***
tubuh masih terlapisi buliran peluh, diselimuti lelah dan letih, tenggorokan juga masih terasa sakit efek teriak-terikan bak seorang tarzan kembali ke hutan, tadi. Meski baru beberapa menit lalu tim basket CB memenangkan pertandingan, sorak sorai ataupun buncahan kegembiraan sudah tandas dari fikiran mereka.
Rio, ify, alvin dan cakka....
Kini seluruh partikel-partikel dalam tubuh mereka, ramai membicarakan hilangnya, via dan iel.
Ada apa sebenarnya dengan mereka??
Motor alvin dan cakka terparkir lebih dulu di depan sebuah rumah, rumah alvin. Bangunan itu nampak besar, bertingkat dua dengan halaman yang cukup luas. Desainnya yang sederhana dan dominasi warna biru laut serta putih membuat bangunan itu terkesan manis. Di selasarnya terparkir 2 mobil mewah dengan jenis berbeda yang tidak di gunakan oleh pemiliknya, sedangkan di samping pintu utama, 2 guci indah berperan sebagai patung selamat datang.
"IEL,IEL...YEL,IEL" tanpa salam ataupun ketukan pintu alvin menyeruak masuk dan langsung meneriakan nama saudara angkatnya itu.
Ia berlari kecil, mengecek tiap-tiap ruang dan kamar dirumahnya. Cakka juga turut memeriksa beberapa ruangan di rumah itu, tapi hasilnya nihil, seperti biasa, tidak ada tanda-tanda kehidupan dirumah ini. Sepi.
Tok.tok.tok
"yel, lo didalem?" tanya alvin, setelah mengetuk pintu kamar iel.
Lama, tetap tidak ada jawaban.
"jangan-jangan iel kenapa-napa lagi didalem." duganya, cemas.
Klik
"gak dikunci, vin." ujar cakka, setelah berhasil membuat pintu kayu bercat putih didepannya, berdecit terbuka.
Pilu. Nuansa itu yang langsung menyambut alvin dan cakka ketika memasuki kamar itu, seakan ruangan ini ingin memberitahu keluh dan pedih yang diderita penghuninya selama ini.
Ada apa sebenarnya??
Alvin dan cakka mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Terdapat serpihan kaca dari gelas yang pecah, sebuah suntikan, obat yang berceceran. Belum lagi seprai dan selimut yang dipenuhi bercak pekat kehitaman, bantal serta guling merebah pasrah diatas lantai.
"ini obat apa vin? Iel....bukan pecandu kan vin?" tanya cakka, takut-takut.
Alvin menatapnya tajam, pertanda ucapan cakka tadi membuatnya berang. Cakka menunduk paham.
Diatas meja belajar, terdapat sebuah laptop yang nampaknya masih menyala, alvin mendekat berniat mematikannya.
Saat kursor digerakkan, lampu layar kembali menyala, ternyata ada 1 file belum di close oleh iel. Alvin tergerak untuk mengeja beberasa kalimat yang tertulis disana...
....... Dia.. Adalah mawar dan dengan tanganku telah aku lumpuhkan semua durinya, tapi mengapa bukan aku yang memilikinya?? Aku yang lebih dulu melihat senyumnya, aku yang menghapus air matanya, aku yang mengerti semua tentang dia, tapi mengapa bukan aku yang memilikinya?? Dia adalah hujan, semakin aku bertahan dibawah hadirnya, guyuran air akan semakin deras menderaku, dan bukan apa-apa, hanya dingin yang akan aku terima. Lalu apa masalahnya gabriel?? Bukankah itu memang pantas untukmu.. Bertahan. Hanya itu hal paling indah yang bisa aku lakukan untukmu, SI- .....
"ALVIN DARAH." teriak cakka.
Alvin menoleh, tanpa melirik lagi pada file tadi, ia segera mematikan laptop iel dan berlari kearah cakka. Dilantai kamar mandi dan gagang pintu, memang di penuhi bercak darah segar.
Tiba-tiba saja, jantung alvin berdetak lebih cepat, ada apa ini??
Sedangkan cakka hanya bisa terpaku dengan tatapan nanar.
"BI, BIBIII, BI.." alvin berteriak kalap.
Seorang wanita berusia sekitar 50'an datang tergopoh dengan lap tersampir di bahu kirinya.
"ada apa den??"
"ada apa-ada apa, kalo di panggil tu cepet dong." bentak alvin, yang dikuasai rasa panik.
"iel mana?"
"den iel pergi, bersama tuan dan nyonya ke singapur semalam den, waktu den alvin sudah tidur" jelas si bibi, sambil membungkuk dalam.
"kenapa gak pamit sama gw?"
