Jumat, 22 Juli 2011

Rahasia Orion Part 8

Rahasia Orion Part 8
"Sisi yang Lain"

***

Shilla mengurangi kecepatan ayunan kakinya, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan avanza biru tua milik Rio. Ia menyandarkan tubuh pada kap mobil, dadanya naik-turun selaras napas yang memburu setelah dibawa berlari. Beberapa pengunjung ada yang meliriknya heran dan melontarkan umpatan saat Shilla tanpa sengaja menubruk beberapa diantara mereka. Shilla berusaha menenangkan diri, mengatur napas sambil memejamkan mata.

"Cemburu." begitu yang dibisikkan angin, ketika Shilla bertanya dalam hati, tentang apa yang sebenarnya ia rasakan. Sesak itu masih ada, tidak berkurang sedikit pun.

Detik itu juga, Shilla merasa sudah mempunyai jawaban untuk pertanyaan Alvin sore tadi.

"Lo suka sama Rio ?"

Ya, koar Shilla dalam hati. Ia menyukai Rio dan ia tidak rela melihat Rio dengan gadis lain. Entah sejak kapan, perasaan itu mulai muncul ? Mungkin sejak tangan kokoh pemuda itu menjabat jemarinya di bawah naungan bulan di desa Cihideung, dulu. Atau perasaan itu tumbuh, seiring senyum manis pemuda itu yang mengiringi Shilla menjalani hari-hari barunya ?
Entahlah. Yang Shilla tahu saat ini, perasaan apapun yang Shilla punya, harus segera Shilla kubur, karena Rio telah memilih. Dan pilihan pemuda tampan itu bukan jatuh pada dirinya, bukan Shilla.
Shilla menghirup udara malam, membiarkan dinginnya yang khas memenuhi rongga dada, hingga tidak ada lagi sudut yang terasa kosong dan hampa. Ia menegakkan tubuh, mencoba menarik kedua sudut bibirnya, dalam hati berdoa semoga senyumnya tidak terlihat sangat aneh. Dengan tangan kanan, disisir tatanan rambutnya yang sedikit berantakan.
Adakah yang bisa diperbuat untuk cinta yang tak berbalas ?
Jawabannya, tidak. Dan Shilla berusaha menerima kenyataan itu.

"Hosh.. Hosh.. Hosh.. Hhh Shil," masih dengan napas yang terengah, Rio memanggil Shilla. Ia membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut, "Shil hhh, kenapa sih ? Lo kok lari ?" tanya Rio sembari menghampiri Shilla.

"Emm, nggak pa-pa kok Yo, maaf ya kamu sampai harus lari-lari." Shilla tersenyum tipis untuk meyakinkan Rio.

Rio tidak mengerti makna dari tatapan Shilla yang tidak biasa. Yang ia tahu, gadis itu sedang bersedih, entah karena apa, "Lo nggak bakat bohong deh Shil," Rio menyentuh dagu Shilla dengan ibu jari dan telunjuknya, agar gadis cantik itu menatapnya, bukan malah terus-menerus merundukan wajah, "Ada apa Shil ?"

Shilla tidak habis fikir, kalau Rio ini ternyata tipe cowok pengobral kata-kata manis yang gemar mempermainkan perasaan seorang gadis. Jelas-jelas tadi Shilla mendengar sendiri, Rio menyatakan cinta pada Ify. Lalu apa maksud pemuda itu berlaku demikian lembut pada Shilla sekarang ?
Shilla menepis tangan Rio dengan kasar, pemuda itu sedikit terkesiap. Tapi sedetik kemudian Rio tersenyum penuh arti, matanya berbinar, "Gue tahu lo kenapa." celetuknya sok tahu, "Lo jealous ya lihat tadi gue sama Ify tadi ?" Rio memasukkan kedua telapak tangan pada saku jeansnya, matanya berkeliling menyapu area sekitarnya sambil sesekali melirik nakal pada Shilla.

"Apaan sih ? Ada-ada aja deh. Ngapain jealous, bukan urusan aku." jawab Shilla ketus.

"Ck, yang tadi cuma bercanda kok Shil. Nggak usah ngambek gitu dong."

"Siapa yang ngambek sih Yo, aku biasa aja kok. Udah ah, aku pingin pulang."

"Masa sih nggak ngambek ? Ngambek aja deh."

Shilla menekuk wajahnya. Benar-benar tidak paham dengan kata-kata Rio. Bercanda, Rio bilang? Memang yang seperti itu lucu apa untuk dijadikan bahan bercandaan ? Lagi pula yang tadi itu, tidak terlihat seperti sedang pura-pura atau bercanda. Shilla juga melihat sendiri kok, Rio begitu dalam menatap Ify yang duduk didepannya.
Okelah, bakat acting Rio memang tidak bisa diragukan. Keikut sertaan pemuda itu dalam suatu pertunjukan seni peran, seolah jadi jaminan bahwa pertunjukan tersebut pasti akan menuai sukses. Karena itu juga, kelompok ekskul Drama Musikal atau DM yang diikuti Rio, tidak jarang menyabet berbagai penghargaan dalam setiap ajang yang diikuti. Klub ekskul Drama Musikal, memang menjadi wadah untuk siswa-siswi Veronna yang menyukai dan mempunyai bakal dibidang seni peran. Meskipun bertajuk Drama Musikal, tadi ekskul ini tidak hanya stuck pada dunia drama musika, didalamnya, diajarkan pula seni peran lainnya seperti teater, kabaret, wayang orang, juga pantomim. Dan karena bakat acting Rio yang disebut-sebut bisa memainkan berbagai karakter secara total, pemuda itu didaulat sebagai ketuanya. Tapi benarkan pernyataan manis Rio pada Ify tadi, hanya bagian dari acting yang meyakinkan dari seorang Rio ?

"Gue bosen nungguin lo, makanya gue godain Ify. Lucu aja lihat mukanya merah setiap kali gue bilang sayang. Itu cuma pura-pura kok, cuma acting Shil, sekalian latihan kan, udah lama gue nggak ngumpul sama anak-anak DM. Lo nggak usah jealous, sampai kabur-kaburan segala," Rio menyilangkan tangan didada, kaki kanannya dihentak-hentakkan ke tanah dengan santai, "Nah tu ada Ifynya, lo tanya aja sendiri."

Ify berjalan gontai kearah Rio dan Shilla, "Tanya apa ?" sambungnya, karena sempat mendengar kalimat terakhir yang Rio ucapkan.

Shilla terdiam. Memandang Rio dan Ify bergantian.

Rio mendengus tidak sabar, "Gini lho Fy, Si Shilla ini kayaknya patah hati, lihat gue nembak lo tadi. Padahal itu kan cuma acting ya, main-main doang, kita kan sama-sama anak DM, sering juga kok latihat berdua. Iya nggak Fy ? Shilla ini ada-ada aja. " cerocos Rio, tanpa mempedulikan perubahan raut wajah gadis didepannya. Rio menyikut Ify, seketika gadis itu tergagap, "Woy, malah bengong deh lo."
"Eh, i.. i.. iyaa Shil. Yang tadi nggak serius kok." Ify terceguk, menelan bulat-bulat rasa kecewanya, "Cu.. Cuma pura-pura. Ya, main-main aja." lanjutnya dengan suara mengawang.

"Hahaha," Ify tertawa sarkatis dalam hati, "Bodoh." makinya pada diri sendiri. Bisa-bisanya tadi Ify menyangka kalau Rio sungguh-sungguh, "Ya Tuhan, memalukan sekali." ia terus merutuk dalam diam. Bukankah Rio sudah sering menggodanya seperti tadi, pemuda tampan itu akan bilang sayang, lalu setelah kedua pipinya memerah, Rio akan tertawa terbahak-bahak dan bilang kalau itu semua hanya kelakar isengnya.

