Sabtu, 12 Maret 2011

Malaikat Hidup Gue -part 20-

***

Hari ini adalah hari yang sangat ditunggu oleh sebagian besar siswa SMA Citra Bangsa, karena semua siswa begitu yakin bahwa hari ini tim basket andalan sekolah merekat akan mengukuhkan predikat juara bertahan yang sudah di sandang selama 5 tahun berturut-turut. Mereka sangat optimis Iel CS akan berhasil memboyong tropi pertandingan ini ke sekolah mereka. Sehingga, tidak tanggung-tanggung para suporter yang datang memberikan dukungan semaksimal mungkin. Sorak sorai, riuh rendah gaungan yel-yel, teriakan-teriakan penyemangat, semua larut dalam atmosfer semangat yang menyelubungi langit-langit GOR ini.

Ah, andai orang-orang itu tau. Andai mereka faham. Disini, di locker room ini, orang-orang yang sejatinya adalah penentu kemenangan atas tim lawan, tengah galau luar biasa. Marah. Gelisah. Kesal.

Bila permukaan air yang diam itu biasanya beriak tenang, tapi teori itu tidak berlaku untuk sekumpulan orang ini. Mereka semua terdiam, hanya sesekali isakan gadis manis yang tengah bersandar di bahu sivia lah yang memecah hening. Sisanya, tinggal sepi lah yang berkuasa.

Iel, Cakka, Sivia, Agni, Ify, dan yang lainnya, larut dalam rasa tidak habis fikir pada dua orang manusia, bernama Rio dan Alvin itu. Bisa-bisanya. Sangat kekanakan. Memilih lari dari masalah dan mengabaikan kepentingan orang banyak. Apalagi melihat ekspresi sang pelatih yang terlihat sangat sedih saat meninggalkan ruangan ini untuk mencarikan pemain pengganti, tadi. Hah, pasti rasanya ingin sekali menghajar atau sedikitnya mencaci-maki Rio dan Alvin, saat mereka muncul nanti.

"Sebenarnya, Rio kemana sih, Fy ? Dia gak bilang apa-apa emangnya sama lo ?" Cakka masih melipat kedua tangannya di dada, bersandar pada kotak abu-abu dari besi yang berbaris rapi, mendominasi ruangan ini. Tatapannya tetap lurus ke depan.

Ify menyeka air matanya dan menggeleng pelan, "nggak Kka. Malam itu Rio cuma bilang mau pergi, itupun lewat surat..."

Flashback : on

tok-tok-tok

Pintu kamar Ify diketuk pelan.

"non Ify, ada mas Rio." lapor sebuah suara lembut dari luar.

"Iya, Bi. Suruh tunggu aja sebentar." balas Ify.

Dengan cepat, Ify segera turun dari ranjangnya. Berjalan kearah cermin besar di salah satu sudut kamarnya, tangannya langsung meraih sisir, merapikan geraian rambutnya yang sedikit kusut, lalu di hapusnya sisa-sisa air mata yang terselip di sela bulu matanya yang lentik. Ify menarik nafas panjang, "kamu harus kuat" gumamnya mantap, pada diri sendiri.

Setelah merasa lebih baik, Ify bergegas keluar. Saat membuka pintu, di dapati si Bibi masih setia berdiri di depan pintu kamarnya.

"Lho, Bi... Kok masih disini ?" tanya Ify, heran.

"Anu non, ini... dari mas Rio." si Bibi mengulurkan sebuah kotak berukuran cukup besar berwarna putih mengkilap dengan ornamen bintang-bintang.

"sekarang, Rionya mana ? Dibawah ?" tanya Ify, sambil berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu, "dia gak bawa mobil ya, Bi ? Kok aku gak denger ada mobil yang datang." lanjut Ify, bertanya.

Si bibi yang mengekori anak majikannya di belakang, menjawab dengan ragu, "Mas rio ndak bawa mobil, Non."

"oh, naik motor ya ?"

Si Bibi menggeleng.

Ify menghentikan langkahnya, ditatapnya wanita paruh baya itu lekat-lekat, "terus ?"

"Tadi Mas Rio sepertinya jalan kaki."

"oh, tumben." komentar Ify singkat.

"Non, Mas Rio itu lagi sakit ya ?" kini gantian Si Bibi yang melontarkan sebuah pertanyaan.

"emang kenapa Bi ?"

"wajahnya itu lho, Non. Tadi tu pucat sekali, seperti mayat saja. Tapi waktu Bibi suruh masuk malah gak mau, padahal hujannya diluar deras." jelas Si Bibi.

"jadi Rio, gak ada di bawah ? Dia udah pulang ?" tanya Ify.

Si Bibi mengamini dengan sebuah anggukan pasti.

"kenapa gak bilang daritadi sih ?" omel Ify, kesal, " simpan di kamarku, nih." Ify menyerahkan kotak putih dari Rio yang baru saja di terimanya pada Si Bibi, lantas segera berlari keluar.

Diluar hujan masih cukup deras, meski tanpa sambaran kilat ataupun gelegar petir, tapi rinai air tetap jadi lakon utama dalam drama alam yang tengah berlangsung malam ini.

"Rio... Rio.." Ify memanggil nama pemuda itu berulang kali. Berharap Rio belum begitu jauh dari rumahnya. Ify berlari keluar dari gerbang rumahnya. Kontan, piama biru laut yang dikenakannya langsung basah kuyup diterpa air hujan. Pandangannya menilik setiap sudut di sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa. Jalanan remang di depannya kosong dari ujung hingga ke ujung. Serangan hujan yang gencar tanpa henti, nampaknya membuat orang-orang malas keluar rumah.

