Minggu, 28 Agustus 2011

Rahasia Orion Part 10

Rahasia Orion Part 10
"Hari Bersamanya."

***
Prok-Prok-Prok

Tepuk tangan penonton membahana. Pertunjukkan drama musikal yang baru saja disuguhkan dalam malam seni tahunan Veronna High School telah usai. Seluruh tamu undangan memberikan applause mereka. Dari atas panggung, Rio dkk membungkuk hormat seraya bergandengan. Lalu tirai besar berwarna merah tua bergerak menutup panggung.
  
"Keren guys. Tadi tu keren keren keren banget tauuu." puji Shilla. Mata gadis itu terlihat merah seperti habis menangis, "Sedih banget ceritanya." ia mengibas-ngibaskan tangannya di depan mata, "Ceritanya yang buat kamu kan Fy ? Juara banget deh."

"Thanks Shil." balas Ify singkat. Ia, Shilla dan Rio saat ini sudah berasa di backstage. Ify masih berkutat membersihkan make up tipis yang mewarnai wajahnya, setelah rampung berganti pakaian.

"Gue udah selesai Shil, yuk !" ajak Rio yang muncul dengan wajah yang basah, sepertinya baru selesai cuci muka. Tetes-tetes air juga masih terselip diantara poninya yang terjuntai mencapai alis.

"Eh, tunggu. Emm, gue pulang bareng kalian ya, malas tunggu jemputan." pinta Ify, beralih menatap Rio dan Shilla bergantian.

"Tapi gue naik motor Fy, nggak bawa mobil. Lo kenapa nggak bareng Alvin ?" balas Rio enteng.

"Alvin masih sibuk Yo, diakan ketua panitia acara ini." jawab Ify.

"Ya udah Yo, kamu antar Ify aja dulu, nanti balik lagi jemput aku. Atau nggak, biar aku naik taksi aja." usul Shilla.

Rio mendelik tidak setuju, "Kok jadi lo yang naik taksi ? Lagian kan kita mau nonton Shil." Rio melirik jam digital hitam kesayangannya, lewat 15 menit dari pukul 8 malam, mereka masih sempat nonton kalau tidak harus mengantar Ify dulu.

"Kan bisa kapan-kapan Yo."

"Udah-udah, nggak pa-pa kok, gue balik naik taksi aja." putus Ify, dibuangnya setumpuk kapas yang digunakan untuk membersihkan wajah tadi, kemudian ia meraih tas selempangnya dan berlalu keluar ruangan, "Duluan ya Shil, Yo." pamit Ify.

"Gue antar cari taksi deh. Shil, tunggu sebentar ya." Rio bergegas menyusul Ify yang telah berjalan lebih dulu.

Dengan langkah-langkah panjang, Rio akhirnya berhasil menyejajarkan diri dengan Ify. Berdua, mereka berjalan menyusuri koridor utama yang sepi. Kedua terdiam, seperti malam yang membisu malu karena tak berbintang.

"Lo naik motor ?" suara halus Ify terdengar diantara aduan hak sepatu dengan jalan beraspal.

Rio tidak bersuara, hanya mengangguk dua kali.

"Malam-malam naik motor, bawa jaket nggak ?"

Rio menoleh, mendapati Ify yang tertangkap basah tengah menatapnya lekat-lekat, sebelum gadis itu kemudian memalingkan muka, "Bawa. Ada di Shilla." jawab Rio.

"Hati-hati ya. Jangan ngebut." pesan Ify. Gadis tirus itu tahu betul, Rio kalau sudah bertemu dengan motor sering tidak terkendali. Memacu kecepatan, bersaing dengan angin. Oleh karena itu, Papanya dan Eyang Putri hanya sesekali memberi izin Rio untuk mengendarai motor.

Lalu hening. Tidak ada bunyi-bunyian lain selain helaan napas yang teratur. Rio dan Ify sudah sampai di tepi jalan raya besar di depan sekolah mereka, menunggu taksi yang lewat. Rio mengamati pemudi manis yang berdiri di sisinya, entah dimana lagi ia bisa mendapatkan sahabat seperti Ify yang begitu peduli dan mengerti dirinya, "Maaf ya Fy." ujarnya dengan suara lemah.

Ify mengangkat sebelah alis matanya, "Untuk ?"

"Untuk yang kemarin. Lo jadi batal jalan sama Gabriel. Thanks juga buat nasehat lo."

"Apaan sih gapapalah gue sama Iel juga kan cuma mau nonton," Ify tersenyum seraya mengulurkan kedua tangannya untuk mencubit pipi Rio, "Eh, iya. Gue ada sesuatu buat lo. Ayo tutup mata dulu." instruksi Ify.

Rio menurut. Kedua kelopak matanya mengatup. Rambut-rambut matanya terjalin, menganyam dengan sempurna.

"Sebutin dalam hati, satu hal yang pengin banget lo raih saat ini."

"Shilla." gumam Rio yakin dalam hatinya. Pemuda itu masih menutup kedua bola matanya.

"Open your eyes!"

Dihadapan Rio tersodor sebuah amplop berwarna biru muda dengan gambar pita putih disudut kanannya.

"Apa ni ?" tangan Rio, menimang-nimang isi amplop dalam genggamannya.

"Dibukanya nanti ya, kalau lo udah berhasil raih apa yang lo mau."

"Nggak boleh sekarang ?"

"Nggak boleh. Pokoknya janjinya, amplop itu dibukanya nanti."

Rio mengendikkan bahu, "Ok deh. Eh tu udah ada taksinya." seru Rio saat taksi pertama muncul. Sebuah mobil mungil bernuansa biru muda meluncur kearah mereka. Rio melambaikan tangan, mengisyaratkan agar taksi itu menepi. Roda-roda taksi yang bergulir, berhenti tepat dihadapan Rio dan Ify. Pengemudinya tersenyum ramah, menyambut calon menumpang yang akan menggunakan jasanya malam ini.

Rio membukakan pintu penumpang untuk Ify, "Hati-hati ya." pesan Rio.

"Kamu juga," timpal Ify.

Rio mengangguk. Setelah Ify duduk manis dikursi belakang. Sejurus kemudian taksi yang ditumpangi Ify mulai bergerak menjauh dalam keremangan. Kuda besi itu membelah angin malam dengan deru mesinnya yang begitu kalem.

***

Ify merentangkan kedua tangannya. Meregangkan semua otot-ototnya yang kaku, diajak berlembur ria, mengerjakan proposal OSIS mengenai camping tahunan Veronna yang harus diserahkan besok kepada Kepala Sekolah untuk ditanda tangani, belum lagi tugas-tugas sekolahnya yang juga menumpuk. Yang paling bikin kesal tentu saja tugas dari guru seni yang menyuruh kelompoknya membawa gambar-gambar jenglot. Padahal Ify benar-benar paranoid dengan sesuatu yang berbau mistik semacam itu. Sekilas, Ify melirik jam weker ayam yang tertengger diatas meja kecil dekat double bednya, hampir pukul 11 malam rupanya.
Setelah terlebih dulu mematikan laptopnya, karena belum merasa ngantuk, Ify memutuskan membuka account twitter yang sudah dua minggu tidak terjamah olehnya. Sambil merebahkan tubuh pada doublebed empuknya, Ify mulai mengutak-ngatik handphone. Dalam hitungan detik, gadget serba guna itu segera saja menghubungkannya dengan orang-orang di berbagai pelosok negri bahkan dunia. Ify menekan trackball handphonenya ke bawah, malam ini timeline-nya dipenuhi keluh kesah teman-teman sekelas Ify tentang UTS fisika yang baru mereka hadapi pagi tadi. Ify memang tidak mem-follow banyak user. List followingnya hanya berisi teman-teman sekelas, teman-teman OSIS, kerabat dan sahabat-sahabatnya di Belanda, jumlahnya pun tidak lebih dari 80 account yang di follow.

