Sabtu, 12 Maret 2011

Jangan Menyerah (cerpen)

Ini hanya sebuah kisah sederhana, sangat sederhana. Didalamnya tak akan kamu temui bagian-bagian romantis bak Rama dan Shinta, bagian-bagian menegangkan bak petualangan Harry Potter ataupun cerita-cerita picisan khas sinetron.

Ini hanya sepenggal kisahku. Aku dan perjuanganku.. Ini hanya uraian singkat tentang hidup, tentang dunia, dimana bukan hanya ada yang baik dan yang buruk, bukan hanya ada cinta dan benci, bukan hanya ada hitam dan putih, akan selalu ada sisi abu-abu yang tak terjamah artinya. Akan selalu ada yang semu, akan selalu ada mimpi-mimpi kecil yang dilambungkan, meski semua itu tak pernah pasti.

***
Lazuardi langit telah meluruh sejak tadi, begitu juga dengan lembayung senja yang tadi memanyungi ufuk barat. Gelap pun mulia datang membayang. Waktu terus bergerak menipu, seakan perlahan tapi ternyata meninggalkan aku jauh dibelakang. Ya, inilah hidup, inilah dunia, terus berputar tanpa pernah mau menunggu. Menunggu mereka yang ringkih, mereka yang letih dan tertatih menjalani hidup.

Dan saat semua orang mulai sibuk mengimbangi putaran cepat sang waktu, aku masih disini, masih disini. Terduduk memaku diri, menatap jengah pada hamparan bintang diatas sana, yang seperti sedang mengejekku.

Arak-arakan awan jingga yang tadi menjemput sang bola bumi untuk berpulang, kini telah berganti langit malam dengan warna biru tua. Seperti biasa, tak ada yang menarik untukku. Mataku menerawang, memandang kosong pada rumpun pohon bamboo yang tumbuh di halaman rumahku, yang tengah bergerak luwes bak tarian putri keraton.

Huuuhh....

Ingin rasanya berhenti, ingin rasanya menyerah, aku lelah.

Hari ini 28 Juli. Ah, sudah 8 hari. Sudah lebih dari seminggu dia pergi menghadap Rabb-nya. Dan hingga kini, tidak secuil pun rasa ikhlas itu menyentuhku. Kenapa Tuhan, kenapa harus dia? Ada lebih dari 6 milyar orang, yang menghuni planet ini. Lalu kenapa harus Keke yang kau panggil, kenapa mesti sahabatku ??

Semua berawal dari egoku, ego bocah SD yang masih aku bawa hingga seragam putih abu melekat hampir 3 tahun di tubuhku. Hari itu, aku ingat sekali, tanggal 20 Juli. Mendung tak henti-hentinya bergelayut manja diatas langit, dari pagi sampai sore. Rinai hujan dan gemuruh petir seperti jadi lakon utama dalam pertunjukan yang dipertontonkan alam, sore ini.
Motor Keke sudah terparkir sejak lebih dari 20 menit yang lalu dipelataran sebuah toko.

"ayolah Ke, kita terobos saja hujannya" desakku pada Keke waktu itu. Tapi Keke diam saja, bibir kecilnya tetap terkatup rapat. Kedua tangannya terlipat tenang didada.
"Ke, kalau terlalu lama disini kita tidak akan dapat apa-apa, warnetnya juga pasti sudah penuh. Sedangkan file untuk try out SNMPTN itu mesti di download secepatnya. Ayolah Ke," aku merajuk, kuhentakkan kaki kananku keras-keras.

"sabar sebentar bisa tidak sih?" tukas Keke, kesal.

"lho, kok kamu malah marah sih?? ini kan juga salahmu, kenapa begitu teledor menghilangkan flashdisc ku. Kamu jangan santai-santai gitu dong." ujarku, tegas.

"baiklah, baiklah. Aku memang tidak pernah menang bersikukuh denganmu. Tapi tanggung sendiri akibatnya kalau kamu jatuh sakit setelah ini." ancam Keke.