Ify tersenyum hambar. Setelah dilambung begitu tinggi, kemudian dihempas jatuh hingga ke dasar palung lautan. Rasanya, masih sanggup berdiri tegak saja, ia sudah layak untuk mendapatkan standing applause besar-besaran.

"Rio…” lirih Ify dalam hati. Ya hanya nama itu dan akan selalu nama itu.

Tin tiiin

Suara klakson mobil yang melengking, membuyarkan lamunan Ify. Gadis manis itu reflek bergerak mundur, beberapa langkah. Saat menoleh, dilihatnya Rio dan Shilla sudah berada didalam mobil.

"Ngapain lo masih bengong disitu Fy, cepat masuk!" Rio menyembulkan kepalanya dari kaca jendela yang terbuka.

Ify mencoba melangkah, tapi kedua kakinya seperti beku, yang terjadi malah tubuhnya melorot jatuh, terduduk di tanah.

"Lho Fy ?" Rio yang melihat hal itu, dengan panik segera keluar dari mobilnya dan menghampiri Ify, "Lo kenapa Fy ?"

Airmata yang sejak tadi coba Ify bendung, akhir menetes juga, bergulir lambat di pipinya. Rio yang sangat jarang melihat Ify menangis, jadi khawatir dibuatnya. Sisi lain dalam diri seorang Ify yang nyaris tidak pernah diperlihatkan dihadapan Rio (kecuali diawal pertemuan mereka) akhirnya mencuat. Ify menangis. Gadis yang selalu terlihat kuat dan tegar di mata Rio, bahkan setelah perpisahan kedua orangtuanya, malam ini tampak begitu rapuh dan lemah.

"Fy, lo kenapa ?" Rio berjongkok, mengelus punggung tangan Ify dengan lembut.

"Sakit Yo." jawabnya, dengan suara tertahan.

"Sakit ? Sakit apanya Fy ? Yang mana yang sakit ?"

"Rio..." Ify menyebutkan nama itu dengan sejuta makna tak tersingkap, di sela-sela tangisnya.

"Iya, kenapa Fy ? Aduh kamu jangan nangis dong, yang mana yang sakit, kita ke rumah sakit ya?"

"Kaki.. Kaki aku sakit." tiba-tiba jawaban itu yang tercetus diotaknya, kemudian terlontar dari bibirnya.

"Kaki ?" Rio membimbing Ify agar meluruskan kakinya, "Yang mananya yang sakit ? Kok bisa tiba-tiba sakit Fy, tadi nggak pa-pa kan ?" Rio melepas sandal cantik yang mengalasi kaki Ify, ia memijat pergelangan kaki Ify, sebisanya, "Bisa jalan ke mobil ?"

Ify menggeleng lemah, sentuhan hangat tangan Rio masih terasa pada pergelangan kakinya.

"Shil !! Shilla ! Tolong bukain pintu belakang." seru Rio, lantas membopong Ify, menuju mobilnya.

Ify melingkarkan kedua tangannya pada leher Rio, dirasakan aliran ketenangan yang berasal dari setiap jengkal tubuhnya yang bersentuhan dengan kulit Rio.

"Kita ke rumah sakit ya ?"

"Nggak Yo. Aku mau pulang aja." tolak Ify.

"Tapi.."

"Pulang aja Yo, please."

"Ya udah. Shil, lo duduk di belakang aja ya, temenin Ify."

Shilla mengangguk patuh.

Sejurus kemudian, sedan mungil yang dikemudikan Rio, sudah merayap meninggalkan sepetak lahan yang dijadikan area parkir untuk para pengunjung PRJ.

***

Bulan dan bintang masih bercokol di atas sana, meski langit malam ini sedikit kelabu. Warna kuning terang ditambah kilau keperakan, terpantul cantik pada permukaan air kolam yang tenang. Sesekali oleh mata, tertangkap pijaran berwarna merah dari lampu pesawat terbang yang tampak sangat kontras bersanding dengan titik-titik putih yang bertaburan menghias langit malam.
Alvin duduk bersila ditepi kolam renang rumah Ify, tertegun senyap dengan pandangan menerawang. Hari ini keluarga Alvin bertemu dengan keluarga Ify yang hanya diwakili oleh sang Papa karena Ibunda Ify sedang berhalangan untuk hadir. Kedua keluarga itu berkumpul di rumah Ify untuk membicarakan perjodohannya dengan salah satu putra keluarga Haling, Alvin.

"Kami tidak memaksa, kalau suatu saat kalian menemukan orang yang lebih cocok, kami sebagai orang tua tidak akan menghalang-halangi. Tapi tidak ada salahnya kan kalau kalian mencoba dekat terlebih dulu. Bagaimana Alvin, Ify ? Kalian setuju ?"

"Alvin terserah Papa sama Mama aja."

"Ify juga Oom Rendra. Papa pasti pilih yang terbaik buat Ify."

Kalimat-kalimat itu seakan menemukan sound terbaik untuk terus bergaung di kepala Alvin. Membuat pemuda itu resah dalam lamunannya.
Narendra dan Cakra memang bersahabat, sejak mereka tanpa sengaja dipertemukan disebuah toko buku di Negara Inggris. Pada waktu itu keduanya, sedang melanjutkan study masing-masing. Setelah lulus, sebelum berpisah, mereka berangan-angan, akan menjodohkan putra-putri mereka kelak, setelah menikah. Kebetulan ketika dipertemukan kembali, Cakra mempunyai seorang putri, sedangkan Narendra dikarunianya seorang putra.
Tapi beberapa minggu yang lalu, saat Narendra membicarakan semua itu dengan Rio, pemuda itu dengan tegas langsung menolaknya. Narendra tidak ingin memaksakan kehendak, akhirnya pilihan jatuh pada Alvin. Gladys yang memang menyukai Ify, tidak merasa keberatan dan ikut membujuk putranya, hingga akhirnya Alvin setuju dengan rencana perjodohan itu.

"Menurut Rio itu konyol, pasti rasanya aneh."

Komentar Rio dulu di depan kedua orang tuanya, di-iya-kan oleh Alvin. Ya, betapa konyol dan menggelikan ia dan Ify. Keduanya sama-sama tahu, tidak pernah ada sebersit pun perasaan istemewa yang tumbuh diantara mereka, tapi untuk bilang 'tidak' saja, sulitnya bukan main.
Alvin terus melamun, walaupun apa yang dilamunkan benar-benar tidak sesuai dengan topik obrolan antara ia dan gadis manis d isebelahnya. Tadi Ify sedang menceritakan kejadian beberapa waktu yang lalu di PRJ, tapi fokus Alvin malah merembet kemana-mana.

"Vin, lo dengerin gue nggak sih ?" Ify mengguncang-guncangkan pundak Alvin.

Alvin tersadar, "Hm ? Iya, iya dengar kok Fy." sahutnya.

Mereka lantas terdiam, tersedot dalam dunia masing-masing.

"Lo yakin Fy, sama semua ini ?" Alvin menatap Ify, "Gue takut, pada akhirnya semua ini cuma bakal menambah daftar orang yang tersakiti."

Ify tidak menjawab, berusaha merangkai jawaban pun sama sekali tidak. Entah sejak kapan, memikirkan hari esok dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi, menjadi begitu menakutkan untuknya.

