Well ini sebenarnya cerbung lama yang udah pernah gue post tahun 2010an kalo nggak salah. tapi waktu itu tulisannya masih berantakan banget, jadi iseng-iseng gue betulin tulisannya dan sedikit alurnya yang juga nggak keruan, habis itu gue repost. kalau yang ada waktu buat baca lagi, silakan dibaca lagi, kalaupun nggak ya ini kayak yang gue bilang tadi cuma sekedar iseng-isengan aja.
*
Malaikat Hidup Gue Part 2
*
Sore ini indah dengan cipratan keemasan di ufuk barat dan pulasan jingga yang menyeret setiap insan dalam ketenangan. Sore ini menakjubkan, seperti pemandangan di depan Via. Di hadapan gadis berlesung pipi itu berdiri sebatang pohon yang entah bagaimana disulap menjadi begitu menawan. Pohon itu dipasangi foto-foto Via, dalam berbagai gaya dan usia. Foto via kecil yang menggenggam arum manis raksasa, foto via dengan ekspresi kesal yang luar biasa saat ospek SMP, foto saat Via tersenyum, tertawa, membaca, makan, semua lengkap dan digantung dengan pita-pita ungu terang. Terpaan sisa-sisa cahaya mentari yang jatuh disela-sela dedaunan menambah syahdu suasana sore itu. Sedang asik-asiknya mengagumi pemandangan dihadapan Via, gadis itu dikagetkan dengan suara ledakan balon tepat di depan wajahnya. Segulung kertas jatuh dari dalam balon. Via memungut dan membuka lintingannya, gadis itu kian tersipu membaca tulisan yang menyemut rapi didalamnya.
bahkan senja paling sempurna pun tidak bisa menyaingi cantik dan menawannya kamu.
"Vin, semua ini, kamu yang buat?" Via bertanya pada pemuda jangkung di hadapannya yang tadi sempat terabai kehadirannya karena Via terlalu sibuk mengagumi pemandangan yang tertangkap kedua mata indahnya.
"hehehe," alvin hanya menyeringai, "semoga suka ya," lanjutnya.
Via mengangguk, "Banget, suka banget vin."
Alvin lantas berjalan mendekat, hingga jaraknya dengan Via hanya beberapa centimeter. Pemuda itu memagut pandangan gadisnya dengan tatapan yang sangat meneduhkan, "i love you," bisiknya lembut, "would you be mine, Via?" katanya dalam dan sungguh-sungguh.
"Vin... ini serius?"
Alvin menganggung singkat.
"Tapi aku fikir... kita kan sahabat dan... dan..."
"Apa udah ada orang lain di hati kamu?"
"Bukan gitu, tapi nggak nyangka aja kalo..."
"Aku sayang sama kamu Vi, udah lama. Aku tau kita sahabat, tapi aku rasa itu bukan masalah."
Via malah menunduk memainkan ujung-ujung kaos yang ia kenakan. Ada perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, perasaan yang sulit dijelaskan. keraguan, ketakutan atau entah apa. Via menatap cemas pemuda di hadapannya. Alvin baik, ia sempurna, bodoh jika Via melepaskan pemuda sesempurna Alvin. Tapi benarkah Alvin adalah yang terbaik ataukah ada yang lain di tempat lain yang lebih bisa meyakinkan dan membuatnya bahagia?
Sivia terdiam sejenak, membuat alvin berdebar tak keruan.
"Gimana Vi, apa aku udah boleh dapet jawabannya?" tanya Alvin, "Tapi kalo kamu butuh waktu, aku bisa kasih kamu waktu sebanyak-banyaknya."
Via menarik napas, memantapkan hatinya. Hidup adalah pilihan dan pilihannya adalah...
"iya, vin." via mengangguk, lalu tersenyum manis.
Sedetik kemudian, Alvin memeluk via erat sekali, Via baru menyadari ternyata sejak tadi keringat dingin bercucuran membasahi tubuh pemuda itu, "makasih vi, makasih. Aku janji nggak akan kecewain kamu," lirih alvin.
Via membalas pelukan Alvin, berharap menemukan keteguhan dalam dekapan pemudanya.
Kegundahan tetap menyapa meski indah telah menjelma.
Meski tak terbaca, meski tak tersibak, tapi ada yang tak terpungkiri.
Ada cinta lain yg lebih diharapkan.
Ada ikatan lain yang telah lebih dulu menjerat hati.
Meski lagi-lagi semua hanya terungkap dalam diam.
