharap akan mendapatkan adegan-adegan romantis seperti dalam film-film, secara cuma-cuma.

Cantik. . .
Ingin rasa hati berbisik
untuk melepas keresahan dirimu.

Cantik. . .
Bukan ku ingin mengganggumu
tapi apa arti merindu, selalu

walau mentari terbit diutara
hatiku hanya untukmu

ada hati yang termanis dan penuh cinta
tentu saja kan ku balas seisi jiwa
tiada lagi
tiada lagi
yang ganggu kita
ini kesungguhan
sungguh aku sayang Acha. . .


Acha tersipu malu, bukan karena lirik lagu yang terus mengalunkan satu kata yang membuat semua wanita melayang, cantik. Bukan, bukan karena kata itu. Acha sudah terlalu sering mendengar kata itu terlontar untuknya, tapi sorot mata dan senyum Ozylah yang membuat darah Acha merambat naik hingga memulas kedua pipinya yang kini merah merona.

Ingin ku berjalan
menyusuri cinta
cinta yang abadi
untuk selamanya

ada hati yang termanis dan penuh cinta
tentu saja kan ku balas seisi jiwa
tiada lagi
tiada lagi
yang ganggu kita
ini kesungguhan
sungguh aku sayang Acha. . .

Ini kesungguhan
sungguh aku sayang Acha. . .

Setelah lagu yang dinyanyikannya usai, baik Ozy maupun Acha malah masih saja saling diam tersipu-sipu.

"hai Cha. . ."

Gubrak !!

Setelah sekian lama aku berjongkong sembunyi disini, sampai kakiku kesemutan dan ozy hanya bilang 'hai'.

P-A-Y-A-H

"hai" balas Acha tak kalah singkat dengan sapaan Ozy sebelumnya.

"rasanya aku ingin mencubit keduanya, setelah ini." gerutuku yang ditanggapi senyum simpul oleh Rio.

"mmh, maaf ya Cha, Ozy gak bisa maen gitar, jadi ya. . .gitu deh, gak pake gitar-gitaran, nyanyi aja." Ozy menggaruk-garuk kepalanya, "oh iya, ini buat Acha." Ozy menyerahkan beberapa tangkai mawar putih yang diatur indah dalam sebuah vas dari bambu -lagi-.

"lho kok masih pada kuncup gini, Zy?" protes Acha.

"sengaja Cha, supaya kita bisa sama-sama melihatnya tumbuh dan merekah. Seperti perasaan kita. Acha mau kan menanam dan merawat lagi, apa yang pernah tumbuh diantara kita? Agar lekas merekah dan bisa kita banggakan pada dunia. Mau kan Cha?"

aku terkekeh pelan. Jadi kata-kata ini toh yang dipelajari Ozy dari Rio.

"akh, Ozy gak ada inprovnya sama sekali. Percuma saja aku mengguruinya seharian." gerutu pria yang juga ikut berjongkok disisiku.

"kamu mengerti maksudku kan Cha?" suara Ozy terdengar kembali.

"apa aku terlihat begitu bodoh Zy, sampai tidak bisa memahami ucapanmu? Tentu saja aku mengerti. Intinya kau menyayangiku dan ingin berbaikan denganku, begitu bukan?" aku bisa menangkap nada riang pada setiap getar lembut suara Acha, wajahnya mulai terangkat memandang menantang pada pemuda yang sedang tersenyum santai didepannya.

"PD sekali, kamu?" Ozy menautkan kedua ujung alis hitamnya.

"ayolah akui saja, toh aku juga menyayangimu." desak Acha.

"ecie, cie. Cah ayu ini sudah dewasa rupanya, sudah mengerti sayang-sayangan toh." aku menyela.

Sungguh, sendi-sendiku mulai terasa sangat nyeri berjongkok terus, jadi ku putuskan segera keluar dari tempat persembunyianku.

"kak, aku mau bilang makasih nih sama guruku, mana dia?" tanya Ozy, celingukan.

Ya aku tau yang dimaksud guru itu adalah, Rio.

"lho, kemana dia, tadi ada disini, disampingku." aku juga ikut celingukan, memutar leherku beberapa derajat ke segala arah. Sampai kedua mataku kompak mendapati sosok Rio berjalan kearahku dengan tangan kiri yang disembunyikan dibalik punggung dan tangan kanan yang jari telunjuknya dikulum dalam bibir.