Ify menyeka buliran air yang membasahi wajahnya, "Rio.." panggilnya sekali lagi.

Tetap tak ada sautan. Ya, ify tidak heran. Di depannya hanya ada tiang-tiang listrik yang menjulang, tak ada seorang pun selain dirinya disana.

"Aduh, Non Ify kok hujan-hujanan sih. Udah ayo masuk yuk, nanti Non sakit." Si Bibi datang tergopoh-gopoh membawa payung berukuran jumbo, warna-warni.

"Bi, kok Rio gak ada ?" tanya Ify, kecewa.

"Mas Rio pasti sudah pulang, sudah ayo kita masuk. Kan ketemu Mas Rionya bisa besok di sekolah." usul Si Bibi.

Ify tak berminat untuk membantah, ia ikut masuk bersama wanita asal Semarang itu ke dalam rumah.

Setelah kembali ke kamarnya, tanpa berniat mengganti bajunya yang basah terlebih dahulu, Ify langsung meraih kotak putih yang tergeletak di atas meja belajarnya.

Sejenak Ify tertegun. Warna putih, warna favorit Dea. Apa Rio tuli ? Bukankah berulangkali Ify beritahu bahwa ia lebih menyukai warna ungu.

"Kenapa semuanya jadi ribet gini sih. Ck." Ify berdecak kesal.

Dengan kasar, di robeknya kertas kado yang membungkus rapi kotak itu. Di dalamnya hanya ada dua benda. Sebuah gaun indah yang lagi-lagi berwarna putih, dan secarik kertas yang sepertinya di robek paksa dari pertengahan buku tulis.

Karena sudah pasti kertas itu di sisipkan untuk di baca, maka pupil mata Ify langsung bergerak kekiri dan kekanan, menelusuri tulisan yang berderet rapi dalam kertas itu.

"Dasar Rio primitif, masih zaman ya surat-suratan begini." dumelnya.

Ify...
I just wanna say thank you so much for all.
Makasih untuk semuanya. Maafin aku, kalau akhirnya semua jadi gak ke kontrok kayak gini. I didn't mean to hurt you. Aku pergi Fy. Tapi bukan untuk lari. Aku cuma mau bantu kamu lupain aku. Gadis sebaik kamu gak pantes buat aku.
Take care, my fairy.

Mario.

Ps : aku pingin kamu main piano lagi. Pakai gaun itu ya buat kontes piano 2 minggu yang akan datang.
Good luck.


Kertas itu bergetar di tangan Ify.
Pergi ? Rio pergi ? Tapi kenapa ?

Miris rasanya, kalau mengingat pria itu. Sampai kapan ia akan bertahan dengan masa lalunya. Menampik semua kebahagiaan yang jelas-jelas nyata, menggantinya dengan bayang-bayang semu masa silam.

Flashback : off

"gitu Kka. Itu juga udah hampir 2 minggu yang lalu." tutur Ify setelah menyelesaikan ceritanya.

"Kok lo gak bilang sih, Fy ?" tuntut Cakka.

"Gue gak yakin Kka, kalo Rio serius. Lo juga bilang selama 2 minggu Rio absen karena kakeknya yang di Manado, kritis." sergah Ify.

"Rio udah gak punya kakek kali, kakeknya meninggal 3 tahun lalu." suara khas milik Debo, terdengar dari balik pintu.

Reflek, Ify langsung mencelat dari tempat duduknya. Dari bahasa tubuh gadis ini, tampaknya gejolak magma yang sejak tadi ia pendam sudah siap membuncah saat melihat Debo. Perlahan, Ify berjalan menghampiri Debo, dengan tatapan sinis, "Ngapain lo kesini ?" ketus Ify.

"Nyariin kamu." jawab Debo sambil tetap tersenyum.

"Oh. Berarti mulai sekarang lo gak perlu repot-repot nyariin gue, karena gue gak mau ketemu lagi sama lo. Jelas !!" tandas Ify. Ia segera memutar tubuhnya, memunggung Debo.

"Kenapa ? Apa karena Rio ?" sahut Debo, defensif, "Apa sih istimewanya Rio. Dia tu cuma pembunuh." tambahnya, sarkatis.

Ify berbalik, memicing matanya dengan kedua manik kecoklatan milik Debo, "Atas dasar apa lo bilang Rio pembunuh ? Ini tu takdir. Emang sepupu lo itu umurnya cuma sampai hari itu aja. Elo gak berhak marah sama Rio." bela Ify.

"Fy, Dea itu sepupu kesayangan gue. Gue yang jagain dia dari kecil, gue yang dia cari kalau lagi sedih, lagi takut. Tapi demi Rio, dia lupain gue. Dan apa balasan Rio ? Berulang kali dia duain Dea. Berulangkali Rio bikin Dea nangis, terakhir dia malah bunuh Dea. Apa menurut lo, gue masih gak pantes marah sama Rio. Rio tu brengsek." tegas Debo.

Sebelum Ify sempat menimpali pernyataannya, pemuda itu segera mengambil suara kembali, "Elo bisa bilang ini semua takdir, karena elo gak ngerasain gimana perasaan orang tua Dea, sahabat-sahabat Dea, perasaan gue. Elo gak ngerti, Fy. Bahkan Bi Rini pembantu rumah Dea, tanpa sadar masih sering ngetuk-ngetuk pintu kamar Dea, buat bangunin Dea. Padahal kamar itu udah kosong, Dea juga gak akan pernah bangun lagi."

