Sabtu, 12 Maret 2011

Malaikat Hidup Gue -part 21-

Cakka melongo.

Apa yang dilihatnya benar-benar membuat lututnya bagai dilolosi tulang-belulang. Desiran darahnya serasa beku, rahangnya seakan terpagut dalam posisi menganga dan sulit untuk dikembalikan seperti keadaan normal.

"Ada apa lagi, ini ?" lirih seorang gadis dengan suara bergetar.

Cakka menoleh, didapatinya Sivia sudah terduduk lemas disampingnya, dengan dua mata bersorot sendu yang mulai mengeluarkan air mata.

"Bangun, Vi..." Cakka meraih tangan gadis itu, lantas dengan lembut membingbingnya kearah objek yang membuat mereka sama-sama terpana. Benda mati itu... Ya, Cakka ataupun Via tentu hafal betul siapa pemiliknya.

Benda itu, satu dari sekian banyak yang sering berjejer rapi di selasar rumah Alvin. Mobil berwarna silver keluaran terbaru, dengan plat nomer yang didesain khusus untuk seorang Alvin. Mobil yang baru dua bulan ini kuncinya mendarat di tangan kokoh Alvin. Mobil yang dihadiahkan Omanya untuk Alvin, cucu kesayangannya. Tapi sekarang, mobil yang harganya bisa ditaksir mencapai 9 digit itu benar-benar tak berbentuk. Tidak bisa lagi dikategorikan dalam deretan kendaraan mewah. Entah telah besinggungan dengan apa mobil itu. Sampai-sampai bannya tidak lagi berjumlah empat, bagian depan dan belakang benar-benar ringsek, rusak parah.

Tapi tentu saja bukan itu yang jadi soal. Yang menggelayutkan rasa cemas dalam benak Cakka dan Sivia adalah, jika mobilnya saja separah ini lantas bagaimana dengan pengemudinya ? Bagaimana dengan Alvin ??

"Selamat siang, Pak." tegur Cakka, setelah berdiri tepat dihadapan seorang bapak berseragam polisi lengkap dengan segala macam atributnya.

"Selamat siang de. Ada yang bisa saya bantu ?" balas salah satu dari kedua polisi yang ada disana, yang lain masih sibuk memasang police line disekitar mobil Alvin.

"Mmh... apa mobil ini baru saja mengalami kecelakaan, Pak ?" tanpa diberitahu pun Cakka sudah tau betapa bodohnya pertanyaan yang baru saja ia ajukan.

"Astaga Cakka, anak idiot kena busung lapar juga tau kalau tau mobil ini abis kecelakaan. Bego banget lo." rutuknya dalam hati.

"Iya dik, baru saja terjadi kecelakaan dikawasan Dago, dan mobil ini yang mengalami kerusakan paling parah. Pengemudinya sudah ditangani oleh pihak rumah sakit sejak 5 jam yang lalu. Kami juga sudah mencoba menghubungi keluarga korban." papar polisi tadi.

"ba..bagaimana kronologisnya, Pak ? Lalu bagaimana kondisi terakhir korban ?" tanya Cakka dengan suara bergetar. Kalau saja bukan laki-laki, ia akan langsung histeris atau minimal menangis tersedu-sedu seperti yang tengah Sivia lakukan sekarang.

"Menurut saksi mata, mobil korban melaju dengan kecepatan tinggi dari arah timur, dari arah yang berlawanan mobil pick up berusaha menyalip kendaraan di depannya namun kehilangan kontrol dan menabrak mobil korban dari depan. Bersamaan dengan itu, dari belakang mobil truk pengangkut pasir juga lepas kendali dan menghantam bagian belakang mobil ini." jelas polisi tadi, ia menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, "Kami pihak kepolisian belum tau pasti bagaimana kondisi korban, karena saat tiba dilokasi, korban sudah dilarikan ke rumah sakit ini. Apa adik ini, mengenal korban ? Kami sudah menghubungi nomor milik saudara Gabriel, ia menyanggupi untuk segera datang kemari, tapi sampai saat ini, kami belum bertemu dengan saudara Gabriel." lanjut polisi tadi.

"Gabriel juga baru saja dilarikan kerumah sakit ini Pak. Begini saja, kebetulan saya keluarganya, nanti saya akan coba menghubungi orang tua Alvin." jawab Cakka, sedikit berbohong.

"kami harap adik bisa segera menghubungi keluarga korban, kami khawatir pihak rumah sakit akan ragu-ragu melakukan tindak penyelamatan kalau tidak ada persetujuan pihak keluarganya." kata polisi kedua yang sekarang ikut bergabung dalam kelompok kecil yang tampaknya tengah asik berdiskusi di selasar rumah sakit.

"Baik Pak, saya akan menghubunginya sesegera mungkin. Sekarang, Alvinnya sendiri dimana, Pak ?"

"Ruang ICU lantai dasar."

"trimakasih, Pak. Kalau begitu kami permisi dulu." Cakka mengangguk hormat.

"trimakasih juga atas kerjasamanya. Selamat sore." balas polisi pertama dengan nada yang tegas dan berwibawa.

Cakka segera menggandeng Sivia, meraih tangan gadis yang sedari tadi masih sibuk menangis.

Saat tiba ditikungan yang mengarah ke kiri untuk menuju ruang ICU Sivia menarik tangannya dari Cakka.

"Kenapa lagi, Vi ?" tanya Cakka gusar. Kenapa disaat-saat seperti ini, Sivia malah melancarkan aksi diam mematung seperti itu.

"Ak..akuu..ak..aku.."

"Kenapa Vi ? Ayolah kita mesti cepet liat keadaan Alvin."

"Maaf Kka, tapi aku..aku mau liat keadaan Iel dulu."

Sumpah demi apapun, saat ini ingin sekali Cakka menggunakan tangannya untuk menyadarkan gadis ini.

"Vi, lo jangan egois gini dong. Alvin tu masih cowok lo, dan posisinya sekarang dia pasti jauh lebih butuhin lo ketimbang Iel. Emang lo gak pengen tau apa, gimana kondisinya ?" Cakka memicing mata kearah Sivia, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat-kuat disisi tubuhnya.

"Tapi aku khawatir sama Iel." jawab Sivia sambil terus menunduk dalam-dalam dan memilin-milin ujung bajunya.

"Alvin tu selalu ada buat lo, dia sayang banget sama lo. Sekarang apa salahnya kalau elo prioritasin dia dulu dibanding Iel."

"Kka, aku cuma mau liat Iel dulu, sebentar."

"Ya Ok. Ok. Terserah, terserah lo Vi. Tapi lo inget baik-baik, kata-kata gue. Kehilangan itu gak enak, dan seharusnya elo jaga apa yang udah lo punya, jangan ngejar apa yang belum pasti." pesan Cakka. Ia lantas berbalik dan meninggalkan Sivia dengan hati dongkol setengah mati. Tak habis fikir.

Sedangkan Sivia, tanpa menunggu detik bergulir terlalu lama lagi, ia langsung berlari memutar arah setelah Cakka berlalu. Sivia tidak merasa perlu, repot-repot mencerna apa yang dikatakan Cakka tadi. Ia khawatir pada Alvin, tapi lebih dari 70% hatinya mencemaskan Iel, Sivia tidak bisa dan tidak ingin mengingkari kenyataan itu.

Ia berjalan cepat, menyusuri bangsal-bangsal rumah sakit. Melewati beberapa kamar dan ruang kerja dokter-dokter spesialis dirumah sakit ini.

Gadis ini kemudian mengatur nafasnya setelah sampai di depan pintu kamar rawat yang biasa Iel tempati. Setelah irama nafasnya dirasa telah kembali teratur, Sivia menyibak sejumput rambut yang jatuh ke depan tubuh melewati bahunya, setelah itu diputar kenop pintu kayu didiepannya.

Saat daun pintu terbuka, Sivia mendapati Iel sedang berusaha turun dari ranjangnya.

"Iel !! Kamu mau ngapain ?" tanya Sivia, seraya membantu memapah Iel, "Agninya mana ?" lanjutnya bertanya.

"Agni ke toilet. Via, Alvin, Vi.... Alvin. Tadi yang telfon aku tu polisi, mereka bilang Alvin kecelakaan jam sebelas tadi, dan dilarikan ke rumah sakit ini. Ayo Vi, kita cari Alvin." tutur Iel panik, kedua tangannya mengguncang-guncangkan pundak Sivia.

"Iya Yel, iya. Aku tau kok, sekarang Cakka lagi liat kondisi Alvin."

"Jadi kamu udah tau Alvin kecelakaan, Vi ?"

Sivia mengangguk.

Iel mendengus keras-keras. Matanya yang semula terlihat galau dan khawatir, kini berkilat marah.

"Terus kenapa kamu malah ada disini ? Kenapa gak ikut Cakka ?" kata Iel dengan nada menyentak.

"Ak..aku cu..cuma mau liat kondisi kamu dulu Yel, aku khawatir sama kamu." jawab Via takut-takut. Beda dengan sentakan Cakka sebelumnya, sentakan Iel tampaknya lebih berefek pada gadis berkulit putih ini. Matanya yang indah langsung meluncurkan jejak-jejak air mata yang lantas berpencar membasahi kedua pipinya, sebelum akhirnya jatuh menetes diatas permukaan lantai berkeramik putih yang dipijaknya.

"Aaaargh." Iel mengacak rambutnya, "Kamu tuu..." Iel menunjuk lurus kearah Sivia, lalu melempar tinjunya ke udara, entah apa maksudnya.

"Via, aku mohooon. Jangan lagi peduliin aku. Jangan bikin aku serba salah, Vi. Aku udah relain kamu buat Alvin dan sekalipun aku gak ada niat buat rebut kamu dari dia. Ok, Vi, dulu mungkin pernah ada kita. Mimpi kita, kisah kita, harapan kita. Tapi sekarang beda. Sekarang cuma ada aku dan kamu, aku dengan kehidupanku, begitu juga kamu. Kamu dan Alvin adalah dua orang yang sangat aku sayangi dan akan sangat membahagiakan buat aku kalau kalian bisa bersatu." Iel menyentuh kedua pipi Sivia dan menyeka air mata yang terpeta disana.

"Apapun yang pernah aku lakuin buat kamu, itu gak ada apa-apanya dibanding semua hal yang pernah Alvin lakuin buat kamu. Kamu harus bisa bahagia disisinya."

Tanpa membiarkan Sivia menimpali segala macam ucapannya tadi, Iel sudah berlalu. Sivia hanya bisa memandangi punggung pangeran masa kecilnya itu dengan perasaan tak menentu.

***

Cakka melongok ke dalam ruang ICU didepannya, lampu yang ada diatas pintunya padam. Berarti tidak ada tindakan medis yang sedang dilakukan didalam sana. Jantung Cakka berdegup kian cepat. Apa ia sudah terlambat ? Apa Alvin sudaahh...

Tidak. Tidak. Cakka segera menepis fikiran-fikiran buruk yang menyambangi otaknya.

Cakka sedikit kaget, saat dirasakan tepukan pelan di pundak kirinya. Seorang suster berdiri tepat dibelakangnya.

"Ada yang bisa saya bantu, dik ?" tanya suster tadi, dengan lembut.

"Mmh, iya Sus. Begini, tadi pukul 11 ada korban kecelakaan kan ? Katanya, dilarikan ke ICU lantai dasar, tapi kok tidak ada ya?"

"Oh, pasien itu ya ? Operasi yang dilakukan pada pasien telah usai 3 jam yang lalu. Sekarang pasien sudah di pindahkan ke kamar inap, di lantai 3. Kamar mawar nomor 11"

"Oh, gitu ya Sus. Trimakasih kalau begitu."

"Sama-sama, dik. Permisi."

Setelah suster tadi lenyap dari jangkauan matanya, Cakka segera berjalan kearah kanan, menaiki lift menuju lantai 3.

Tepat, setelah Cakka tiba dikamar mawar nomor 11, seorang pria berdasi pastel dengan kemeja warna senada yang dibalut jas putih, keluar dari kamar itu.
Ragu-ragu, Cakka mendekat lalu melontarkan pertanyaan yang sudah diujung lidahnya, "Bagaimana kondisi Alvin, dokter ??" tanya Cakka, pada pria yang diyakininya adalah seorang dokter itu.

"Adik keluarga pasien ?"

"Iya dok, saya sepupunya. Orang tua pasien sedang diperjalanan." jawab Cakka asal. Ia terpaksa berbohong karena kalau tidak mengaku keluarga Alvin, seperti pihak polisi ataupun rumah sakit enggan memberikannya informasilebih rinci.

"Sebelumnya kami pihak rumah sakit mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah melakukan tindakan medis tanpa menunggu persetujuan keluarga. Tapi ini terpaksa kami lakukan agar bisa sesegera mungkin menyelamatkan nyawa pasien. Kalau untuk kondisi pasien sendiri, mendengar kecelakan dahsyat yang menimpanya, rasanya untuk tetap hidup saja itu sudah mu'jizat. Tapi ternyata Tuhan memberikan lebih, pasien tidak mengalami cidera-cidera parah, hanya saja... Hanya saja.. Terjadi kerusakan pada bola mata pasien akibat tertancap serpihan-serpihak kaca. Kami sudan melakukan operasi dan berjalan lancar." tutur sang dokter dengan sangat jelas.

"Apaa.. apa kerusakan itu menyebabkan kebutaan, dok ?" tanya Cakka hati-hati.

"Ya, tapi tetap bisa sembuh apabila pasien mendapatkan donor mata."

Tubuh Cakka benar-benar lemas, serasa bumi sebentar lagi akan menenggelamkannya bersama keterkejutannya atas semua ini.

"Baiklah," ujar sang dokter sambil menepuk-nepuk pundak Cakka, "Pasien sudah bisa ditemui, tapi tidak boleh lebih dari 2 orang yang masuk kedalam. Dan kalau orang tuanya datang, tolong beritahu agar segera menemui saya. Permisi. Selamat sore."

Cakka membungkuk kecil,memberi hormat pada sang dokter, sebelum dokter itu berlalu.

Ceklik.

Pintu coklat itu dibuka Cakka setelah dokter tadi menghilang. Di dalamnya seorang pemuda dengan wajah oriental yang khas tengah duduk bersandar dialasi bantal yang menempel pada kepala tempar tidur, dengan bagian sekitar mata yang di tutupi kain perban.

"Alvin..." lirih Cakka.

"Cakka ya ?" tebak pria tadi, ia menyeringai lebar.

"Iya Vin, ini gue. Kok bisa jadi kayak gini sih Vin ? Sejak kapan elo ngebut segala ?" tanya Cakka yang telah duduk ditepi ranjang Alvin sekarang.

Alvin mengangkat bahunya dengan santai, "Semalem gue tu ke Malang, nemuin orang tua gue, kebetulan mereka lagi di Indonesia. Gue pengen ngobrol banyak, terutama tentang Iel. Setelah semaleman ngobrol, pas paginya gue bangun, gue baru inget ada final pertandingan basket hari ini. Akhirnya, karena gak mau telat, gue nekat nyetir sendiri Malang-Jakarta, pas udah deket-deket Dago dan gak tau gimana kejadiannya, gue cuma denger ada bunyi BRAK, terus gak tau lagi. Semuanya gelap."

"Terus sekarang perasaan lo gimana ?"

"Legaa..."

Cakka mengerutkan kening, "Lega gimana maksud lo ?"

"Yang lain mana ? Iel mana, Kka ?" bukannya menjawab pertanyaan Cakka sebelumnya, Alvin malah balik bertanya.

