Senin, 18 April 2011

Malaikat Hidup Gue Part 22


***

"Shilla ?" gumam Rio tanpa sadar.

Dengan separuh jiwa yang telah berhasil ia tarik kembali dari alam mimpi, Rio meraih handphonenya. Detik berikutnya, pemuda berambut hitam dengan poni ke samping itu mulai sibuk berkutat dengan alat komunikasi praktis hasil perkembangan IPTEK di tangannya. Setelah menekan tombol angka 3 yang biasanya secara otomatis akan langsung menghubungkannya dengan pemilik nomor +6285724101997, Rio segera mendekatkan handphonenya ketelinga.

"Shilla, angkat Shil." ujarnya tidak sabar. Entah mengapa, Rio merasa perlu untuk segera menghubungi gadis itu dan menceritakan mimpinya.

Dari sebrang sana nada tunggu terus terlantun samar, mengisi sepi yang begitu nyata dalam ruangan ini. Detik terus terlewati, dan yang tercipta masih saja sebentuk keheningan.

Percayalah..
Hanya dirinya paling mengerti
Kegelisahan jiwamu kasih
Dan arti kata kecewamu
Rio... Yakinlah..
Hanya dia yang paling memahami
Besar arti kejujuran diri
Indah sanubarimu kasih
Percayalaah..

Bulu kuduk Rio meremang, ia mengusap tengkuknya. Merasakan ada yang membisiki bait-bait nada itu, dekaaat sekali. Suara itu, suara yang sangat Rio kenal. Milik penawan hatinya, milik gadis cinta pertamanya yang Rio hantarkan sendiri keharibaan Tuhan, suara itu... Dea. Hatinya mencelos, tertohok kian dalam, seperti diingatkan tentang sesuatu yang selama ini terabaikan. Sebuah rasa tersembunyi yang sebaiknya segera ia kuat. Lantas apa ??

"Astaga, gue pasti udah gila." gerutunya, setengah frustasi.

Tanpa fikir panjang, apa efek bagi tubuhnya, Rio mencabut paksa selang bening yang semula menempel pada lengan kirinya. Lantas menyibuk selimut dengan kasar dan berlalu meninggalkan ruangan yang selama hampir 2 minggu ini memenjarakannya.

***

Si-Masa-Lalu itu telah melepas jeratnya...

Berbeda dengan Rio yang 'seharusnya' mulai terlepas dari rantai-rantai masa lalu yang selama ini mengepung gerak-geriknya dari segala penjuru, gadis dengan dagu tirus berkulit sawo matang itu, dimalam yang sama malah mendapati dirinya semakin terseok-seok dalam menapaki hari-harinya, mendapati dirinya semakin tidak logis kalau tidak mau dibilang gila. Berpijak pada harapan-harapan kosong yang sejatinya, ia tau tidak akan pernah menjadi kenyataan. Ia melambungkan angannya, dan disaat yang bersamaan harus kembali merasakan sakitnya dihempas kenyataan. Munafik, kalau sebelumnya, gadis itu bilang semua akan baik-baik saja. Toh, sekarang buktinya tidak ada yang jadi baik, semenjak pemuda itu menghilang. Ada sisi kosong yang begitu kentara dalam dirinya dan menuntut untuk diisi. Meski akal sehatnya gencar berorasi menuntut agar sebentuk hati itu segera melengserkan kekuasaannya atas diri gadis ini, itu sama sekali tidak merubah apapun. Semuanya akan tetap sama. Detik-detik terasa begitu lama terurai, tapi setelah terangkai, satuan waktu itu malah membentuk temali bersimpul rindu yang menjeratnya tanpa ampun. Mengikatnya disatu titik menyebalkan yang bertajuk penantian.

"...kontestan terakhir pada malam hari ini, dengan nomor urut 28, Alyssa Saufika..."

Suara berirama khas, yang dikumandangkan seorang belia berbusana long dress dengan motif batik lewat mikrofon ditangannya, memaksa gadis tadi, Ify, agar segera beringsut dari posisi duduknya. Sekilas, Ify merapikan gaunnya. Gaun putih susu dengan detail manik sederhana disekitar dada dan ujung-ujungnya, gaun pemberian Rio. Perlahan ia berjalan menyusuri panggung megah itu. Lighting yang sempurna, desain yang mengagumkan, serta sorot mata seluruh penonton yang tertuju padanya, membuat Ify gugup. Ia berusaha mengulum senyum dengan kikuk.

"Kalau gugup, liat kita aja Fy. Kita di kursi barisan depan sisi kiri. Good luck ya sista gue tersayang."

Kata-kata Agni sebelumnya, dibackstage, membuat Ify menoleh ke sisi kiri kursi barisan depan. Dilihatnya Sivia tengah melambai-lambai kearahnya, serta Agni dan Gabriel yang kompak mengepalkan tangan mereka dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Tapi, Ify, hatinya malah semakin bergetar melihat semua itu. Ya, ada yang kurang. Ada yang masih Ify tunggu. Orang yang merekomendasikan kontes ini untuknya. Orang yang berkata sangat ingin melihat permainan piano Ify. Sejenak Ify tercenung, lantas batu-batu kebenaran itu ditindihkan dengan paksa kedalam dadanya. Terasa menyesakkan. Pangeran dari Kerajaan Menyebalkan itu, benar-benar tidak datang untuknya malam ini.

Ify memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam, mengusir perasaan ingin menganulir keputusannya mengikuti kontes ini. Sekali lagi, ditiliknya setiap sudut gedung ini, semua penonton mulai berbisik-bisik ricuh. Dewan juri yang semula duduk tegap dengan antusias, kini nampak mulai bosan menunggu Ify mulai menunjukkan kepiawaiannya memakinkan piano. Ify semakin nervous, ia merutuki jari-jarinya yang entah mengapa tiba-tiba saja jadi beku.
Ingin sekali Ify mencoret namanya dari daftar peserta kontes ini, apalagi kalau melihat peserta-peserta sebelumnya yang selain begitu apik dalam memaikan tuts-tuts nada, ditunjang juga oleh kualitas vocal yang memang diatas standart. Dalam kontes ini, setiap kontestan diperkenankan turut bernyanyi, bukan sekedar bermain musik.