"Terus apa lo kira Rio gak kalah menderita dari kalian semua ?"

"Tapi dia pantas Fy, dia pantas dapetin semua itu, bahkan harusnya lebih. Dia tu brengsek, sering mainin cewek, percaya sama gue."

"Cukup. Sekali lagi lo panggil Rio brengsek gue jahit mulu lo." ancam Iel, manik matanya, tajam menatap Debo. Layaknya mata elang, membidik mangsanya.

Ify berjalan mentap kearah Debo, senyum sinis terpeta di wajahnya. Kini jarak mereka tinggal beberapa senti, "Debo, denger gue baik-baik ya. Dari segi hukum mana pun Rio tu gak salah. Itu murni kecelakaan."

Ify melipat kedua tangannya di dada, lalu berjalan memutari Debo dengan tatapan paling menyudutkan yang ia punya, "Gue sih sebenernya gak mau main ancam-ancaman kayak gini, tapi gimana ya, terpaksa." Ify mengangkat bahunya, "Gue cuma mau kasih tau, kalau disini jelas posisi lo yang paling salah." Ify tampak mengobrak-abrik isi tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar foto, dan melemparnya tepat di depan wajah Debo.

"Foto-foto itu di temuin petugas kebersihan sekolah di gudang. Elo udah lama kan mata-matain kita ? Terutama Rio. Terus rekaman itu, elo sengaja kan bikin rekaman itu buat bikin Rio tertekan ? De, gue bisa aja sekarang juga laporin lo ke polisi dengan semua bukti yang ada atas tuduhan kejahatan berencana dan intimidasi. Lengkapnya, gue juga punya saksi. Dayat. Elo salah milih sekutu. Bokapnya Dayat itu pegawai bokap gue, jadi kalau Dayat gak mau bokapnya di pecat, ya... Dia harus mau jadi saksi." ancam Ify.

Telak. Kalimat panjang yang dituturkan Ify mampu membuat seluruh partikel tubuh Debo mengejang. Debo ketar-ketir sendiri dalam hati.

Sial. Rutuknya.

"Apa sih bagusnya Rio ? Kenapa kalian semua segitu carenya sama dia. Dia tu gak sebaik yang kalin fikir." hasut Debo.

"Oh. Terus apa lo fikir lo lebih baik dari Rio ? Ngaca lo !! Lo deketin gue karena lo kira Rio bakal sakit hati, iya kan ? Terus lo juga kan yang ngambil video Via sama Iel waktu di rumah sakit. Liat dulu diri lo De, sebelum lo ngejugde orang lain." balas Ify.

Debo terdiam. Ia menyumpahi dirinya sendiri. Bisa-bisanya dengan begitu bodoh ia masuk dalam zona lawan tanpa tedeng aling-aling ataupun tameng. Dan alhasil, beginilah nasibnya, habis di pojokkan.

Cakka yang sudah mulai faham kemana arah pembicaraan Ify, ikut angkat bicara, "Setelah Rio balik, jangan pernah ganggu hidupnya lagi, dan kita juga gak bakal ganggu hidup lo. Lupain dendam lo dan lo gak perlu nginep di hotel prodeo. Kita tata hidup kita masing-masing. Deal ?" Cakka mengulurkan tangan kanannya.

Debo tidak langsung membalas uluran tangan Cakka. Ia terlihat sangat enggan.

"turunin tangan lo, Kka." titah Iel dengan suara datar, "gue rasa, ni bocah lebih milih perang sama kita."

tanpa di suruh dua kali, Cakka pun menurunkan tangan kanannya. Bersamaan dengan itu Pak Yunus yang notabenenya adalah pelatih tim basket datang, dengan nafas sedikit terengah.

"Bapak sudah menyuruh pemain cadangan untuk menggantikan Alvin dan Rio. Sudah cepat, kalian menuju lapangan. Pertandingan akan segera di mulai." intruksinya.

"Tapi pak, apa tidak riskan kalau kita menurunkan pemain cadangan ? Apa tidak sebaiknya kita menunggu Rio dan Alvin. Maksud saya, pemain cadangan kita kan masih kelas X belum begitu banyak pengalaman, lagi pula permainan mereka monoton, jadi sangat mudah terbaca lawan." sela Iel, tak yakin.

"Ya, kamu benar Gabriel. Karena itu saya lebih memilih untuk menurunkan Ray dan Deva. Ya, walaupun bukan dari tim, tapi saya lihat mereka sering ikut berlatih dengan kalian dan mereka sepertinya juga banyak belajar dari gaya bermain Alvin yang mengecoh. Saya harap keberadaan mereka bisa membantu kalian." tutur Pak Yunus.

"Maafkan kami ya, Pak." lirih Septian.

Pak Yunus tersenyum hangat, "Sudah, tidak apa-apa, yang penting sekarang bermainlah semaksimal mungkin. Perkara menang atau kalah itu urusan nanti. Bagaimana, Siap ??"

"SIAP PAK !!"