@feldyridla: Sabar ya Beb :'P RT @KhaerunisaAsna: *bukasoal* *liat* *kicep* *jedotinkepalakemeja* mamaaa... Fisika susah.

@muthiarefisya: dear #Fisika lo pengin banget ya bikin rapor gue suram. Pengin bgtbgtbgt apa pengin aja? sial-_-

@MarioHaling: yakin deh, fisika minimal dapat 80. Thanks dear @AzahraShilla :*

Ify merengut kesal, membaca tweet yang diupdate Rio sekitar 5 menit yang lalu. Dengan antusiasme yang menurun drastis, Ify menekan trackball handphonenya secara asal.

@AlvinHaling: Abis tanding basket one by one sama si @MarioHaling dan hasilnyaaa *jengjengjeng* gue kalah. Selalu. HA-HA.

Ify tertawa kecil, olahraga dan seni memang Rio pakarnya. Dua hal itu yang tidak pernah bisa ditandingi Alvin dari saudara tirinya.

@MarioHaling: Sial RT @AzahraShilla: Jenglotnya mirip Rio eee

Ify mengerucutkan bibirnya, meremas bantal strawberry kesayangannya dengan sepenuh hasrat sebagai pelampiasan kekesalannya, "Nyebeliiin." jeritnya, tertahan.

Dengan semangat '45 dan caps yang menyala-nyala, Ify menulis satu kalimat, lalu meng-updatenya.

@SaufikaIfy: ENVY YA SAMA YANG DIPANGGIL DEAR :'(

Sekitar 3 menit setelah kalimat yang diupdate Ify ikut meramaikan timeline malam ini, gadis berdagu runcing itu memeriksa replies. Ada beberama teman yang me-retweet tweetnya barusan, salah satunya adalah Rio.

@MarioHaling: Hi dear ;) wkwk RT @SaufikaIfy: ENVY YA SAMA YANG DIPANGGIL DEAR :'(

Ify terduduk. Berulang kali dibacanya retweet dari Rio. Senyum malu-malu terulas dikedua sudut bibirnya. Ada perasaan senang bercampur takut. Apa mungkin Rio mengerti apa yang Ify maksud ? Apa Rio sadar kalau Ify cemburu pada Shilla ? Ah, tapi ya sudahlah. Toh Ify tadi tidak menuliskan nama, jadi terserah saja Rio mau menafsirkannya seperti apa. Demi kerahasiaan perasaannya, Ify segera men-sign out account twitternya, sebelum ia (tanpa terkontrol) menuliskan tweet-tweet yang lebih frontal dari yang tadi.

1 new message

Ify mendapati gambar amplop kuning yang menari-nari pada display handphonenya.

From: Rio
Hi Fy ;)

Ify segera mengetikkan jawaban. Jemarinya bergerak lincah diatas keypad handphonenya.

To: Rio
Hai Yo ? What's ?

Tidak perlu menunggu lama, gadget canggih dalam pegangan Ify kembali bergetar.

From: Rio
Nothing. Pgn sms aja. Blm tidur?

To: Rio
Ini baru mau.

From: Rio
Oh, ganggu dong aku ?

Ify mengerutkan kening.

To: Rio
Tmbn pke aku? Ksambt setan mna?

From: Rio
Sial >,<

To: Rio
Wkwk. Gmn kmrn nontonya sm Shilla?

From: Rio
Seru.

To: Rio
Nonton film apa?

From: Rio
udahan dulu ya. Ngantuk ni. Good night :*

To: Rio
Oh, ya udah. Night too :*

Ify menatap layar handphonenya. Emot yang digunakan ia dan Rio untuk menutup percakapan mereka via SMS malam ini benar-benar diluar kadar kegenitan. Ify menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menutup wajahnya dengan bantal, "Aduh salah emot deh, pasti kesannya gue kecentilan banget. Rio kan wajar cowoook..." gerutu Ify, sembari menggigit ujung gulingnya.
Akan tetapi terlebih dari apapun, perasaan gembira pastilah yang paling dominan dirasakan Ify malam ini. Rio mengiriminya SMS setelah memanggilnya dear di twitter. Lalu isi SMSnya juga bukan sekedar permintaan tolong seperti biasanya. Ift senang sekali. Seolah-olah, tubuhnya hanya terdiri dari molekul-molekul Hidrogen yang siap membawanya terbang bersatu dengan konstelasi bintang malam ini.

***

Langit sore benar-benar menawan hari ini. Warna orange penuh, bersih tanpa segumpal mendung pun. Sinar matahari sore yang remang-remang menghangatkan, jatuh menerpa rerumputan hijau.
Pemuda sipit itu yang melepas lelah di gazebo Rumah Besar ditemani segelas jus apel, setelah usai berjogging sore mengelilingi komplek perumahan Orion Estate. Peluh masih bercucuran menuruni pelipisnya. Pagi tadi ia gagal untuk jogging karena alaDi sekitar bibir terdapat buliran sisa-sisa jus yang baru saja ditegukkya. Dengan napas yang tersengal, Alvin duduk berselonjor.

"Happy birthday Alvin. Happy birthday Alvin. Happy birthday. Happy birthday. Happy birthday Alviiiinn..."

Alvin menoleh ke belakang. Keningnya berkerut rapat, melihat Shilla yang berjalan ke arahnya, membawa piring ceper berisi brownies dengan lilin angka 1 dan 8 bermahkotakan api kecil yang meliuk-liuk didera angin. Shilla tampak sudah rapi dengan setelah jeans dan t-shirt putih bergambar tokoh cartoon. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai indah dihiasi bandana putih. Shilla yang sudah cantik bertambah cantik ketika gadis itu tersenyum cerah, "Make a wish." katanya sambil menyodorkan brownies hasil karyanya sendiri pada Alvin.

Alvin baru saja akan berbicara, saat Shilla lebih dulu membuka mulutnya, "Please. Hari ini aja, kamu jangan galak-galak sama aku. Bisa kan Vin ?"

Alvin menatap Shilla dingin. Ia berdecak keras, lalu dengan ogah-ogahan ditiupnya kedua lilin, hingga padam. Api yang semula menyala, hanya menyisakan kepulan asap kecil yang segera menghilang disapu angin.

"Udah make a wish ?"

"Penting buat lo ?"

"Emm, nggak juga sih," jawab Shilla jujur, "Eh, cobain dong browniesnya, aku sendiri lho yang buat." bangga Shilla.