"Ini buat nenek dan buat kamu, Mario." ujar Ify, dalam hati.

Berangkat dari ikrar hatinya, Ify memperoleh kekuatan untuk kembali menggerakkan jemarinya. Sebuah intro lagu anak-anak yang sudah lama lekang, mengalun sederhana, membius ricuh yang sempat membahana, lantas menggantinya dengan hening.

Satu-satu..
Daun-daun..
Berguguran, tinggalkan tangkainya.
Satu-satu..
Burung kecil.
Berterbangan, tinggalkan sarangnya.
Jauh-jauh, tinggi.
Kelangit yang biru.

Andaikan, aku punya sayap
Ku kan terbang jauh
Mengelilingi angkasa
Kan kuajak, ayah bundaku
Terbang bersamaku
Mengelilingi dunia.

Beberapa penonton yang hadir dan dewan juri, tampak mulai larut dalam permainan piano Ify. Jari-jari gadis manis ini dengan lincah masih menari diatas grand piano putih itu, mendentingkan alunan nada sederhana yang memanjakan indera pendengaran. Lagi-lagi Ify menyapu pandangannya, melirik sisi kiri kursi barisan depan. Disana ada Cakka dan Agni yang entah kompakan atau memang ber-chemistry kuat, keduanya sama-sama mengenakan baju berwarna merah marun. Lalu disebelahnya, terlihat Sivia yang terus menggandeng lengan Alvin, gadis itu melempar senyum kearah Ify saat mata mereka beradu. Disisi Alvin, ada sang Mama yang merangkul Iel yang duduk di kanannya. Dikursi berikutnya, ditempati mama dan papa Ify yang sengaja datang malam ini, untuk menyaksikan kembali putri tunggalnya bermain piano. Dan siluet terakhir adalah milik sosok cantik Shilla, gadis berambut panjang itu terlihat sangat bahagia, duduk diapit mama dan papanya.

Mereka semua nampak tersenyum lebar, seakan telah menemukan kembali sayap-sayap yang akan mampu membawa mereka terbang, menjangkau angan dan cita yang tergantung diujung kerlip bintang. Semua tampak begitu indah dan sempurna, malam ini. Layaknya sebuah kisah, bergenre happy ending, maka malam ini seakan jadi scene terakhir untuk menutup satu lagi balada seorang anak manusia.

Permainan piano Ify terus berlanjut, tapi suara ribut-ribut kembali terdengar. Seharusnya Ify sudah mulai kembali bernyanyi sejak tadi, tapi gadis itu malah memandang kosong. Konsentrasinya buyar, Ify, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Jujur saja ia, iri. Kenapa sepertinya, diantara teman-temannya, hanya ia yang tidak diijinkan bahagia ??

"Apa-apaan sih tu orang ? Gak niat banget mainnya." cibir family dari salah-satu kontestan yang duduk dibelakang Shilla.

"Satu-satu.. Burung kecil, berterbangan tinggalkan sarangnya. Jauh-jauh.. Tinggi, kelangit yang biru..."
Suara merdu Shilla, terdengar mengimbangi permainan piano Ify, dari kursi penonton. Ify terkesiap, menyadari dirinya telah melewatkan beberapa part dalam lagunya. Saat ia mengalihkan fokusnya kebangku penonton, tanpa di aba-abai terlebih dulu, suara rancak dan serentak, terdengar berkumandang, melengkapi alunan nada yang dihasilkan tuts-tuts putih-hitam yang Ify tekan. Beberapa penonton, terutama sobat-sobat Ify, ikut melantunkkan reff lagu yang Ify mainkan.

Andaikan, aku punya sayap
Ku kan terbang jauh
Mengelilingi angkasa
Kan kuajak ayah bundaku
Terbang bersamaku, mengelilingi dunia...

Terbang bersamakuu.. Mengelilingi duniaa..

Suara sopran milik Ify menutup lagu itu dengan sempurna. Standing applause dihadiahkan sebagian penonton dan dewan juri, yang benar-benar terkesan pada performance Ify.
Ify tau, permainan pianonya tidak cukup baik malam ini. Tepuk-tangan yang dihadiahkan kepadanya, Ify rasa semata-mata memang karena feel dari lagu itu sendiri yang sudah sangat mendalam. Apalagi lagu anak-anak itu sudah jarang diperdengarkan, saat Ify membawakannya malam ini, seakan mengobati rasa rindu sebagian orang-orang itu, akan masa kecil mereka.

Saat memberikan salam hormat, tanpa bisa dicegah mata Ify kembali menelusur setiap sudut gedung serba guna itu. Pangeran Kerjaan Menyebalkan itu, benar-benar tidak datang. Tak kuasa menahan tangisnya, Ify segera turun dari stage, dan memeluk mamanya.

"Kenapa sih dia nyebelin banget. Tinggal datang aja apa susahnya sih. Ify benci, benci banget sama dia." adu Ify, pada wanita anggun yang tengah membelai lembut rambut panjang Ify.

"Dia siapa, Nak? Siapa yang kamu maksud, sayang ??" tanya sang Mama.

Ify tidak menjawab, memilih menenggelamkan diri dalam dekapan hangat mamanya, berharap tetesan air matanya yang belum begitu deras, bisa secepatnya dibendung.

Masih dari balik pelukan mama, Ify menangkap siluet Shilla yang duduk tak jauh dari tempatnya, bersama Iel. Saat bola mata indah milik dua gadis cantik itu beradu, cepat-cepat Shilla melempar pandangannya ke objek lain.


Setelah melepas pelukannya, Ify menghampiri Shilla, berniat mengucapkan terima kasih karena sedikit banyak, gadis itu telah membantu performance pertamanya malam ini, setelah lama vacum bermain piano.

Tapi kemudian Ify terpaku ditempatnya. Sederet tulisan tangan Shilla yang tersusun rapi dalam secarik kertas, mengingatkan Ify pada sesuatu. Tidak ada yang istimewa, kertas itu hanya berisi sebuah e-mail dan keyword untuk searching sebuah video di youtobe, sepertinya Iel meminta Shilla menyalinkan untuknya.

"Jadi surat ditaman itu, elo yang tulis Shil ?" tegur Ify, tiba-tiba.

