Pernahkah kamu menghujat Tuhan, atas takdir yang Ia tuliskan untukmu?
Pernahkan kamu jatuh, dihempas begitu jauh dari mimpi-mimpimu??
Pernah? Pernahkah kamu menasbihkam sesal, saat yang kamu miliki semuanya hilang?
Pernahkah senyummu menguap saat deraan sakit harus kamu terima??
Jika pernah, coba ceritakan padaku, bagaimana caranya bertahan?
Jika pernah, coba jelaskan padaku dengan apa harus ku bendung air mata?
Coba, coba beritahu aku, caranya ikhlas??
***
ini hanya sebuah kisah sederhana, sangat sederhana. Didalamnya tak akan kamu temui bagian-bagian romantis bak Rama dan Shinta, bagian-bagian menegangkan bak petualangan harry potter ataupun cerita-cerita picisan khas sinetron dimana yang baik selalu bahagia pada akhirnya.
Ini hanya sepenggal kisahku. Aku dan perjuanganku.
Ini hanya uraian singkat tentang hidup, tentang dunia, dimana bukan hanya ada yang baik dan yang buruk, bukan hanya ada cinta dan benci, bukan hanya ada hitam dan putih, akan selalu ada sisi abu-abu yang tak terjamah artinya. Akan selalu ada yang semu, akan selalu ada mimpi-mimpi kecil yang dilambungkan, meski semua itu tak pernah pasti.
Bila ada yang bertanya tentang hidupku??
Ya. Karena aku bukanlah gadis yang pandai merangkai kata, maka aku hanya akan menjawab dengan satu kata. SEMPURNA. My life is perfect.
Bohong??
Tentu saja tidak, perlukah aku jabarkan bait demi bait takdir indah yang dibubuhkan Tuhan dalan hidupku??
Percayalah, kesempurnaan itu nyata dan bisa direngkuh.
Baiklah. Aku adalah putri dari keluarga Nugraha.
Ayahku Arif Nugraha, seorang pilot dari salah satu maskapai kebanggaan Indonesia. Beliau sosok pemimpin yang sangat religius dan bertanggung jawab. Sorot matanya yang penuh kasih sayang dan kharismatik, selalu membuatku tenang bila menatapnya.
Sedangkan bundaku, Ami Nugraha, wanita cantik dengan lekuk tubuh indah, sebelum biduk rumah tangga didayuhnya, bundaku dulunya seorang pramugari. Tapi profesi itu dilepasnya sejak 20 tahun lalu, demi keluarga. Ya, figur ayah dan bunda yang patut di banggakan tentunya.
Selain orang tua terbaik sedunia, aku juga mempunyai seorang kakak, Riko anggara atau kak riko begitu aku kerap menyapanya .Abang gantengku ini, satu semester lagi akan meraih gelar dokternya dalam usia yang sangaaaatt muda, belum genap 20 tahun. Hebat kan??
Kak Riko adalah benteng dari setiap sisi rapuhku, ia akan selalu jadi pembendung tangis manjaku. Selain pintar kak Rikojuga tegas dan berwibawa seperti ayah.
Satu lagi anggota keluarga yang belum aku kenalkan, acha atau Raissa Arif, adik bungsuku. Kalian tau, kadang aku sangat iri pada Acha. Acha ini benar-benar simbol wanita Indonesia, kulitnya yang kuning langsat, parasnya yang ayu, mata yang bulat dengan pancaran sendu, rambut hitam bergelombang serta tuturnya yang leemmbuut, benar-benar khas gadis Indonesia.
Tapi jangan sekali-kali meminta aku untuk mengabsen satu persatu prestasinya, karena bisa di pastikan 24 jam tidak akan cukup untuk itu. Diusianya yang menginjak 14 tahun, Acha sudah menuai banyak prestasi baik di bidang akademik, ataupun non-akademik, dunia tarik suara dan modeling tengah di gelutinya saat ini.
Mmh, sedangkan aku. Ya, aku kini tercatat sebagai siswa kelas XII di salah satu SMA swasta di jogja. Karena belum regen, jadi bisa di bilang aku masih menjabat sebagai sekertaris OSIS sekaligus ketua tim cheers disekolahku. Disekolah aku termasuk siswa yang aktif, dan mmmh. . .cukup pintar, mungkin. Aku pernah mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang dan memegang predikat sebagai juara 1 abadi, hhahaha.