Keke mulai berjalan kearah motornya, aku tersenyum puas. Sejurus kemudian, deru mesin motor yang menyala mulai terdengar disela keracak air hujan menerpa jalanan beraspal.

Perlahan motor Keke mulai melaju, membelah jalan Ir. H. Juanda yang nampak lengang. Sore ini kami berniat pergi kewarnet untuk mendownload sebuah File. Ya, try out SNMPTN di STAN memang menggunakan sistem online dan ada beberapa File yang harus kami download secepatnya.

Selama perjalanan, beberapa kali aku melihat Keke menyeka wajahnya. Air hujan nampaknya mulai mengganggu jarak pandangnya. Bukannya mereda, langit malah semakin brutal mencurahkam air, kulit-kulitku mulai terasa sakit diciprati air hujan.

"KEKE AWAAAASS" teriakku lantang. Saat sebuah mobil pick up hitam dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan, melaju tanpa kendali kearah motor Keke.

Sorotan lampu depannya yang menyala, memaksa mataku untuk terpejam, dan BRAK. Semuanya gelap. Terakhir pendengaranku lamat-lamat hanya mendengar suara Keke yang berteriak dan dentuman keras dari benturan besi yang bertabrakan.

Ya, dan teriakan terakhir Keke itu sampai saat ini masih terus menghantuiku. Ah, seandainya waktu itu aku tidak memaksa Keke menerobos hujan, seandainya dulu aku mau bersabar, seandainya, seandainya, seandainya.....
OK, aku tau, kalimat yang dimulai dengan kata 'seandainya' adalah satu dari sekian banyak wujud sebuah penyesalan.

Semilir angin malam mulai mengusik lamunanku. Desaunya perlahan menggerakan kentungan dari bambu yang di pasang ditepian atap. Derik bising binatang malam mulai terdengar, pertanda kawanan nyamuk akan segera melancarkan agresinya kalau aku tidak segera pergi. Ku putuskan untuk segera masuk, tertatih ku gunakan tongkat yang selama beberapa hari ini telah berjasa membantuku berjalan. Ku langkahkan kaki menyusuri lantai granit rumahku, hingga akhirnya aku berhenti tepat didepan sebuah pintu berbahan dasar kayu aras, dengar poster salah seorang pemain basket favoritku. Perlahan ku putar kenopnya dan pintupun berderik terbuka. Wangi lavender yang khas langsung menyerbu indera penciumku.

Merasa lelah, aku segera merebahkan tubuhku dikasur berseprai biru muda yang terletak di tengah kamar ini.
Aku meraih sebuah foto yang tergeletak pasrah didekat bantal. Ku elus bingkainya dengan lembut. Ku pandangi foto itu lekat-lekat, ada dua orang gadis dalam foto itu. Aku dan Keke tentunya.

"aku kangen kamu Ke, kapan kita main sama-sama lagi? Kamu kangen juga kan sama aku?" aku mulai meracau tak jelas. Air mata pun mulai mengalir membentuk riak kecil yang sepertinya telah hapal alur mana yang akan mereka lalui, sebelum mendarat dibantal nantinya.

"Keke, maafin aku ya Ke. Maafin aku. Aku egois. Aku selalu maksa-maksa kamu dan selalu bikin kamu kesel." tuturku, sedih.

Selain pada Keke, pandanganku juga tersita oleh benda bundar itu, yang sedang diapit tangan kanan Keke. Bola basket.

Ya, basket. Olahraga favoritku, dan Keke tentunya. Basket juga lah yang menjadi 'mak comblang' persahabatan kami. Aku, Keke dan basket adalah tiga hal yang seakan tak bisa dipisahkan. Tapi sepertinya, mulai sekarang aku harus melupakan olahraga itu. Melupakan bunyi 'duk-duk-duk' dari bola yang memantul, melupakan ring yang bergerak saat dimasuki bola, aku harus melupakan impianku jadi atlet basket, ya, aku harus melupakannya.