"Hayoo.... Pacaran aja lo berdua." tegur Rio, seraya menyusup duduk ditengah-tengan antara Alvin dan Ify.

"Kalau tahu kita pacaran, ngapain lo kemari ?" timpal Alvin, dingin.

"Habis disana gue dianak-tirikan sama Papa." Rio menggerakkan dagu kearah patio kecil yang terletak di halaman samping rumah Ify.

Terlihat, orang tua mereka bercakap-cakap sangat seru, disana. Narendra tampak begitu semangat membicarakan segala hal tentang Shilla, yang diketahuinya melalui cerita Eyang Putri, Rio dan istrinya sendiri. Pria itu merangkul Shilla yang duduk di antara ia dan Gladys, dengan penuh kasih sayang. Shilla hanya kadang-kadang mengangguk dan tersenyum manis, saat Narendra ataupun yang lain memuji dirinya. Gadis dengan balutan short dress pastel itu, melotot geram saat Rio yang sudah kebosanan, pamit keluar tanpa mengajaknya turut.

"Masa Papa puji-puji Shilla terus, padahal gue kan anaknya juga." dumel Rio.

"Lo nggak guna sih Yo." tanggap Alvin.

"Sialan lo." Rio meninju pelan, bahu saudaranya tirinya itu, "Eh, kaki lo gimana Fy ?" Rio beralih menanyai Ify.

"Udah baikan kok Yo."

"Syukur deh kalau gitu." Rio mengacak poni Ify, "Sekarang lo udah ada yang punya ya Fy, gue nggak bisa sembarang nembak lo lagi deh." Rio tertawa kering di ujung kalimatnya.

Ify menghela napas dengan dramatis, "Lo bahagia, Yo ?"

"Maksudnya ?"

"Apa lo bahagia kalau gue sama Alvin ? Lo nggak sedih ?"

"Ck, gue paling benci kalau suasananya jadi mellow begini." Alvin beranjak dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Ify dan Rio.

"Lho, Vin ! Mau kemana lo ?"

"Gue mau cari orang yang nggak peka, buat gue tonjok." sahut Alvin, asal.

Rio menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, rasanya aneh ditinggal berdua Ify seperti sekarang. Apa kedatangannya sangat mengganggu, sampai-sampai Alvin memilih pergi.

"Lo belum jawab pertanyaan gue, Yo." tagih Ify.

Rio tersenyum sumringah, digenggamnya kedua tangan Ify, "Nggak ada alasan buat gue untuk nggak bahagia, Ify. Pertanyaan lo aneh deh. Alvin itu saudara gue, dan lo sahabat terbaik gue, jelas gue bahagia lah kalau kalian akhirnya bisa sama-sama."

Ify mengangguk samar, "Semoga gue juga bisa bahagia ya."

Rio mendekatkan wajahnya, menatap Ify lekat-lekat dalam diam. Ify berharap, kali ini saja, wajahnya tidak memerah. Ify tidak ingin Rio terus-menerus menggodanya dengan cara seperi ini. Hembusan napas pemuda itu, terasa hangat menerpa wajah Ify, "Pasti lo bahagia, Fy." bisik Rio.

Ify masih mematung, tenggelam dalam pesona Rio yang tak pernah bisa ditolaknya. Rio, pemuda yang selalu terlihat sempurna di mata Ify. Ujung bibirnya yang selalu melengkung keatas, meski tidak sedang tersenyum. Sorot matanya yang teduh, garis wajahnya yang ramah, suaranya yang lembut, selalu berhasil membuat Ify kepayang. Meski dalam kebisuan yang sunyi, Ify menikmati setiap detik yang terlewati bersama pemuda tampan itu, yang akhir-akhir ini tidak jelas karena apa menjadi semakin jarang terjadi. Ify menyandarkan kepalanya pada pundak Rio, pemuda itu mengelus rambut Ify dengan lembut, "Kita udah besar ya Fy. Nggak kerasa, bertahun-tahun udah berlalu semenjak gue nemuin lo nangis di bawah pohon gara-gara nyasar. Makasih ya Fy, atas semua yang udah lo kasih ke gue. Makasih karena lo udah mau kenal sama gue."

"Iya, bertahun-tahun...”Jawab Ify mengawang, “Dan lo tetep nggak bisa ngerti perasaan gue, Yo” lanjutnya dalam hati.

Rio mengulum senyum, "Semoga kita tetap bisa sahabatan kayak gini ya Fy."

Ify mengangguk setuju. Mungkin sudah suratan, seperti yang Rio bilang tadi, selamanya mereka akan jadi sahabat. Tidak seharusnya Ify berharap lebih dari itu.

Keduanya lagi-lagi membisu, membiarkan sepi bercerita lebih banyak pada mereka. Membiarkan potret-potret perjalanan hidup yang terekam dalam ingatan, menari mengusik pikiran masing-masing.

***
Sofa panjang yang semula menghadap kearah TV plasma 24" dalam ruangan itu, digesernya menghadap langsung ke arah jendela yang dibiarkan terbuka. Membentangkan lukisan malam karya Sang Maestro dengan kuas ajaibNya, terlihat sangat indah tanpa cela, dengan bulan dan bintang, serta semburat ungu, biru dan hitam yang berpadu di atas cakrawala. Malam semakin larut, bahkan udara mulai menghantarkan bau embun. Tapi rasa kantuk, tak kunjung menyerangnya. Ia sudah mencoba membenamkan tubuhnya di balik selimut, AC disetel sedemikian rupa agar nyaman untuk membuat matanya lekas terpejam. Musik-musik dengan ritme lambat juga sudah diputar untuk mengiringinya kealam mimpi. Tapi nihil. Hingga detik ini, ia masih saja betah terjaga.

"Kamu belum tidur, Vin?"

Saking asyiknya termenung, Alvin tidak menyadari kedatangan Mamanya yang telah ikut duduk disampingnya, turut melirik sebuah foto yang mulai menguning usang berbingkai kayu, yang kini menghuni genggaman Alvin.

"Mama..."

"Kamu belum tidur ?"

"Nggak bisa tidur, Ma..."

Gladys tersenyum lembut, "Sini !!" wanita asli Malang itu mengisyaratkan agar Alvin berbaring diatas pangkuannya. Alvin menurut, direbahkan kepalanya diatas pangkuan Sang Mama, "Kenapa nggak bisa tidur ? Kepikiran soal perjodohan itu ya ?" tangan Gladys bergerak menelusuri setiap helaian rambut putra kebanggaanya itu.

"Nggak kok Ma." Alvin memindahkan foto yang diambil sekitar 10 tahun yang lalu di sebuah desa kecil, di sebelah timur kota Bandung itu kedalam pelukannya. Mendekapnya begitu erat, seakan tidak mengizinkan seorang pun untuk menyentuh benda itu. Gestur kecil itu, terbaca oleh Gladys.

Alvin terduduk kembali, dipandangi Sang Mama tanpa berkedip, "Ma," Alvin seperti ragu mengeluarkan kalimat yang sudah tersangkut di ujung lidahnya, "Emm, mungkin ini kedengarannya konyol, tapi... tapi… Aya…" Alvin menggantung kalimatnya, telunjuknya menelususr pada foto gadis cilik yang tengah menyeringai lebar, memamerkan deretan giginya yang mulai tanggal satu-persatu karena doyan sekali makan makanan yang manis.