Kadang aku senderi geli mendengar julukan yang diberikan teman-temanku itu, ya. . .mungkin karena juara kelas dan juara umum tak pernah melenggang jauh dariku. Bahkan pacarku saja harus puas selalu jadi yang kedua setelahku.
Mario Stevano Aditya Haling, putra tunggal dari keluarga Haling yang namanya sudah tidak asing di dunia bisnis Internasional. Sang ketua OSIS, sekaligus ketua ekskul musik. Ekskul paling produktif mempersembahkam piala penghargaan untuk Sekolahku.
Selain itu, Rio -panggilan akrab Mario- juga aktif di basket, meski bukan sebagai ketua. Jika ada yang bilang aku beruntung menjadi kekasih Rio? Aku akan sangat mengamininya.
Aku sangat menyayanginya cenderung sangat kagum malah, karena bukan hanya sosoknya yang sempurna, Rio juga sangat dewasa dan penyabar, jadi bisa lebih mengimbangi aku yang manja dan childish, ini.
Disaat semua gadis seusiaku masih melafaz doa penuh harap. Merapal satu persatu keinginan mereka, aku telah lebih dulu memiliki segalanya. Dan hanya satu doa yang terjalin dalam setiap sujud dan sholat-sholat malamku.
Tuhan. . . .jadikan aku hambamu yang paling pandai bersyukur.
***
Rinai air langit mulai jatuh perlahan, saat menyentuh permukaan tanah bunyi 'tes' kecil lamat-lamat berdenting lembut. Satu, dua, tiga. . . .tetes-tetes itu mulai luruh tergenang di permukaan kulit, tapi belum menuai respon karena yang datang baru beberapa bulir.
Duk-duk-duk
meski tawa kecil, helaan nafas maupun denting gerimis kerap terdengar, tapi bunyi pantulan bola basket itu masih mendominasi ruang dengarku.
SLUPP
ring di atas sana bergoyang dikoyak bola yang bersarang ke dalamnya.
"yee, masuuk" sorak ku bangga, mengamati hasil lemparanku.
"huuu, tetep aja skornya banyakan aku." balas pemuda yang tengah menyeka keringat, didepanku, "pulang yuk, mau ujan, udah sore juga." ajaknya. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia sudah berlalu.
"Rio tunggu."
aku berlari kecil untuk mengimbangi langkah-langkah panjang pemuda itu, Rio. Aku melirik jam yang melingkar manis ditangan kiriku. Jam 17.30, pantas saja langit sudah gelap, ditambah mendung yang nampaknya sangat betah sejak pagi tadi bergelayut dilangit. Tidak terasa sudah 2 jam aku bermain basket dengan Rio, selepas rapat OSIS tadi siang.
"hhuuh capek." keluhku sambil mendorong punggungku agar besandar rileks ditempat duduk mobil avanza hitam, milik Rio ini. Kedua tanganku sibuk bergerak menyerupai kipas, didepan wajahku.
"mukamu kenapa sih, kok ruam-ruam merah gitu?" tanya Rio, beberapa saat setelah mobil bergerak meninggalkan komplek sekolah kami, SMA Budi Dharma.
"mmh, gak tau nih. Alergi kali ya, soalnya kemarin aku nyobain browniesnya bunda." jawabku seraya mengelus seluruh bagian wajahku.
"ohh. Lagian udah tau alergi coklat pake nyobain brownies"
"hhehe, soalnya, keliatan enak banget sih, Yo." aku terkekeh.
"ekh, gimana story tellingnya? Sukses? Maaf ya aku gak bisa nemenin."
"sukses dong, juara 1 malah. Penyerahan pialanya mungkin pas upacara bendera." jawabku bangga.
2 hari yang lalu aku memang mewakili sekolahku mengiluti lomba story telling tingkat provinsi. Dan alhamdulillah menang.
"cie, cie, aku ditraktir dong nih." goda Rio, seraya mengacak-ngacak poniku dengan lengan kirinya.
"huu, maunya." aku mencubit pelan lengan Rio.
