Sabtu, 12 Maret 2011

Dua Sisi (cerpen)

Ini kisah biasa, hanya tentang kebahagian dan kesedihan.
Dua sisi yang berbeda dari dunia.
Kebahagian dan kesedihan, k
amu sama sekali tidak diberi kuasa untuk memilihnya.
Dan saat keduanya datang menghampirimu secara bersamaan tak perlu sibuk memilih harus tersenyum atau menangis.
Yang perlu kamu lakukan hanya satu, bersyukur.
Hanya ber-syu-kur.

***

Ify menjemput paksa, atau menculik rio lebih tepatnya, dari mimpi indahnya. Tidak memberi Rio pilihan selain harus segera beranjak dari dekap hangat selimutnya, menuju alam diluar sana yang masih sarat akan dingin. Dengan tergesa keduanya berlari menuruni titian tangga kecil, dari batu bata didepan rumah. Menyebrangi sepetak kebun singkong, melewati beberapa baris pohon pisang, membiarkan embun menyusup melalui pori-pori kaki yang tak beralas. Kota bandung saat dini hari, Hm, dingin tentu saja. Ditambah guyuran air langit yang berkeracak tiada henti sejak semalam.

"aduh, Fy. Kamu mau ajak aku kemana sih?" keluh Rio.

Memang kontras dengan Ify yang begitu semangat, Rio masih saja merem-melek, tidak rela saat Ify mengetuk pintu kamarnya dengan gaduh, lalu secara paksa menggiring Rio entah kemana ini??

Ify mengeratkan gandengan tangannya pada Rio, saat angin tiba-tiba berhembus kencang.

"sampaaiii" seru Ify riang, setelah sedetik sebelumnya menghentikan langkah kakinya.
"udah nih, gini doang?" kata Rio, kesal.
"ikh, makanya melek dulu. Liat tuh." Ify menepuk-nepuk pipi Rio dan mengarahkan wajah Rio pada tempat yang ia maksud.

"WAAUW. . . indah banget. Kayak--"
"--negri diatas awan." seru Rio dan Ify, kompak.

Keduanya menyunggingkan senyum kecil, mengedarkan pandangan menikmati keindahan yang tengah ditawarkan alam secara cuma-cuma. Ini sangaaat indah. Dari dataran yang cukup tinggi, tempat Rio dan Ify berdiri, nampak hamparan peradaban kota Bandung yang tengah diselimuti kabut.

Selubung putih itu, berarak ringan mengitari bangunan-bangunan segala bentuk yang terlihat temaram tanpa terpaan bulan. Sang kabut sepertinya sangat betah membuai insan-insan kota ini dalam mimpi indah, mengantarkan mereka mengunjungi dunia mimpi, setelah seharian berkutat dengan dunia nyata yang selalu menuntut kerja keras. Meski fenomena kabut yang sudah jarang itu, sangat mengagumkan. Tapi rasa dingin yang mendera kulit juga tentu tidak bisa diabaikan. Rio yang hanya mengenakan piyama tipisnya, mulai menggigil, giginya beradu menimbulkan bunyi gemeletuk kecil dalam mulut, kulitnya juga mulai kisut memucat.

"dingin ya?" tanya Ify khawatir.
"iyalah Fy, kamu sih maen culik aku gitu aja, jadi gak sempet pake jaket." gerutu Rio.
"maaf deh. Ya udah pulang aja yuk." Ify terlihat menyesal.

"hhoho, tidak bisa. Foto dulu dong."
"huh, kamu itu, kebiasaan deh, giliran kamera aja gak pernah ketinggalan." ujar Ify, sambil mencubit lengan Rio.
"hhehe. Reflek Fy, tadi main tarik aja yang ada disamping aku. Abis kamu bangunannya gak kira-kira sih. Ekh, ayo cepet foto dulu, kamu disana deh." Rio mulai menunjukkan Ify, view yang bagus untuk jadi sasaran bidik kameranya.
"emang bagus Yo. Ini kan masih gelap." ujar Ify ragu, melihat langit yang masih berwarna keabuan.
"kalo yang foto mario sih pasti bagus. Udah cepet kamu sana."
"aku? Gak akh, bangun tidur gini masa difoto-foto segala. Foto pemandangannya aja."
"yah. Ayolah Fy." rajuk Rio, memelas.
"gak mau." tegas Ify.
"tetep cantik kok, masa kamu tega sih mengecewakan pacarmu yang baik hati dan tidak sombong ini. Ya,ya,ya, mau ya?" desak Rio, sambil mengeluarkan senyum andalannya.