Shilla terkesiap. Saat mengangkat kepalanya, Shilla mendapati Ify tengah berdiri angkuh didepannya. Melipat kedua tangan didada, lengkap dengan ekspresi wajah menuduh.

"Surat ? Surat apa Fy ? Maksud lo apa ?"

"Gak usah sok gak ngerti deh lo." Ify merebut kertas yang Shilla pegang, "Ini tulisan lo kan ? Sama persis, sama tulisan yang ada disurat itu. Surat yang gue terima ditaman komplek perumahan Rio, gue hafal banget. Jadi elo yang tulis surat itu, apa sih maksud lo ? Kalau lo masih suka sama Rio, jangan kayak gini dong Shil, caranya." ujar Ify, panjang lebar.

"Kok lo ngomongnya gitu sih Fy ? Gue gak ngerti, maksud lo apa ?" kilah Shilla, wajahnya kian memucat.

"Gak usah bohong deh, Shil." Ify mendorong bahu Shilla.

"Weis, sabar girl. Gak pake emosi bisa kali ya ? Malu diliat orang." bela Iel.

Beruntung saat itu, seorang penyanyi solo sedang tampil sebagai penutup kontes malam ini, jadi suara-suara bernada tinggi yang dikeluarkan sedikit tersaru oleh dentum soundsystem.

"Yel, cewek ini tu pembohong. Dia tau dimana Rio, tapi di.."

"Nggak, gue gak tau dimana Rio. Lo jangan asal gitu dong, Fy."

"BOHONG.. Lo bohong kan. Lo tau dimana Rio kan?"

"Gue gak tau Fy."

Pada saat yang bersamaan handphone Shilla menyala, menampilkan ikon gagang telfon dan sederet nomor. Shilla menggigit bibir. Dengan satu gerakan cepat, buru-buru direjectnya panggilan yang baru masuk itu.

Tapi detik berikutnya,handphone Shilla kembali menyala. Lagi-lagi Shilla merejectnya.

"Kenapa gak diangkat ? Dari Rio ?" tebak Ify, "Ada apa sih sama kalian, kenapa gue gak tau apa-apa tentang Rio, sedangkan lo, lo tau semuanya ? Padahal selama ini, gue yang bantu dia." lanjut Ify sarkatis.

Shilla semakin memucat dan salah tingkah. Jari-jari tangannya, bergerak gelisah, meremas-remas gaun biru laut yang ia kenakan. Ify tersenyum sinis. Dan saat handphone Shilla kembali menyala, Ify dengan gesit buru-buru menyambarnya.

"Kalau ini bukan Rio, boleh dong gue yang angkat. Pengen tau suaranya." kata Ify, santai.

Shilla tidak sempat mengelak, hanya bisa berdoa, agar apapun yang terjadi sesudah ini, itu akan jadi yang terbaik untuk semuanya.

Klik

Tombol hijau pada keypad handphone Shilla ditekan, dan...

"Hallo Shil.." sapa orang disebrang sana.

Darah Ify berdesir cepat. Suara baritone itu, suara yang sangat Ify rindukan. Meski terdengar serak dan parau, Ify tetap bisa mengenalinya.

"Hallo Shil, kok direject sih, gue telfonin daritadi juga."

Ify masih terdiam. Menikmati setiap gelombang bunyi yang dihantarkan ke ruang dengarnya. Menyimak dengan seksama, seakan-akan mulai besok ia akan tuli dan tidak bisa lagi, mendengar suara berat pemuda disebrang sana, lagi.

"Shil, kok diem aja sih ? Kenapa ?"

"Ri.. Rioo.."

Hanya satu kata itu yang bisa Ify keluarkan, sisanya menolak untuk terkuar. Lebih memilih, tertahan di tenggorokannya. Tapi tidak perlu merangkai kata-kata yang lebih panjang lagi, karena penelfon diujung sana, sudah langsung menutup sambungannya setelah mendengar suara Ify.

Ify memicing mata pada Shilla, dengan kasar dilempar handphone Shilla, kearah kursi. Dan..

PLAKK

tamparan keras dari Ify, mendarat tepat dipipi kanan Shilla.

"Ambil Rio buat lo." tandas Ify, lalu berlari meninggalkan Shilla dan Iel yang sama-sama masih shock dengan apa yang Ify lakukan.

"Ada apa nih ?" tanya Cakka yang datang bersama Agni, Sivia dan Alvin.
Perlakuan Ify tadi tampaknya terlihat juga oleh keempat orang ini.


"Gue sama sekali gak ngerti, apa lo mau jelasin Shil? Ada apa sebenarnya?" tanya Iel hati-hati. Melihat, Shilla masih bengong sembari memegangi pipi kanannya yang memerah.
Iel memagut dua bola mata coklat cemerlang milik Shilla dalam sorot tajam. Seakan menegaskan bahwa gadis dihadapannya itu tidak boleh dan tidak akan bisa membohongi seorang Gabriel.

"Gak ko. Gak ada apa-apa, Yel." jawab Shilla, suaranya terdengar bergetar.

Iel menggelengkan kepalanya, lantas berdecak, "Ck, Shilla.." Iel meletakkan kedua tangannya pada bahu Shilla. Membimbing tubuh gadis itu, agar berhadapan lurus dengannya, "Gue gak akan maksa lo buat cerita. Tapi gue yakin, ada sesuatu yang lo sembunyiin. Ify gak mungkin marah-marah kayak tadi tanpa alasan kan ? Kalau lo bener-bener tau dimana Rio, tolong bilang sama dia, kita kangen." lanjut Iel.

Shilla menunduk dalam, tak kuasa menatap manik mata Iel yang tenang namun menyudutkan.

"Maafin gue Yo.." bisiknya dalam hati. Shilla memutuskan untuk jujur pada mereka, paling tidak ia bisa mengatakan bahwa Rio baik-baik saja, sehingga mereka tidak perlu khawatir.

"Ma.. Maaf.. Maafin gue. Maaf, gue emang tau dimana.. Dimana Rio, sekarang." aku Shilla, berbata-bata.

Semua terperangah.

"Jadi selama ini kamu tau dimana Rio, Shil ? Dan.. Dan kamu gak kasih tau kita. Ya Tuhan, Shilla, keterlaluan banget sih kamu." cibir Sivia, tak habis fikir.

