Jumat, 06 Januari 2012

Rahasia Orion Part 13

Rahasia Orion Part 13
Dia… Rio

***
"Lo nggak kenal dia ?"

Rio menggeleng. Masih mengamati debu-debu yang diterbangkan taksi pembawa gadis asing tadi.

"Dia...cuma...teman lama gue, kebetulan ketemu disini." jawab Alvin pada akhirnya.

Tidak pernah Alvin merasa 'abu-abu' seperti ini terhadap semua ucapan atau pun perbuatannya, tapi kali ini dia tidak yakin apa yang diucapkannya pada Rio tadi cukup bijaksana.

"Kok langsung kabur gitu pas gue datang ?" selidik Rio.

"Dia lagi buru-buru."

Rio membulatkan bibirnya, bergumam oh sambil mengangguk-ngangguk, "Terus, lo ngapain disini ? Ngikutin gue?" tanya Rio.

Alvin mengendikkan bahu, "Iseng aja, gue juga nggak ada kerjaan dirumah." jawabnya, asal.

Rio tertawa mencibir, " Lo kelewat peduli sama gue, " ia terdiam sejenak, menatap berkeliling seolah jalan lengang didepannya cukup membuatnya tertarik, "Kadang gue heran. Kenapa orang sebaik lo, punya Ibu yang kayak Tante Gladys." lanjutnya, enteng.

Alvin memicing mata. Jelas ia marah dan tidak terima. Rio bicara seakan-akan Mamanya adalah wanita paling buruk sedunia. Tapi Alvin tetap diam, menjotosi Rio pun tidak akan menumpulkan perkara. Tidak akan meleburkan kebencian Rio pada wanita yang sangat menyayanginya. Dia hanya mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat dengan suara datar dia membalas kata-kata Rio, "Dan gue juga sangat heran, kenapa lo punya emosi yang gampang banget meledak-ledak ? Lo lebih cocok jadi anak gunung Krakatau daripada anak Papa sama Tante Veronna." Alvin tersenyum kalem.

Rio cuma melotot tanpa bisa membalas. Yang Alvin katakan tentang emosinya memang betul. Rio bisa begitu mudah marah dan membentak orang sesuka hatinya pada saat-saat tertentu. Rio tahu itu, bahkan tidak jarang satu atau dua temannya menjauh karena sifat emosionalnya, tapi apa peduli Rio? Toh sejauh ini, dia tidak pernah kekurangan teman. Rio mudah bergaul, tampan, anak orang kaya dan cukup berprestasi, itu semua membuatnya lebih mudah menjala kawan daripada menuai musuh.

"Lo mau bujuk gue pulang ?" Rio bertanya dengan ekspresi malas.

"Nggak juga." sahut Alvin tenang, "Gue yakin lo lagi nggak bisa dibujuk. Ya...sekedar takut lo berbuat yang aneh-aneh." imbuhnya seraya mengetuk-ngetuk dahinya, menunjukkan luka yang membekas disana. Mengingatkan Rio tentang kecelakaan yang hampir membunuh keduanya hanya karena Rio yang tersulut emosi.

"Gue nggak akan kayak gitu lagi." gumam Rio.

"Ya udah. Gue balik." pamit Alvin yang dibalas Rio dengan sekali lambaian tangan.

Tubuh jangkung berbalut kaus pendek warna putih itu menghilang bersamaan dengan bunyi debam kecil dari pintu mobil yang ditutup. Rio berbaik menuju rumah setelah sedan hitam Alvin lenyap ditelan jalan yang menikung. Di angkasa, mentari bergantung rendah, menyisakan cipratan keemasan di ufuk barat.

***

Alvin berjalan santai, menyusuri koridor utama yang diapit pohon-pohon Asoka dikanan-kirinya. Belum pernah ia merasa santai dan sebebas ini, semenjak ia didaulat menjadi ketua OSIS Veronna SHS. Rasanya ada banyak sekali pekerjaan yang menuntut untuk dikerjakan secara cepat. Sekarang dia sudah lengser dari jabatannya dan yang membuat bangga sekaligus lega adalah selama masa kepemimpinan Alvin, semua berjalan lancar, sesuai dengan yang diharapkan banyak pihak. Tapi tetap saja, Alvin tidak pernah bisa benar-benar lega, karena belakangan, entah pertanda apa, Aya jadi kerap berkunjung dalam mimpi-mimpi kecilnya. Gadis cilik berkuncir buntut kuda itu berulang kali menanyakan kemana pajangan kaca hadiah darinya dan mengatakan, "Kenapa sekarang Lana marah-marahin aku terus. Kenapa Lana jadi galak ? Apa Lana nggak kangen sama Aku ?" Aya kecilnya merengut, kemudian saat Alvin ingin meraih tangannya, sepasang tangan yang lain telah lebih dulu membawa Aya menjauh.
Mimpi itu berulang hampir setiap malam selama dua pekan terakhir. Alvin benar-benar habis akal, ia tidak juga berhasil mengenyahkan Aya dari hidupnya, atau paling tidak, sedikitnya dia bisa menyisihkan Aya dari otaknya untuk memikirkan hal-hal lain yang lebih menyenangkan. Itu sulit sekali.

"Ck," Alvin berdetak keras, tidak suka melihat seorang gadis dari arah berlawanan, berjalan mendekat. Dalam hati dia merutuk, kenapa gadis itu bisa mirip Aya. Apalagi dengan rambut panjangnya yang diikat sembarang seperti sekarang. Dan kenapa pula Alvin harus merasa tidak rela ketika sebelah tangan gadis itu menarik kuncirannya, membiarkan rambutnya jatuh terurai melewati bahu, "Heh elo !!" panggilnya, niat-tidak niat.

"Apa ?" sahut Shilla ketus, "Oh iya, kalau kamu nggak lupa, nama aku Shilla. Jadi lain kali bisa kan panggil pakai nama ak-"

"Rambut lo !" sela Alvin menghentikan cerocosan Shilla.

"Kenapa sama rambutku ?"

"Ngapain digerai-gerai kayak gitu ? Mau sok-sokan jadi model iklan shampoo ?" ungkap Alvin. Ia tidak bias berterus terang kalau Shilla jauh lebih cantik dengan rambut dikuncir satu seperti tadi. Mulutnya seakan tabu untuk berujar demikian.

"Terus urusan kamu apa? Penting buat kamu ?" sentak Shilla, tersinggung, "Dan orang bilang rambut aku emang bagus kok, cocok jadi ikon produk shampoo." Shilla berkacak pinggang, menatap tajam Alvin.

"Orang ? Siapa ? Rio ? Dia memang pintar memuji." ujar Alvin, tenang.

"Maksud kamu ?"

Alvin menganggkat bahu, "Ya, siapa tahu Rio bilang begitu cuma supaya lo senang." katanya dengan gaya yang sangat menyebalkan, lalu pergi.
Shilla menggeram kesal, memelototi tubuh jangkung Alvin yang menjauh. Mendadak, ia jadi ingin pergi ke Hogwarts untuk belajar sihir dan mengutuk Alvin dengan kutukan Cruciatus.

