Jumat, 27 Mei 2011

Rahasia Orion Part 1

Rahasia Orion Part 1
"Malam di Bulan Januari"

***

Ketika sosok-sosok mungil itu masih gemar berlari mengejar kunang-kunang. Ketika bibir-bibir kecil itu masih ramai berceloteh memamerkan mainan baru mereka. Ketika mereka masih begitu bangga dengan seragam putih-merah mereka. Dulu. Ya, 10 tahun silam.

Ketika kaki gadis kecil ini bahkan belum cukup panjang untuk menjejak bumi saat ia terduduk di saung di tepi jalan yang becek ini. Kedua kakinya terayun, mendepaki udara malam yang mulai menebar dinginnya. Sudah 15 menit ia lewati dengan hanya duduk dan menatapi bintang-bintang yang Tuhan taburkan pada langit gelap di atas sana. Gadis berkuncir ekor kuda itu, ia menyukai malam. Entah karena apa? Mungkin karena saat malam begini tak ada matahari. Ia selalu benci matahari. Ya. Karena matahari adalah ‘ayahnya’.

"Hei !!"

Gadis kecil tadi menoleh. Mengalihkan kedua mata bulatnya dari langit. Ia langsung tersenyum lebar saat tahu, siapa yang memanggilnya dan kini tengah mengambil posisi duduk di sampingnya. Anak laki-laki dengan topi hitam yang dikenakan terbalik. Kaos biru tuanya yang kebesaran, membuat tubuh anak laki-laki itu terlihat lebih kurus.

"Lana, lama banget sih." keluh gadis kecil itu.

Anak laki-laki tadi menyeka keringat dipelipisnya, "Maaf, tadi rantai sepedaku putus." katanya, sambil mengarahkan dagu ke sebuah sepeda yang diparkir sembarang di depan saung.

"Oh. Makanya sepeda butut itu dijual aja. Hehe." Timpal gadis kecil itu, "Eh, iya, katanya Lana mau pamit. Mau pindah ke Jakarta ya? Asik dong?"

"Asik apanya, nanti kita nggak main bareng-bareng lagi."

"Iya, ya. Nanti aku main sama siapa, kalau Lana pindah?"

"Kamu kan cantik, baik lagi. Pasti banyak kok yang mau jadi teman kamu." Lana mencoba menghibur teman kecilnya itu.

"Aku punya sesuatu buat Lana, supaya Lana gak pernah lupa sama aku. Ni..." Si gadis menyodorkan sebuah pajangan berukuran kecil dari kaca berbentuk kuda, "Ini yang palsunya, kalau Lana udah besar nanti, jemput aku disini pakai kuda yang asli ya. Nanti Lana ajak aku jalan-jalan ke Jakarta. Oke?"

"Hehehe," Lana terkekeh lucu, "Oke. Ini aku simpan ya. Tapi kalau jemput kamu nanti, kayaknya bakal lebih keren kalau pakai mobil deh."

"Ya, mobil juga boleh deh, walaupun jadinya nggak kayak pangeran-pangeran di dongeng gitu. Yang penting, Lana janji, kita bakal ketemu lagi."

"Pasti."

"Janji ?" Si Gadis mengacungkan kelingkingnya, yang disambut tautan kelingking Lana.

Dan tersuratlah janji itu. Di malam pada bulan januari yang dingin dan basah, di bawah naungan Orion yang berpijar indah, janji itu terguguslah. Janji yang tanpa disadari akan membawa para pengikrarnya, dalam penantian yang menelan banyak masa, mengubur sekian banyak waktu, menghabiskan ribuan hari, minggu, bulan bahkan tahun.

Gadis kecil tadi masih bertahan di tempatnya. Setelah siluet bocah laki-laki bersepeda itu menghilang di telan gelap malam, dua tetes air matanya luruh. Tapi ia masih terlalu kecil untuk bisa menamai rasa sesak yang tengah dirasakannya. Ia masih terlalu kecil untuk mengerti alasan mengapa ia harus menangis. Yang ia tahu, esok tidak akan ada lagi Lana. Tidak ada lagi teman kecilnya itu, tidak ada lagi yang menemaninya bermain, melindunginya dari anak-anak nakal. Sederhana saja. Ia ditinggalkan sahabatnya, ia sedih, lalu menangis.

***

Berbeda dengan Lana dan teman kecilnya yang harus menjumpai perpisahan, di malam yang sama, di bulan januari. Dengan formasi bulan dan bintang yang sama, dengan lantunan orkestra alam yang sama -derik jangkrik dan suara kung-kong dari katak-katak yang memanggil hujan-, dua penduduk bumi dipertemukan takdir dengan caranya.

Bocah laki-laki berkemeja lengan pendek, berjalan ringan, menyusuri tepian jalan berumput basah ini. Sesekali terdengar senandung kecil dari bibir mungilnya. Tangan kanan bocah itu menggenggam ranting kering, yang akan segera dilayangkan setiap kali dijumpai entah kambing, sapi, kerbau atau tumbuh-tumbuhan.

"Heh kamu yang jelek itu, wlek!" goda bocah tadi pada seorang gadis kecil yang padahal baru kali ini di jumpainya.

Gadis kecil itu, tampaknya sedang berusaha menyeret-nyeret kambingnya yang enggan diajak pulang, padahal hari sudah gelap. Gadis kecil berkuncir satu itu memutar bola matanya, mengacuhkan bocah laki-laki aneh yang menjulur-julurkan lidah kearahnya.

Karena tidak mendapat respon dari si gadis kecil yang diganggunya, bocah itu berkacak pinggang, matanya memicing tajam pada gadis cilik yang terlihat sudah frustasi terhadap kambingnya. Gadis kecil berbaju terusan bunga-bunga itu, berselonjor pasrah dan hampir menangis, di bawah sebatang pohon Randu tempatnya mengikat tali kambing tadi.

"Apa Kamu ?" sentak gadis kecil itu, galak.

"Galak banget sih, pantes kambingnya nggak mau jalan sama kamu." cibir bocah laki-laki tadi dengan gaya pongah luar biasa.

Gadis kecil tadi mendelik, ia sepertinya pernah melihat bocah laki-laki itu tapi entah dimana, dengan ketus gadis kecil itu menjawab, "Si Enuy mau kok sama aku. Ayo Enuy kita pulang!" balas Si Gadis tak mau kalah. Dengan kasar ditariknya tali yang mengikat leher kambing bernama Enuy itu. Alhasil, dua kaki kambing betina tadi mendepak lucut Si gadis sambil meng-embe dengan heboh.

"Aduuh..." erang Gadis cilik tadi.

"Huuuu, makanya jangan sok, kamu. Nih !! Buat bersihin lukamu." bocah tadi mengangsurkan sapu tangannya, "Kok bengong sih ? Ayo ambil, masih bersih kok."

Gadis Cilik tadi memicing mata, memperhatikan penampilan bocah laki-laki seusianya yang tengah berdiri di depannya dengan tangan menyodorkan sebuah sapu tangan, berhias hurus K. Sepertinya sapu tangan itu, hasil sulaman tangan, langsung.

"Ish, udah jelek, budek pula." gerutu bocah tadi jengkel, "Aku Kia. Kamu bisa panggil Aku, Kak Kia. Aku bukan orang jahat kok. Ayo ambil sapu tangan ini."

Sedikit ragu, Gadis Kecil tadi menerimanya, "Kenapa harus panggil Kakak." tanyanya, heran.

"Karena, kamu sama aku lebih tinggi aku. Jadi kamu mesti panggil aku, Kakak. Nama kamu siapa ?"

"Aku-"

"Kia, ya ampun, kamu kok mainnya jauh-jauh banget sih. Ayo cepat pulang, udah malam, nanti papamu marah." seru seorang nenek, yang datang dengan napas tersengal. Sepertinya, ia sudah kewalahan membututi bocah laki-laki gembil itu.
Kia mengerucutkan bibir, "Selalu di susulin. Aku kan udah besar." gerutunya.

"Udah pulang sana, disuruh minum susu kali." ledek Si Gadis Cilik, seraya tersenyum jahil.

"Eh, tapi besok kita main ya, aku bakal kemari lagi." ujar Kia, semangat.
Gadis kecil penggembala kambing itu, mengacungkan kedua ibu jarinya.

"Yeyeye... Kia punya teman baru." sorak Kia kesenangan. Maklum, dikukung dalam 'kastil'nya membuat Kia jarang sekali punya teman, "Ayo kita pulang, tapi besok aku boleh main lagi kan?"
Si Nenek tadi mengangguk, setuju.

"Dadaaaah, adik tukang kambing. Besok Kakak kemari lagi." Kia melambaikan tangannya.

"Ok. Aku tunggu ya Kak Kia..."

Sebuah pertemuan manis dengan sentuhan takdir, yang karena jalan takdir pulalah kelak harus ditutupi. Harus di rahasiakan, agar kedua lakon pertemuan tanpa disengaja itu, tidak menderita luka dan patah hati.

Seperti Peter Pettigrew dalam serial buku cerita fantasi Harry Potter karya J.K Rowling, yang didaulat menjadi penjaga rahasia James dan Lily Potter, Orion malam ini pun kebagian tugas yang sama. Tapi bedanya, Orion sama sekali tidak berniat membongkarnya pada siapapun. Setiap peristiwa, entah pertemuan, perpisahan ataupun janji, semua terekam sempurna, di simpan rapi sebagai suatu rahasia yang kelak akan diuraikan bila memang tiba saatnya.

Orion yang muncul menghias malam di bulan januari, adalah penjaga rahasia paling ulung. Karena jauh sebelum Lana dan teman kecilnya, serta Kia dan Gadis penggembala kambing, telah banyak orang-orang terdahulu, sebelum mereka yang juga menitipkan janji, kenangan manis, aib dan segala hal, untuk disimpan Orion sebagai rahasia. Bahkan, orang tua mereka, mungkin termasuk dalam salah satu dari orang-orang terdahulu itu.

***

Detik-detik pun menguap. Menyisakan sesal untuk orang-orang yang telah menyia-nyiakannya. Meninggalkan senyum, bagi mereka yang telah sempat menorehkan kisah-kisah manis sepanjang perjalanan yang telah tertempuh.

Malam dan siang ikut berganti, memaksa tahun demi tahun bergulir, masa demi masa menua, pun dengan bumi yang kian merenta. Bocah-bocah berseragam putih-merah itu, entah telah sebesar apa mereka sekarang. Kaki-kaki kecil itu, entah telah berapa jauh jarak yang telah tertapaki. 10 tahun telah berlalu. Semua berjalan sesuai alurnya, berputar selaras porosnya. Perubahan banyak terjadi, tapi tidak dengan malam di bulan januari. Tetap dingin, tetap basah, tetap dengan Orion yang menghiasinya.