Cakka sempat kelimpungang mengarang jawaban yang baik dan benar, karena tidak mungkin ia bercerita semua yang telah terjadi, pada Alvin.

"Iel lagi cari minum di cafètaria, Via lagi ke toilet, yang lain masih nunggu prosesi penyerahan tropi bergilir di GOR."

"Oh, jadi kita menang ??" wajah Alvin semakin berbinar, sama sekali tidak seperti orang yang baru saja kehilangan penglihatannya.

"Iya Vin, kita menang."

"Good job, boys. Sayang gue gak bisa ikutan tadi."

"Alvin..." suara berat milik seorang pria terdengar hampir bersamaan dengan suara lembut milik gadisnya. Disusul oleh langkah rusuh kaki-kaki mereka yang mendekat kearah Alvin.

"Syukur, elo selamet Vin." Iel mengurut dada.

"Iel ?" tangan kanan Alvin terjulur seperti mencari-cari sesuatu.

Iel tersenyum getir melihat keadaan saudaranya itu, "Gue disini Vin." Iel meraih tangan kanan Alvin.

"Gue masih tetep ganteng kan, Yel, walaupun pake-pake perban begini." celetuk Alvin, lalu terkekeh pelan.

"Apa sih lo Vin, malah cengengesan kayak gitu." cibir Iel.

"Biar aja. Elo juga yang sakit parah, masih suka cengengesan." Alvin membela diri.

"Lo aneh deh Vin, ada apa sih ?"

"Gak ada apa-apa." timpal Alvin santai, "Via.. Mana Via ? Tadi gue denger suaranya."

Melihat kenyataan bahwa Alvin masih mencari-cari dan menyadari keberadaannya, membuat Sivia makin merasa bersalah. Ia hanya bisa melempar pandangan takut-takut kearah Alvin dan Iel, bergantian.

"Ii..iya Vin. Aku disini." jawab Sivia, gugup.

"Aku mau ngomong Vi, sama kamu. Berdua aja, boleh ?"

Sivia mengangguk, meski sadar Alvin tidak akan melihat anggukannya.

Cakka dan Iel yang sudah merasa diusir secara halus, merekapun keluar dari kamar itu.

Awalnya, baik Alvin maupun Sivia sama-sama terdiam. Menunggu yang lain untuk memulai pembicaraan.

"Vin, maafin aku ya.." akhirnya Sivialah yang berinisiatif menyudahi keheningan yang tercipta beberapa detik lalu.

"Maaf buat apa?"

"buat semuanya. Buat kebodohan aku, buat keegoisan aku, buat kebohongan yang pernah aku lakuin. Aku bener-bener minta maaf atas semua itu."

"kenapa harus kamu yang minta maaf ? Justru disini aku yang paling salah, dan wajar aja kalau karena kesalahan itu, aku juga yang paling sakit. Aku gak peka, aku gak mau peduli, padahal segala macam fakta udah dibeberkan didepan mata aku. Aku dengan PDnya tetap berfikir bahwa kamu sayang sama aku, dan cuma sama aku. Gak ada yang lain. Dan tanpa sadar aku nyakitin banyak hati, termasuk hati aku sendiri. Sekarang kamu bebas Via, kamu gak perlu lagi belajar sayang sama aku, sayangi orang yang emang bener-bener pilihan kamu, aku akan tetap turut bahagia atas itu." Alvin mengucapkan kalimat panjang itu dengan tulus.

Sivia memandangi lelat-lekat pemuda yang sedikit pucat, dihadapannya itu. Ada perasaan tidak rela, ketika ia mendapati kalimat-kalimat yang baru saja dilontarkan pemuda itu.
Sivia tidak lagi menangis, tapi sorot matanya terlihat lebih nelangsa dibanding sebelumnya. Air wajahnya, seakan menunjukkan gadis 16 tahun ini tengah memikul beban orang sedunia.

"Maksud kamu apa Vin ??"

"Hubungan kita berakhir, sampai sini aja Vi. Mungkin, Aku gak cukup sabar untuk bertahan dengan orang yang sama sekali gak bisa membuka hatinya buat aku. Kamu dan iel adalah dua orang yang sangat aku sayangi, dan akan sangat membahagiakan buat aku kalau kalian bisa bersatu. Aku rasa itu akan jauh lebih baik."

Kalimat itu lagi. Kalimat yang sama persis dengan kalimat yang diucapkan Iel. Sivia membatin sedih. Merasakan dirinya seperti disetarakan dengan bola yang bisa dengan mudah dioper kesana-kesini. Ia menggigit bibir, menahan tangisnya agar tidak pecah.
Bukan, Sivia bukan menangis karena pada akhirnya ia tidak mendapatkan satu pun dari dua saudara ini. Itu terlalu picik.
Ia menangisi kebodohannya sendiri. Ia menangis karena sadar, telah melukai dua hati yang sejatinya sama-sama sangat menyayanginya.

"Dari aku kecil kalian selalu jagain aku, lalu kenapa sekarang saat kalian sama-sama dalam kesulitan, kalian malah minta aku jauhin kalian ? Aku cuma pengen ada selalu disamping kalian berdua, gak peduli apapun status aku." batin Sivia.

"Via...kok kamu diem aja sih? Kamu pasti lagi nangis ya ? Maaf Vi, aku gak bermaksud bikin kamu sedih, tapi aku bener-bener minta supaya mulai sekarang kamu harus selalu ada disamping Iel. Anggap aja ini permintaan aku yang terakhir."

"Kamu ngomong apa sih, Vin ?"

"Aku gak pernah minta apapun sama kamu sebelum ini. Aku harap permintaan aku kali ini, bisa kamu penuhin Vi. Jadilah malaikat hidupnya Iel, ajak dia bermimpi, suruh dia bertahan, bujuk dia supaya cepet sembuh. Kamu mau kan Vi ?"

"Kenapa mesti aku Vin ? Aku rasa kalau kamu mau Iel sembuh, harusnya kamu minta tolong sama dokter-dokter ahli. Bukan aku."

"Satu-satunya tindakan medis yang bisa menyelamatkan Iel adalah cangkok sumsum tulang, tapi sayangnya itu udah gak mungkin lagi..."

Alvin menerawang, mengingat pembicaraannya kemarin malam dengan kedua orang tuanya.
Ia merasa perlu untuk menceritakan obrolan singkat itu pada Sivia.

"Kemarin malam aku menemui orang tuaku di Malang...."


FlashBack : On

Tiga orang dalam ruangan ini terbalut hening. Hiruk pikuk kendaraan yang melintasi jalan raya didepan salah satu hotel di daerah Malang ini, sama sekali tidak menggugah minat mereka untuk melanjutkan obrolan yang sempat terhenti. Detik terus berlalu, tapi tetap tak ada jawaban untuk pertanyaan pemuda sipit yang tengah duduk diapit kedua orang tuanya itu.
Sesekali hanya helaan nafas panjang yang sering terdengas, menggambarkan dengan tegas betapa berat beban yang tengah merundung penghuni-penghuni salah satu kamar hotel ini.

"Kenapa pada diem sih ? Atau jangan-jangan bener ya, yang anak pungut itu Alvin bukan Iel , iya ?" desak pemuda sipit tadi, pada kedua orang tuanya yang masih terlihat letih dalam balutan baju kantor mereka.

"Cukup Alvin !! Itu pertanyaan yang sangat bodoh. Jelas-jelas kamu ini anak kami. Kamu putra kandung papa." balas sang papa dengan suara tegas.

"Lalu kenapa banyak banget yang kalian sembunyiin dari aku. Bahkan aku gak tau kalau kalian bangun panti asuhan dan parahnya pembangunan panti asuhan itu atas permintaan Iel. Kenapa kalian lebih sayang sama Iel, kenapa ? Aku ngerasa jadi orang asing ditengah keluargaku sendiri." pemuda sipit tadi, Alvin, ia setengah berteriak, otot-ototnya nampak sangat kentara, menyembul disekitar pelipisnya.

"Alvin, maafkan mama, kalau kamu merasa di perlakukan tidak adil. Tapi percayalah, kamu putra kandung mama. Mama hanya berfikir diusianya yang belum genap 17 tahun dengan penyakit separah itu, Iel lebih labil dan butuh diperhatikan dibanding kamu. Mama tidak bermaksud membeda-bedakan, kalian berdua sama-sama putra kebanggaan mama. Mama rela berkorban apapun untuk kalian." tutur mama Alvin dengan mata berkaca-kaca.

"Papa juga minta maaf, Vin. Kalau selama ini terlalu keras pada kamu. Papa juga sering membanding-bandingkan kamu dengan Iel, tapi itu semata-mata karena Papa mau dengan kondisi kamu yang jauh lebih baik dari Iel, kamu paling tidak bisa selangkah lebih maju darinya, kamu lebih bisa membuat kami, orang tua kandungmu bangga. Tapi kenyataannya, selama ini kamu malah lebih sibuk dengan band, basket, fotografi, kamu tidak pernah serius dengan nilai-nilai akademikmu. Papa hanya takut, masa depan kamu akan terbengkalai karena hobi-hobi yang kamu jadikan prioritas itu. Mama ataupun papa tidak ada yang berniat membuatmu tidak nyaman, maafkan kami kalau selama ini kamu merasa tersisih." kata Papa Alvin, sungguh-sungguh. Sorot matanya begitu hangat, tidak lagi berang dan penuh kekesalan.

Alvin tercenung, Papanya benar. Selama ini, dengan egois, Alvin selalu menganggap apa yang dipilihnya adalah yang terbaik. Ia lebih sering memberontak, berbeda dengan Iel yang selalu mengangguk patuh, apapun yang dititahkan atas dirinya.

Alvin melirik Papa dan Mamanya bergantian, "Maafin Alvin ya Ma, maafin Alvin, Pa... Alvin sering bikin mama sama papa kesel. Alvin lebih sering ngelawan kalian." ucapnya penuh sesal. Alvin lantas memeluk mamanya dengan erat. Sesaat Ia terbius oleh usapan lembut sang mama di kepalanya. Belaian halus seorang ibu yang entah sudah berapa lama tidak dirasakannya.

"Kamu sudah besar, Alvin. Pertanyaan semacam tadi Papa harap tidak akan kamu lontarkan lagi. Kamu yang lahir dari rahim Mama, dan DNAmu yang cocok dengan Papa. Apapun yang terjadi, kamu anak kandung kami, dan tidak ada yang bisa merubah itu." tandas sang Papa, sambil menggulung kemeja garis-garisnya lalu berjalan kearah meja, meraih sebotol air mineral yang ada diatasnya.

"Ma, Pa... Apa Iel, tidak bisa sembuh dari penyakitnya ? Kata dokter, penyakitnya sudah sangat parah ?" tanya Alvin, tiba-tiba.

Ekspresi kedua orang tuanya yang semula tersenyum hangat kini berubah muram. Alvin sadar pertanyaannya barusan benar-benar berosmosis ria dengan cepat, atmoser ruangan ini tiba-tiba saja jadi pilu.

"Iel bisa sembuh hanya dengan transplantasi sumsum tulang, tapi pendonornya harus dari pihak keluarga kandung dan dilakukan sebelum menginjak usia 12 tahun. Papa sudah berusaha mencari orang tua Iel kemana-mana, tapi saat menemukan alamatnya ternyata kedua orang tua Iel sudah meninggal. Papa terus berusaha mencari tau dimana kediaman keluarga Iel yang lain. Tapi hingga detik ini hasilnya nihil. Lagipula usia Iel sudah menginjak 17 tahun." tutur sang Papa, terlihat sangat sedih.

"Jadi maksudnya Iel gak bisa sembuh ?" Alvin merasa hatinya dihujani gumpalan-gumpalan rasa bersalah yang bermetamorfosa menjadi batu-batu besar yang menyesakkan. Mengingat pertengkaran terakhirnya dengan Iel, dan sampai detik ini Alvin belum bertegur sapa lagi dengan saudara angkatnya itu.

"keajaiban itu bisa saja terjadi, Nak. kita hanya bisa berdoa.." ujar Mama Alvin singkat.

FlashBack : Off


"Baguslah, berarti hubungan kamu sama orang tua kamu membaik kan, sekarang." timpal Sivia setelah Alvin menyelesaikan cerita.

"Ya, tapi bukan itu point pentingnya. Intinya, Iel gak butuh lagi pertolongan medis. Dia butuh seorang motivator, dan aku yakin kamulah orangnya."

"Kita, Vin. Bukan cuma aku atau kamu aja. Tapi kita."

"Jadi kamu mau bantu aku, supaya Iel sembuh ?"

"Asalkan kamu mau janji satu hal sama aku?"

"janji ? Janji apa ?"

"biarin aku ngerawat kamu Vin, paling gak sampai mata kamu sembuh. Anggap aja itu tanda trimakasih aku atas semua kebaikan kamu selama ini. Kau mau janji ?"

Alvin tidak mengiyakan, karena dalam hatinya, ia telah berjanji untuk tidak berhubungan lagi dengan gadis ini lagi. Demi saudaranya, demi Iel.
Alvin memilih untuk tersenyum kecil, dan untungnya Sivia sepertinya menganggapnya senyum itu sebagai jawaban 'iya'. jadi Alvin tidak perlu repot-repot menampik janji yang di ajukan Sivia sebagai syarat untuknya.

"Ya udah kalau gitu, aku keluar ya. Kamunya istirahat." pamit Sivia.

Alvin mengangguk. Sivia kemudian membantu Alvin berbaring, membenahi letak selimutnya, lalu mengelus rambut hitam Alvin beberapa kali.

"Kamu orang baik Vin, sangat baik. Kata malaikat itu lebih cocok buat kamu, dibanding aku." tutur Sivia dalam hatinya.

Tak bisa menampik, Via menyadari ada rasa nyaman yang menjalari tubuhnya, saat kedua matanya menelusuri lekuk sempurna wajah Alvin, "Apa rasa itu mulai ada, Tuhan? Kalaupun iya, ia datang terlambat, sangat terlambat." lagi-lagi batinnya riuh bergumam, berbanding terbalik dengan bibir tipisnya yang terkunci rapat.

Perlahan, Sivia melangkah keluar, meninggalkan Alvin yang entah sudah tertidur atau belum, Sivia tidak tau, karena kedua mata Alvin berbalut kain perban.

Diluar, Cakka dan Iel tengah berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Disisi kanan pintu terdapat sederet kursi berwarna biru yang dua diantaranya telah ditempati Agni dan Ify. Via menatap mereka satu-persatu, tapi tiba-tiba saja kepalanya berkunang, perutnya sakit, keringat dingin mulai meluncur dari dahinya.

"Alvin bilang apa, Vi ?" tanya Iel.

Sivia tidak menjawab, ia terlalu sibuk dengan sakit yang menderanya.
Sivia merasakan tubuhnya limbung, kedua kakinya lemas, lantas semua jadi hitam dan gelap.
Ia pingsan.

***

"Via tidak apa-apa, hanya kelelahan. Kalian sudah bisa menjenguknya didalam. Silahkan." ujar seorang dokter
yang baru saja usai memeriksa Sivia.

Setelah berkata demikian, sang dokter melonggarkan dasi garis-garis hitam-abu yang mencekat lehernya, lalu melenggang pergi meninggalkan 4 orang anak yang tengah memandangnya dengan tatapan menuntut suatu penjelasan.

"Dok !!" panggil Iel.

Dokter tadi berhenti berjalan, lalu menoleh.

"Apa Sivia itu pasien dokter Raka ?" tanya Iel, pada dokter yang bernama Raka tadi.

"Ya, Via pasien saya." jawab dokter Raka seraya mengangguk.