***

"Hei !! Kok sendirian sih, cemberut pula." tegur Ify pada Shilla yang tertegun di meja kantin, mengaduk-ngaduk jus jeruknya tanpa gairah.

"Berdua kan ? Sama kamu."

Ify tergelak kecil, "Eh iya Shil, boleh minta tolong nggak ?"

Shilla mengangguk tak bersemangat, membuat Ify enggan untuk melanjutkan, "Nggak boleh juga nggak apa-apa Shil, nggak usah pasang tampang BT gitu."

"Nggak kok Fy, aku cuma lagi rada kesal, silakan aja. Apa yang bisa aku bantu ?"

"Itu Shil, soal tugas Bahasa Indonesia, "Ify bergerak rikuh di kursinya, Shilla masih menunggunya melanjutkan kalimat, "Lo kan dapat pasangan sama Rio, nah gue sama Gabriel. Emm...mau nggak kalau kita tukeran. Lo tahu kan gue masih risih banget sama kejadian dirumah gue waktu itu. Tapi kalau lo nggak setuju juga nggak apa-apa kok. Mungkin gue bakal minta tugas personal aja ke Pak Wawan, nggak usah sama Gabriel." Ify menunduk.

Shilla tersenyum dipaksakan, sebenarnya dia juga tidak suka berurusan dengan Gabriel, tapi ya sudahlah, dia tidak enak hati kalau harus menolak permintaan Ify, "Ya udah Fy, aku mau kok kita tukeran. Tapi kamu yang bilang sama Pak Wawan ya, entar aku yang kasih tahu Rio."

Wajah Ify berbinar mendengar jawaban Shilla yang sesuai dengan harapannya, "Serius Shil ?"
Shilla mengangguk dua kali.

"Aaaaa....makasih ya Shil." Ify merentangkan kedua tangannya, memeluk Shilla seraya mengucapkan terimakasih berulang kali, "Gue juga ada sesuatu dari Bunda buat lo." Ify melepas pelukannya, ganti mengaduk-ngaduk isi tas dan mengeluarkan sebuah celemek cantik berwarna ungu dengan bordiran benang-benang warna lylac membentuk namanya ditengah-tengah, ada aksen renda putih terjunjai di beberapa tempat. Manis sekali.

"Buat Aku ?" Shilla menerima celemek yang disodorkan Ify kepadanya.

"Iya. Warna ungu, favourite lo kan ? Anak ceweknya Bunda nggak bisa masak, jadi Bunda bikinin buat lo. Di pakai ya." Ify tersenyum manis.

"Bilangin makasih ya Fy sama Bunda kamu. Pasti aku pakai kok." tutur Shilla, senang.

"Ok. Nanti gue bilangin. Gue duluan ya Shil, mau beli majalah dulu. Beberapa minggu yang lalu gue coba kirim cerpen ke majalah kayak saran lo, menurut konfirmasi sih, katanya bakal terbit di edisi minggu ini." ungkap Ify, berseri-seri.

"Wah selamat ya Fy."

Ify beringsut bangun, membenahi lipatan-lipatan pada roknya, "Makasih Shil. Jangan lupa bilang Rio ya, bye !" pamit Ify sambil berlalu.

Shilla balas melambaikan tangan dan mengangguk.

***

Aku mengenalmu, juga mengenalnya.
Aku memahamimu, dengan cara yang sama seperti aku berusaha memahaminya.
Lantas kenapa rasa itu muncul hanya saat aku di dekatmu ?
Hahaha... Tak perlu cemaskan.Aku tidak memintamu memikirkan rasa bodoh yang memuakkan itu.
Aku hanya tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi antara kita.

Dengan senyum merekah, Ify membaca kata-kata awal dari cerpennya yang benar-benar dimuat sebuah majah ternama. Cerpen yang diberi judul Aku, Kamu dan Dia itu menceritakan kisah tiga sahabat yang terlibat cinta segitiga, sangat klasik dan biasa. Karena itu juga, Ify cukup heran saat diberitahu cerpen yang dia kirimkan akan dimuat. Ini pertama kalinya Ify berani mempublish karyanya di luar Aruna. Dan seakan jadi pelengkap kegembiraannya, handphone-nya bergetar, ify mendapati SMS dari Rio.
From : Rio
congrats!! Crpnnya dimuat d majalah kn? Udh plg ? Hati2 ya:)http://static.ak.fbcdn.net/images/blank.gif

Setelah mengetikkan jawaban, Ify meninggalkan kios pedagang majalah yang baru saja dia kunjungi. Jalanan di depan Ify cukup ramai, padahal Ify harus menyebrang untuk kembali ke sekolah. Alvin pasti sudah menunggunya di parkiran.
Sudah sekitar tiga menit Ify berdiri di bahu jalan, tidak berani menerobos arak-arakan kendaraan yang lalu-lalang dengan kecepatan diatas normal. Ia mengibas-ngiibaskan tangan di depan wajah, tidak suka dengan asap kendaraan yang berseliweran di depannya.

"Ayo, aku bantu nyebrang !" Gabriel menggandeng lengan kiri Ify, berniat menolong gadis itu untuk menyebrang jalan.

Ify menepis tangan Gabriel, "Nggak perlu." sentaknya, kasar.

Gabriel tidak memaksa. Pemuda itu hanya tersenyum seadanya, lalu berjalan seraya merentangkan tangan kanannya, mengisyaratkan agar beberapa kendaraan berhenti sebentar. Sebuah sedan berhenti mendadak. Kurang beberapa centi lagi, bagian depannya akan mencium lutut Gabriel, "Cepat nyebrang !" katanya pada Ify.
Ify membesi. Ada yang bergetar halus dalam dadanya, melihat apa yang Gabriel lakukan untuknya.

Tin...tiin..tiiiinnn

"WOII ! Buruan dong, jadi nyebrang nggak lo." umpat salah seorang pengemudi, disusul bunyi-bunyi klakson yang ditekan oleh pengemudi yang lain.

"Kamu senang ya Fy, aku dimarahin ?" celetuk Gabriel lagi-lagi sambil tersenyum, sama sekali tidak menyiratkan kegusaran atas ulah Ify.

Ify mengangkat dagunya, melipat tangan di dada, menyebrangi jalan dengan tak acuh terhadap Gabriel yang mengekorinya. Setelah tiba di seberang pun Ify tidak mengindahkan pemuda manis itu, "Sama-sama Fy, nggak usah bilang makasih." sindir Gabriel saat Ify sudah akan pergi.

Ify memandang datar, "Oh iya," serunya teringat sesuatu, "Tugas Bahasa Indonesia, lo kerjain sama Shilla, gue sama Rio. Kita tukeran dan Pak Wawan udah setuju. Perlu juga lo ingat, Gabriel, berani lo macam-macam sama Shilla, jangan salahin gue kalau elo langsung dicoret dari daftar siswa Veronna." ancam Ify, sungguh-sungguh, "Satu lagi..." lanjutnya, sinis.

BBUUG.