Tak jauh dari tempat via dan alvin, sepasang mata memandang nanar pasangan baru itu, "gue nggak tau kalo rasanya bakal sesakit ini," lirih orang itu.
*
Hari ini pelajaran dikelas XI IPA 1 diawali oleh trigonometri dari bu Sasha, semua murid berusaha fokus pada rentetan akar dan rumus dihadapan mereka,tapi nihil. Trigonometri tetap tak mau singgah di otak mereka.
Semakin mereka memperhatikan, yang ada malah membuat mereka ingin buang air atau mual-mual. Setelah lolos dari trigonometri yang mematikan, pelajaran keduanya adalah fisika dengan materi cermin. Arrghh, ini tidak lebih baik. Kepala anak-anak XI IPA 1 sudah mulai berasap. Di saat-saat seperti ini bel tanda istirahat terdengar bagai nyanyian dari nirvana.
"Guys sebelum istirahat, gue minta waktunya sebentar ya," Shilla berdiri di depan kelas, memberikan pengumuman sebelum teman-temannya beranjak dari tempat duduk untuk beristirahat, "Tiga hari lagi kan ulang tahun gue. So, gue mau ngundang kalian semua datang ke party gue, dijamin seru deh, datang ya," ujar shilla diakhiri senyum manis dan lirikan penuh ari hanya ke arah rio meski yang dimaksud malah asyik dengan gadgetnya. jelas sekali bahwa gadis ini sangat mengharapkan kedatangan Rio.
*
Matahari tampaknya sedang on fire. Ia bersemangat sekali mencurahkan sinarnya pada bumi. membuat penghuninya dilanda panas dan gerah yang berlebihan, terutama yang baru selesai jam pelajaran olahraga seperti siswa-siswa kelas XI IPA 1.
Ify menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah, "Gila panasnya nyiksa ni," keluhnya.
"Ni..."
Ify menoleh, di sampingnya Rio telah duduk berselonjor, entah sejak kapan pemuda itu berada di sana. Yang paling mengherankan adalah Rio mengangsurkan sebotol minuman dingin pada Ify.
"Buat gue?" tanya Ify tak yakin.
"Iya, ambil buruan sebelum gue berubah fikiran."
Ify mengangkat bahu, "Ok. Thanks. Dalam rangka apa ni?"
"Dalam rangka gue mau minta bantuan lo."
Ify mendelik, "tu kan pasti ada maunya," gerutu Ify, "bantuan apa?"
"Gimana kalo kita pura-pura pacaran?"
"hah?" Ify terlongong.
"iya, kita pura-pura pacaran. Lo pura-pura jadi cewek gue. Lo harus mau."
"Idih maksa banget, kenapa juga gue harus mau?"
"Ya lo kan udah terima minum dari gue."
"Minuman kayak beginian doang mah gue juga bisa beli sendiri kali Yo."
"Ayolah Fy please, gue bener-bener butuh bantuan lo. Ya gue tau mungkin lo bingung, untuk saat ini gue nggak bisa cerita banyak tapi nanti gue pasti jelasin semuanya. Intinya karena satu dan lain hal gue nggak nyaman sama cewek-cewek Citra Bangsa yang yaaa bisa dibilang terlalu welcome sama kedatangan gue, lo ngerti kan maksudnya? Gue minta tolong banget Fy," Rio menelungkupkan kedua tangannya di depan dada, memohon dengan sangat pada gadis manis yang kebingungan di hadapannya.
"Iya gue ngerti, lo minta gue pura-pura jadi pacar lo supaya cewek-cewek yang deketin lo mundur dan ngejauh karena lo risih sama mereka, gitu kan? Tapi kenapa harus gue sih Yo, kenapa nggak lo pilih satu cewek yang emang suka sama lo, Shilla misalnya. Gue yakin lo nggak buta, lo pasti tau kalo Shilla suka sama lo kan dan gue rasa dia juga nggak akan nolak bantuin lo," usul Ify.
"Justru gue nggak mau, karena kalo gue pura-pura pacaran sama Shilla atau cewek lain yang suka sama gue, gue cuma bakal nyakitin mereka. Gue butuh yang kayak elo, yang cuek, yang nggak suka sama gue."
"Terus untungnya buat gue apa?"
"Gue tau lo bukan tipe orang yang perhitungan, please Fy bantuin gue."
"Sampai kapan sandiwara pacaran itu bakal berlangsung?"
