Entah kenapa..
aku rasa gamang itu tak kian usai.
Samarnya semakin mengaburkan.
Padahal yang membasuhnya sudah sejernih shubuh.
Tapi tak putus asa.
Bodoh !! Kalau pernah berfikir untuk berhenti dititik ini.
***
Tuhan...
Jika seorang hamba diperkenankan menghujat Engkau, sudah pantaskah aku menghujat-Mu ??
Ya, Allah..
Sudah sampaikah aku pada titik yang layak untuk menghardikmu-Mu ??
Aku lelah.
Percayalah.
Semua begitu sulit untukku.
***
Sadar ataupun tidak, entah logika atau emosi, yang pasti kedua kakiku telah membawa raguku menyusuri jalan-jalan ini. Lantas berpijak pada satu-persatu undakan dari kayu itu, lalu berlabuh pada anak tangga terakhir, berhenti tepat di depan sebuah pintu yang sedikit usang. Nafasku memburu, seperti ada aksi penolakan dari tubuhku, untuk melaksanakan apa yang berkelebatan dalam benakku. Ujung tangga, ujung hidupku ?? Adakah kaitannya ? Atau aku saja yang terlalu mendramatisir keadaan ?
Aku menyeka air mataku, rasanya perih sekali saat kulit wajahku yang pecah-pecah dibasahi air mata.
Pintu itu mengejekku. Anak-anak tangga itu menggunjingkanku. Angin berdesing mencibirku.
Haah. Benar kan ? aku berlebihan, aku memang sudah mulai gila akhir-akhir ini. Mungkin.
Aku melangkah pasti. Tak ku izinkan gentar mengusikku. Toh setiap hal pasti berujung, pasti berakhir, dan aku sudah memilih akhir ini. Akhir untukku sendiri.
Aku memutar kenop pintu berwarna keperakan, yang terasa dingin dalam genggaman tanganku.
Ceklik.
Sejurus kemudian daun pintu berdecit terbuka. Mengayun. Membentangkan kenyataan bahwa aku harup sudah siap. Siap dengan jalan yang telah ku cetuskan sendiri.
Cakrawala pagi dengan sepoi lembut sang angin menyapa sendiriku. Jilbab yang ku kenakan mulai bergerak liar dimainkan angin yang terasa lebih kencang dari atas sini. Empat tingkat dibawahku kehidupan masih berjalan seperti biasa. Deretan kendaraan yang terparkir rapi, lalu titik-titik manusia yang bergerak acak menyerupai elektron dalam sebuah atom.
Apa mereka tidak melihat aku, disni ?
Ah, tapi kalaupun mereka melihat,
mereka tidak akan merasa perlu untuk repot-repot mencegahku untuk mengeksekusi pemikiranku.
Toh, aku memang tidak lagi penting untuk mereka. Siapa sih Ify ? Hanya seorang gadis dengan lupus di tubuhnya.
Aku menutup mata, ku rentangkan kedua tanganku, menikmati penggalan-penggalan deru nafas yang sebentar lagi mungkin tak akan jadi milikku. Aku mulai melangkah, meski kedua lututku bergetar hebat. Ku selusuri tepian atap gedung ini. Matahari, awan, pohon palem, semua mengabur, mataku panas.
"Aku harap tidak akan ada lagi orang lain yang bernasib sepertiku Tuhan. Bunda, Mas Riko, Acha, maafin Ify."
"dan kamu Rio, kamu jahat, Yo.." lirihku pada angin, berharap ia menyampaikannya pada pemuda jangkung itu.
"Maaf, Fy.."
Aku terpaku, suara itu ?
Saat aku menoleh, ku dapati Rio berjalan kearahku.
"Cukup. Diam disitu. Atau aku akan lompat sekarang juga." ancamku.
"Fy, jangan main-main. Itu berbahaya, aku mohon menjauhlah dari situ." pinta Dea, gadis itu mengulurkan tangannya, sorot matanya tidak bisa berbohong, ia sangat khawatir terhadapku.
Ya, tentu saja khawatir. Dea kan sahabatku. Dia sangat menyayangiku. Ah, tapi tidak juga. Dia jahat. Ya, dia jahat. Aku tidak boleh luluh hanya karena air mata yang tak seberapa itu.
"Tau apa kamu soal bahaya. Orang sepertimu justru lebih berbahaya." cercaku, "Sudah, kalian pergi saja. Jangan pedulikan aku." usirku.
"Fy, maafkan aku kalau perkataanku tadi menyinggungmu, tapi sungguh aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak akan pergi kemanapun. Aku tidak pernah mempermasalahkan emm, fisik. Maksudku, aku...aku menyayangi sosok Ify bukan sekedar wajah, rambut atau kulitmu. Percayalah." tutur Rio lembut.