"Ma.. Maaf, tapi.. tapi ini permintaan Rio, gue udah terlanjur janji sama Rio. Gue sama sekali gak ada maksud buat bohongin kalian. Please, percaya sama gue. Gue juga kepaksa."

"Kenyataannya kamu bohongin kita semua Shil, gimana kita bisa percaya sama kamu. Kamu tau Rio dimana, dan dengan teganya kamu biarin kita cari-cari dia, kita bahkan udah kayak orang bego sempet mikir kalau Rio diculik. Terutama Ify, lo gak kasian sama dia ? Bukannya akhir-akhir ini kalian deket, paling gak harusnya lo kasih tau dia." timpal Sivia.

"Jadi selama ini Rio menghilang ? Bukan lagi ke luar negri sama orang tuanya, kayak yang selama ini kalian bilang ? Apa Rio pergi karena gue nyalahin dia tempo hari." Alvin melontarkan sebuah pertanyaan. Pemuda berkemeja kotak-kotak putih itu diizinkan dokter, untuk malam ini saja keluar dari rumah sakit dan menghadari kontes piano yang diikuti Ify.

"Sumpah demi apapun gue selalu berusaha bujuk Rio, buat balik ke Bandung. Atau paling gak, dia bisa datang kesini malam ini, tapi kondisinya gak memungkinkan sekarang. Gue udah gak tau lagi harus dengan cara apa bujuk Rio, supaya mau nelfon Ify barang sekali. Gue gak berniat jahat, sumpah. Kalian percaya sama gue." papar Shilla sungguh-sungguh. Masih dengan kepala tertunduk, Shilla melanjutkan perkataannya, "Emm, dan soal kenapa lo gak dikasih tau tentang semua ini, mungkin lo bisa tanya sama yang lain. Karena gue juga gak tau, kenapa mereka gak mau kasih tau yang sebenarnya ke elo, Vin. Tapi kalau alasan kenapa Rio milih ngehindarin kalian, dia cuma bilang tempatnya bukan ditengah-tengah kalian lagi.

Yang gue tangkep sih, kayaknya Rio mulai ngerasa asing ditengah persahabatan kalian bertiga yang emang udah lama banget, Yel, Vin, Kka. Rio ngerasa saat dia ngelakuin kesalahan, gak akan ada satu orang pun yang bersedia belain dia. Rio gak berarti apa-apa buat kalian bertiga, dan bukan gak mungkin suatu saat akhirnya kalian juga bakal jauhin Rio karena sebuah kesalahan kayak yang kemarin terjadi, toh dia cuma orang baru, bukan siapa-siapa kan buat lo bertiga. Dan sebelum itu terjadi, Rio milih ngejauh lebih dulu dari kalian. Belum lagi soal Ify kalian tau sendiri kan, jadi manusiawi lah menurut gue kalau Rio milih pergi." tutur Shilla, sekarang dengan nada yang lebih tenang dari sebelumnya.

"Kita gak anggap Rio orang asing, kita cuma berusaha netral. Waktu masalah Alvin sama Rio, kita gak mungkin kan memihak salah satunya. Dua-duanya sahabat kita." bela Cakka.

"Gue ngerti Kka, dan gue yakin Rio juga ngerti. Cuma fikirannya lagi rancu waktu itu ini. Rio sangka, kalian gak akan bisa terima dia lagi."

"Tunggu deh, Shil. Kenapa kok kayaknya lo tau banyak banget tentang Rio. Emang ada apa sama kalian berdua ?" selidik Cakka.

Shilla tersenyum tipis "Gue tu.."

"Shilla sayang, pulang yuk." suara lembut seorang wanita membuat Shilla dan yang lain menoleh. Mama Shilla sedang berjalan kearah mereka, "Papa udah nunggu dimobil. Yuk, pulang." ajak sang Mama.

"Iya Ma, bentar lagi aja, Shilla mau.."

"Kan ngobrolnya bisa besok lagi. Udah ah, ayo, kasian Papa udah nunggu daritadi. Udah malam."

Shilla mendengus kesal, "Ya udah deh, gue duluan ya, guys. Gak usah khawatir, Rio bakal baik-baik aja. Nanti gue sampaiin salam kangen dari kalian." ujar Shilla. Gadis itu, lantas melambaikan tangan kanannya kearah empat orang temannya yang masih konsisten dengan tatapan penasaran mereka.

***

Aku bertahan, karena ku yakin cintaku kepadamu
Sesering kau coba 'tuk mematikan hatiku
Tak 'kan terjadi, karena ku tau kau hanya untukku...

Meski angin berhembus demikian kencang. Lihatlah, seberapa jauh ia sanggup menerbang kenangan yang telah terpintal, lantas merajut sebuah kisah yang kemudian menyelimuti relung hati.

Meski hujan begitu semangat menggulirkan rinainya. Lihatlah, cukup kuatkah ia, sampai mampu mengikis satu nama yang tanpa sengaja telah tertoreh dalam asa dengan begitu apik dan sempurna.
Kenangan. Tidak akan ada yang bisa membuatnya lekang. Bahkan otoriter sang waktu.

Agni menghentak-hentakkan ujung sepatunya dengan lantai, menghasilkan bunyi tuk-tuk-tuk untuk mengisi sepi yang ada. Benar kata orang, hal yang paling menyebalkan adalah dibuat menunggu. Hatinya terus saja mengumpat pemuda yang mengiriminya pesan singkat beberapa waktu yang lalu dan berjanji akan menjemputnya tepat pukul 4 sore, lantas dengan sangat menyebalkannya pemuda itu, ia entah lupa atau bagaimana, hingga sampai detik ke 21.600 sejak Agni pertama kali menunggunya, ia belum juga datang. Tapi anehnya, tubuh Agni sama sekali tak berniat bergeser barang seinci pun dari tempatnya menunggu. Tidak seperti biasa, kakinya juga tidak memprovokasi agar segera hengkang dari sana.

Agni melipat kedua tangannya didada, memasang tampang kesal yang sekesal-kesalnya, saat deru mesin kendaraan bermotor terdengar memasuki selasar rumahnya.

"Sorry ya gue telat. Ya udah, jalan sekarang aja yuk." ajak Si Pengemudi cagiva hitam yang kini terparkir didepan Agni.