Alvin melipat kedua tangannya di dada, "Lo racun ?"

Shilla menahan dongkol dalam hatinya. Kalau bukan karena Shilla terlanjur menyanggupi permintaan Gladys untuk menemani Alvin dihari jadinya, sudah sejak tadi Shilla lemparkan piring berisi brownies ditangannya, kewajah sok cuek milik Alvin, "Yang ini sayang sekali nggak. Tapi lain waktu pasti aku kasih racun, senang ?" timpal Shilla santai.

"Gue udah kenyang." Alvin bangkit, berniat secepatnya menjauhkan diri dari Shilla.

Shilla berjalan cepat, menyusul Alvin. Ia berdiri menghadang jalan pemuda itu, "Kalau gitu cepat ke kamar. Simpan browniesnya, mandi dan siap-siap. Kita jalan-jalan hari ini."

"Gue sib-"

"Kalau udah siap, kamu susulin aku di dapur ya." potong Shilla sebelum Alvin menyelesaikan ucapannya, ia memutar tubuhnya membelakangi Alvin, kemudian berlalu dengan riang menuju pintu samping. Setelah Shilla berikut bayangannya menghilang, Alvin memutuskan untuk segera ke kamarnya. Tawaran Shilla untuk jalan-jalan di hari secerah ini tampaknya cukup menarik minat Alvin.

***

Sebuah bus tua dengan penumpangnya yang over capacity, terbatuk-batuk, menyemburkan asap kehitaman. Mengeluarkan sisa-sisa pembakaran tidak sempurna yang ikut berkontribusi menjadi faktor penyebab ISPA. Bus yang sudah layak dimuseumkan itu, tentu saja sudah tidak nyaman, tapi anehnya, fans kendaraan umum yang satu itu masih begitu banyak, di setiap harinya. Sebelum roda-roda besarnya yang kotor berhenti berputar total, Alvin sudah melompat turun, lalu menepi. Di bahu jalan, pemuda itu berjongkok dan memuntahkan semua isi perutnya. Wajahnya yang putih, semakin tak berwarna.

"Hoeks. Hoeks. Uhukhuk."

Shilla yang baru saja berhasil menyusul Alvin, turut berjongkok dan mengurut tengkuk pemuda itu, "Manja banget sih. Masa naik bus aja sampai muntah-muntah begini." cibir Shilla, sambil membalurkan cairan hijau bening dari botol minyak angin yang dibawanya, kebagian tengkuk Alvin.

"Nggak usah bawel deh. Tu ayam buang kotoran sebanyak itu ditangan gue, lo fikir nggak mual apa. Menjijikkan." balas Alvin kesal.

Ini memang bukan kali pertama Alvin naik bus, biasanya kalau hunting foto, ia dan teman-temannya juga lebih senang naik bus, lebih praktis karena tidak harus mencari tempat parkir untuk kendaraan mereka. tapi kali ini jelas berbeda. Selain busnya yang sudah menyerupai besi rongsokkan, penumpang yang berdesakan dengan sebagian besar adalah kaum pedagang beserta barang bawaannya yang segunung, aroma tidak sedap (campuran keringat, asap rokok dan sayur-mayur), plus hadiah dari ayam jago mikik seorang bapak tambun. Nah, bagaimana Alvin tidak mual berada didalamnya selama hampir 3 jam karena terjebak macet. Maklum hari ini weekend.

"Mana tangannya, biar aku bersihin." Shilla mengeluarkan sebotol air mineral dan tissue dari dalam tas selempangnya. Dibersihkan tangan kiri Alvin dengan telaten, "Udah tu." ujarnya beberapa saat kemudian.

Alvin mengendus-ngendus punggung tangannya, "Mendinglah." komentarnya.

Shilla lantas berdiri, "Ya udah yuk, jalan. Panas disini." ia menyipitkan matanya. Jam 2 siang. Sinar matahari sudah tidak sehangat pagi tadi, "Ini dimakan dulu. Perut kamu pasti kosong, habis muntah-muntah kayak gitu." sambil berjalan, Shilla mengangsurkan sebungkus roti. Untung ia terbiasa membawa bekal setiap kali bepergian, meskipun hanya roti dan sebotol air mineral.

Alvin menerimanya tanpa banyak komentar. Segera melahap roti coklat yang disodorkan Shilla, "Kita mau kemana sih ?" tanyanya, baru sadar, kalau Shilla sejak tadi belum memberitahu kemana mereka akan pergi.

"Pasar Malam." jawab Shilla santai, "Kita main-main disana ya, itu tempat yang direkomen Tante Gladys. Katanya waktu kecil kamu suka banget ke pasar malam"

"Oh." tanggap Alvin singkat. Alvin ketar-ketir dalam hati, ia tahu, dulu ia suka sekali pergi ke pasar malam di desa. Iya dulu sekali, saat teman kecilnya masih ada. Tapi saat ini, Alvin tidak akan pernah baik-baik saja setiap kali mengunjungi pasar malam.

"Pasar malam. Bocah banget sih lo." Komentar Alvin.

Shilla memutar bola mata. Menjulurkan lidahnya, saat Alvin telah berjalan lebih dulu di depannya. Mereka segera memasuki pasar malam yang sudah ramai oleh pengunjung. Tapi baru lewat beberapa langkah dari pintu masuk, Alvin tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Shilla yang berjalan di belakangnya menubruk tubuh jangkung Alvin. Roti yang tinggal setengah, meluncur ketanah, terlepas begitu saja dari genggaman Alvin.
Bagaimana mungkin Alvin akan baik-baik saja. Setiap kali ia mengujungi pasar malam justru bayangan Aya menjadi semakin jelas dan hidup. Bagaimana Alvin bisa menganggap Aya tidak lebih dari sekedar kenangan, jika rasanya masih terlalu nyata seperti sekarang. Alvin melihat Aya. Gadis kecil berkuncir kuda itu berlari, tertawa, melambaikan tangan kearahnya, berteriak memanggil namanya, "Cukup." bentak Alvin, sambil memejamkan mata. Dengan cepat, Alvin berbalik. Ingin meninggalkan tempat itu secepat ia bisa. Datang kemari (terlebih bersama Shilla) tidak akan membuatnya bisa terlepas dari sosok Aya. Justru akan semakin memupuk harapannya akan kehadiran teman kecilnya itu lagi.

"Mau kemana ?" suara Shilla membuat Alvin berhenti sejenak.

"Gue nggak bisa disini." jujur Alvin.

"Vin, kita udah jauh-jauh pergi ke pinggiran kota Jakarta kayak gini supaya bisa ketemu sama yang namanya pasar malam. Terus udah gitu kamu bilang kamu nggak bisa disini? Ini onyol Alvin," sergah Shilla.

“Lo nggak ngerti”

“Kalau gitu bikin aku ngerti Alvin. Mama cuma pengen bikin kamu seneng dengan nyuruh aku nemenin kamu kesini. Tante Gladys nggak bisa nemenin kamu karena lagi hamil, dia juga nggak mungin minta tolong sama Rio, Ify juga sibuk. Jadi akhirnya disinilah kita. Aku sama kamu. Kita udah jauh-jauh kesini dan kamu mau pulang gitu aja?”