"Mmh, setau saya... Dokter biasa menangani pasien yang bermasalah dengan ginjalnya, lalu... apa.. Sivia juga mengalami masalah pada ginjalnya, sehingga harus ditangani oleh dokter ?"

Dokter Raka tersenyum sekilas, "Kamu Gabriel ya ? Pasien kebanggaannya dokter Fadli ?" tanyanya.

Ia menganggukkan kepala.

"Pantas. Kamu sepertinya sudah hafal ya dokter-dokter disini berikut spesialisasinya." Dokter Raka menepuk pundak Iel, sebelum melanjutkan kalimatnya, "Sivia memang pasien baru saya. Awalnya Via ditangani oleh dokter kulit, karena sering gatal-gatal terutama dibagian punggungnya, tapi beberapa waktu lalu, terdeteksi bahwa ginjalnya mengalami kerusakan. Via sering minum obat-obat sakit kepala dalam jangka waktu yang sudah cukup lama dan kurang mengkonsumsi air putih, sehingga kinerja kedua ginjalnya mengalami penurunan."

"Maksud dokter, Via mengalami gagal ginjal ?" kini giliran Ify yang bersuara.

"Mungkin terlalu ekstrem kalau dibilang gagal ginjal, kedua ginjalnya masih berfungsi walaupun tidak sempurna. Tapi itu bisa saja terjadi kalau Via terus-terusan menolak melakukan transplantasi ginjal."

"Jadi sampai sekarang Via masih menolak melakukan tranplantasi dok ? Tapi kenapa memangnya ? Setau saya transplantasi semakin cepat dilakukan akan semakin baik." kata Agni, ikut menimpali.

"Pendonor ginjal harus dari keluarga kandung. Ginjal Via dengan ibunya cocok, tapi Via menolak kalau ibunya harus mendonorkan satu ginjal untuknya. Kami sudah meyakinkan Via bahwa seseorang tetap bisa hidup normal dengan satu ginjal, tapi Via tetap bersikukuh menolaknya. Selain itu masalah biaya juga menjadi kendalanya." dokter Raka kembali memaparkan semua hal yang diketahuinya dengan sangat rinci.

Semua terdiam. Alvin, lalu sekarang Via.
Ya, tidak heran kalau Cakka, Iel, Ify ataupun Agni, sama-sama tidak berselera untuk bicara.

"Ada lagi yang ingin kalian tanyakan ?" tawar dokter Raka.

"tidak dok. Kami rasa cukup. Trimakasih banyak." balas Cakka.

"Baiklah saya permisi kalau begitu. Selamat malam." pamit dokter Raka, diiringin seulas senyum.

Setelah sosok dan bayangan dokter Raka hilang ditelan remang malam, Cakka, Iel, Ify dan Agni segera masuk ke dalam kamar rawat umum yang berisi 4 ranjang tidur. Disalah satu kepala satu ranjang itulah, Sivia menyandarkan tubuhnya yang lemas.

Sivia mengangkat wajahnya, ketika bunyi tap-tap-tap dari sepatu yang beradu dengan lantai, berhenti. Dihadapannya 4 orang tengah kompak mempertontonkan raut kecewa di wajah mereka.

"Maafin aku..." lirih Sivia, ia sudah tau dimana letak kesalahannya. Menutupi hal sekrusial itu dari sahabat-sahabatnya tentu bukan suatu tindakan yang patut dibenarkan.

"Kita maafin kamu kok cantik, sama kayak kita bersedia maafin Iel dulu." tutur Agni, sembari merengkuh tubuh sahabatnya itu dalam sebuah pelukan hangat.

"Tapi mulai sekarang janji ya, gak pake rahasia-rahasiaan lagi kalau ada apa-apa." tambah Ify, yang juga turut memeluk kedua sahabatnya.

Cakka dan Iel, hanya bisa memandangi tiga sahabat itu dengan sorot mata penuh kerinduan.

"Kapan kita terakhir kumpul-kumpul di kantin ya, Yel ? Gue sampai lupa, gue kangen d'orions." ujar Cakka setengah berbisik. Gabriel mengangguk setuju.

***

Agni berjalan gontai menyusuri trotoar jalan yang masih dihuni beberapa penjajak makanan kecil. Tangannya mencengkram erat tas selempang yang ia kenakan, sesekali kakinya menendang-nendang kerikil kecil yang bergeletakan disepanjang jalan yang dilalui. Angin malam yang dingin membuatnya berkali-kali harus membenahi cardigan coklatnya agar lebih erat menempel pada tubuhnya, kadang Agni juga menggosok-gosokan telapak tangannya untuk
menghalau rasa dingin.

Tin.. Tiinn

Sebuah cagiva hitam berhenti tepat didepannya. Sang pengemudi tersenyum ramah setelah melepas helm fullface yang dikenakan.

"Riko ?"

"Sendirian Ag ?? Darimana ?"

"Eh, iya, gue sendiri. Abis dari RS, jengukin temen."

"Oh, ya udah, yuk. Gue anter pulang aja. Udah malem, gak baik cewek jalan sendirian malem-malem."

Agni melirik jam digital hitam yang melingkari pergelangan tangannya. Jam 9 malam. Ternyata memang sudah larut malam, pantas saja sudah mulai sepi.

"Gak deh Ko, gak enak kalau cewek lo liat. Apalagi dia sobat gue juga, entar malah salah faham lagi." Agni menolak dengan halus.

"Ya elah, nyantai aja kali, Ag. Cewek gue gak cemburuan kok. Udah ah, ayo naik." bujuk Riko.

"Beneran gak pa-pa nih ?"

"Iya, iya, bawel deh. Udah pegangan lo." perintah Riko setelah Agni diboncengnya.

Meski enggan, Agni menurut. Dilingkarkan kedua tangannya pada pinggang Riko. Setelah itu, cagiva hitam andalan Riko melesat cepat, membelah lalu lintas malam kota Bandung.

Dari kejauhan, seseorang yang memperhatikan Agni dan Riko, mulai berbisik perih pada angin, "Semoga lo bahagia sama pilihan lo." gumamnya, sarat akan nada kecewa.

Percayalah,
tidak ada hal lain yang lebih menyesakkan,
selain penyesalan yang selalu datang dibuntuti kata terlambat.

***

"Iya Yo... Aku janji gak akan nangis lagi. Ya aku cuma ngerasa gak enak aja. Iya.... Kamu juga baik-baik ya disana.... Jangan lupa makan..... Hahaha, Ok. Kamu hutang satu lagu sama aku kalau gitu..... Sip-sip, bye..."

Shilla mengulum senyum simpul, setelah menekan tombol merah pada keypad handphonenya.

"Dimana Rio ?" suara berat itu membuat Shilla terperejat. Hampir saja handphonenya terlepas dari genggaman tangannya.

"De.. Debo, sejak kapan lo disitu ?"

"udah lama. Cukuplah buat denger semua pembicaraan lo sama Rio barusan."

"Jangan sok tau deh lo, tadi tu bukan Rio." sergah Shilla, gadis ini menekan seluruh rasa gugupnya dan betul-betul berusaha untuk bersikap sewajar mungkin. Ia tidak ingin, rencana yang sudah tersusun apik, berantakan hanya karena keteledorannya.
"Elo gak usah ngelak deh, Shil. Gue udah mergokin lo telfon sembunyi-sembunyi kayak gini, 3 kali. Pertama, pas final basket. Kedua, pas kita jenguk Alvin dan ketiganya, sekarang. Gue yakin yang lo telfon itu Rio kan ?"

"Bukan !!"

"Bohong !!"

"Udah deh, lo jangan ngaco."

"Ok. Kalau gitu, siniin HP lo." Debo dengan sigap merebut handphone Shilla.

"Privat number." gumamnya, setelah beberapa detik memeriksa handphone Shilla.

"Udah gue bilang, yang telfon tadi tu bukan Rio. Ngeyel sih lo." Shilla masih terus mempertahankan argumennya, dengan kasar ia merebut kembali handphonenya dari tangan Debo.

"Shil, gue yakin lo pasti tau kan dimana Rio sekarang ? Lo harus kasih tau Ify, dia jauh lebih berhak tau ketimbang lo." desak Debo, ia merasa berhutang budi pada Ify, dan berharap ia bisa membalasnya dengan mendesak Shilla agar memberitahukan keberadaan Rio.

"kenapa emangnya? Kenapa Ify lebih berhak tau dari gue ?"

"Karena Ify bener-bener sayang sama Rio."

"Oh, trus Rionya ? Apa dia juga sayang sama Ify, kalau iya kenapa Rio ngehindarin Ify ?"

"Jadi benerkan lo tau sesuatu, lo tau kan Rio dimana ?"

"Iya, gue emang tau dimana Rio. Terus lo mau apa, heuh ?"

"SHIL, ELO HARUS KASIH TAU IFY DIMANA RIO." raung Debo. Untungnya saat itu seluruh siswa kelas XI IPA 1 sedang berolahraga, sehingga pertengkaran dua orang ini tidak terlalu menyita perhatian.

"GAK-AKAN-PERNAH." ujar Shilla tegas.

"Elo jangan keterlaluan gitu dong Shil."

"Gue ?" Shilla mengarahkan telunjuknya kedepan wajahnya, "heh, justru yang keterlaluan tu mereka, gak Ify, gak Iel, cuma nambah-nambahin beban fikirannya Rio doang. Si alvin juga, seenak-enaknya gebukin anak orang. Pas Rio ada, disalah-salahin, Rio menghindar dibilang pengecut. Mereka gak ada yang ngerti kan, gimana perasaan Rio ? So, yang keterlaluan siapa ? Mereka semua tu yang keterlaluan. Terutama lo, perusak. Jadi jangan sok care deh, sama Ify, Rio ataupun yang lain." cibir Shilla sinis, "Tapi tenang aja, gue gak sejahat yang lo fikir kok, gue bakal kasih tau Ify dimana Rio, tapi nanti kalau Rio udah siap ketemu Ify."

"Gimana kalau Rio gak pernah siap ketemu Ify lagi ?"

"Gampang aja. Berarti Ify gak akan pernah ketemu Rio lagi." Shilla menyeselesaikan kalimatnya dengan santai. Lalu berlenggang keluar kelas menuju lapangan, setelah sekilas melempar senyum menyebalkan lengkap dengan tatapan extra mencibir pada Debo.

"Rio-Shilla ? Kok jadi gini sih." gumam Debo, bingung.

***

Waktu sudah beranjak setengah jam dari tengah malam, tapi kedua mata indah milik pemuda ini tak kunjung terpejam. Tetesan cairan yang kemudian mengalir melalui selang yang menempel pada lengan kirinya serta bunyi tik-tok-tik-tok dari jam dinding persegi panjang didepannya terdengar lebih jelas daripada sebelumnya. Ia selalu benci saat-saat sendiri seperti ini. Ini kelewat sunyi, terlalu sepi, dan bayangan itu pasti akan datang lagi. Menyeretnya hingga kedasar yang paling gelap dalam hidupnya, memaksanya untuk kembali pada sebuah masa yang harusnya sudah terlupakan sejak lama.

Pemuda ini tidak tau lagi, mana yang lebih sakit. Tubuhnya atau hatinya. Masa lalu itu terus menghantui langkahnya. Mengusiknya saat terjaga, menekannya saat terlelap, ia benar-benar tersiksa.

Mungkin terlalu lelah, akhirnya sayup-sayup kelopak matanya mengatup, alis-alis matanya teranyam sempurna. Pemuda itu, ia tertidur.


Mereka bilang setiap kali angin berhembus,
seseorang disuatu tempat tengah menitipkan salam rindu untuk orang terkasihnya.
Mereka bilang setiap kali langit gelap,
seseorang disuatu tempat telah meminta bintang-bintang untuk menghiasi mimpi orang tersayangnya.
Mimpi... Terkadang jadi isyarat tak terbaca berisi jawaban atas pertanyaan yang kau ajukan.


Pemuda tadi berjalan disebuah padang. Luas. Hijau. Dan sangat indah. Disisi kirinya tampak mawar-mawar dengan aneka warna tengah di gandrungi kawanan kupu-kupu. Disisi kanannya, pantulan mentari sore terbias jelas dipermukaan air danau yang tenang. Di depan serta belakang pemuda tadi, ilalang-ilalang setinggi pinggul berayun luwes disentuh angin. Pemuda tadi terlihat bingung, dimana Ia sekarang ? Disurga kah ??

Ya, ini pasti surga, karena tepat saat pemuda tadi menoleh, matanya menangkap sosok cantik bak malaikat degan cahaya putih yang memancar dari setiap inci tubuhnya, senyum manis terpeta pada parasnya yang ayu, tatapannya lembut seumpama lembayung senja, rambutnya terurai, berkilau dan meliuk mengikuti gerak tubuhnya.

Pemuda tadi terpana.

"Apa kabar Yo ? Lama ya kita gak ketemu." suara itu menyapanya syahdu, terdengar merdu seperti nyanyian putri-putri duyung penghuni danau hitam pada film Harry Potter and The Goblet of Fire.

Pemuda tadi terkesiap. Sosok itu mengenalnya, "Dea ?" gumam pemuda tadi, ragu-ragu.

Sosok cantik tadi mengangguk.

"kamu betul-betul Dea ?"

"Iya Rio, aku Dea. Aku nemuin kamu buat ngembaliin ini." sosok cantik yang mengaku jelmaan Dea itu menarik lengan kanan Rio dan menggambarkan lambang Love yang dibubuhi tulisan hati ditengah-tengahnya.

"Ini hatimu," katanya seraya tersenyum, "Maaf, aku menahannya terlalu lama. Aku rasa kamu mulai membutuhkannya untuk menyayangi orang lain. Kamu selalu bilang aku adalah bintangmu. Tapi kamu perlu tau Rio, gadis yang jatuh bangun membantumu itu adalah mataharimu. Orang bisa hidup tanpa bintang, tapi gak ada yang sanggup hidup tanpa matahari. Aku gak akan pernah rela, kalau tempatku di hatimu digantikan orang lain, tapi aku akan lebih gak rela kalau kamu hancurin hidup kamu, dan jadiin aku sebagai alasannya. Itu konyol."

Pemuda tadi masih mematung. Rio, dengan kaku hanya satu kalimat yang ia ucapkan, "Aku kangen kamu, De."

Sosok Dea lagi-lagi hanya mengumbar senyum. Sepertinya ia sadar betul senyumnya lebih indah dari seluruh bunga-bungaan yang ada didunia.
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Dea menjauh, semakin lama semakiiin jauh. Tangan Rio terus terulur berusaha menyentuh sosok cantik itu, tapi Dea tak lagi ada dalam jarak yang bisa Rio jangkau.

"De, kamu mau kemana ? Jangan tinggalin aku lagi, De. Aku ikut kamu, Deaa..."

"Aku bahagia ditempatku Yo, dan kamu juga harus bahagia disana. Salam untuk malikatmu dan untuk Debo."

Sosok Dea lantas menghilang ditelan gumulan kabut putih.

Bruk.

Rio menjatuhkan dirinya. Bersamaan dengan itu, akalnya dibenturkan pada sebuah kesadaran. Masa lalu telah melepaskan belenggunya. Sekarang tinggal Rio sendiri, sudah beranikah ia hengkang dari masa lalu dan menjemput masa depannya ? Sudah cukup tangguhkah ia kalau suatu saat, ia harus kehilangan lagi ??

"aku akan membantumu..."

Suara lembut itu membuat Rio mengangkat wajahnya ?? Seorang gadis dengan kedua sayap dibalik punggungnya, mengulurkan tangan dengan tulus kearah Rio.