Kepalan tangan Ify mendarat tepat di dada kiri Gabriel. Membuat pemuda yang menerima serangan dadakan itu terhuyung ke belakang, "Itu buat Rio yang udah lo bikin babak belur pas camping." imbuhnya kemudian pergi, masih dengan gaya yang angkuh dan aura penolakan terhadap keberadaan Gabriel.

Kebencian itu adalah pengingkaran dari getaran halus yang menjamah dinding hatinya.

***

Rahasia yang tanpa sengaja terbongkar tidak akan mengungkap apapun, selain menambah jumlah orang yang harus ikut menutupinya.

Ia berbalik. Mengurungkan niat untuk pulang karena ada sesuatu yang terbawa olehnya. Ia harus mengembalikannya sebelum dibilang pencuri. Baru saja ia merasa lega telah menyelesaikan tugasnya dan bisa cepat-cepat keluar dari rumah Gabriel, tapi ternyata ia harus kembali ketempat itu. Untungnya sih, ia belum begitu jauh saat menyadari flashdisc Gabriel masih menghuni genggamannya. Setelah mengembalikan benda itu, ia benar-benar akan segera pulang. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Ah entahlah. Apa benar ini kehendak Tuhan atau dirinyalah yang terlalu ingin tahu urusan orang lain. Saat sampai (lagi) di kediaman Gabriel, ia sudah berusaha memanggil-manggil pemuda itu, tapi tidak ada yang menyahut. Ia masuk ke dalam rumah dan mendapati pintu sebuah kamar terbuka sedikit, "Mungkin Gabriel di dalam." begitu pikirnya. Ia mendekat, mendorong sedikit pintu kayu di hadapannya.
Kamar itu tidak berpenghuni, tapi betapa terkejutnya ia melihat apa yang ada dalam kamar itu. Dan seolah etika dalam bertamu lenyap dari otaknya, ia berjalan mengendap-ngendap memasuki kamar. Mulutnya ternganga, tidak menyangka. Di beberapa tempat terpasang banyak sekali foto-foto Ify. Ia meraih satu di antaranya dengan tangan gemetar, Ify terlihat sangat manis kalau tidak ada noda (entahlah) seperti darah kering, yang membingkai wajah tirus Ify. Noda-noda semacam itu juga tercetak pada foto-foto yang lain.
Di dinding depan tempat tidur, foto Rio tampak sangat mengenaskan. Pisau-pisau kecil tertancap di mata, dahi, dada, belum lagi kata-kata kotor dan makian yang ditulis dengan spidol merah. Belum habis keterkejutannya atas semua yang ia lihat, ditemukan juga sebuah handphone. Gadget mungil itu sangat ia kenali, milik Rio yang hilang tempo hari. Kenapa bisa ada disini ? Ia mengucek-ngucek mata, mencubiti kulitnya, memastikan bahwa ini nyata.

Pada saat itu, sebuah pesan amplop warna kuning muncul pada layar handphone mungil itu, menendakan ada satu pesan baru masuk, “Princess Ify?” Shilla bergumam membaca nama pengirim pesan singkat itu. Dengan gemetar ia membuka pesannya.

Iya Rio, lo jg jgn lupa makan o:)

Begitulah bunyi pesan yang dikirim kontak dengan nama Princess Ify tadi.
Shilla mengerutkan kening, bingung, “Ify sms Rio, tapi kenapa ke nomor ini. Nomor Rio kan udah lama ganti,” gumamnya heran.

"SHILLA !!"

Suara berat penuh amarah bergaung dalam ruangan. Membuat jantungnya serasa akan melompat keluar saking kagetnya. Shilla membalikkan tubuh, Gabriel berdiri kaku di ambang pintu. Pemuda itu sepertinya baru usai mandi karena buliran air masih terselip diantara helaian rambutnya.
Shilla tergugu, wajahnya memucat ketakutan.

"Ngapain lo disini ?"

"Ak...ak...aku aku cuma...cuma..."

Gabriel mengibaskan tangannya, "Punya nyawa berapa lo, sampai berani masuk kamar gue tanpa izin ?"

Celaka, celaka sekali Shilla masuk ke kamar ini. Tiba-tiba saja keringat dingin membanjiri tubuhnya, "Ma...maaf Gabriel."

"Bodoh !" umpat Gabriel, "Lo kira semuanya bisa dengan mudah selesai setelah lo bilang maaf?"

Shilla mengumpulkan segenap keberaniannya. Ia harus lari. Ia harus kabur dari tempat mengerikan ini. Ia bisa menerjang Gabriel lalu lari secepat mungkin.
Tapi itu hanya angan-angan, pada kenyataannya jangankan untuk berlari, menyangga tubuh saja kakinya sudah gemetar.

Seakan belum cukup buruk, keadaan diperparah oleh mulutnya yang tidak bisa dikontrol, "Ngelihat semua ini, apa kamu...suka sama Ify ?" tanya Shilla memberanikan diri menatap wajah Gabriel.

"Nggak," sambar Gabriel, "Gue nggak suka sama Ify, tapi gue cinta. Cinta mati." aku Gabriel seraya menatap satu persatu foto Ify dengan tatapan memuja.

Shilla bergidik jijik mendengarnya, "Apa itu yang menyebabkan kamu benci Rio ? Karena dia dekat sama Ify ?" ia mengarahkan dagunya pada foto Rio yang sudah tercabik-cabik, "Tapi aku rasa itu nggak perlu, mereka dekat kan emang karena udah enam tahun sahabatan."

Gabriel berjalan menghampiri Shilla, tersenyum sinis dan menakutkan, "Nggak salah. Tapi kurang tepat. Selain kedekatan mereka, gue juga benci Rio karena dia PEMBUNUH !" Gabriel berteriak di ujung kalimatnya.

Shilla menggeleng, "Bohong ! Aku nggak percaya."

"Nggak ada untungnya buat gue, lo mau percaya atau nggak."

"Tapi kamu nggak boleh ngomong asal kayak gitu hanya karena iri."

"CIH, GUE NGGAK IRI SAMA RIO."

"Terus apa maksud kamu fitnah dia pembunuh ?"

Ketakutan Shilla sepertinya sudah sirna tidak berbekas. Yang menguasainya saat ini adalah rasa tidak terima, pemuda sebaik Rio dituduh seperti itu hanya karena cemburu. Shilla yakin, Rio tidak mungkin membunuh.

"Sayangnya gue nggak cukup baik hati untuk jelasin semuanya sama cewek nggak penting kayak lo. Kalau lo mau tahu, tanya aja sama Rio langsung. Walaupun gue nggak yakin dia bakal jujur. Karena anak tengil itu selalu pengin kelihatan sempurna di depan semua orang." ujar Gabriel penuh kedengkian.

Shilla tertawa kering, "Kalau kamu mau tahu, kebencian kamu salah alamat. Rio udah minta aku jadi pacarnya dan Ify setuju dijodohkan sama... Alvin."

Dari ekspresinya, Gabriel, sepertinyaa dia terkejut, "Gue nggak percaya."

"Nggak ada untungnya buat gue, kamu mau percaya atau nggak." Shilla membalikkan ucapan Gabriel sebelumnya, "Dan kamu harus jelasin kenapa benda ini ada disini ?" Shilla mengangkat handphone yang ia genggam, "Ini handphonenya Rio yang hilang kan ? Aku yakin kamu ambil bukan karena orang tua kamu nggak sanggup beliin kan ?" desak Shilla.