***

Pemuda berkulit sawo matang itu terus menyusuri jalanan dengan langkah-langkah ringan.
"Belok kiri dan sampai." cetus otaknya.

Ya, seperti halnya nama dan tanggal lahirnya sendiri, pemuda ini begitu hafal jalan-jalan yang akan ia lalui untuk akhirnya sampai di depan rumah mewah bercat putih dengan sepetak kebun mawar dan dua pohon mangga, rumah gadis pujaanya.

Seraut wajah cantik itu membuainya, membuat ia terus menarik kedua ujung bibirnya, di sepanjang malam ini. Dua bola mata indah yang dihiasi tatanan lengkungan alis sempurna di atasnya. Kedua pipinya yang bersemu merah saat ia tertawa, hidungnya yang bangir, dagu tirusnya yang membuat wajah lonjong itu kian sempurna, aroma apel yang terkuar saat kuncir kudanya berayun. Ah, gadis itu cantik. Sangat cantik malah.

"Sampai." sorak pemuda tadi dalam hati.

Seperti sabtu malam sebelum-sebelumnya, ia akan mengunjungi kediaman keluarga Umari ini, menaruh satu buket mawar putih favourit gadisnya di atas kotak surat yang dipasang di pintu gerbang rumah mewah itu, dan selanjutnya, ia akan merasa cukup puas hanya dengan memandangi siluet gadis cantiknya yang tengah berkutat di dalam kamarnya, dari luar. Atau cukup dengan mendengarkan alunan piano yang dimainkan gadis itu. Tapi untuk mengunjunginya langsung, pemuda dengan senyum menawan itu sama sekali tidak punya keberanian. Pemuda tadi sangat tahu, gadis pujaannya sama sekali belum terikat suatu hubungan apapun dan dengan siapapun. Gadis yang menjabat sebagai sekretaris OSIS di sekolahnya itu, hanya akan diam dalam kamar atau bermain piano setiap sabtu malam. Tapi sepertinya tidak untuk malam ini. Tirai kamar di lantai dua tertutup rapat, dentingan piano pun sama sekali tidak terdengar. Pemuda itu masih tercenung di depan gerbang, "Kemana ya ?" gumamnya, tak jelas.

Ia lalu berbalik, berniat pulang dan terpaksa harus merasa cukup puas menatapi rupa gadisnya di alam mimpi. Tapi niat itu segera terabai, saat melihat pagar tinggi yang berdiri kokoh di sebrang jalan. Besi-besi itu berjejer angkuh, membentengi 'kastil' mewah di dalamnya.

"Anak manja. Keluarga busuk." umpatnya sinis.

Pemuda tadi kini ingat, kemana perginya gadis berdagu runcing itu.

Satnite. Dinner w/ his family. Yeaah (y)

Ia ingat, potongan tweet yang di update gadis itu pada akun twitternya sore tadi.

"Errr, Shit!!"

Ia melempar buket bunga yang dibawanya dengan kasar. Kelopak bunga-bunga mawar cantik itupun rontok seketika.

"Nggak elo, nggak bokap lo, sama aja. Sukanya ngerebut hak orang laik. Sok sempurna, gue benci. Benci banget sama lo." raungnya, kalap.

Berkali-kali dilayangkan tinjunya ke udara. Belum merasa puas, diraihnya sebongkah batu berukuran sedang dan dilemparnya kuat-kuat dengan sasaran lampu taman bulat yang menerangi halaman rumah di sebrang jalan sana. Rumah pemuda yang sangat ia benci. Ia tidak begitu ingat, sejak kapan senyum ramah pemuda itu jadi begitu memuakkan di matanya. Ia juga tidak ingat, sejak kapan sosok asyik pemuda itu jadi begitu menyebalkan untuknya. Mungkin beberapa bulan yang lalu. Ya, sejak kejadian pada malam di bulan januari itu. Malam yang menjadi akhir dari mimpi-mimpinya, serta jadi awal, kehancurannya.

***

Suasana jadi hening. Tidak seperti beberapa menit yang lalu dimana masih terdengar derai tawa renyah, ejekkan-ejekkan, ataupun celoteh manja gadis bawel yang duduk tepat di samping Alvin. Semua berubah jadi sepi, setelah pemuda berwajah oriental itu melontarkan sebuah pertanyaan.
Halaman rumah ini luas, sangat luas. Cukup untuk membangun satu studion olah raga, mungkin. Tapi karena terlalu lama kedua orang ini terdiam, dua pasang bola mata mereka sampai-sampai kehabisan objek untuk diperhatikan.

"Kok nggak dijawab?" tegur Alvin tanpa menoleh pada gadis yang duduk termangu disisi kirinya,

"Gimana kalau perjodohan itu betul-betul terjadi, lo bakal terima?" pemuda bermata sipit itu mengulangi pertanyaannya.

"Vin. Itu nggak mungkin." tukas Si Gadis dengan cepat.

"Nothing impossible. Gimana kalau seandainya it-"

"Gue nggak suka berandai-andai."

"Oke. Oke. Kalau gitu biar gue yang berandai-andai. Gimana kalau dugaan gue betul? Gimana kalau keluarga kita memang merencanakan sebuah perjodohan?"

Gadis itu tetap bungkam. Lebih memilih mengabaikan pertanyaan Alvin.

"Fuihh," Alvin menghela napas, "Bukan apa-apa. Tapi kalau lo punya niatan buat nolak, sebaiknya lo fikirin alasannya dari sekarang, sebelum dugaan gue benar-benar terjadi. Karena kalau dari gue sih, gue nggak akan pernah bisa nolak permintaan orang tua gue." tegas Alvin.

Si Gadis mengerutkan kening, ekor matanya melirik siluet tampan pemuda yang tengah asyik memaku pandangan kearah langit itu. Cerah, ya, malam yang sangat indah untuk ukuran kota Jakarta. Langit kotor Jakarta yang mungkin, bintang-bintang paling malas menyinggahinya, malam ini terlihat begitu cantik dihiasan kerlipan benda langit mungil itu.

"Gue anak tunggal, Vin," Gadis itu mulai bersuara, "Dari kecil, gue selalu jadi pelampiasan keinginan-keinginan orang tua gue, karena emang cuma gue yang mereka punya, terutama papa. Dari mulai negara tempat gue tinggal, sekolah gue, jurusan yang harus gue pilih, excul, les, bahkan mungkin cita-cita gue juga orang tua gue yang pilih. So, gue nggak akan ngerasa aneh, kalau pendamping hidup gue nanti juga orang pilihan, orang tua gue. Jadi... Ya... Kalau perjodohan itu betul-betul terjadi, sama kayak elo, gue juga nggak yakin bakal bisa nolak."

Alvin tersenyum tipis, "Lo jawab begitu, karena lo masih punya option kan? Keluarga gue punya 2 anak laki-laki. Tapi gimana kalau orangnya udah pasti? gimana kalau elo dijodohin sama gue, Put? Bukan sama... Pangeran lo."

Gadis tadi mendelik, heran. Sebegitu kentarakah perasaannya, hingga Alvin bisa dengan mudah menebaknya. Lalu, kenapa orang yang dimaksud Alvin, 'pangeran lo' itu malah sama sekali tak acuh. Kurangkah sinyal-sinyal yang telah ia berikan ?

Gadis tadi menatap tajam tepat di dua manik hitam milik Alvin. Dan disana, bayangan masa lalu itu seperti menemukan media untuk merefleksikan diri. Kenangan itu, hari dimana gadis tadi baru kembali menjejakkan kaki di Indonesia, setelah beberapa tahun menetap di negeri kincir angin, Belanda. Ia yang tidak begitu pandai berbahasa Indonesia, sering dikerjai dan jadi bulan-bulanan teman-temannya. Ia kerap menggunakan kata-kata kotor dan kasar kepada guru-guru, karena diajari demikian oleh teman-temannya. Ia yang sering di tertawakan saat tes pidato atau membaca puisi. Dan saat itulah, pemuda itu datang. Bermula dari kejadian kecil, yang tak akan pernah ia lupakan. Pemuda itu mengantarkannya pulang ke rumah, setelah seharian ia tersasar. Tidak tahu jalan dan angkutan umum apa yang mesti dinaikinya. Sejak saat itu, keduanya berteman. Dan sejak saat itu pula, gadis tadi jadi buta. Tidak lagi bisa melihat sosok lain yang lebih indah dan sempurna daripada pemudanya. Ia jadi tuli, tidak mau lagi mendengar suara merdu dari yang lain, selain suara pemudanya. Dan sialnya orang itu bukan Alvin, melainkan orang yang sangat dekat dengan pemuda tampan itu, saudara laki-lakinya. Ya, kedua telaga bening milik saudara laki-laki Alvin telah lebih dulu memagut pandangannya, hingga sampai detik ini, gadis tadi tak pernah bisa berpaling.

"Hei!!" jentikan jari Alvin, yang tepat di depan wajahnya membuat gadis manis itu terkesiap,

"Ditanya malah bengong." cibir Alvin.

"Ehm, gue...gue..."

"Nggak perlu di jawab, Put," Sela Alvin, "Aku udah tau jawabannya. Kadang mata itu bisa bercerita lebih banyak ya, dibanding mulut." Alvin mengacak poni Gadis di depannya.

PRAAANGG

Suara bola lampu yang pecah tertimpuk batu itu, membuat Alvin reflek menarik tubuh Gadis Manis itu, ke dalam rengkuhannya. Tanpa maksud tertentu, tanpa getaran istimewa, tanpa hasrat, tanpa rasa. Ya, itu hanya kejadian sederhana. Dimana seorang pemuda berniat melindungi seorang gadis agar tidak terkena serpihan kaca dari bola lampu yang pecah, tak jauh dari tempat mereka duduk berselonjor.

Tapi sepasang mata lain yang melihat adegan itu, mengartikan lain. Apa yang di tangkap oleh 2 telaga bening itu, membuat pemiliknya harus menggali dan memunguti lagi benih-benih asa yang bahkan baru saja ia semai. Ia tersenyum tipis, "Ify buat lo, Vin."

***

"Jadi sekarang itu rumahnya, Bi ?"