“Shilla, ini nggak segampang yang lo kira. Gue nggak bisa disini.”

Shilla menghela napas, ia membiarkan jari-jari tangannya yang halus terjalin dengan jemari Alvin, "Pasti bisa." imbuhnya menyemangati.

Ekspresi wajah Alvin melunak.

Shilla memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik tangan Alvin menuju salah satu wahana permainan yang ada disana, "Kita naik komidi putar ya Vin."

Alvin menepis genggaman Shilla pada tangannya, "Malas." tolaknya, lantas berjalan memasuki area taman ria lebih kedalam.

"Ya udah ombak banyu aja gimana ?"

"Lo mau jadi tontonan bocah-bocah ?"

Shilla menggerutu sebal, dengan geram, akhirnya diseretlah Alvin menuju wahana komidi putar. Shilla tahu Alvin hanya cari-cari alasan untuk tidak mencoba wahana-wahana permainan yang ada disana. Kali ini kendali ada pada Shilla, Alvin tidak boleh (dan tidak ingin) protes. Shilla menyeret pemuda itu kesana kemari. Mencoba hampir semua wahana yang ada dan berwisata kuliner dengan mencicipi jajanan-jajanan yang dijajakan pada stand-stand yang bertebaran disetiap sudut taman ria. Setelah cukup lelah menjelajahi tempat itu, mereka memilih beristirahat. Duduk pada sebuah bangku kayu panjang dekat pintu keluar. Suara tawa yang sejak kapan mulai hadir diantara mereka masih terdengar jarang-jarang. Sepertinya Shilla telah menepati janjinya pada Gladys untuk membuat Alvin senang hari ini.

Tidak terasa, sudah pukul 8 malam. Bulan dan bintang sudah mulai terpeta pada langit gelap di atas sana.

"Vin, aku mau itu." Shilla menunjuk-nunjuk pedagang arum manis, lantas menengadahkan tangan pada Alvin.

"So ?" Alvin mengangkat sebelah alis matanya.

Shilla menyeringai lebar, dimiringkan wajahnya kesisi kanan, "Uangnya ?"

Alvin bergeming.

"Ayo dong Alvin, jangan pelit-pelit. Ini kan hari ulang tahun kamu. Anggap aja, traktiran buat aku. Tapi kalau nggak mau traktir juga nggak pa-pa deh, nanti aku ganti dirumah. Aku pinjam dulu uangnya. Aku pengin banget beli. Ayolah, kamu kan ba-"

"Nih. Bawel." Alvin menempelkan selembar uang seratus ribuan dikening Shilla, "Beliin semua sono. Biar sakit gigi. Dasar aneh, lo yang ngajak jalan tapi dari mulai transport sampai konsumsi gue yang tanggung." gerutu Alvin.

"Hehehe. Jangan itungan gitulah Vin. Kan dompetku nggak kebawa," bela Shilla, "Handphone juga. Padahal Rio pasti dari tadi SMSin aku minta disemangatin." imbuh Shilla lebih pelan, mengingat pertandingan yang diikuti Rio hari ini.

Alvin tersenyum sinis, "Lo jalan sama gue tapi masih sempat-sempatnya ya ingat sama Rio ?"

Shilla mendelik, "Ya iyalah. Kenapa nggak suka ?"

"Biasa aja. Udah sana pergi." jawab Alvin datar.

"It's Oke,” sahut Shilla enteng. Kemudian berlari kecil menuju stand penjual arum manis yang memang sedikit jauh dari tempatnya dan Alvin duduk tadi. Setelah mendapatkan dua bungkus arum manis berukuran besar, Shilla berniat segera kembali ketempat Alvin.

Tiba-tiba seorang gadis cantik dengan tinggi sedikit lebih pendek dari Shilla, menabraknya dari belakang.

"Auw..." pekik Shilla, satu bungkus arum manisnya melompat jatuh dari genggamannya.

"Eh. Aduh, maaf, maaf. Aku nggak sengaja. Maafnya." gadis itu memasang ekrpesi menyesal, "Biar aku ganti ya arum manisnya. Sorry banget, tadi buru-buru soalnya."

Shilla tersenyum ramah, "Iya nggak pa-pa kok. Nggak usah diganti juga."

"Nggak. Pokoknya aku ganti. Ayo beli." gadis berblazer kuning dengan badge lambang universitas Indonesia itu, menarik tangan Shilla.

"Hey, buruan bisa kali Non." tegur gadis lain yang juga mengenakkan blazer kuning terang.

"Tu udah dipanggil sama temannya. Nggak pa-pa kok, nggak perlu diganti." seloroh Shilla.

"Beneran ?"

"Iya."

"Emm, ya udah kalau gitu sekali lagi aku minta maaf ya. Next time, kalau kita ketemu lagi, pasti aku ganti arum manisnya. Duluan ya. Bye." gadis itu berlalu, rambut panjangnya yang bergelombang, melayang ringan saat Si Pemilik membalikkan tubuh untuk kemudian berlari kearah temannya. Ia menoleh dan melambaikan tangannya lagi Shilla.

Shilla mengangguk lalu tersenyum simpul.

"Manis banget sih." puji Shilla.

"Woy, lama deh lo." Alvin menepuk pundak Shilla dari belakang.

Pemuda itu mengikuti arah pandangan Shilla yang masih tertuju kedepan. Kebetulan pada saat yang bersamaan, gadis tadi menoleh kembali kearah Shilla. Entah siapa yang lebih kaget, tapi baik Si Gadis maupun Alvin sama-sama ternganga, merasa saling mengenal satu sama lain. Alvin memutuskan untuk memastikan apa yang dilihatnya, ia berniat untuk segera mengejar gadis berblazer tadi, tapi Shilla lebih dulu mencekal pergelangan tangannya.

"Eh, mau kemana kamu ? Aku tahu ya cewek tadi tu cantik, tapi ingat, kamu udah ada Ify."

"Aduh, lo apa deh Shil, lepas." Alvin menyentakkan lengannya dengan kasar. Pandangannya kembali beralih, mencari-cari sosok gadis tadi, tapi terlambat, Si Gadis dan temannya telah lebih dulu masuk kedalam mobil. Terano silver metallic. Alvin kenal mobil itu. Ya, walaupun tentu saja, mobil seperti itu tidak diproduksi hanya satu, tapi Alvin benar-benar merasa yakin mengenal mobil berikut gadis didalamnya, "Siapa cewek tadi ?" tanyanya pada Shilla.

"Nggak tahu. Tadi dia nggak sengaja nabrak aku." Shilla angkat bahu.

"Ck." Alvin berdecak,"Ya udah, sekarang lo ikut gue." perintahnya dengan nada tak terbantah.

"Kalau aku nggak mau ?"

"Wah, sayangnya lo harus mau." tegas Alvin, mengukuhkan dugaan Shilla bahwa suka ataupun tidak suka ia tetap harus ikut bersama Alvin.

Dari kejauhan, sepasang mata yang seharusnya tidak melihat Alvin dan Shilla disana mangamati dua remaja itu dengan pandangan kecewa.