Gabriel meradang, wajahnya merah menahan marah, "Taruh benda itu dan keluar dari kamar gue, SEKARANG !" salaknya keras-keras. Gabriel ingin sendiri. Pikirannya kacau mengingat Ify sudah dijodohkan. Dan Alvin ? Kenapa bisa orang itu ?

Shilla tersenyum mengejek. Seumur hidup, ia tidak pernah begitu benci pada seseorang, karena kata Ibunya itu tidak baik. Tapi Gabriel pengecualian.

"Dengan senang hati, Gabriel. Aku bakal keluar." Shilla sudah hampir sampai di depan pintu saat Gabriel berteriak mencegahnya, "Tunggu !" Gabriel melangkah pasti ke arah Shilla, tangan kanannya menggenggam sebilah cutter. Ia terus mendekat. Shilla membeku di tempatnya. Bahkan ketika Gabriel mengarahkan pisau ke wajahnya, Shilla hanya mampu meneguk ludah, "Lo lancang," desis Gabriel tajam, "Lo udah tahu terlalu banyak." ia memainkan cutternya dekat sekali dengan pipi Shilla.

"Psycho." cicit Shilla.

"Jangan pernah kasih tahu ini semua sama orang lain atau..."

"Aku nggak takut sama apa pun ancaman kamu." potong Shilla.

"Oh...bukan. Bukan lo. Gue nggak akan sentuh lo sedikitpun karena Ify larang gue. Tapi... DIA !" Gabriel melempar cutter ditangannya ke arah foto Rio dan tepat mengenai bagian mata, "Rio yang bakal terima akibatnya. Gue nggak pernah main-main dan kalau lo nggak lupa, kejadian di Lab waktu itu... Gue bisa berbuat yang lebih buruk."

Shilla tidak berani lagi berkata-kata.

"Dan kalau lo nggak keberatan, lo bisa bantu gue peringatkan Rio buat jauhin Ify. Satu cewek model lo, gue rasa udah cukup buat dia." tangan Gabriel bergerak meraih knop pintu di belakang Shilla dan membukanya, "Sekarang cepat keluar, sebelum gue berubah pikiran dan lo bakal keluar dari sini dalam keadaan nggak utuh."

Shilla ingin marah. Kalau saja yang dihadapannya ini bukan cowok psycho macam Gabriel, sudah barang tentu tangannya akan melayang menampari mulutnya sejak tadi.
Shilla keluar dari rumah Gabriel dengan perasaan campur aduk. Marah, takut dan tidak menyangka. Ia pastikan ini kali pertama dan terakhir berkunjung ke rumah itu.
Shilla langsung menghentikan taksi pertama yang lewat ketika ia sudah berada di jalan raya.
Apa yang Shilla ketahui hari ini, apa iya harus disimpan seorang diri ? Tapi kalau Shilla nekat, bagaimana nasib Rio ?

Shilla masih terus terlongong tanpa fokus. Ketika supir taksi yang dinaikinya bertanya kemana tujuan mereka, Shilla hanya menjawab, "Jalan dulu aja Pak."

***

Ify bertepuk tangan heboh seusai Rio menyanyikan sebuah lagu untuknya. Permainan gitar dan suara Rio memang selalu menakjubkan. Sudah sejak sore Rio bermain di rumahnya. Mereka menghabiskan waktu dengan melakukan berbagai hal dari mulai yang baik-baik seperti membantu Mang Suhe menyiangi rumput di kebun belakang sampai menambah pekerjaan pembantu rumah Ify karena sukses meledakkan dapur. Rio dan Ify, awalnya berniat mempraktekkan resep membuat makanan kecil dan minuman yang ada di majalah. Tadi jangankan berhasil, makanan yang mereka buat sama sekali tidak layak makan. Rasanya tidak keruan. Sementara untuk minuman, rasanya tidak begitu parah, tapi mereka berani taruhan tidak akan ada yang mau mencicipinya setelah melihat tampilannya. Warna minuman itu hijau gelap seperti lumut dan betapa bodohnya Rio menambahkan serbuk bawang goreng diatasnya. Walau pun pada akhirnya mereka hanya mengotori dapur tanpa bisa menghasilkan sesuatu yang bisa disantap, tapi Rio dan Ify menikmati acara masak bersama tadi.

Sekarang keduanya sedang duduk-duduk di ruang TV, Rio meletakkan gitar kepangkuannya setelah selesai melantunkan lagu yang direquest Ify, "Tepuk tangan aja lo, ambilin minum kek. Haus ni gue, sealbum gue nyanyiin live buat lo." seloroh Rio.

Ify menggerutu, "Gue ambilin minuman buatan kita tadi mau ?" guraunya, tersenyum jenaka.

"Lo masih anggap itu minuman ?"

"Ambil sendiri sana, tahu kan dapurnya dimana ?"

Rio beranjak ke dapur, sambil bersungut-sungut. Ify pura-pura tidak mendengar gerutuan Rio dan malah asyik memainkan kuku-kukunya, "Sekalian ya Yo." teriaknya tanpa beban.
Selepas kepergian Rio, Ify mendengar handphonenya berbunyi.

Shilla calling...

Ify memutar kedua bola matanya. Dengan malas, ia menekan tombol warna hijau, "Hallo Shil !" sapanya pada orang di seberang sambungan telepon.

"Fy, ada Rio ? Tadi aku telepon Feldy katanya dia lagi main di rumah kamu."

"Iya, anaknya lagi ke belakang."

"Ya udah nanti aku telepon lagi."

"Ada apa sih Shil ? Kalau penting titip pesan ke gue juga boleh."

"Emm...sampaiin aja sama Rio, aku tunggu di taman biasa. Kalau kalian udah selesai suruh dia cepat kesini, aku mau kasih jawabannya."

Hati Ify berdesir tak keruan, tiba-tiba jadi tidak tenang, "Jawaban apa emangnya ?"

"Bilang aja kayak gitu, Rio pasti ngerti."

"Kenapa lo nggak ke rumah gue aja sekarang ?"

"Nggak deh Fy, aku titip pesan aja. Tolong sampaiin ya Fy."

"Emm... Ok deh."

"Thanks Fy."

"Anytime."

Sambungan telepon terputus. Ify mendengus kesal. Kenapa Shilla ini selalu saja mengganggu saat-saat berduanya dengan Rio. Apa belum puas, selama ini dia yang lebih sering bersama Rio. Kali ini saja, Ify ingin egois. Ia mau Rio disini, menemaninya. Biar saja Shilla menunggu, kalau memang penting nanti juga Shilla menyusul Rio kemari. Ify tidak akan memberi tahu Rio, pasti anak itu akan segera pergi begitu tahu Shilla menunggunya. Tidak berapa lama, Rio muncul membawa satu gelas air putih yang disodorkan pada Ify dan gelas lainnya berisi sirup untuknya.

"Kok buat gue air putih ?" protes Ify.