Dan sipp, selalu berhasil. Akhirnya Ify mengangguk. Senyum itu memang selalu berhasil membuat Ify leleh seketika. Rio adalah pemuda yang sudah 2 tahun ini berstatus sebagai kekasih Ify. Awalnya mereka bertetangga, tapi kemudian Rio pindah ke Manado, karena ayahnya dipindah-tugaskan. Longdistance sama sekali tidak membuat hubungan keduanya goyah, perhatian dan sayangnya Rio masih tetap bisa tersampaikan pada Ify meski berbatas bentangan laut. Keceriaan dan semangat Ify juga masih sanggup mewarnai hari-hari Rio. Hingga akhirnya, tahun ini Rio memilih meneruskan kuliah semester awanyal di Bandung. Sebelum mendapatkan apartement yang cocok, saat ini Rio masih tinggal satu atap dengan keluarga Ify.

"dih maksa banget sih, senyumnya?" goda Rio pada Ify yang terlihat kaku menghadapi lensa kamera Rio.

"senyum aja kayak biasa, senyum cantiknya Ify." usul Rio.

Ucapan Rio barusan seperti mengkomandoi kedua sudut bibir Ify yang kemudian ditarik membentuk lengkung manis yang sempurna.

Jepret. Jepret

"bagus deh, liat." Rio menyodorkan kameranya pada Ify.

Ya, lumayan. Rio memang berbakat. Background fajar dan sentuhan lembut kabut yang masih tersisa, terlihat begitu harmonis melatari objek utama potret itu, Ify.

"rio merem deh." pinta Ify.
"akh, kalo mau cium pipi gak usah pake merem segala kali Fy." Rio tersenyum jail, sambil menaik turunkan alisnya.
"yee, siapa juga yang mau cium, udah deh tutup aja matanya." balas Ify sewot.
"iya, iya. Yaelah galak bener sih, neng."
"kalo aku bilang buka, buka mata ya." Ify mendorong bahu Rio, mengarahkan tubuh jangkung itu menghadap ke timur.

"3. . . . .2 . . . . .1. . . . . Buka !!!" intruksi Ify.

Rio mulai mengerjap memisahkan bulu matanya yang tadi bertaut.

"sunrise...." lirihnya, singkat.

Ify tau betul, Rio tidak akan banyak berkomentar bila sudah di hadapkan dengan sunrise. Lengkungan setengah lingkaran yang baru muncul malu-malu diufuk timur itu memang selalu menyita perhatian pemuda ini.

"cantik kan? Bener dong Bandung itu gak kalah sama Manadonya kamu itu." ujar Ify bangga, akan tanah kelahirannya.
"iya deh, iya. Apalagi mojangnya, cantik-cantik banget deh." balas Rio, seraya memandang nakal pada gadis disampingnya.
"huu dasar genit." cela Ify.

Diam, kembali mengusik keduanya.
Menikmati desau angin pagi yang menyapu guratan-guratan fajar keemasan dikaki langit. Sinar mentari kala itu memang belum menyilaukan, tapi sudah cukup bisa dijadikan alarm bagi sang jago. Kokoknya lamat-lamat mulai terdengar bersautan dengan kicau burung yang juga mulai bernyanyi.

***

"huufh"

ntah sudah untuk yang keberapa kalinya Rio membuang nafas-nafas berat, seperti berharap cemas menjalari tubuhnya ikut terbuang bersama partikel-partikel karbon dioksida yang tadi dihembusnya. Tapi ternyata tidak semudah itu, rasa khawatir itu tetap memeluknya erat. Hari ini, telah genap 3 hari gadis yang biasa duduk manis mengisi kursi disampingnya, menghilang. Rio tak peduli lagi pada Pak Duta yang sepertinya sangat bersemangat menjelaskan rentetan rumus yang berpadu dengan angka-angka di papan tulis sana. Bahkan pada mata kuliah sebelumnya, Rio telah berhasil membuat seekor katak cacat permanen (?) dan dihadiahi nilai C oleh dosennya.