Aaaahh, dasar mengembala kambing yang usil. Kenapa ia begitu tega membiarkan Alvin menghabiskan bertahun-tahun hanya sekesar untuk menunggunya?
Apakah ia sadar telah menawan hati Alvin dan tidak pernah membebaskannya sampai detik ini. Gejolak perasaan rindu, terpajang sangat jelas pada raut wajah tampan Alvin. Seolah-olah pemuda itu akan bersedia menukar semua yang dimiliki, untuk sekedar bertemu dengan gadis cilik pengembala kambing itu lagi. Tidak ada yang tahu kecuali Alvin sendiri bahwa beberapa kali ia sudah berusaha mencari teman kecilnya itu. Bukan hanya sekali, Alvin pernah mengujungi rumah tempat tinggal teman kecilnya itu, tapi tetangganya bilang bahwa gadis kecil yang dicari Alvin sudah pindah bersama keluarganya.
Gladys tersenyum menenangkan. Masa kecil Alvin adalah masa-masa yang sulit untuk Alvin bahkan untuk Gladys sendiri. Alvin harus pindah ke desa, kehilangan teman-temannya, kehidupan kotanya, bahkan akhirnya kehilangan Ayahnya. Kemudian gadis kecil itu datang, Gladys memang belum pernah bertemu dengan gadis kecil itu tapi berdasarkan cerita yang didengar dari Alvin, gadis kecil itu adalah teman yang baik bagi putranya. Ia pastilah anak yang ceria yang bisa menularkan keceriaannya pada sosok Alvin yang dingin dan tertutup. Teman kecilnya itu datang disaat yang tepat. Dialah ramai yang ditunggu Alvvin dalam sepinya. Dialah suara yang ditunggu Alvin dalam bisunya, karena itu Gladys sangat mengerti bahwa teman kecilnya itu begitu berarti untuk Alvin.

“Alvin, di dunia ini banyak yang datang dan pergi. Saling bertemu lalu berpisah. Saling mengenal lalu melupakan. Aya. Mama yakin dia gadis yang baik, tapi Vin dia bukan satu-satunya gadis di dunia ini. Sampai kapan kamu akan menunggunya? Apa kamu yakin dia masih mengingatmu?” Gladys menatap Alvin dengan sungguh-sungguh. “Lagipula kamu juga sudah menyetujui perjodohanmu dengan Ify. Dia gadis yang cantik dan baik, tidak akan sulit untuk belajar menyayanginya." Alvin merasakan sentuhan lembut pada puncak kepalanya, Gladys tersenyum kecil sembari menegakkan tubuhnya. Sepertinya wanita dalam balutan piyama merah marun itu sedikit kesulitan menggapai puncak kepala Alvin yang tidak pasti sejak kapan, kedua tungkainya tumbuh begitu cepat, hingga sekarang tinggi pemuda itu jelas-jelas melampaui Gladys.

Alvin tercenung. Tidak tahu harus bicara atau berbuat seperti apa. Mamanya benar. Tapi siapa sih yang bisa mengingkari hati nurani ? Kalau ternyata ia belum lelah untuk menunggu dan berharap. Alvin mengulur napas, berat. Tidak seperti biasanya, percakapan malam ini dengan Mamanya tidak membuatnya merasa jauh lebih baik, justru sebaliknya.

Gladys kembali membuka suara, kali ini dengan arah pandangan memagut langit kelam diluar sana, “Sekarang cepat tidur, besok sekolah kan. Selamat malam sayang."

Bunyi ceklik dari daun pintu yang tertutup, kemudian disusul suara ketukan samar dari sandal yang beradu dengan lantai keramik yang dingin, menandakan Gladys sudah bergerak menjauh dari Edelweiss Room. Wanita itu berjalan sambil menggelung rambutnya menjadi konde mungil di belakang kepala. Ia sedikit terhuyung saat melewati ruang perpustakaan keluarga menuju tangga, mungkin karena rasa kantuk yang mulai melanda. Kedua kaki jenjangnya sudah meniti dua anak tangga untuk naik kelantai atas menuju kamarnya. Tapi diurungkan niat itu, ketika melihat pintu Matahari Room sedikit terbuka. Semula, ia hanya ingin menutupnya, tapi ternyata tubuhnya menginginkan yang lebih dari itu. Gladys melepas sandalnya di depan pintu, dengan berjingkat-jingkat ia masuk dan menghampiri ranjang Rio. Penerangan dalam kamar itu remang-remang, hanya berasal dari lampu tidur yang diletakkan diatas meja kecil disamping tempat tidur Rio.
Gladys menggigit bibir, berusaha tidak mengeluarkan bunyi-bunyian sekecil apapun. Dengan hati-hati, ia duduk ditepi ranjang Rio, pemuda itu terlihat begitu lucu saat tertidur sambil memeluk guling seperti itu. Ekspresi keras dan dingin yang biasa diperlihatkan pada Gladys, luruh tersapu damai dalam buaian mimpi. Saat terlelap, topeng berbahan dasar kebencian yang selalu Rio kenakan setiap kali bertatap muka dengan Gladys, tentu saja dilepas sementara. Pemuda itu jadi lebih terlihat seperti Rio yang dulu, Rio yang 6 tahun lalu dikenalkan Alvin sebagai sahabat barunya. Rio yang manis dan menggemaskan. Rio yang mudah sekali tertawa, untuk hal-hal yang sebenarnya tidak lucu.
Gladys merindukan bocah laki-laki berseragam putih-biru yang setiap hari mengunjungi rumahnya dengan mengendarai sepeda kebanggaanya, bocah laki-laki yang tidak pernah keberatan makan dari tangannya, bocah laki-laki yang selalu melontarkan pujian untuk setiap masakan Gladys.
Meskipun rasa benci yang dimiliki Rio, telah menyumsum dalam belulang, telah merekat kuat pada jantung pemuda itu, Gladys tidak merasa perlu untuk mempedulikannya. Karena pada dasarnya, Rio yang dikenalnya adalah anak yang baik, dan selamanya akan seperti itu. Mungkin yang dihadapinya saat ini tidak lebih dari perkara waktu.

"Rio tahu ? Kenapa ya sekarang kita jadi jauh ? Kenapa kita nggak bisa main kayak dulu lagi ? Bertiga sama Alvin, Eh, berempat mungkin ya, sama Papa." Gladys berbicara sepelan mungkin, nyaris tak bersuara, hanya bibirnya yang bergerak-gerak.

Dulu, Gladys adalah orang pertama yang dicari Rio saat ia merindukan Mamanya, pada Gladys pula, Rio pertama kali bercerita tentang rasa sukanya pada Acha. Gladys juga yang pertama memeluk dan mengucapkan selamat, saat Rio memenangkan perlombaan badmintonnya yang pertama, tapi sekarang jangankan untuk memeluk Rio, bersentuhan kulit pun pemuda itu tampak jijik.

"Mama kangen Rio..."

Mungkin yang bernama takdir itu memang ada dan telah berhasil merubah segalanya. Dulu dan sekarang tak ubahnya dua kutub yang berlawanan.
Awalnya, Gladys berfikir, dengan menyetujui tawaran Narenda untuk memulai rumah tangga baru adalah keputusan yang tepat. Ia dan Narendra, sama-sama berharap, keluarga kecil mereka akan hidup rukun dan bahagia. Ia dan Alvin yang sejak meninggalnya Ayah Alvin, hanya hidup berdua, pasti tidak lagi kesepian dengan kehadiran Narendra dan Rio. Terlebih Rio itu termasuk anak yang bawel dan ramah. Rio juga akan mendapatkan sosok seorang Ibu yang akan merawat dan menjaganya dengan sungguh-sungguh. Alvin dan Rio juga pasti akan sangat senang, menjadi saudara dan tinggal satu rumah.