"Iya Tuan. Rumah yang lama, yang menyatu dengan toko florish itu sudah dijual untuk biaya masuk sekolah Shilla waktu baru mau masuk SMA."

"Astaga... Kenapa Lisha tidak pernah menghubungi saya soal ini?"

"Adik saya bukan orang yang suka merepotkan orang lain, Tuan."

"Apa separah itu? Apa aku terlihat seperti orang lain? Kasihan mereka."

"Tuan tidak perlu mengasihani Lisha ataupun Shilla. Keduanya, selalu terlihat bahagia selama ini, walaupun kehidupan mereka tidak seberuntung keluarga Tuan. Lisha tidak pernah mengeluhkan apa-apa."

"Ya. Ya. Aku tau. Lisha memang wanita yang sederhana dan menyenangkan."

"Shilla pun demikian. Gadis itu benar-benar cetak biru ibunya."

"Aku jadi tidak sabar untuk menemuinya. Ayo, kita jemput dia!"

"Tapi Tuan..... Apa benar, tidak apa-apa kalau Shilla diajak tinggal di Rumah Besar? Apa... Kehadiran Shilla yang tiba-tiba, tidak akan jadi masalah untuk keharmonisan keluarga Tuan?"

"Keharmonisan yang mana yang kamu maksud, Bi? Mama yang selalu membanding-bandingkan Gladys dengan almarhumah istriku, atau Rio yang tidak pernah bisa menerima kehadiran Gladys? Itu yang kamu bilang harmonis? Justru saya berharap, hadirnya Shilla bisa membawa keceriaan di Rumah Besar, seperti dulu."

"Tapi Tuan..."

"Sudahlah Bi, saya yakin Lisha juga pasti akan lebih senang melihat Shilla mendapat penghidupan yang layak."

Sudah sejak tadi mewah berwarmna hitam itu terparkir rapi di bawah sebuah pohon trembesi, tak jauh dari sebuah rumah yang salah satu penghuninya tengah jadi fokus pembicaraan seorang bapak berusia sekitar 40 tahunan, dengan seorang wanita paruh baya.
Pembicaraan singkat tadi, nampaknya berdampak cukup hebat. Hingga kedua orang tadi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memutuskan, apa yang harus mereka lakukan atau katakan selanjutnya. Tidak ada yang mengerti. Mungkin hanya malam dan segala ornamennya yang faham, bagaimana perih yang dirasakan dua orang ini setelah koreng lama itu, terkelupas kembali, dan dicucuri air cuka. Sakitnya, tak terbilang.

"Bi, kemana-"

"Ke warung sepertinya, Tuan. Beli air mineral." sahut Bibi bernama Arum itu, dengan cepat.

"Ya sudahlah, kita kesana duluan." laki-laki tadi mengarahkan dagunya pada sebuah rumah berdinding anyaman bambu, lantas berjalan pelan ke tempat itu. Bi Arum mengangguk pasrah, berjalan mengekor majikannya dengan langkah gontai. Dalam benaknya, kini berkecamuk kecemasan akan hidup keponakannya, kelak.

"Punten..." sapa Bi Arum dalam bahasa sunda yang fasih.

Seorang wanita berusia lebih muda darinya keluar dari dalam rumah, "Eh, Teteh. Mangga, mangga, kalebet." ujar wanita berdaster yang sibuk menggelung rambut panjangnya itu, "Hayu atuh, calik.
Kumaha damang, Teh?" wanita tadi mempersilahkan tamunya untuk duduk, dan menanyakan kabar kakak kandungnya yang telah lama menetap di Jakarta itu.

"Damang." balas bi Arum, "Mmh, begini, Teteh kemari ada perlu sama... Shilla. Shillanya ada?"
Wanita tadi yang adalah adik bungsu Bi Arum, langsung mengerti kenapa kakaknya menggunakan bahasa Indonesia. Ada orang kota rupanya.

"Oh, Shilla, ada, ada. Shillaaa. Neng, geura kadieu !!" (cepat kemari)

"Iya Bi, ada apa?" seorang gadis cantik berambut panjang, mengenakan rok bunga-bunga dan kaos putih lusuh muncul dari salah satu kamar di rumah itu.

"Shillaaa..." bi Arum segera memeluk keponakan yang sudah bertahun-tahun tak ditemuinya itu. Matanya berkaca-kaca, "Sudah sebesar ini sekarang kamu teh. Meuni geulis."

"Ah, nggak atuh Bi, Shilla mah biasa aja, masih kayak dulu. Bibi kapan datang dari Jakarta teh ? Kok nggak bilang-bilang, kalau mau kemari."

"Bibi juga baru sampai, Shil," jawab Bi Arum kalem, ia lalu membimbing Shilla agar duduk di dekatnya, "Mmh, begini Shilla. Bibi kemari sebetulnya mau mengajak kamu untuk tinggal bersama bibi, di Jakarta. Kamu tau kan setelah suami dan putra Bibi meninggal, bibi tinggal sendiri. Shilla mau kan tinggal bersama Bibi!"

Shilla tidak perlu berpikir 2 kali, ia tahu betul jawaban yang berpusar di otaknya. Ia tidak mungkin meninggalkan desa ini, "Maaf Bi, tapi Shilla nggak mau. Shilla lahir dan besar di desa ini dan lagi makam ibu juga ada disini. Shilla nggak mungkin pergi."

"Ya, Bibi tahu kamu pasti akan bicara seperti itu. Tapi Shilla, coba kamu fikirkan! Kalau kamu disini, bagaimana dengan sekolahmu, masa depanmu. Apalagi sekarang ibu kamu sudah tidak ada, apa kamu mau menambah beban Bi Asih ? Kalau di Jakarta kamu bisa melanjutkan sekolah, sayang kan kalau putus. Kamu sudah naik kelas 12 kan ?" desak Bi Arum, "Oh iya, kenalkan, ini Tuan-"

"Haling." sambar laki-laki tadi, memperkenalkan nama belakangnya.

"Shilla."

"Beliau majikan Bibi, Shil. Sekaligus sahabat, emmh..... Ayah dan Ibumu. Beliau yang akan menyekolahkanmu sampai perguruan tinggi. Kita juga akan tinggal di rumah beliau." papar Bi Arum.

"Tapi-"

"Shilla, saya yakin ibumu sudah mengajarkan bahwa menolak niat baik seseorang itu tidak sopan. Ibumu telah menyelamatkan nyawa putra saya. Sebelum saya membalas hutang budi, dia telah tiada. Jadi saya mohon izinkan saya membayar semuanya lewat kamu."

Bohong! Apa yang diberikan ibunda Shilla, sebetulnya adalah pertolongan yang tidak perlu, dan tentu saja tidak bisa dikategorikan menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi menurut Haling, untuk sementara biar hanya itu yang Shilla ketahui. Ia akan menunggu, sampai semuanya siap. Menunggu sampai tiba saat yang tepat, untuk menceritakan segalanya pada Shilla. Tanpa pernah disadarinya, sebelum saat yang tepat itu tiba, akan ada banyak hati yang terlukai lebih dulu, termasuk hati putra-putranya.

"Dan saya tau, kamu sangat menyukai bunga-bunga seperti Lisha. Kamu bisa merawat kebun milik almarhumah istri saya di Jakarta." sambung Haling.

Bi Arum mendelik heran, "Kamu juga bisa bantu-bantu pekerjaan Bibi, Shil." Tambahnya.

"Maksudnya... Aku disana sebagai, emh... Pembantu ?"

"Oh, bukan, bukan. Kamu akan saya anggap putri saya sendiri." Sambar Haling.

Shilla terdiam. Melihat kondisi ekonomi Bi Asih dan keluarganya, dengan lima orang anak. Rasanya tentu mustahil kalau tahun ajaran baru ini Shilla tetap bisa melanjutkan sekolahnya. Padahal impian terbesar Shilla adalah sekolah tinggi dan jadi dokter spesialis jantung. Agar kelak tidak ada lagi, orang-orang yang menderita seperti ibunya. Agar tidak ada lagi, gadis-gadis belia yang harus kehilangan ibu mereka.

"Bi Asih, apa Shilla boleh ikut ke Ja-"

"Silakan Shil,” Sambar Bi Asih, “Bibi rasa, tinggal bareng Si Teteh bakal lebih menjamin masa depan kamu." sahut Bi Asih, seraya tersenyum lembut.

"Kalau gitu..... Shilla mau ikut, Bi."

***

Pemuda itu masih asyik menatap langit malam. Setelah beberapa tahun, ia baru melihat lagi taburan bintang sebanyak malam ini.

"Di Jakarta, mana ada yang kayak begini." batinnya, mencela.

Kota itu benar-benar payah menurutnya. Hanya berisi polutan dan limbah. Bahkan bulan dan bintang harus berusaha lebih keras, agar pesonanya dalam terlihat, mengiasi langit-langit kota Jakarta. Pemuda tadi menyandarkan tubuhnya, pada badan mobilnya. Mengedarkan pandangannya dengan sorot penuh kerinduan. Desa ini, ah... Sudah banyak berubah rupanya. Jalan-jalannya sudah diaspal. Obor-obor yang dulu, sudah di ganti lampu-lampu neon. Cihideung memang sudah di resmikan sebagai salah satu ikon pariwisata oleh pemerintah daerah setempat. Kota yang mayoritas di huni keluarga penjual bunga hias itu sudah cukup maju. Tapi tetap saja, alunan musik dangdut dengan suara khas dari gendangnya yang ditabuh rancak, masih terdengar dari rumah-rumah penduduk. Ia juga masih yakin, begitu ia berjalan lurus masih akan ditemui pertigaan yang kalau berbelok ke kiri akan di jumpai sebuah saung di bawah pohon randu yang rindang. Dan kalau ambil jalan ke kanan akan dilihatnya air terjun tiga tingkat, tempat bermain favouritenya dulu.

Pemuda itu terus meneliti, matanya kemudian menangkap kerumunan bapak-bapak bersarung yang tengah larut dalam senda gurau ditemani secangkir kopi hitam plus potongan-potongan singkong goreng. Lalu terlihat pemudi karang taruna yang melewatinya, dan berbisik-bisik sambil melirik malu-malu kearahnya. Pemuda tadi tersenyum tipis, "Emang ya, pesona gue nggak di kota, nggak di desa, tetap nggak bisa di tolak." ujarnya, percaya diri.

"Mau pada bantu acara hajatan kali ya, mereka ?" gumamnya, dalam hati. Karena lamat-lamat terdengar suara degung yang seingatnya dulu, hanya akan terdengar kalau jurLana kampung tengah menggelar hajatan.