Aku tertawa sinis, "Kamu kira aku buta ? Kalau kamu menyayangiku, lantas apa yang kalian lakukan tadi. Kamu hanya kasihan kepadaku, iya kan ? Pergilah, sebelum aku mendorongmu dari tempat ini." gertakku.
"apa itu bisa membuatmu puas nona Alyssa. Kalau iya, ayo kau dorong saja kami sekarang juga." tantang Dea, "kau ini kekanak-kanakan sekali Fy, kamu harusnya mendengarkan penjelasan kami, apa yang kamu lihat tidak selalu sama dengan apa yang terjadi sebenarnya." lanjut Dea.
Aku bungkam.
"Jika Tuhan menurunkan raga yang sakit, agar yang sehat pandai bersyukur berarti sakitnya adalah anugrah. Jika Tuhan menyisipkan kesedihan dalam rangkaian kebahagian, itu agar kita bisa memahami dua sisi yang berbeda dari dunia. Tidak ada yang perlu disesali, apalagi berandai-andai agar hidup selalu indah, Tuhan itu Maha Tahu, mana yang paling baik untuk hamba-Nya." Rio mengucap ulang perkataanku beberapa bulan lalu. Saat kaki Rio cidera parah dan ia tidak bisa mengikuti pertandingan basket yang sudah ia nanti-nantikan cukup lama. Pada waktu itu Rio sama sekali tidak mau keluar kamar ataupun makan.
Hebat sekali pemuda ini. Ia masih menghafal dengan sempurna kalimat spontan dariku itu.
"Apa ucapan itu sekedar bualan mulutmu, supaya aku menganggapmu dewasa ??" tanya Rio, datar.
Aku tercekat, "Kau masih sempat menuduhku yang bukan-bukan ?" kataku, tak menyangka.
"kenapa memangnya ?? aku tidak akan melarangmu lompat, tidaka akan pernah. Terserah saja. Itu hakmu." ujar Rio dengan ekspesi tak peduli.
"Rio !!" sentak Dea, "Fy, jangan pedulikan Rio. Kemari Fy, aku mohon." lanjutnya, lagi-lagi dengan tatapan memohon kearahku.
"Biarkan saja De, untuk apa kamu repot-repot mencegahnya." suara baritone itu kembali membuatku menelan ludah tanpa bisa bicara sepatah katapun.
"tapi sebelumnya, ada yang perlu kamu ingat Alyssa. Dirumahmu, ada seorang ibu yang siang malam bercucuran air mata mendoakanmu. Ada seorang kakak yang selalu menyayangimu. Dan ada seorang adik yang selalu membanggakanmu. Kalau kamu memang cukup pandai, paling tidak tunda niatmu mengakhiri hidup sebelum kamu bisa membahagiakan mereka."
Nada dingin dan ekspresi datar itu bisa saja dibuat, tapi tatapan tulus dari dua bola mata coklat pekat itu, tidak. Juga tangan itu. Tangan yang masih terulur kearahku sejak tadi, padahal satuan menit telah lama terlewati.
Rio, bakat actingmu benar-benar nol besar.
"Kau bisa bicara seperti itu, karena kau sama sekali tidak merasakan apa yang ku rasakan." tukasku tak mau kalah.
"Baiklah. Aku memang tidak memang tidak merasakan apa yang kamu rasakan, begitu pula denganmu..." Rio berhenti sejenak untuk menghela nafas, "kamu tidak pernah merasakan bagaimana jadi aku. Kamu melarangku menemuimu, kamu sama sekali tidak memberitahu aku apa yang terjadi padamu, kamu sakit apa? tiga bulan kamu menghukumku tanpa satu hal pun sebagai alasan. Aku kaget dengan apa yang terjadi padamu, apa aku salah ??"
"aku tidak pernah bilang, kamu salah."
"tapi kamu menyalahkanku. Kamu bilang aku jahat tadi."
"tidak."
"Sudah. Cukup. Kalian apa-apaan sih ?" lerai Dea, melihat aku dan Rio yang sudah tersulut emosi.
"Apa kamu kira aku baik-baik saja ? Ayahmu pergi, aku tau kamu sedih, tapi kamu sama sekali tidak mengizinkan aku menemanimu. Sekarang kamu muncul dihadapanku, menangis, menyalahkanku, lalu kembali berniat meninggalkanku. Aku hampir gila Fy, tidakkah kamu mengerti ??"
"Rio tutup mulutmu." raung Dea.
Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Perbendaharaan kata yang aku miliki, yang sempat menjadi andalanku tiap bertemu tugas presentasi, tiba-tiba saja menguap.
Aku memilih untuk berbalik, memunggungi Dea dan Rio.
Beberapa memori kecil yang indah berpusar di otakku, seakan mengajakkan untuk sejenak bernostalgia sebelum semuanya hilang dibawa jiwa yang sepertinya akan segera terlepas dari sang raga.