***

Peluit pertama dari wasit yang menandakan permainan dimulai sudah berbunyi sekitar 20 menit yang lalu. Skor yang diperoleh kedua tim belum terpaut jauh, sehingga para suporter masih sangat antusias mendukung tim sekolah masing-masing. Sepertinya semua orang yang hadir disini telah mencharger baterai masing-masing. Terbukti, teriakan-teriakan nyaring tak sedetik pun absen mengiringi partai final perlombaan basket antar SMA di sekitar Bandung dan Jakarta ini. Para pemain yang berlaga pun tak kalah semangat. Shooting-shooting cantik, operan yang akurat, ataupun tehnik-tehnik mengolah bola yang mengagumkan sudah di pertontonkan sejak menit-menit awal pertandingan.

Tapi susul-menyusul skor tidak berlangsung lama, beberapa menit berikutnya terlihat sekali bahwa kekuatan dan kecakapan pemain tidak berimbang. Tim basket Citra Bangsa mulai kesulitan meladeni permainan tim lawan yang sangat agresif.

"woi, mata lo biasa aja dong. Kagak usah melotot gitu." kata Sion, salah satu pemain tim lawan yang bertugas membayang-bayangi pergerakan Deva.

"Mata gue emamg kayak gini kupret. Gue orang Bali." Deva bersungut marah.

"Oh. Pantesan muka lo mirip leak." cibir Sion lagi.

Deva meradang. Ia menghentikan langkahnya kemudian berbalik.

BUGG.

Bola yang semula memantul lincah ditangannya kini meluncur, lalu mendarat tepat di wajah Sion.

"makan tu bola." umpat Deva.

Priiiittt.

Wasit meniup peluit. Tindakan Deva barusan terhitung sebuah pelanggaran dan pantas di ganjar sanksi. Lemparan ke ring. Kali ini kapten tim Yos Sudarso, yang di percaya mengeksekusi lemparan tadi, dan sluup. Masuk.

Ring tim Citra Bangsa kembali di jejali bola. Shoot cantik dari Obiet sang kapten menambah skor untuk timnya.

Suporter tim Citra Bangsa mulai bungkam. Entah tersangkut apa suara- suara teriakan tadi. Skor terpaut semakin jauh, tapi seandainya salah satu dari Rio ataupun Alvin bisa bermain dibabak kedua, radius ini masih bisa tersusul. Pertandingan di lanjutkan.

"heh, minggir nape lo. Ngalangin gue mulu." usir Ray, pada seorang pemain lawan berbadan tinggi besar yang sejak tadi memblokir langkahnya dari segala arah.

"babon minggir dong, gue mau shoot nih, gak nyadar body banget lo, awas, awas, awaas." cerocos Ray, yang tidak diindahkan oleh lawan di hadapannya.

"kasih gue ray..." teriak Ozy yang berdiri tak jauh dari tempat Ray berdiri.

"tidak bisaaa,, si jangkung menghalangi akuuu, Ozy..." timpal Ray, asal.

"makanya tumbuh tu keatas. Jangan rambut mulu yang tumbuh." cibir pemain tadi, tepat ketika Ray akan mengoper bola pada Ozy, alhasil....

DUGG

"aduuhh."

"Cakka bieber lo gak pa-pa?? Ya, ampun kaki lo nyampe begini." seru Ozy yang segera berlari kearah Cakka.

"yang kena tu kepala gue, Ozy maniiis, bukan kaki." kata Cakka gemas.

"Sorry ya Kka, ya ampun gue gak sengaja. Tuh biri-biri gangguin gue mulu." tunjuk Ray dengan dagunya kearah tim Yos Sudarso yang sudah berkumpul di sisi lapangan.

Priiiittt.

Peluit panjang ditiup wasit. Tanda berakhirnya babak pertama dan waktunya turun minum. Para pemain pun segera meninggalkan lapangan untuk istirahat.

"pokoknya gue gak mau main lagi Kka. Sakit hati gue, di kata-katain anak YS. Yang katanya mata gue gede lah, sainganlah sama bola basket, bolham berjalan lah, mirip leak, haduh gue udah gak sanggup deh Kka." cerocos Deva, panjang lebar.

"iya tuh. Kagak pada bilang sih, kalau di pertandingan basket ada adu mulutnya juga. Tau gitu gue siapin hinaan yang lebih nista buat mereka. Masa di bilang otak gue ketutupan rambut lah, kuntet, keberatan rambut. Kunyuk banget." timpal Ray.

"Udah jangan di dengerin mereka tu sengaja mancing-mancing emosi kita. Kalau bukan kalian siapa yang mau main. Rio sama Alvin belum ada yang datang." desak Cakka.

"gue, Kka." jawab Debo yang sekarang sudah memakai seragam tim.

"elo ??" Cakka terlihat ragu.

"iya, Kka. Debo sama gue bakal main gantiin Ray sama Deva, pelatih udah setuju." timpal Iel yang juga sudah mengenakan seragam tim, "kita minimalisir kekalahan Kka, walaupun mungkin gak bisa menang yang penting gak kalah telak. Debo ini sama kayak Rio, pernah dapet MVP di Manado." ujar Iel, sambil berlari-lari kecil melakukan pemanasan.

"Sialan ni bocah. Gak ngomong dari tadi." rutuk Cakka, pada Debo dalam hati.

"Tapi Yel, lo kan ba-"

"Cuma 1 babak Kka, gue kuat kok." Iel memotong kalimat Cakka yang sudah bisa di tebak apa kelanjutannya.

Cakka akhirnya mengangguk kecil tanda setuju. Sejujurnya, Cakka sangat ingin memenangkan pertandingan ini, sebelum ia berangkat ke Singapore, sebelum Pak Yunus pensiun sebagai pelatih basket. Jadilah, ia menyetujui keinginan Iel walaupun hatinya sarat dengan rasa khawatir.