Kenapa?


Karena tidak ada kan selama ini, pemain basket pincang. Dan sialnya aku pincang, kecelakan itu selain mengambil sahabat terbaikku, juga telah membuatku cacat.
Rasanya hidupku tidak lagi berguna, apa coba yang bisa dilakukan seorang gadis pincang sepertiku ?? Semua profesi pasti,menuntut sebuah kesempurnaan. Aku hanya akan membuat kedua orang tuaku malu dan repot.

Drrt.drrt.drrt

Ponsel ku bergetar, aku terhenyak sesaat, sebuah amplop kuning menari-nari dilayar LCDnya.

1 new message

from : Rio

heh? :)

aku segera membalas pesan singkat yang dikirimkan Rio barusan. Jari-jariku langsung menari lincah diatas keypad.

To : Rio

apa?

From : Rio

belum tidur kamu? Lagi apa?

To : Rio

belum. Lagi kangen.

From : Rio

kangen daku, ya?

To : Rio

PD sekali dikau. Aku kangen Keke, tau. Hei, aku telfon ya? Boleh?


Satu detik, dua detik...
Satu menit, dua menit...

Sms terakhir dariku tak kunjung mendapat balasan. Sudah hampir satu jam aku menunggu sms Rio. Sudah tidur barang kali, batinku. Aku pun bergegas tidur, barang kali aku akan mendapatkan kedua kaki yang normal di alam mimpi, ya walaupun hanya dalam mimpi.

Keesokkan harinya, menjelang subuh, aku terjaga. Ku lirik jam doraemon yang tertengger nyaman diatas meja belajarku, kombinasi jarum pendek dan jarum panjangnya menunjukan pukul 5 pagi. Dari jendela yang lupa aku tutup semalam, terlihat angkasa yang terbelah dua. Semu kemerahan diufuk timur dan sebagaian masih berwarna biru gelap. Sorot keperakan dari sinar bulan juga masih tersisa memulas langit.

Aku kembali meraih ponselku. Kalau-kalau ada pesan yang masuk. Dan benar saja, ada beberapa pesan yang masuk, salah satunya dari Rio.

From : Rio

yang telah pergi, relakanlah. Tugasmu sekarang adalah menjaga apa yang masih tersisa untuk kau miliki. Datanglah keacara perpisahan SMA kita nanti malam, kalau kamu ingin bertemu denganku.


Aku mengerutkan dahi, "tumben mau ketemu." gumamku.

Rio, menurut ceritanya, dia adalah teman sekolahku. Kami satu sekolah di SMAN 1 Cikampek, hanya kelas kami berbeda. Meski satu sekolah sampai detik ini kami belum pernah bertemu langsung. Mungkin karena kami berdua bukan termasuk siswa-siswa yang cukup eksis di sekolah, jadi kami sama-sama belum saling tau. Aku pertama kali berkenalan dengannya lewat jejaring sosial facebook. Tiap kali kuajak bertemu atau ku telfon pasti Rio menolak dengan berbagai alasan. Aku tau bagaimana suara Rio hanya dari, rekaman-rekaman yang ia kirimkan padaku. Tapi aku mencoba tidak peduli, toh yang penting Rio cukup asik untuk ku jadikan teman. Selama hampir 1 tahun aku mengenalnya, dia sangat baik. Dia selalu mau mendengarkan keluh kesahku, selalu menyemangatiku dan menasehatiku dengan bijak, tidak terkesan menggurui.

Dan kalau sekarang, Rio mengajakku bertemu rasanya, tumben sekali. Dengan semangat, aku segera mengetikan jawaban untuk Rio.

To : Rio

aku mau bertemu dengan mu, tapi kenapa mesti disekolah sih? Kamu kan tau bagaimana keadaanku. :(

From : Rio

bersikaplah dewasa, lari dari kenyataan tidak akan membuahkan apapun selain menjadikanmu pengecut.