"kata tuan, gak usah den."
"ngapain mereka ke singapore, bawa iel berobat, iel sakit??"
"ti..ti..tidak tau den." si bibi menggeleng kan kepalanya keras-keras.
"trus itu darah apaa? Kenapa gak di bersihin, pecahan kacanya juga. Udah gak betah kerja disini, heuh??" alvin meluapkan seluruh amarahnya pada wanita yang sebenernya tidak bersalah ini.
"iya den, nanti bibi bersihkan."
"apa, nanti?? SEKARANG, CEPET." bentak alvin.
Dengan terbungkuk-bungkuk si bibi pun segera pergi dari hadapan tuan mudanya itu.
"udah vin, lo apaan sih, kok jadi malah sentak-sentak si bibi gitu." cakka mencoba menenangkan.
"gw tu apa sih dirumah ini. Sial banget, timbang pamit aja apa susahnya sih. Shit." protes alvin, marah.
Ia melempar tinjunya ke arah pintu kamar mandi.
Cakka hanya menepuk pundak alvin, lalu berjalan keluar. Ia tau mengeluarkan 1 kata saja, sama dengan mencari bogem gratis dari alvin.
***
mobil sedan hitam rio terparkir didepan rumah sivia yang letaknya berselang 2 rumah dari rumah alvin. Sepasang kekasih ini, ify dan rio, keluar dari mobih dan berjalan menyusuri halaman depan rumah via yang dipenuhi bunga-bunga hias.
"lho tante mau kemana?" sapa ify lembut saat mendapati mama via didepan pintu rumahnya, menenteng tas berukuran cukup besar.
Sisa-sisa buliran air mata, masih terselip di sela jejeran indah bulu mata, wanita itu. Wajah keibuannya, kini sarat rona panik dan sedih.
"ify, Rio, kenapa kalian kemari??" tanyanya, lirih.
"kita cari via tante. Vianya ada??" kini gantian rio yang bertanya.
"via semalam, tante bawa ke rumah sakit lagi, badannya panas banget, ini juga tante baru pulang buat ngambil baju ganti."
"kok bisa tan, emang via sakit apa?" ify terlihat ikut cemas.
"belum tau fy, akhir-akhir ini via suka muntah dan gatal-gatal. Via sudah tes kesehatan, hasilnya keluar besok mungkin."
"oh,ya udah, tan, kalo gitu sekalian aja, kita ke rumah sakit, rio juga bawa mobil kok." tawar rio.
Mama via, mengangguk setuju.
Rio berjalan lebih dulu ke arah mobil, ify masih membantu mama via membereskan rumah, sekedar menyibak jendela dan mematikan lampu-lampu.
"Lho vin, kka? Gimana, iel mana?" tanya rio, saat menjumpai alvin dan cakka telah memarkirkan motor disisi mobilnya.
"iel ke singapore." jelas cakka.
"kok bisa??" rio mengerutkan keningnya.
Cakka mengangkat bahunya.
"palingan di paksa bokap gw. Emang dasar diktator tu orang, nyesel gw jadi anaknya." balas alvin, dengan raut wajah tak bersahabat.
"hush, lo ngarang aja vin, kalo ngomong." bantah rio.
"ya udah lah, langsung kerumah sakit aja yuk. Via sakit." ajak rio, tidak ingin memperpanjang pembicaraan tentang masalah internal keluarga alvin.
"rumah sakit??" tanya alvin, bingung.
"udah akh, buruan, ntar lo tanya-tanyanya disono aja." rio segera masuk dalam mobilnya dan melajukannya perlahan. Didepan alvin dan cakka juga sudah memacu cagiva masing-masing.
***
setekah tiba, alvin, ify, cakka dan mama sivia segera berlari kecil menuju kamar rawat via yang memang berada di lantai dasar sedangkan rio masih mencari 'PW' untuk memarkirkan mobilnya.
Seorang pemuda segera menutup wajahnya dengan koran ketika melihat alvin dkk. Ia mengenakan baju kehijauan yang mempertegas statusnya sebagai pasien rumah sakit ini. Setelah rombongan kecil itu berbelok dan menghilang ditelan tikungan koridor, ia baru menurunkan koran yang menutupi wajahnya.
"alvin, cakka, ify sama mama via, ngapain mereka disini, akh gawat nih kalo ketauan." gumamnya.
"apa yang Gawat, gabriel??" sebuah suara mengagetkan pemuda tadi. Ia terdiam.
***
dua orang pemuda...