"kamu..."

Rio terhenyak, tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya memburu. ia terbangun dari tidur singkatnya. Apa yang barusan ia alami ? Mimpikah ?
Tapi kenapa terasa begitu nyata.

"Shilla..." gumam Rio, tanpa sadar.


***

Catatan Si Putih (cerpen)

***

Dia terbatas.
Dia hanya tau tentang saling menyayangi, tanpa pernah mengerti selubung misteri yang menutup rupa asli bumi.
Dia hanya butuh sebentuk hati untuk menjalani hidup, lantas akan selalu tersenyum tulus.
Tak peduli busur-busur jahanam telah mengintai tepat kearahnya.
Dia sederhana. Sesederhana kasih sayang seorang kakak pada adiknya.


***

Minggu, 27 Februari 2011

Seorang gadis menunduk dalam-dalam. Rambutnya yang panjang bergelombang terjuntai menutupi wajahnya yang kian tirus. Tak jelas apa yang menarik dibawah sana, tapi sepertinya gadis ini sangat betah memaku pandangannya pada tanah kemerahan yang becek setelah berbaur dengan air hujan. Renda-renda berwarna senada vanilla yang menghiasa ujung-ujung gaun hitamnya sudah dipenuhi bercak-bercak kecoklatan dari lumpur yang bercipratan saat kaki kecilnya melangkah kemari tadi. Ia memang tidak sendiri di tempat menyedihkan ini, tapi ketahuilah, saat ini apapun dan siapapun akan jadi tak kasat mata untuk gadis dengan bola mata indah ini. Gadis tadi tersenyum samar, berusaha menyarukan sedih yang merangkulnya sejak lama. Ini akhirnya. Ini doanya,  untuk segera tau nasib orang yang disayanginya. Lantas, kenapa ia harus menangis ?

Seorang pemuda disisinya hanya bisa berdoa dalam hati, "Kuatkan dia, Tuhan..."

***

Kamis, 21 Oktober 2010

Ini catatanku. Catatan Si Putih. Catatan kecil tentang sebuah kekuatan. Kekuatan besar yang berawal dari sepercik rasa sederhana yang telah jadi hal langka dalam opera panjang bernama kehidupan ini.
Tidak, ini tidak serumit kisah-kisah cinta klasik atau sesukar kata-kata sayang yang kadang tersimpul membentuk jerat yang mencekik tanpa ampun. Kisah dalam catatan ini tidak berinti seberat itu. Hanya bercerita tentang sesuatu yang simpel tapi bermakna, sesuatu yang akan mempertegas segala rupa yang samar, yang akan melapangkan setiap sisi yang sempit, yang akan menguatkan setiap insan yang rapuh, serta yang akan memudahkan setiap jalan yang kadang terasa sulit.
Sesuatu yang sederhana itu, adalah...
panji-panji ketulusan.

Aku ingin membagi catatanku, sebuah cerita tentang dua anak manusia yang menyelami arti dan makna ketulusan dengan sangat benar dan sempurna...

***

Jum'at, 22 Oktober 2010

Aku tengah mengepakkan kedua sayapku yang lembab disentuh rintik hujan. Seperti biasa, bulan Oktober. Hujan sudah mulai berkeracak tiada henti. Tuhan memang sangat menganak-emaskan sang air, setiap kali musim penghujan tiba. Sehingga tidak aneh, kalau disetiap titik yang ku dapati hanya air, air dan air. Ah, kemana sih Si Matahari ? Kenapa ia lebih memilih bersembunyi dibalik dekapan awan, sementara penduduk bumi merindukan kehadirannya.

Pagi ini kupaksakan untuk terbang. Sayap-sayapku bisa lumpuh kalau selama beberapa bulan harus berdiam, tanpa ku kepakan. Gerimis masih terus bersenandung, membuat sang kodok penghuni danau kecil ditaman ini bersorak riang. Ya, aku memilih taman kecil ini sebagai tempat menghabiskan pagi yang sangat dingin ini. Biasanya, setiap aku mengunjungi tempat ini barisan bunga tapak dara dan asoka akan berayun kompak seperti memberi ucapan selamat datang. Menurutku, taman ini juga memiliki rumput paling sempurna, hijau cerah dan segar. Tapi nampaknya hujan telah banyak merubah tempat ini, sekarang yang ada hanya genangan-genangan air dan guguran dedaunan.
Tapi ada satu yang tidak berubah. Gadis itu. Gadis manis dengan slayer putih yang membelit tangan kirinya. Gadis itu tetap pada kebiasaannya, menggambar ditaman ini. Tak peduli pada rinai air yang kian gencar mendera tubuhnya, tangan gadis berambut panjang itu tetap luwes menari diatas buku gambar ukuran A4nya. Disisi kanannya, seorang pemuda berusia sekitar 16 tahun dengan kaos hijau lumut, tengah menggerutu kesal, entah karena apa.

Oya, karena ada pepatah tak kenal maka tak sayang, maka kenalkan aku Putih, Si Putih. Aku seekor merpati. Karena buluku putih senada salju, jadilah kunamai diriku sendiri dengan julukan Si Putih. Hehe..

"Bosan.. Bosan.. Bosaaaan." teriak pemuda tadi, seraya menghentak-hentakkan kakinya.
Merasa belum cukup, pemuda tadi melempar tempat pensil Si Gadis. Tindakan semacam itu benar-benar tidak layak dilakukan pemuda seusianya.

Gadis tadi hanya tersenyum sabar, lalu memunguti isi tempat pensilnya yang berserakan.
Mmh, pemuda itu memang sedikit berbeda dengan yang lain. Dia idiot. Ah, bukan-bukan, rasanya itu terlalu kasar. Terbelakang. Ya pemuda dengan kulit sawo matang itu terbelakang.
Duh, kok rasanya, kata terbelakang tidak jauh lebih baiknya dari idiot.
Ya, intinya dia berbeda. Dia terbatas.

"Kak Rio sabar dong, Acha sebentar lagi selesai kok." hibur gadis yang akrab disapa Acha tadi, sebelum ia kembali menekuni gambarnya.
Seperti mengabaikan kata-kata Acha, pemuda berambut acak dengan poni sedikit melewati alis, yang dipanggil Rio tadi, malah berdiri.

"Ehh." Acha mendongak saat merasakan bayangan jangkung tubuh Rio, menghalau cahaya yang jatuh diatas buku gambarnya, membuat permukaan putih itu, menggelap. Di dapati kakak tercintanya, tengah berdiri dengan kedua tangan bertaut diatas kepala Acha.

"Kakak ngapain ?" tanya Acha heran.

"Jagain kamu, dari hujan. Biar gak sakit." jawab Rio, polos.

"Acha gak akan sakit, air hujan doang sih, kecil." Acha menjentikka ibu jari dan kelingkingnya.
Diraihnya lengan-lengan kokoh Rio, dibimbing agar turun, lalu Acha mengedipkan sebelah matanya, "Achanya Kak Rio kan kuat." lanjutnya, yakin.

"Aku benci hujan." kata Rio setelah kembali duduk manis disamping Acha. Dua buah kursi dan satu meja bundar yang ada ditaman ini, sepertinya sudah mereka kontrak dan akan selalu jadi tempat favorit keduanya setiap kali mengunjungi taman komplek ini.

"Kenapa emangnya ?" tanya Acha, lembut, tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku gambar.

"karena menurutku setiap kali hujan turun, pasti ada seseorang yang sedang sedih dan menangis."

Acha tertawa kecil, "Masa sih kak ?"

"Iya, buktinya aku sering liat kamu nangis kalau liat hujan."

Acha menghentikan aktivitasnya. Jadi kakaknya sering melihatnya menangis ??
Acha melirik Rio, sekilas. Pemuda itu tengah asik memainkan genangan air dengan ujung-ujung kaki yang dibiarkan tak beralas.

"Setiap hujan turun, Acha gak sedih kok, Aku cuma kangen sama Ayah dan Bunda. Kak Rio kangen gak sama mereka ?"

Rio hanya menggangguk, pelan.

"Itu gambar apa ?" tanya Rio setelah menilik buku gambar yang sedari tadi menyita adik semata wayangnya itu.

"Istana diatas awan." jawab Acha, singkat.

"Bagus." puji Rio, "Kasih Tuhan aja. Minta buatin yang seperti itu untuk tempat tinggal Ayah dan Bunda diatas awan." saran Rio.

Setelah kalimat tidak masuk akal yang Rio ucapkan, keduanya tidak bicara apa-apa lagi untuk beberapa saat. Keduanya terdiam.

"Kalau itu apa ?" Rio menunjuk kearahku yang bertengger di salah satu batang pohon Kiara.

"Itu Merpati kak."

"Merprati ?"

"Mer-pa-ti."

"meraptri ??"

Acha menggeleng, "Bukan kak Rio. Itu mer-pa-ti."

"Mer-pa-ti. Merpati ?"

"Yapp. Merpati." Acha mengacungkan kedua jempolnya.

"Hehehe, namanya susah ya." Rio terkekeh lucu.

Kalian tau ? Aku selalu kagum pada kakak beradik ini. Si adik yang begitu menyayangi kakaknya, bagaimanapun kondisi kakaknya. Dan si kakak, yang dengan segala keterbatasannya, masih tetap berusaha menjaga adik kecilnya. Berbeda sekali dengan kebanyakan orang diluar sana, yang bahkan tega menciderai saudaranya hanya karena hal-hal sepele.

Banyak orang yang mengecilkan, memandang sebelah mata sosok-sosok tak sempurna seperti Rio. Padahal belum tentu, dimata Tuhan derajatnya lebih tinggi daripada orang yang dihinakannya. Menurutku, justru orang-orang seperti Rio jauh lebih tulus, ia hidup bukan untuk pujian, bukan untuk segala hal yang berbau duniawi. Baginya selama masih ada orang yang disayangi dan menyayanginya itu sudah cukup. Dan pada hakekatnya, bukankah itu makna sejati dari kehidupan. Saling mengasihi dan menyayangi. Bagi Rio cukuplah Acha sebagai dunianya. Saat Acha tersenyum, itu berarti dunia juga tersenyum untuknya. Sesederhana itu.

"Nah, selessaaiii..." seru Acha bangga, "Ini buat kak Rio." Acha menyodorkan gambar yang baru saja diselesaikannya. Sebuah gambar dengan dominasi warna hitam dan putih, melukiskan sebuah istana megah yang mencuat dari balik gumulan-gumulan awan. Indah, sangat terkesan nyata.

"Buat aku lagi ? Kenapa bukan kamu yang simpen. Ini kan gambar kamu."

"gak pa-pa, ini buat kak Rio. Kalau gak mau dibuang aja."

"Setelah aku bosen nungguin kamu ngegambar, udah jadi trus dibuang gambarnya ? Apa ada hal lain yang lebih bodoh yang bisa kamu sarankan ?"

"Hehehe. Makanya kakak simpen ya."

Rio akhirnya mengangguk, ditelusuri gambar itu dengan kelima jarinya, "Aku mau belikin kamu pensil warna. Punya kamu udah kecil terus cuma tinggal warna hitam sama putih aja. Tapi aku gak ada uangnya." celetuk Rio, tampak sangat menyesal.

Acha pasti menjerit pilu dalam hati, mendengar kata-kata Rio. Di pandangi lekuk-lekuk sempurna wajah kakak tersayangnya itu. Betapa gurat-gurat tegas dan bijaksana itu masih ada, sorot cerdas dan tenang itu masih tersisa, garis-garis ketampanan pun masih terpancar jelas. Rio...
kenapa takdir begitu seenaknya saja memutar balikkan nasib seseorang??

Rio, pemuda ini adalah satu-satunya anggota keluarga inti yang Acha punya, setelah kepergian kedua orang tuanya. Rio dan Acha sebenarnya bukan lahir dari kalangan keluarga tidak mampu. Orang tua mereka meninggalkan warisan yang lebih dari cukup untuk biaya hidup mereka hingga dewasa. Tapi sayangnya paman mereka, adik dari sang Ayah yang dipercaya menjadi wali mereka sekaligus mengelola seluruh aset kekayaan keluarga Rio dan Acha, tidak bertanggung jawab. Perusahan Ayah mereka belakangan mengalami kemunduran drastis, hutang bertumpuk, klien banyak yang pergi, bahkan rumah mewah yang Rio dan Acha tempati sekarang akan disita oleh bank kalau paman mereka tidak segera melunasi hutang-hutangnya.

Keadaan Rio saat ini, juga dikarenakan perlakuan paman mereka yang kerap memukuli Rio dengan kalap. Tidak manusiawi. Dari sapu, sabuk, bahkan Rio pernah dilempar sebuah vas cantik dari keramik tepat mengenai kepalanya. Tidak akan ada yang menyangka kalau Rio ini adalah ketua OSIS dan termasuk the most wanted boy di SMAnya, dulu ketika masih bersekolah. Benturan dikepalanya yang menciderai organ krusial tubuh rio, yaitu otaknya, hampir setahun yang lalu, membuat Rio jadi seperti ini sekarang. Kini untuk mengucapkan beberapa kata saja Rio terdengar kaku. Perbendaharaan katanya bahkan tidak lebih banyak dari anak kelas 5 SD.

"Kenapa aku gak kayak yang lain ? Aku udah besar tapi cuma bisa ngerepotin kamu." tutur Rio, masih dengan kosakata tak beraturan khasnya.

"Kakak, sama sekali gak ngerepotin Acha. Kakak gak perlu kayak orang lain, karena Acha sayangnya sama Kak Rio yang ini, yang ada didepan Acha, sekarang." balas Acha lembut, bukan hanya bibirnya, sorot matanya juga ikut berbicara tentang ketulusan hatinya.

"Acha..."

"Ya ?"

"aku mau digambarin bunga krisan sama kamu."

"Bunga Krisan ? Emang kayak apa bentuknya, kak Rio udah pernah liat bunga Krisan ?"

Rio mengangguk.

"Oya ? Dimana ? Acha belum pernah liat."

Rio menggeleng, "Gak inget, dimana." jawabnya singkat.

Acha hanya tersenyum, faham betul bagaimana ingatan kakaknya itu, "Ya udah nanti kalau Acha udah liat kayak apa bunga Krisan itu, Acha bakal gambarin buat kakak." janji Acha.

Rio mengangguk antusias, matanya yang polos kini berbinar senang.

Krisan. Queen of the east. Lambang ketulusan.
Tulus... Sama seperti Rio. Dia tulus.

***

Minggu, 24 Oktober 2010

Eerrr, hujan lagi-hujan lagi. Huh. Begini nih, kalau hidup didaerah tropis. Musim penghujannya berlangsung lebih lama, setengah tahun. Rasanya sayap-sayapku sudah mulai kelu dan beku. Lama sekali, aku tidak terbang jauh.
Beruntung, kali ini aku tidak perlu repot-repot mencari tempat berteduh dari bengisnya air langit. Rio membuka jendela kamarnya, dan karena dia terlihat sangat sibuk dengan lamunannya, aku rasa tidak perlu meminta izin dulu untuk sekedar berteduh sebentar dikusen-kusen dari kayu jati itu. Ku kepak-kepakkam kedua sayapku untuk merontokan titik-titik air yang bersembunyi dibalik bulu-buluku.

PRAANG

Dari luar terdengar bunyi suatu benda yang sepertinya telah pecah.

"Jangan. Jangan. Aku takut. Aku takut. Aku takut."