Hm, Ify ?? Kemana dia??

Rio sudah seminggu pindah dari rumah Ify, awalnya semua berjalan lancar. Ify kerap mengunjunginya, bahkan memasak untuknya ataupun sekedar membenahi apartementnya yang kadang tak terurus. Tapi sudah 3 hari ini matanya tak mengangkap sosok gadis manis itu. Berulang kali Rio menghubungi Ify, tapi nihil. Terakhir Rio menelpon rumahnya dan mamanya hanya memberi keterangan bahwa Ify sakit.

Ya. Inilah dua sisi tentang cinta. Tak jauh berbeda dengan hidup, ada sisi terindah serta sisi tersulit yang bergulir mengisi alur kisahnya.

"huufh."

Ya, mungkin sekarang sudah genap 15 kali, Rio menghela nafas, setelah hampir satu jam ia duduk disini. Rio melirik jam hitam kesayangannya, "15 menit lagi" gumamnya.

Dimenit-menit terakhir itu, Rio mencoba fokus. Paling tidak untuk mencatat materi yang telah diukir pada dua white board didepan sana.

"makalahnya kalian kumpulkan pada pertemuan berikutnya. Baiklah cukup sekian untuk hari ini. Selamat siang."

Apa itu tadi? Makalah? Makalah apa?

Rio bahkan tidak mendengar satu kalipun Pak Duta menyinggung tentang makalah. Ah, tapi ya sudahlah. Siapa peduli, makalah saja sih urusan gampang. Rio segera membereskan buku-bukunya, menyampirkan tas ke bahu, lalu berlari kearah parkiran. Ia sudah berniat akan mengunjungi Ify dirumahnya hari ini.

***

pintu berdecit terbuka, seorang pria menyeruak masuk kedalam kamar bernuansa ungu itu. Ia melirik meja disudut ruangan, lalu melandaskan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas susu yang dibawanya, diatas sana. Ruangan itu cukup gelap, padahal matahari sudah tak kurang-kurangnya melimpahkan sinar diluar sana. Tapi cahaya itu mungkin ditolak masuk oleh tirai putih yang masih tertutup. Perlahan pemuda tadi menyibaknya, kilau cahaya matahari pun segera menerobos masuk mengisi ruangan itu, menawarkan hangat atau lebih tepatnya, panas yang khas.

"eerghh" erang seorang gadis dari balik selimut bermotif bunga lavender.

"bangun, dear. Udah siang tau."

Gadis berselimut itu, Ify, segera membuka matanya. Siluet kokoh milik tubuh Rio, langsung menyapa indera penglihatannya. Rio tersenyum, memamerkan gigi gingsulnya.

"kamu apaan sih, Yo. Ngapain kamu ada disini?" ucap Ify, tak suka. Ia menarik kembali selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya.

"abis kamunya ngilang sih, aku kan kangen Fy, makanya aku kesini."
"aku lagi sakit."
"iya, aku tau. Kamu emang sakit apa Fy? Kok kamu gak bilang sama aku?"

Tak ada jawaban dari Ify, sepertinya gadis ini telas kembali menganyam bulu mata lentiknya.

"Fy, Ify. . . Alyssaaaa bangun doongg" Rio menarik selimut Ify.
"aduh Rio apaan sih, udah sana deh pulang. Berisik tau." usir Ify.
"Fy, ayo dong bangun dulu, terus makan. Kata mama kamu, kamu sama sekali belum makan dari pagi?" bujuk Rio, tak menyerah.
"terus apa peduli kamu sih Yo?" balas Ify ketus.
"ya aku peduli lah Fy, kamu itu pacar aku."
"oh gitu? Tapi sayang sekali Rio. Status itu sudah tidak akan berlaku mulai detik ini. KITA PUTUS." tegas Ify.
"Fy, kamu kenapa sih, jangan bercanda deh, gak lucu."
"aku gak bercanda, kita putus dan itu udah jadi keputusan aku."
"tapi kenapa, Fy?" suara Rio mulai terdengar putus asa.
"aku sakit, Rio. Dan aku gak mau kamu ikut sakit karena aku." suara Ify terdengar lemah, dan ntah dari mana, riak air itu mulai meluncur di kedua pipinya, "kanker darah Yo, stadium satu. Gak ada lagi yang bisa kamu harapkan dari aku. Dan aku juga gak mau saat aku pergi aku harus liat air mata kamu, aku gak mau Yo. Gak mau."