***

"Ini rumah siapa Vin ?"

Shilla masih berdiri didepan pagar dengan besi-besinya yang berjejer rapat. Polesan catnya sudah terkelupas disana sini. Dibalik pagar, terdapat sebuah rumah berukuran sedang. Tampaknya sudah lama tidak ditempati. Warna pastel yang menempel pada didindingnya mulai memudar. Rumput-rumput liar tumbuh tinggi, ditaburi daun-daun kering dari pohon mangga besar yang tidak berbuah. Kusen-kusen kayunya juga sudah lapuk jadi santapan rayap.

"Cepat sini !!" Alvin yang telah lebih dulu melompati pagar, menyuruh Shilla agar mengikuti jejaknya.

"Manjat ?"

"Iya. Buruan."

Shilla mengangguk. Dipanjatnya pagar setinggi leher orang dewasa dihadapannya dengan lihai. Setelah pijakan terakhir, gadis berambut panjang itu melompat menjejak tanah.

"Kenapa ?" tanya Shilla melihat Alvin yang melongo melihatnya memanjat pagar.

"Apa ?"

"Kamu kenapa ?"

"Emang gue kenapa ?"

"Ck. Tau ah." Shilla melengos, kemudian memilih tempat yang pas untuk duduk. Kakinya sudah pegal diajak memutari taman ria seharian. Pilihannya jatuh pada ayunan usang yang terletak disudut halaman. Besi-besinya sudah berkarat, saat Shilla mendudukinya terdengar bunyi krekek-krekek yang jelas.

"Ini rumah siapa Vin ?"

"Rumah lama gue." jawab Alvin seraya mengambil posisi duduk disamping Shilla.

"Oh," Shilla mengangguk paham, "Jadi ceritanya kangen rumah ini ya ?"

"Iya sih. Tapi jauh lebih kangen sama Ayah. Kalau beliau masih hidup, kira-kira gue dikasih apa ya pas ulang tahun ke-18 ?" tutur Alvin. Tanpa sadar, ini adalah pertama kalinya ia bicara sepanjang itu dan tanpa nada dingin pada Shilla.

Shilla terdiam. Tidak ingin menanggapi ucapan Alvin barusan. Bagi Shilla, Alvin masih jauh lebih beruntung. Setidaknya pemuda itu punya sesuatu yang bisa dikenang tentang Ayahnya. Sedangkan Shilla? Ingat bagaimana rupa Sang Ayah saja tidak. Shilla selalu tidak nyaman setiap kali mengobrol dengan tema Ayah.

"By the way, Shil, thanks for today." Alvin menyandarkan punggungnya pada sandaran ayunan, "Gue senang hari hari ini." jujur Alvin.

"Sama-samaaaa. Aku juga senang." jawab Shilla riang.

"Terus ?"

"Terus apanya ?"

"Aduh, lo tu lemot banget ya Shil. Apa-apa harus dijelasin panjang lebar, baru deh ngerti."

"Kamunya aja yang terlalu irit ngomong." balas Shilla tidak mau kalah.

"Terus sebenarnya apa tujuan lo tiba-tiba baik sama gue hari ini. Sampai mau nemenin jalan segala ?"

"Oh itu. Kalau soal baik, dari dulu juga aku mah baik. Kamunya aja yang nggak bisa dibaikin. Terus, tentang hari ini, kan dari tadi aku udah bilang sebenarnya aku cuma penuhin permintaannya Tante Gladys. Tante Gladys minta supaya aku temenin kamu pas hari ulang tahun kamu," jawab Shilla kelewat polos, pemuda di sampingnya tentu akan merasa lebih baik kalau mendengar jawaban basa-basi yang lebih manis dibanding kalimat blak-blakkan yang baru saja diperdengarkan Shilla.

"Oh." Alvin membulatkan bibirnya, dalam hati sedikit kecewa karena Shilla ternyata mau menemaninya hari ini hanya lantaran permintaan Mamanya.

"Eh, cerita dong Vin."

"Cerita apa ?"

"Apa aja deh, tentang kamu. Soal masa kecil kamu juga boleh." Shilla memperbaiki duduknya menghadap Alvin.

Alvin diam saja kenapa pula tiba-tiba Shilla memintanya bercerita tentang masa kecilnya, ia melirik Shilla yang tampak antusias, “Lo mirip dia, Shil,” ujar pemuda sipit itu pelan, “Lo mirip temen kecil gue,”

“Oh ya? Kok bisa?” tanggap Alvin.

“Entahlah" Alvin mengangkat bahu, “Gue juga nggak yakin sih karena gue udah lama nggak ketemu dia, gue juga nggak tau sekarang dia kayak apa. Tapi kadang ada saat-saat dimana lo keliatan mirip dia,” papar Alvin menjelaskan.

Shilla mengangguk paham, “Masa kecil itu indah ya Vin, berkesan banget. Temen kecil kamu itu pasti berarti banget ya buat kamu.” Shilla tersenyum manis, “Kamu punya fotonya? Aku mau lihat dong! Penasaran, emang bener ya dia mirip aku?"

Alvin menunduk. Sambil menghela napas berat, ia beringsut bangun, "Punya ntar kapan-kapan gue kasih lihat ke elo.”

"Emm Vin, jangan kasih tahu Rio ya kalau hari ini kita jalan bareng. Please." Shilla menelungkapkan kedua tangannya didepan dada.

Senyum tipis Alvin yang semula terpeta pada wajah tampan pemuda itu mendadak hilang. Matanya memicing tajam pada Shilla, "Ya." jawabnya dingin.

Shilla memang bilang pada Rio bahwa ia pergi bersama Gladys menghadiri gathering cabang Veronna yang di Bandung. Gladys yang mengusulkan alasan itu pada Shilla.

"Makasih. Sebagai imbalannya, nanti aku kasih tips ampuh menghilangkan galau deh. Hehe." Shilla melempar cengiran pada Alvin yang sama sekali tidak menggubrisnya sejak beberapa detik yang lalu.

Bahkan, Alvin menganggap Shilla seperti tak kasat mata, ketika ia segera berlalu setelah berhasil melompati pagar, tanpa menunggu Shilla dulu.

Untung, perumahan di sekitar situ tidak begitu ramai. Jadi tidak ada yang meneriaki mereka maling atau menuduh mereka telah melakukan tindakan asusila dengan berdua-duaan dirumah kosong seperti ini.

"Oke." balas Alvin, setelah Shilla berhasil menyejajarkan langkah dengannya.

Berdua mereka berjalan. Menapaki gelap. Siluet keduanya, tampak sempurna dan begitu serasi, dengan langit yang biru tua sebagai backgroundnya.

Satu hari bersamanya.
Tidak special, tapi cukup indah untuk dikenang sebelum terlelap malam ini.

***

Rio menjejalkan sebungkus arum manis yang dibelinya tadi siang kedalam tempat sampah di pantry lantai 2. Ekspresinya kalut dan marah. Dengan serampangan, didorongnya sebuah kursi kayu yang menghalangi jalannya kepintu pantry, hingga terjungkal, "Sial." umpatnya, penuh emosi.