"Kenapa Papa bawa dia ? Rio nggak mau punya Mama, dia. Rio nggak mau. Jangan perempuan itu !!"

Kata-kata Rio saat pertama kali Narendra memboyongnya beserta Alvin ke Rumah Besar, kembali terngiang ditelinga Gladys. Menyayat relungnya, merobek jalinan angan-angan manisnya tentang keluarga kecil yang bahagia.
Tapi mau diapakan lagi ? Awan telah tergugus jadi hujan. Kayu telah dilebur jadi abu. Sekarang mungkin Rumah Besar tidak lebih dari sekedar kastil es yang menawarkan dingin dan kesenyapan.

"Mama nggak tahu, kenapa Rio jadi benci sama Mama. Tapi Rio sekarang Putra Mama dan Mama akan selalu sayang sama kamu, Nak."

Kalimat barusan, diucapkan Gladys seraya mendaratkan satu kecupan lembut didahi Rio, disertai setetes airmata yang menitik di pipi kiri Rio. Gladys segera menyusutnya.
Sejurus kemudian, wanita berambut ikal itu berdiri dan meninggalkan kamar Rio. Sepeninggalan Gladys, pemuda yang sejak tadi memejamkan mata dengan tubuh dibalut selimut tebal bergambar lambang salah-satu klub sepak bola ternama itu, bergerak dengan kikuk. Perlahan, Rio membuka matanya. Disentuh kening dan pipi kirinya. Ada perasaan menohok yang membuat dadanya sesak. Rio mendengar semuanya, setiap kalimat yang diucapkan Gladys dengan kesedihan yang nyata. Tanpa sadar, hatinya ikut menangis saat airmata itu leleh di atas pipinya, "Rio juga Bu, Rio juga..." tidak ada kalimat yang cocok untuk menggambarkan apa yang Rio rasakan, "Kangen Ibu.. Rio kangen Ibu..." Saat matanya bertumbuk dengan foto Veronna yang terbingkai cantik di dekat tumpukan buku-buku sekolahnya, Rio menggelengkan kepala, "Tapi Rio nggak mau ada satu orangpun yang gantiin Mama di rumah ini."

***

Shilla berjalan sedikit cepat dengan dua buah novel di tangannya, yang baru saja dibeli dari toko buku di seberang sekolah. Ia baru akan kembali ke Aula untuk menunggui Rio yang sedang mengikuti ekskul badminton. Tapi di depan pintu gerbang Veronna High School, gadis itu menghentikan langkahnya. Menyipitkan mata, melihat penuh konsentrasi pada satu titik. Gadis itu mengamati gerak-gerik dua orang laki-laki yang cukup membuatnya tertarik. Seorang bocah dengan seragam putih merah yang dilumuri lumpur, menenteng Si Kulit Bundar dan terlihat berdiri cemas menatap laki-laki satunya yang berlutup didepan Si Bocah. Laki-laki berkulit putih itu mengenakan blazer yang sana dengan yang dipakai Shilla, dia Alvin. Sepertinya Alvin baru saja menyelamatkan Si Bocahi dari kelalaian pengendara sepeda motor yang dikemudikan kendaraanya tanpa aturan. Padahal sudah jelas-jelas terpampang rambu-rambu lalu lintas yang mewajibkan pengendara mengurangi kecepatan saat melewati jalanan sekitar situ, tapi tetap saja diabaikan.

Alvin menepuk-nepuk lutut bocah laki-laki itu, kemudian tersenyum lebar sembari mengatakan sesuatu yang tidak terdengar jelas dari tempat Shilla berdiri, "Lain kali, kalau mau nyebrang lihat kanan-kiri dulu ya. Ayo, sekarang cepat pulang, pasti adik dicari sama Mama."

Shilla tersenyum simpul, "Aku tahu Vin, kamu sebenarnya baik. Kenapa mesti pura-pura jadi orang yang nyebelin sih ?" komentar gadis itu.

Sedangkan dari arah lain, Alvin menyampirkan ranselnya ke pundak, lantas berjalan terpincang-pincang. Shilla tetap mempertahankan senyum kecilnya, dan berniat untuk menawarkan pertolongan. Memapah pemuda itu sampai Ruang Kesehatan, atau sekedar membantu membawakan ransel dan setumpuk kertas fotocopy-an yang masih ditenteng Alvin. Tapi niat mulia itu, langsung pupus seketika, setelah Alvin melengos begitu saja. Melewati Shilla tanpa melirik sedikitpun, seolah-olah Shilla ini adalah patung selamat datang yang memang sudah biasa dipajang dipintu gerbang Veronna.

Shilla menyilangkan tangannya di dada, "Emang ya, sekali belagu, tetap aja belagu." ceplos Shilla karena jengkel.

Tanpa disangka, Alvin berbaik, menatap Shilla tajam, "Lo bilang apa ?"

"Oh dengar toh. Bukan apa-apa, lagian peduli apa kamu sama apa yang aku bilang ?" Shilla menaikan sebelah alis matanya dan mengangkat dagu.

Sebagai makhluk sosial, kita harus pandai-pandai menyesuaikan diri bukan ? Terutama dengan lawan bicara, dan apa yang Shilla praktekkan barusan merupakan salah-satu wujud adaptasi terbaik kalau berbicara dengan orang-orang pongah macam Alvin.
Alvin menarik satu ujung bibirnya, memasang ekspresi tersinis di dunia (menurut Shilla) plus tatapan tidak suka yang amat sangat mengesalkan. Shilla menghentakkan kaki kanannya, betul-betul dibuat sebal oleh kelakuan Alvin yang kelewat cuek terhadapnya. Padahal ia hanya ingin membantu kalau memang diperlukan. Kenapa sih pemuda itu selalu saja membuatnya ingin marah-marah, padahal jelas-jelas tadi Shilla melihat sosok Alvin yang begitu lembut dan peduli pada sekitarnya. Apa jangan-jangan Alvin, berkepribadian ganda ?
Shilla tetap berdiri di tempat, matanya mengikuti Alvin yang bergerak kearah sedan hitamnya. Pemuda itu mengeluarkan kotak P3K berwarna putih dari dalam mobil, kemudian terlihat mencoba mengobati lukanya sendiri. Tapi ia sedikit mengalami kesulitan. Kapas yang dipegangnya berulang kali jatuh, pun dengan cairan alkhohol yang coba diteteskan untuk membersihkan lukanya, malah tercecer kemana-mana. Shilla menggelengkan kepala. Ia tahu pasti, Alvin tidak akan bisa mengotati lukanya sendiri, karena telapak tangan kanan pemuda itu, sedikit sobek.

Shilla sempat melihatnya sekilas tadi, "Butuh bantuan ?" Shilla membungkuk, melihat luka yang tercetak pada kedua tangan Alvin. Blazer yang digunakan pemuda itu sampah sobek dibagian siku kiri. Untung seragam sekolah itu cukup tebal sehingga siku Alvin tidak cidera parah, hanya lecet ringan, tidak seperti telapak tangan kanannya yang masih meneteskan darah, "Nggak usah gengsi. Sini kotak obatnya."

Alvin tidak menggubris Shilla, masih bersikukuh bahwa ia bisa melakukannya sendiri.

Shilla mengerucutkan bibir, "Kalau kamu nggak suka aku yang obatin lukanya, kamu tutup mata aja. Bayangin yang ngobatin luka kamu itu Ify atau siapa kek gitu."

"Lo sama Ify beda, nggak usah pingin disama-samain."