Ia tersenyum sendiri. Desa ini manis, seperti mama dan bunga-bunga kesayangannya. Manis, seperti masa kecilnya. Manis, seperti... seperti... Gadis di depannya.

"Nah, kenalkan ini putra, Om."

Suara berat itu membuat pemuda tadi terkesiap. Astaga, sejak kapan Papanya berdiri disini ??

"Shilla." Gadis cantik itu, mengulurkan tangannya.

"Rio."

***

Kamis, 05 Mei 2011

Malaikat Hidup Gue ( Last Part )

***

"Jadi apa yang dibilang Debo itu benar ? Dia gak bohong, Yo ?" tanya Ify memastikan.

Lagi-lagi Rio mengangguk pasrah, membuat gadis manis didepannya menggigit bibir untuk menahan tangis.

"Trus kenapa lo malah ujan-ujanan sekarang ? Nanti lo sakit." Ify melepas jaket yang sebelumnya Rio sampirkan di pundaknya. Penyodorkan jaket itu, pada sang pemilik, "Ayo pakai !! Lo lebih butuh dari gue." suruh Ify.

Rio terdiam. Tidak bergerak, tidak juga bicara apa-apa. Hanya hembusan nafas panjang yang terdengar dari pemuda itu.

"Sebenarnya....." Rio menggantung kalimatnya, tanpa Ify sadari pemuda itu tengah menarik nafas dalam-dalam, mengambil ancang-ancang untuk segera kabur nantinya, "Makanyaya Fy, lo tu harus rajin belajar bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jangan bahasa sunda mulu, lo bangga-banggain. Debo kan bilang gue 'pernah' sakit kanker. PERNAH Fy, per-nah. Tapi sekarang gue udah sembuuuh kaleee. Gue masuk RS kemaren karena sakit maag doang. Dodol sih lo, mau aja di bego-begoin si Debo. Bhahaha." Rio tertawa puas, dan lagi-lagi menjulingkan matanya, lalu berlari sekuat tenaga menjauh dari Ify yang sepertinya sudah siap meledak.

"Dasoooorr, Rio kunyuk. Rese lo, jelek, item, pesek, tau gitu males banget gue bela-belain ke Manado. Gue kira hidup lo gak lama lagi, siniii Looo. Jangan kabur, awas kalau kena, abis lo, sama gue." ancam Ify, galak.

"Gak takuut, gak takuut.. Wlek !!"

keduanya terus berlari, saling mengejar. Tanpa sadar, mereka meninggalkan semua hal pahit dan bayang-bayang masa lalu, jauh dibelakang. Membiarkan semua jadi kenangan, menguncinya rapat-rapat, agar tidak lagi mengusik hari esok yang tengah mereka songsong. Rio dan Ify, keduanya siap melangkah bersama, menjalani hari-hari indah yang tengah menunggu mereka, didepan sana.

***

"Yang lalu biarlah berlalu."

terdengar sederhana dan mudah. Tapi ternyata tidak untukku. Butuh lebih dari sekedar tangan takdir untuk membuat yang lalu benar-benar berlalu dari kehidupanku. Butuh keberanian yang cukup untuk mengusir Si-Masa-Lalu itu, agar pergi. tapi ternyata aku tidak seberani itu, sampai-sampai Tuhan harus mengirimkan malaikatnya untuk membantuku. Mengentasku dari belenggu masa lalu. Alyssa Saufika Umari. Entah kekuatan magic apa yang tersimpan dibalik senyumnya, dibalik renyah tawanya, binar cerianya, hingga aku percayakan hari-hariku untuk ia warnai. Aku percayakan hatiku untuk ia genggam, aku percayakan fikiranku untuk ia rasuki dengan pesonanya. Aku percaya Ify, dia masa depanku. Malaikat dalam hidupku.

-Mario Stevano Aditya Haling-

***

seperti yang pernah ia bilang, aku malaikat penolongnya. Maka aku izinkan diri ini untuk jadi orang yang pertama mengulurkan tangan saat ia terjatuh.
Seperti yang ia katakan, aku mataharinya. Maka aku akan dengan senang hati memcurahkan seluruh sinarku, untuk menerangi harinya.
Biar. Biar hanya aku saja yang ada untuknya. Biar hanya aku yang ia butuhkan. Biar hanya aku saja yang memahaminya. Jangan ada orang lain. Karena dengan begitu, dia... Mario Stevano Aditya, tidak akan pernah lagi sanggup jauh dari aku, selayaknya aku yang tak akan mungkin bisa tanpa dia.

-Alyssa Saufika Umari-

***

Singapore, tanggal 30 Maret 2011. Pukul 16.00 waktu setempat.
Seorang pemuda, masih dengan sweater hijau tosca yang menempel erat ditubuhnya, menyeruak masuk dengan wajah bingung. Ia menilik setiap sudut kamar rawat saudara laki-lakinya itu dengan seksama. Tidak banyak yang berubah sejak ia tinggalkan untuk mencari makanan ringan 30 menit yang lalu. Gadis berlesung pipit itu, masih betah menggenggam tangan saudaranya yang kini duduk tegang diatas ranjangnya. Segala macam alat medis dikamar ini juga, tidak bergeser barang seinci pun dari tempatnya tadi. Tapi suasana kamar ini, kenapa berubah ? Ada apa ?

Pemuda tadi, menumpukan pandangannya pada lelaki dan wanita paruh baya yang kini duduk tidak nyaman di sofa biru laut yang ada dikamar V.V.I.P ini. Papa dan mamanya. Seolah, pemuda ini adalah alien yang baru ditemui, kedua orang itu menatap canggung kearahnya.

Masih belum bergerak dari ambang pintu, pemuda
itu melempar tanya, "Ada apa sih ? Kok kayaknya ada yang aneh ya ?"

sepertinya tak ada satu orang pun yang berniat menjawabnya. Pemuda tadi tidak mendengar suara sekecil apapun dari siapapun yang ada dalam kamar ini. Hening. Ia mendesah keras. Diletakkan kantong kresek hitam yang semula ia jinjing. Setelah melepas sweaternya, dan meneguk setengah botol air mineral, ia lantas memilih duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya.

"Ada apa ?" ulangnya bertanya. Dua orang didepannya malah saling melempar pandangan, "Jadi gak ada yang mau cerita ? OK. Fine. Gak masalah." tandasnya, sedikit jengkel.

"Lo dapet donor, Yel." sambar Alvin masih dari atas ranjangnya.

"Donor ? Lo bercandanya gini banget sih Vin." Iel memutar kepalanya menghadap Alvin. Walau bagi saudara laki-lakinya itu, kemanapun Iel melihat saat bicara dengannya, sudah tak penting lagi.

"Alvin gak bercanda, Yel. Tadi dokter Fadli kemari. Beliau bilang telah menemukan donor yang cocok untukmu. Ya, walaupun pendonornya bukan dari keluarga kandungmu, yang penting cocok, dan bisa dilakukan pendonoran. Dokter Fadli bilang, meskipun operasi transplantasi ini sudah cukup terlambat, tapi tetap layak untuk dicoba. Tapi..." papa menggantung penjelasannya, membiarkan Iel menampakkan ekspresi bingung yang kian menjadi.

"Tapi.....ekhm." lagi-lagi lelaki itu menunda menuntaskan kalimatnya. Terlihat, ia benar-benar tidak nyaman, menyampaikan kabar itu, "emmh... Alvin dan Sivia tidak jadi mendapat donor. Keluarga korban kecelakaan yang semalam, tidak setuju, kalau mata dan ginjal putri mereka ditransplantasi. Kami sudah menawarkan sejumlah uang sebagai ucapan t'rimakasih, tapi mereka malah mengancam akan melaporkan kami dan pihak rumah sakit kalau sampai melakukan mengambilan organ-organ tubuh putrinya untuk didonorkan."

"Lho kok gitu sih ? Harusnya mereka senang dong, putrinya masih bisa memberikan manfaat untuk kehidupan orang lain, bahkan setelah ia tiada. Toh putrinya gak memerlukan semua itu lagi kan." protes Iel.

"Pemikiran orang berbeda-beda, Nak. Mama juga sangat menyayangkan keputusan keluarga gadis itu." tutur mama, sambil menyandarkan kepalanya pada bahu bidang papa dan menangis disana, "Kasihan Alvin." imbuhnya, kecewa.

"Mama udah dong, Alvin gak pa-pa kok. Alvin malah sedih kalau mama kecewa kayak gitu." ujar Alvin, menenangkan.

"Maafin mama ya Yel. Bu...bukan berarti mama gak senang dengar kamu akhirnya mendapatkan pendonor. Hanya saja.....mama benar-benar ingin kedua pangeran mama bisa sama-sama sembuh." tutur Mama masih dengan sisa-sisa tangisnya.

"Gak pa-pa kok Ma, Iel ngerti. Emm, kalau boleh tau, apa dokter Fadli bilang, siapa pendonor buat Iel ?"

"Dokter Fadli gak menyinggung soal pendonor. Beliau cuma bilang, mulai besok kamu harus rawat inap dirumah sakit Yel. Dokter Fadli akan terus memantau kondisimu sebelum operasi. Operasinya sendiri bisa dilangsungkan secepatnya. 5 atau 7 hari kedepan, tergantung kondisi kamu dan pendonor. Kamu bisa langsung menemui Dokter Fadli untuk lebih jelasnya." ujar Papa.

Iel hanya menanggapi dengan satu anggukan singkat lalu berdiri menghampiri Alvin dan Sivia.
Pemuda manis itu, menepuk pundak Alvin beberapa kali. Lantas berujar, "Lo pasti sembuh Vin. Pasti."

Alvin hanya tersenyum simpul. Tidak munafik, ia sedikit kecewa. Kenapa justru Iel lah yang lebih dulu mendapatkan pendonor ?? Bukankah mereka ke Singapore, justru untuk kesembuhan Alvin ?

"Kamu juga Vi, kita semua pasti sembuh." tambah Iel, setelah melayangkan pandangannya dan mendapati siluet cantik Sivia yang tertegun dengan tatapan menerawang.

"Eh, emm, iya Yel." balas Sivia sekenanya. Karena sejatinya, Sivia sama sekali tidak yakin.

Kini giliran Iel yang tercenung. Masih belum yakin dengan apa yang ia dengar. Ia akan sembuh ? Benarkah ?