Rio. Gitar. Api unggun. tatapan menyejukan. Bunga.
Kak Riko. Usapan lembut di puncak kepalaku. Perlindungan. Kumandang Al-Qur'an, dan satu janji, "Kalau aku sudah sukses jadi dokter, aku akan mendirikan sebuah panti asuhan dan kamu yang akan menjadi ketua yayasannya, Fy."
Acha. Senyum manis. Sepeda Ozy. Ayunan. Drama Asia.
Lalu Bunda...
"Ify takut Bunda." rajukku sambil memeluk bunda waktu itu.
"tidak perlu takut sayang. Menstruasi adalan tanda bahwa Ify sekarang sudah dewasa, sudah jadi gadisnya ayah dan bunda. Sudah harus melaksanakan kewajiban-kewajiban Ify sebagai seorang muslimah. Juga sudah harus bisa menjaga diri sendiri."
"tapi kan jijik, Bun. Ify tidak suka kalau setiap bulan harus seperti ini."
"Kenapa harus jijik. Itu kan kodrat seorang wanita, Allah mengaturnya agar kelak seorang ibu juga tidak jijik membersihkan kotoran anaknya."
Memori kecil itu tersimpan rapi diotakku semenjak 5 tahun lalu, tepat ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMP.
Rio benar. Bukankah beberapa hari ini aku yang begitu ngotot meminta bunda dan yang lain untuk segera bangkit, lalu kenapa aku harus menyerah ?
Bukankah aku sudah mempersiapkan diriku untuk hari ini jauh sebelumnya, lalu kenapa aku harus pasrah ?
Tidak. Aku tidak ingin mendapati diriku terseok kembali. Digeret kelemahan, lantas tenggelam selamanya, bersamanya. Aku kuat. Aku berani. Aku belum kalah. Tidak boleh, aku tidak boleh berhenti.
"ada saatnya untuk menyerah Fy, itu pasti. Tapi bukan sekarang. Bukan saat ini. Aku minta maaf kalau tanpa sadar aku...aku membuatmu merasa dibohongi. Tapi sungguh, sumpah demi apapun, yang kamu lihat tadi bukan apa-apa." tutur Dea, lembut.
"janganlah menangis, lepaskan semua beban dihatimu," aku mendengar lagu itu, lagu yang menurut Rio bisa menghilangkan rasa sedih, lagu yang diajarkan kakek Rio pada pemuda itu sewaktu ia masih sekolah dasar, aku mendengar lagi Rio menyanyikan lagu itu untukku, "ayo ikutlah denganku. Kita bernyanyi nanananananananana..."
Aku menoleh. Tangan itu, masih setia terulur untukku, sekarang malah dibonusi senyum manis Rio.
Sedetik kemudian, aku berlari menubruk tubuh tinggi Rio, memeluknya begitu erat. Meleburkan jarak yang tersisa, tak ku izinkan barang angin sekalipun menyusup membentuk sekat untuk kami.
3 bulan. Dan aku sungguh sangat merindukan pria ini. Merindukan aroma tubuhnya yang khas, merindukan dekapnya yang hangat.
"aku kangen kamu..." bisikku padanya.
Aku merasakan lengan kanan Rio mengelus kepalaku. Damai itu menyusup, bersatu dengan darahku, lantas menjalari setiap jengkal tubuhku.
"kamu tau, berat badanku menyusut sampai 5 kg karena terlalu sering memikirkan dan mengkhawatirkanmu." celetuk Rio.
Aku melepas pelukanku, lalu tersenyum simpul pada Rio. Lekat-lekat ku pandangi dua bola mata penyejuk itu.
"kenapa ? Ada yang aneh denganku ?" tanyanya seraya menaikan sebelah alisnya.
Aku menggeleng.
"aku ingin bertanya, boleh ?"
Rio menggangguk.
"kenapa dipunggungmu tidak ada sayapnya ?" ceplosku, yang disahuti gelak tawa kecil dari Rio.
Haah, Tuhan... Tolong ingatkan aku bahwa surga itu masih ada, sebelum aku menobatkan senyum pria ini adalah yang terindah dari yang paling indah yang pernah Kau ciptakan.
"kau fikir aku ini apa, Fy ? Burung ?" ujarnya sambil terkekeh. Aku menggelembungkan kedua pipiku.
"ekhm." Dea berdehem usil, "sampai kapan kalian akan disini ? Aku rasa kita sudah tertinggal satu jam pelajaran." katanya, lalu berjalan menuju pintu dengan santai, anak-anak rambutnya bergoyang diulik angin.
Rio menggandeng tanganku, "tunggu kami, De." serunya, lalu mengekori Dea.
Haah, rasanya aku ingin terus tersenyum hari ini, besok, besoknya lagi, besoknya lagi, besoknya lagi...