Kali ini Shilla yang menulikan pendengarannya, ia tetap duduk disamping Alvin, lalu memindahkan kotak P3K ke pangkuannya.Mulai menesetkan cairan pada kapas.

"Lo peduli sama gue ?"

"Nggak usah GR, aku cuma pingin bantu orang yang memang lagi butuh bantuan." Shilla menutulkan kapas tersebut pada luka Alvin

"Aargh." Alvin meringis.

"Tahan ya..." tutur Shilla, pelan. Ia menyunggingkan senyum, meski tidak ada yang berubah dari ekspresi pemuda dihadapannya. Tetap datar, tanpa bisa diterka.

"Kenapa lo baik sama gue ?" Alvin kembali melontarkan sebuah pertanyaan.

Shilla menghentikan aktivitasnya sejenak, "Apa di Jakarta, berbuat baik itu harus ada alasannya ?" Shilla balik bertanya.

Alvin tidak menyerukan sebuah jawaban ataupun sanggahan. Ia merunduk. Tidak ingin terlalu lama menatap paras ayu Shilla yang akan kembali menyeretnya pada pusaran kenangan. Pemuda itu memilih diam, teremas dalam satu dunia bernama masa lalu. Sementara Shilla masih dengan telaten membalutkan perban pada tangan Alvin.

"Kenapa lo datang Shil ?"

Empat kata sejuta makna. Shilla tidak begitu pandai untuk mengartikan getar suara Alvin yang kali ini terdengar begitu jauh dan gamang, padahal pemuda itu berada tepat disebelahnya. Yang Shilla tahu, pemuda itu tengah menahan kekecewaan yang menyayat, itu terbaca dari sorot mata Alvin.

"Vin, maksud kamu a-"

"Gue nggak nyuruh lo bicara."

"Tapi Vin, ak-"

"Lo ngerti bahasa Indonesia kan ? JANGAN BICARA, KALAU GUE NGGAK MINTA."

Shilla tersentak. Ingin sekali meninju wajah Alvin, ada hak apa dia membentak Shilla seperti tadi. Sudah untung Shilla mau membantu mengobatinya, kenapa malah dibentak-bentak seperti itu. Karena jengkel, Shilla menekan kuat-kuat luka pada telapak tangan Alvin, "AAARGGH..." Alvin mengerang kesakitan. Reflek ditepisnya tangan Shilla dengan kasar. Tangan gadis itu membentur sandaran kursi besi panjang yang mereka duduki.

"Auww.." pekik Shilla.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, gadis itu segera bangkit. Kotak P3K dipangkuannya, berhambur jatuh dengan bunyi debam kecil ketika membentur aspal yang melapisi sebagian besar area parkiran Veronna. Tanpa melihat pun Alvin bisa menebak, dua bola mata jernih milik Shilla pasti sedang menatap marah kearahnya. Tapi tadi Alvin benar-benar tidak sengaja, lagi pula apa maksud Shilla menekan lukanya seperti itu. Jelaslah, Alvin kesakitan. Kalau harus meminta maaf, sayangnya Alvin belum terbiasa. Akhirnya, ia hanya memalingkan wajah, menatap barisan rapi kendaraan bermotor ditempat itu.

"Maaf." ujar Shilla singkat, sebelum melenggang pergi. Alvin baru berani melirik siluet Shilla setelah pemiliknya sudah sampai didepan koridor utama.

"Maaf, Shil." lirihnya, pasrah.

***

Sementara itu, Shilla berjalan menyusuri koridor utama yang sudah sepi, diatur ayunan kedua kakinya agar lebih lambat. Berharap lebam kebiruan yang membekas pada punggung tangannya akibat benturan keras tadi, sedikit berkurang. Atau Rio akan bertanya macam-macam kalau melihatnya. Shilla tidak merasa heran, mendapat perlakuan seperti tadi dari Alvin yang menurut Shilla memang tipe pemuda kasar yang arogan setengah mati.

"Alvin tu beda banget sama Rio." Shilla mulai membandingkan keduanya, seraya mengelus-ngelus punggung tangannya. Rio itu ibarat lautan, semua yang ada dalam diri pemuda itu selalu bisa menghanyutkan setiap orang yang mengenalnya. Sedangkan Alvin layaknya puncak gunung. Untuk menggapainya saja, seseorang harus susah payah mendaki tebing yang terjal dan jurang berbatu.

"Nyebelin !! Dikira nggak sakit apa. Nggak bisa ya bersikap lebih lembut kalau sama cewek. Dasar cowok aneh, rese, ih sok oke." cibir Shilla. Ungkapan 'selalu ada sisi baik dalam diri seorang hamba' benar-benar mentah di mata Shilla. Yang seperti Alvin itu tu yang menurut Shilla nggak ada baik-baiknya. Ia yakin, beberapa waktu yang lalu Alvin pasti sedang kerasukan malaikat makanya mau menolong bocah laki-laki tadi.

"Hayoo !! Kenapa sih manyun aja Non ?" tegur Ify yang sudah berdiri dibelakang Shilla, membawa setumpuk pamflet berisi pengumuman acara camping tahunan Veronna High School.

"Eh, Ify. Nggak pa-pa kok." kilah Shilla.

"Kok belum pulang Shil ?"

"Belum. Rio ada ekskul dulu."

"Oh, emang belum berani pulang sendiri ya ?"

"Hehe," Shilla terkekeh, "Berani sih. Tapi mendingan pulang sama Rio, di rumah juga nggak ngapa-ngapain. Eh, sini Fy, biar aku bantu, lagi tempel-tempelin pamflet kan ?" Shilla mengulurkan tangannya.

"Makasih Shil. Tapi nggak usah. Gue bisa handle sendiri kok."

"Ify..." dengan paksa, Shilla meraih setengah dari tumpukan pamflet ditangan Ify, "Kalau dibantu kan bisa lebih cepat kelar," Shilla melepaskan doubletipe yang merekat pada bagian belakang pamflet, lantas menempelkannya pada mading di belakang mereka.

***

"Halo Mrs. Mario." Feldy menepuk pundak Shilla. Pemuda itu menyeringai lebar saat Shilla menoleh, "Dicari Rio tu, kangen katanya." pemuda dengan gaya slengekan itu, bicara sambil menggerak-gerakkan tangan dan kakinya mengikuti irama musik yang mengalun lewat aerphone yang terjuntai dari sebelah telinganya.

Shilla menyikut lengan Feldy, "Apaan sih ?" balasnya malu-malu.

"Cie tersipu-sipu cie." goda Feldy yang sukses menambah rona merah dipipi Shilla, "Udah buruan sono !! Masih disini aja lo."

"Ya udah, kalau gitu, aku titip ini ya, kasih sama Ify, bilangin maaf aku nggak bisa bantu sampai selesai." pesan Shilla sambil mengangsurkan lembaran pamflet yang tinggal beberapa.

Feldy tidak menjawab, hanya mengacungkan ibu jarinya.

Shilla tersenyum, "Sip. Makasih ya. Aku duluan, Fel." pamit Shilla.

"Ok. Bye Shilla."

Keduanya lalu terpisah. Feldy yang sudah menenteng ranselnya, pasti akan segera pulang sedangkan Shilla meninggalkan area lapangan futsal yang berada in door, menuju Aula yang saat ini untuk sementara digunakan klub badminton berlatih, karena lapangan badminton sedang direnovasi. Shilla berbelok diujung koridor yang menikung, disana ia berpapasan dengan Gabriel yang tersenyum kecut. Seperti biasa, ketua kelas XII MIPA 1 itu selalu terlihat kaku. Shilla tidak berani dan tidak berniat untuk menyapa, gadis itu mempercepat langkahnya karena perasaannya mulai tidak enak.