Setelah belasan tahun, bertahan tanpa pengharapan untuk sembuh. Setelah belasan tahun berjuang dengan hanya berbekal senyum peri kecilnya. Setelah belasan tahun ia ditemani rasa sakit yang menderanya tanpa jeda. Akhirnya ia akan sembuh ?


Ah, rasanya seperti mimpi saja. Atau Tuhan memang sedang mengizinkannya bermimpi dalam dunia nyata. Menghembuskan angin surga, sebelum akhirnya semua harus berakhir.
Bertepi. Berujung.

***

"Apa kamu yakin Gabriel ?" tanya dokter Fadli, serius. Pria itu tampak sedikit geram menyaksikan pasiennya yang terus terbahak. Padahal yang dibicarakan bukan masalah sepele, seperti betapa datarnya hidung sule atau betapa mempesonanya lesung pipit briptu Norna. Perkara ini lebih dari hal-hal nyeleneh macam itu. Ini masalah penting.

Masih dengan sisa-sisa tawanya, Iel menjawab asal, "Dokter sudah bertanya seperti itu 6 kali semenjak saya duduk disini." Iel lagi-lagi menyeringai.

"Saya rasa surat pernyataan ini sangat tidak perlu. Toh kamu akan sembuh." tukas dokter Fadli.

"Surat ini hanya akan jadi hitam diatas putih kalau operasi itu berhasil. Sedangkan kalau Tuhan berkehendak lain....." Iel memaikan bolpoint hitam di tangannya sambil melempar pandangan nakal yang membuat dokter Fadli semakin jengkel, "Tidak ada hal yang lebih membahagiakan untuk setiap orang, selain saat telah matipun ia masih bisa memberikan manfaat untuk orang lain. Bukan begitu pak dokter ?"

"Fuihh," dokter Fadli membuang nafas dengan kasar, "Entahlah Gabriel, tapi surat ini terkesan seperti wasiat terakhir kamu."

"Ooootidakbisa...seperti yang saya bilang dok. Saya belum mau mati, selama saya masih bisa melihat senyum di wajah cantik Sivia Azizah. Hehe."

"Yayaya. Baiklah, kalau begitu."

"Jadi udah boleh ditanda tanganin nih, dok."

dokter Fadli hanya menimpali dengan anggukan kepala. Seumur hidup pria ini, ia tidak akan pernah melupakan hari ini, 1 April 2011. Ia disadarkan tentang ketulusan oleh seorang anak berusia 17 tahun dalam menjalani titian hidupnya. Tidak ada yang menjanjikan piala, medali atau sekedar satu lembar piagam untuknya, tapi anak muda ini mampu berkorban habis-habisan seolah-olah pengorbanannya kelak akan diganjar kebahagian yang tak ternilai.

Setelah selesai membubuhkan tanda tangannya pada secarik kertas dihadapannya, Iel menyodorkan kertas itu pada dokter Fadli. Dokter Fadli menerimanya, lantas segera
memasukkan surat itu dalam laci meja kerjanya.

"Saya harap, saya tidak perlu mengeluarkan kertas ini lagi. Apalagi harus menyodorkannya kehadapan orang tuamu. Saya yakin, tidak akan perna sanggup melakukannya." tutur dokter Fadli, benar-benar terlihat enggan.

Gabriel hanya menanggapinya dengan senyum simpul.

***

Awal april. Matahari seperti telah menemukan kembali kekuatannya untuk membakar bumi setelah beberapa bulan terakhir mengalah dari hujan. Udara menjadi sangat panas, bahkan setelah malam menjelang. Panasnya tak kunjung lekang.
Dan masih beruntung, orang-orang yang mampu menggerakan tangan mereka untuk sekedar mengibas-ngibaskannya disekitar wajah. Pun dengan mereka yang masih bisa mengayunkan kaki, masih sanggup berjalan mencari dimana kiranya angin berpusar. Lantas bagaimana dengan ia ? Pemuda itu ? Apa ia juga merakan panas dan gerah ?
Lalu bagaimana ia mengusir panas dan gerah itu, sedangkan seluruh tubuhnya kaku, tak bergerak.

Bukan. Bukan karena kabel warna-warni serta alat-alat medis yang menempel pada tubuhnya yang membuat pemuda itu seolah membatu.
Hanya saja, mungkin ia terlalu enggan. Sudah cukup lama ia bertahan. Ia sudah ingin mererah. Lantas lemahkan ia ?
Tentu tidak. Akan ada saatnya untuk berhenti bukan, mungkin saja ini waktunya ia berhenti.

Dengan nyeri yang kian hebat menyiksa tubuh ringkihnya, pemuda itu terlihat mencoba memisahkan anyaman bulu matanya yang terjalin rapat. Sorot nanar itu, lantas muncul.

"Sayaang ?" isak pilu seorang ibu, yang tanpa jeda melafadz doa, tanpa kantuk tetap terjaga demi putra kebanggaanya, yang sudah sekian hari tertidur panjang.

Mata anak laki-laki itu berbinar pedih. "Aku mohon jangan menangis. Aku sedang berjuang. Aku mau sembuh. Jangan menangis." pintanya dalam hati. Ya, hanya hatinya yang sibuk berkoar sejak tadi, karena saat ini, suara seakan jadi sesuatu yang tabu untuknya.

Hati ibu mana yang tidak mencelos, yang tidak terluka, mendapati putra yang bisa begitu semangat dan menyenangkan, kini terkolek tak berdaya dan terlihat begitu rapuh.
"Kamu gak akan ninggalin mama kan sayang ? Jangan ya Nak, mama gak mau kamu pergi. Kamu harus sembuh ya, demi mama, demi papa, demi Alvin, demi sahabat-sahabat kamu. Mereka pasti nungguin kamu pulang lagi ke Bandung. Papa sudah atur semuanya, besok kita berangkat ke London, kamu akan diobati disana." suara itu bergetar, terdengar begitu tulus dan menenangkan. Jemarinya, mengelus lembut, puncak kepala putranya.

Pemuda itu tidak merespon apa-apa, hanya satu bulir air mata yang luruh, kemudian menyusuri pelipis kirinya. Sang mama dengan sigap segera menyeka buliran bening itu. Ini pertama kali ia mendapati putranya itu menangis. Sebegitu sakit kah yang dirasakan ?

"Sakit Nak ? Apanya yang sakit ? Sabar ya, ada mama disini. Kita lawan sakitnya sama-sama ya." tutur lembut wanita tadi, tangannya kini mendekap erat jemari kokoh, milik putranya, Gabriel.

"Tuhan pindahkan sakit yang dirasakan putraku, kepadaku. Biar aku yang menanggungnya, izinkan ia sembuh. Biar aku yang menggantikannya." doa wanita tadi, ikhlas.

"Oya, biar gak terasa sakitnya. Mama cerita aja ya sayang.....ma...mama...hiks." seorang wanita tetaplah wanita, butuh benteng yang lebih kokoh dari sekedar lapisan baja atau besi untuk bisa membendung pasukan air matanya agar tidak tercurah saat ia sedih, "Kamu tau ? Dulu waktu kamu kecil, kamu seneng banget main bola sama Alvin. Kamu juga seneng main hujan. Trus waktu dulu kita sekeluarga liburan ke Paris, Iel kecil dulu pernah janji lho sama mama, suatu saat bakal bikinin mama menara yang gak kalah cantik dari eiffel. Iel harus sembuh ya... Mama mau liat kamu sama Alvin lulus-lulusan. Mau foto bareng, waktu nanti kalian di wisuda..."

Gabriel berulang kali terlihat ingin bersuara, "Ma..ma.. Maka..sih.. Bu..buat se..mua."

tut-tut-tut

layar monitor disamping tempat tidur Iel, yang memperlihatkan garis-garis serupa grafik terus mengalami penurunan.

Waktu terus menggulirkan detik yang tak akan pernah kembali. Masa terus terajut sempurna, bentangan jarak siap terurai. Adakah yang menyadarinya ?
Ada penghabisan pada setiap kata. Ada ujung untuk setiap jalan.

Mama masih terus bercerita dengan tawa-tawa kecil yang jelas di paksaan. Sedangkan pemuda dihadapannya justru semakin gelisah. Merasakan nafasnya yang makin tersengal, padahal alat bantu pernafasan telah dipasang. Jantungnya seperti semakin malas berdenyut. Disela perang melawan rasa sakit dan takut yang memeluknya, pemuda itu berusaha menyentuh wajah Mama tercintanya.
Wanita yang sudah ia anggap, Ibu kandungnya. Yang merawatnya, sekian belas tahun, dengan kasih sayang yang berlimpah meski Iel tidak lahir dari rahimnya.

Jemari pemuda itu, menelusuri paras ibunya yang dibanjiri air mata.

Perpisahan itu kian dekat, tidak mau diajak bernego. Hanya memberinya sedikit kesempatan untuk tersenyum. Hanya seulas senyum.
Senyum terakhir seorang Gabriel yang hanya akan terpatri dalam ingatan Mamanya. Karena, kenyataannya tidak ada orang lain, selain wanita itu, yang melepas kepergiannya. Tidak sahabat-sahabatnya, tidak Alvin, tidak Papanya, tidak juga Sivia, gadis yang telah membawanya bertahan sampai sejauh ini.

Tanggal 8 april. Tepat pukul 9 malam, waktu Singapore. Mulai hari ini dan seterusnya. Seorang Gabriel hanya akan hidup dalam kenangan dan ingatan, orang-orang yang menyayanginya.

***

malam dengan bulan yang membulat sempurna. Cerah. Angin daerah puncak yang biasanya membuat orang enggan beraktifitas malam hari, entah mengapa malam ini berhembus, sangat bersahabat. Pelan, semilir. Sinar putih dari kerlipan bintang, jatuh tepat, terpantul pada sepasang bola mata milik para penghuni taman belakang ini. Membuat benda-benda bening itu berkilat cemerlang.
Derik jangkrik dan kawanannya, berbaur dengan radio tape yang kini tengah melantunkan salah satu lagu hits dari band lokal.

Benar-benar malam yang sempurna.

"Ray !! Itu jagungnya dibakar dong, bukan dipukul-pukulin ke meja begitu. Lo obsesi jadi drummer atau emang gak ngotak sih ?" koar Oik yang ditimpali cengiran tanpa dosa oleh Ray.

"Ozyyy... Ampun deh lo. Kulitnya dikupas dulu dong. Dodol banget sih, kok langsung diolesin bumbu gitu sih ?" protes Gita.

"Biar cepet Git, ntar juga nyerep bumbunya."