"darimana kau?" tanyaku heran.

"mengambilkan ini untukmu." Rio mengangsurkan setangkai mawar dengan 7 helai daun yang tumbuh pada batangnya, kelompak merah bunga itu bertumpuk indah.

"mawar itu tadinya putih, kau tau? Tapi terkena darah dari jariku jadi merah begitu." aku terkekeh demi mendengar ucapan Rio barusan. Berlebihan sekali.

"sepertinya aku kenal bunga ini." aku memgamati setangkai mawar itu.

"benarkah? Kau sudah berkenalan dengannya Fy? Sejak kapan kau bisa bicara dengan bunga."

aku mengerucutkan bibirku, "huu, bukan itu maksudku, ini sepertiii. . ."

"bunga bundamu? Hhehe, memang itu bunga bundamu Fy. Aku takut kamu iri pada Acha, jadi aku ambilkan untukmu."

"dasar Mario Stevano Aditya Maling." cibirku.

"enak saja maling. Aku tidak mencurinya, aku sudah meminta izin pada pemiliknya, bundamu." sahut Rio tak mau kalah.

"kalau begitu kau pelit. Maunya cari gratisan, sampai setangkai bungapun kau tak mau membelinya."

"daripada kamu, mengambil sesuatu dariku, tapi sampai sekarang tidak kamu kembalikan?"

"apa? Aku tidak merasa mengambil apapun darimu."

"oya?"

"iya."

"lalu bagaimana dengan hatiku. Kau mengambilnya, tapi tak pernah kau kembalikan."

pipiku memerah mendengar kata-kata rio barusan, rasanya darahku langsung berkeduri dikedua pipiku, maluuu sekali.

"kalau yang itu tentu tidak akan pernah aku kembalikan." jawabku singkat.

"oke lah. Tak apa, asal kau jaga baik-baik ya?" pesan Rio.

Dan tertepis sudah. Dugaanku kemarin sore, perihal berubahnya Rio, kini kandas tak berbekas.
Dia tetap Rio, tetap pangeranku.

***

Deru ombak Parang Tritis memang selalu menuai pesonanya tersendiri. Gemuruh air yang membentur karang sebelum bertepi dilandainya pasir pantai, terdengar menakutkan sekaligus mencengangkan. Ah. . . Tuhan memang terlalu pandai dalam mendesain setiap detail ciptaannya, hingga tak ada secuilpun yang bisa dicela.

Lazuardi langit mulai meluruh berganti senja dengan jingga keemasan yang memayungi ufuk barat. Sang bola langit juga nampaknya mulai memerah pertanda lelah dan siap berpulang.

Burung-burung kecil yang terbang menyusuri langit sore, hanya terlihat seperti garis-garis hitam yang berkelebatan, tanpa arah, tersesat dalam arak-arakan awan kelabu.


Mataku tak lagi fokus pada bacaan ringan ditanganku. Sebuah buku cerita fantasi "Harry Potter and The Deathly Hallow" karya penulis dengan jemari ajaib, J.K Rowling, sejak tadi telah aku tutup.

Pandanganku kini sibuk menelusuri sisi pantai, lalu berhenti pada air biru kehijauan yang bergerak tenang penuh misteri.

"aaarhh" erangku, aku mulai mengurut-urut kembali keningku saat tiba-tiba denyut hebat menyerang kepalaku. Ku putuskan untuk segera bangkit menyusul Rio, Acha dan Ozy yang masih asik memilah objek-objek indah yang bisa diabadikan dalam jempretan camera.

Limbung. Itu yang aku rasakan saat kedua kakiku mencoba menopang tubuh ini, padahal desau angin yang menerpaku, tak seberapa besar.

"huuh." aku mendesah, "hai penyakit sialan. Bertenggang rasalah barang sebentar. Bisa-bisanya kau menderaku disaat berlibur seperti ini." gerutuku dalam hati.

Masih dengan memegangi kening, ku percepat gerakan kedua kakiku, buliran-buliran pasir mulai menyusup lembut, menyentuh telapak kaki yang tak beralas.