Sampai gue bisa lupain masa lalu gue dan kayaknya akan sangat lama, batin Rio sedih
"Nggak akan lama," itulah jawaban yang dipilih Rio, untuk sementara biarlah ia bohongi Ify yang terpenting saat ini adalah bagaimanapun caranya Ify harus mau membantu Rio, "Gimana lo mau kan?"
Ify lagi-lagi mengendikkan bahu, "Ya, Ok lah. Gue bantu. tapi janji ya nggak akan lama dan semua konsekuensinya lo yang tanggung."
"Deal?"
"Deal."
*
Rio terdiam di balkon kamarnya, menatap hamparan bintang yang berpedar mengelilingi sang bulan, semilir angin menyentuh lembut kulit dan ujung-ujung rambutnya. Menikmati malam dengan gelap dan kesunyiannya, membuat rasa rindu terhadap sosok lama itu muncul kembali.
"Udah lah, Ka. Kita punya cita-cita, aku nggak mau hubungan kita akan menghambat mimpi-mimpi kita. Berjuanglah di sana, Kak, karena aku juga akan berjuang dengan hidupku di sini. Aku akan baik-baik saja."
Kalimat Ara lengkap dengan suaranya yang lembut dan senyum penenangnya mengusik renungan Rio. Kenangan tentang Ana bagai kaset yang diputar secara otomatis di kepalanya, secara terus menerus dan berulang-ulang. Entah harus dengan cara apalagi Rio menghapus kengangan itu, melupakan gadisnya, merelakan cintanya pergi, tentu bukan hal yang mudah. Senyum Ana, tatapannya, perhatiannya, wajahnya semua seakan memaksa masuk berjejalan di fikiran rio.
"aarrghhh" erang rio sambil mengacak rambutnya, "sampai kapan Ra, sampai kapan gue kayak gini?"
*
Pagi ini Citra Bangsa SEnior High School sudah sangat ramai. Semua anak seperti digiring berkumpul di lapangan basket. Suara tepuk tangan dan teriakan riuh rendah berdengung di mana-mana. Ternyata senior tim basket sekolah sedang mengadakan seleksi untuk memilih kapten baru untuk tim basket putra Citra Bangsa.
Gabriel, alvin, dan rio mengikuti seleksi tersebut, mereka sangat antusias dan berusaha semaksimal mungkin mengeluarkan kemampuan terbaik dalam mengolah bola. Penonton yang kebanyakan terdiri dari para siswi rela berpanas-panas ria, dijemur di bawah guyuran cahaya matahari hanya untuk menyaksikan aksi para pebasket terbaik Citra Bangsa.
Setelah seleksi selesai, Gabriel, Alvin dan Rio memutuskan untuk pergi ke kantin, karena pengumuman siapa ketua tim basket yang baru akan diumumkan satu jam ke depan. Saat memasuki kantin, ketiganya mengedarkan pandangan ke segala penjuru mencari tempat yang layak dan masih kosong untuk ditempati. Kebetulan hanya ada tiga bangku tersisa di depan Ify dan Via, kedua sobat ini tampaknya sedang bersemangat menyantap makanan masing-masing.
"di sana aja yuk," ajak Alvin bersemangat.
Gabriel dan Rio hanya mengangguk patuh lantas mengikuti Alvin yang berjalan lebih dulu.
"Hai Via," sapa Alvin ramah, "kita gabung ya kosong kan?"
"Ciyee mentang-mentang ya pasangan baru, yang disapa Via aja ni? gue nggak?" seloroh Ify.
"Apa sih Fy, lebay deh," Via menyenggol pelan Ify dengan sikunya, wajah gadis itu semu memerah.
"PJ bisa kali Vin, Vi."
"Iya iya, tapi jangan bikin gue bangkrut Fy. Lo kan biasanya kalo makan nggak kira-kira," balas Alvin.
"Badan begang gitu emang iya makannya banyak?" cela Rio dengan ekspresi tak percaya.
"nggak usah sok-sok ngatain gue begang deh, lo nggak punya kaca apa?"
"Tapi lo lebih begang kali Fy dari gue, badan kok kayak sapu lidi."
"Lo tu ya, jarang ngomong sekalinya ngomong bikin emosi. lagian ya tolong dicatat, badan gue tu badan model kali, tinggi langsing" bela ify.
Rio tidak membalas hanya melempari Ify dengan kulit kacang.
"Udah jangan pada ribut deh lo berdua, saling suka tau rasa deh," komentar Gabriel.