Aku yakin, aku akan terus bisa tersenyum, selama pria ini disampingku. Rasanya lega sekali. Berbeda dengan saat pertama aku menjalari tempat ini tadi, kini langkahku terasa lebih ringan. Bahkan aku merasa seperti tengah melayang disela gumulan awan.
Aku melirik punggung pria menjulang yang berdiri bersisian denganku. Tetap sama. Tidak ada sepasang sayap yang tersisip disana.
Berarti benar kata mbak dewi lestari, terkadang malaikat itu tak bersayap. Tapi percayalah mereka ada. Kadang malah menjelma menjadi sosok sempurna yang kasatmata. Menasbihkan diri dalam perwujudan manusia.
Walaupun dirimu tak bersayap
ku akan percaya
kau mampu terbang bawa diriku
tanpa takut dan ragu
walaupun kau bukan titisan dewa
ku tak kan kecewa
karena kau jadikanku sang dewi
ditaman surgawi.
***
6 Desember.
Dear diary..
ia sempat pergi. Aku sempat menangis.
Tapi tak ada ikrar yang menyatakan ia tidak akan datang lagi.
Kini lihat !!
Saat senja terpulas penuh oleh warna jingga, diufuk barat kepak sayapnya terlihat. Ia kembali.
Membawa bait-bait gita perjalanannya.
Diceritakan tentang wilayah barat yang mewah dengan gemerlap peradabannya, lalu utara dan selatan dengan hamparan salju yang lembut serta timur dengan keramahan bunga-bunganya.
Ah, aku ingin segera sembuh. Aku juga ingin mengunjungi tempat-tempat itu.
tuhan perkenanakanlah sayapku terkepak kembali. Aku ingin terbang lagi.
Tuhan, aku ingin sembuh.
***
Hanya orang sakit yang bisa menikmati indahnya sehat. Dan saat sakit telah menjadi sahabatku, maka sehat akan jadi harta tak ternilai untuhku.
Masih ingatkah kalian ? Diawal cerita ini, aku pernah bicara tentang sisi semu, tak pasti, abu-abu. Sisi itu telah kulewati sekarang. Gamang. Galau. Tak pasti. Semua itu telah ku lalui.
Aku telah memilih untuk bertahan, dan akan ku perjuangkan pilihanku.
Perlahan detik di gulirkan masa, merangkai menit yang kemudian terpaut menjadi jam. Hari berganti mengikuti bumi yang berotasi. Bulan dan tahun ikut berlalu, mengimbangi revolusi bumi terhadap matahari.
Waktu telah berlalu.
4 tahun telah lewat. Masa-masa sulit itu telah tertinggal. Sekarang inilah hidupku, inilah Ify yang baru, yang Insya Allah akan jauh lebih baik dari Ify yang dulu. Tidak mudah memang. Tidak segampang merontokan embun yang bergelantung pasrah pada ranting-ranting cemara. Tidak segamapang menawan melati dari pohonnya. Ada saat-saat dimana sisi abu-abu itu menang. Membuat ku limbung. Melahap habis cerca cahaya putih yang menerangi langkahku, dan menggantinya dengan dominasi hitam yang lebih nyata. Ada kalanya tubuh ini menolak diajak bertahan, nafas ini seakan ingin segera kabur dariku, mata ini memberontak tidak ingin terus terjaga. Ada saat dimana kematian begitu dekat denganku.
Tapi toh akhirnya aku berhasil.
Kawan, aku sembuh. Aku sehat. Lupus ini mau berteman denganku. Tuhan menuntaskan ujiannya dan mengembalikan semua yang pernah ku miliki. Kulit mulusku, rambut panjangku, paras-yang menurut orang-ayuku... Semuanya kembali.
Aku tidak lagi membenci 'Si Lupus' ini, karena sekarang ia telah menjadi kawan paling setia dalam hidupku.
4 tahun. Tentu banyak sekali hal yang sudah berubah. Aku bukan hanya telah menuntaskan Sekolah Menengah Atas-ku, tapi aku juga telah lulus dengan IPK 4 dari Universitas Gajah Mada. Sekarang aku tengah sibuk dengan profesiku sebagai psikolog dan ketua yayasan untuk sebuah panti yang didirikan kak Riko. Untuk mengisi sedikit waktu luang yang aku punya, aku juga masih sempat sesekali mengajar mengaji pada anak-anak disekitar tempat tinggalku.