Semakin dekat dengan lautan bebas, angin terasa semakin kasar menerpa wajahku, tidak lagi bertiup halus seperti saat memainkan anak-anak rambutku, dibawah saung-saung kecil tempat aku duduk tadi.

"Yo," panggilan pertamaku ini sepertinya kalah saing dengan deru hantaman ombak yang tidak suka dengan kegagahan batu karang, "RIO. .." ku ulangi memanggil Rio dengan suara lebih kencang. Pemuda yang merasa bernama Rio itupun menoleh dan berjalan kearahku.

Sebelum sempat berbicara sepatah katapun, dengan cepat Rio melepas jaketnya dan menyampirkannya dipundakku.

Lagi-lagi aku dibuat tersipu dengan perhatian yang Rio tunjukkan.

"kenapa kemari Fy? Disini anginnya sangat kencang." tanya Rio, seraya meraih beberapa pucuk rambutku dan menyelipkannya kebelakang telingaku.

Huh, Rio. Berhentilah memperlakukan aku seperti ini, atau aku akan lupa memuja Tuhanku, karena hati ini terlalu sibuk memujimu.

"aku mau pulang Yo." lirihku, pelan.

"apa Fy? Kenapa? Bicaralah yang keras." pintanya, agar aku mengulangi ucapanku.

"AKU INGIN PULANG RIO. . ." teriakku, Rio malah membalasnya dengan senyuman tipis.

"hhehe, tidak perlu sekeras itu juga, Fy. Tapi apa kamu tidak ingin melihat sunset dulu?"

aku menggeleng. Aku tidak ingin melihat sunset, yang sangat ingin aku lakukan sekarang adalah melepas kepalaku, agar nyeri ini tidak lagi ku rasakan.

"lalu, Acha bagaimana, sepertinya dia masih asik?"

"antarkan saja kak Ify pulang, aku bisa pulang dengan kendaraan umum kak Rio." suara Acha terdengar seiring tubuhnya yang berjalan mendekat kearahku.

"yah, baiklah kalau begitu. Hati-hati ya, dan jangan pulang terlalu malam." pesan Rio.

"satu lagi" tambahku, "aku hanya ingin bertanya, ku perhatikan, apa ditangan kalian ada lemnya, sampai-sampai tidak terlepas sejak tadi?"

mendengar pertanyaan tidak penting yang aku lontarkan, pipi Ozy dan Acha malah memerah. Keduanya juga langsung menarik kedua tangan mereka.

Aku sempat terkekeh.

"Fy, jahil sekali sih." komentar Rio.

Sejurus kemudian aku dan Rio sudah berjalan menjauh, membelakangi garis semu pemisah langit dan laut yang kini melintang semakin jelas.

"kau baik-baik saja, Ify?" Rio akhirnya membuka pembicaraan, setelah 5 menit berlalu tanpa suara dalam mobil yang melaju melewati barisan pohon kelapa yang melambai mengucap selamat tinggal.

"ada yang sakit?" lanjutnya terlihat khawatir.

"apa aku terlihat sedang sakit?" tanyaku dingin, sejujurnya aku sedang bergulat dengan sakit yang kini berpindah bergolak dalam perutku, dan aku sama sekali tidak ingin ditanyai apapun dan oleh siapapun.

Rio lagi-lagi tersenyum simpul, tanganlah terulur menyentuh keningku, "siapa yang memeras keringatmu? Sampai bercucuran begini."

"penyakitku Yo, si Lupus-Lupus itu lho, apa kau kenal?" jawabku, dalam hati, karena pada kenyataannya bibirku tak bergerak sedikitpun.

Dan detik-detik berikutnya kembali terlawati dalam diam.

"apa kau sudah mengajari adikku memotret dengan baik, Yo?" kataku, tiba-tiba.

"hhaha, tentu saja belum. Kamu tau sendiri Fy, kemampuan memotretku juga standart." jawab Rio merendah, seseorang yang hasil jepretannya pernah mendapat penghargaan saat diperlombakan pada tingkat nasional, tentu tidak bisa dibilang berkemampuan standart, bukan?