Setelah itu, hening. Hanya terdengar alunan lagu bergenre jazz yang dibawakan tompi yang mengalun dari kaset yang ku stel, selebihnya paling hanya terdengar bunyi klakson yang bersautan dan gerutu kesal dari Rio, karena jalanan yang mulai macet, maklum jam pulang kerja sepertinya. Aku menatap lurus ke depan, meski tersamar bulir hujan yang menempel pada kaca, aku tetap bisa menikmata warna-warni lampu jalan yang mulai dinyalakan guna mengimbangi langit yang mulai gelap, dirundung malam.
***
Rumahku. Bangunan bernuansa abu-putih itu mulai terlihat dari ujung jalan.
Ayunan yang dipasang dibawah pohon mangga serta 2 buah lampu taman, bulat, juga sudah nampak.
Heii. . .aku bisa melihat diriku dan acha kecil tengah bermain boneka diayunan sana. Hhahaha, ya, bayangan manis itu selalu muncul dibenakku setiap melihat ayunan itu. Tempat favoritku dan Acha dari kecil, hingga sekarang pastinya.
"masuk dulu aja yo, Yo. Hujannya deras banget." ujarku setengah memohon.
Rio mengangguk setuju, mobilnya mulai terparkir di selasar rumahku yang cukup luas, setelah melewati sepetak kebun tanaman hias bunda, serta satu kolam ikan.
"assalamualaikum. . . .aku pulaang." sapaku pada penghuni rumah.
"waalaikumsalam" balas ayah yang nampak sedang asik dengan buku tebal di pangkuannya.
"ekh, udah pulang sayang. Ada rio juga ya, apa kabar Yo?" ujar bundaku yang baru muncul membawa secangkir minuman untuk ayah, sepertinya.
"iya, malem om, tante. Rio baik kok." balas Rio santun, lalu menyalami kedua orang tuaku. Aku tersenyum, bangga tentunya melihat sikap santun Rio.
"duduk dulu deh, Yo. Aku ganti baju dulu." aku segera berlari meniti anak-anak tangga menuju kamar.
"papa sama mamamu apa kabar Yo?" tanya ayah setelah melepas kacamata bacanya.
"baik om. Om sama tante sendiri apa kabar? Udah lama Rio gak maen kesini."
"kita baik kok Yo. Sibuk ya sama sekolah?" sekarang giliran bunda yang bertanya.
"iya tan, ya masih sibuk di OSIS sama pendalaman materi, aja."
"mau nerusin ke universitas mana, Yo?" tanya ayah, lagi.
"mmh, papa sih maunya, Rio ngambil kuliah hukum di London. Tapi kayaknya Rio pilih dalam negri aja om. UI mungkin."
"lho kenapa? Diluarkan kualitasnya lebih terjamin, lagi pula orang tuamu kan mampu, itu kesempatan lho." nasehat ayah.
"akunya kan gak mau ditinggal jauh-jauh sama Rio, yah. Itu aja Rio udah mau nerusin di Jakarta, kan jauh dari Jogja." keluhku manja, seraya mengambil posisi duduk, disamping Rio. Aku sudah mengganti baju olahragaku dengan kaos dan celana jeans selutut.
"kalian boleh pacaran, tapi jangan menghambat cita-cita masing-masing juga, gak baik." tegur ayah, halus.
"kak Riooooo" teriak Acha, lalu duduk menyempil diantara aku dan Rio. Aku dan Rio hanya kompak menutup telinga kami.
"kak, kakak katanya mau ngajarin Acha motret, kapan nih? Acha udah beli kamera baru lho." pamernya.
"kak Rionya kan sibuk Cha." kata bundaku, lembut.
"akh, biarin aja, kak Rio kan udah janji." rengek Acha.
"ya udah, week end ya Cha, nanti kita hunting foto bareng, oke." Rio mengacungkan ibu jarinya.
"yee, oke sip, sip. Kak Rio emang kakakku yang paling ganteng dan baik." puji Acha.
"trus mas mu ini, gimana Cha?" celetuk kak Riko yang baru turun dari kamarnya.
"ikh, kak Riko mah apaan? Gak ada apa-apanya dibanding kak Rio, wlek." Acha menjulurkan lidahnya.
"huu, jelek, wlek"
"kakak tu jelek."
"yee, Acha yang jelek."