Dan keduanya sama-sama terdiam, membiarkan dentum kecil jarum jam yang bernyanyi mengisi kebisuan dalam ruangan ini. Sebuah kamar V.V.I.P dengan ranjang, sofa, televisi dan bonus,view hijaunya dedaunan serta sinar jingga saat matahari terbenam, yang dapat di nikmati dari jendela besar yang menghadap ke timur.
Tapi sesempurna apapun kamar ini di desain, tetap saja ini rumah sakit. Tempat lahirnya jiwa-jiwa kecil bak malaikat ke dalam raga mungil yang menggemaskan, juga tempat jiwa-jiwa 'say goodbye' pada raga yang telah menampungnya. Kehidupan dan kematian, sembuh serta sakit, ya... Itulah rumah sakit.
"ruang ini khusus dibangun buat lo??" tanya rio dengan nada yang terdengar mengejek. Ia masih kesal dengan sikap iel yang membohongi alvin, saudaranya, perihal kepergiaannya ke singapore..
"jadi elo gak ke singapore?? Kapan lo mau jelasin semuanya ke gw, dan elo harus tau, gw gak suka nunggu." tegas rio.
Iel terdiam, sial untuknya setelah bertahun-tahun lolos menyimpan rahasianya, hari ia ditodong untuk membukanya pada rio. Sambil menunggu iel bicara rio mengamati ruangan itu, terdapat gitar, bola basket, jaket, beberapa buku pelajaran, baju seragam bahkan helm.
"ini apartement atau kamar rawat sih sebenernya?" celetuk rio.
"ini rumah kedua gw. Mmh, gimana tanding basketnya?" tanya iel mengalihkan pembicaraan.
"menang tipis." jawab rio singkat, tidak tertarik membicarakan pertandingan serunya, tadi.
"tadi gw liat anak-anak, ngapain mereka disini??" tanya iel lagi.
"via kecapean, dia dirawat disini." jawab rio.
"hah ?? via sakit, tapi dia gak pa-pa kan,yo? Gimana keadaannya?" tanya iel dengan nada panik luar bisa.
Rio mendelik, lalu tersenyum miring.
"biasa aja kali, gak usah segitunya. Lo ada feel ya sama via?" tanya rio enteng, seolah-olah ia baru bertanya yel-satu-tambah-satu-itu-dua-ya?.
Iel gugup, sekentara itu kah perasaannya. Hingga rio bisa menebaknya tepat.
"gak usah dijawab. Mata lo udah jawab semuanya." sela rio.
Iel merasa, rio yang dihadapannya ini bukan rio Yang ia kenal, terlalu dingin dan 'sok tau'.
"elo sahabatnya via dan alvin cowoknya, elo cuma boleh sayang sama via sesuai porsinya. Gw gak peduli apapun alesan lo, jangan pernah ancurin hubungan mereka. Well, lo udah siap cerita sama gw? Kenapa lo ada disini?"
"iya,gw tau kok, just friend. Dan gw gak berharap lebih dari itu" jawab iel singkat, sebelum menjawab pertanyaan rio selanjutnya iel menarik nafas panjang. Membuat perjanjian dulu, dengan matanya agar tidak berkaca-kaca, apalagi sampai menangis.
"gw bakal cerita, tapi lo harus janji, jangan kasih tau siapa-siapa, deal?" pinta iel.
Rio terdiam, ia merasa ada yang aneh dengan permintaan iel. Diamnya rio diartikan 'iya' oleh iel, ia pun mulai membuka mulutnya untuk bercerita.
"gw sakit yo, thalassemia mayor." ucap iel mantap.
Hanya satu kalimat, tapi telak. Efeknya membuat rio merinding, oksigen yang dihirupnya serasa gas racun yang mencekat seluruh kerja organ tubuhnya. Lidahnya terasa kaku, bahkan untuk sekedar berucap 'sabar yel'.
"gw bisa bertahan, hampir 17 tahun. Gw masih hidup sampe sekarang, dan jujur gw masih pengen hidup, gw belum mau mati, yo. Gw masih pengen sama-sama kalian, gw masih pengen sekolah, maen basket." lirih iel, sarat akan nada memohon.
"penyakit gw belum ada obatnya. malah terakhir diagnosa dokter timbunan zat besi akibat tranfusi darah yang dua bulan sekali gw lakuin, sekarang gw menderita gagal jantung kongestif. Gw dilarang maen basket yo, padahal cuma basket satu-satunya hal yang gw suka dan bisa gw miliki. gw gak tau gw salah apa sampe kayaknya tuhan benci banget sama gw."
keduanya memang lelaki, tapi karena menangis tidak lah haram untuk mereka, keduanya kini seperti berlomba mengeluarkan air mata, sebanyak-banyaknya.
"ta.tapi yel. Bukannya lo bisa cangkok sumsum tula....."