"oh, iya aku baru ingat Fy. Ini. . ." Rio menyerahkan selembar brosur dengan tulisan-tulisan putih yang berentet membentuk sebuah pengumuman, gambar alat-alat musik juga turut membingkai tepian kertas berwarna coklat mengkilap itu.

"itu dari pamanku, acara pentas musik tahunan yang di adakan perusahaannya untuk menggalang dana, yaa. . .semacam baksos lah, tapi lebih terorganisir. Kamu mau ikut mengisi acara Fy??" Rio menjelaskan perihal brosur itu, sesaat setelah aku melempar pandangan penuh tanya kearahnya.

"permainan pianomu bagus, dan sudah saatnya kau berani bermain didepan umum." saran Rio.

"asal kau tau Rio, aku sama sekali tidak berbakat dalam bidang musik." jawabku masih dengan nada yang dingin.

"hanya orang bodoh yang tidak menyadari bakat bermusikmu, Fy"

"berarti menurutmu aku termasuk orang yang bodoh?"

"aku tidak bilang begitu, kecuali ya, kalau memang kau merasa bodoh"

"Fy, bagaimana mungkin kamu tidak berbakat, dalam waktu beberapa bulan belajar memainkan piano, kamu sudah mahir, bahkan sudah mengusai permainan musik-musik klasik. Apanya yang tidak berbakat??"

aku terdiam, tidak begitu peduli pada semua yang Rio katakan. Aku hanya menatap lurus kedepan, mengamati jalanan didepan sana yang sudah  memasuki komplek perumahanku.

"ayolah Ify, ikut saja. Anggap saja cari pengalaman, kita masih muda, jalan kita masing panjang, kita harus mencoba banyak hal. Sebelum memutuskan mana yang terbaik untuk kita tekuni nantinya."

apa tadi Rio bilang?
Jalan kita masih panjang?
Jalanmu mungkin masih sangat panjang Yo, tapi aku??
Bahkan mungkin sekarang, satu atau dua langkah lagi aku akan segera sampai diujung perjalananku.

"lagi pula itu acara galang dana Fy, uang yang terkumpul nantinya akan disumbangkan pada penderita lupus.Apa kau tidak ingin berpartisipasi?"

"lupus??" tanyaku, pelan.

"iya Fy, lupus. kau tau Fy, aku tak menyangka kalau didunia ini penyakit mengerikan semacam itu benar-benar ada, kalau kemarin kau ikut denganku mengunjungi para odapus -penderit lupus- pasti kau sudah menangis miris melihat mereka."

aku tersenyum masam.
Sepertinya penyakit yang harus ku akrabi ini, masih sangat asing dan aneh bagi Rio. Sekarang, bukan hanya ragu, tapi keyakinan itu terpupuk subur, Rio, dia tidak akan bisa menerima aku dan Lupus yang bersarang nyaman ditubuhku ini. Selain kebebasan yang melayang, cepat atau lambat Rio
juga akan pergi dariku, itu pasti.
Huuuuffh, mengingat semua kemungkinan itu, sakit yang mendera tubuhku terasa beribu-ribu kali lipat, makin menyiksa.

"aku sampai bergidik melihat mereka, ngeri sekali. Bahkan yang sudah parah, mereka menyerupai monster, kulit mereka terkelupas, gendut dan bot--"

"CUKUP RIO, CUKUP. Penderita lupus juga manusia, kenapa kamu berbicara, seolah-olah mereka itu sampah yang menjijikkan?" aku meradang. Oke, aku tau Rio tidak bermaksud menyinggungku tapi salahkah bila aku merasa tersakiti, mendengan cibiran Rio terhadap mereka yang sependeritaan denganku??
Aku sedih, aku marah.

"aku tidak bermak--"

"turunkan aku disini." pintaku.

"Fy, maaf bila kata-kataku tadi salah. Tapi aku tidak mungkin menurunkanmu disini, apa nanti kata ayah bundamu."

"aku akan membuat alasan yang ku jamin tidak akan mengecilkan citramu sedikitpun didepan mereka. Sekarang cepat hentikan mobilmu."

"Fy, aku tidak mung--"

"RIO-AKU-INGIN-TURUN." ntah sudah berapa kali, dengan tidak sopan aku memotong kalimat Rio.