"Mau sirup juga ? Ambil sendiri sana, tahu kan dapurnya dimana." Rio mengulang kalimat Ify lengkap dengan gaya memainkan kuku jarinya.

"Pesek." umpat Ify tertahan.

"Apaan ?"

"Nggak."

Rio memicing mata, tajam. Sepertinya tadi dia mendengar sebuah kata menyakitkan yang berhubungan dengan hidung.

"Nggak usah ngelihatin gue kayak gitu. Naksir bilang !" Ify mendorong wajah Rio dengan telapak tangan kirinya, "Mau ngapain lagi ni kita ?"

"Main PS." usul Rio bersemangat.

"Malas ah, gue kalah terus."

"Main berantakin-kamar-Ify aja, gimana ?"

"Terus main dorongin-Rio-dari-atas-balkon." lanjut Ify, ketus.

"Ya lo maunya ngapain dong ?"

"Lihat bintang aja yuk ! Sekarang kan Januari, pasti ada Orion."

"Di luar mendung kali, mana kelihatan bintangnya."

"Huuuh." Ify mendesah kecewa, "Ya udah kerjain tugas Bahasa Indonesia aja lah, habis itu kita…"

"Makan." potong Rio, "Gue lapar." ia menepuk-nepuk perutnya.

"Ok lah, entar gue buatin mie instan."

"Nggak ada kemajuan banget sih lo, masih aja mie instan."

"Telur dadar deh ?"

Rio tidak menggubris, sahabat ceweknya ini memang sangat payah dalam urusan memasak. Ia berjalan menaiki tangga, menuju perpustakan rumah Ify, tempat mereka biasa mengerjakan tugas. Sebenarnya tugas yang diberikan Pak Wawan tidak begitu sulit. Shilla dan Gabriel saja hanya butuh tiga jam untuk mengerjakannya sampai tuntas. Tapi karena Rio dan Ify lebih banyak bercanda dan main-main, sudah lewat dari dua jam mereka baru mengerjakan separuhnya. Belum lagi, sekarang diselingi acara makan mie instan, karena Rio mengeluhkan cacing-cacing di perutnya sudah berdemo.
Sedang konsentrasi, memperhatikan Rio yang menyantap mienya dengan lahap, Ify merasakan handphonenya bergetar.

1 new message

From : Shilla.
Fy, Rio msh dsna ? Dia mau temuin aku gaksih ?

Ify menggigit bibir, resah. Sudah berulang kali Shilla mengiriminya SMS, gadis itu masih menunggu Rio. Sebenarnya apa sih yang mau mereka bicarakan ?

"Kenyaaangg !!" seru Rio, memecah lamunan Ify, "Gue balik ya Fy, tugasnya dilanjut nanti aja. Udah jam sembilan." Rio melirik jam besar yang terpasang di dinding.

Ify tidak menjawab. Hanya memandangi tubuh tinggi Rio yang beranjak ke dapur membawa piring kotor. Tidak lama pemuda itu kembali, "Gue balik ya... Bye." pamitnya sambil lalu.

"Apa gue sampaiin aja ya pesan Shilla," batin Ify ragu, "Yo !!" panggil Ify sembari berjalan menyusul Rio.

"Kenapa Fy ?" tanya Rio yang sudah bertengger di sepedanya.

"Emm...langsung pulang ya, jangan kemana-mana lagi." kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulut Ify, sementara pesan dari Shilla tersangkut di tenggorokan.

Ada perasaan tidak enak yang mengganjal hatinya. Tapi Ify tampik mentah-mentah. Dia hanya ingin sebelum tidur bisa mengenang kebersamaannya dengan Rio beberapa jam kebelakang tanpa ada rasa cemas memikirkan seperti apa pertemuan Rio dan Shilla, serta apa saja yang mereka bicarakan. Ify ingin senyum Rio, tawanya, candanya, jadi pengantar tidur yang sempurna untuk malam ini. Biar saja Rio tidak bertemu Shilla, besok juga bisa bertemu kan di sekolah. Ini tidak terlalu jahat menurut Ify.
Sementara Rio, setelah lewati gerbang kokoh rumah Ify, ia segera melesat dengan sepedanya. Kendaraan roda dua itu dikayuh secepat mungkin. Angin malam terasa mencubiti kulit tubuhnya yang hanya berbalut kaus lengan pendek dan celana selutut. Sabetan kilat yang membelah angkasa, disusul gemuruh guntur, sepertinya membuat anak-anak awan ketakutan dan akhirnya menangis, membuat tetesan air mulai tercurah perlahan.
Rio merasakan tubuhnya beku yang tidak ada hubungannya dengan dingin air hujan yang menerpa tubuhnya. Pemandangan di depan sana tertangkap tanpa sengaja oleh sepasang mata teduhnya, membuat Rio terpana. Meski dalam keremangan, Rio bisa memastikan dia mengenali dua orang yang sedang berpelukan itu. Shilla dan... Alvin. Apa-apaan mereka ?

***

Shilla tersenyum manis. Untuk kedua kalinya, membenahi poni dan letak jepit rambut warna putih gading senada rok selutut yang dia kenakan. Dia melirik jam tangan cantik yang melingkari pergelangan tangannya, sudah satu jam dia menunggu Rio. Shilla mengayun-ayunkan kaki jentangnya, mendepaki udara sekitar. Matanya menjelajah, mengamati taman yang mulai ramai didatangi pasangan-pasangan muda yang akan bermalam minggu ria. Beberapa pedagang sudah tampak stand-by dengan gerobak masing-masing. Taman yang biasa dia kunjungi bersama Rio ini, seingat Shilla memang selalu ramai setiap sabtu malam. Dipenuhi muda-mudi yang akan menghabiskan satnight mereka bersama teman-teman atau pacar. Pacar ?
Pipi Shilla jadi merona merah setiap mengingat status hubungannya dengan Rio setelah dia memberikan jawabannya nanti. Tadi Shilla sudah menghubungi Ify, meminta gadis itu menyampaikan pesan pada Rio. Sebentar lagi, pemuda itu pasti datang.
Satu jam telah berlalu...
Kemudian dua jam...

Shilla berusaha untuk sabar, "Sabar Shila. Rio malah udah tunggu berminggu-minggu." batinnya menyemangati diri sendiri.

Sambil menunggu, Shilla mengingat-ingat kejadian yang masih segar dalam otaknya. Kejadian itu terjadi satu minggu yang lalu dalam misi pencarian jawaban untuk pertanyaan Rio. Sore itu, Shilla berniat memberanikan diri bertanya pada Bibinya, mumpung timingnya sangat pas. Dia dan Bi Arum sedang duduk-duduk santai di bale-bale bersama beberapa pegawai Rumah Besar yang lain. Dengan suara pelan, Shilla bertanya pada wanita paruh baya yang duduk tenang di sebelahnya, "Bibi belum jawab Shilla waktu itu. Kenapa Shilla nggak boleh dekat sama Rio ?" Wajah Bi Arum terlihat menegang, tapi Shilla tak mengacuhkannya, "Apa karena status sosial kami yang jauh berbeda?"

"Anggap saja kayak gitu." balas Bi Arum dingin.