"Ozy..." panggil Acha yang baru datang bersama Oik dan Gita.

"Lho, kok kalian disini ? Tim cheers gimana ?" tanya Ozy.

"Biasa Zy, Acha mau memberikan suntikan mental nih buat lo, biar semangat." jawab Gita mewakili, "tim cheers udah pada tewas dari tadi, pada gak semangat. Gak ada Rio sih." lanjutnya.

"Ozy semangat ya..." pesan Acha sambil mengulum senyum manis, tangan kanan gadis itu mulai menyusuri wajah yang di banjiri keringat, dengan sapu tangannya.

"kalau ada Acha sih abang Ozy pasti semangat 45678 deh." jayus Ozy.

"emm...ini Ray, buat kamu." Oik mengangsurkan sebotol air mineral kepada Ray.

"wah, makasih ya Cantik. Jadi makin sayang deh sama Oik." gombal Ray.

"sayang ?? kalian, jadian ?" celetuk Cakka yang tanpa di sangka-sangka dijawab dengan sebuah anggukan oleh Oik.

"what ?" seru Deva dan Ozy bersamaan.

"wah, congrats ya, semoga langgeng. Sejak kapan, Ray ?" ujar Iel.

"Baru satu mingguan kok, Yel. Sorry ya bro, gue gak bilang-bikang soalnya tampang-tampang kayak lo pada, kalau minta PJ pasti bikin bangkrut." Ray melempar cengiran pada dua sobat kentalnya.

"dasar kikir." cerca Ozy.

Tanpa ba-bi-bu dan sebab yang jelas, Deva langsung berlari keluar locker room ini.

"Dedep mau kemana lo ?" tanya Cakka mewakili yang lain.

"Nyusulin Keke lah, dia kan nonton. Gue juga mau di kasih minum sama di lap keringetnya..." jawab Deva setengah berteriak dari luar.

"Oh." Cakka manggut-manggut, "HAH ? Tadi dia bilang apa ? Sejak kapan si depong jadian sama sepupu gue. Depaaaa.." Cakka berniat segera lari menyusul Deva, tapi bagian belakang kaosnya keburu ditarik Iel.

"mau kemana lo ? Udah sih biarin aja, sister protect banget lo." ledek Iel.

"Yaah, gue sendiri dong yang jomblo." celetuk Gita.

"Gue sama Iel jomblo kok, Git. Lo tinggal pilih mau yang mana ?" canda Cakka.

"emang Si Aa nya belum nembak juga, Git ?" tanya Acha sambil melirik-lirik kearah kirinya.

"Iya, kalian kan udah lama banget tuh PDKTnya masa belum jadian ?" tambah Oik, lalu tersenyum penuh arti pada sosok di depannya.

Sedang Gitanya malah hanya menangkat bahu.

"Kalian semua sudah siap ?" suara tegas penuh wibawa milik pak Yunus membuat semua menoleh ke pintu, "Cepat kembali kelapangan. Pertandingan akan segera dimulai kembali. Dan kamu Gabriel, kalau ada sesuatu yang kamu rasakan segera berhenti bermain." intruksi PaK Yunus.

Semua patuh. Cakka, Iel, Debo, Septian dan Ozy kembali kelapangan dengan semangat yang baru untuk meneruskan pertandingan, sedangkan yang lain kembali ke kursi penonton.

Benar saja, tidak ada 5 menit setelah mereka tiba di lapangan, pertandingan sudah akan dimulai kembali. Saat peluit wasit di tiup panjang satu kali lagi, permainan pun langsung berjalan. Tim Yos Sudarso yang tampaknya sudah merasa diatas angin, mulai kewalahan menerima serangan balik dari Iel Cs yang tidak di sangka-sangka.

Perlahan, skor mulai tersusul. Tim Citra Bangsa hanya butuh 20 menit untuk menyamakan kedudukan. Dan di detik-detik akhir yang sangat menentukan, shooting mengagumkan dari Iel bersarang di ring tim lawan. Kedudukan berbalik. Para suporter kembali memperoleh nyawa dan suara mereka. Semua bersorak gembira saat peluit panjang tanda babak kedua usai ditiup. Semua warga SMA Citra Bangsa melonjak senang. Bangga. Tidak menyangka, sekolah mereka bisa menang kembali. Melihat skor dibabak pertama yang sepertinya mustahil terkejar. Adanya Gabriel dan Debo seperti jadi amunisi baru yang akhirnya bisa membuahkan kemenangan untuk tim sekolah mereka.

"kita menang, bro." pekik Iel gembira. Meskipun wajahnya terlihat lebih pucat tapi senyumnya, tapi senyum khasnya memupuskan semua kekhawatiran sahabat-sahabatnya. Semua baik-baik saja. Kalimat itu yang sepertinya ingin Iel tegaskan.

"WOHOOO, kita menang Yel. Kita gak jadi kalah. Lo hebat banget Gabriel Stevent, aku padamu, muach, muach." Cakka begitu semangat meluapkan kegembiraannya.

"Eh, sstt... Alvin telfon." lirih Iel. Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir, sebelum akhirnya mulai mengangkat sambungan telfon, "hallo, Vin. Lo dimana ? Kita menang Vin..."

"Iya.. Jam 11 ? Tapi.. Oh OK, OK."