Membaca pesan dari Rio, hatiku mencelos. Apa tadi dia bilang, pengecut?
Ya, mungkin aku pengecut, tapi itu bukan inginku, salahkan saja Tuhan, mengapa Ia menjadikan aku pengecut.

From : Rio

aku tunggu kamu dikelasmu, XI IPA 2, aku harap kamu mau datang.

Sms dari Rio kembali masuk dalam list inbox ponselku. Aku tidak langsung membalasnya, karena aku sama sekali tidak ingin dan tidak yakin berani datang ke acara itu.

"Acha," suara lembut itu terdengar mengeja namaku dari luar, bersamaan dengan itu seorang wanita berwaras keibuan menyeruak masuk, senyum khasnya selalu terpeta membuat ia selalu terlihat cantik dan menarik. Ya, walaupun gurat-gurat kelelahan terpeta jelas di wajahnya. Semenjak ayah di PHK, ia lah yang membanting tulang menafkahi kami sekeluarga. Ia adalah bundaku, bunda nomor satu didunia.

"Acha mau pake dress yang mana, hari ini ada acara kelulusan kan disekolah? Biar bunda siapkan." ucapnya, lembut.

"Acha, tidak ingin pergi bunda." tolakku.

"lho, memang kenapa?"

"apa Acha pantas pergi dan merayakan kelulusan, bunda? Sedangkan gara-gara Acha, Keke malah sama sekali belum sempat melihat hasil ujiannya," aku menunduk sedih.

"nanti malam bunda akan antar Acha datang ke acara kelulusan disekolah. Dan bunda tidak ingin mendengar bantahan." Kata bunda menegaskan.

"tapi bun..."

sebelum aku berhasil menggenapi kalimatku, bunda sudah melengos pergi. Ya, sepertinya aku memang tidak mempunyai options lain, selain datang ke acara itu.lagi pula meliha ekspresi bunda tadi, aku sama sekali tidak ingin mmbantahnya

Malam harinya, setelah menempuh perjalanan kurang dari 30 menit aku sudah sampai dipelataran sekolah. Aku sempat ragu untuk turun, kalau bunda tidak memaksa. Aku tidak siap, aku belum siap menerima tatapan-tatapan aneh atau cibiran yang mungkin akan aku terima didalam nantinya.

"perlu bunda temani, Cha?" tanya bunda, aku menggeleng pelan.

"ya udah, Acha turun dulu ya." pamitku, segera turun dari mobil avanza silver methallic yang tadi mengantarku.

Langit sangat indah, malam ini. Biru cerah, dengan hamparan bintang dan formasi bulan yang sempurna, ah, memang sangat cocok dijadikan background alam untuk berpesta.
Suara hingar bingar pesta mulai terdengar dari dalam. Sekolahku memang cukup luas, jadi tidak perlu menyewa gedung untuk acara kelulusan malam ini. Ku pandangi bangunan dihadapanku itu, dibalik dinding-dinding kokohnya tersimpan kenangan masa putih abu-abu ratusan anak. Bangunan ini juga yang menjadi saksi bisu persahabatanku dengan Keke, cerita-cerita kecil tentang perjuangan kami, tugas-tugas kami, rentetan keluh dan kesah, tentang mimpi-mimpi kami yang lahir disini, tentang cinta monyet kami, semua terkukung dalam menara candu ilmu ini. Ah, aku tak sanggup, sungguh, kakiku beku tak bisa melangkah. Sampai kurasakan ada sepasang tangan yang mendorong bahuku.

"Rio ?" lirihku.

Pemuda itu tersenyum sekilas, ia mengangguk. kami lalu berjalan bersisian dalam diam, mulai memasuki arena sekolah yang disulap indah oleh panitia menjadi tempat pesta yang luar biasa. Manusia-manusia disini nampaknya sedang sangat sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga kemunculan gadis pincang yang merupakan teman seangkatan mereka ini, tidak begitu menyedot perhatian.