"kau ini kenapa sih Fy? Jangan keras kepala seperti itu, aku tidak suka." cela Rio.

"kalau kau tidak segera menghentikan mobilmu, aku akan lompat." ancamku.

Perlahan mobil Rio terhenti, tanpa sepatah katapun aku segera keluasr dan membanting pintu mobil, dengan kasar.

"berhentilah mengikutiku, Mario." perintahku. Ntahlah sudah berapa kali aku membentak Rio, selama satu hari ini. Padahal sebelumnya, tidak pernah ada suara-suara bernada tinggi, yang keluar dari mulutku ataupun Rio.

Aku sudah sangat berang, setelah berlari kecil selama beberapa menit, mobil Rio masih terus saja membuntutiku.

"jangan mengikutiku lagi, kau dengar?"

"tapi aku mengkhawatirkanmu Alyssa, kau baru sembuh dari sakit." jawab Rio yang telah keluar dari mobilnya.

"aku tidak butuh kekhawatiranmu, ingatanku masih cukup kuat untuk mengingat jalan pulang." balasku tak kalah tegas dengan pernyataan Rio sebelumnya.

"dan satu lagi. Sekolah kan mulutmu, agar tidak bicara sembarang."

aku membalikkan tubuh dan segera mempercepat ritme ayunan kakiku. Meninggalkan Rio, yang kuyakini masih terdiam memaku diri. Maafkan aku Rio, aku tau kamu bingung. Tapi aku tidak terlalu pandai menyembunyikan emosiku. Maaf Yo, kalau kata-kataku akan sulit membuatmu terlelap nanti malam. Maaaff.

Dalam naungan langit keabuan,
tangis galau itu semakin nyata.
Rasanya gelembung-gelembung alveolusku tidak lagi membawa udara, tapi mengangkut batu-batu besar yang memenuhi rongga dadaku. Sesak, sangat menyesakkan.

***

Sepertinya dokter Aiman benar, aku harus mulai terbiasa dengan tempat mengerikan ini. Apalagi, kalau bukan rumah sakit. Belum genap 3 bulan aku menikmati suasana rumah, sekarang aku harus kembali terbaring dikamar ini.

Entah sudah berapa banyak hal indah yang terlewatkan. Entah sudah berapa kali jingga memulas langit sore, bulan bersinar menghias malam, fajar berarak menyambut pagi, ntah sudah berapa kali bumi berotasi, dan aku masih disini, terkukung dikamar anggrek nomor 24.

Ify, gadis manis dengan kulit putih bersih, rambut lurus yang hitam berkilau, tubuh langsing dengan tinggi semampai serta gadu tirusnya yang khas, membuat ia harus terbiasa mendengar siul usil para pria saat ia berlalu.

Tapi kalau kalian bertanya, apa kabar Ify sekarang?
Hanya dua kata.

Tragis menyedihkan.

Aku tidak berlebihan, Ify yang sekarang tidak lagi seperti Ify yang dulu, sama sekali tidak.

"aarhh." lirihku.

"ekh, maaf Fy, maaf."

sendi-sendi diseluruh tubuhku kini membengkak, sentuhan sehalus apapun seringkali membuatku meringis kesakitan.

"gak pa-pa kok, kak."

kak Shilla, ya hanya ia dan Dea orang luar yang aku perbolehkan untuk menemuiku. Rio?? Aku sudah tidak bertemu dengannya sejak satu bulan lalu. Aku rasa sebaiknya, aku tidak berjumpa dengannya dulu, aku tidak siap.

Kak Shilla sekarang dengan sabar dan telaten tengah membaluriku seluruh tubuhku dengan body lotion, agar tidak terlalu kering katanya.

Kulitku bukan hanya kering, tapi juga mengelupas sedikit demi sedikit, garis-garis seperti retakan berwarna putih bercecer melintang diseluruh tubuhku. Ya, perubahan signifikan yang telah diwanti-wanti sejak dulu oleh dokter Aiman, kini benar-benar terjadi.

"kak?"

"hm?"

"kalau Ify keluar dari rumah sakit, apa kak Shilla mau menemani Ify membeli kerudung? Sepertinya Ify sudah harus mulai memakai kerudung." kataku seraya mengelus helai-helai rambut yang mulai jarang. Kepalaku rasanya tidak jauh berbeda dengan hutan-hutan di Kalimantan, gundul.