Shilla tidak puas, "Shilla udah besar, Bi. Kalau Bibi melarang Shilla melakukan sesuatu, Shilla perlu tahu apa alasannya." desak Shilla, "Atau Bibi nggak bisa salahin Shilla, kalau nantinya Shilla dan Rio semakin dekat." lanjutnya, mantap.

Bi Arum tidak menjawab, meletakkan secangkir tehnya lantas segera pergi. Dia mengabaikan Shilla yang berulang kali memanggilnya. Shilla tidak menyerah, ia bertekat harus dapat penjelasan, maka dibuntutinya kemana Bi Arum pergi. Wanita itu menghentikan langkahnya di depan ruang kerja Narendra, mengetuk pintu lalu buru-buru masuk.
Shilla ikut mendekat, ingin tahu, kenapa Bibinya malah menemui Narendra. Apa dia akan diadukan pada Oom baik hati itu ? Takut-takut Shilla berdiri di depan pintu. Dia tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya sempat mendengar tiga dialog terakhir yang diucapkan dua orang di dalam dengan intonasi tinggi.

"Saya lebih berhak atas Rio atau pun Shilla. Bisa dibilang kamu itu orang luar, tidak usah mengajari saya bagaimana harus bertindak. Kekhawatiran kamu terlalu berlebihan, Bi. Saya tidak keberatan Shilla dekat dengan Rio."

"Oh ya, Tuan. Maaf. Saya memang orang luar. Bukan siapa-siapa. Lupakan ! Lupakan saja bahwa saya adalah kakak kandung dari Ibu Shilla dan saya yang mengasuh Den Rio dari kecil sejak Nyonya meninggal. Lupakan saja itu semua. Tapi Tuan perlu tahu, saya hanya tidak ingin mereka kecewa pada akhirnya. Saya juga sangat menyayangi mereka."

"Sudah cukup. Lebih baik kamu keluar, Bi. Saya sedang tidak ingin membicarakan hal ini."

Shilla segera menjauh, ketika mendengar derap-derap kaki yang mendekat ke pintu. Dia pura-pura mengobrol dengan seorang pembantu yang membersihkan piano cantik, tidak jauh dari sana. Shilla tidak mengerti apa yang dibicarakan Narendra dan Bibinya, tapi dia berjanji pada diri sendiri untuk tidak tanya-tanya lagi pada Bi Arum. Entah karena Shilla atau bukan, dia tetap saja tidak tega mendengar Bibinya dibentak-bentak seperti tadi, walaupun Shilla maklum pasti Narendra sedang sangat lelah selepas ke pulangannya dari luar negri.

"Jangan tanyakan soal tadi lagi pada Bibi. Kamu benar Shilla. Kamu sudah besar dan berhak dekat dengan siapa saja. Terserah kamu." ujar Bi Arum yang tiba-tiba datang. Shilla tidak menyadari sejak kapan wanita itu berdiri di sampingnya.

Shilla jadi bingung harus bagaimana ? Walau pun disampaikan dengan nada kesal, dia senang sekali akhirnya mendapat izin dari Bi Arum, satu-satunya keluarga yang Shilla miliki di Jakarta. Tapi dia juga tidak enak hati melihat wajah Bi Arum yang memucat semenjak keluar dari ruang kerja Narendra.
2 jam lebih 45 menit...
Rio masih juga belum terlihat. Shilla sudah sangat lelah. Tapi Shilla harus segera memberikan jawabannya untuk Rio. Shilla pergi tanpa sempat berpamitan, tadi. Shilla ingin menangis. Rio tega sekali membiarkannya menunggu berjam-jam sendirian, sampai larut malam. Kalau memang tidak bisa datang, apa susahnya memberikan kabar lewat Ify. Ify juga ! Bisa-bisanya tidak membalas satu pun pesan yang dia kirimkan.
Sekitar pukul setengah sepuluh malam, gerimis mulai turun. Kesabaran Shilla sudah kandas. Ia memutuskan untuk pulang. Semuanya sia-sia. Mungkin Rio memang tidak lagi butuh jawaban.
Shilla kemari dengan berjalan kaki, tidak ada kendaraan umum yang lewat sini. Jadi kalau tidak membawa kendaraan pribadi, paling hanya ojeg yang mau mengantar sampai ini. Tapi untungnya taman ini letaknya tidak begitu jauh dari Rumah Besar. Setengah jam perjalanan dengan berjalan kaki.
Shilla setengah berlari, menaungi kepalanya dengan kedua tangan. Sial ! Seribu kali sial. Sandalnya yang semula baik-baik saja, tiba-tiba putus. Hujan turus bertamah deras, malam pun kian larut dalam kegelapan. Shilla berhenti, duduk berselonjor di pinggi jalan. Kecewa, marah sekaligus kesal. Semuanya tidak berjalan sesuai harapan. Dia bertambah marah setiap ingat Rio mungkin masih asyik berduaan dengan Ify atau tertidur di bawah selimut tebalnya, membiarkan Shilla terlantar seperti ini, "Nyebeliiinn... Nyebelin ! Nyebelin." teriak Shilla sembari menepuk-nepuk air hujan yang mulai tergenang di sekitarnya. Tidak jelas mana yang lebih deras, airmatanya atau air hujan. Menunggu berjam-jam sendirian, benar-benar bodoh. Shilla menangis tersedu, memeluk lututnya seperti anak hilang.

"Ngapain lo disini ? Jadi pawang hujan ?" suara itu tidak kalah dingin dengan air hujan yang berkeracak menimpa tanah.

Shilla mendongak, di hadapannya Alvin berdiri di bawang naungan sebuah payung. Shilla melengos, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dari bahunya yang bergetar, Alvin curiga gadis itu sedang menangis.

"Mau pergi tu pamit dulu kek. Mama nyuruh gue cariin lo. Ngerepotin aja."

"Kamu tu bisa nggak sih bersikap baik sama aku sekali aja."

"Lha ? Emang ini kurang baik apa ? Masih untung lo gue cariin. Jangan harap gue lepasin jaket gue buat lo ! Udah ayo balik, bisa flu gue lama-lama disini."

"Sandal aku putus. Lihat ini !" Shilla melemparkan kuat-kuat sebelah sandanya ke arah Alvin.

"Jadi lo nangis dan nggak pulang dari tadi cuma gara-gara sandal lo putus ?" Alvin geleng-geleng kepala, "Parah." katanya dengan nada menghina.

"Diam !" sentak Shilla. Ia berdiri di hadapan Alvin, "Aku tu lagi marah. Kesal banget tahu nggak ? Kamu malah bikin aku tambah marah. Ngapain sih kamu kemari ?"

"Kan tadi udah gue bilang, gue disuruh Ma-"

"Diam ! Diam ! Diaamm... Jangan ngomong kalau aku nggak suruh." Shilla menghentak-hentakkan kakinya, "Ini lagi, ngapain bawa-bawa payung merah norak kayak gini." dalam satu gerakan cepat, Shilla menepis payung di tangan Alvin dengan kasar. Membuat Alvin juga harus merasakan dinginnya air hujan di malam hari.