"Lo juga ngipasinnya jangan pake tenaga kuli gitu dong, udah sono-sono deh lo, pergi yang jauh, biar gue aja yang kerjain." usir Gita. Yang diusir malah cengengesan gak jelas.

"Dedeepp, aduh lo kalo mau spam iler jangan di pundak gue juga kali yaaa... Ah, jijay banget." keluh Debo pada Deva yang bersandar dibahunya.

"Sewot banget sih, PMS ya lo ?" gerutu Deva.

"Lo tu PMS, Pemuda Mata Super." timpal Debo.

"Achaaaa, lo ngambil kecap apa nge-blow rambuut lama banget... ??" teriak Oik.

"Devaaa, hp Keke lowbat, chargernya manaaaa ?"

"Ozyyy, sticker hadiah dari chiki gue tadi mana, lo colong yaaa ?" koar Ray, menuduh.

Malam ini hangat. Teriakan-teriakan tanpa beban itu pun membahana, menyatu dengan desau angin, menyentuh lereng-lereng bukit, mengusik dedaunan, merambati semak, lantas terarsip rapi dalam memori masing-masing. Yang akan jadi kenangan paling berharga saat mereka harus bertemu dengan perpisahan, kelak. Yang akan jadi pemanggil tangis saat bentangan ruang dan waktu melahirkan serpihan rindu. Yang akan jadi pengundang tawa, saat kotak-kotak cerita kembali dikuar ketika nanti bersua lagi.

"Aduh, please deh. Virus tarzannya si Ipot udah nyebar ya ke elo semua ? Ngapain sih, rusuh banget teriak-teriak ?" gerutu Agni, yang baru keluar membawa sebuah botol, "Berhubung yang punya hajat ngilang gitu aja, mendingan kita..."

"Bakar-bakarannya gak jadi sekarang ? Nunggu Rio dulu, gitu ? Ah, awas aja tu anak. Nyampe kemari, yang ada dia yang gue bakar." sela Deva, kesal.

Agni yang merasa tidak enak hati dan fikiran karena perkataannya dipotong Deva, ia memutar bola matanya, "Mending kita ma..."

"Gak tau apa gue udah laper. Tu anak dua, emang bener-benar ngesel..."

"Gak usah motong omongan gue bisa kali ya, Dev..." sambar Agni jengkel, "Mending kita main ini aja dulu." Agni memamerkan botol yang sejak tadi menghuni genggamannya, "Jadi mainnya gini. Ntar botolnya diputer, kita duduk melingkar. Nah, nanti mulut botolnya berhenti disiapa ? Berarti orang itu harus mau nurutin perintah salah satu dari kita. OK ?!!" Agni menjelaskan, dengan riang gembira.

Teman-teman yang lain, segera duduk melingkar dengan antusiasme tingkat tinggi. Beharap ini adalah waktu yang tepat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk membalaskan dendam kesumat yang terpendam demikian lama.

"Mulai ya... Gue yang puter." Ujar Agni. Lalu memutar botol bekas sirup yang diletakkan di tengah-tengah lingkaran. Botol pun berputar teratur.

"Ozy kenaaa..." Seru semuanya kompak, saat mulut botol berhenti tepat menghadap Ozy.

"Pilih jujur atau nekat ?" tawar Agni.

"Jujur aja deh." jawab Ozy pasrah.

"Pilih mana charlie ST12 apa Briptu Norman, hayoo ?!" Debo yang mengajukan pertanyaan.

"Pilihan yang sulit." Ozy sok berpikir serius, seolah-olah tengah memikirkan bagaimana caranya memusnahkan NII dari muka bumi ibu pertiwi.

"Yang sesuih hati aja Zy..." usul Oik.

"Masalahnya gue udah gak punya hati, Ik. Kan udah gue kasih semuanya ke Acha..." tutur Ozy, tersipu-sipu.

"Hoeeks" koor yang lain.

"Udah cepet jawab aja sih, lama deh lo. Daripada lo, gue suruh ngaku waktu kecil pernah didandanin kayak cewek sama nyokap lo, kan bakal lebih malu." cerocos Ray, polos.

"Muhammad Raynald Prasetya, trimakasih telah membongkar aib gue didepan umum," Ozy tersenyum dongkol, "Ya udah deh gue pilih Briptu Norman aja. Callae chaiya chaiya chaiya, callae chaiya chaiya chaiya..." Ozy menyenggol-nyenggol lengan Acha, mirip gerakan yang ia tonton dari salah satu station TV swasta beberapa hari lalu, yang diperagakan oleh idola barunya, Briptu Norman.

"OK. Lanjut ya. Sekarang keke yang puter." ujar Keke.

Untuk kedua kalinya botol berputar ditengah lingkaran anak-anak.

"Gitaaa kenaaa." koor mereka kompak.

"Cium Ray." perintah Agni, spontan.

"Weist. Agni frontal." gerutu Oik.

"Daripada gue cium tu bocah gondrong, mending cium kambing." tolak Gita, sambil terkekeh.

"Lha emang apa bedanya, Ray sama kambing ?" celetuk Deva.

"Udah, udah gak usah ribut. Mending gue aja yang wakilin cium si Ray. cini Ray cuyuuung." Kelakar Debo, dengan wajah sok imut menggelikan.

"Idih apaan sih lo De, ogah. Sono jauh-jauh lo. Hush. Hush. Hush." usir Ray, yang menatap Debo dengan hasrat mual yang membuncah.

"Kalau Ray gak mau, gue juga gak pa-pa De. Gue udah gelap mata nih, gara-gara kelaperan." ujar Deva, asal.

"No. Thanks." balas Debo, cool.

"Dasar, manusia-manusia labil." cibir Agni.

"Eh, ngomong-ngomong, Rio-Ify sama Riko-Shilla mana ya ? Kok gak muncul-muncul ?" tanya Acha heran.

"Palingan lagi pada mojok dibawah pohon Asem. Gak tau aja mereka, sekarang lagi ada wabah ulet bulu. Gatel-gatel nyaho deh tu." timpal Ozy.

"Wooo, lo mah doanya jelek mulu sih Zy. Gak ada amalnya banget jadi orang." Dumel Shilla yang baru muncul, diiringi Riko. Gadis cantik itu melempar senyum pada semua temannya, lalu duduk bergabung bersama mereka.

"Tinggal the best couplenya CB ya yang belum kumpul." tanya Riko.

"Tuuh. Mereka." Agni mengarahkan dagunya ke depan. Dalam remang malam, siluet milik Rio dan Ify mulai terlihat, berjalan kearah mereka.

"Sekarang kayaknya cowok-cowok hitam manis-manis gimana gitu, lagi booming ya. Riko dapet Shilla, most wanted girlnya CB gitu lho. Si Rio dikejar-kejar cewek, sampe disusulin ke Manado pula." bisik Deva pada Ozy yang duduk tepat disampingnya.

"Iye, cowok-cowok yang matanya belo kayak lo mah udah gak diminati." celetuk Ozy yang membuatnya dihadiahi jitakan oleh Deva.

"Apalagi model si Ray. Udah jadoel sekali. Gondrong. Kayak jamannya Ahmad Dani-Maya Estianti aja." ledek Deva pada Ray yang duduk besila disisi Oik, tak jauh dari Deva.

"Wooo, ngatain gue lagi lo. Biarpun gue jadoel, liat dong, disamping gue, gue berhasil menaklukan hati seorang gadis cantik." kata Ray, mulai genit.

"Tu kan betulan jadoel. Gombalannya aja ala-ala Soekarno-Fatmawati." tambah Deva.

"Pokoknya ya Yo, gue maunya anak pertama cewek dulu. Biar bisa bantuin mamanya ngurus rumah." lamat-lamat suara cempreng Ify terdengar tengah mengobrol dengan Rio yang digandengnya.

"Mendingan cowok dulu dong Fy, biar bisa jagain adik-adiknya." balas Rio.

"Idih, ogah Ah, anak cowok kan seringnya bandel. Sukanya main mulu, ntar item lagi kayak lo."

"Tadi idung, sekarang kulit. Mau lo apa sih Fy ?" sewot Rio.

"Hehe peace !! Rio kalau ngambek makin cakep deh." goda Ify cengengesan, "Ya udah biar adil anak pertama kita kembar cewek-cowok aja ya. Gimana ?"

"Kita ? Ish, yakin bener, gue mau married sama lo ?"

"Ya yakinlah. Emang siapa lagi yang mau sama cowok cengeng kayak lo. Kabur-kaburan pula. Gak bertanggung jawab."

"Eh, ralat ya. Gue tu gak cengeng. Gue dulu tu terlalu sedih karena rasa sayang dan kesetian seorang Mario itu benar-benar besar, plus karena gue ganteng dan romantis."

"gak nyambung lo."

"Woy !! Ini pengantin baru, udah ribut aja ngomongin anak. Kita tuh nungguin kalian tau gak ? Malah asik ngobrol ngaler-ngidul tanpa dosa." omel Deva yang memang terlihat paling menyedihkan karena belum makan sejak siang tadi.

"Iya, gimana sih, yang punya acara kok malah ngilang-ngilang." timpal Keke.

"Hehe. Iya, sorry ya. Padahal sih, kalian makan-makan aja duluan." tutur Rio yang kemudian ikut duduk melingkar bersama yang lain.

Malam ini mereka semua berkumpul disini, memang atas undangan Rio. Rio mengajak mereka berlibur di Villa Omnya dikawasan puncak. Sekaligus mengadakan party kecil-kecilan untuk merayakan resminya hubungan Rio dengan Ify. Yang diundang memang hanya kawan-kawan dekat saja, karena kamar Villa pun terbatas jumlahnya.

"Ya udah kalau gitu, mulai aja yuk. Mau bakar-bakar apa dulu nih ?" tanya Ray, antusias.

"Eh, eh, tunggu dong." larang Ify, "Mmh, sebelumnya, mumpung kita ngumpul gini, gue man nanya dong. Selama kita sekelas hampir 2 tahun ini, siapa temen yang paling kalian kagumi. Jawab yang jujur ya." tanya Ify, entah dengan tujuan apa.

"Mulai dari Lo, Ray." Intruksi Ify.

"Alvin Jonathan Sindhunata." jawab Ray, mantap.

"Ashilla Zahrantiara." timpal Oik.

"Cakka Kawekas Nuraga." tambah Keke.

"Mario Stevano Aditya." ujar Deva.

"Raissa Arif." aku Ozy.

"Ahmad Fauzi Adriansyah." tutur Acha, manis.

"Ify." ujar Debo, singkat.