"hhahaha" iel tertawa miris, menyela ucapan rio.
"mau cangkok sama siapa, mario? Orang tua aja gw gak punya."
"tapi elo sama alvin kaaann??"
"saudara angkat." balas iel mantap.
"sejak umur 2 tahun, gw diadopsi sama orang tuanya alvin. Mereka baik banget yo, mereka tetep mau adopsi gw, padahal dari kecil gw penyakitan. Apalagi alvin, gw yg emang lemah, Selalu butuh perlindungannnya. Gw inget, alvin kecil yang selalu bilang, 'iel sekarang kita saudara', " iel tersenyum simpul.
"dan bukan apa-apa kan, kalo sekarang gw relain via, cinta pertama gw, buat dijagain sama cowok sebaik alvin. Itu keputusan yang tepat kan??" iel berbicara seolah ini tidak menyakitkan untuknya, padahal lagi-lagi lidahnya mencibir karena digunakan berbohong olehnya.
"cinta itu gak selalu butuh kesempurnaan yel, cinta gak sedangkal yang lo pikir."
"tapi via pantes dapetin cowok yang sempurna. Gw gak dangkal, gw realistis rio. Gak mungkin kan cowok penyakitan kayak gw jagain via. Via pasti bahagia sama alvin." iel menyakinkan rio, dan dirinya sendiri tentunya.
"alvin tau soal penyakit ini?"
"nggak, dan jangan kasih tau dia yo. Gw mohon."
keduanya kembali terdiam, kehabisan kata-kata. Waktu terasa lama bergulir,kesedihan pun mendekap keduanya semakin erat.
"lo gak balik yo? Anak-anak pasti nyariin lo." saran iel hati-hati, agar tidak terkesan mengusir.
"fuuuih" rio menghela nafas berat.
"ya udah gw balik yel, hubungin gw kalo ada apa-apa."
"gak akan ada apa-apa rio. Bersikap kayak biasa aja yo, jangan sampe yang lain curiga."
"sipp." rio mengacungkan kedua jempolnya lalu menghilang dibalik pintu.
Membagi. Ya tidak harus selalu kebahagian, ada kalanya, keluh dan susah juga perlu dibagi. Dan sahabat adalah 'tempat sampah' yang paling cocok untuk itu, karena sebanyak apapun keluhan yang kamu buang ke dalamnya, ia akan selalu bersedia menampungnya.
Rio berjalan gontai, menyeret kakinya yang seperti tidak mau diajak melangkah. Tubuhnya lemas, seakan pikiran-pikian dalam otaknya telah menyedot semua energi dalam tubuhnya.
Mengapa akhir-akhir ini, orang-orang disekitarnya terasa begitu dekat dengan kematian. Ify, shila dan kini iel.
Aaaaaarhh, gabriel. Benarkah yang ia ceritakan, ada kah orang semalang itu. Tubuhnya di gerogoti penyakit, hidupnya di bayangi mati. Orang tuanya? Ya,entah kemana. Dan cinta pertamanya?? Harus di relakan demi rasa trimakasih. Rasa kagum menyusup dalam diam, Dihati rio, sahabatnya itumemang patut dicontoh, kuat dan tangguh.
Mati. Satu kata yang berefek dahsyat bagi semua orang.
Mati satu kata sakral, yang tengah menunggu kita di akhir nanti.
Mati. Rio pernah dipisahkan dengan orang yang begitu ia cintai karena kematian.
Itu juga alasan, ia begitu dingin dan angkuh dulu. Rio tidak ingin menyayangi ataupun disayangi, ia tidak ingin merasa kehilangan lagi saat takdir menggariskan kematian sebagai penutup. Tapi sekarang beda, ify dan sahabat-sahabatnya tanpa rio sadari telah memaksa masuk kehatinya dan menguras habis seluruh kasih sayang yang rio punya. Lalu bagaimana bila salah-satunya pergi. Akan tetap samakah keadaannya dengan sekarang?
BRUKK
"auww."
"ekh,sorry, sorry.... Lho, ify, cakka?"
"woi, darimana aja lo bro ??" tanya cakka.
"kamu abis ngapain yo, kok pucet gitu?" ify terlihat cemas.
"hah,masa sih?" reflek rio memegangi wajahnya, saat kulit tangannya menempel pada wajangnya, rio bisa merasakan ujung-ujung jemarinya yang sangat dingin.
"mmh, capek aja kali, kalian udahan jengukin vianya?"
"udah, vianya juga lagi tidur, sekarang tinggal alvin sama mamanya yang jagain." jelas cakka.
"oh gitu, ya udah langsung balik aja yuk, masuk angin kayaknya gw." ajak rio.