Rio tersenyum tipis kemudian melirik singkat gadis yang sebentar lagi akan menjadi "pacarnya".
"eh vi, itu ada kotoran di pipi kamu," kata alvin sambil menghapus lelehan coklat di sudut bibir via.
"gue cabut duluan ya," tiba-tiba Gabriel bangkit dari kursinya dan bergegas untuk pergi, tapi belum sempat melangkah jauh ia merasakan pusing yang teramat. Kepalanya serasa dilempari puluhan batu. ia terduduk kembali, menunduk seraya meremas rambut.
"aarrghh," erangnya. Wajah Gabriel memerah yang tidak ada hubungannya dengan cuaca panas di sekitarnya, rahang pemuda itu mengeras menahan sakit.
"lo kenapa, Gab?" tanya alvin cemas.
"Gabriel hidung kamu berdarah," imbuh Via tak kalah kalut.
via dengan cepat menghampiri Gabriel, mengeluarkan sapu tangannya dan perlahan menghapus darah segar yang mengalir dari hidung Gabriel. Saat ini, dengan posisi sedekat ini, Gabriel bisa dengan jelas menatap dua bola mata indah itu, "jangan via, aku mohon jangan nangis," batin Gabriel khawatir melihat selaput bening yang terpeta pada sepang bola mata Via.
"tolong cariin es batu, Fy," perintah Via.
Ify pun dengan sigap langsung berlari, tak berapa lama gadis itu kembali dengan sebalok es batu ditangannya, "nih" katanya dengan napas terengah.
"Ya Tuhan, Ify, lo kira Gabriel mau jualan es campur, yang kecilan aja kali nggak usah sebalok gini," Rio sangat gemas melihat kelakuan ajaib Ify, gadis ini benar-benar langka.
"biar cepet mampet, Rioooo."
"udah-udah, fy. Gue nggak apa-apa, udah berenti kok mimisannya," kata iel sambil memegangi sapu tangan via di bawah hidungnya.
"lo sakit Gab?" tanya alvin.
"nggak kok, paling karena panas banget aja ni cuacanya," balas Gabriel santai.
"yaudah, balik aja yuk, lo naik mobil gue aja. motor lo, tinggal aja di sekolah," ajak alvin yang masih memasang wajah cemas.
"iya, pulang gih, ntar hasil seleksinya, gue smsin lo berdua," kata rio.
Gabriel menurut, alvin memapahnya perlahan. saat melewati sivia, gabriel menatapnya sekilas, gadis itu hanya menunduk.
"aku duluan ya vi" pamit alvin, tangan kirinya mengacak poni kekasihnya.
*
PANTI ASUHAN KASIH BUNDA
Kesinilah Gabriel mengajak via jalan-jalan sore ini, pemuda itu sudah nampak lebih sehat pasca insiden mimisan tadi siang. tadinya Alvin juga ingin ikut bersama Gabriel dan Via, hanya saja pemuda itu sudah ada janji dengan klub fotografernya. Sejenak via bingung, tumben sekali Gabriel mengajaknya ke tempat seperti ini. Biasanya taman ria, pasar malam atau yang paling mainstream adalah mall dan bioskop. Pemuda ini memang sangat payah kalo urusan mencari tempat jalan.
"ayo, vi" Gabriel membukakan pintu mobilnya untuk via.
"tempat apaan sih ini?"
"panti untuk anak-anak penderita kanker."
"kanker? trus kenapa kamu ajak aku kesini? " tanya via.
Gabriel tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan membimbing via masuk dengan menggandeng jemari gadis itu. Gabriel tau ini salah, tapi ia nyaman menikmati jalaran rasa hangat yang memenuhi rongga dadanya saat jemarinya bertaut dengan milik Via, ya Via, gadis saudaranya. Entah pengkhiannatan macam apa ini.
Saat memasuki halaman bangunan bercat hijau muda itu, Gabriel dan via disambut senyum hangat anak-anak penghuni panti, mereka sangat ceria, tak akan ada yang menyangka bahwa sosok-sosok kecil ini mungkin esok atau lusa akan pergi meninggalkan dunia. Semangat dan kebersamaan menghiasi setiap sudut tempat ini.
"kak Gabriieeelll," sapa seorang gadis kecil berkuncir ekor kuda yang datang menyongsong kedatangan Gabriel dengan berlari.
"eh Aren" Gabriel berjongkok, mengecup penuh sayang puncak kepala Aren.
"kakak kemana aja? Kok nggak pernah kesini?" tanya aren.