Rio, aku melirik pemuda disamping ku ini. Raut wajahnya terlihat tenang dan tegas, langkah-langkah lebar dari kaki-kaki panjangnya mengarah ke kelas XI IPA 6, yang terletak di belakang perpustakaan.

Setelah sampai, lagi-lagi ia hanya tersenyum, detik berikutnya Rio terlihat mulai sibuk dengan ponselnya.

Drrt.drrt.drrp.

Merasa ponselku bergetar, aku segera merogoh sakuku.

From : Rio

akhirnya, kamu datang. Senang bertemu denganmu, Acha.

Aku mengeryitkan dahi, menautkan kedua ujung alisku, bingung. Sudah sedekat ini masa sih, ngobrolnya harus lewat SMS, kok rasanya kurang kerjaan sekali ya?

Belum sempat aku meminta penjelasan atas SMS yang ia kirim, Rio sudah mengangsurkan sebuah kotak padaku, lalu pergi.

"Rio, mau kemana, Rioo, Yoo !!" aku mencoba memanggilnya agar kembali, tapi Rio hanya melambaikan tangan kanannya kearahku. Mulutnya terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi kemudian tertutup lagi. Aku hanya bisa memandangi tubuh tegapnya yang semakin menjauh. Setelah bayangan Rio menghilang, aku mengalihkan pandanganku pada kotak yang ada ditanganku. Sebuah kotak berukuran sedang, berbalut kertas kado berwarna biru laut dengan jalinan pita senada diatasnya sebagai hiasan.

Setelah meyakinkan diriku sendiri bahwa kotak itu diberikan Rio untukku dan bukan hanya sekedar titipan, dengan sangat tidak sabar, aku segera merobek kertas kado yang menyelimuti kotak itu.

Didalam kotak itu terdapat beberapa novel, alat tulis, satu ring kertas HVS dan sebuah kartu ucapan bersampul keperakan.

Perlahan, aku membuka kertas ucapan itu. Pupil mataku segera bergerak, mengikuti rangkaian tulisan rapi yang menyemut membentuk beberapa kalimat.



Acha,
kamu pernah bilang kan, selain jadi atlet basket, kamu juga bercita-cita jadi seorang penulis ?? Kejar impian itu Cha, karena sebuah mimpi dibuat bukan untuk dilupakan begitu saja. Apa yang diambil Tuhan ikhlaskanlah karena pada kenyataannya semua memang miliknya-Nya.

Diujung sana ada seorang ibu yang selalu bermunajat untukmu, diujung sana ada seorang ayah, yang rela memeras peluhnya, mengabaikan lelahnya untukmu. Jangan buat mereka kecewa, Cha. Buktikan dengan segala kekuranganmu, kamu tetap bisa membuat keduanya bangga.
Don't give up.

RIO.


Aku tertegun membacanya, tulisan itu seperti jadi tamparan yang keras untukku. Alangkah tidak bersyukurnya aku, menganggap diriku orang paling menyedihkan didunia. Tiap malam aku menangis menghujat Tuhan yang menurutku tidak adil. Pikiranku dijejali oleh prasangka-prasangka buruk terhadap-Nya. Ya, aku baru sadar, ternyata aku sangat pandai menghancurkan hidupku sendiri.

"lagu ini, kami persembahkan untuk teman-teman semua yang akan segera melepas seragam putih abu-abu, yang akan segera meninggalkan sekolah kita tercinta, yang akan segera meniti tangga-tanga baru dalam hidup. Apapun yang ada dan menghadang kita didepan sana, jangan menyerah kawan. Jangan pernah menyerah."

Suara seorang pria dari arah panggung memecah lamunanku, dari tempatku berdiri aku bisa melihat dua orang pemuda yang tengah berdiri diatas panggung. Seorang pemuda bermata sipit yang kalau tidak salah adalah Alvin sang mantan ketua OSIS dan.... RIO.

Seiring dengan petikan senar gitar yang mulai dimainkan Rio, seluruh penerangan ditempat itu padam. Hanya tersisa lilin-lilin yang menyala dibeberapa tempat.