Aku menoleh saat mendengar jerit ketakutan itu.
Rio. Dia meringkuk disalah satu ujung ranjangnya, kedua tangannya menutup rapat telinganya, wajah Rio memucat. Jelas, ia sangat ketakutan.
Aku terbang ke meja disisi dekat tempat tidur Rio. Berharap saat melihatku Rio tidak akan merasa sendiri dan ketakutan seperti itu lagi. Dari tempatku, aku baru bisa melihat, ada beberapa kertas yang berserkan diatas ranjang berseprai coklat muda itu.
Gambar bernuansa hitam putih. Ya, pasti gambar-gambar buatan Acha, siapa lagi ??
Aku menjulurkan leherku, melongok salah satu gambar yang paling terjangkau penglihatanku. Gambar yang terlihat, adalah gambar seorang pemuda tampan dengan sepasang sayap menyembul dari balik punggungnya.

Oh, iya, iya. Aku ingat gambar itu. Kalau tidak salah gambar itu diberikan Acha pada Rio, seminggu setelah kedua orang tua mereka meninggal.

"kak Rio sekarang adalah malaikat penjaga buat Acha. Acha gak punya siapa-siapa lagi selain kakak. Janji ya, kakak jangan pernah tinggalin Acha."

Seingatku, itulah kalimat yang diucapkan Acha saat memberikan gambar itu. Pada waktu itu, dengan dewasa Rio masih bisa mengayomi adiknya dengan kata-kata bijak dan menenangkan.

Gambar selanjutnya yang bisa aku lihat adalah gambar sebuah padang bunga matahari lengkap dengan sang surya yang terkesan berpendar angkuh disisi kanannya. Meski bukan dipulas dengan warna kuning menyala, tapi gambar itu tetap terkesan hidup. Malah terkesan lebih dramatis dan sendu.

"Bunga matahari akan selalu tumbuh mengikuti arah datangnya cahaya matahari. Begitu pula Acha. Kakak mataharinya Acha, dan Acha akan selalu jadiin kakak panutan, gimanapun keadaan kakak. Kakak tetep kakak nomor satu sedunia."

makna itulah yang coba Acha siratkan dalam gambarnya, gambar sang surya dan padang bunga matahari.
Dan masih banyak lagi gambar-gambar yang lain. Tetap dengan nuansa hitam putih yang sepertinya menjadi ciri khas Acha. Menurutku gadis itu memiliki jemari ajaib yang bisa menyeret setiap orang dalam dimensi lain melalui gambar-
gambarnya. Gadis itu bisa bercerita tentang segala hal hanya dengan goresan pensil serta pulasan warna dalam selembar kertas.

"RIO...ACHA.." teriakan itu memekak telinga, terdengar lantang dan liar, disusul bunyi-bunyi rusuh yang sepertinya berasal dari barang-barang yang dilempar.

"Jangan bentak. Jangan bentak. Takut. Jangan bentak, aku takut." Rio kembali merancau. Kini seluruh tubuhnya terlihat dibanjiri keringat. Wajahnya pucat pasi.

BRAK

Pintu dibuka dengan kasar, seorang gadis segera menghambur kedalam, lantas memeluk Rio, setelah mengunci pintu kamar dari kayu Aras berplitur mengkilap disisi kanan ruangan ini.

"Kakak, Om datang kak. Acha mesti gimana, Acha takut, Kak." keluh gadis itu, rautnya tak kalah tegang dari Rio.

Rio mengelus rambut panjang Acha dengan penuh kasih sayang. Ia lalu berbisik, "Berjanjilah !!"

Acha melepas pelukannya, keningnya berkerut.

"Untuk ?"

"Aku akan keluar. Kamu pergi, lari yang jauh. Jangan pernah kembali, jangan pernah tengok kebelakang."

"terus kak Rio gimana ? Aku mau sama kakak."

"Aku menyusul."

"Nggak." Acha menggeleng mantap, "Acha mau sama kak Rio. Ayo kak kita lari sama-sama. Aku gak mungkin ninggalin kakak."

"RIO...ACHA.." suara keras sang paman kembali menggelegar, sekarang malah bertambah suara ribut-ribut dari beberapa orang. Sepertinya sang paman tidak sendiri.

"Ayo cepet lari"

"Nggak kak. Jangan paksa Acha, Acha gak mau."

"Aku gak mau kamu dijual. Aku gak mau. Ayo lari. Aku mohon."

"kak Rio, Acha gak mauu. Acha gak mau kak."

Acha menangis tersedu. Air matanya terurai kesana-kemari, rata terpeta di seluruh wajahnya. Rambut ikalnya sebagian menempel pada pipi gembilnya dan sebagian lagi berayun luwes seirama gelengan kepalanya.

"Jangan nangis. Aku mohon pergilah. Aku akan menyusul, aku janji." pinta Rio, sungguh-sungguh.

"tapi Kak..."

"Kalau kamu tertangkap, kamu gak akan bisa buatin aku gambar bunga Krisan, kamu udah janji mau buatin."

"Kak.."

Rio segera mengacungkan jari kelingkingnya, menuntut Acha untuk berjanji.

"nana..nana..nanananana..nanananana..nanana..nanaaa" Rio melagukan sebuah nada tanpa syair sambil tersenyum tulus. Menurut Rio nada itu bisa mengusir rasa sedih dan takut.

Acha tidak langsung menautkan kelingkingnya, ia mengikatkan slayer putih yang biasa di gunakannya. Membentuk sebuah simpul pada pergelangan tangan kanan Rio yang masih tergantung diudara.

Acha menghapus air matanya, "tapi kakak juga harus janji ya, kakak bakal nyusul Acha." tuntut Acha.

"Janji." balas Rio mantap.

Keduanya menautkan jari mereka yang sama-sama terlihat putih memucat.

Perlahan keduanya keluar, lalu berpisah di pintu dapur. Rio menuju ruang tamu, sedangkan Acha mengendap-ngendap kearah pintu belakang.

Aku terus mengikuti pergerakan mereka, dari atas pohon jambu tempatku bertengger sekarang.
Aku bisa menangkap sosok Rio seorang diri, berdiri tegap didepan pamannya yang terlihat jelas sangat marah dan murka.

"DIMANA ADIKMU ?" tanyanya dengan nada tinggi.

Rio diam. Manik matanya, menatap tajam pada coklat gelap milik adik sang Ayah.

"TULI YA KAMU ? DIMANA ACHA ?" bentaknya lagi.

Rio mempertahankan diamnya. Tak kuasa menahan amarah, sang paman melayangkan tinjunya ke perut Rio.

"JAWAB IDIOT. DIMANA ADIKMU, SURUH DIA KEMARI." makinya, sambil melayangkan tinjunya yang kedua. Tubuh kurus Rio terhempas jatuh, membentur sofa di sisinya.

Sang paman, hari ini berniat menjual Acha pada seorang germo sekaligus bandar narkoba kelas kakap, buronan nomer wahid kepolisian Indonesia. Acha yang berparas cantik dengan lekuk tubuh sempurna sepertinya akan dijadikan 'perempuan tidak baik'. Tapi sebelum rencana penjualan Acha untuk melunasi hutang terlaksana, Rio dan Acha sudah lebih dulu mengetahuinya. Mereka tidak sengaja menguping pembicaraan pamannya dengan seseorang di telepon, tempo hari.

"JAWAB BODOH. DIMANA ACHA. JANGAN MEMBUATKU MARAH."

BUGG

kaki kanan sang paman ikut beraksi, kaki besar itu menendang Rio yang meringkuk lemas dilantai.

Aku bisa melihat sekilas pemuda menganggumkan itu tersenyum tulus pada seorang gadis yang tengah menangis dibalik pintu dapur tak jauh dari situ.

"nana..nana..nanananana..nanananana..nanananana.." Rio kembali bersenandung lirih. Senandung tanpa syair yang sering ia lantunkan untuk Acha, "Lari adik manis.." ucapnya, pelan.

Acha mengangguk meski ragu. Ia segera mengambil ancang-ancang untuk lari, tapi sialnya salah satu dari tiga orang berpakaian serba hitam, yang entah siapa itu, memergokinya.
Orang itu dengan cepat menarik kerah baju Rio, memaksanya berdiri.

"HEH KAMU !! Jangan lari kamu. Kalau kamu lari, orang ini akan saya tembak." ancam orang itu.

Acha tersentak, ia menghentikan langkahnya.

"Ayo lari. Kamu udah janji." seru Rio dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.

"DIAM KAMU." sentak orang yang sama, seraya memukulkan pistolnya ke pelipis Rio.

"Aaargh." Rio mengerang, darah segar menetes dari dahinya.

"Kak.."

"Lari ayo, lari."

"Diam disitu atau dia akan mati. Kamu seret dia kemari." perintah orang tadi pada rekannya.

"Aku sayang Acha. Ayo Acha pergi. Jangan kecewakan aku." lirih Rio setengah putus asa mendapati Acha yang masih bertahan ditempatnya.

"kak Rio akan menyusulmu Cha. Dia sudah janji. Ayo lari, Cha." bisik hatinya.

Acha pun mengangguk mantap, ditariknya nafas dalam-dalam. Mengumpulkan tenaga untuk lari secepat mungkin, nantinya. Pada saat otak serta hatinya mengkomandoi agar kedua kakinya segera lari, tanpa ragu Achapun langsung berlari.

Ia terus berlari, sambil menghalau segala fikiran buruk dan rasa takut dalam benaknya.

"Ayo lari, Raissa. Lari." tekadnya dalam hati.

"AKU SAYANG KAMU, CHA.." hanya teriakan itulah yang Acha dengar, saat ia telah melewati gerbang menjulang didepan rumahnya.

DOORR

CETTARR..

Petir, kilat dan suara asing itu melumpahkan seluruh daya yang Acha punya. Mencekat nafasnya, membekukan aliran darahnya. Hingga gadis ini sempat berfikir, bahwa kematian akan terasa lebih menggembirakan untuknya.
Suara asing itu..
Apa ? Tembakankah ? Lalu, lalu, siapa yang ditembak ? Riokah ?

Aku yang sedari tadi mengikuti Acha berlari, tentu juga bertanya-tanya. Apa yang terjadi didalam rumah mewah itu ? Bagaimana nasib Rio ?

Aku yakin, saat ini Acha pasti sangat ingin kembali.
Tapi ribuan jempol untuk gadis cantik ini, saat ku lihat kaki-kaki jenjangnya terus berlari. Air matanya membaur dengan air hujan, seakan ingin menunjukan, mana yang lebih deras. Tanpa alas kaki, diselusuri jalanan beraspal didepannya. Acha pasti merasakan dingin yang luar biasa, dan parahnya sekarang ia sendiri. Seorang diri.

"Kak Rio bilang jangan berbalik. Jangan kembali. Kak Rio akan menyusul. Terus lari Cha." aku bisa mendengar Acha mengeja kalimat-kalimat itu secara terus-menerus. Kasihan Acha.

Siapapun bisa berkorban untuk orang yang dicintainya. Berkorban tidak membutuhkan keahlian khusus. Hanya butuh sedikit ketulusan.

***

Satu hari sebelum dirimu pergi
kau berikan segela yang kau punyai
jika saja ku tau engkau kan pergi...

Indah kau jalani hidup
tapi ku mengerti, sampai disini
engkau kan menjadi bintang
dipelukan malam yang memelukku dan menjagaku

Satu hari sebelum dirimu pergi
kau padamkan letihku dengan pelukan
jika saja ku tau engkau akan pergi
sisa waktu, ku habiskan merawatmu.

***

Minggu, 27 Februari 2011

Gadis bergaun hitam dengan renda-renda senada vanila tadi masih terpekur dalam diamnya. Sedih pastinya. Tapi dia tidak menangis, barangkali air matanya sudah terkuras habis tak bersisa. Acha. Ia terus mengelus-elus marmer putih yang menjadi nisan untuk makam sang kakak. Seorang kakak yang rela telah mengorbankan nyawanya, demi supaya Acha bisa hidup dalam kehormatan.

Teriakan terakhir kakaknya masih terus bergaung dalam ruang dengarnya, "Aku sayang kamu, Cha."

Astaga, hanya orang tolol saja yang tidak tau betapa besar rasa sayang kakaknya terhadap Acha.

"Kenapa kakak tinggalin Acha. Acha sendirian kak, Acha takut."

Setelah empat bulan berselang, Acha baru berani kembali kerumahnya ditemani Ozy. Rumah itu ternyata sudah disegel oleh bank. Tapi Acha berhasil memperoleh informasi yang ia inginkan, nasib kakaknya ?
Dan inilah. Pemakaman inilah yang ditunjukkan penduduk setempat saat Acha menanyakan perilah Rio. Disinilah, kakak kebanggaannya tertidur tenang. Tanpa iringan doa ataupun taburan bunga dari Acha, selama 4 bulan. Ia berpulang, sebelum sempat berpamitan dengan Acha. Sebelum Acha sempat mengucapkan trimakasih atas pengorbanannya.

"Kakak udah janji mau nyusul Acha."

"Udah dong Cha, Rio bertaruh nyawa buat kamu supaya kamu bahagia. Dia pasti sedih kalau liat kamu gak bisa relain kepergiannya. Hujan-hujan Rio dateng kerumahku, dia minta supaya aku jemput kamu hari itu. Hari dimana, Rio nyuruh kamu lari. Dan liat Cha, sekarang kamu selamat dari rencana busuk Om mu, Rio pasti senang, dan dia akan jauh lebih senang kalau kamunya yang kuat, yang tegar, terus semangat jalanin hidup kamu. Jangan buat pengorbanan Rio sia-sia." pemuda yang sedari tadi berjongkok disisi Acha, mulai angkat bicara.

Namanya Ozy, dia adalah satu-satunya sahabat Rio yang masih mau peduli pada Rio dan Acha setelah keadaan Rio berubah.

"Rio kakak yang hebat, semua tau itu. Sampai kapanpun gak akan ada yang bisa gantiin dia, termasuk aku. Tapi Cha, aku harap seenggaknya aku bisa gantiin tugas Rio buat jagain kamu. Aku bakal selalu ada dan akan selalu jagain Acha." tutur Ozy, sungguh-sungguh.

Acha melirik sekilas pemuda manis yang dengan murah hati, telah mau menolongnya dihari pelariannya. Dan telah bersedia menampung Acha di panti asuhan milik bundanya selama 4 bulan terakhir ini. Pemuda itu memang benar-benar perhatian dan sangat baik pada Acha. Menurut penglihatanku, sepertinya Ozy menyimpan perasaan yang lebih pada Acha.

"makasih ya kak Ozy. Maafin Acha, Acha selalu ngerepotin kakak." Acha melempar senyum manisnya kearah Ozy.

Pemuda itu terlihat lega, mendapati senyum Acha kembali tersungging di wajah ayunya.
Ozy mengangguk pelan. Dengan lembut disekanya buliran-buliran air mata dipipi Acha.

Acha kembali mengalihkan pandangannya ke makam Rio, "Kak Rio, Acha kangen." lirihnya.

"Mmh, ini buat kakak. Gambar bunga krisan yang dulu Acha janjiin. Maaf ya, Acha baru bisa kasih ini sekarang. Tapi Acha harap, malaikat-malaikat Tuhan mau turun sebentar ke bumi dan ngambil gambar ini buat kakak. Supaya kakak bisa liat gambar Acha. Acha bakal berusaha ikhlasin kakak, Acha gak mau kecewain kakak. Acha sayang banget sama kak Rio. Salam buat ayah sama bunda ya." Acha mengecup nisan dengan ukiran nama 'Mario Haling' berikut hari jadi dan tanggal wafatnya, yang ada didepan Acha.