Kak Shilla tersenyum.

"rambut itu milik Allah, Fy. Tidak perlu sesedih itu kalau Allah berniat mengambilnya lagi. Dan menutup aurat itu kewajiban seorang muslimah, keputusan memakai jilbab harus didasari keikhlasan dari hatimu, bukan sekedar hanya karena rambutmu tidak seindah dulu, kamu mengerti cantik?" ujar kak Shilla, menasehati.

Kak Riko akan sangat beruntung bila berhasil meraih gadis ini. Batinku.

Kak Shilla memang gadis sempurna, paras ayunya sama sekali tidak membuatnya angkuh. Tutur katanya lembut, cerminan hatinya yang juga halus. Aku jadi ingat, dulu Rio pernah bilang, "kalau saja aku belum berpacaran denganmu, pasti ku kejar kak Shilla sampai dapat."

celetukan Rio itu, sempat membuatku cemburu setengah mati, sebelum akhirnya Rio meralat pernyataan itu, dengan berkata, "hanya bercanda, Fy."

hm. Ku rasa kak Shilla memang pantas untuk dikejar sampai dapat. Tipe wanita sepertinya mungkin hanya 1 diantara seribu.

"Fy, kemana Rio? Aku tidak pernah melihatnya mengunjungimu, apa kalian. . .."

"aku dan Rio, baik-baik saja," selaku, " lihat saja, kakak pikir darimana buket-buket bunga itu?" aku menunjuk beberapa buket bunga yang masih segar diatas meja, dengan daguku.

Ya, walau kularang untuk menemuiku, tapi Rio selalu menitipkan rangkaian bunga-bunga cantik pada Dea, untukku.

"oh,"

"memang kenapa kak, tumben menanyakan Rio?"

"akh, bukan apa-apa, hanya bertanya Fy."


drrt.drrt.drrt

ponselku bergetar, gambar amplop kuning menari-nari pada layar LCDnya.

1 new message

from : Kak Riko

siap sist.

Aku sudah mengerti maksud dari pesan singkat yang dikirimkan kak Riko, tanpa menunggu lama aku langsung menjalankan peranku.

"kak, kita ke taman yuk !!" ajakku.

"ke taman? Tapi ini sudah malam Fy." tolak kak Shilla.

"justru karna sudah malam kak. Kalau pagi, siang, atau sore anak-anak kecil yang mengunjungi taman rumah sakit ini, pasti akan ketakutan melihatku."

"berlebihan akh."

berlebihan?
Tidak, sungguh, aku tidak melebih-lebihkan.
Beberapa hari yang lalu saat aku diajak jalan-jalan oleh bunda ketaman, ada dua orang anak kecil yang langsung bersembunyi dibalik punggung ibunya ketika melihatku, seperti mencari perlindungan dari sosok mengerikan yang siap menyerang mereka. Aku juga menangkap basah, beberapa ibu hamil yang langsung mengelus perut dan bergumam 'amit-amit'.

Oke. Aku tidak mau peduli, sama sekali tidak ingin peduli. Tapi melihat bunda yang mengelus dadanya berulang kali dengan mata yang berkaca-kaca, membuatku jadi ikut menangis.

"Ify yang sabar ya sayang, Ify putri bunda yang kuat." itu yang selalu bunda ucapkan, biasanya disertai dengan gerakan menyapu air mata dipipiku.

Ah, tuhan, setelah fisikku menyerupai peri buruk rupa, masih kurangkah sabarku?
Oh, tidak-tidak, bukan peri buruk rupa, itu terlalu manis, tapi monster, ya itu lebih cocok untukku.

Sendi-sendiku membengkak, membuat berat badanku meningkat drastis, rambutku rontok, ruam-ruam diwajahku semakin banyak belum lagi kulit-kulitku yang busik *jangan dibayangin plis, kasian Ifynya*, benar-benar sebelas dua belas dengan monster.

"heii, kenapa bengong?" suara kak Shilla membuyarkan lamunan singkatku.

"ekh, hhehe. Bagaimana kak? Mau kan mengantarku ke taman?"

pertanyaanku hanya dibalas anggukan kecil dari kak Shilla. Ia segera membantuku untuk bangkit dan mendorong kursi rodaku menuju taman.