"huuh, ayam lo, masuk angin, penyakit kampung, gak keren." ledek cakka, sambil merangkul pundak rio dan berjalan meninggalkan rumah sakit.
Didalam mobil pun rio diam saja. Meski berbagai pertanyaan dan celoteh mengejek telah ify lontarkan, tapi rio tetap diam, memandang datar pada jalanan di hadapannya.
"kamu kenapa sih yo, dea lagi?" batin ify,jengkel.
Ify melengos, membuang pandangannya ke jalan.
"RIOOO AWAASSS" jerit ify. Saat sebuah mobil truk melaju cepat dari arah berlawanan.
Rio tersentak, ia segera membanting stir mobil dan menginjak rem dengan tenaga full.
CIIITTT
Mobil berhenti tepat di depan mulut sebuah kali.
"hosh,hosh,hosh." rio mengatur nafasnya yang memburu, karena kaget.
"kamu kenapa sih yo, kalo mau nyusul dea, gak usah ngajak aku deh." omel ify.
"maaf fy." lirih rio singkat, ia Menyadari gadis manis disampingnya ini tengah marah padanya.
"kalo gak bisa bawa mobil, sini biar aku aja yang bawa. Aku gak mau mati muda." ucap ify diplomatis.
Rio tidak menjawab, keringat dingin masih membanjiri tubuhnya. Rio memandang ify sekilas lalu kembali konsentrasi pada jalanan kota bandung yang mulai meremang.
"gak mau mati muda."
wajar, sangat masuk akal. Tapi apa kematian datang dengan menanyai kita sebelumnya??
Lalu bagaimana dengan dea?
Bagagaimana dengan iel, apa mereka mau mati muda??
Bila mengingat hal itu, pernyataan tadi terkesan otoriter dan mengingkari takdir.
***
kemenangan tipis tim CB atas tim Nusantara, tanpa sang kapten menjadi buah bibir di SMA Citra Bangsa sendiri. Disetiap sudut kelas, di koridor, parkiran, kantin dan toilet (?) semua ramai berbincang tentang pertandingan kemarin. Meski telah di ceritakan puluhan kali, tapi topik itu tetap saja menarik.
Sama halnya di kelas XI IPA 1, tiba-tiba muncul sosok idola baru selain personil d'orions.
Ahmad fauzy adriansyah, yang kemarin menggantikan iel langsung naik daun layaknya irfan bachdim :-PP
"Ozy udah terkenal, ntar lupa deh sama acha." rajuk acha manja.
Saat ini status acha adalah pacar ozy. Awal mereka jadian ozy sempat mendapat tekanan dan tuduhan serta fitnah keji (?) dari ray dan deva bahwa ozy mengguna-gunai acha. Ckckck.
"ya gak dong cha, nama acha itu udah tertulis rapih diotak, hati, sanubari, jiwa, raga, lahir, batin, jasmani dan rohaninya abang ozy" jawab ozy yakin.
"udah, sono-sono lo semua, kalo mau tanda tangan gw, beli aja nasi uduk nenek gw, ntar dikertas nasinya gw kasih tanda tangan deh, sono, hush, hush." ozy mengusir makhluk-makhluk cewek yang tiba-tiba jadi betah duduk disekitar mejanya.
"cie,cie, ada yang gantiin gw nih kemaren." ledek iel.
"hhehe iel. Jadi pemain basket enak ya yel banyak fansnya." tutur ozy polos.
"woyadong, apalagi pemain basketnya cakep gak ketulungan kayak gw." ujar iel dengan sisipan canda, seperti biasa.
"woo, narsis lo. Ekh kemaren lo kemana??"
"ada lah." jawab iel singkat.
"tadinya gw mau gantiin lo, selamanya yel,hhehe." ozy terkekeh.
"hohooo, tidak bisa." iel mengcopy paste gaya artis korea favoritnya, SULE.
"IEL??" panggil alvin yang baru datang bersama anak-anak yang lain.
Mereka semua langsung kompak menghampiri iel, hendak melontarkan berbagai pertanyaan seputar absennya iel pada pertandingam kemarin.
"weisst, sabar brother, sista. Gw bakal konfrensi pers nih, ekhm..ekhm" iel berdehem sok penting.
"kemaren tuh gw telat, abis dari singapore. Hp gw mati, pas ke GOR, ozy udah gantiin gw, berhubung gw juga capek ya udah gw langsung ke apartemen bokap aja yang deketan dari situ. Trus gw tidur deh. Hhehehe." iel terkekeh, tidak ada yang tau apa yang sebenernya tersembunyi dalam senyum iel, selain rio.