"Lo kenapa sih ? Kok ngomel-ngomel nggak jelas."

"Aku tu tunggu Rio, tahu ! Tapi dianya nggak datang-datang. Udah tiga jam lebih aku tunggu dia. Kasihan banget kan. Kamu pasti mau ketain aku, iya kan ? Emang orang kaya tu sama aja. Nggak pernah ngehargain perasaan dan waktu orang lain. Nggak cewek, nggak cowok, semuanya sama." cerocos Shilla panjang lebar, meluapkan seluruh kejengkelan yang dia tahan sejak tadi.

"Kebanyakan nonton sinetron sama baca novel sih, nunggu orang tiga jam pasti lo pikir romantis. Ngapain segitunya sih, toh besok masih bisa ketemu Rio lagi kan ?"

"Kamu kok malah nyalahin aku ? Kamu tu nggak ngerti." protes Shilla, "Aku tu lagi sedih."

"Kelihatan kok." sahut Alvin. Dengan lembut ditariknya tubuh Shilla ke dalam pelukannya.

Gadis ini tampak kacau dan butuh ditenangkan, atau Alvin harus membekap mulutnya agar berhenti mengomel lalu menyeretnya ke mobil supaya mau diajak pulang. Karena dua hal tadi kedengaran tidak manusiawi, Alvin putuskan memeluk Shilla. Shilla menghentikan tangisnya. Alvin menepuk puncak kepala Shilla dengan lembut, sama seperti cara Agan menghentikan tangisnya dan Shilla merasakan kenyamanan yang sama seperti dulu, "Lana." lirihnya.

"Apa ?" Alvin melepas pelukannya, "Lo bilang apa ?"

"Nggak. Bukan apa-apa." jawabnya sedikit linglung.

"Ya udah, cepat lo pakai sandal gue dan kita balik."

"Kamu kesini bawa mobil ?"

"Ya iyalah. Niat banget gue kalau cariin lo sambil jalan kaki pas hujan-hujan begini." jawab Alvin sambil berjalan menuju sedan hitamnya.

Shilla mengekor di belakang. Masih menikmati kehangatan yang menjalari setiap inci tubuhnya setelah dipeluk Alvin tadi. Keduanya sama sekali tidak tahu, mereka telah menorehkan luka pada pemilik sepasang mata yang sekilas melihat kebersamaan Alvin dan Shilla.

***

Ify berjalan gontai, tubuhnya lelah sekali. Padahal aktivitasnya di sekolah tidak begitu banyak. Seharian ini, Ify melihat Rio yang terus murung, mungkin itu juga yang menyebabkannya jadi tak bersemangat. Sejak memasuki kelas pagi tadi, Rio terus saja diam dan bertukar tempat duduk dengan Feldy. Ify yakin ada yang tidak beres dengannya, wajah Rio pucat. Ify berulang kai menyuruhnya beristirahat di UKS dan menanyakan apa Rio sakit karena kehujanan setelah pulang dari rumahnya kemarin ? Tapi Rio tidak mau bicara, tetap diam dan hanya memandang kosong kearah kursi Shilla. Feldy bilang, sudah sejak semalam Rio aneh seperti itu. Rio pulang tengah malam dan kelihatan sangat kacau. Senasib dengan Ify, Feldy pun tidak mendapat jawaban dari lusinan pertanyaan yang diajukan pada Rio.
Berlainan dengan Ify, Alvin dan Shilla malah sama sekali tidak peduli. Saat Ify bertanya pada Shilla, Rio kenapa, dia malah mendapat jawaban, "Kok tanya aku ? Bukannya kemarin dia seharian sama kamu ? Aneh !" ungkap Shilla dengan nada super ketus.

Alvin lain lagi. Ify memberi tahunya bahwa Rio sepertinya sedang sedih, dengan dingin Alvin berkata, "Terus gue mesti apa ? Nari balet di depannya, biar Rio ketawa ? Berani bayar gue berapa lo ?” Ify menghadiahkan satu pukulan di kepala pemuda sipit itu dengan gulungan karton atas ucapannya.

Ify menduga pastilah ada hubungannya dengan pesan Shilla yang tidak dia sampaikan. Memang sepenting apa sih pertemuan-di-taman-biasa itu ? Dan kenapa pula Alvin jadi ikut-ikutan tak acuh terhadap Rio ?

"Huuhh." Ify membuang napas berat. Memikirkan keanehan Rio membuat tubuhnya puluhan kali lebih lelah. Kepalanya pening, ingin sekali cepat-cepat merebahkan diri dikasuk empuknya. Dia membuka pintu rumah dengan ogah-ogahan. Begitu memasuki ruang tamu, Ify heran melihat Ayahnya sudah duduk kaku di salah satu sofa.

"Ayah udah pulang ?" Ify meraih dan mencium tangan Cakra.

"Duduk kamu." perintah Cakra dengan kaku.

Ify menurut, memilih sofa yang berseberangan dengan Sang Ayah, sehingga mereka duduk berhadapan. Ada sebuah majalah yang tergeletak diatas meja kaca di depannya. Ify menunduk. Dia mengerti penyebab Ayahnya tampak kaku dan dingin, beliau sedang marah rupanya.

"Cerpen karya Saufika Ayyara. Apa maksud kamu berbuat memalukan seperti ini ?"

"Memalukan ? Tapi Yah, Ify nggak mencuri, Ify nggak berbuat hal-hal yang buruk. Karya Ify dimuat di majalah. Bukannya seharusnya...seharusnya... Ayah bangga ? Bunda bilang, Bunda bangga sama Ify."

"Jadi kamu mau membanding kan Ayah sama Bundamu ?"

"Bukannya gitu maksud Ify."

"Gadis seusia kamu ini seharusnya sudah pintar memasak, pintar mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, melakukan hal-hak yang lebih berguna. Tapi ini apa ? Kamu menghabiskan waktu kamu cuma dengan diam di kamar dan menulis cerita-cerita ini ? Apa menurut kamu Ayah tidak pantas marah ? Apa sih yang sebenarnya kamu cari Fy... APA ? Menjadi author sebuah majalah, apa yang kamu inginkan ? Honor ? Apa uang yang Ayah kasih masih kurang ?"

"Yah, Ify suka, Ify cinta menulis itu aja kok."

"Lalu apa kamu nggak cinta sama Ayah ?"

Ify diam saja.

"Mencoba hal-hal baru itu kuncinya cuma butuh sedikit keberanian. Kalau jatuh ya wajar namanya juga pertama kali. Yang penting kan dapat pengalaman baru."
Itu adalah kalimat Shilla yang diucapkannya saat pertama kali mengajari Ify memanjat pohon.
Kali ini, Ify sangat menghargai keberaniannya mengirimkan cerpen ke sebuah majalah diluar Aruna untuk pertama kalinya, hasilnya juga cukup memuaskan. Ify memperingatkan diri sendiri agar tidak menyesal, apapun hukuman yang akan dia terima harusnya tidak bisa mengurangi rasa puas serta kegembiraannya. Ify berdiri, bergegas pergi karena menganggap perkara ini telas selesai. Hakim telah menjatuhkan vonis tanpa mau mendengan pembelaan dari terdakwa. Tidak adil memang, serupa dengan hukum di Indonesia. Tapi suka atau pun tidak, Ify tak punya pilihan dan harus menerima hukumannya.