"Ulang tahun lo, kapan ?" tanya Agni dengan nada sewot, sambil berjalan gontai menghampiri Si Pengemudi tadi.

"Masih lama sih, kenapa emang ?" jawabnya santai. Belum menyadari, medan kini telah berubah. Gadis kuncir kuda itu, telah menebar aura neraka kemana-mana.

"Gak pa-pa sih, kalau elo ulang tahun, gue bakal kasih kado jam tangan segede papan tulis kalau perlu. Jam tangan segede gitu, kayaknya gak ngefek sama sekali buat lo." Agni menunjuk jam tangan digital biru tua, yang melingkari pergelangan tangan kiri Si Pengemudi tadi.

"Hehe. Sorry ya gue ngaret banget. Eh, tapi kita jadi kayak dè javu gini ya, dulu waktu pertama kali kita jalan juga gue telat. Cuma bedanya, sekarang lo gak pake gaun.Hehehe." kekehnya.

Agni terdiam, mendengar penuturan Si Pengemudi dihadapannya itu. Kalau orang tadi bisa terkekeh beberapa kali, Agni sama sekali tidak ingin tersenyum barang sedikitpun. Bagi Agni, saat-saat itu sama sekali tidak layak untuk diungkit, hanya akan membuatnya semakin sakit.

Kenangan. Masa yang terkistralkan. Dimensi yang terbekukan. Yang bisa diputar ulang kapanpun saat Sang Pemilik ingin kembali mengenang tapak-tapak yang pernah dilewati. Yang bernama kenangan, bak debu pada kaca yang basah, sekali menempel akan sulit untuk dienyahkan.

"Dan bedanya, sekarang gue udah tau, kalau elo sebenarnya gak pernah sayang sama gue." tandas Agni.

Si Pengemudi tadi, Cakka, ia tersenyum miris, tidak tau harus bagaimana lagi meyakinkan Agni tentang perasaannya terhadap gadis itu.

***

Aku bertahan, ku akan tetap pada pendirianku.
Sekeras kau coba 'tuk membunuh cintaku.
Dan aku tau, kau hanya untukku.

Tempat yang sama. Dengan senja dalam balutan warna jingga yang sama. Rimbunan daun yang sama, bahkan tangan yang menggenggamnya pun masih milik orang yang sama.
Tapi yang melingkupinya justru rasa yang berbeda. Bukan lagi sejuk dan tenang seperti kala itu, tapi lebih kepada sedih dan perih. Seakan tempat ini menyimpan ribuan bilah pisau tak kasat mata yang terus menghunus hatinya.

Rumah pohon ini. Sama seperti dulu, dari sini Agni bisa melihat hampir semua lukisan alam yang disuguhkan "Sang Maestro". Tapi yang tampak jelas dimata Agni justru hanya sebuah kenyataan, bahwa semua yang telah ia berikan, hanya dihargai segelas jus dan semangkuk baso oleh pemuda yang duduk disampingnya itu.

Agni tidak tau, apa maksud Cakka mengajaknya ketempat ini lagi, pemuda itu juga masih memilih diam. Agni yang tidak ingin berlama-lama tinggal disini, akhirnya membuka suara, "Jadi apa yang mau lo omongin, Kka ?" tanya Agni, mengingat isi pesan singkat yang Cakka kirimkan.

Cakka menoleh lantas tersenyum kecil, "Gue cuma mau pamit Ag, lusa gue mau ke Singapore dan menetap disana."

"Singapore ? Emang... Kenapa Kka?"

"Karena lo, Ag. Habisnya, lo gak mau maafin gue sih." balas Cakka, bercanda.

Agni mengerutkan kening, "Gue serius kali Kka, nanyanya." protes Agni.

"Hehe, iya. Gue ke Singapore buat nemenin bokap gue berobat. Kata Om gue, dengan teraphy dan serangkaian pengobatan disana, bokap gue bisa sembuh total. Gue minta doa lo ya."

Agni mengangguk kecil, "Iya, gue doain."

Setelah tiga kata yang dilotarkan Agni, keduanya kembali terdiam. Membiarkan desau angin yang sibuk bercerita, tentang balada-balada tempat yang dikunjunginya. Membiarkan daun-daun saling berbisik, mengimbangi ricuh suara burung yang hendak kembali ke sarang.

"Gue udah mau pergi Ag, dan gak tau kapan gue bisa balik ke Indonesia. Apa.. Apaa.. Elo belum mau maafin gue Ag ??" tanya Cakka, ragu.

"Emm, gue selalu coba lupain semuanya, supaya gue bisa maafin lo. Tapi itu gak gampang, Kka."

"Berarti elo juga belum percaya, kalau gue bener-bener sayang sama lo dan gue nyesel atas semua perbuatan gue ke elo ?"

"Itu bukan urusan gue lagi Kka. Semuanya udah lewat, buat gue ada ataupun enggak rasa sayang itu di hati lo, semua udah gak berpengaruh apapun."

"Dulu gue pernah bilang kan Ag, elo cewek pertama yang gue kasih tau keadaan bokap gue, elo cewek pertama yang gue kasih tau, tentang tempat rahasia gue ini. Dan elo Ag, elo cewek pertama yang bener-bener gue sayang. Itu semua bukan gombalan kayak yang sering gue bilang sama cewek-cewek lain. Itu serius Agni, dari sini." Cakka meraih tangan kanan Agni dan meletakkan didadanya.

"Gue mau pulang Kka." Agni menarik tangannya dengan kasar. Lantas berdiri, lalu menuruni rumah pohon itu.

Cakka segera menyusulnya, "Ag.. Agni.. Gerimis Ag, lo tau kan kita naik motor. Kalau pulang sekarang nanti lo kehujanan." cegah Cakka, seraya mengimbangi, langkah-langkah cepat Agni.

Tiba-tiba Agni menghentikan langkahnya. Menatap marah pada Cakka, dan berkata, "Kka, gue gak mau lama-lama disini. Gue gak mau. Kenapa sih lo ajak gue kesini lagi, gue mau lupain lo Kka, gue mau lupain lo. Gue sakit, sampai sekarang sakit itu masih ada... harusnya...  harusnya lo ngerti, Kka. Lo ngertiin gue." Agni meraung, suaranya membaur dengan isak tangis miliknya sendiri.