"nana..nana..nanananana..nanananana..nananananaa.." Acha melantunkan senandung itu lagi. Senandung kecil favorit Rio, yang sebetulnya, syairnya sudah berulang kali Acha ajarkan pada Rio. Tapi Rio tetap kesulitan untuk mengingatnya, "Cangkul..cangkul..cangkul yang dalam. Menanam jagung..dikebun kita. Semoga sekarang kakak bisa inget ya syair lagu itu." tambah Acha.

Perlahan ia bangkit, lantas membenahi roknya yang sedikit kusut.

"Mau pulang sekarang ?" tanya Ozy yang turut bangkit.

Acha mengangguk, yakin, "aku harus secepatnya menata hidupku kan kak? Disini lama-lama, cuma bakal buang-buang waktu. Yang penting aku akan selalu doain kak Rio." jawab Acha, lebih bijak.

"Bagus, kalau gitu." timpal Ozy.

Keduanya lalu berjalan menyusuri barisan-barisan nisan di komplek pemakaman umum ini. Aku masih memandangi mereka dengan rasa haru bercampur bangga.

Inilah potret asli kehidupan. Tidak ada pangeran tampan kaya raya yang kemudian menikah dengan putri cantik dari negara tetangga, lantas hidup bahagia selamanya. Sekali lagi ini bukan negeri dongeng. Ada kalanya kita dipaksa menangis, lalu disuruh bangkit kemudian dititah untuk terus berjalan.

***

Kasih dan sayang...
Adalah dua nada yang saat ia mulai bernyanyi, seharusnya semua akan terasa lebih mudah dan indah.
Cinta...
Adalah milik mereka, orang-orang yang mau menerima kekurangan dan dengan tulus bersedia untuk menyempurnakannya.
Ya, jika ada yang mau belajar tentang kasih sayang dan cinta yang sempurna..
Maka terlebih dulu, belajarlah tentang ketulusan dengan sebenar-benarnya.

***

Senin, 28 Februari 2011

'akhir...'

Rio.
Manusia...
kalian tau dia terbatas.

Lantas tak malukah kalian kepadanya ? Dia yang dengan jahat sering kalian anggap idiot, mampu menyibak tabir seluas langit yang sering menyarukan cara pandang manusia tentang cinta dan kasih sayang. Hawa, yang bernama cinta bukan berarti menyerahkan harga diri dan kehormatan kalian.
Adam, yang namanya sayang tidak bisa diuji lewat ciuman. Itu dangkal.
Lihat pengorbanan Rio. Itulah sejatinya cinta dan sayang.

Rio bisa membuktikan bahwa hidup
sesederhana pergantian siang dan malam. Mengalir begitu saja. Tanpa harus diskenario dulu. Tanpa harus diatur dulu. Tidak rumit, karena sebetulnya manusia sendirilah yang membuatnya rumit.

Rio.
Manusia..
Kalian tau dia terbatas.

Lantas tak malukah kalian kepadanya ??
Mencibirnya, mengabaikan kehadirannya. Padahal dari orang-orang sepertinyalah, Tuhan mengajarkan kita tentang ketulusan hakiki. Ia menangis saat ia sedih, ia tertawa saat bahagia, ia menjerit saat tersakiti, tidak perlu topeng, tidak perlu kepura-puraan, tidak perlu sekat dengan tirai-tirai kemunafikan. Hidup Rio lurus, jauh dari kebohongan.

Manusia..
Aku catat jalan hidup dua anak manusia ini untuk kalian jadikan pelajaran. Untuk bahan renungan.
Kadang Tuhan menyimpan mutiara dibalik pekatnya lumpur. Tuhan kadang menyertakan aroma melati dibalik busuk barak sampah.

Jangan belajar meremehkan, jangan terbiasa menghina dan mencela.
Jangan menyarukan kejahatan dengan mengatasnamakan cinta.
Jangan melancarkan kemungkaran dengan kasih sayang kau jadikan tamengnya.
Itu pesanku...

Akhirnya, ku sudahi catatan ini dengan bait dan lantunan doa untuk Rio.
Semoga dunia ini masih cukup layak untuk disinggahi orang-orang berhati malaikat sepertinya.

Salam sayang,
Putih.

The End


***

Malaikat Hidup Gue -part 20-

***

Hari ini adalah hari yang sangat ditunggu oleh sebagian besar siswa SMA Citra Bangsa, karena semua siswa begitu yakin bahwa hari ini tim basket andalan sekolah merekat akan mengukuhkan predikat juara bertahan yang sudah di sandang selama 5 tahun berturut-turut. Mereka sangat optimis Iel CS akan berhasil memboyong tropi pertandingan ini ke sekolah mereka. Sehingga, tidak tanggung-tanggung para suporter yang datang memberikan dukungan semaksimal mungkin. Sorak sorai, riuh rendah gaungan yel-yel, teriakan-teriakan penyemangat, semua larut dalam atmosfer semangat yang menyelubungi langit-langit GOR ini.

Ah, andai orang-orang itu tau. Andai mereka faham. Disini, di locker room ini, orang-orang yang sejatinya adalah penentu kemenangan atas tim lawan, tengah galau luar biasa. Marah. Gelisah. Kesal.

Bila permukaan air yang diam itu biasanya beriak tenang, tapi teori itu tidak berlaku untuk sekumpulan orang ini. Mereka semua terdiam, hanya sesekali isakan gadis manis yang tengah bersandar di bahu sivia lah yang memecah hening. Sisanya, tinggal sepi lah yang berkuasa.

Iel, Cakka, Sivia, Agni, Ify, dan yang lainnya, larut dalam rasa tidak habis fikir pada dua orang manusia, bernama Rio dan Alvin itu. Bisa-bisanya. Sangat kekanakan. Memilih lari dari masalah dan mengabaikan kepentingan orang banyak. Apalagi melihat ekspresi sang pelatih yang terlihat sangat sedih saat meninggalkan ruangan ini untuk mencarikan pemain pengganti, tadi. Hah, pasti rasanya ingin sekali menghajar atau sedikitnya mencaci-maki Rio dan Alvin, saat mereka muncul nanti.

"Sebenarnya, Rio kemana sih, Fy ? Dia gak bilang apa-apa emangnya sama lo ?" Cakka masih melipat kedua tangannya di dada, bersandar pada kotak abu-abu dari besi yang berbaris rapi, mendominasi ruangan ini. Tatapannya tetap lurus ke depan.

Ify menyeka air matanya dan menggeleng pelan, "nggak Kka. Malam itu Rio cuma bilang mau pergi, itupun lewat surat..."

Flashback : on

tok-tok-tok

Pintu kamar Ify diketuk pelan.

"non Ify, ada mas Rio." lapor sebuah suara lembut dari luar.

"Iya, Bi. Suruh tunggu aja sebentar." balas Ify.

Dengan cepat, Ify segera turun dari ranjangnya. Berjalan kearah cermin besar di salah satu sudut kamarnya, tangannya langsung meraih sisir, merapikan geraian rambutnya yang sedikit kusut, lalu di hapusnya sisa-sisa air mata yang terselip di sela bulu matanya yang lentik. Ify menarik nafas panjang, "kamu harus kuat" gumamnya mantap, pada diri sendiri.

Setelah merasa lebih baik, Ify bergegas keluar. Saat membuka pintu, di dapati si Bibi masih setia berdiri di depan pintu kamarnya.

"Lho, Bi... Kok masih disini ?" tanya Ify, heran.

"Anu non, ini... dari mas Rio." si Bibi mengulurkan sebuah kotak berukuran cukup besar berwarna putih mengkilap dengan ornamen bintang-bintang.

"sekarang, Rionya mana ? Dibawah ?" tanya Ify, sambil berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu, "dia gak bawa mobil ya, Bi ? Kok aku gak denger ada mobil yang datang." lanjut Ify, bertanya.

Si bibi yang mengekori anak majikannya di belakang, menjawab dengan ragu, "Mas rio ndak bawa mobil, Non."

"oh, naik motor ya ?"

Si Bibi menggeleng.

Ify menghentikan langkahnya, ditatapnya wanita paruh baya itu lekat-lekat, "terus ?"

"Tadi Mas Rio sepertinya jalan kaki."

"oh, tumben." komentar Ify singkat.

"Non, Mas Rio itu lagi sakit ya ?" kini gantian Si Bibi yang melontarkan sebuah pertanyaan.

"emang kenapa Bi ?"

"wajahnya itu lho, Non. Tadi tu pucat sekali, seperti mayat saja. Tapi waktu Bibi suruh masuk malah gak mau, padahal hujannya diluar deras." jelas Si Bibi.

"jadi Rio, gak ada di bawah ? Dia udah pulang ?" tanya Ify.

Si Bibi mengamini dengan sebuah anggukan pasti.

"kenapa gak bilang daritadi sih ?" omel Ify, kesal, " simpan di kamarku, nih." Ify menyerahkan kotak putih dari Rio yang baru saja di terimanya pada Si Bibi, lantas segera berlari keluar.

Diluar hujan masih cukup deras, meski tanpa sambaran kilat ataupun gelegar petir, tapi rinai air tetap jadi lakon utama dalam drama alam yang tengah berlangsung malam ini.

"Rio... Rio.." Ify memanggil nama pemuda itu berulang kali. Berharap Rio belum begitu jauh dari rumahnya. Ify berlari keluar dari gerbang rumahnya. Kontan, piama biru laut yang dikenakannya langsung basah kuyup diterpa air hujan. Pandangannya menilik setiap sudut di sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa. Jalanan remang di depannya kosong dari ujung hingga ke ujung. Serangan hujan yang gencar tanpa henti, nampaknya membuat orang-orang malas keluar rumah.

Ify menyeka buliran air yang membasahi wajahnya, "Rio.." panggilnya sekali lagi.

Tetap tak ada sautan. Ya, ify tidak heran. Di depannya hanya ada tiang-tiang listrik yang menjulang, tak ada seorang pun selain dirinya disana.

"Aduh, Non Ify kok hujan-hujanan sih. Udah ayo masuk yuk, nanti Non sakit." Si Bibi datang tergopoh-gopoh membawa payung berukuran jumbo, warna-warni.

"Bi, kok Rio gak ada ?" tanya Ify, kecewa.

"Mas Rio pasti sudah pulang, sudah ayo kita masuk. Kan ketemu Mas Rionya bisa besok di sekolah." usul Si Bibi.

Ify tak berminat untuk membantah, ia ikut masuk bersama wanita asal Semarang itu ke dalam rumah.

Setelah kembali ke kamarnya, tanpa berniat mengganti bajunya yang basah terlebih dahulu, Ify langsung meraih kotak putih yang tergeletak di atas meja belajarnya.

Sejenak Ify tertegun. Warna putih, warna favorit Dea. Apa Rio tuli ? Bukankah berulangkali Ify beritahu bahwa ia lebih menyukai warna ungu.

"Kenapa semuanya jadi ribet gini sih. Ck." Ify berdecak kesal.

Dengan kasar, di robeknya kertas kado yang membungkus rapi kotak itu. Di dalamnya hanya ada dua benda. Sebuah gaun indah yang lagi-lagi berwarna putih, dan secarik kertas yang sepertinya di robek paksa dari pertengahan buku tulis.

Karena sudah pasti kertas itu di sisipkan untuk di baca, maka pupil mata Ify langsung bergerak kekiri dan kekanan, menelusuri tulisan yang berderet rapi dalam kertas itu.

"Dasar Rio primitif, masih zaman ya surat-suratan begini." dumelnya.

Ify...
I just wanna say thank you so much for all.
Makasih untuk semuanya. Maafin aku, kalau akhirnya semua jadi gak ke kontrok kayak gini. I didn't mean to hurt you. Aku pergi Fy. Tapi bukan untuk lari. Aku cuma mau bantu kamu lupain aku. Gadis sebaik kamu gak pantes buat aku.
Take care, my fairy.

Mario.

Ps : aku pingin kamu main piano lagi. Pakai gaun itu ya buat kontes piano 2 minggu yang akan datang.
Good luck.


Kertas itu bergetar di tangan Ify.
Pergi ? Rio pergi ? Tapi kenapa ?

Miris rasanya, kalau mengingat pria itu. Sampai kapan ia akan bertahan dengan masa lalunya. Menampik semua kebahagiaan yang jelas-jelas nyata, menggantinya dengan bayang-bayang semu masa silam.

Flashback : off

"gitu Kka. Itu juga udah hampir 2 minggu yang lalu." tutur Ify setelah menyelesaikan ceritanya.

"Kok lo gak bilang sih, Fy ?" tuntut Cakka.

"Gue gak yakin Kka, kalo Rio serius. Lo juga bilang selama 2 minggu Rio absen karena kakeknya yang di Manado, kritis." sergah Ify.

"Rio udah gak punya kakek kali, kakeknya meninggal 3 tahun lalu." suara khas milik Debo, terdengar dari balik pintu.

Reflek, Ify langsung mencelat dari tempat duduknya. Dari bahasa tubuh gadis ini, tampaknya gejolak magma yang sejak tadi ia pendam sudah siap membuncah saat melihat Debo. Perlahan, Ify berjalan menghampiri Debo, dengan tatapan sinis, "Ngapain lo kesini ?" ketus Ify.

"Nyariin kamu." jawab Debo sambil tetap tersenyum.

"Oh. Berarti mulai sekarang lo gak perlu repot-repot nyariin gue, karena gue gak mau ketemu lagi sama lo. Jelas !!" tandas Ify. Ia segera memutar tubuhnya, memunggung Debo.

"Kenapa ? Apa karena Rio ?" sahut Debo, defensif, "Apa sih istimewanya Rio. Dia tu cuma pembunuh." tambahnya, sarkatis.

Ify berbalik, memicing matanya dengan kedua manik kecoklatan milik Debo, "Atas dasar apa lo bilang Rio pembunuh ? Ini tu takdir. Emang sepupu lo itu umurnya cuma sampai hari itu aja. Elo gak berhak marah sama Rio." bela Ify.

"Fy, Dea itu sepupu kesayangan gue. Gue yang jagain dia dari kecil, gue yang dia cari kalau lagi sedih, lagi takut. Tapi demi Rio, dia lupain gue. Dan apa balasan Rio ? Berulang kali dia duain Dea. Berulangkali Rio bikin Dea nangis, terakhir dia malah bunuh Dea. Apa menurut lo, gue masih gak pantes marah sama Rio. Rio tu brengsek." tegas Debo.

Sebelum Ify sempat menimpali pernyataannya, pemuda itu segera mengambil suara kembali, "Elo bisa bilang ini semua takdir, karena elo gak ngerasain gimana perasaan orang tua Dea, sahabat-sahabat Dea, perasaan gue. Elo gak ngerti, Fy. Bahkan Bi Rini pembantu rumah Dea, tanpa sadar masih sering ngetuk-ngetuk pintu kamar Dea, buat bangunin Dea. Padahal kamar itu udah kosong, Dea juga gak akan pernah bangun lagi."

"Terus apa lo kira Rio gak kalah menderita dari kalian semua ?"

"Tapi dia pantas Fy, dia pantas dapetin semua itu, bahkan harusnya lebih. Dia tu brengsek, sering mainin cewek, percaya sama gue."

"Cukup. Sekali lagi lo panggil Rio brengsek gue jahit mulu lo." ancam Iel, manik matanya, tajam menatap Debo. Layaknya mata elang, membidik mangsanya.

Ify berjalan mentap kearah Debo, senyum sinis terpeta di wajahnya. Kini jarak mereka tinggal beberapa senti, "Debo, denger gue baik-baik ya. Dari segi hukum mana pun Rio tu gak salah. Itu murni kecelakaan."