"kakak sibuk sama sekolah, sayang. Eh iya kenalin, ini teman kakak," kata Gabriel.
"hai aren, aku via" ujar via sambil mengulurkan tangannya.
"Hallo kak, aku Aren. kak via cantik ya, kak?" puji Aren seraya menarik-narik ujung baju Gabriel.
Gabriel mengangguk setuju.
"aren juga cantik," balas via.
"kakak pasti putri cantiknya kak gabriel ya?" tanya aren.
"putri cantik?" tanya via bingung.
"ssttt, aren itu kan rahasia kita," sela gabriel.
"oh iya, hehe," Aren menyeringai, ekh kakak-kakak main yuk teman-teman pasti seneng kalo tau kakak datang, apalagi bawa teman baru, ayuk kak," aren menarik tangan via dan Gabriel, "teman-teman coba tebak, siapa yang datan?" seru aren.
"KAK GABRIEELLL!!!" koor anak-anak seraya berlarian kearah Gabriel.
"kakak, aku kangen."
"kak apa kabar?"
"kakak kemana aja?"
semua anak terlihat sangat dekat dan menyayangi Gabriel. Via yang pada dasarnya memang menyukai anak kecil, jadi cepat akrab dengan mereka. Kekagumannya terhadap sosok Gabriel tanpa ia sadari mulai tumbuh. Di balik sosoknya yang slengekan, jayus, nggak romantis dan kadang seenaknya, ternyata Gabriel bisa begitu diidolakan oleh anak-anak, bahkan anak-anak penderita kanker. Diajak kemari oleh Gabriel juga membuat Via begitu bersyukur atas hidupnya yang nyaris sempurna. Via tersenyum... "semangat via!" tekadnya dalam hati.
"hei,senyum-senyum sendiri." tegur iel.
"kamu udah sering kesini ya?"
Gabriel mengangguk, "tau nggak kenapa kamu aku ajak kesini?"
Via menggeleng pelan.
"Suatu saat kalo kamu sedih, kamu ngerasa hidup yang harus kamu lalui terlalu berat, kamu ingat lagi hari ini. kamu ingat gimana perjuangan anak-anak di sini melawan penyakit mereka. kamu ingat gimana semangat mereka buat sembuh. manusia nggak pernah benar-benar punya alasan buat sedih, Vi, kalau semua diahadapi dengan senyum dan semangat. itu yang aku pelajari dari anak-anak di sini." papar gabriel panjang lebar, "jadi kalo lagi berantem sama pacar baru kamu, jangan pake galau-galau segala ya," goda Gabriel ditambah senyum usil.
"Ih apa siiiihh jayus deh," Via menjulurkan lidah, "sayang ya Alvin nggak bisa ikut kita kesini. sok sibuk tu bocah," lanjutnya menggerutu.
Gabriel tersenyum masam, "kamu tau Vi? aku sakit."
"Hah? maksudnya?"
Gabriel lagi-lagi tidak menjawab, membiarkan pertanyaan Via menggantung begitu saja. ia malah berdiri dan menggendong aren di punggungnya, "kita nyanyi sama-sama yuk" ajak Gabriel yang meninggalkan Via berikut pertanyyannya seorang diri.
Via tergugu, menatap punggung Gabriel yang menjauh.
*
Seperti biasa, kelas XI ipa 1, sepagi ini sudah ramai, makhluk-makhluk penghuninya sudah berkicau ngalor ngidul nggak jelas arah dan tujuannya. Ify berjalan ringan menyusuri barisan meja dan kursi di kelas, menuju tempat duduknya. betapa jengkelnya gadis itu melihat Rio si cowok mulut cabe (julukan terkini Ify untuk Rio) sudah duduk manis di tempat Via.
"ngapain lo duduk disini? kemarin kan udah gue usir, ini kursi Via tau. ngerti bahasa indonesia nggak sih lo?"
"Yaelah, nyerocos aja, bawel!" sentak Rio, "Sobat lo, si via noh duduk sama pacarnya. kalo nggak disini, lo mau nyuruh gue duduk dimana? lo mau gue lesehan gitu?" rio sewot.
Ify merengut, "lo tu emang bener-benernya, ngeselin klimaks!!!" Ify membanting tasnya lalu duduk dengan kedua tangan terlipat di dada dan bibir mengerucut beberapa centi.
"lo tu yang ngeselin, mak lampir," balas rio tak mau kalah.
"lo kan yang ngajarin."
"lo kan guru gue."