6 bulan lalu, aku yang begitu semangat belajar menulis juga mendapat kesempatan untuk mem-publish ceritaku. Sebuah penerbit berminat mengangkat cerita yang awalnya ku tulis di blog pribadiku untuk dijadikan sebuah novel. Novel yang ku beri judul, "Kamu Sekuat Alyssa" menceritakan tentang aku dan lupus yang ku derita. Mungkin novel itu tidak akan menguras air mata layaknya "Surat Kecil Untuk Tuhan" karya Agnes Davonar, novel itu juga tidak akan se-booming "Fairish"nya Esti Kinasih yang sampai dicetak berulangkali. Tidak pula akan se-inspiratif "Perahu Kertasnya" mbak Dewi Lestari. Tapi aku tetap bangga dengan karya pertamuku itu. Aku berharap siapa pun yang kelak membacanya dapat memetik sepenggal hikmah yang ku selipkan didalamnya.
Aku sangat mencintai hidupku saat ini. Dan ini tidak akan ku dapatkan hanya dengan menangis dan meratap, tidak akan ku dapatkan kalau saja aku benar-benar mengakhiri hidupku waku itu.
Benar kata kak Shilla, kita tidak akan pernah tau baik atau burukkah rencana Tuhan kalau kita tidak berani untuk meniliknya dengan terus maju.
Dan bicara tentang kak Shilla, sekarang Mbak Ayu itu menjadi dosen di salah satu universitas negri di Solo. Sedangkan Mas gantengku tentu saja akan 'ngintil calon istrinya. Kak Riko sekarang sudah menjadi dokter disalah satu rumah sakit besar di kota Solo, ia sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup besar dan membuka praktek disana.
Saat dunia terus berputar, melahirkan berjuta atau bahkan milyaran perubahan, aku ingin memberikan acungan jempol setinggi-tingginya untuk pasangan ini. Entah doa apa yang mereka lantunkan, cara apa yang mereka tempuh dan terbuat dari apa hati mereka. Ozy dan Acha, pasangan ini meski terpisah benua dan terhalang bentangan laut tidak ada yang bisa merubah cinta yang merka punya. Aku rasa, tidak ada yang berubah dari keduanya. Acha, adik bungsuku itu baru saja menyelesaikan SMAnya di Perancis, tepatnya di Paris, ia juga sudah menjadi mahasiswi semester 2 di salah satu universitas, di kota yang menjadi kiblatnya mode itu. Sedangkan Ozy entah setia atau memang tidak laku...oh, bukan-bukan, pemuda setampan dan semanis Ozy tentu saja laku, pemuda itu masih saja sabar menunggu Acha yang tengah mengejar impian-impiannya. Ozy tetap di Yogya membantu ayahnya memasarkan patung-patung ukir, dan meneruskan pendidikannya di UGM, sesekali Ozy juga membantuku mengurusi panti. Aku tidak pernah melihat Ozy menggandeng gadis lain, begitu pula dengan Acha yang tidak pernah absen menanyakan Ozy setiap ia mengirim e-mail kepadaku. Aku rasa mereka berdua benar-benar layak dinobatkan jadi pengganti figur Romeo and Juliette.
Hah, kalau seperti ini rasanya kok bodoh sekali ya dulu aku sempat berniat terjun dari lantai 4 gedung sekolahku.
Aku tertawa kecil lalu menggelengkan kepalaku, "bodoh." gumamku.
"bodoh ? Siapa, aku ?" suara berat milik pengemudi sedan silver disampingku membuat aku menoleh sekilas.
Aku mengerutkan keningku, "tentu saja bukan, apa kau rela, aku bilang bodoh, Mario?" kataku.
"aku tidak keberatan dibilang bodoh oleh orang dengan IPK 4" balas pengemudi tadi, Rio, santai, dengan tetap fokus pada jalanan di depannya.
"kamu juga pasti bisa dapat IPK 4. Kedipkan saja matamu pada dosen-dosen wanitamu, pasti mereka langsung memberimu nilai A plus. Hhehe." aku terkekeh. Semakin lebar, saat tangan kiri Rio mengelus puncak kepalaku.
Aku alihkan tangan kiri Rio yang masih asik mengacak poni rambutku yang sudah terlalu panjang. Ku letakkan di pipi kananku, ku kunci kelima jemari itu disitu. Kurasakan pipiku memanas.Pasti memerah.
Tapi ku abaikan. Saat-saat berdua dengan Rio seperti ini sangat jarang bisa terjadi karena kesibukan masing-masing.
Rio, sekarang masih tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran. Paling sering Rio berkunjung ke Jogja dua bulan sekali, itupun paling hanya 2 sampai 3 hari. Di Jogja aku pun memiliki banyak kesibukan yang tidak bisa ku tinggalkan semauku.
Tak jarang rasa cemburu tak berasas, atau galau tak bersebab menyapaku. Takut Rio meninggalkanku, melupakan aku. Tapi segera ku tepis kelebatan pemikiran negatif semacam itu. Aku yakin Rio akan selalu menjaga hati yang telah aku titipkan padanya. Sama seperti aku yang tak pernah berniat melukai hati yang Rio percayakan padaku.