"Kok dibuang ?" suara lembut Shilla yang merambat diudara membuat Rio yang mendengarnya terpaksa mengangkat wajah, menatap Shilla. Gadis itu memiringkan wajah, melirik arum manis berukuran jumbo yang teronggok ditempat sampah.

"Lo mau ? Ambil aja." sahut Rio ketus. Kalau saja Shilla tidak berdiri didepan pintu, pasti sudah sejak tadi Rio keluar dari tempat ini.

Melihat aura neraka yang terpancar hebat diwajah Rio, Shilla berusaha mencari topik pembicaraan lain, "Eh iya tadi gimana tanding badmintonnya ?"

"Peduli apa lo ?"

Shilla merengut, "Kamu kenapa ?" tanya gadis itu heran terhadap Rio yang tak acuh seperti itu kepadanya.

"Minggir, gue mau lewat." usir Rio.

Shilla memilih bergeming.

"Minggir !!" sentak Rio.

"Apaan sih bentak-bentak." Shilla berkacak pinggang, matanya memelototi Rio, "Kenapa ? Ngambek ya ? Aku salah lagi ?"

Rio tersenyum kecut, "Oh, nggak kok. Lo nggak salah, Shilla. Sorry, guenya aja yang kayak anak kecil, maybe," Rio bersidekap, "Udah puas ? Sekarang minggir."

"Nggak mau."

"Jangan salahin gue kalau elo, gue dorong."

"Coba aja." Shilla mengangkat dagu.

Rio mendengus kesal, "Lo bohongin gue." dakwanya.

Shilla memucat, dengan kikuk ia bersuara, "Bohong apa sih ? Nggak ngerti deh."

Rio melirik jam bundar dengan tepiannya yang berwarna hijau, terpasang didinding pantry, "Jam 9 malam. Kemana aja lo seharian ini ?"

"Nemenin Tante Gladys lah, kan aku udah bilang sama kamu."

Keduanya terdiam cukup lama. Shilla menunduk dalam, sementara Rio menghujami gadis itu dengan tatapan kecewa, "Oya ? Yakin nemenin Tante Gladys ? Atau... Nemenin anaknya ?"

Shilla menyembunyikan wajahnya lebih dalam lagi. Tidak berani memandang Rio, karena dengan beradu mata, pemuda itu pasti akan langsung bisa menebak bahwa Shilla tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Ia menggigit bibir bagian dalam.

"Tadi sore gue lihat lo sama Alvin ditaman ria, kebetulan banget ya ? Tadinya gue pengin beli arum manis itu buat lo."

Shilla membeku di tempatnya. Ia tidak berani mengangkat wajah dan menatap Rio. Ingin sekali ada lubang besar yang menelannya saat itu juga. Dengan gugup, Shilla berusaha memutar otak mencari alasan. Tapi tetap saja tidak berhasil.

"Kalau mau jalan-jalan, ngapain bohongin gue. Takut gue ikut ya ? Takut gue gangguin ?" Rio sepertinya tidak menunggu jawaban dari Shilla, karena setelah selesai berujar demikian ia segera pergi.

Shilla menatap punggung tegap Rio dengan perasaan menyesal. Seberapa lama Rio akan marah seperti itu kepadanya ?

***

Shilla berjalan membawa sebuah modul yang dititipkan Ify kepadanya, untuk diberikan kepada Alvin. Sekarang, ia sedang menuju kamar pemuda itu yang terisolasi disudut lantai dua. Shilla baru saja akan mengetuk pintu berukir edelweiss room dihadapannya, ketika lamat-lamat terdengar suara obrolan Alvin dan Gladys dari dalam. Ia mengurungkan niatnya.

"Udah tahu alergi coklat pakai makan brownies segala." suara Gladys terdengar kesal. Baru setengah jam yang lalu Alvin mencicipi brownies buatan Shilla, efeknya sudah langsung terasa. Seluruh badannya gatal-gatal.

"Kan nggak enak Ma sama Shillanya kalau nggak dicoba. Dianya udah susah-susah buatin."

"Kan kamu bisa jujur kalau kamu alergi coklat, Alvin."

Alvin sepertinya tidak menyahut, karena kemudian hening, tidak ada yang bersuara. Shilla termangu di depan pintu, merasa bersalah karena telah memaksa Alvin mencicipi brownies buatannya. Gadis itu akhirnya berbalik menuju kamarnya, batal memberikan modul titipin Ify pada Alvin, “nanti saja” pikirnya.

***

"Pokoknya Bibi teh nggak suka kamu terlalu dekat dengan den Rio. Kamu harus nurut sama Bibi." Suara Bi Arum terdengar tegas diantara bunyi tak-ta-tak dari mata pisau yang tertandas pada tatakan.

"Tapi kan sesuatu itu harus ada alasannya Bi, kenapa Shilla nggak boleh dekat sama Rio ? Dia baik kok."

"Jangan karena den Rio baik, kamu jadi lupa, kita siapa, den Rio itu siapa."

Shilla menghentikan aktivitasnya sejenak, membiarkan air yang mengalir dari kran berkeracak membasahi tangannya, "Tapi Rio nggak pernah keberatan dekat sama Shilla. Walaupun Shilla cuma keponakan pembantu dirumah ini." tutur Shilla sangat pelan.

Bi Arum yang berdiri memunggungi Shilla, memejamkan mata. Satu tetes airmata bergulir diatas pipi berkerut milik wanita paruh baya itu. Bi Arum harus segera menyusutnya, kemudian berbalik menghampiri Shilla. Dielusnya puncak kepala Shilla dengan sayang, "Kamu ke Jakarta untuk sekolah kan ? Untuk mengejar cita-cita kamu kan ? Jadi fokus saja pada semua itu Shilla, jangan dulu memikirkan hal-hal yang lain." nasehat Bi Hanum.

Shilla hanya mengangguk. Setelah Kakak dari Sang Ibu itu pergi dari dapur, Shilla memajukan bibirnya. Ia mengerti yang dimaksudkan Bi Arum adalah supaya Shilla fokus pada sekolahnya, dan pasti yang dimaksud hal-hal lain adalah urusan cinta-cintaan, "Aku kan udah besar. Lagian kalau udah terlanjur suka gimana dong ? Iya nggak ?" Shilla berbicara dengan pantat panci kinclong yang merefleksikan bayangan wajahnya.

"Penting ya, diajak ngobrol dulu pancinya sebelum dicuci ?" suara dingin yang sangat Shilla kenal mengusik gendang telinganya.

"Alvin. Hehe." Shilla menyeringai, "Eh, gimana alerginya ? Maaf ya, aku nggak tahu kalau kamu alergi coklat." sesal Shilla.

"Never mind." Alvin membungkuk, mengeluarkan blender dari lemari bawah, lalu menaruhnya diatas meja. Ia lantas berjalan kearah lemari pendingin mengambil beberapa buah apel dan sebilah pisang, yang kesemuaan juga diletakkan diatas meja.

"Lagian aneh. Alergi kok sama coklat, kan enak."

"Sekedar info, Rio juga nggak suka coklat.”