Iel mengemas rapi kebohongannya dengan senyum ramah dan cengiran jail.
"huuu, iel kasian tau cowok gw kemaren." ify mencubit lengan iel, dan melirik pada rio.
Ntah mengapa akhir-akhir ini, ify sangat senang memberikan perhatiannya untuk rio.
"lo bikin gw panik tau gak, mana dikamar lo banyak darah, kenapa gak pamit lo sama gw??" tanya alvin.
Iel tidak menjawab pertanyaa alvin yang pertama perihal darah, ia hanya menjawab.. "sorry deh vin, gw kira juga bentaran doang. Papa pemaksaan sih ngajak gw nya, gak pa-pa kan, maaf ya."
"ya,nyante deh. Gak pa-pa. Emmh, bokap kayaknya lebih seneng kalo liat lo sukses ya, di banding gw." celetuk alvin tiba-tiba. Iel bisa menangkap nada kecewa dari ucapannya.
"ya gak gitu juga kali vin..."
"ekhm, pagi anak-anak." sapa bu ucie, wali kelas mereka, dengan langkah anggun beliau memasuki kelas dengan seorang pemuda mengekor di belakangnya.
Semua anak langsung kembali ke tempat duduk masing-masing, mata mereka segera menatap penuh tanya pada sosok asing didepan sana. Kecuali sepasang mata yang nampak kaget, pemilik mata itu langsung menunduk dalam.
"anak-nak, hari ini kita kedatangan teman baru. Silahkan perkenalkan diri kamu."
"hallo semua." katanya ramah.
"wah kayaknya d'orions bakal masukin personil baru nih." tebak deva yang duduk tepat di belakang iel.
"kalo tambah personil, harusnya namanya ganti jadi five boys." timpal ray, chairmate deva.
"d'orions gak akan tambah personil." tegas iel.
Kasak kusuk tentang pemuda manis itu pun mulai terdengar dikelas, tapi tidak di bangku rio dan ify.
"yo, kamu kenapa? Masih gak enak badan?" ify meletakkan punggung tangannya di kening rio. Hangat.
"kamu sakit? Ke uks aja ya." tawar ify, rio menggeleng.
Ia malah menggenggam tangan ify erat, ify bisa merasakan tangan kokoh itu kini bergetar.
Kembali pada murid baru dengan senyum ramah di depan sana.
"kenalkan nama saya debo andriyos aryanto, kalian bisa panggil saya debo. Senang berkenalan dengan kalian. Mohon bantuannya." katanya, diakhiri dengan sikap menunduk memberi hormat.
"baiklah, kalian bisa melanjutkan perkenalan pada jam istirahat nanti. Silahkan debo, kamu bisa duduk di samping gabriel." intruksi bu ucie.
Pemuda bernama debo tadi pun berjalan patuh kearah kursi yang tadi ditunjuk bu ucie. Tidak sedikit cewek penghuni kelas ini yang rela memutar lehernya, untuk mengiringi debo duduk dikursi barunya.
Bu ucie pun memulai pelajarannya, seni budaya.
"hai gw debo." debo tersenyum simpul dan mengulurkan tangannya pada iel. Iel baru saja akan membuka mulutnya tapi debo sudah berbicara kembali.
"gabiel stevent damanik, akrab di panggil iel, waketos sekaligus kaptet tim basket Citra Bangsa, personil d'orions band yang famous banget, terkenal ramah dan murah senyum." layaknya seorang fans debo begitu hafal beberapa hal tentang iel. Tapi nampaknya iel sama sekali tidak terkesan. Ia hanya menjabat balik tangan debo dan bergumam.
"lo berlebihan. Gw cuma gabriel sodaranya alvin, sobatnya rio sama cakka."
"ohh yes, i know it." balas debo
"ekh kayaknya lo harus siap-siap mundur deh dari jabatan ketua tim basket, soalnya rio kemaren maen bagus banget." ujar debo, masih tetap dengan senyum ramahnya.
"oh bagus dong, gw emang ada niatan minta rio gantiin gw, gw kan udah sibuk di OSIS." jawab iel santai.
debo mengangguk, paham. murid baru ini pun memulai aktivitas belajarnya dengan senyum khas yang masih terpajang diwajahnya.
Sedangkan sepasang mata yang tak tauh darinya itu, sejak tadi menguntitnya dengan tatapan tak menyangka.
Orang dari masa lalunya?? Mengapa harus hadir sekarang??
***
malam belum begitu larut,bintang dan bulan masih bertahan pada formasinya Menerangi kehidupan dibawahnya. Langit hitam keungunan, tanpa mendung ataupun angin dingin yang menusuk. Dibawah sebuah pohon besar, seorang gadis memeluk lututnya sambil terisak pelan. Ntah apa yang ia tangisi, lagi-lagi air matanya memaksa turun tanpa alasan yang jelas.