"Riko, apaan sih, gak mau ngalah deh sama adiknya." tegur bunda.
"tau tu." Acha menggelembungkan pipinya, membuat wajahnya yang di bingkai rambut panjang itu terlihat semakin bulat. Rio reflek mengulurkan kedua tangannya, mencubit kedua pipi Acha, hingga si empunya pipi meringis.
"ikh. Kak Rio apaan deh. Maen cubit aja, sakit tau. Pipi kanan coklat, pipi kiri es krim." todong Acha.
"iya, iya, adik kecil, gampang deh." kata Rio, Acha balas tersenyum senang.
Rio. Lagi-lagi bibir ini dibuatnya tersenyum, melihat pancaran kasih sayang darinya, yang tidak hanya tersaji untukku tapi juga untuk adik tercintaku.
"nyonya, tuan, makan malam sudah siap." Bi Sumi pembantu rumah kami berujar dengan hormat.
"oh, makasih bi. Ya udah pada makan dulu yuk. Ayo Rio." tawar ibuku, kamipun menurut.
Segera beringsut dari posisi duduk, lalu berarak beriringan menuju ruamg makan.
Seperti biasa, sebelum menyantap makanan di depan kami, kami berdoa terlebih dulu, mengurai syukur atas segala nikmat yang Tuhan limpahkan.
Mmh. . .sudah kah aku bercerita tentang keyakinan? Ya.. Aku dan Rio memang berdiri di bawah pilar agama yang berbeda, tapi kami tetap saling menghargai. Ayahku yang sangat agamis pun tidak mempermasalahkannya, ya karena melihat figur Rio yang memang sangat baik, juga basic keluarganya yang 'welcome' terhadap siapa pun, jadi ayah tidak membesar-besarkan perkara ini.
Toh, walaupun aku dan Rio menjalani hubungan ini dengan serius belum tentu juga kami berjodoh kan? Jadi ya jalani saja dulu, dan aku ataupun Rio sama-sama yakin, bila tuhan menumbuhkan rasa diantara kami, berarti Ia mempunyai sebuah rencana yang indah, nantinya.
"bunda, kenapa ya mukaku merah-merah gini." suara terdengar disela pertempuran sendok dan garpu diatas piring.
"alergi mungkin. Kamu sih kemarin makan brownies." jawab bunda, yang ternyata sama dengan pikiranku.
"gatel gak tu??" tanya kak Riko yang ikut memandangiku.
"itu dia kak, anehnya gak gatel sama sekali." jawabku.
"ke dokter aja." saran kak Riko, yang sudah kembali menekuni makanannya.
"iya deh, ntar dua-tiga hari kalo gak baikan aku ke dokter."
"sudah, sudah, dimeja makan kok ngobrol." tegur ayahku, dengan suara berat berwibawa.
Aku pun kembali memandangi piringku, menikmati masakan Bi Sumi yang biasanya sangaaatt enak, tapi malam ini entah mengapa terasa hambar dan pahit dilidahku.
***
"cha, kakak pinjem gunt...." aku memotong ucapanku sendiri,saat melihat Acha menangis terisak diujung tempat tidurnya.
"lho, cha. Acha kenapa?" tanyaku khawatir, aku urungkan niatku meminjam gunting. Aku menghampiri adikku ini dan membelai rambutnya. Acha langsung menubruk tubuhku, aku hampir terjengkang menerima pelukan Acha yang tiba-tiba.
"Acha, kenapa? Kok nangis?" tanyaku lembut.
"ozy kak, hiks, hiks, Ozy... Ozy.." Acha mulai meracau menyebut nama kekasihnya itu.
"iya, Ozy kenapa?"
"hiks, Ozy mutusin Acha kak, hiks, kakaaak, Acha mesti gimana?" isak Acha semakin menjadi, aku malah bingung sendiri mesti bagaimana.
"udah dong Cha. Achanya diem dulu, jangan nangis terus, ceritain sama kakak, kenapa Ozy mutusin Acha?"
Acha mulai melepas pelukannya, aku kini bisa memandang matanya yang sembab, penuh air mata.
"Ozy bilang Acha terlalu sibuk. Acha gak ada waktu buat Ozy, Ozy pengen Acha lebih fokus sama sekolah Acha, soalnya kita kan udah kelas IX." tutur Acha, masih dengan sisa-sisa isakan.