"Udah tahu kok." timpal Shilla. Rio memang sudah bilang sendiri pada Shilla soal itu, "Itu lukanya berbekas ya, Vin ?" Shilla mengamati telapak tangan Alvin yang dulu terluka setelah menolong seorang bocah SD dijalan raya didepan sekolah mereka.

"Oh ini," Alvin mengangkat telapak tangan kanannya, "Lihat aja sih lo. Iya berbekas. Jadi aneh ya ?"

Shilla membersihkan tangannya dengan lap. Tugasnya mencuci tangan setelah makan malam telah rampung, "Nggak kok. Justru itu tangan yang bagus, karena dipergunakan sesuai fungsinya. Untuk berbuat kebaikan. So cool." komentar Shilla.

PRAANG

Tiba-tiba satu set rantang susun jatuh berkelontang membentur lantai. Alvin dan Shilla kompak menengok. Seorang pelayan berdiri diambang pintu dapur, membawa beberapa peralatan rumah tangga. Pelayan dengan baju kebangsaan mereka yang berwarna pink pucat itu menggerakkan dagunya kearah lain. Sekilas, Alvin dan Shilla dapat melihat sosok Rio yang berjalan santai. Pastilah Rio yang melempar rantang-rantang itu karena melihat Alvin dan Shilla berduaan.

"Ngambek tu." seloroh Alvin.

"Dari kemarin kali." sahut Shilla, "Lucu ya, banting-banting barang gitu." Shilla menggeleng-gelengkan kepala.

"Lucu apanya ?"

"Hehe. Eh, kamu mau buat apa sih ? Mau dibantu ?"

"Nggak usah."

"Oh, ya udah. Aku duluannya."

Alvin tidak menjawab. Mulai sibuk merajang buah apel. Shilla juga tidak ambil pusing, ia segera berlalu seraya membawa buah jeruk yang dilempar-lempar ke udara dengan tangan kanannya.

***

"Kalau elo disini semalaman, di rumah, Shilla sama Eyang juga nggak akan tidur. Ayo pulang."

Suara baritone Alvin memecah keheningan yang meliputi area pemakaman itu. Rio hampir saja histeris saking kagetnya tiba-tiba mendengar suara yang menyapanya. Setelah tahu yang berbicara padanya adalah Alvin, Rio melengos dan kembali memainkan kelopak-kelopak bunga segar yang baru ia tabur dipusara Sang Mama.

"Ngapain lo disini ?" sinis Rio.

"Sambutan yang manis," puji Alvin tak kalah sinis, "Lo kenapa ? Ada masalah ?"

Rio tertawa mencibir, mendengar orang yang merupakan pangkal permasalahannya bertanya demikian,  "Lo peduli ?"

"Ya... Samalah kayak lo yang juga peduli sama gue."

"Gue nggak pernah peduli sama lo."

"Masa sih ? Yah, sedih dong gue." ujar Alvin dengan nada datar.

"Jayus lo."

Alvin tidak menimpali, memilih diam dan ikut memandangi nisan tempat peristirahatan terakhir Veronna dengan khidmat.

"Kenapa diam ?" tanya Rio, dingin.

"Lo pengin gue ngomong ?" Alvin menoleh kearah Rio, baru sadar saudara tirinya itu terlihat begitu berantakan.

"Ck. Lo mau ngapain sih kesini. Ganggu aja. Pulang sana." usir Rio, berang.

"Gue nggak akan pulang kalau elo nggak ikut pulang."

"Jadi terharu." balas Rio dengan suara yang dibuat persis dengan nada bicara Alvin, dingin dan datar.

"Jangan GR, gue cuma malas diamuk Eyang kalau balik tanpa elo." Alvin menepuk pipinya. Baru beberapa menit tinggal, ia sudah merasa sangat tidak nyaman dengan nyamuk-nyamuk, aroma kamboja dan nisan-nisan yang berjejer rapi ditempat ini. Heran juga, melihat Rio betah sejak maghrib tadi sampai sekarang hampir pukul 1 dini hari masih duduk menyindiri dipemakaman seperti ini. Dan Alvin bisa langsung menebak, pastilah saudara tirinya itu tidak dalam keadaan yang baik.

"Apa perlu gue telepon Eyang, biar Eyang yang seret lo dari sini '" gertak Alvin.

"Iya, iya, kita balik. Bawel deh lo." Rio cepat bangkit, setelah sebelumnya mengecup nisan marmer berpahatkan nama Veronna Nugraha, "Rio pulang ya Ma..." pamitnya dengan suara lembut.

"Seumur-umur, akhirnya ada juga yang bilang gue bawel." celetuk Alvin saat membuntuti Rio, menuju mobilnya. Sementara Rio sama sekali tak menghiraukannya.

"Ngapain lo ngintilin gue ?" tanya Rio, setelah sadar mereka tidak berpisah jalan sampai didepan mobil Rio.

"Mau balik kan ? Gue nggak bawa mobil." Alvin melengos melewati Rio, membuka pintu mobil lantas duduk santai disisi kursi pengemudi.

Rio menggeram. Tinjunya terkepal kuat-kuat. Saat ini, justru Alvinlah orang yang paling ingin ia hindari. Ada rasa cemburu dan kemarahan yang bergolak di hatinya, setiap kali Rio bertemu muka dengan pemuda yang dulu berstatus kawan kentalnya itu. Sia-sialah berjam-jam ia 'bersemedi' di makam Sang Mama, kalau ujung-ujungnya harus pulang bersama Alvin.
Suara pintu mobil yang ditutup dengan tidak santai oleh Rio, segera teredam oleh suara lembut Reza Herlambang dengan lagu lamanya yang berjudul Menyesal. Sepertinya saat datang kemari Rio benar-benar kacau, terlihat dari tape mobil yang tidak dimatikan, bahkan kuncinya pun masih tergantung ditempatnya. Untung mobil itu tidak raib digondol maling.

bila cinta tak lagi untukku
bila hati tak lagi padaku
mengapa harus dia yang merebut dirimu  
(Reza Herlambang - Menyesal)

"Matiin tape nya." perintah Rio.

"Kenapa ? Lagunya enak kok."

"Kalau elo nggak mau gue turunin, cepat matiin."

Alvin bergerak dengan malas, memajukan tubuhnya dan menekan tombol off. Kalau bukan Rio, mana mau Alvin disuruh-suruh pakai acara mengancam seperti itu. Sedan Rio terus bergerak, menyusuri jalan beraspal yang kian hitam setelah ditempa gerimis kecil.

"Soal Shilla itu, lo marah juga sama gue, Yo? Atau soal Mama yang hamil?"

Rio tidak menjawab. Mempraktikan metode diam seribu bahasa dengan sangat sempurna. Mengunci mulutnya rapat-rapat dan berkonsentrasi penuh pada jalanan didepannya.

"Shilla kan udah minta maaf dan kalau menurut lo gue juga salah. Ok. Gue juga minta maaf. Tapi soal hamilnya Mama gue nggak bisa bilang apa-apa," imbuh Alvin.

Rio tetap saja mematung. Seolah ucapan Alvin tidak lebih dari desau angin yang sangat tidak penting untuk ditanggapi. Alvin dongkol setengah mati. Serasa menghadapi kloningannya secara sifat. Dalam hati, diam-diam Alvin berterima kasih pada semua orang yang masih begitu setia berada didekatnya. Karena saat ini, Alvin tahu, sangatlah menyebalkan menghadapi manusia es seperti yang sedang dilakonkan Rio.