Rio terdiam sejenak, lidahnya serasa kelu, ia hanya bisa memandang lekat-lekat pada gadis yang tengah tersedu didepannya.

"rambut aku bakal rontok setelah aku kemo, aku bakal lebih kurus dari sekarang, aku gak bakal bisa lagi nemenin kamu hunting foto, aku cuma bakal nyusahin kamu, Rio."

"kamu gak bakal nyusahin aku, Fy." setelah menarik nafas panjang, dan membuangnya dengan teratur, kalimat itu akhirnya bisa terlontar dari bibir Rio yang semula terkunci, "percayalah Fy, berpisah itu bukan jalan terbaik. Semuanya akan lebih mudah kalau kita sama-sama."

Kali ini Ify yang tidak bersuara, sepertinya lebih memilih untuk jadi pendengar yang baik.

"cinta itu datang bukan untuk sebuah kesempurnaa, tapi justru cinta yang akan menyempurnakan segala yang cacat. Kita berjuang Fy, sama-sama."

"aku gak mau kamu sedih nantinya Yo."

"ayolah Fy, kankermu itu masih stadium satu. Masih besar peluang untuk sembuh." Rio mencoba memompa semangat gadisnya itu.

"stadium 1 atau 4 sekalipun tetep aja, penyakit ini bakal bikin aku mati." tegas Ify.

"Fy..."
"udah lah Yo, itu kenyataan. Dan kamu gak perlu bertahan cuma karena kasian sama aku."

"oke Fy, kalau kamu fikir sebentar lagi kamu akan pergi, kalau kamu fikir kamu lebih tau umurmu daripada tuhan. Ya sudah. Tapi aku mohon Fy, sebelum saat itu datang, sebelum kamu pergi biarin aku jagain kamu. Boleh kan Fy?" tanya Rio, halus.

Mengenal gadis ini hampir 3 tahun membuat Rio faham, bersikukuh dengan Ify, sama sekali tidak akan membuahkan kemenangan. Ify adalah gadis yang bisa dibilang, keras kepala.

Mata coklat gelap Rio, menatap teduh tepat dikedua bola mata Ify. Sambil menguatkan hatinya sendiri, Rio juga berusaha menguatkan Ify.

"kita berjuang sama-sama ya Fy, aku sama kamu. Ini bukan akhir segalanya, semua masih bisa diusahakan."

Ify mulai mengangkat wajahnya, jika tadi putus asa menguasai seluruh ruang hatinya, kita buncahan syukurlah yang mendominasi setiap jengkal dalam tubuhnya. Dianugrahi, kekasih sebaik Rio, orang yang begitu menyayanginya, keterlaluan tentu bila Ify tidak bersyukur. Dan senyum itu, mulai terpeta kembali diwajahnya.

"akh, akhirnya." desah Rio lega dalam hati, melihat senyum Ify.

"kamu janji Yo gak akan ninggalin aku sendiri? Kamu janji mau berjuang sama aku?"
"iya, asal kamu juga janji ya Fy. Jangan pernah nangis lagi. Kamu tau, air mata itu gak akan merubah apapun, cuma bakal jadi simbol kelemahan dan dunia gak akan pernah berpihak pada orang-orang lemah."

Ify mengangguk mantap.

"ya udah, kalo gitu sekarang makan dulu, mau ya?"
"mau, asal kamu mau suapin aku." pinta Ify, manja.

Rio tidak meng-iya-kan, hanya berjalan mengambil nampan yang tadi ia bawa, kemudian larut dalam aksi suap-menyuapi Ify.