"Mmh, Mario Stevano Aditya." Imbuh Gita.

"Cakka Kawekas Nuraga." lirih Agni, dengan sedikit buncahan rindu dihatinya.

"Mmh, kalau gue sih ya, kagum sama Ashilla Zahrantiara." papar Riko.

"Alyssa Saufika Umari." ujar Shilla, yakin.

"Sivia Azizah sama Agni Tri Nubuwati. Gue gak akan pernah bisa milih salah satunya."

"Gabriel Stev-"

Klik

jatuh air mataku
iringi remuk redam hatiku
saat, ku kehilanganmu
dan hanya, rintik hujan yang menemani aku

tiba-tiba, sebelum Rio menyelesaikan kalimatnya, radio tape berukuran sedang disebelah Ozy menyala. Tanpa disetel, dan tanpa harus memutar tuning untuk mencari gelombang, frekuensi yang tertangkap sudah sangat jelas. Sekarang entah station radio mana itu, tengah memperdengarkan salah satu single teranyar milih grup band, Hijau Daun.

Semua mendelik kearah Ozy yang kini mengangkat kedua tangan dengan kata-kata Sumpah-Gak-Gue-Apa-Apain, tercetak besar-besar diwajahnya.

"Hai, hai, GSD Fm semuanya. Udah 10 menit lewat nih dari jam 8 malam, saatnya gue, Irva Lestari nemenin kalian semua di acara kesayangan kita, 'Kisah Putih Abu-Abu" edisi 8 April 2011. OK. OK. Distudio kami, udah hadir satu cowok ganteng yang nantinya akan berbagi cerita sama kita-kita. OK, masnya yang ganjeng, boleh say hi dulu dong sama sobat GSD Fm..."

"Ah, Zy matiin aja napa. Lo kan yang deketan, acara gituan aja lo setel." suruh Deva.

"Gak gue setel kok Dev, sumpah. Nyala sendiri." bela Ozy.

"Hai. Malam, sobat GSD Fm, semuanya." suara berat itu membuat setiap anak, anggota lingkaran kecil dihalaman belakang Villa itu, sama-sama menegang.

Mereka semua tentu kenal, suara siapa yang menyapa tadi.

Disaat aku bertahan
selama ini aku bertahan
lewati semua malam, dingin
yang ku pandangi, hanyalah langkahmu

"OK deh. Mas disamping saya ini katanya mau sharing bareng kita tentang kisah putih abu-abunya. Ya udah, langsung aja ya, check it out."

"Mmh, bingung juga ya mau mulai cerita darimana. Sebenarnya sih, kisah putih abu-abu gue saja aja, gak beda jauh sama masa-masa SMA kalian semua. Sekolah, persahabatan, keluarga sampai hal terklasik seperti percintaan, semua itu juga ada di kisah putih abu-abu gue. Emm, mungkin yang pertama gue ceritain, tentang sekolah gue aja kali ya. Tepatnya kelas kebanggaan gue, XI IPA 1. Di kelas gue, semua udah kayak keluarga. Kita malah punya panggilan-panggilan khusus, kayak Angel yang di panggil bunda, Acha yang di panggil adek, Zeze yang di panggil mbak, ada yang di panggil princess, nenek bawel, gue juga sering di panggil abang. Gue bener-bener ngerasa punya keluarga kedua disekolah.

Kita semua kompak. Kita selalu saling bantu, terutama waktu ulangan. Hehe. Gue gak akan pernah lupa XI IPA 1, yang tiap pagi rusuh ngerjain PR, gitar-gitaran pas jam kosong, tidur massal pas pelajaran sejarah. Hehe. Gue selalu berharap sempet ngerayain lulus-lulusan sama semua anak-anak IPA 1." suara dari radio tape itu terdengar parau.

"Itu Gabriel ya ?" tanya Acha, ragu.

Yang lain pun tampak masih sangat bingung, sehingga hanya merespon dengan gelengan kepala atau sekedar mengangkat bahu.

"Gue juga punya sahabat. Dua orang." lanjut pemuda diseberang sana, "Ada yang sok kecakepan dengan menobatkan diri sebagai playboy. Ada juga yang terlalu pengecut sampai-sampai jadiin cewek tameng buat ngehindarin masa lalunya. Tapi gimana pun, mereka tetep sobat terbaik gue. Mereka jadi satu dari sekian banyak alasan yang bikin gue masih betah tinggal di dunia. Hehe. Ya, kalau diibaratkan anggota tubuh. Mereka tangan gue, satu yang kanan dan yang lain kirinya. Gue bakal cacat tanpa mereka. Gue selalu berdoa semoga keduanya selalu bahagia dan gak akan pernah lupa sama gue, walaupun sekarang gue jauh."

wahai kau air mataku
hanya engkaulah saksi hidupku
saat aku kehilangannya
saat aku kehilangannya

Ify melirik Rio sekilas. Tampak pemuda itu menunduk dengan ekspresi yang sulit diartikan. Teman-teman yang lain pun begitu, larut dalam teka-teka tentang siapa sebenarnya yang tengah berbicara di seberang sana ?
Bahkan Deva yang sedaritadi sibuk mengusulkan agar makan-makannya dipercepat, kini bungkam, bagai dijejali 5 pasang kaos kaki.

"Selanjutnya keluarga gue. Mama sama Papa gue tercinta. Gue ini cuma anak pungut dikeluarga gue, tapi gue gak pernah ngerasa kekurangan kasih sayang. Dari kecil gue gak pernah tau siapa orang tua kandung gue, tapi gue gak sedih, karena gue udah punya Mama sama Papa angkat yang kasih sayangnya lebih besar dari kedua orang tua kandung gue yang tega ninggalin anak usia 2 tahun dipanti asuhan. Sendirian. Seumur hidup gue, hal yang paling pengen gue lakuin adalah selalu bikin Mama sama Papa bangga. Semua yang pernah gue raih selama ini buat mereka, malaikat hidup gue. Mama sama Papa."

Angin berdesau lirih. Dingin. Tak ada yang tau, sejak kapan tepatnya atmosfer hangat tadi menguar, berganti haru biru yang entah karena apa. Bahkan tanpa alasan yang jelas, Shilla mulai berkaca-kaca, "Gue kok nangis ya ?" gumamnya, pada diri sendiri.

Mereka bilang, saat angin menggugurkan dedaunan dari pohonnya, saat itu, entah dibelahan bumi yang mana, seseorang harus terbang jauh meninggalkan orang-orang terkasihnya.
Dan lihat !! Daun-daun trembesi didekat belukar sama, gugur diterpa hembusan angin.

Tak ada yang mengerti...
Meski alam berisyarat.
Harusnya terbaca. Jelas.
Perpisahan itu, telah mengguguskan wujudnya.

"Dan terakhir, tentang cinta gue..." suara berat itu semakin terdengar lirih, seolah sejak tadi ada yang terus-menerus menyedot volumenya.

Tak pernah aku bertahan
selama ini aku bertahan
lewati semua malam
dingin
yang aku pandangi
hanyalah langkahmu

"Gak banyak yang bisa gue ceritain kalau soal yang satu ini. Ya, gue pernah jatuh cinta dan sama seorang cewek pastinya, karena gue masih normal. Tapi sekarang cewek itu udah bahagia sama orang lain. Orang yang bener-bener tepat, orang yang gak pengecut kayak gue, orang yang rela ngelakuin apapun buat cewek itu.

Oh iya, dan ada satu lagi, orang yang juga gak kalah penting dalam hidup gue. Saudara laki-laki gue. Best brother, gue. Gue cuma mau bilang makasih sama dia. Belasan tahun dia mau berbagi orang tua sama gue. Dia orang pertama yang gue cari waktu gue sedih, dia selalu jadi yang paling depan buat ngelindungin gue. Koko, kalau lo denger siaran ini, gue cuma mau bilang, makasih dan maaf karena waktu kecil, gue sering banget ngerebut mainan lo."

wahai kau air mataku
hanya engkaulah saksi hidupku
saat aku kehilangannya
saat aku kehilangannya.

Sudah hampir 30 menit, radio itu terus menghantarkan suara baritone mirip milik Gabriel. Andai tak terlalu sibuk menerka, andai tidak larut dalam tanda tanya, tentu setiap anggota lingkaran kecil ini, bisa menangkap, betapa ada hal yang begitu janggal dari siaran radio itu.

Pertama, kenapa sejak awal acara, sama sekali tidak ada jeda iklan.
Kedua, si pencerita diseberang sana, kenapa sama sekali tidak menyebutkan nama.
Ketiga, GSD Fm, nama yang cukup aneh untuk dijadikan nama sebuah radio, lebih terkesan seperti inisial nama.

"OK. OK. Sobat GSD Fm, bingung gak sih ? Kalau aku rada-rada bingung sih. Mas ganteng ini kok kayaknya sedang mengungkap riwayat hidup seseorang secara keseluruhan, gitu ya ? Karena kan biasanya, kalau kisah putih abu-abu itu, identik cuma tentang sahabat atau pacar gitu." cerocos penyiar yang mengaku bernama Irva itu.

"Hehe. Gitu ya ? Ya, gue emang gak bakat cerita sih. Sorry ya."

"Yowisslah, ora opo-opa, teu kunanaon. Mungkin lain waktu, bisa mampir lagi ya ke studio kami, kalau udah pinter bercerita, hehe. By the way, berhubung durasi tinggal 5 menit lagi, ada pesan-pesan, atau salam-salam yang ingin disampaikan mungkin, sok mangga.." tawar Irva.

"Mmh, apa ya ? Intinya sih, gue mau pamitan aja kali ya, sama semua yang pernah kenal sama gue, temen-temen dibandung, sobat-sobat gue, rukun-rukun terus ya. 11 IPA 1, selalu kompak ya. Terus anak-anak basketnya, terus berprestasi. Gue minta maaf kalau banyak kesalahan. Take care. Udah deh itu aja."

"Wah, masnya mau pindahan ya ? Hehe. Semoga betah ya, dirumah barunya. OK. Guys, itu tadi cerita dari mas ganteng yang namanya gak mau di publish. Semoga bisa diambil hikmah dan positifnya ya. Hari ini cukup sekian, see you next time. Good night and god bless you, all. Bye, bye."

Jatuhnya pun masih di pangkuanku
tak perlu kau sesali
wahai kau air mataku
wahai kau air mataku

di setiap detak jantungku
hanyalah engkau yang menemaniku
saat aku kehilanganmu
saat aku kehilanganmu.