Cakka hanya bisa memandangi bulir-bulir air mata Agni jatuh, lalu bermuara pada tanah berlumut di bawah sana. Ia sadar betul, kata-kata maaf tidak akan ada maknanya lagi. Ia terlalu sering melafalkannya didepan gadis ini. Satu gerakan reflek, Cakka menarik tubuh Agni dalam pelukannya. Mengizinkan gadis itu membagi tangisnya, menbiarkan relungnya semakin di penuhi rasa bersalah, membiarkan batinnya semakin sedih karena rintihan gadis dalam rengkuhannya itu.

Yang bernama kenangan itu, bila manis ia akan jadi candu. Sedang bila pahit, ia akan jadi ranjau, bahkan untuk dua hati yang sejatinya saling memilih.

***

Guguran bunga-bunga bougenville berwarna pink tua yang berjatuhan, menjadi background yang sangat cantik untuk gadis cantik yang tengah berdiri dibawah pohonnya.

Berulang kali gadis ini melongok kekiri jalan, lalu melirik jam abu-abu senada rok seragamnya yang melingkah dipergelangan tangannya. Sesekali ia mengibas-ngibaskan selembar kertas foto copyan yang sejak tadi dipegangnya.

"Ini taksi pada kemana sih, heran deh giliran ditunggu gak ada yang nongol. Mana panas banget pula." gerutunya kesal.

"Shil, Shillaa.."

Gadis tadi menoleh, mendengar teriakan yang mengumandangkan namanya. Zevana dan Angel, dua orang gadis yang telah Shilla coret dari list best friendnya, berjalan tergesa kearah Shilla.

"Kenapa ?" tanya Shilla, jutek. Dengan santai, ia menggelembungkan permen karet rasa strawberry yang sejak tadi dikunyahnya.

"Mmh, kita.. Anu Shil, kita mau.. Anu.." Angel tampak menyenggol-nyenggol lengan Zevana, "Lo juga bantuin ngomong dong, Ze." bisiknya.

Zevana, atau Zeze begitu ia akrab disapa, malah menggeleng keras-keras.

"Kenapa lo, geleng-geleng begitu, kayak ayam mabok aja lo." cibir Shilla.

"Shil, kita mau.. Kita mau.. Mau.."

"Mau apaan, permen karet gue? Nih." Shilla melemparkan beberapa buah permen karetnya.

"KitaMauMintaMaafShil." ucap Zeze dengan cepat, takut Shilla tiba-tiba akan meledak dan menghujaninya dengan caci maki.

Shilla mendelik.

"Iya Shil, kita mau minta maaf. Kita tau kita salah, kita gak tulus sahabatan sama lo, selama ini kita manfaatin lo." tambah angel.

"Kemana aja Jeng, eh ya ampun, baru pada sadar ya, rupanya." celetuk Shilla, meniru gaya bicara ibu-ibu PKK.

"Shilla, kita serius tau." ujar Zeze.

"Maca ciih ?"

"Kita tau Shil, lo kecewa banget sama kita.."

"Emang." potong Shilla, menyela ucapan Angel.

"Please Shil, maafin kita. Kita kangen sama lo, gue sama Zeze pengen, kita sahabatan kayak dulu. Kita mau berubah Shil, kita juga mau punya banyak temen kayak lo sekarang. Maafin gue, Shilla." tutur Angel, sungguh-sungguh.

"Kalian gak tau kan gimana perasaan gue waktu Gabriel bilang kalian lebih mentingin liburan dibanding nyawa gue, gue sakit hati tau gak ? Kalian gak peduli sama gue, waktu gue lagi susah. Apa itu namanya sahabat ??"

"Shilla, kita tau kita salah. Kita janji gak akan kayak gitu lagi. Gue kangen saat-saat kita ngumpul bertiga kayak dulu lagi. Gue gak pengen persahabatan kita hancur, Shil. Kita bersedia ngelakuin apapun, asal lo maafin kita." Zeze terlihat hampir menangis saat berkata demikian.

Shilla memutar bola matanya,dan memandangi Zevana serta Angel dari atas sampai kebawah dengan tatapan yang sangat menyebalkan, hal yang sudah lama tidak dilakukan oleh Seorang Ashilla Zahrantiara yang dulu begitu angkuh dan sengak.

Kedua sobat kental Shilla, sudah menyerah. Mendesah keras-keras, karena tau, Shilla tidak mungkin mau memaafkan mereka.

"HAHAHAHA.." tiba-tiba Shilla tertawa keras-keras, "MISS YOU TOO, SISTAAA. Gue juga kangen banget sama kalian. Shilla yang baik hati ini sudah memaafkan kalian." tutur Shilla riang dan langsung memeluk kedua sahabatnya.

Angel dan Zevana tersenyum lebar, hampir bersamaan, mereka berkata, "Jadi kita dimaafin Shil ?"

"Woyadong. Tapi awas aja, kalau diulangin lagi. Gue bikin galau seumur hidup, lo berdua." ancam Shilla, setelah melepas pelukannya.

Tin.. Tiiinnn

Suara klakson vios silver milik Gabriel, membuat tiga belia tadi menepi.

"Belum pulang, Shil ?" tanya Iel , setelah menurunkan kaca mobilnya. Shilla menggeleng, "Mau bareng ?" tawar Iel.

"Gak deh Yel, gue mau bareng Angel sama Zeze aja." tolak Shilla dengan iringan seulas senyum.

"Oh, ya udah kalau gitu. Girls, duluan ya..." pamit Iel, Vios silvernya langsung meluncur meninggalkan kepulan debu yang melayang beberapa centi dari permukaan aspal, setelah dilewati ban mobil Iel.

"Ecie, cie. Princess baik hati kita ini jadi idola baru ya rupanya ? denger-denger direbutin tiga pangeran ganteng sekaligus." goda Angel jail.

Pipi Shilla bersemu merah, "Idih apaan sih, pada lebay deh." tukasnya, salah tingkah.

"Beruntung banget ya, Si Itu tu, berhasil memenangkan sayembara cintanya princess Shilla." tambah Zeze.

"Yang beruntung tu gue kali. Bisa jadian sama cowok keren, pinter, jago basket, perhatian pula." tutur Shilla, malu-malu.