"jangan nangis, jelek tau." suara itu menyapanya, suara yang selalu mampu membendung tangisnya, sederas apapun itu
"iel?" gumamnya.
"ngapain nangis sendirian disini, vi? Gak takut disangka kunti." ledek iel, sambil ikut duduk, besandar pada batang kokoh, pohon di belakangnya.
"kamu ngapain disini?"
"jiah, malah balik nanya. Ya..mmh, mau jenguk kamu kali ya" jawab iel berbohong, padahal malam ini, ia harus check up ke rumah sakit, karena tadi pagi ia memaksa ingin pulang.
"bawa-bawa gitar?" tanya via heran, sambil menyusut air mata dengan tangannya.
"hhehe, kan mau nyanyi buat kamu." jawab iel spontan, iel sebenarnya memang sengaja ingin membawa gitarnya pulang, karena syndrome pelit telah menguasi alvin.
"serius?"
iel mengangguk.
"silahkan kalo gitu." ujar uiar via manis.
"denger ya.."
Kan ku abaikam s'gala hasratku
agar kau pun tenang dengannya
ku pertaruhkan semua ragaku
demi dirimu bintang
biarkan ku menggapaimu,
memelukmu,
memanjakanmu.
Tidurlah kau di pelukku,
dipelukku, dipelukku.
Iel membawakan lagu dari band favoritnya. Lagu yang mewakili perasaannya untuk gadis chubby disisinya, yang tak pernah tergapai oleh hatinya meski telah sedekat ini.
Nuansa romantis yang disajikan sang malam, membuat keduanya larut dalam perasaan masing-masing. Sebuah rasa yang salah, yang lahir dengan indah tapi diatas takdir yang tidak tepat. Sebuah rasa sederhana yang menjadi rumit, lagi-lagi juga karena takdir.
Via menyenderkan kepalanya di pundak iel, ia memejamkan mata menikmati alunan merdu suara iel samg rasanya telah menumbuhkan jutaan bunga di hatinya.
Tapi sial tak selalu bisa disangkal, sepasang mata memergoki adegan yang seharusnya milik sepasang kekasih itu.
"mmh,itukan iel? Kok samaa, mmh,mmh, siapa ya..." orang itu ,mencoba mengingat-ingat.
Ia Mengeluarkan selembar foto, d'orions dan ify dkk yang diambil di kantin secara paparazi tempo hari, ia memperoleh foto itu dari mata-matanya dulu, dayat.
"nah iya, kata dayat itu sivia. Ya bener, itu sivia ceweknya alvin, tapi kok??" ia napak bingung.
"hhahaha bagus. Selain si brengsek rio, gw juga bisa ancurin sobat-sobatnya." ucapnya, licik.
Orang ini lalu mengeluarkan ponselnya dan mengabadikan moment itu dalam gambar bergerak, video.
Setelah beberapa menit, ia menekan tombol stop pada hp nya.
"yah,cukup lah, gak usah panjang-panjang, ntar kena serangan jantung lagi si alvin." katanya enteng, ia memasukan kembali hp nya dan berjalan santai meninggalkan taman rumah sakit yang sudah sepi.
Biar ku tunda
segala hasratku
tuk miliki dirimu
karena semua tlah tersiratkan
dirimu kan milikku.
Biarkan ku menggapaimu,
memelukmu,
memanjakanmu.
Tidurlah kau di pelukku,
dipelukku,
dipelukku.
Hingga kau mimpikan aku ,
mimpikan kita,
mimpikan kita.
Jangan pernah kau terjaga,
dari tidurmu,
dipelukkanku.
"kamu inget yel, disini 10 tahun lalu, kamu pernah janji selalu jagain aku, waktu ayah aku meninggal." tutur via, mengenang masa kecilnya dengan iel.
........via jangan nangis, iel bakal selalu jagain via. Iel janji, iel kan laki-laki jagoan, sama kayak ayah via.......
Kata-kata iel kecil kembali berpusar diotak via dan iel.
"hhahaha, iya. Masih inget aja kamu vi. Waktu itu aku miris banget tau liat kamu nangis sampe matanya bengep-bengep" ledek iel.
"ya iyalah, aku kan sedih tau, papa aku meninggal." bela via.
"aku aja gak punya orang tua,gak sedih. Ini kan jalan kita via dan kalo mau mudah menempuhnya, kita itu harus berlari, jangan nengok ke belakang, dan jangan peduli apapun yang terjadi, tetep lari walaupun kematian udah nyusul kita begitu dekat." kata iel ngawur.