Dan Tuhan selalu mengirimkan malaikat penjaganya, melalui orang-orang yang menyayangimu. Orang yang tidak akan mengulurkan tangannya saat kamu jatuh atau saat kakimu terluka, tapi ia akan dengan senang hati akan meminjamkan punggungnya untukmu bersandar sementara ia menggendongmu, keluar dari pesakitan dan keterpurukan.

***

semilir angin masuk lewat jendela yang terbuka, mengisi setiap sudut kamar bercat putih gading ini. Lazuardi langit sudah hilang beberapa menit lalu, berganti lembayung yang tadi mengantarkan mentari kembali keperaduannya. Disela-sela pergantian tugas antara matahari dan bulan, Rio tengah asik memandangi bungkusan besar dihadapinya. Sesekali tersenyum lalu bergumam, "kamu pasti suka, Fy."

Ia terus mengamati benda mati itu, sebuah bungkusan berbalut kertas kado berwarna biru laut dengan jalinan pita berwarna senada, entah apa isinya??

Kuhirup udara dan rasakan hangatnya mentari...

Nada panggil, ponselnya membuat Rio sedikit terhenyak. Dengan malas ia meraih ponsel yang layarnya telah berkerjap-kerjap sejak 20 detik lalu.

Alyssaku calling...

Rio tersenyum lebar. Benar saja, gadis itu memang selalu membuatnya bahagia. Melihat namanya saja, seluruh partikel tubuh Rio sudah langsung berlonjak riang.

"hallo, sayang?" sapa Rio.
"idih, lebay deh. Apaan sih?"
"yaelah masa gak mau dipanggil sayang sama cowok sendiri."
"hhehe, abis gak biasanya sih kamu manggil sayang, jadi berasa aneh."
"yah sekarang malah dikatain aneh"

"hhahaha, makanya jangan lebay. Ekh, kamu lagi apa Yo?"
"lagi. . .mikirin kamu."
"tu kan lebay lagi, basi deh, gombalannya gak kreatif."
"siapa juga yang gombal, jujur kali, Fy."
"masa? Boong akh, paling kamu sekarang lagi mesra-mesraan kan sama selingkuhan kamu."
"selingkuh? Ya ampun Ify, kamu tega banget sih, nuduh aku selingkuh. Aku tu gak sekeren alvin atau gabriel yang bintang kampus, mana mungkin ada yang mau aku jadiin selingkuhan?"

Ify terkikik disebrang sana, tidak menyangka Rio menganggapi candaannya dengan serius.

"hhahaha, iya, iya, Rio sayang. Orang aku cuma bercanda kok. Maksud aku selingkuhan tu, itu lho kamera kamu. Pasti kamu sekarang lagi ngelus-ngelus kamera sambil muji-muji gaje 'kameraku, kamu belahan jiwaku' gitu kan?"

"jah, masa kamu jealous sama kamera?? Ekh Fy, besok gak usah ikut ya, aku aja yang ngambil hasil tes lab, kamu."
"lho kok gitu? Emang kenapa, aku kan pengen ikut."
"soalnya aku ada kejutan buat kamu."
"tapi aku pengen ikut Yo."
"gak boleh, aku gak ngizinin kamu ikut. Besok kamu tinggal duduk manis di rumah nunggu kabar baik sama kejutan dari aku, oke."
"huh, ya udah deh."
"kalo gitu udah cepet sana istirahat, jangan lupa minum obatnya ya."
"oke, good night dear."
"night too, Alyssa...."

setelah telepon terputus Rio kembali tersenyum, lalu 'say good bye' pada bintang-bintang cantik dilangit sana dan segera menutup jendela kamarnya.

"perasaan gw, banyak banget senyum hari ini, udah kayak gak bakal bisa senyum lagi aja. Hhahaha." celetuk Rio.

Kebahagian...
Memang akan selalu memprovokasi bibir kita, untuk selalu mengulum senyum.

***

tuk-tuk-tuk

Rio memainkan ujung sepatunya, yang beradu dengar lantai datar dibawahnya. Tangannya asik memutar-mutar kunci mobil. Selain membosankan ruangan ini memang tidak menyajikan rasa nyaman secuil pun. Bau obat-obatan yang menyengat dan pasien-pasien dengan darah bercecer, benar-benar membuat Rio mual.