Terhitung setelah aku sembuh. Dan fisikku kembali normal, banyak pemuda-pemuda yang mencoba mendekatiku, terutama mereka yang tidak tau sama sekali perihal riwayat kesehatanku. Tapi aku menolak mereka dengah halus. Aku sudah mdmatenkan pilihanku, sama sekali tidak berminat melirik option-option lain. Rio. Dia yang mau bertahan denganku, bagaimanapun keadaanku dan dihatiku Rio nomer satu.
"besok adik manisku pulang ya ? Aku kangen sekali padanya." suara Rio memecah lamunanku.
Karena tidak begitu memperhatikan ucapan Rio sebelumnya, maka ku putuskan untuk sekedar mengangguk.
"Acha minta dijemput jam berapa ? Boleh tidak, aku saja yang menjemputnya ?" izin Rio.
Oh. Acha. Batinku, menangkap objek pembicaraan.
"kita jemput sama-sama ya. Bersama bunda dan kak Riko."
"oh, baiklah. Tapi Ozy tidak ikut ?"
"dia masih di Semarang."
"oh, begitu. Fy, apa Acha menyukai boneka seperti itu ?" Rio menunjuk seperti kearah jok belakang dengan dagunya, "Acha memintaku membelikannya kado saat dia pulang. Apa boneka itu bagus ?!" tanya Rio, meminta pendapat.
Aku mengerucutkan bibirku, "huu, aku juga mau yang seperti itu. Kenapa hanya membeli satu, aku tidak dibelikan ? Tidak adil." protesku iri, melihat sebuah boneka beruang berukuran besar warna pink memakai pita dengan aksen bunga-bunga berwarna putih dan merah.
"kamu kan sudah tidak main boneka lagi." sergah Rio.
"Acha juga tidak." tegasku tak mau kalah.
"tapi, dia kan adikku.."
"kapan ibumu melahirkan Acha. Dia itu adikku."
Rio tertawa kecil, "iya, iya, nanti aku belikan, yang lebih bagus dari itu. Tapi nantinya, kalau kamu sudah resmi jadi nyonya Mario. OK ??" Rio melirik penuh arti kepadaku.
"Jangan mengigau yang macam-macam. Ini masih sore." tanggapku, datar.
Segera ku palingkan wajahku yang entah sudah seberapa merah, mungkin sudah layak menjadi saingan buah strawberry.
Diluar mobil, hujan menari, turun dengan rintik yang mengalun sempurna menjadi backsong yang menambah suasana romantis yang tengah tercipta kini. Langit keunguan yang lebih gelap karena di gelayuti mendung, tak tau bagaimana prosesnya jadi terlihat berwana merah muda, dimataku. Hehehe.
Sedan silver Rio jerus melaju, memperkecil rentangan jarak agar semakin dekat dengan titik tujuan.
Acara galang dana Omnya Rio, yang lagi-lagi didedikasikan untuk penderita Lupus. Untuk acara itulah Rio sengaja pulang ke Jogja. Acara itu akan berlangsung sekitar 2 jam lagi dari sekarang. Dan aku untuk yang ke 4 kalinya ikut berpartisipasi mengisi acara tersebut.
***
Gedung besar itu sudah sangat ramai. Kami sepertinya memang sangat terlambat. Aku melirik jam tangan coklat ditanganku. Pukul 19.15, astaga, pantas saja sudah sangat ramai, acaranya akan segera dimulai kurang dari 15 menit lagi. Setelah turun dari mobil Rio, dengan langkah lebar-lebar kami menuju backstage.
"Ya Tuhan, kemana saja kalian, kenapa baru datang. Kalian kan akan jadi pembuka acara ini." gerutu kesal seorang pria berkumis dengan tubuh sedikit tambun, menyambut kedatangan kami.
"Maaf Om." ujar Rio pendek.
"ya sudah, ya sudah, cepat sekarang kalian bersiap." intruksi, Om Ony, adik dari Papa Rio.
Kami mengangguk patuh. Tidak ingin mengulur waktu, kami sepera bersiap. Mengganti pakaian dengan yang lebih formal, karena yang saat ini aku dan Rio kenakan, hanya jean dan kaos. Lalu menambahkan beberapa sapuan make up diwajah, agar terlihat lebih fresh.
"Lha, rambutmu kenapa to cah ayu, kok rontok begini." komentar seorang pria kemayu saat menyisir rambutku.
"Oh, ini tidak apa-apa. Mungkin efek, aku terlalu lelah atau stress." jawabku santun.
Pria itu tampak mengangguk faham.
Kurang dari 20 menit, kami sudah siap. Beberapa menit kemudian seorang wanita berdress panjang dengan corak batik menyusul kami dibackstage agar kami segera naik panggung.