***

diluar, malam memang sangat indah. Bintang-bintang kecil saling berkedipan memberi isyarat antara yang satu dengan yang lain, agar lekas mengucap selamat malam, pada seluruh penghuni bumi. Lengkungan bulan sabit terlihat muncul malu-malu mengusik sisi romantis dari alam. Semilir angin mulai bertiup lembut, membelai pucuk-pucuk cemara yang ditanam rapi mengelilingi sisian taman. Daun-daun juga mulai terlihat asik bergesekan satu sama lain. Binatang-binatang malam pun sepertinya tidak mau kalah, ikut bernyanyi melantunkan derik-derik y6ang khas bernada cinta. Ah, kak Riko tidak salah memilih malam ini untuk menyampaikan apa yang telah lama tak tersampaikan dalam hatinya.

Kami berdua -aku dan kak Shilla- sama-sama ternganga saat tiba di taman. Ntahlah apa kak Riko sudah mendapatkan Izin resmi dari pihak rumah sakit untuk merenovasi taman, menjadi tempat seindah ini.

Lampion-lampion mini dengan sinar kebiruan, digantung pada pohon-pohon besar, bersama kertas-kertas kecil berwarna keperakan yang bentuk serupa bintang. Kertas-kertas itu berkilat cantik diterpa sinar bintang asli diatas sana. Lilin-lilin mungil disebar dimana-mana, beberapa yang berukuran sedang berwarna merah hati disusun membentuk lambang love ditengah taman. Sedangkan sepanjang jalan setapak yang akan dilalui menuju lambang love itu, kata-kata aku cinta kamu dalam berbagai bahasa ditulis dalam secarik kertas dan digantung dengan pita-pita putih, belum habis rasa terkejut kami, jantung kami lagi-lagi dibuat berlompatan, dengan bunyi 'door' nyaring dari belakang, sebuah balon meletus dan mengeluarkan secarik kertas.

"berjalanlah lurus, dan kamu akan segera menemukan sebentuk hati milik seorang pemuda yang terlalu lancang menyayangimu." kak Shilla yang membaca pesan misterius itu.

"ecie, cie, kak Shilla, siapa tu? Pengangum rahasia ya?" godaku.

kak Shilla sepertinya tidak perlu repot-repot menjawabnya, karena sosok Mr.X itu telah muncul. Ia berjalan santai kearah kami, tangannya begitu lihai memetik senar-senar gitar yang dibawanya.

"Riko. ..?" aku mendengar kak Shilla bergumam, wajahnya tampak bingung.

Dengarkanlah. . .
Wanita pujaanku
malam ini akan ku sampaikan. . .
hasrat suci, kepadamu dewiku
dengarkanlah kesungguhan ini.

Aku ingin. . .
Mempersuntingmu
tuk yang pertama
dan terakhir

jangan kau tolak dan buatku hancur
ku tak ingin mengulang tuk meminta

satu keyakinan hatiku ini
aku lah yang terbaik untukmu. . .


Tidak berbeda jauh dengan Acha, yang tersipu malu dihadiahi lagu cantik dari kahitna oleh Ozy, kak Shila juga nampak tersipu-sipu. Aku baru sadar, ternyata kakakku ini juga memiliki suara yang indah. Tapi mungkin, karena faktor kedewasaan Kak Shilla terlihat lebih santai dan bisa mengontrol pipinya agar tidak bertambah merah, apalagi saat kak Riko memandanginya lekat-lekat seperti sekarang ini.


Dengarkanlah. . .
Wanita impianku malam ini akan ku sampaikan
janji suci, satu untuk selamanya
dengarkanlah kesungguhan ini


Aku ingin. . .
Mempersuntingmu
tuk yang pertama
dan terakhir

jangan kau tolak dan buatku hancur
ku tak ingin mengulang tuk meminta

satu keyakinan hatiku ini
aku lah yang terbaik untukmu. . .

Aku lah yang terbaik untukmu. . .


Kak Riko memetik senar gitar untuk nada terakhir lagu yang ia nyanyikan, seiring dengan itu alunan suara merdunya juga usai menyapa ruang dengarku.
Aku sempat mengangkat ibu jariku, saat kak Riko melirikku.