"Alvin dimana Yel, dia bilang apa ?" tanya Cakka, tidak sabar.

"aarrrh." Iel mengerang.

"Lho, lo kenapa Yel ?" Cakka mulai panik, saat Iel terus meringis kesakitan dan memegangi dadanya.

"hhhfh..hhfh..dada gue..sakit..hhf..Kka." ujar Iel terputus-putus.

Iel merasakan seluruh pandangannya mengabur, suara-suara yang sampai ditelinganya hanya dengung-dengung tidak jelas, "aku kuat. Aku bisa, gak boleh nyerah Gabriel, belum saatnya." kalimat-kalimat sugesti semacam ini terus-menerus dirapal Iel. Tapi ternyata tak berefek sama sekali, rasa sakit yang menderanya menampik kalimat itu. Tidak lagi peduli pada Iel yang mulai menitikan air mata, sakit itu terus menyerangnya.

"izinkan aku bernafas Tuhan. Biarkan udara itu kembali masuk ke paru-paruku. Aku belum ingin pergi."

Iel merasakan tubuh ringkihnya di gotong sejumlah orang, diiringi satu isakan yang sangat ia benci, isakan milik Sivia.

"jangan nangis, hhhheffhh." Iel menghembuskan nafas panjang, lalu semua gelap. Gelap. Kidung hidupnya mungkin hanya sampai hari ini??

***

"Git, please dengerin aku dulu. Aku gak ada apa-apa sama Ify." ujar Debo, tangan kanannya mengunci pergelangan tangan Gita.

"lepas De, kamu apa-apaan sih, sakit tau." Gita meronta.

"gak. Aku gak bakal lepasin tangan kamu, sebelum kamu percaya sama aku. Aku sayangnya sama kamu Gita, lagian Ify itukan udah punya Rio." Debo terus mendesak gadis manis yang terus berusaha melepaskan tangannya dari Debo.

"Git ?"

"Apa ? Apa De ? Kamu mau aku percaya ? Gimana aku mau percaya, kalau setelah beberapa bulan kita deket, sekarang kamu malah lebih mentingin Ify."

"Gita, kan aku udah bilang. Ify itu sahabat kecil aku sama Dea, sepupu aku yang udah meninggal. Kamu percaya dong. Aku sayang sama kamu semenjak kita pertama ketemu di pembukaan butik mama kamu, dan perasaan itu gak pernah berubah sampai sekarang."

"terus kenapa kamu biarin aku nunggu selama ini ? Kenapa ??"

Debo dan Gita memang telah saling mengenal, sekitar dua bulan sebelum Debo pindah ke Citra Bangsa. Awalnya mereka memang sempat dekat, tapi karena dendam kesumatnya pada Rio, Debo memilih untuk mengejar Ify lebih dulu dan menangguhkan perasaannya pada Gita. Tapi hari ini, entah karena memang ingin merubah hidupnya, menghapus kata dendam dari kamusnya, atau karena takut pada ancaman Ify, Debo memilih untuk tidak lagi berurusan dengan Rio dan teman-temannya.

Hari ini Debo berniat meraih lagi apa yang dulu pernah dikesampingkannya demi misi balas dendam yang entah sudah tercapai atau belum, karena nyatanya hidup Rio sudah cukup hancur tanpa harus ia hancurkan.

Meleset dari perkiraan Debo, saat ia mengungkapkan perasaannya pada Gita, Gita bilang ia tidak memiliki perasaan yang sama dengan Debo. Tapi Debo tidak yakin. Pasti ada faktor X yang mempengaruhi jawaban Gita. Dan setelah Gita mau jujur, ternyata gadis ini mempermasalahkan kedekatan Debo dengan Ify akhir-akhir ini.

"itu ada Ifynya, aku bakal minta dia jelasin sama kamu Git, kalau emang kamu gak percaya sama aku." Debo menangkap sosok Ify yang berjalan tergesa di arena parkiran, "Fy... Ify..." panggil Debo.

Dengan malas Ify mendekap, "Apaan ?" tanyanya ketus.

"gini Fy, gue emm...anu. Gue tu ini, Fy, Gita anu..."

"Aduh, lo mau ngomong apaan sih, gak jelas banget. Mau ngancem gue ?" tuduh Ify.

"bu..bukan Fy. Bukan. Mmh, gue hari ini nembak Gita, tapi dia kira kita ada apa-apa. Padahal gak kan Fy. Elo cuma sahabatnya sepupu gue, iya kan, Fy ??" Debo menatap penuh harap pada Ify, memohon agar gadis itu mau berbaik hati dan mengatakan iya atau barang mengangguk saja.

Ify tampak berfikir, dipandangi pria berponi ke samping itu lekat-lekat, "Oh. Iya Git, gue gak ada apa-apa kok sama Debo. Cuma temen." sahut Ify.

Debo menghela nafas, lega.

"tu kan Git, udah percaya kan sekarang ?"

"Iya, iya. Aku percaya kok."

"jadi..kamuu.. mau gak jadi pacarku ?"

Gita mengangguk malu-malu.

"Serius Git ? Makasih ya Gita, makasih banget." Debo merengkuh tubuh mungil Gita ke dalam pelukannya.

"bikin ngiri aja." batin Ify kesal.

"PJnya gue paling gede lho ya.." celetuk Ify, lalu pergi meninggalkan dua insan yang tengah mengamalkan salah satu sila dalam percintaan, 'dunia cuma milik berdua'.

Gita melambaikan tangan kanannya kearah Ify.