"Mau kemana kamu ? Ayah belum selesai."

Ify mengurungkan langkah, kembali duduk ditempat semula. Matanya menelusuri pergerakan tangan Cakra yang mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Benda yang berukuran lebih kecil dari buku tulis, bersampul merah muda dengan jalinan pita senada ditengah-tengahnya, tempat Ify mencurahkan isi hatinya. Ify menggumamkan kata aduh tanpa suara. Dia tidak ingat, apa saja yang pernah dia tulis di dalamnya, tapi jika Cakra sampai meluangkan waktu untuk membahasnya, pastilah ada sesuatu yang salah.
Haah. Lagi-lagi ini karena sifat Ify yang teledor. Dia meninggalkan majalah berisi cerpennya di dapur setelah acara memasak bareng Rio kemarin, lalu Ify juga membiarkan diarynya tergeletak begitu saja di tempat tidur karena tadi pagi ia terlambat bangun, tidak sempat merapikan kamarnya lebih dulu.
Cakra membuka halaman-halaman diary cantik itu secara acak. Berhenti di salah satu halaman, kemudian membacakannya di depan Ify. Dari tanggal yang tertera pada sudut kanan kertas, tulisan ini dibuat Ify sekitar satu bulan yang lalu.
Siang ini, aku lihat kamu main basket bersama Alvin. Kamu selalu hebat dan Alvin payah...hahaha. Menurutku, kamu bisa terlihat berkali-kali lipat lebih keren tiap bermain basket atau bernyanyi. Walau pun orang-orang bilang, apa pun yang kamu lakukan, jatuhnya selalu terlihat Wah. Dari lapangan, kamu sering melihat kearahku...hahaha...anggap aja begitu, meski aku juga tau kamu hanya sibuk melempat senyum pada Shilla. Cinta itu memang bukan perkara waktu ya. Hati kamu lebih mudah tertaut pada orang yang baru beberapa bulan kamu kenal.
Cinta datang tanda topeng, kalimat ini aku kutip dari dialogmu dalam drama musikal yang dulu kita mainkan bersama. Jika benar begitu, pantas aja yang namanya cinta tidak pernah datang kepadaku. Karena, topeng sudah terekat permanen dalam kehidupanku semenjak kamu cerita tentang cinta pertamamu. Aku harus terus memasang senyum dan berpura-pura semuanya baik. Ya tidak sepenuhnya bohong, tiap kali dekat kamu, aku memang selalu merasa semuanya akan baik saja. Aku merasa aman dan dilindungi, mesti kamu tidak pernah melakukan usaha apa pun untuk menjagaku. Menyedihkan!

Cakra menatap tajam putri kesayangannya yang terus menunduk gelisah, "Kamu tidak menuliskan satu nama pun. Tapi ayah yakin sekali, yang kamu ceritakan dalam hampir semua halaman di diary ini, bukan Alvin kan ?" Cakra berhenti, memberika kesempatan anak tunggalnya untuk menjawab. Tapi sekian puluh detik berlalu, sepatah kata pun tidak keluar dari mulut Ify, "Ini sangat...sangat…" Cakra kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan betapa kecewanya dia, "Kamu bayangkan! Ayah, Bundamu, orang tua Alvin, kami melihat kalian baik-baik saja dan terlanjur berharap lebih pada hubungan kalian. Ayah tidak habis pikir, ada duri sebesar ini dan itu tumbuhkan oleh putri Ayah sendiri. Kamu menyukai orang lain ? Kamu mengkhianati Alvin yang sudah sangat baik kepadamu ?"
Ify menggeleng samar, "Ayah nggak ngerti. Ayah nggak ngerti." jerit Ify dalam hati.

"Apa sih kurangnya Alvin ? Kamu bukan hanya akan membuat Alvin sakit hati, tapi juga keluargamu, keluarga Alvin. Kalau Oom Rendra tahu, Ayah akan sangat malu, Fy. Kalau kamu sudah punya perasaan sedalam itu untuk orang lain, kenapa kamu terima perjodohan ini ?”

"Ayah betul. Ayah betul. Harusnya aku menolak ini semua dari awal." Ify membatin. Dadanya sesak. Matanya mulai terasa panas.

Dulu Alvin bilang, ini hanya akan menambah daftar orang yang tersakiti dan benar saja kan ?
Perjodohan ini membuat da dan Alvin tidak nyaman. Harus terlihat mesra dan bahagia. Kemana-mana berdua, pergi berkencan di malam minggu dan lain-lain. Tentu bukan tanpa alasan mereka melakukan itu semua, Alvin dan Ify memang pernah sepakat untuk mencoba membuka hati. Siapa tahu mereka ditakdirkan untuk bersama. Tapi sia-sia saja. Dan sekarang, semua diperburuk dengan orang tua mereka yang tampaknya terlalu berharap.
Kenapa Ify tidak memikirkan betapa besar, kemungkinan mengecewakan orang tua mereka saat dulu bilang setuju terhadap perjodohan konyol ini. Para orang tua itu awalnya memang bilang tidak memaksa, tapi apa bedanya kalau sudah begini ? Sekarang malah Ayahnya mengira Ify selingkuh dari Alvin. Parah.

"Kenapa dari tadi kamu cuma diam ? Hari ini Ayah benar-benar marah sama kamu dan jangan buat Ayah tambah marah, sekarang jawab Ayah. Siapa orang itu ? Kalau Ayah tidak salah, semua halaman dalam diary ini menceritakan satu orang yang sama kan ? Siapa dia?"

Ify mengangkat wajah, untuk pertama kalinya sejak berada dalam ruang 'eksekusi' ini, ia berani menatap wajah tegang Sang Ayah, "Jangan paksa Ify, Ayah..." ucapnya diselilingi beberapa isakan.

"Apa ? Jangan paksa ? Kamu keterlaluan. Bilang pada Ayah atau Ayah akan cari tahu sendiri dan larang orang itu bertemu kamu lagi."

"Ayah nggak akan bisa lakuin itu."

"Kenapa kamu bisa seyakin itu?"

"Karena dia...dia..." Ify mengatur napas, mungkin ini saatnya dia mesti jujur, paling tidak pada Ayah kandungnya sendiri, "Karena dia...anaknya om Rendra."

Cakra mendelik, "Apa maksud kamu ?"

"Dia...Rio." bisik Ify, pelan sekali.

"Siapa ?" Cakra sebetulnya sudah bisa membaca sebuah nama dari gerakan bibir tipis putrinya, ia hanya ingin memastikan dugaannya.

"RIO, AYAH!! DIA RIO!!" teriak Ify sembari memejamkan mata, menunggu ledakan kemarahan Ayahnya.

"Rio ? Rio, gue ?" suara baritone seorang pemuda membuat Cakra sekaligus Ify kaget. Orang yang sangat tidak diinginkan mendengar ini semua, berdiri kaku. Entah sejak kapan dia ada disini dan berapa banyak yang telah didengarnya.


***