"Aaarrh, cerita, cerita. Lo ditembak dimana Shil sama dia, trus romantis gak, ayo dong cerita ke kita." desak Angel, kabar bahwa sahabatnya telah memiliki kekasih sejak sekitar dua minggu yang lalu memang sudah Angel dan Zevana ketahui.

"Romantis dong pastinya. Dia main gitar dan nyanyiin satu lagu buat gue, diatas perahu kecil ditengah-tengah danau. Udah gitu, malam itu bintangnya banyaaaak banget. Romantis be.ge.te deh pokoknya." pamer Shilla.

"Aaaaaarh, maauuu.." koar Angel dan Zeze kompak.

"Emang ya, kalau udah jodoh gak kemana." tutur Angel, yakin.

"Ya udah ceritanya kita lanjut di cafè depan sana aja yuk. Gue yang traktir deh, itung-itung PJ buat kalian." Usul Shilla.

Ketiga gadis berseragam putih abu itupun melenggang menyebrangi jalan raya, menuju sebuah cafè yang memang tidak begitu jauh dari gedung SMA Citra Bangsa.

Sahabat..
adalah orang yang tidak akan memberimu cahaya saat gelap menjelang. Tapi ia akan senantiasa menjadi lilin, yang rela habis demi terangmu.

Sahabat...
Adalah orang yang tidak akan beranjak jauh dari tempatnya disisimu, meski berulang kali kamu memintanya pergi.

Sahabat...
Ia tidak merasa perlu untuk dendam, saat kamu lupa membagi tawamu dengannya, dan akan selalu mencurahkan maafnya saat kamu digelincirkan khilaf dan terseret dalam salah.

***

Hahaahaa

Suara tawa renyah itu, membuat Debo mempercepat ritme ayunan kedua kakinya. Ify tertawa ?? Setelah Rio menghilang yang Debo tau Ify tidak pernah tertawa seriang itu. Bahkan saat Cakka bertingkah konyol sekonyol konyolnya orang konyol sekalipun, gadis itu tidak pernah tertawa. Tentu saja derai tawa Ify tadi membuat Debo penasaran, apa Rio sudah kembali dan ada didalam ??

Setelah sampai didepan pintu rumah Ify, Debo berniat mengetuknya. Tapi kemudian pintu lebih dulu terbuka, dari dalam muncul Ify dan seorang pria hitam manis yang setahu Debo bernama Riko, kapten basket SMA Nusantara. Ada apa dia dirumah Ify malam-malam begini ? Debo mematung dengan tangan yang masih terangkat diudara.

"Patung baru Fy ? Tadi perasaan pas gue masuk belum ada deh." celetuk Riko seraya menyeringai lebar kearah gadis berpiyama merah jambu disampingnya.

"Helloo, mas.. Mas !!" Riko mengibas-ngibaskan lengannya didepan wajah Debo.

Debo terkesiap.

"Eh iya. Anu Fy, eh, gue mau.." Debo tampak kelimpungan, merangkai kalimat untuk mengklarifikasi maksud dibalik ekspresi bodohnya tadi.

"Kenapa De ?" tanya Ify, heran.

"Emm, gue ada perlu Fy sama lo." Debo melirik Riko dengan tatapan Elo-Mendingan-Cepet-Pergi.

Riko yang seakan bisa mengerti bahasa isyarat lewat mata yang digunakan Debo, segera berinisiatif untuk pamit sebelum diusir, "Ya udah deh, gue balik ya Fy. Semoga sekarang lo ngerti." pamit Riko, ia segera berlalu setelah menerima anggukan kecil dan seulas senyum manis dari Ify.

Setelah sosok Riko menghilang ditengah temaranya malam, Ify kembali fokus pada pemuda didepannya, Debo.
Ify bersandar pada pintu dan memasukan kedua tangannya kedalam saku piyama yang ia kenakan.

"Ada perlu apa sama gue ?" tanya Ify, malas.

"Tadi Riko ngapain kesini, Fy ? Terus tadi lo ketawa-ketawa gitu sama dia, ngetawain apaan sih ?"

Ify mengangkat alisnya, "Sejak kapan lo hobi ngurusin, urusan gue ?" balas Ify, jelas sekali nada tidak suka yang Ify tekankan pada kalimatnya.

"Okelah, emang bukan urusan gue. Fy, lo masih peduli sama Rio ?"

"Lo kesini cuma buat nanya hal gak penting kayak gitu ke gue ?"

"Ck" Debo berdecak kesal, "Gak pake sinis gitu bisa kali Fy. Gue kesini cuma mau nolongin Kak Acel, dia jauh-jauh datang dari Manado buat ketemu lo. Kebetulan dia ketemunya sama gue, ya udah gue anter dia kesini. Itu orangnya.." Debo menunjuk seorang pemuda dengan garis wajah mirip Rio, yang sekarang sedang memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya pada jok mobil mercedes benz yang ia bawa. Pemuda yang kata Rio hanya berbeda 17 bulan dengannya itu terlihat begitu lelah dan sedih.

"Kak Acel, kakaknya Rio kan ? Ngapain dia mau ketemu gue ?"

Debo mengangkat bahunya, "Katanya buat sesuatu yang penting, kayaknya sih berhubungan sama Rio."

Rio. Mendengar nama itu darah Ify kembali berdesir cepat. Jantungnya lagi-lagi berdetak abnormal. Ify memang sudah berusaha melupakan pemuda itu, menghapusnya, mengabaikannya, sama seperti yang telah Rio lakukan terhadapnya. Tapi ternyata, sia-sia. Lihat saja, hanya dengan mendengar nama itu, tubuh Ify sudah memberikan respon yang tidak biasa. Semua masih begitu jelas, tidak tersamar, apalagi pudar.

"Sorry deh, tapi gue gak mau tau lagi soal Rio. Dia punya kehidupan sendiri, gue juga punya kehidupan sendiri. Gue gak mau berurusan lagi sama dia, toh emang itu kan yang Rio mau ?" tolak Ify tegas.

"Tapi Fy, kak Acel gak mungkin repot-repot sampai ke Bandung segala, kalau gak ada sesuatu yang penting. Paling gak lo temuin dia, atau biar gue panggil aja dianya kesini ?"