"Mario." tegur seorang pria penuh wibawa.

Rio mengangkat kepalanya, seorang dokter menghampirinya, membawa sebuah amplop coklat dengan berlabel nama rumah sakit, didepannya.

"ekh, Om." Rio segera berdiri menyongsong kedatangan Omnya yang kebetulan dokter di Rumah Sakit ini.
"hei, dokter muda. Udah lama nunggu?" ujar dokter Arif, sambil menepuk-nepuk pundak Rio.
"ah, baru calon Om. Mmh, gimana hasil tes lab Ify, Om?" tanya Rio.

Dokter Arif tidak menjawab, hanya tersenyum seraya mengangsurkan amplop yang tadi dibawanya.

Tanpa komando, dengan gerakan cepat, Rio segera membuka amplop itu. Matanya pun bergerak mengikuti alur tulisan yang tertera pada selembar kertas putih.

"negatif??" gumam Rio.

"human error, Rio. Ya, tidak ada manusia yang sempurna kan? Rumah Sakit pertama, tempat Ify melakukan pemeriksaan awal, mungkin melakukan kesalahan. Om sudah mengujikan sampel darah Ify dibeberapa cabang Rumah Sakit ini, dan hasilnya negatif. Ify tidak menderita kanker darah, hanya mungkin Ify tidak pernah menghabiskan obat antibiotiknya bila ia sakit. Jadi, sistem antibody-nya sedikit lemah, tapi tidak fatal." jelas Dokter Arif.

"Om....Om serius? Ini gak salah kan?" tanya Rio, tak percaya.

"seperti yang Om bilang tadi, tidak ada manusia yang sempurna. Mungkin hasil ini bisa salah, tapi 90% Om yakin hasilnya akurat. Lagi pula seperti yang kamu bilang, sebelumnya Ify sama sekali tidak mengalami gejala-gejala bagi penderita kanker darah kan?"

"ja..jadi...jadi Ify sehat, Om??" mata Rio sudah berkaca-kaca saking gembira.

Dokter Arif hanya menjawab pertanyaan Rio dengan anggukan, dan langsung saja, ribuan kupu-kupu serasa pengepakkan sayapnya dalam perut dan dada Rio.

"kalo gitu Rio bakal cepet kasih tau kabar gembira ini sama Ify, Rio permisi ya Om. Makasih Om. Makasih." Rio berkali-kali menciumi tangan Omnya itu.

"hhahaha, iya, iya. Sudah cepat sana, hati-hati ya."

Rio mengacungkan ibu jarinya, dan segera berlalu keluar dari tempat yang memang sudah ingin ia tinggalkan sejak tadi. Ia segera menuju mobilnya yang terparkir rapi bersama kendaraan-kendaraan lain di parkiran. Ia memutar kunci, dan ketika deru mesin menyala, tanpa buang waktu gas segera diinjak, mobil pun meliuk-liuk mulus dijalanan yang memang lenggang.

"dua kabar gembira, Fy." lirihya, senang.

***

Dan ini akhirnya...
Rencana-Nya,
memang sangat sulit diterka, sulit....


Ify menangis tersedu disudut kamarnya. Tangan kirinya mencengkram erat ujung bantalnya, hingga buku-buku jarinya memutih.

Isaknya sangat memilukan, menyimbolkan sedih yang tengah diderita.

"Tuhaann, hiks. Hiks.tuhaann.." ratapnya, ia menggigit bibir bawahnya hingga mengeluarkan darah, tapi kesedihannya tak kunjung mereda. Tubuh kurus Ify, kini tersandar lemas ditepi kamar yang (lagi-lagi) gelap.

"Tuhan salah bila menganggap aku cukup kuat menerima cobaan ini, kau salah Tuhan, SALAH.." protesnya, pada Sang Pemilik Kehidupan.

Mata Ify memandang nanar pada boneka beruang putih cantik yang tergeletak di sampingnya. Bulu putihnya yang lembut kini dihiasi bercak-bercak darah, ntah bagaimana boneka ini bisa selamat dari kecelakaan maut itu.