"mmh. . .bukan maksud kakak memihak ya Cha, tapi kakak rasa Ozy ada benernya, kamu harus mulai kurangin kegiatan kamu, Cha."
"kakak kan tau, kalo dirumah terus, Acha tu bosen kak, belajar terus juga gak akan masuk, malah bikin stres tau. Lagian selama ini nilai Acha juga gak pernah turun kan?
Acha juga udah mulai ngomongin rencana Acha yang bakal nerusin sekolah SMA di Paris dan. . . .dan Ozy gak setuju kak.
Ozy bilang longdistance itu sulit. Semuanya gak bakal berjalan sempurna. Jarak dan waktu bisa merubah segalanya. Setelah 2 minggu kita sama-sama diem, hari ini Ozy malah mutusin Acha, kak."
"terus sekarang maunya Acha gimana?"
"ikh, kakak, gimana sih? Ya. Acha maunya Ozy tetep jadi cowoknya Acha lah, Acha pengen Ozy bisa lebih ngertiin Acha. Jangan kayak anak kecil gini." Acha memanyunkan bibirnya sambil meremas-remas bantal strawberry kesayangannya.
"yang kayak anak kecil itu ya kamu dek." ucapku dalam hati, ya hanya dalam hati, tak tega tentunya kalau harus berkata langsung, seperti itu pada Acha.
"ya udah Acha omongin aja lagi sama Ozy baik-baik, kalian harus sama-sama mau ngalah. Gak usah pake nangis-nangisan kayak gini, malu kan kalau bunda sama ayah tau." ujarku, menasehati.
"tapi kak. . .."
"gak ada tapi-tapian sayang, semuanya pasti ada jalan keluarnya. Asal Acha harus rajin juga berdoa sama Allah." aku mulai menyusut beberapa bulir air mata yang masih tersisa di pipi Acha, lalu tersenyum menenangkan, sesudahnya.
"amiinn" balas Acha, "kakak enak banget ya punya kak Rio. Acha juga mau Ozy berubah kayak kak Rio. Udah pinter, perhatian, dewasa, keren, cakep, baik pula. Suka beliin Acha coklat, es krim, boneka, T.O.P be.ge.te banget deh." Acha mulai mengabsen satu persatu opininya tentang Rio.
"huu itu sih, memang mau mu." ledekku, seraya mencubit pipi gembil Acha, "semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing Cha."
"tapi kak Rio itu sempurna lho kak."
"iya, iya, percaya deh, sama adek, kakak yang cantik ini. Ya udah ya Cha, kakak ke kamar ya" pamitku, lalu berjalan kearah pintu.
"good night, mbak ku."
"night too."
Sebelum pintu ku tutup, aku kembali menatap dua bola mata indah milik Acha. Sorot polos dan ceria berbinar nyata dari sana, meski beberapa detik lalu air mata sempat menutupinya.
Klik
pintu tertutup, disusul bunyi tap-tap-tap dari langkah kakiku yang bergerak menjauh.
***
Terobosan sinar mentari itu tepat berlandas diatas punggungku. Menawarkan efek hangat yang khas.
Tapi sentuhan sinar pagi itu sama sekali tak mengurangi sakit diperutku, sama sekali tidak.
Bel bergema tiga kali, disetiap sudut kelas. Tanpa melihat jam persegi yang dipasang diatas papan tulis sana,aku sudah bisa menebak pukul berapa Saat ini. Pasti pukul 7 tepat.
Dan aku masih meringkuk disini, tak berniat sedikit pun untuk beranjak, ikut berbaris melaksanakan upacara bendera senin pagi bersama teman-temanku yang lain. Perutku sepertinya sedang sangat ingin diperhatikan, sakit ini curang menyerangku sejak aku terlelap semalam.
"sebaiknya kamu ke UKS." suara itu terdengar kembali, dengan kalimat yang sama, yang telah diulangnya empat kali sepanjang pagi ini. Rio. Dengan setia ia masih berjongkok disisi kursiku sejak setengah jam lalu. Tangan kokohnya masih menggenggam erat tangan kiriku. Aku tau ia sangat khawatir kepadaku dan aku sangat benci menyusahkan orang, seperti ini.