Lagu jangan menyerah yang merupakan hits d'masiv band, terus dilantunkan. Suasana haru mulai melingkupi, ketika beberapa dari para siswa mulai memberikan pelukan perpisahan sambil membisikan kata-kata pengantar dan doa, agar masing-masing dapat berhasil dalam jalan yang mereka pilih. Ada beberapa diantara mereka yang terlihat tidak ingin berpura-pura kuat, mereka membiarkan buliran air mata jatuh mengantarkan kenangan selama tiga tahun yang akan segera mereka lepas.

"kamu lulus Ke, kita lulus. Selamat ya, Ke." lirihku sambil memandang langit.

Syukuri apa yang ada
hidup adalah anugrah
tetap jalani hidup ini
melakukan yang terbaik
Tuhan pastikan menunjukan
kebesaran dan kuasa-Nya
pada hamba-Nya yang sabar
dan tak kenal putus asa

dan tak kenal putus asa... (Jangan Menyerah - D'Masiv)

Prok-prok-prok

tepuk tangan riuh rendah, menutup penampilan Alvin dan Rio. Keduanya mulai terlihat turun dari panggung.
Aneh? Kenapa Rio tidak ikut bernyanyi, padahal dari rekaman-rekaman suara yang ia kirimkan padaku, suara Rio sangat indah, jauh lebih merdu dari suara Alvin. Tapi kok dia tadi hanya memainkan gitar, apa dia bohong soal suara itu?

Drrt.drrt.drrt

Ponselku, lagi-lagi bergetar. Segera ku pencet tombol tengah, pesan yang barusan masuk itu pun segera terbuka.

From : Rio

Tuhan selalu punya rencana indah dibalik semua perkara yang telah terjadi. Kita sama Cha, aku juga kehilangan sesuatu yang sangat ku banggakan, Suaraku. Suara yang tempo hari sering ku kirimkan padamu, pita suaraku rusak karena sebuah kecelakan. Tapi aku memilih untuk bangkit, menjadi gitaris juga tidak buruk, dan aku harap, kamu juga memilih hal yang sama.
Bangkit.


Lagi-lagi aku dibuatnya tertegun, jadi selama ini? Rio bisu?

"ya Tuhan, betapa kuasa-Mu tak terbantahkan. Dengan suara seindah itu, awalnya aku yakin Rio akan jadi penyanyi hebat. Tapi takdir-Mu bicara lain." batinku.

Aku tersenyum, rasanya saat ini ingin sekali aku memeluk bunda dan ayah, lalu berkata, "aku akan sukses bunda, aku akan membuatmu bangga, ayah."

Malam ini, di sekolah ini, di SMA ini, aku disuguhi proses sesungguhnya dari pendewasaan.
Dan pelajaran malam ini, tidak akan pernah aku lupakan, tidak-akan-pernah. Terutama pesan yang sangat berharga dari si bisu.

"trimakasih Rio, kamu membukakan semua tabir gelap yang selama ini menutup pandanganku. Kelak kamu akan jadi orang yang paling awal, yang akan ku kirimi novel pertamaku." ucapku dalam hati.

***

Saat aku memilih untuk melangkah maju, aku tau, aku tak bisa lagi berhenti.
Dan aku pun tak pernah ingin berhenti.
Meskipun sesekali, akan ku pelankan langkahku, dan sesekali aku akan menoleh ke belakang, melihat sudah seberapa jauh jejak-jejak yang telah ku tapaki unjuk maju.
Meski nanti akan terasa lelah tapi aku tak mau menemukan diriku menyerah.
Aku tidak ingin menemukan diriku tersudut sebagai pengecut, terbelenggu oleh masa lalu, terkubur dalam himpitan penyesalan.
Aku akan terus berjalan menatap berani pada dunia, karena aku punya sesuatu yang harus ku gapai, yang harusku kejar. Karena aku punya mimpi, aku punya harapan dan cita-cita...





THE END

0 komentar:

Posting Komentar