"Yo ?" panggilnya, setelah berdiri dihadapan orang yang menurut Feldy tadi sedang mencarinya.

"Eh, Shilla." Rio mengangkat wajahnya. Sudut bibir Rio terlihat lebam kebiruan.

"Ini kenapa ?" Shilla menyentuh lembut bagian wajah Rio yang seperti dihantam dengan keras oleh sesuatu.

"Auw," Rio memundurkan wajahnya, "Nggak Shil, nggak pa-pa kok."

"Gabriel ya ?"

"Hah ? Bu..bukan kok."

"Bohong ?"

Rio menghembuskan napas panjang, "Cuma salah paham kok. Tadi gue tanya apa Iel lihat HP gue, dia salah sangka dikiranya malah gue nuduh dia yang ambil." papar Rio. Ia mengelus rahangnya yang berdenyut nyeri. Tampaknya Gabriel menghadiahi Rio dua pukulan dengan segenap hasrat, "Eh, Shil. Lo lihat HP gue ?"

Shilla ikut duduk dilantai bersama Rio, gadis itu menggeleng, "Nggak lihat. Emang kenapa ? Hilang ?"

Rio mengangguk dua kali, "Iya hilang. Padahal tadi sebelum latihan gue taruh di tas, tapi sekarang nggak ada."

"Ketinggalan di kelas mungkin. Udah dicari ?"

"Udah di check sama Feldy tadi. Tapi nggak ada."

"Terus gimana ?"

"Ya udah, nggak gimana-gimana. Udah gue cari, kalau emang udahh ilang, mau diapain lagi ?" jawab Rio enteng.

Shilla lagi-lagi mengangguk, maklum. Sebuah handphone saja sih bukan perkara sulit buat Rio. Kalau mau, ia bisa saja gonta-ganti handphone setiap harinya. Yang membuat heran, justru kalau Rio mencarinya mati-matian, "Yo !! Emm..." Shilla memilin-milin rok abunya, sedikit ragu untuk melanjukan perkataannya, "Emm... Yo.."

"Kenapa ?"

"Aku... Mau... tanya aja sih, nggak pa-pa ya. Emm... Itu.. kenapa sih Yo, Alvin itu kok aneh banget ya kalau ke aku ? Dia nggak suka ya aku tinggal di Rumah Besar ?"

"Aneh gimana ?"

"Gimana ya, pokoknya gitu deh. Intinya sih, dia kayaknya kurang nyaman sama kehadiran aku. Sebenarnya dia kenapa sih ? Apa aku pernah salah ngomong ya sama Alvin ?"

"Kok lo tanya sama gue, ya tanya aja langsung ke Alvinnya."

"Ya kan siapa tahu Alvin pernah cerita sama kamu. Padahal kalau memang dia nggak suka sama aku karena suatu hal, aku mau kok berubah. Tapi Alvinnya nggak penah mau ngomong baik-baik sama aku. Jadi bingung." keluh Shilla. Ia menerawang, membayangkan wajah dingin Alvin yang akan berubah ratusan kali lebih dingin setiap berpapasan dengannya.

"Gue duluan."

Dua kata tadi memecah lamunan singkat Shilla. Saat tersadar, didapatinya Rio sudah berjalan sampai ambang pintu. Shilla terhenyak. Sejak kapan pemuda itu meninggalkannya. Kenapa Shilla sampai tidak sadar ?

"Rio !!" Shilla berlari menyusul pemuda jangkung dalam balutan kaos resmi klub badminton itu, yang terus menjauh.

Setelah berhasil menyusul dua langkah dibelakang Rio, Shilla menarik lengan kiri Pemuda itu, agar berhenti sebentar. Tanpa sengaja, karena jarak mereka yang sudah cukup dekat, saat tubuh Rio berbalik, bibir pemuda itu menyentuh tepat pipi kiri Shilla. Kecupan singkat mendarat disana. Dengan cepat, Rio mundur satu langkah kebelakang.

"So..sorry Shil. Gue... Gue nggak sengaja." Rio tergagap. Baru kali ini merasa sangat malu. Wajahnya seperti terbakar, desiran darahnya mengalir dengan cepat, "Aduh bego banget sih gue." Rio merutuk dalam hati. Menepuk bibirnya dengan telepak tangan.

Shilla melirik sekilas, kemudian menunduk lagi, menyembunyikan kedua pipinya yang merah padam. Susah payah ia mengatur debaran jantungnya, atau organ krusial itu akan rusak seketika karena berdenyut sangat cepat. Keduanya terdiam cukup lama.

"Maaf." Shilla dan Rio berujar secara bersamaan, terlihat sangat kikuk dan salah tingkah. Persis seperti bocah-bocah SD jaman sekarang yang baru mengenal cinta monyet.

"Tangan lo..." Rio melirik lengan kirinya yang masih dipegangi Shilla.

"Eh iya, maaf." tutur Shilla (lagi), dengan cepat ditarik tangannya dari lengan Rio.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Rio berbalik dan langsung pergi.

Shilla menuntaskan aksi tersipu-sipunya dan segera menyusul Rio yang sudah berjarak puluhan langkah didepannya, "Rio !! Tunggu dong. Kok ninggalin aku gitu sih ?" rajuk gadis itu.

"Tadi juga lo udah gue panggil-panggil, tapi kayaknya lo lagi asyik ya, mikirin Alvin." balas Rio santai, sambil meneguk botol air mineralnya, "Emang sih, cewek aneh aja yang nggak kepikiran Alvin. Cakep, pintar, keren, beda banget sama gue. Lo juga tadi pakai acara mau berubah-berubahan segala, manis bener." tanpa terasa, suara Rio terdengar sinis.

Shilla mengernyit heran. Kalau boleh berbangga diri, apa Rio sedang cemburu ??

Shilla berdiri didepan Rio, membuat pemuda itu terpaksa harus menghentikan langkahnya, "Siapa sih yang mikirin Alvin ? Gini ya Yo, aku kan cuma numpang di Rumah Besar, kalau memang ada sifat aku yang bikin penghuni lain nggak nyaman, udah seharusnya dong aku berubah. Itu bukan berlaku buat Alvin aja kok. Maaf deh kalau tadi aku nggak dengar, kamu jangan marah dong Yo." pinta Shilla.

"Ya udah nggak perlu di bahas." Rio melengos.

"Ck," Shilla berdecak, "Kamu marah deh. Kalau kamu nggak suka aku tanya-tanya soal Alvin, aku janji deh nggak akan tanya-tanya lagi."

"Kalau aku maunya kamu jauh-jauh dari Alvin gimana ?" Rio memasang ekspresi menantang.

Shilla balas menatap Rio tanpa berkedip, "Kalau kamu yang minta aku setuju aja. Lagian selama ini emang aku nggak dekat juga kan sama Alvin. Asal kamu jangan marah sama aku." kata Shilla tanpa ragu.

Rio mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk puncak kepala Shilla, "Maaf ya, gue juga nggak ngerti, kenapa tiba-tiba jadi kesal lo tanya-tanya tentang Alvin. Hehe. Gue nggak akan minta lo jauhin siapapun kok." Rio tersenyum lembut, lalu melingkarkan tangannya dipundak Shilla, "Pulang yuk. Ni sekolah jadi serem kalau udah sepi gini." Rio bergidik ngeri.

Keduanya lalu meninggalkan sekolah, sambil mengumbar tawa yang menggema disepanjang koridor antar kelas.