"lho, kalian kok masih disini?" suara lembut itu, membuatku mengangkat wajah yang sedari tadi, ku tenggelamkan dibalik tangan kananku yang bertumpu di atas meja.
Oh. Ternyata Dea, sahabatku.
Dea Amanda, sobat kentalku. Aku mengenalnya sejak pertama aku mengenakan seragam putih-biruku, dan sekarang persahabatan kami sudah menginjak tahun ke-6. Dea adalah sahabat terbaikku, dia sudah ku anggap saudaraku sendiri. Aku sangat menyayanginya, begitu pun sebaliknya.
Aku yakin Dea juga sangat menyayangiku.
"ya ampun, kamu kenapa? Wajahmu kok pucat?" tanyanya dengan nada khawatir.
"perutku sakit. Mungkin mau 'dapet' aja, De." lirihku, disela-sela ringisan rasa sakit yang terus menderaku.
"kalau gitu, kita ke UKS saja, biar ku antar." tawarnya.
Aku menggeleng.
"malas De. Hari senin begini, UKS pasti sangat ramai. Aku mau ikut upacara saja." tolakku.
"huh, keras kepala." lirih Rio, sangaaatt pelaaan. Tapi tetap saja, karena berdiri disisiku aku pasti bisa mendengarnya.
Ya. Hari senin seperti ini, sakit memang akan selalu jadi alasan paling ampuh untuk mengindari upacara bendera, ujung-ujungnya UKS pastilah akan sangat penuh.
Huh. Parah sekali ya, generasi zaman sekarang. Hanya disuruh berdiri khidmat paling lama setengah jam saja, sudah macam-macam alasannya. Dari mulai pusing, mual, sakit perut, padahal dulu untuk mengibarkan sangsaka merah putih, para pejuang harus rela terluka bahkan mati.
"ayo kalau begitu, upacara sepertinya sudah akan di mulai." ujar Dea, mengingatkan.
Rio mulai membantuku bangkit dari kursi, menggandengku menuju lapangan.
"harusnya kamu di UKS." ujarnya dingin, dengan tatapan lurus kedepan tampa menoleh sedetik pun kearahku.
Aku memilih diam, tidak menanggapi ucapan Rio barusan.
Setelah tiba dilapangan, kami segera membaur dengan barisan paling kanan, kelas XII IPA 1, kelas kami. Rio berdiri disamping kananku, dan aku tau maksudnya. Menghalangi matahari yang akan segera bersinar terik ketitik tempat aku berbaris.
Pernahkah kau diperlakukan se-istimewa itu??
Hm. Menyenangkan bukan??
Dan benar saja, belum genap 15 menit upacara berlangsung, peluh sudah membanjiri tubuh sebagian siswa, begitu juga Rio.
Dari samping aku bisa melihat keringat meluncur dari dahinya, tetesan itu berkilau diterpa sinar matahari. Reflek tanganku terangkat, menyeka keringat itu, agar tidak mengotori wajah tampan kekasihku ini.
Sesudahnya aku kembali memusatkan pandanganku ke arah sang dwi warna yang bergerak naik, merayap hampir mencapai ujung tiang. Tapi tiba-tiba saja kepalaku berkunang, lantunan lagu Indonesia Raya yang disorakkan lantang oleh paduan suara, hanya sampai samar-samar ditelingaku, beberapa detik kemudian aku merasa limbung, lalu ada tangan yang menopang tubuhku yang lemas seperti dilolosi tulang-belulang.
Semua gelap, gelap dan semakin gelap.
***
Mataku mengerjap beberapa kali, nampaknya belum terbiasa menerima pantulan cahaya putih dari lampu ber-watt cukup besar diatas sana.
Bau obat-obatan yang khas langsung menyapa indera penciumanku.
Ruangan ini asing untukku, muansa putih bersih yang mendominasinya malah membuatku sedikit bergidik ngeri, mengingat dalam agamaku orang yang sudah mati dibungkus kain putih, seperti tirai-tirai yang berkelebat menggantung di jendela ruangan ini.
"aku dimana?" liriiku.
"Rumah Sakit." jawab suara baritone milik pemuda disampingku, Rio tentu saja.