"Lagi pula ya Yo, sebenarnya lo nggak berhak marah sama Shilla," Alvin meneruskan ucapannya, ingin tahu seberapa lama Rio bisa diam tanpa buka suara untuk membela diri, "Lo kan bukan siapa-siapanya Shilla. Terserah dong dia mau jalan kemana dan sama siapa aja, itu hak dia. Apalagi ini lo juga marah sama gue ? Atas dasar apa coba ? Gue kan cuma diajak Shilla bukan salah gue kalau dia nggak ngajak lo kan?" Alvin berkicau dengan santai, tak acuh pada pemuda disebelahnya yang harus mati-matian menahan emosinya.

"Lo keterlaluan Vin," tutur Rio, lirih, "Lo punya Ify, tapi masih aja berharap sama Aya dan sekarang... Sekarang... Lo dekatin Shilla juga. Emang masih jaman ya, mainan perasaan cewek dengan cara kayak gini ?"

Alvin menarik satu sudut bibirnya. Rio tidak tahu apa-apa, tapi bisa-bisanya mengeluarkan statement semacam itu. Rio tidak tahu bagaimana Ify bahkan tidak menyisakan secuil saja ruang dihatinya untuk diisi oleh orang lain selain Rio. Rio juga tidak tahu, kalau nyatanya Shilla mau menghabiskan sepanjang hari bersama Alvin, itupun tidak lebih karena permintaan Gladys. Justru dia, justru Riolah yang tanpa sadar, telah menggiring dua gadis itu ke tepi jurang, mereka rela melompat kedalamnya demi Rio. Sedangkan pemuda itu ? Hah, kita lihat saja, sebetulnya siapa yang ada dan akan selalu ada dalam hatinya. Tapi menurut Alvin, tidak keduanya.

"Lo nggak tahu apa-apa."

"Ya. Itu yang gue harap. Gue bakal merasa jauh lebih baik, kalau nggak tahu tentang semua ini. Tentang lo sama Shilla. Tentang nyokap lo. Semuanya."

Alvin mengulur napas sejenak membalas ucapan Rio, "Lo sendiri? Foto siapa yang ada di dompet lo, di laci kamar lo, di loker sekolah ? Heh ? The most beautiful one. Larissa Kinara." Alvin menekankan nama gadis cinta pertama Rio itu dengan nada kemenangan, "Apa lo yakin, lo suka sama Shilla ? Oya, satu lagi, lo juga dekat kan sama Ify." tambahnya, ringan.

"Gue sahabatan sama Ify."

"Gue juga temenan sama Shilla. Impas kan ? So, lo nggak perlu marah gini dong sama gue. Nggak perlu membesar-besarkan masalah sepele kayak gini Yo."

Emosi Rio memuncak. Tangannya terkepal kuat pada stir mobil. Rahangnya mengeras, mimiknya kaku, matanya nyalang menatap penuh kemarahan pada Alvin. Jalanan di depan sana terabaikan sudah, padahal mobil masih terus melaju. Rio merasakan ada ribuan sendok yang mengaduk-ngaduk isi hatinya. Alvin benar, dari dalam lubuk hatinya, Rio mengakui itu. Rasa bersalah itu mematenkan nama Acha dalam hatinya. Acha yang begitu ia sayangi tapi tak pernah ia beri kesempatan untuk sekedar menjelaskan semuanya. Acha, gadis pertama yang Rio biarkan menangis dan berlutut di hadapannya. Airmata gadis itu masih tersimpan dalam benaknya . Ia merasa bersalah pada Acha dan itu yang membuat Rio tidak pernah rela menepikan Acha dari hatinya. Tapi saat ini, ia menyayangi Shilla. Sungguh. Ia membutuhkan Shilla. Shilla yang menawarkan warna-warna baru dalam dunianya yang menjemukan. Shilla yang setiap kali berada didekatnya, bayangan Acha mulai memudar perlahan. Kenapa Tuhan harus mempertemukan Rio dengan Acha dan Shilla. Kenapa tidak salah satu diantaranya saja ? Jawabannya mungkin sama dengan kenapa Tuhan menciptakan bintang sementara bulan saja sudah lebih dari cukup untuk membuat malam benderang, Karena kelak, bila salah satunya absen, yang lain akan secara otomatis menggantikannya.
Rio tidak mengerti, apa yang sebenarnya dilesakkan kedalam dadanya saat ini,  hingga rasanya begitu menyesakkan. Dengan emosi yang tidak terkontrol dengan baik, Rio menginjak gas mobilnya lebih kedalam. Jarum pada spidometer berputar dengan cepat, menunjukkan angka yang extreem. Ratusan kilometer per jam. Alvin segera memasang seat beltnya. Dengan panik, ia memperingatkan Rio untuk mengurangi kecepatan laju mobilnya, "Yo, pelanin mobilnya. Jangan aneh-aneh deh Yo."

Rio tidak peduli, terus menginjak gas mobilnya. Roda-roda mobil bergulir lebih cepat lagi.

"Yo, dengerin gue. Pelanin mobilnya. Kita bisa mati berdua kalo kanyak gini."

Rio tidak melunak, "Romantis kan ??" sahutnya asal. Dengan kalap, ditekannya klakson gila-gilaan, padahal tidak ada satu objekpun yang menghalangi jalan mobilnya.

TTIIIIIIINNN TIIINNN

"Rio. Gue mohon Yo. Jangan konyol. Berhenti. Kita bisa mati kalau lo kayak gini."

Sadar ia tidak akan berhasil menghentikan Rio hanya dengan kata-kata, Alvin berusaha mengambil alih kemudi. Merebut stir dan sebisa mungkin membelokkan mobil ketepian jalan. Tapi Rio mempertahannya.
Dalam kecepatan yang tidak berkurang, kedua pemuda dalam avanza biru tua itu masih terus bergelut memperebutkan kemudi. Beruntung jalanan lengang. Tapi maut tepat saja waspada, mengintip mereka dengan senyum misterius yang menakutkan. Tidak sabar ingin segera mendekap salah satu atau mungkin keduanya, dua pemuda yang tanpa sadar menantang maut. Elegi perpisahan dengan dunia, lamat-lamat disenandungkan. Dan Sang Maut bersorak sorai ketika akhirnya mendapatkan celah untuk melahap nyawa dua remaja intaiannya.
Sebuah truk dengan kecepatan penuh, meluncur dari jalan menikung dari arah yang berlawan. Penerangan yang minim, membuat sopir truk maupun Rio tidak menyadari ranjau yang telah dibentangkan maut.
Dan sepersekian detik kemudian, seleret nyala lampu, menyilaukan mata. Semuanya terjadi begitu saja.

"RIO AWAAASS..."

Tiiiiinnn

"Aaaaarghh."

Ciiiittt. BRAAKK.

Rem diinjak sekuat tenaga oleh kedua pengemudi. Tapi usaha terakhir itu dilakukan terlambat. Sangat terlambat.

***