Meskipun bukan untuk yang pertama kali, rasa nervous itu selalu muncul dengan intensitas yang berbeda, setiap aku akan perform didepan orang banyak. Apalagi specialnya, sekarang acara ini didatangi langsung oleh para odapus yang akan menerima bantuan. Aku sangat ingin tambil sebaik mungkin. Aku ingin mengatakan pada merera, jangan menyerah, kamu sekuat aku. Aku ingin sekali membuktikan bahwa segala keterbatasan itu bukanlah batas untuk meraih sesuatu yang tidak terbatas. Kita bisa. Kita mampu. Hanya butuh kesabaran untuk mengajak lupus berdamai dan semuanya akan baik-baik saja.
Aku sudah siap didepan sebuah grand piano putih yang menjadi sentris panggung besar ini. Begitu pula dengan Rio yang sudah mantap berdiri dengan stand mic-nya.
Tanpa ragu, satu persatu tuts-tuts putih-hitam itu ku tekan. Mengalunlah sebuah intro lagu yang aku dedikasikan untuk ayahku tercinta. Hari ini tepat 4 tahun beliau meninggalakan aku.
"lagu ini buat ayah, selalu doakan Ify ya, Yah." batinku.
Tak 'kan pernah habis
air mataku
bila ku ingat tentang dirimu
mungkin hanya kau yang tau
mengapa sampai saat ini
ku masih sendiri
adakah disana
kau rindukan aku
meski kita
kini ada didunia berbeda
bila masih mungkin
waktu kuputar
kan ku tunggu dirimu...
Biarlah ku simpan
sampai nanti aku
kan ada disana
tenanglah dirimu
dalam kedamaian
ingatlah cintaku
kau tak terlihat lagi
namun cintamu
abadi...
Ah terkadang aku benci suara lembut Rio. Setiap menyanyikan lagu semacam ini, rasanya jadi sangat nyata dan menyesakkan. Sepertinya itu juga bukan hanya pendapatku, beberapa orang dikursi depan mulai bergerak tidak nyaman dikursinya. Beberapa lagi, malah sudah bercucuran air mata. Apalagi selama lagu dilantunkan slide-slide gambar bermunculan pada layar dibelakang kami. Gambar-gambar itu adalah gambar para odapus yang telah berhenti berjuang dan akhirnya menyerah pada keadaan.
"eergh." erangku pelan.
Ya Allah, kenapa lagi dengan dadaku. Kenapa akhir-akhir ini sering sekali terasa sesak. Jangan Tuhan, jangan sekarang. Biarkan aku membuktikan dulu pada mereka, bahwa odapus kuat, kami akan selalu kuat.
Jariku tetap ku usahakan menari diatas piano. Meski mungkin temponya sedikit melambat. Rio berkali-kali menoleh kearahku, aku hanya melempar cengiran padanya. Berharap, pria itu tidak menangkap sesuatu yang aneh padaku.
Adakah disana
kau rinduka aku
meski kita
kini ada didunia berbeda.
Bila masih mungkin
waktu ku putar
kan ku tunggu
dirimu...
Biarlah ku simpan
sampai nanti aku
kan ada disana
tenanglah dirimu
dalam kedamaian
ingatlah cintaku
kau tak terlihat lagi
namun cintamu
abadi...
Ingatlah cintaku
kau tak terlihat lagi
namun cintamu abadi...
Tak 'kan pernah habis
air mataku
bila ku ingat tentang dirimu...
Hah, alhamdulillah. Sesaknya hilang. Aku berhasil menyelesaikan permainan pianoku. Setelah memberikan hormat pada penonton yang datang, kami turun dari panggung diiringi tepuk tangan.
"kamu tidak apa-apa ?" tanya Rio saat kami tiba dibackstage.
Aku menggeleng.
Satu lagi hal positif yang bisa ku lalukan bersama Si Lupus. Dan berhasil, semua berjalan lancar.
Berdamai dengan masalah adalah cara paling tepat untuk melawan masalah itu sendiri.
***
orang-orang dengan koper besar berseliweran didepan kami. Seperti dikejar sesuatu yang tak berwujud namun pasti bernama waktu, mereka berlalu dengan menyeret koper-koper mereka secara brutal.
Para penumpang yang baru keluar dari sebuah pesawat dengan rute penerbangan Paris-Jakarta yang baru saja landing beberapa menit yang lalu, semua tampak sangat lelah usai melakukan perjalanan jauh yang memakan waktu berjam-jam.
Aku berjinjit-jinjit, mencari satu tubuh mungil milik adik bungsuku.
"bunda... Acha kangeen." suara khas Acha melantun disela hiruk pikuk bandara.
Aku menoleh, dan mendapati seorang gadis cantik bertubuh tinggi semampai tengah memeluk bundaku.
Ah, Acha ?
Benarkah ?
Selama ini, Acha selalu mengirimi kami foto-foto terbarunya.