"ikh,kamu ngomongin apa sih?" tanya via bingung.
"hhehe, ngaco ya, ya udah lupain aja. Ekh via, aku inget deh."
iel mulai berdiri, lalu memutari pohon besar tempatnya tadi bersandar. Ia berhenti disatu titik, dan menggali tepat diatas tanah yang dipijaknya. Tidak begitu dalam, tangan iel sudah membentur sebuah kotak, via mengamatinya, ia mulai mengerti maksud iel.
"kotak impian" seru mereka kompak.
"kita janji, mau buka pas sweet seventeen kan? Tapi takutnya gak sempet, mending kita buka sekarang aja, gimana?" usul iel.
"tapi kan.." via nampak ragu.
"ayolah vi, umur orang kan gak ada yang tau."
"ya udah deh. Iya,iya.." via akhirnya mengalah.
Dengan mudah iel dapat membuka kotak itu, karena kunci kecil sebagai pengamannya telah merapuh.
Didalam kotak itu ada 2 buah boneka kayu, miniatur via dan iel, yang dipahat langsung oleh ayah via waktu itu. Selain itu, ada juga 2 buah kertas yang sudah menguning dengan pinggiran yang sobek dimakan waktu.
"gimana kalo kamu baca impian aku, dan aku baca impian kamu ??" usul via.
"mmh, boleh deh. Tapi inget ya ini cuma impian anak kecil, jadi jangan di fikirin." pesan iel sambil menyodorkan kertas impian yang ia tulis 10 tahun lalu, tepat ketika iel dan via berusia 6 tahun.
"iel mau jadi pangeran jagoan yang bakal selalu jagain via." via membaca tulisan berantakan khas anak SD milik iel.
"kalau udah gede via mau jadi putri yang cantik buat iel." iel gantian membacakan impian via kecil.
Mereka berpandangan, iel bisa melihat luncuran air bening dari mata indah via.
"apa..apa...kenapa...impian itu...apa impian itu bisa tercapai yel?" tanya via ragu-ragu, antara apa yang berarti 'masih ada harapankah' atau kenapa yang berarti bicara tentang garis takdir yang tampaknya tidak memihak pada impian kecil mereka.
"bukannya itu udah tercapai vi. Via udah jadi putri cantik, putrinya pangeran alvin." ujar iel sabar, padahal hatinya bergolak marah, kenapa tuhan memilihkan jalan yang begitu sulit untuk ia tempuh? Tidak banyak, iel hanya ingin seperti remaja-remaja lain. Tidak lebih.
"tapi aku maunya kamu yel, bukan alvin." ucap via jujur.
Dengan kedua ibu jarinya, iel menghapus air mata via.
Meski kini ia tau cintanya terbalas, tapi semua terlambat.
Gadis ini telas termiliki, dan iel tidak ingin egois.
Impian. Ya..tidak semudah merapal dan merencanakannya, karena setiap mimpi tidak bisa selalu dituntut untuk dapat terwujud.
"aku sayangnya sama kamu yel, alvin baik, tapi bukan dia yang aku mau." akhirnya via mengakui perasaan itu, perasaan yang telah lama coba via bunuh, tapi gagal. Perasaan yang menjadikannya pembohong dan penjahat ulung.
"aku gak mau terus-terusan bohongin alvin, dia terlalu baik."
"via, aku aku juga sayang sama kamu, tapi aku gak mau kita egois. Percaya deh, jalan yang sekarang kamu tempuh itu udah yang paling indah dan benar. Kamu tinggal belajar sayang sama alvin."
"demi apapun yel, aku gak bisa, hiks, aku gak bisa,yel. Hiks."
"vi aku mohon jangan nangis lagi. Alvin itu sodara aku, dan aku yakin banget dia orang yang tepat buat kamu, dia sayang banget sama kamu,via."
"jadi kamu lebih suka aku bohongin alvin terus?"
"via..." iel hanya memanggil lirih nama itu, ia kehabisan kata-kata untuk meyakinkan via dan dirinya sendiri, bahwa kuasa tuhan tengah bekerja dalam kisah ini.
Iel memeluk erat tubuh via. Malam ini semuanya jelas, iel dan via memang memiliki impian yang sama, mimpi indah yang mereka ukir sejak kecil. Tapi kini tengah ada alvin, bukan sebagai penghalang, tapi justru sebagai korban, korban kebohongan yang iel dan via ciptakan. Iel membiarkan tangis via, pecah dibahunya. Ia membelai rambut via, merasakan perih yang lebih dari biasanya.
"IEL,VIA !!!" sentak seorang pria...
***
0 komentar:
Posting Komentar