Ify melipat kedua tangannya di dada, lalu berjalan memutari Debo dengan tatapan paling menyudutkan yang ia punya, "Gue sih sebenernya gak mau main ancam-ancaman kayak gini, tapi gimana ya, terpaksa." Ify mengangkat bahunya, "Gue cuma mau kasih tau, kalau disini jelas posisi lo yang paling salah." Ify tampak mengobrak-abrik isi tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar foto, dan melemparnya tepat di depan wajah Debo.

"Foto-foto itu di temuin petugas kebersihan sekolah di gudang. Elo udah lama kan mata-matain kita ? Terutama Rio. Terus rekaman itu, elo sengaja kan bikin rekaman itu buat bikin Rio tertekan ? De, gue bisa aja sekarang juga laporin lo ke polisi dengan semua bukti yang ada atas tuduhan kejahatan berencana dan intimidasi. Lengkapnya, gue juga punya saksi. Dayat. Elo salah milih sekutu. Bokapnya Dayat itu pegawai bokap gue, jadi kalau Dayat gak mau bokapnya di pecat, ya... Dia harus mau jadi saksi." ancam Ify.

Telak. Kalimat panjang yang dituturkan Ify mampu membuat seluruh partikel tubuh Debo mengejang. Debo ketar-ketir sendiri dalam hati.

Sial. Rutuknya.

"Apa sih bagusnya Rio ? Kenapa kalian semua segitu carenya sama dia. Dia tu gak sebaik yang kalin fikir." hasut Debo.

"Oh. Terus apa lo fikir lo lebih baik dari Rio ? Ngaca lo !! Lo deketin gue karena lo kira Rio bakal sakit hati, iya kan ? Terus lo juga kan yang ngambil video Via sama Iel waktu di rumah sakit. Liat dulu diri lo De, sebelum lo ngejugde orang lain." balas Ify.

Debo terdiam. Ia menyumpahi dirinya sendiri. Bisa-bisanya dengan begitu bodoh ia masuk dalam zona lawan tanpa tedeng aling-aling ataupun tameng. Dan alhasil, beginilah nasibnya, habis di pojokkan.

Cakka yang sudah mulai faham kemana arah pembicaraan Ify, ikut angkat bicara, "Setelah Rio balik, jangan pernah ganggu hidupnya lagi, dan kita juga gak bakal ganggu hidup lo. Lupain dendam lo dan lo gak perlu nginep di hotel prodeo. Kita tata hidup kita masing-masing. Deal ?" Cakka mengulurkan tangan kanannya.

Debo tidak langsung membalas uluran tangan Cakka. Ia terlihat sangat enggan.

"turunin tangan lo, Kka." titah Iel dengan suara datar, "gue rasa, ni bocah lebih milih perang sama kita."

tanpa di suruh dua kali, Cakka pun menurunkan tangan kanannya. Bersamaan dengan itu Pak Yunus yang notabenenya adalah pelatih tim basket datang, dengan nafas sedikit terengah.

"Bapak sudah menyuruh pemain cadangan untuk menggantikan Alvin dan Rio. Sudah cepat, kalian menuju lapangan. Pertandingan akan segera di mulai." intruksinya.

"Tapi pak, apa tidak riskan kalau kita menurunkan pemain cadangan ? Apa tidak sebaiknya kita menunggu Rio dan Alvin. Maksud saya, pemain cadangan kita kan masih kelas X belum begitu banyak pengalaman, lagi pula permainan mereka monoton, jadi sangat mudah terbaca lawan." sela Iel, tak yakin.

"Ya, kamu benar Gabriel. Karena itu saya lebih memilih untuk menurunkan Ray dan Deva. Ya, walaupun bukan dari tim, tapi saya lihat mereka sering ikut berlatih dengan kalian dan mereka sepertinya juga banyak belajar dari gaya bermain Alvin yang mengecoh. Saya harap keberadaan mereka bisa membantu kalian." tutur Pak Yunus.

"Maafkan kami ya, Pak." lirih Septian.

Pak Yunus tersenyum hangat, "Sudah, tidak apa-apa, yang penting sekarang bermainlah semaksimal mungkin. Perkara menang atau kalah itu urusan nanti. Bagaimana, Siap ??"

"SIAP PAK !!"

***

Peluit pertama dari wasit yang menandakan permainan dimulai sudah berbunyi sekitar 20 menit yang lalu. Skor yang diperoleh kedua tim belum terpaut jauh, sehingga para suporter masih sangat antusias mendukung tim sekolah masing-masing. Sepertinya semua orang yang hadir disini telah mencharger baterai masing-masing. Terbukti, teriakan-teriakan nyaring tak sedetik pun absen mengiringi partai final perlombaan basket antar SMA di sekitar Bandung dan Jakarta ini. Para pemain yang berlaga pun tak kalah semangat. Shooting-shooting cantik, operan yang akurat, ataupun tehnik-tehnik mengolah bola yang mengagumkan sudah di pertontonkan sejak menit-menit awal pertandingan.

Tapi susul-menyusul skor tidak berlangsung lama, beberapa menit berikutnya terlihat sekali bahwa kekuatan dan kecakapan pemain tidak berimbang. Tim basket Citra Bangsa mulai kesulitan meladeni permainan tim lawan yang sangat agresif.

"woi, mata lo biasa aja dong. Kagak usah melotot gitu." kata Sion, salah satu pemain tim lawan yang bertugas membayang-bayangi pergerakan Deva.

"Mata gue emamg kayak gini kupret. Gue orang Bali." Deva bersungut marah.

"Oh. Pantesan muka lo mirip leak." cibir Sion lagi.

Deva meradang. Ia menghentikan langkahnya kemudian berbalik.

BUGG.

Bola yang semula memantul lincah ditangannya kini meluncur, lalu mendarat tepat di wajah Sion.

"makan tu bola." umpat Deva.

Priiiittt.

Wasit meniup peluit. Tindakan Deva barusan terhitung sebuah pelanggaran dan pantas di ganjar sanksi. Lemparan ke ring. Kali ini kapten tim Yos Sudarso, yang di percaya mengeksekusi lemparan tadi, dan sluup. Masuk.

Ring tim Citra Bangsa kembali di jejali bola. Shoot cantik dari Obiet sang kapten menambah skor untuk timnya.

Suporter tim Citra Bangsa mulai bungkam. Entah tersangkut apa suara- suara teriakan tadi. Skor terpaut semakin jauh, tapi seandainya salah satu dari Rio ataupun Alvin bisa bermain dibabak kedua, radius ini masih bisa tersusul. Pertandingan di lanjutkan.

"heh, minggir nape lo. Ngalangin gue mulu." usir Ray, pada seorang pemain lawan berbadan tinggi besar yang sejak tadi memblokir langkahnya dari segala arah.

"babon minggir dong, gue mau shoot nih, gak nyadar body banget lo, awas, awas, awaas." cerocos Ray, yang tidak diindahkan oleh lawan di hadapannya.

"kasih gue ray..." teriak Ozy yang berdiri tak jauh dari tempat Ray berdiri.

"tidak bisaaa,, si jangkung menghalangi akuuu, Ozy..." timpal Ray, asal.

"makanya tumbuh tu keatas. Jangan rambut mulu yang tumbuh." cibir pemain tadi, tepat ketika Ray akan mengoper bola pada Ozy, alhasil....

DUGG

"aduuhh."

"Cakka bieber lo gak pa-pa?? Ya, ampun kaki lo nyampe begini." seru Ozy yang segera berlari kearah Cakka.

"yang kena tu kepala gue, Ozy maniiis, bukan kaki." kata Cakka gemas.

"Sorry ya Kka, ya ampun gue gak sengaja. Tuh biri-biri gangguin gue mulu." tunjuk Ray dengan dagunya kearah tim Yos Sudarso yang sudah berkumpul di sisi lapangan.

Priiiittt.

Peluit panjang ditiup wasit. Tanda berakhirnya babak pertama dan waktunya turun minum. Para pemain pun segera meninggalkan lapangan untuk istirahat.

"pokoknya gue gak mau main lagi Kka. Sakit hati gue, di kata-katain anak YS. Yang katanya mata gue gede lah, sainganlah sama bola basket, bolham berjalan lah, mirip leak, haduh gue udah gak sanggup deh Kka." cerocos Deva, panjang lebar.

"iya tuh. Kagak pada bilang sih, kalau di pertandingan basket ada adu mulutnya juga. Tau gitu gue siapin hinaan yang lebih nista buat mereka. Masa di bilang otak gue ketutupan rambut lah, kuntet, keberatan rambut. Kunyuk banget." timpal Ray.

"Udah jangan di dengerin mereka tu sengaja mancing-mancing emosi kita. Kalau bukan kalian siapa yang mau main. Rio sama Alvin belum ada yang datang." desak Cakka.

"gue, Kka." jawab Debo yang sekarang sudah memakai seragam tim.

"elo ??" Cakka terlihat ragu.

"iya, Kka. Debo sama gue bakal main gantiin Ray sama Deva, pelatih udah setuju." timpal Iel yang juga sudah mengenakan seragam tim, "kita minimalisir kekalahan Kka, walaupun mungkin gak bisa menang yang penting gak kalah telak. Debo ini sama kayak Rio, pernah dapet MVP di Manado." ujar Iel, sambil berlari-lari kecil melakukan pemanasan.

"Sialan ni bocah. Gak ngomong dari tadi." rutuk Cakka, pada Debo dalam hati.

"Tapi Yel, lo kan ba-"

"Cuma 1 babak Kka, gue kuat kok." Iel memotong kalimat Cakka yang sudah bisa di tebak apa kelanjutannya.

Cakka akhirnya mengangguk kecil tanda setuju. Sejujurnya, Cakka sangat ingin memenangkan pertandingan ini, sebelum ia berangkat ke Singapore, sebelum Pak Yunus pensiun sebagai pelatih basket. Jadilah, ia menyetujui keinginan Iel walaupun hatinya sarat dengan rasa khawatir.

"Ozy..." panggil Acha yang baru datang bersama Oik dan Gita.

"Lho, kok kalian disini ? Tim cheers gimana ?" tanya Ozy.

"Biasa Zy, Acha mau memberikan suntikan mental nih buat lo, biar semangat." jawab Gita mewakili, "tim cheers udah pada tewas dari tadi, pada gak semangat. Gak ada Rio sih." lanjutnya.

"Ozy semangat ya..." pesan Acha sambil mengulum senyum manis, tangan kanan gadis itu mulai menyusuri wajah yang di banjiri keringat, dengan sapu tangannya.

"kalau ada Acha sih abang Ozy pasti semangat 45678 deh." jayus Ozy.

"emm...ini Ray, buat kamu." Oik mengangsurkan sebotol air mineral kepada Ray.

"wah, makasih ya Cantik. Jadi makin sayang deh sama Oik." gombal Ray.

"sayang ?? kalian, jadian ?" celetuk Cakka yang tanpa di sangka-sangka dijawab dengan sebuah anggukan oleh Oik.

"what ?" seru Deva dan Ozy bersamaan.

"wah, congrats ya, semoga langgeng. Sejak kapan, Ray ?" ujar Iel.

"Baru satu mingguan kok, Yel. Sorry ya bro, gue gak bilang-bikang soalnya tampang-tampang kayak lo pada, kalau minta PJ pasti bikin bangkrut." Ray melempar cengiran pada dua sobat kentalnya.

"dasar kikir." cerca Ozy.

Tanpa ba-bi-bu dan sebab yang jelas, Deva langsung berlari keluar locker room ini.

"Dedep mau kemana lo ?" tanya Cakka mewakili yang lain.

"Nyusulin Keke lah, dia kan nonton. Gue juga mau di kasih minum sama di lap keringetnya..." jawab Deva setengah berteriak dari luar.

"Oh." Cakka manggut-manggut, "HAH ? Tadi dia bilang apa ? Sejak kapan si depong jadian sama sepupu gue. Depaaaa.." Cakka berniat segera lari menyusul Deva, tapi bagian belakang kaosnya keburu ditarik Iel.

"mau kemana lo ? Udah sih biarin aja, sister protect banget lo." ledek Iel.

"Yaah, gue sendiri dong yang jomblo." celetuk Gita.

"Gue sama Iel jomblo kok, Git. Lo tinggal pilih mau yang mana ?" canda Cakka.

"emang Si Aa nya belum nembak juga, Git ?" tanya Acha sambil melirik-lirik kearah kirinya.

"Iya, kalian kan udah lama banget tuh PDKTnya masa belum jadian ?" tambah Oik, lalu tersenyum penuh arti pada sosok di depannya.

Sedang Gitanya malah hanya menangkat bahu.

"Kalian semua sudah siap ?" suara tegas penuh wibawa milik pak Yunus membuat semua menoleh ke pintu, "Cepat kembali kelapangan. Pertandingan akan segera dimulai kembali. Dan kamu Gabriel, kalau ada sesuatu yang kamu rasakan segera berhenti bermain." intruksi PaK Yunus.

Semua patuh. Cakka, Iel, Debo, Septian dan Ozy kembali kelapangan dengan semangat yang baru untuk meneruskan pertandingan, sedangkan yang lain kembali ke kursi penonton.

Benar saja, tidak ada 5 menit setelah mereka tiba di lapangan, pertandingan sudah akan dimulai kembali. Saat peluit wasit di tiup panjang satu kali lagi, permainan pun langsung berjalan. Tim Yos Sudarso yang tampaknya sudah merasa diatas angin, mulai kewalahan menerima serangan balik dari Iel Cs yang tidak di sangka-sangka.

Perlahan, skor mulai tersusul. Tim Citra Bangsa hanya butuh 20 menit untuk menyamakan kedudukan. Dan di detik-detik akhir yang sangat menentukan, shooting mengagumkan dari Iel bersarang di ring tim lawan. Kedudukan berbalik. Para suporter kembali memperoleh nyawa dan suara mereka. Semua bersorak gembira saat peluit panjang tanda babak kedua usai ditiup. Semua warga SMA Citra Bangsa melonjak senang. Bangga. Tidak menyangka, sekolah mereka bisa menang kembali. Melihat skor dibabak pertama yang sepertinya mustahil terkejar. Adanya Gabriel dan Debo seperti jadi amunisi baru yang akhirnya bisa membuahkan kemenangan untuk tim sekolah mereka.

"kita menang, bro." pekik Iel gembira. Meskipun wajahnya terlihat lebih pucat tapi senyumnya, tapi senyum khasnya memupuskan semua kekhawatiran sahabat-sahabatnya. Semua baik-baik saja. Kalimat itu yang sepertinya ingin Iel tegaskan.

"WOHOOO, kita menang Yel. Kita gak jadi kalah. Lo hebat banget Gabriel Stevent, aku padamu, muach, muach." Cakka begitu semangat meluapkan kegembiraannya.

"Eh, sstt... Alvin telfon." lirih Iel. Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir, sebelum akhirnya mulai mengangkat sambungan telfon, "hallo, Vin. Lo dimana ? Kita menang Vin..."

"Iya.. Jam 11 ? Tapi.. Oh OK, OK."

"Alvin dimana Yel, dia bilang apa ?" tanya Cakka, tidak sabar.

"aarrrh." Iel mengerang.

"Lho, lo kenapa Yel ?" Cakka mulai panik, saat Iel terus meringis kesakitan dan memegangi dadanya.

"hhhfh..hhfh..dada gue..sakit..hhf..Kka." ujar Iel terputus-putus.