"kamu sudah sadar? Syukurlah." ujar suara lain, jika tidak salah itu suara Dea.
"aku sudah menghubungi bundamu, mungkin sebentar lagi, beliau akan datang." ujar Rio lembut, aku mengangguk.
Hm. Aku tak tau didorong oleh apa, tapi aku lebih tertarik mengamati bola mata indah itu dari pada mendengar Rio, bola mata milik Dea. Mata itu, kenapa ya, tidak pernah lepas melirik Rio, dan meski tidak terlalu nyata aku bisa menangkap senyum tipis, sangat tipis dibibirnya.
"kamu mau duduk, De?" tawar Rio, ia lalu bangkit mengizinkan Dea yang sejak tadi berdiri untuk gantian duduk dikursi yang tadi ditempatinya.
Dan heii, semburat apa itu dipipi Dea, merah muda kah? Ada apa sih dengan sahabatku ini?
Akh, biarlah. Mungkin aku saja yang berlebihan, terlalu peka. Tidak mungkin juga kan Dea menyukai Rio.
"sayaaaangg" suara halus itu membuatku berhenti ber-negative thinking.
Bundaku sudah datang, dengan wajah cemas tentunya. Ia segera menghampiriku, lalu mengecup keningku.
"kamu kenapa to, nduk??"
"aku tu gak pa-pa bunda. Rio aja nih berlebihan, pake bawa aku kerumah sakit."
"tadi UKS penuh, aku juga takut kamu kenapa-kemapa jadi mending langsung tak' bawa ke rumah sakit kan?" ujar Rio, membeli diri sepertinya.
"iya, kamu ini gimana sih, cowokmu ini tu perhatian, Lha kok malah dibilang berlebihan" timpal Dea, seraya mencubit pipiku.
"kita balik kesekolah aja kali ya De. Masih jam 9. Lagian disini udah ada tante." usul Rio, setelah melirik jam hitam yang melingkar ditangannya.
"iya, kalian kesekolah aja. Aku udah ada bunda kok yang jagain." tambahku.
"mmh. Ya udah deh. Kita pamit ya tan, aku balik ya. . .." pamit Dea, seraya mencium tangan dan pipi bundaku. Disusul rio yang juga mencium tangan bunda.
Keduanya lalu berjalan beriringan dan menghilang dibalik pintu.
***
Huh. Apa-apaan mereka?
Bukankah seharusnya mereka menjagaku yang katanya sedang sakit ini??
Aku menggerutu dalam hati. Tentu saja kesal, kamar rawatku ini memang VVIP, jadi terdapat fasilitas plus seperti televisi didalamnya.
Dan parahnya, sekarang ayah, kak Riko, Acha bahkan bunda, malah sibuk menyaksikan pertandingan final leg kedua antara Indonesia VS Malaysia di TV. Pakai acara gelar tikar, lengkap dengan kacang dam kwaci.
Huuh, mereka kira ini tempat piknik keluarga
Aku berusaha memejamkan mataku, tapi teriakan greget kak Riko serta sorak sorai Acha selalu membuyarkan konsentrasiku untuk tertidur. Akhirnya ku putuskan untuk meraih bolpoint dan buku kecil yang tergeletak pasrah dimeja samping tempat tidurku.
Beberapa kata mulai bergulir, tertoreh diatas kertas itu. Ya. Akhir-akhir ini, aku memang suka menulis, walaupin tidak begitu pandai. masih Belajar.
Saat Allah menurukan sakit,
agar yang sehat bersyukur,
lalu haruskah kau rutuki sakit itu?
Saat Allah menciptakan yang miskin,
agar yang kaya mau berbagi,
haruskan kau mengeluhkan kemiskinan itu?
Saat... --
tok-tok-tok
suara ketukan pintu diluar sana, terdengar nyaring disela malam yang mulai sepi. Aku menghentikan goresan bolpoint ku. Aku melihat bunda berjalan guna membukakan pintu dan dari luar menyeruak seorang pria berjas putih rapi, nampak sangat berwibawa. Pria itu membawa sebuah amplop coklat di tangannya, pasti seorang dokter.
Dan amplop itu pasti berisi hasil tes lab ku siang tadi. Kira-kira apa ya hasilnya???
***
0 komentar:
Posting Komentar