"Mungkin memang sebaiknya lo jauhin gue Shil." desis Alvin yang sejak tadi mencuri dengar pembicaraan Shilla dan Rio dari dalam ruang klub fotografi, tak jauh dari tempat Shilla dan Rio tadi bercakap-cakap.

Sedangkan dari sudut tempat yang lain, seseorang gadis bukan hanya mendengar, bahkan melihat kecupan singkat yang dilayangkan Rio pada pipi pualam Shilla. Awalnya, Ify ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan yang Shilla berikan. Tapi sepertinya, Ify harus double mengucapkan terima kasih. Karena adegan manis yang disuguhkan kepadanya, membuat Ify semakin yakin, bahwa cintanya memang hanya tumbuh untuk kemudian mati perlahan. Meskipun membuatnya muak, tapi tidak apa-apa. Tidak perlu dipusingkan. Anggap saja yang tadi itu, ia sedang menonton cuplikan dari drama korea yang sedang booming akhir-akhir ini. Begitu kurang lebih cara Ify, mensugesti dirinya sendiri untuk bisa move on.
Ify melihat lagi sekilas, tampak Rio sedang tersenyum seraya menepuk-nepuk puncak kepala Shilla. Ify memiringkan kepalanya, tanpa sadar ikut tersenyum. Setelah puas megoleksi pesakitan yang akan menambah endapan nyeri dalam hatinya, Ify memutuskan berbalik. Mencoba mengayunkan kakinya yang seperti digelayuti beban ribuan kilo, berat sekali. Ia sengaja tidak memilih pulang bersama Alvin, karena hari ini Ify ingin sekali menemui Bundanya dan bercerita banyak hal pada wanita yang mengandungnya selama 9 bulan itu.
Langit mulai berwarna orange. Burung-burung yang berterbangan untuk kembali ke sarang, tampak seperti garis-garis hitam yang bergerak kesana kemari. Matahari membulat sempurna, berwarna merah darah, dengan paduan semburat jingga. Ditemani semilir angin yang menyejukkan, Ify menapaki trotoar jalan menuju perumahan tempat Bundanya tinggal. Hari menjelang malam, tapi pedagang-pedagang kaki lima belum juga menutup 'lapak' mereka, bahkan mungkin semakin malam sepertinya para penjajak makanan akan semakin ramai memadati bahu jalan.
Ify tertawa kecil, keramaian seperti ini sangat ia sukai, karena membuatnya merasa tidak lagi kesepian.

Kring kriingg

Ify menepi, sepertinya ia menghalangi laju sebuah sepeda.
Kring kriingg

"Sendiri aja Non ?"

Ify memutar tubuhnya, "Gabriel ?"

"Hehe, baru pulang ya Fy ?" Gabriel menghentikan sepedanya. Menjejakkan satu kaki ke tanah. Ia sudah mengenakkan pakaian rumahan dengan kaos biru tua dan celana selutut berwarna hitam, ditambah topi yang dikenakan terbalik. Pemuda itu terlihat lebih santai dan keren, tidak kaku seperti saat berseragam sekolah. Gabriel memang senang sekali mengenakan topi yang bagian belakangnya menghadap kedepan, itu kebiasaannya sejak kecil.

"Iya Yel, ini juga untung dibantuin Shilla."

"Oh, kok pulangnya lewat sini Fy ? Jalan kaki pula."

"Hehe iya. Lagi nggak pingin naik mobil. Sekalian mau ke rumah Bunda, dulu."

"Ya udah, aku antar aja yuk. Searah kan ?"

Bunda Ify dan Gabriel memang tinggal dikomplek perumahan yang sama. Malahan mereka tetangga, rumahnya hanya berselang dua rumah lain.

"Emm... Nggak usah deh Yel. Tapi makasih atas tawarannya."

"Kenapa ? Nggak mau ya naik sepeda ?"

"Eh bukan. Bukan gitu kok. Cuma kan sepedanya nggak ada boncengannya, Yel."

"Ya, didepan dong Fy." sahut Gabriel gemas, dilepasnya satu tangan dari stang, "Ayo !!"

"Tapi..."

"Di jamin nggak akan jatuh kok. Udah ayo, tenang aja."

"Beneran ya ? Kalau sampai jatuh, awas lho." ancam Ify, mengangkat tinjunya ke depan wajah Gabriel.

Ify akhirnya setuju. Menuruti semua yang Gabriel instruksikan agar perjalanan mereka selamat sampai tujuan. Sejurus kemudian, Gabriel mulai mengayuh sepadanya. Kedua rodanya segera berputar, sepeda mulai bergerak teratur membelah udara.
Gabriel bersyukur sekali, hari ini akhirnya Tuhan mendengarkan doanya. Memberikan kesempatan padanya untuk merasakan sedekat ini dengan gadis pujaannya. Ia bisa mencium wangi rambut Ify, mendengar dengan jelas suara tawa Ify, mengamati dengan puas setiap lekuk wajah cantik Ify. Benar-benar hasil pahatan Tuhan yang tanpa cacat dan cela.
Jeritan kecil dari Ify saat sepeda oleng setelah melintasi polisi tidur, membuat Gabriel tertawa kecil. Atau cubitan pada punggung tangannya yang dilayangkan Ify setiap kali Gabriel menambah kecepatan sepedanya, membuat pemuda itu tiba-tiba saja bercita-cita ingin jadi seorang sutradara untuk kemudian menyisipkan adegan bersepeda seperti ini disetiap film buatannya.
Di belakang mereka, senja mulai luruh. Seiring cipratan keemasan di kaki angit yang turut memudar. Matahari sudah tenggelam sempurna.
Angin berdesau kian kencang, memuntahkan risalah yang dititipkan bumi pada manusia.
Katanya,
Anakku...
malam akan segera datang beserta kegelapan. Tapi tak perlu risau, karena Tuhan selalu menitipkan lentera kasih dan sayangnya pada bulan dan bintang hingga pagi menjelang.

***

Alvin menarik pegangan pintu besar di depannya. Kemudian menyeruak masuk, sambil bersiul-siul santai. Matanya memaku fokus pada foto-foto hasil jepretannya. Alvin ini memang maniak sekali dengan yang namanya fotografi, sejak usia 8 tahun, saat Ayahnya menghadiahi Alvin kamera pertamanya. Semenjak itu alvin serius menekuni dunia fotografi. Saat kamu memotret sesuatu, mungkin kamu mengabadikan satu hal yang tidak akan pernah terulang dua kali didunia ini. Begitu kata Ayah tercintanya, yang merupakan salah-satu fotografer handal.

"Darimana kamu ?"

Suara sinis Eyang putri, memaksa Alvin menghentikan langkahnya. Ia mengangkat wajah. Semua terlihat memicing mata, seperti menguliti Alvin dari ujung kaki sampai pangkal kepala dengan tatapan tajam.

"Ada apaan sih ?" batin Alvin bingung, "Habis hunting foto, Eyang." jawab Alvin takut-takut.

Diruang keluarga itu, terdapat Gladys yang memasang ekspresi kecewa, sedangkan Eyang Putri terlihat begitu marah, sementara Rio dan Shilla duduk sambil menundukkan kepala.

"Hunting foto ? Hunting foto-foto apa, HAH ? Foto-foto seperti ini ?" Eyang Putri melempar dua lembar foto, tepat di depan wajah Alvin, "Memalukan !!" umpatnya.

"Kamu tega sekali Alvin, kamu bikin Mama malu. Malu Alvin." Gladys berujar dengan suara bergetar.

Alvin terlongong.


***