Tapi ternyata, foto-foto itu menipu. Acha terlihat jauh lebih anggun dan manis, aslinya. Aku yakin setiap pria yang melihatnya, harus pandai-pandai mengontrol ekspresi wajahnya, kalau tidak ingin bertampang konyol seperti Kak Riko dan Rio saat ini.
"aku saran kan kalian segera menutup mulut kalian. Sebelum lalat-lalat berminat untuk memasukinya." candaku, pada mereka.
Kak Riko dan Rio kompak memicing pandangan mencibir kearahku, aku membalasnya dengan juluran lidah.
Setelah selama 4 tahun Acha tidak pernah berkunjung ke Indonesia, dengan alasan repot. Acha yang kulihat sekarang memang benar-benar berbeda dengan Acha yang menangis tersedu-sedu di bandara ini 4 tahun rilam. Kedua kakinya yang jenjang menyokong tubuhnya yang ideal, sorot matanya terlihat lebih tenang dan tegas, pipi gembilnya juga terlihat lebih tirus dengan semburat rona merah yang alami.
Mungkin hanya rambutnya yang tidak berubah sama sekali, baik style waupun warnanya. Tetap hitam, bergelombang, dengan panjang melewati bahu.
Setelah melepas pelukan pertamanya dengan bunda, Acha melirik Kak Riko dan Aku bergantian.
"kakak-kakak ini tidak ada yang berniat memelukku ya? Tidak merindukan aku rupanya." kata Acha, sambil melipat kedua tangannya didada, dan menggelumbumgkan kedua pipinya.
"Welcome, adik cantik..." kak Riko sudah merentangkan kedua tangannya hendak memeluk Acha, tapi Acha malah melengos berbalik badan kearahku.
Acha tersenyum manis, aku balas tersenyum.
"Kak Rioooo" sapa Acha, riang.
what ? Apa tadi ? Kak Rio?
Huh Acha ini. Aku kira dia merubah haluan tubuhnya dari Kak Riko, karena ingin memelukku lebih dulu, tapi ternyata malah Rio. Ckckck. Adik macam apa dia.
"wah, mas ku yang satu ini, makin ganteng aja deh. Sekarang sudah jadi dokterkah ?" tanya Acha, yang sudah bergelayut manja dilengan kanan Rio.
Rio dan Acha, memang dekat. Rio yang anak tunggal dan terobsesi memiliki adik perempuan yang manis, tentu saja sangat menyayangi Acha. Jadilah Acha juga sangat dekat dengan Rio, tak jarang malah Acha lebih suka bercerita tentang masalahnya pada Rio daripada denganku, yang notabenenya adalah kakak kandungnya.
"Jangan kau puji dia, salah-salah nanti badannya tambah kurus karena kau puji." kataku asal, entah apa hubungannya pujian dengan badan yang kurus.
"kamu juga makin cantik, Cha. Beda sekali dengan mbakmu yang makin hari makin galak saja." ujar Rio, balas dendam.
"benarkah ?" tanya Acha.
Tapi suara terakhir Acha tidak begitu tertangkap oleh indera pendengarku. Fokusku tiba-tiba saja rancuh, kepalaku berputar, perutku mual serasa dikoyak-koyak oleh entah monster apa didalamnya.
"aaaargh." erangku, pelan.
Tapi ternyata tidak cukup pelan karena orang-orang disekitarku sepertinya mendengar eranganku.
"Kak Ify, kakak kenapa ?" lagi-lagi suara itu tak begitu jelas terdengar.
Nafasku benar-benar terasa tercekat di tenggorokan. Aku berusaha menghirup udara sebanyak mungkin, tapi ternyata hidungku menolak diajak bekerja sama. Paru-paruku seperti kosong dan itu terasa sangat menyesakkan. Ya Allah ada apa lagi dengan tubuhku ?
Satu-satu aku merasakan nafas yang terputus-putus. Kematian. Kenapa aku merasa sangat dekat dengan kematian ??
Tapi aku pasrah, berserah akan membuat semuanya terasa lebih mudah. Perlahan semuanya gelap, aku mencoba tersenyum sekilas sebelum tubuhku ambruk dan semua jadi pekat.
***
Tuhan..
Bila Engkau berniat memelukku detik ini juga, izinkan aku mengucap permohonan kecil.
Naungi mereka, orang-orang tercintaku dengan kebahagiaan.
Jika Engkau tak lagi membiarkan aku menghapus air mata mereka, maka janganlah Engkau turunkan hal yang membuat mereka menangis.
Aku ingin melihat mereka tersenyum. Setelah itu, aku tidak akan meronta atau memohon untuk tetap tinggal.
Aku berserah padamu, bila mati adalah yang terbaik, aku akan selalu menantinya dengan senang hati.
***
0 komentar:
Posting Komentar