Iel merasakan seluruh pandangannya mengabur, suara-suara yang sampai ditelinganya hanya dengung-dengung tidak jelas, "aku kuat. Aku bisa, gak boleh nyerah Gabriel, belum saatnya." kalimat-kalimat sugesti semacam ini terus-menerus dirapal Iel. Tapi ternyata tak berefek sama sekali, rasa sakit yang menderanya menampik kalimat itu. Tidak lagi peduli pada Iel yang mulai menitikan air mata, sakit itu terus menyerangnya.

"izinkan aku bernafas Tuhan. Biarkan udara itu kembali masuk ke paru-paruku. Aku belum ingin pergi."

Iel merasakan tubuh ringkihnya di gotong sejumlah orang, diiringi satu isakan yang sangat ia benci, isakan milik Sivia.

"jangan nangis, hhhheffhh." Iel menghembuskan nafas panjang, lalu semua gelap. Gelap. Kidung hidupnya mungkin hanya sampai hari ini??

***

"Git, please dengerin aku dulu. Aku gak ada apa-apa sama Ify." ujar Debo, tangan kanannya mengunci pergelangan tangan Gita.

"lepas De, kamu apa-apaan sih, sakit tau." Gita meronta.

"gak. Aku gak bakal lepasin tangan kamu, sebelum kamu percaya sama aku. Aku sayangnya sama kamu Gita, lagian Ify itukan udah punya Rio." Debo terus mendesak gadis manis yang terus berusaha melepaskan tangannya dari Debo.

"Git ?"

"Apa ? Apa De ? Kamu mau aku percaya ? Gimana aku mau percaya, kalau setelah beberapa bulan kita deket, sekarang kamu malah lebih mentingin Ify."

"Gita, kan aku udah bilang. Ify itu sahabat kecil aku sama Dea, sepupu aku yang udah meninggal. Kamu percaya dong. Aku sayang sama kamu semenjak kita pertama ketemu di pembukaan butik mama kamu, dan perasaan itu gak pernah berubah sampai sekarang."

"terus kenapa kamu biarin aku nunggu selama ini ? Kenapa ??"

Debo dan Gita memang telah saling mengenal, sekitar dua bulan sebelum Debo pindah ke Citra Bangsa. Awalnya mereka memang sempat dekat, tapi karena dendam kesumatnya pada Rio, Debo memilih untuk mengejar Ify lebih dulu dan menangguhkan perasaannya pada Gita. Tapi hari ini, entah karena memang ingin merubah hidupnya, menghapus kata dendam dari kamusnya, atau karena takut pada ancaman Ify, Debo memilih untuk tidak lagi berurusan dengan Rio dan teman-temannya.

Hari ini Debo berniat meraih lagi apa yang dulu pernah dikesampingkannya demi misi balas dendam yang entah sudah tercapai atau belum, karena nyatanya hidup Rio sudah cukup hancur tanpa harus ia hancurkan.

Meleset dari perkiraan Debo, saat ia mengungkapkan perasaannya pada Gita, Gita bilang ia tidak memiliki perasaan yang sama dengan Debo. Tapi Debo tidak yakin. Pasti ada faktor X yang mempengaruhi jawaban Gita. Dan setelah Gita mau jujur, ternyata gadis ini mempermasalahkan kedekatan Debo dengan Ify akhir-akhir ini.

"itu ada Ifynya, aku bakal minta dia jelasin sama kamu Git, kalau emang kamu gak percaya sama aku." Debo menangkap sosok Ify yang berjalan tergesa di arena parkiran, "Fy... Ify..." panggil Debo.

Dengan malas Ify mendekap, "Apaan ?" tanyanya ketus.

"gini Fy, gue emm...anu. Gue tu ini, Fy, Gita anu..."

"Aduh, lo mau ngomong apaan sih, gak jelas banget. Mau ngancem gue ?" tuduh Ify.

"bu..bukan Fy. Bukan. Mmh, gue hari ini nembak Gita, tapi dia kira kita ada apa-apa. Padahal gak kan Fy. Elo cuma sahabatnya sepupu gue, iya kan, Fy ??" Debo menatap penuh harap pada Ify, memohon agar gadis itu mau berbaik hati dan mengatakan iya atau barang mengangguk saja.

Ify tampak berfikir, dipandangi pria berponi ke samping itu lekat-lekat, "Oh. Iya Git, gue gak ada apa-apa kok sama Debo. Cuma temen." sahut Ify.

Debo menghela nafas, lega.

"tu kan Git, udah percaya kan sekarang ?"

"Iya, iya. Aku percaya kok."

"jadi..kamuu.. mau gak jadi pacarku ?"

Gita mengangguk malu-malu.

"Serius Git ? Makasih ya Gita, makasih banget." Debo merengkuh tubuh mungil Gita ke dalam pelukannya.

"bikin ngiri aja." batin Ify kesal.

"PJnya gue paling gede lho ya.." celetuk Ify, lalu pergi meninggalkan dua insan yang tengah mengamalkan salah satu sila dalam percintaan, 'dunia cuma milik berdua'.

Gita melambaikan tangan kanannya kearah Ify.

"duluan ya.." pamit Ify dari balik kaca mobilnya.

Drrt.drrt.drrt.

From : Debo

thx Fy. Thx bgt. Gw janji gak akan ganggu lo sma Rio lgi :)

Ify tersenyum kecil, membaca pesan yang baru saja masuk dalam list inboxnya. Dengan cepat Ify mengetikan jawaban untuk Debo.

To : Debo

you're wlcome. Bgus kalau gitu. Jagain gita bener-bener.

Setelah selesai dengan handphonenya Ify fokus pada jalanan rapat di depannya. Honda jazz merah Ify merayap perlahan bersama kendaraan-kendaraan lainnya.

***


Lihat ku disini
kau buat ku menangis
kuingin menyerah tapi tak menyerah
ku ingin lupakan tapi ku bertahan.

Honda jazz merah berplat D Itu melambat ragu didepan sebuah rumah mewah dengan lambang huruf H untuk haling yang mematung angkuh di tengah kolam ikan. Seperti mempertegas dimana status sosial kelurga Haling bertengger.

Ify menghela nafas berat. Hatinya terasa tak menentu antara ingin turun atau tidak.
Ify memutuskan untuk menghubungi Rio terlebih dulu. Ia meraih handphonenya, menekan tombol nomer 3 yang biasanya akan langsung menghubungkannya dengan pemuda yang sejatinya tak pernah luput dari ingatan Ify belakangan ini.

Alih-alih Rio yang menjawab, ini malah mbak Veronica yang sibuk berkicau. Ify mendengus sebal. Tadinya ia memutuskan untuk putar arah lalu pulang. Tapi diurungkannya rencana itu saat seorang wanita berusia sekitar 50'an tergopoh-gopoh membawa sekantong sampah keluar dari rumah Rio.

Ify bergegas turun dari mobilnya, "Bu.. Ibu.." panggil Ify.

"eh, iya, ada apa neng ?" tanya wanita tadi.

"mmh, saya cari Rio. Rionya ada dirumah ?"

"oh, temannya si aden toh. Den Rionya gak ada dirumah, neng." jelas si Bibi.

"Oh, gak ada ya ? Kalau boleh tau, Rionya kemana ya ?"

"wah bibi juga gak tau tu Neng. Satu minggu yang lalu sih den Rio sempat telfon tapi dia gak bilang ada dimana. Cuma minta supaya barang-barangnya dikemasi. Karena mbak Shilla akan segera membawanya. Nah, setelah itu tidak ada kabar dari den Rio."

"Shilla ?"

"Iya neng, itu lho mbak Shilla yang cantik, yang rambutnya panjang. Waktu den Rio pertama kali pergi yang nganter juga mbak Shilla. Jadi kalo eneng mau tau dimana den Rio tanya aja sama mbak Shilla." usul si Bibi.

"Oh, gitu ya bi.," gumam Ify, pelan.

"atau gini aja, kalau ada pesan bilang saja nanti kalau den Rio telfon biar bibi sampaikan, bagaimana ?"
Saran wanita yang sepertinya adalah pembantu rumah tangga di rumah ini.

"ya udah aku titip pesan aja deh ya Bi, bilangin sama Rio, kalau Ify 3 hari ke depan bakal ikut kontes piano. Ify harap Rio mau datang." ujar Ify, mendiktekan pesannya.

Si Bibi mengangguk faham, "Baik, neng nanti bibi sampaikan." timpalnya.

"Kalau gitu saya permisi dulu ya Bi, makasih." pamit Ify.

"mangga, sami-sami neng geulis." balas Si Bibi dengan logat sunda yang kental.


Kau terindah
kan s'lalu terindah
aku bisa apa?
'tuk memilikimu
kau terindah
selalu terindah
harus bagaimana?
Ku mengungkapkannya

Ify duduk berselonjor dialasi rumput-rumput yang tumbuh liar di taman komplek perumahan Rio. Rumah mewah kediaman keluarga Haling, masih nampak mencuat dibanding bangunan-bangunan lain disekitarnya.

Rio.. Rumah itu.. Shilla.. Pergi.. Ah, ada apa sebenarnya ? Kemana Rio ?

Setelah bantuan yang Ify berikan selama ini, lalu kenapa sepertinya Rio lebih menghendaki agar Shilla tau lebih banyak tentang pemuda itu di banding dirinya ?
Kenapa ? Apa rio membencinya, karena Ify mengingkar janji untuk tidak menyukainya ? Apa Rio marah pada Ify ?

Ify menumpukan kedua tangannya diatas lutut yang ditekuk. Dibenamkan kepalanya hingga helaian rambutnya menjuntai menutupi wajahnya.

"Kak..." suara lucu itu berhasil membuat Ify mengangkat wajah. Merasa malu karena kedapatan menangis oleh seorang anak kecil, Ify segera menghapus air matanya. Anak itu menyeringai lebar, terlihat deretan giginya yang ompong di bagian depan. Ify balas tersenyum.

"ini untuk Kakak." anak kecil berbaju kodok itu menyerahkan setangkai mawar dan balon berbentuk love, "Balonnya biar Kakak gak nangis lagi dan bunganya supaya kakak senyum." tambahnya dengan nada seperti mengeja hafalan.

"wah makasih ya ganteng." Ify mencubit gemas kedua pipi bocah kecil bertubuh gempal itu, "tapi ini dari siapa ?" tanya Ify.

"dari kak Rio, tuh..." anak itu menunjuk kearah sebuah pohon beringin besar tak jauh dari situ, "Lho ? Kok gak ada ya, tadi kakak gantengnya disana kok." ujarnya bingung.

"Oh, ya udah gak pa-pa. Makasih ya de, Kakak duluan ya..." pamit Ify.

Mungkin lewat mimpi
kubisa 'tuk memberi
Ku ingin bahagia
tapi tak bahagia
kuingin dicinta
tapi tak dicinta


Ify berlari sampai nafasnya tersengal, menelusuri sekitar taman ini. Berharap ia akan menemukan sosok Rio. Sekali saja. Bukan, bukan untuk meminta Rio membalas perasaannya. Hanya sekedar ingin memberitahu pemuda itu bahwa ia akan kembali bermain piano, hanya sekedar ingin menegaskan bahwa Rio tidak perlu menghindar, Ify yakin waktu yang akan mengikis perasaannya, perlahan.

Ditaman ini, angin seperti berkomplot memusuhi Ify. Menguapkan suara Ify ke udara. Hingga lagi-lagi tak satupun sahutan ia peroleh atas panggilannya, "Rio.. !!"

plukk

tiba-tiba segulung kertas mendarat tepat di bahu kanannya. Diraih kertas kusut itu, mata Ify lantas memicing mendapati tulisan didalamnya. Entah siapa yang menulis dan melemparnya ke arah Ify. Ragu, dibukanya kertas itu. Bibir Ify lantas berkomat-kamit membaca sesuatu..

Ubah arahmu, jangan mengejarku, jangan ikuti aku. Hanya akan merasakan sakit, karena jalanku sulit. Berbaliklah. Arah yang berlawanan denganku akan lebih mudah. Percayalah. Lupakan. Hapus semuanya.
Jangan berhenti, ayo terus berlari. Lari, menjauhlah. Lari, dan jangan pernah berhenti.
Rio.

Ify meremas surat di tangannya.

Apa-apaan pemuda itu ? Kapan ia akan mengerti bahwa menyayangi adalah termasuk HAM yang dilindungi oleh hukum dan negara. Seenaknya saja dia, setelah semuanya selesai bukannya mengucapkan t'rimakasih, malah mengusirnya.

Tak jauh dari tempat Ify berdiri, seorang gadis memandang nanar. Ditangannya tergenggam sebuah buku dan bolpoint hitam.

"makasih ya de, ini coklat buat kamu." ujarnya pada anak berbaju kodok yang sama, dengan yang menghampiri Ify tadi. Anak itu segera pergi setelah apa yang dijanjikan untuknya dipenuhi.

"Maafin aku, Fy. Aku terpaksa bohong." gumam gadis itu penuh sesal. Shilla.

Drrt.drrt.drrt

Ify terkesiap, getaran handphone yang menghuni genggamannya membuat kaki yang sedari tadi melemas, kini menegang, kembali menopak tubuhnya yang limbung.
Ah, sudahlah. Apalagi yang Ify harapkan. Sebelum ini pun Ify sendiri. Jadi kalau Rio memang ingin pergi. Silakan saja. Ify akan baik-baik saja.

Ify melirik handphonenya.

2 new message

Ditekannya tombol tengah pada keypad handphone. Pesan singkan dari Shilla langsung terbuka.

From : Shilla

apapun yang lo kasih, semua gak akan berubah. Lupain Rio.

Ify langsung menghapus pesan itu. Sebelum sisi kriminalnya berontak dan ia akan dengan sangat senang hati, mentatto seluruh tubuh Shilla dengan cakarannya, "Dasar nenek lampir." cibirnya.

Bersamaan dengan bunyi klik pelan, pesan kedua terbuka.

From : Cakdut

Iel sakit. RS biasa. Ajak Rio sekalian.


Ajak Rio sekalian ?
Hhaha, Ify tertawa miris dalam hati. Rio mana yang akan ia ajak, Rio Febrian atau Rio Haryanto, Rio yang mana ??

Kau terindah
s'lalu terindah
aku bisa apa?
'tuk memilikimu
kau terindah
selalu terindah
harus bagaimana?
Ku mengungkapkannya

kau pemilik hatiku...

Kau pemilik hati..ku..

***

Cakka dan Via segera berlari kecil turun dari motor Cakka. Dalam kepanikan semacam ini rasa-rasanya jarak antara pelataran tempat motor Cakka terparkir dengan pintu utama rumah sakit, bertambah puluhan kilometer jauhnya. Iel telah lebih dulu dilarikan kerumah sakit bersama Pak Yunus dan Agni. Sedangkan Cakka dan Via menyusul setelah prosesi penyerahan tropi atas kemenangan tim basket Citra Bangsa melawan Yos Sudarso, selesai.

Diantara dokter dan suster berseragam putih susu yang berseliweran dua personil kepolisian berseragam kecoklatan dengan atribut lengkap, menjadi begitu kentara.

"Kka SMSin Ify dulu, HP aku mati. Kasih tau Iel masuk rumah sakit. Tadi dia cepet-cepet pergi, katanya mau cari Rio." ujar Via.

"Oh, OK !!"

Sejurus kemudian Cakka sudah sibuk dengan tombol-tombol pada handphonenya.

"Kka, liat itu, itu kan..." Via menarik lengan Cakka agar pemuda itu berhenti melangkah dan melihat pada fokus yang di tunjukan Via.

Cakka melongo.

***