"duluan ya.." pamit Ify dari balik kaca mobilnya.

Drrt.drrt.drrt.

From : Debo

thx Fy. Thx bgt. Gw janji gak akan ganggu lo sma Rio lgi :)

Ify tersenyum kecil, membaca pesan yang baru saja masuk dalam list inboxnya. Dengan cepat Ify mengetikan jawaban untuk Debo.

To : Debo

you're wlcome. Bgus kalau gitu. Jagain gita bener-bener.

Setelah selesai dengan handphonenya Ify fokus pada jalanan rapat di depannya. Honda jazz merah Ify merayap perlahan bersama kendaraan-kendaraan lainnya.

***


Lihat ku disini
kau buat ku menangis
kuingin menyerah tapi tak menyerah
ku ingin lupakan tapi ku bertahan.

Honda jazz merah berplat D Itu melambat ragu didepan sebuah rumah mewah dengan lambang huruf H untuk haling yang mematung angkuh di tengah kolam ikan. Seperti mempertegas dimana status sosial kelurga Haling bertengger.

Ify menghela nafas berat. Hatinya terasa tak menentu antara ingin turun atau tidak.
Ify memutuskan untuk menghubungi Rio terlebih dulu. Ia meraih handphonenya, menekan tombol nomer 3 yang biasanya akan langsung menghubungkannya dengan pemuda yang sejatinya tak pernah luput dari ingatan Ify belakangan ini.

Alih-alih Rio yang menjawab, ini malah mbak Veronica yang sibuk berkicau. Ify mendengus sebal. Tadinya ia memutuskan untuk putar arah lalu pulang. Tapi diurungkannya rencana itu saat seorang wanita berusia sekitar 50'an tergopoh-gopoh membawa sekantong sampah keluar dari rumah Rio.

Ify bergegas turun dari mobilnya, "Bu.. Ibu.." panggil Ify.

"eh, iya, ada apa neng ?" tanya wanita tadi.

"mmh, saya cari Rio. Rionya ada dirumah ?"

"oh, temannya si aden toh. Den Rionya gak ada dirumah, neng." jelas si Bibi.

"Oh, gak ada ya ? Kalau boleh tau, Rionya kemana ya ?"

"wah bibi juga gak tau tu Neng. Satu minggu yang lalu sih den Rio sempat telfon tapi dia gak bilang ada dimana. Cuma minta supaya barang-barangnya dikemasi. Karena mbak Shilla akan segera membawanya. Nah, setelah itu tidak ada kabar dari den Rio."

"Shilla ?"

"Iya neng, itu lho mbak Shilla yang cantik, yang rambutnya panjang. Waktu den Rio pertama kali pergi yang nganter juga mbak Shilla. Jadi kalo eneng mau tau dimana den Rio tanya aja sama mbak Shilla." usul si Bibi.

"Oh, gitu ya bi.," gumam Ify, pelan.

"atau gini aja, kalau ada pesan bilang saja nanti kalau den Rio telfon biar bibi sampaikan, bagaimana ?"
Saran wanita yang sepertinya adalah pembantu rumah tangga di rumah ini.

"ya udah aku titip pesan aja deh ya Bi, bilangin sama Rio, kalau Ify 3 hari ke depan bakal ikut kontes piano. Ify harap Rio mau datang." ujar Ify, mendiktekan pesannya.

Si Bibi mengangguk faham, "Baik, neng nanti bibi sampaikan." timpalnya.

"Kalau gitu saya permisi dulu ya Bi, makasih." pamit Ify.

"mangga, sami-sami neng geulis." balas Si Bibi dengan logat sunda yang kental.


Kau terindah
kan s'lalu terindah
aku bisa apa?
'tuk memilikimu
kau terindah
selalu terindah
harus bagaimana?
Ku mengungkapkannya

Ify duduk berselonjor dialasi rumput-rumput yang tumbuh liar di taman komplek perumahan Rio. Rumah mewah kediaman keluarga Haling, masih nampak mencuat dibanding bangunan-bangunan lain disekitarnya.

Rio.. Rumah itu.. Shilla.. Pergi.. Ah, ada apa sebenarnya ? Kemana Rio ?

Setelah bantuan yang Ify berikan selama ini, lalu kenapa sepertinya Rio lebih menghendaki agar Shilla tau lebih banyak tentang pemuda itu di banding dirinya ?
Kenapa ? Apa rio membencinya, karena Ify mengingkar janji untuk tidak menyukainya ? Apa Rio marah pada Ify ?

Ify menumpukan kedua tangannya diatas lutut yang ditekuk. Dibenamkan kepalanya hingga helaian rambutnya menjuntai menutupi wajahnya.

"Kak..." suara lucu itu berhasil membuat Ify mengangkat wajah. Merasa malu karena kedapatan menangis oleh seorang anak kecil, Ify segera menghapus air matanya. Anak itu menyeringai lebar, terlihat deretan giginya yang ompong di bagian depan. Ify balas tersenyum.

"ini untuk Kakak." anak kecil berbaju kodok itu menyerahkan setangkai mawar dan balon berbentuk love, "Balonnya biar Kakak gak nangis lagi dan bunganya supaya kakak senyum." tambahnya dengan nada seperti mengeja hafalan.

"wah makasih ya ganteng." Ify mencubit gemas kedua pipi bocah kecil bertubuh gempal itu, "tapi ini dari siapa ?" tanya Ify.