"bagus." aku menggerakkan bibirku, tanpa suara, tapi aku yakin Kak Riko pasti mengerti.

"mmh, kamu. . .suka Shilla?" tanyanya, sebentuk senyum terulas di wajah tampannya.

"suka, aku baru tau, ternyata suarumu bagus Ko." jawab kak Shilla.

"syukurlah kalau begitu."

"apa semua ini, kamu yang membuatnya?"

kak Riko mengangguk.

"untukku?"

lagi-lagi kak Riko mengangguk.

Ish, ish, ish. Seperti orang bisu saja kamu kak. Bicara dong kak, jangan sampai kau membuatku malu dan menyesal dilahirkan sebagai adikmu.

"dalam rangka apa?" tanya kak Shilla, sok-sok tidak mengerti.

"mmh, Shil, kamu. . .tau kan, mmh maksud dari lagu yang ku nyanyikan barusan?"

"ya. . .sepertinya aku tau. Tapi tentu pemahamanku dan pemahamanmu, bisa saja berbeda bukan? Jadi aku ingin tau dengan jelas, apa maksudmu menyanyikan lagu itu?"

"mmh iya, akan aku jelaskan. Tapi sebelumnya, aku minta maaf ya, kalau apa yang nantinya aku sampaikan, salah. Aku. . .mmh, aku. .."

"alaah, kak Riko lama ni. Begini kak Shilla, jadi kak Riko itu sangat menyayangimu dan ingin melamarmu. Bagaimana kak Shilla, apa kamu menerimanya?" tanyaku to the point, ku rasa kalau menunggu kak Riko yang bicara, akan sangat lama. Sampai matahari terbitpun, belum tentu masku ini sudah berani jujur pada kak Shilla.

Setelah perkataanku tadi selesai, aku tidak mengangkap raut kaget sedikitpun dari wajah cantik kak Shilla. Ekspresinya masih sama, kalem dan tenang.

"mmh, benarkah yang Ify jelaskan itu , Riko?" tanya kak Shilla, kak Riko LAGI-LAGI hanya menggangguk.

"heii Kori jelek, aku ada didepanmu, bukan dibawah sana. Kenapa sih kamu menunduk terus?"

aku terkikik menahan tawa. Rasakan kamu, kak. Makanya jangan terlalu sering bergaul dengan ensiklopedi dan buku-buku tebal. Sekalinya dihadapkan dengan perempuan, malah ketar-ketir sendiri.

"jadi mmh, apa jawabanmu, Shil?" suara kak Riko akhirnya terdengar kembali.

"jawaban apa? Aku rasa sejak tadi kamu tidak bertanya apapun kepadaku. Bagaimana aku bisa menjawab?"

"oh, ayolah Shilla. Kamu kan tau aku tidak pandai mengutarakan perasaanku. Aku rasa kamu cukup cerdas untuk memahami apa yang dikatakan Ify."

"mmh, tapi Ko, aku rasa kamu sudah tau jawabannya. Kamu sahabatku dan ya. . .sepertinya aku tidak bisa menerima lamaranmu."

hatiku mencelos.

"yaah, kak Shila. . .. Memangnya kenapa kak, kalian cocok sekali lho. Kak Riko juga pria yang baik, aku akan sangat senang, kalau kakak menjadi kakak iparku, ayolah kak Shilla. . ."

"maaf Ify. Aku tau, kakakmu pria yang baik, bahkan dia cukup sholeh untuk ku jadikan imam, tapi--"

"apa ada pria lain kak?" potongku. Ya, aku rasa memang ada pria lain yang telah lebih dulu mengikat hati Kak Shilla, karena Kak Riko hampir memiliki semua kriteria pria idaman, jadi sepertinya tidak ada alasan untuk menolaknya, apalagi dengan alasan klise, seperti persahabatan.

"sudahlah Fy, tidak perlu mendesak Shilla seperti itu." sela kak Riko, aku tau dia juga pasti merasa sangat kecewa, "aku hargai keputusanmu Shilla, dan maaf kalau aku terlalu berani berharap lebih padamu..."


***

0 komentar:

Posting Komentar