Beberapa jam yang lalu, kabar gembira perihal penyakitnya yang dianulir itu datang, tapi disertai kabar buruk, sangat buruk. Rio pergi dan tak akan pernah kembali.

Ify tidak akan bisa lagi melihat senyumnya, menatap mata coklat itu, melihat sosok manis Rio yang asik memotret, Ify tidak bisa lagi bersandar manja di bahu kokoh Rio.

Tidak, tidak akan ada lagi kejutan di hari ulang tahun Ify, tidak akan ada lagi Rio yang sering bernyanyi untuknya, tidak akan ada lagi sms-sms gombal yang membuat Ify geli.

Tuhan, bolehkan Ify menawar?
Bolehkah Ify memilih?
Rasanya di vonis kanker jauh mudah dari pada kehilangan Rio.

Rio melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ingin segera tiba dirumah Ify, tentunya. Tapi naas guyuran hujan, membuat jalanan licin, dan membuat mobil rio tergelincir menabrak pembatas jurang, serta-merta mobil Rio terjun bebas kedalamnya. Hingga detik ini, jasad Rio sama sekali belum ditemukan. Keluarga, teman dan Ify, tidak bisa memandang raga Rio bahkan untuk terakhir kalinya.

"kenapa kamu larang aku ikut Yo? Hiks, hiks, kenapa? Kenapa kamu ingkarin janji kamu Yo, kenapa kamu ninggalin aku?" Ify mulai histeris, menangis dan kembali mengacak-ngacak rambutnya.

"kamu ajarin aku berjuang, bertahan ngelawan kangker. Tapi kenapa kamu gak ajarin aku cara bertahan tanpa kamu Rio, kenapa?"

Tanpa melirik cermin pun Ify sudah tau, bagaimana keadaannya sekarang.pasti sangat kacau. Setelah menghela nafas berkali-kali, meneguhkan hatinya akhirnya Ify berani membaca secarik surat yang di gantung dengan pita putih dileher boneka beruang.

Pupil matanya mulai bergerak, menyusuri tulisan rapi rio yang terjalin disana...

Dear Ify..

Hhehe, udah kayak zaman dulu ya Fy, pake surat-suratan. Tapi gak pa-pa deh, mencoba sesuatu yang beda.

Ekh, kamu inget gak? Kamu pernah bilang, gak mau nerima apapun yang aku beli dengan uang orang tuaku. Nah, boneka beruang itu aku beli dengan hasil kerjaku sendiri Fy, sebagai guru privat memotretnya Acha, adiknya Alvin. Tau kan??

Semoga kamu suka ya, maaf kalo hanya boneka seperti itu yang bisa aku kasih buat kamu.

Mmhh.. jangan pernah nangis ya Fy, karena air mata gak akan merubah apapun, hanya akan jadi simbol kelemahan dan dunia gak akan pernah memihak orang-orang yang lemah.
Tetep semangat cantik.

NB : pencet gambar love didada bonekanya deh.

Mario.


Ify melirik dua kata sebelum nama mario dibubuhkan, 'pangeran gantengmu' tulisan itu masih bisa terbaca meski telah dihalangi 4 coretan bolpoint. Ya, itulah Rio, pemuda biasa, sederhana. Bahkan mungkin dia merasa terlalu 'biasa' untuk membubuhkan dua kata itu, pangeran dan ganteng.

Ah Rio, Ify akan sangat merindukan senyummu, tatapanmu dan kasih sayangmu yang sederhana itu.

meski bukan inginnya..
tapi Rio telah membawa separuh senyum Ify,
dan kini ia pergi, sebelum sempat mengembalikannya, dan itu sangat menyesakkan.

"Rio, hiks, Rioo."

masih dengan tangis yang berderai, Ify memaksakan tangannya bergerak menekan gambar love yang terpasang didada boneka beruangnya, dari sana, suara lembut itu mengalun, suara Rio.

Apapun yang terjadi
ku kan s'lalu ada untukmu
janganlah kau bersedih
cause everything gonna be oke.

Apapun yang terjadi
ku kan s'lalu ada untukmu
janganlah kau bersedih
cause everything gonna be oke.


Everything gonna be oke.



THE END






***

0 komentar:

Posting Komentar