"pokoknya lo lebih ngeselin."
"lo lebih lebih ngeselin."
"lo lebih amat sangat ngeselin."
"lo teramat sangat lebih ngeselin sekali."
"elo...."
"DIAAAMMM!!!"
karena teriakan Pak Arief guru bahasa Indonesia yang entah sejak kapan sudah hadir dalam kelas, adu mulut antara Ify dan Rio terpaksa harus dipending. keduanya kemudian duduk sambil saling menyikut dan injak-injakkan kaki.
"selamat pagi anak-anak," sapa pak arief berwibawa.
"selamat pagi, pak" koor anak-anak.
"ok, seperti telah bapak sampaikan sebelumnya, hari ini kita akan praktek membacakan puisi yang telah kalian buat masing-masing dengan tema bebas. Bapak akan memanggil secara acak, untuk yang pertama, Mario.. silakan!"
rio berjalan ke depan kelas, ia menatap ke arah teman-temannya, menarik nafas sejenak...
Hilang..
Terhenti..
Hanya ingin menepi sejenak, setelah lelah ku berlari.
Menjauh dari sebuah masa yang terus mengejarku.
Semua usai, terhenti tanpa pernah diingini.
Letih...
jalan yg kulalui terlalu panjang untuk ditempuh sendiri.
Arahnya, membendung langkahku.
Likunya mengubur tawaku, merenggut senyumku.
Habis sudah semua terkikis takdir-Mu.
Tapi perihnya tak akan hilang ditelan guliran waktu.
Prok-prok-prok
semua anak memberi applause untuk puisi rio.
"bagus rio, selanjutnya Danang, silakan maju!!!" lanjut pak arief.
CINTA..
Danang mulai membacakan judul puisinya.
Luka-luka-luka
yang kurasakan
bertubi-tubi-tubi
engkau berikan
Cintaku bertepuk sebelah tangan,
tapi aku balas senyum keindahan.
Bertahan satu cinta
bertahan satu
C.I.N.T.A
"kayaknya gue tau deh puisi ini," celetuk rizky yang duduk disebelah daud.
"WOII penyair gagal, itu mah lagunya d'bagindas dodol," seru daud.
"sstt, diem aja sih lo, berisik," Danang memelototi Daud.
"sudah sudah, danang duduk dan perbaiki puisi kamu."
Pembacaan puisi karya masing-masing siswa terus berlanjut, adanya puisinya begitu indah dan menyentuh, ada yang ambigu antara membuat puisi atau cerpen, ada yang tidak nyambung dan sebagainya, "dan untuk pembaca puisi terakhir, silakan saudara Gabriel."
mampus gue, kebagian pula. mana belum buat puisinya. alamat ngarang bebas ini sih, batin gabriel
"gabriel, mana kertas puisi kamu?"
"saya sudah hafal pak," jawab gabriel berbohong.
"baiklah, silakan kalau begitu."
aku...
sedikit lelah, karena bertahan sendiri
tapi tak berniat untuk menyerah
selama bunga masih merekah
mentari bersinar cerah
aku tak ingin pergi
aku tak ingin berhenti
mereka, orang-orang terkasihku
telah kah mereka sadari?
telahkah mereka pahami?
hilangnya tawaku
hilangnya semangatku
hilangnya peganganku
atau memang hanya aku yang menyadarinya???
tapi biarlah,
karena selayaknya mereka tak perlu
tentang aku,
tentang kerapuhanku,
tentang sebenarnya aku...
puisi itu mengalir begitu saja dari mulut iel, tapi rangkaian kata sederhana itu ternyata mampu membius semua orang dalam ruangan kelas. benar jika orang berkata, yang betul-betul dari hati akan lebih terasa maknanya. seperti puisi gabriel tadi, curahan isi hatinya. setelah dirasa usai dengan puisi dadakannya, gabriel membungkuk memberi salam tapi seisi kelas masih saja terdiam, hening.
waduh ,puisi gue kayaknya ancur banget deh, sampai pada shock gini, batin gabriel.
"SEKIAN DAN TRIMAKASIH" teriak Gabriel, mengagetkan semuanya.
"Oh ya ya, bagus gabriel, bagus." puji pak arief.
"Hah?" Gabriel tampak bingung, bagaimana mungkin puisi seabsurd itu bisa dibilang bagus, dimana letak kebagusannya, "Makasih pak," ujarnya seraya berjalan menuju kursinya.
***
best regard
via
0 komentar:
Posting Komentar