"Gak perlu." cegah Ify, "Gue udah bilang kan, gue gak mau ada urusan apa-apa lagi sama Rio. Bilang sama kakaknya Rio itu, gue minta maaf gak bisa bantu apa-apa. ada hal lain yang mau lo sampaiin ? Kalau cuma soal Rio, maaf tapi gue udah gak peduli." tandas Ify.

"Fy, lo kira gue peduli sama Rio. Kalau mau jujur gue juga masih benci sama dia. Tapi ini demi kemanusiaan. Ada seorang kakak yang jauh-jauh mau nemuin lo, demi adiknya, apa lo sama sekali gak tergerak buat bantu. Gimana kalau yang dimaksud penting itu menyangkut nyawa Rio ?"

Ify melengos tetap tidak peduli, "Bagus dong, kalau dia mati kan dia jadi bisa bersatu sama sepupu lo." jawab Ify sekenanya, ia benar-benar marah didikte macam-macam oleh Debo, seakan-akan Ify adalah gadis paling tidak berperasaan.

"Tapi Fy, lo kan.."

"Selamat malam Debo." Ify tidak menunggu Debo menuntaskan kalimatnya, ia lantas menutup pintu rumahnya dengan kasar, hingga terdengar bunyi BRAK yang cukup keras.

Didalam, Ify bersandar lemas pada pintu. Perlahan, tubuhnya melorot ke lantai. Ify terus menggeleng sambil merapal sebuah kalimat, "Jangan nangis Ify. Jangan nangis." kalimat itu terus diulang Ify, sebelum akhirnya berhenti karena Si Perapal mendengar satu kalimat yang diteriakkan Debo dari luar.

Tidak ada hujan, kilat apalagi petir. Tapi Ify merasa bagai disambar guntur-guntur dengan gelegar maha dahsyat. Tubuhnya bergetar. Tertatih Ify menggapai handle pintu, berharap Debo masih bertahan diluar sana. Dan Tuhan mau berbaik hati menormalkan lidahnya yang tiba-tiba jadi beku, untuk sekedar bertanya, tentang kebenaran kalimat yang tadi Debo teriakkan.

***

Jendela yang menghadap langsung kearah timur itu, dibiarkan terbuka. Berharap sirkulasi udara yang berjalan lancar bisa merubah atmosfer ruangan ini menjadi lebih segar. Tapi ternyata tidak, angin malam yang bertiup sepoi, mengusap lembut apapun yang dilewatinya, nyatanya sama sekali tidak bisa membuat para penghuni ruangan ini untuk setidaknya melonggarkan argumen.

"Mau ya sayang, demi Mama Vin, demi masa depan kamu juga, Nak." Mama Alvin masih terus berusaha membujuk putranya itu agar mau menjalani pengobatan sekaligus operasi di Singapore. Sang Mama sengaja menggunakan kata-kata sehalus mungkin, agar Alvin luluh.

"Gak mau Ma, kenapa harus di Singapore sih, Ma ? Kalaupun nanti Alvin dapat donor mata, terus dioperasi dan sukses, yang pengen Alvin liat pertama kali tu temen-temen Alvin. Dan seandainya operasinya gagal, lalu terjadi sesuatu sama Alvin, Alvin mau selalu deket sama temen-temen Alvin. Alvin gak mau ke Singapore. Lagi pula disana Alvin juga belum dapat donor mata yang pasti kan ?"

"Tapi Vin, akhir-akhir ini kamu bilang bagian sekitar mata kamu sering sakit kan ? Pihak rumah sakit sudah membuat surat rujukan agar kamu berobat ke Singapore. Alvin, kami ingin yang terbaik buat kamu, Nak." Papa ikut menimpali.

"Alvin gak mau Pa, Ma... Alvin takut."

"Vin, elo gak perlu takut, gue bakal ikut nemenin lo ke singapore. Kalau elo udah sembuh, kita bisa pulang secepatnya, elo bisa segera ketemu sama anak-anak, yang penting lo sembut dulu." Iel turut membujuk Alvin.

"Gabriel, kamu gak mungkin ikut Nak, kondisi kamu sendiri belakangan ini gak stabil. Singapore itu gak deket, Mama gak mau kamu malah drop nantinya." cegah Sang Mama, tampak khawatir.

"Ma, Iel baik-baik aja kok. Selama ini Iel juga sering kan keluar negri sama Papa. Iel mau nemenin Alvin Ma, Pa.." rajuk Iel, setengah memohon. Entah karena apa, Ia merasa perlu untuk ikut. Iel merasa akan terjadi sesuatu, dan ia akan sangat dibutuhkan disana. Hati kecilnya terus memerintahkan Iel agar ikut bersama Alvin serta Mama dan Papanya ke Singapore.

"Baiklah, Yel. Kamu boleh ikut." ujar Sang Papa pada akhirnya.

"Tapi Mas.."

"Kebetulan dokter Fadli sedang riset bersama timnya di Singapore juga, kalaupun Iel drop, dokter Fadli pasti bersedia memback up. Tapi semoga saja, tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Jadi bagaimana Alvin, kamu setuju berangkat ke Singapore ?" tanya Papa kembali pada Alvin yang terduduk diatas ranjangnya.

"Alvin mau Pa, tapi Via juga ikut ya. Alvin mau Via juga ditangani tim medis yang lebih profesional di Singapore, lagipula Via sakitnya belum parah, masih mungkin sembuh tanpa harus transplantasi, kalau ditangani oleh dokter-dokter ahli."

"Kalau ibu Sivia setuju, mama sih tidak masalah kalau Sivia ikut."

"Papa juga. Papa harap kalian berdua akan lekas sembuh, siapa tau setelah sehat kalian berniat untuk melangsungkan pertunangan, nantinya." goda Papa Alvin, tanpa memperhatikan perubahan ekspresi kedua putranya.

"Semoga Tuhan memperkenankan itu semua terjadi." pinta Iel dalam hati. Ia tersenyum simpul. Paling tidak pengorbanannya selama ini tidak akan sia-sia kalau pada akhirnya dua orang yang paling berarti untuk Iel, keduanya bisa bersatu dalam kidung bahagia yang sempurna.

***

0 komentar:

Posting Komentar