"dari kak Rio, tuh..." anak itu menunjuk kearah sebuah pohon beringin besar tak jauh dari situ, "Lho ? Kok gak ada ya, tadi kakak gantengnya disana kok." ujarnya bingung.

"Oh, ya udah gak pa-pa. Makasih ya de, Kakak duluan ya..." pamit Ify.

Mungkin lewat mimpi
kubisa 'tuk memberi
Ku ingin bahagia
tapi tak bahagia
kuingin dicinta
tapi tak dicinta


Ify berlari sampai nafasnya tersengal, menelusuri sekitar taman ini. Berharap ia akan menemukan sosok Rio. Sekali saja. Bukan, bukan untuk meminta Rio membalas perasaannya. Hanya sekedar ingin memberitahu pemuda itu bahwa ia akan kembali bermain piano, hanya sekedar ingin menegaskan bahwa Rio tidak perlu menghindar, Ify yakin waktu yang akan mengikis perasaannya, perlahan.

Ditaman ini, angin seperti berkomplot memusuhi Ify. Menguapkan suara Ify ke udara. Hingga lagi-lagi tak satupun sahutan ia peroleh atas panggilannya, "Rio.. !!"

plukk

tiba-tiba segulung kertas mendarat tepat di bahu kanannya. Diraih kertas kusut itu, mata Ify lantas memicing mendapati tulisan didalamnya. Entah siapa yang menulis dan melemparnya ke arah Ify. Ragu, dibukanya kertas itu. Bibir Ify lantas berkomat-kamit membaca sesuatu..

Ubah arahmu, jangan mengejarku, jangan ikuti aku. Hanya akan merasakan sakit, karena jalanku sulit. Berbaliklah. Arah yang berlawanan denganku akan lebih mudah. Percayalah. Lupakan. Hapus semuanya.
Jangan berhenti, ayo terus berlari. Lari, menjauhlah. Lari, dan jangan pernah berhenti.
Rio.

Ify meremas surat di tangannya.

Apa-apaan pemuda itu ? Kapan ia akan mengerti bahwa menyayangi adalah termasuk HAM yang dilindungi oleh hukum dan negara. Seenaknya saja dia, setelah semuanya selesai bukannya mengucapkan t'rimakasih, malah mengusirnya.

Tak jauh dari tempat Ify berdiri, seorang gadis memandang nanar. Ditangannya tergenggam sebuah buku dan bolpoint hitam.

"makasih ya de, ini coklat buat kamu." ujarnya pada anak berbaju kodok yang sama, dengan yang menghampiri Ify tadi. Anak itu segera pergi setelah apa yang dijanjikan untuknya dipenuhi.

"Maafin aku, Fy. Aku terpaksa bohong." gumam gadis itu penuh sesal. Shilla.

Drrt.drrt.drrt

Ify terkesiap, getaran handphone yang menghuni genggamannya membuat kaki yang sedari tadi melemas, kini menegang, kembali menopak tubuhnya yang limbung.
Ah, sudahlah. Apalagi yang Ify harapkan. Sebelum ini pun Ify sendiri. Jadi kalau Rio memang ingin pergi. Silakan saja. Ify akan baik-baik saja.

Ify melirik handphonenya.

2 new message

Ditekannya tombol tengah pada keypad handphone. Pesan singkan dari Shilla langsung terbuka.

From : Shilla

apapun yang lo kasih, semua gak akan berubah. Lupain Rio.

Ify langsung menghapus pesan itu. Sebelum sisi kriminalnya berontak dan ia akan dengan sangat senang hati, mentatto seluruh tubuh Shilla dengan cakarannya, "Dasar nenek lampir." cibirnya.

Bersamaan dengan bunyi klik pelan, pesan kedua terbuka.

From : Cakdut

Iel sakit. RS biasa. Ajak Rio sekalian.


Ajak Rio sekalian ?
Hhaha, Ify tertawa miris dalam hati. Rio mana yang akan ia ajak, Rio Febrian atau Rio Haryanto, Rio yang mana ??

Kau terindah
s'lalu terindah
aku bisa apa?
'tuk memilikimu
kau terindah
selalu terindah
harus bagaimana?
Ku mengungkapkannya

kau pemilik hatiku...

Kau pemilik hati..ku..

***

Cakka dan Via segera berlari kecil turun dari motor Cakka. Dalam kepanikan semacam ini rasa-rasanya jarak antara pelataran tempat motor Cakka terparkir dengan pintu utama rumah sakit, bertambah puluhan kilometer jauhnya. Iel telah lebih dulu dilarikan kerumah sakit bersama Pak Yunus dan Agni. Sedangkan Cakka dan Via menyusul setelah prosesi penyerahan tropi atas kemenangan tim basket Citra Bangsa melawan Yos Sudarso, selesai.

Diantara dokter dan suster berseragam putih susu yang berseliweran dua personil kepolisian berseragam kecoklatan dengan atribut lengkap, menjadi begitu kentara.

"Kka SMSin Ify dulu, HP aku mati. Kasih tau Iel masuk rumah sakit. Tadi dia cepet-cepet pergi, katanya mau cari Rio." ujar Via.

"Oh, OK !!"

Sejurus kemudian Cakka sudah sibuk dengan tombol-tombol pada handphonenya.

"Kka, liat itu, itu kan..." Via menarik lengan Cakka agar pemuda itu berhenti melangkah dan melihat pada fokus yang di tunjukan Via.

Cakka melongo.

***

0 komentar:

Posting Komentar