***
***

Ia bahkan tidak sadar, telah menjadi saksi pergantian siang dan malam. Lazuardinya langit yang kemudian menjingga. Lantas, berubah jadi gelap, sama sekali tak tergubris olehnya.
Gadis itu, masih terus saja mengawang dalam lamunan. Ia memeluk kedua lututnya, menumpukan dagu pada kedua lutut yang mencuat keatas. Rambut panjangnya sedari tadi sudah bergerak lincah, diulik angin. Tidak ada bulan, pun dengan bintang. Entahlah, mungkin dua ikon malam yang fenomenal itu, juga tengah tenggelam dalam euforio konser Justin Bieber beberapa pekan lalu. Hingga keduanya lupa untuk menunaikan kewajiban mereka malam ini.

"Fuihh," gadis berpipi chubby itu mendesah keras-keras. Ada sesuatu yang mengganjal hati, yang membuatnya serba salah. Sama sekali tak berniat melakukan kegiatan apapun. Dengan jengah, ia kembali termenung. Jam setengah 11 malam, waktu Singapore. Haah, astaga, jadi telah berapa jam, ia berdiam di selasar rumah ini ? Kenapa waktu begitu cepat bergulir ?
Pantas saja, rumah-rumah disekitarnya sudah mulai menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Menghentikan obrolan dan berbagai kegiatan lainnya, mematikan lampu-lampu, lantas beranjak untuk tidur. Ya, tidak aneh, karena hari memang sudah larut malam.

Malam agaknya mulai menunjukkan wujud aslinya, gelap, sepi dan dingin. Itu pulalah yang membuat keresahan gadis tadi kian menjadi.

"Auww." rintihnya. Kedua lengannya, spontan memegangi sekitar perutnya yang terasa sakit. Akhir-akhir ini kondisinya memang terus memburuk, ditambah tak ada ibu disampingnya.
Ia berniat meninggalkan teras rumah milik keluarga Alvin ini. Ia ingin segera berbaring di tempat tidurnya. Tapi, apa daya ? Seluruh tubuhnya serasa berat sekali untuk bergerak seinci pun dari tempatnya.

Bosan. Memandangi ujung-ujung kakinya, gadis berlesung pipit itu pun mengedarkan pandangannya. Pagar-pagar kayu, rimbunan pepohonan, kursi-kursi dari anyaman rotan. Ya, berbanding terbalik dengan rumah keluarga Alvin di Bandung, rumah yang di Singapore ini sangat sederhana. Hanya memiliki 3 kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, 2 kamar mandi dan perpustakaan kecil.

"Ini kan hanya rumah singgah untuk kami kalau sedang ada project di Singapore, jadi ya tidak perlu besar-besar." begitulah alasan yang dituturkan sang kepala keluarga saat gadis tadi iseng-iseng mempertanyakan kesederhanaan rumah ini.

Setelah puas menjelajahkan pandangannya, mata gadis tadi terakhir bertumpu pada satu pot bunga euforbhia...

"Ibu..." lirihnya sedih.

Tanpa mampu di bendung, luapan rasa rindu pun akhirnya mengundang satu titik air mata untuk mulai meluruh, menyusuri pipi putihnya yang natural tanpa polesan bedak. Satu scene paling menyakitkan dalam hidupnya pun seakan di putar kembali, saat mengingat sosok Ibunya. Potongan-potongan dialog hari itu lagi-lagi berpusar dalam benak gadis tadi, Sivia.

*Flashback : On*

seorang wanita hampir paruh baya, dengan baju merah marun dan rok bunga-bunga, masuk ke dalam sebuah kamar rawat kelas menengah yang dihuni oleh 3 sampai 4 pasien. Ditangannya terdapat sebuah amplop berwarna coklat. Wajah yang biasanya ayu dan lembut itu, kini terlihat kuyu, membuat anak gadisnya yang terkolek disalah satu ranjang dalam kamar ini, menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ditambah lagi, dengan senyum yang di paksakan serta pelukan wanita tadi yang tiba-tiba, jelas sekali bahwa sesuatu yang buruk tengah terjadi.

"Ibu kenapa ? Ada apa ?"

wanita tadi tidak menjawab pertanyaan putrinya, malah terus asik membelai rambut indah putri tunggalnya itu.

"Ada apa sih Bu ? Jangan nangis dong, ntar Via ikutan nangis lho."

Sang Ibu tampaknya berusaha keras untuk mengerem lagu air matanya, setelah berhasil, dicobanya untuk menyusun kata demi kata yang cocok, agar putrinya tidak terlalu terkejut mendengar kabar yang akan disampaikannya
Perlahan, disodorkan amplop coklat yang sejak tadi dibawanya. Sivia menerima dengam ekspresi bingung, apalagi setelah menilik isi amplop itu. Walaupun Sivia adalah juara umum di sekolahnya, sekaligus juara 1 murid teladan se-Jawa Barat, ia masih sedikit awam dengan apa yang dimaksud secarik kertas yang sedang dibacanya.

"Ini maksudnya apa ya Bu ? Via gak ngerti."

Sang Ibu menarik nafas panjang sebelum berkata, "Ginjal kamu rusak Via. Tapi menurut dokter, belum terlalu parah, masih bisa disembuhkan tanpa perlu cangkok ginjal." papar Ibu dengan suara bergetar.

Sivia terdiam. Tidak terlalu mengerti, bagaimana perasaannya sekarang. Semuanya campur aduk, rancuh, dan tidak menentu. Mulai hari itu, segalanya berubah. Ia akan sering merepotkan Ibunya, belum lagi biaya yang perlu dikeluarkan untuk pengobatannya.

"Kenapa harus Via, Bu ?" lirih Sivia tak jelas antara protes atau bertanya.

"Sabar ya sayang, Ibu akan melakukan apapun supaya Via sembuh." tutur Ibu, menenangkan. Wanita itu kembali memeluk putri tercintanya, harta paling berharga dalam hidupnya.

Flashback : Off

kalau dulu, dokter bilang masih bisa sembuh tanpa operasi. Bagaimana dengan sekarang ? Bagaimana sebenarnya kondisinya sekarang ?

"Ibu... Via kangeen, Via takuut, Via mau pulang." lirih Sivia.

"Apa yang kamu takutin Vi ?"

"Astaga !!" pekik Sivia kaget. Mendapati seorang pemuda tengah duduk disisinya. Sejak kapan pemuda itu ada disini ? Kenapa Sivia sama sekali tidak menyadari kedatangannya ? Apa karena ia terlalu sibuk, memikirkan perkembangan kerusakan pada ginjalnya ?

"Iel ? Kamu bikin aku kaget tau gak."

"Apa yang kamu takutin, Vi ?" Pemuda tadi, Gabriel, mengulangi pertanyaannya.

Sivia tidak menjawab. Memilih bungkam. Memainkan jari-jari tangannya.

"Kamu takut mati ya Vi ?" tebak Iel.

Lagi-lagi, pemuda itu tidak mendapat jawaban atas pertanyaan.

"Mati itu kan hal yang paling pasti Vi, kenapa harus takut ? Seorang raja yang paling berkuasa sekalipun, gak akan bisa menghalau kematian. Iya kan ?"

"Bukan Yel. Bukan soal kematian, tapi... Ibu. Siapa yang bakal jagain ibu, kalau aku mati." balas Sivia.

"Tuhan itu maha perkasa, Ia akan selalu menjaga dan melindungi Ibu kamu, Vi. Udah ah, kok jadi mellow gini sih ? Gak perlu ngomongin kematian Vi, karena aku yakin kamu pasti sembuh."

"Amin..." timpal Sivia, mengamini.

"Kalau gitu..." Iel menaruh kedua tangannya pada pipi Sivia. Dibersihkan sisa-sisa air mata gadis cantik itu dengan ibu jarinya, "Jangan nangis lagi ya, aku gak suka liat kamu nangis, dan lagi gak selamanya kan aku bisa ngehapus air mata kamu kayak sekarang. Kamu masih ingat kan pesan aku dulu-"

"Kita punya lebih banyak alasan untuk tersenyum dibanding menangis." ujar Gabriel dan Sivia berbarengan.

Gabriel lantas mengacak poni peri kecilnya itu dengan gemas.

"Makasih ya Yel, kamu selalu bikin aku tenang. Kamu selalu ada buat aku, kamu tu a shoulder to cry on buat aku tau gak ? Hehe."

"Itu semua aku lakuin, karena aku, sayang banget sama kamu Vi."

Sivia tersenyum tipis, "Kalau gitu akasih atas rasa sayang kamu buat aku itu."

Gabriel mengangguk.

"Eh, by the way, kamu udah sadar Yel. Sejak kapan ?" tanya Sivia, cukup heran. Pasalnya sudah 5 hari terakhir ia tidak berkunjung ke rumah sakit. Mama dan Papa Alvin tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk. Jadi setelah Sivia mengeluhkan sering merasa nyeri disekitar perutnya, mereka langsung menyuruh Sivia Istirahat total di rumah. Alhasil, Sivia juga kurang begitu tau kondisi terkini Alvin dan Gabriel pasca operasi transplantasi sumsum tulang.

"Iya, Vi. Mulai sekarang aku gak akan ngerasa sakit kayak dulu lagi. Aku udah sembuh. Dan, aku kesini juga mau sekalian pamit sama kamu. Aku mau pulang."

"Pulang ? Lho, emang kamu gak nunggu Alvin disini ? Kamu gak pulang bareng-bareng sama kita ?"

"Gak bisa Vi, aku harus duluan. Take care ya, inget apapun yang terjadi, kamu gak boleh nangis lagi, nanti cantiknya ilang. Jagain Alvin baik-baik ya, aku titip dia."

Kriing...Kriing...Kriing

Sivia baru saja akan membuka mulut untuk menimpali perkataan Iel, saat telfon berdering dari dalam rumah.

"Telfon bunyi tu, angkat dulu sana." titah Gabriel.

Sivia tidak membantah. Gadis itu segera beringsut dari tempat duduknya, lalu berjalan kd dalam rumah. Sejuruh kemudia, ia sudah mengangkat gagang telepon berwarna merah gelap, di hadapannya.

"Hallo ?" sapanya.

Tidak ada jawaban, yang terdengar hanya isakan entah milik siapa diujung sana.

"Hallo ?" ulang Sivia.

Baru setelah genap 5 kali, Sivia mengulang sapaannxa, orang di sebrang sana mulai berbicara.

"Tante ? Iya, ini Via.....tante kenapa nangis ?.....gak, gak mungkin. Gak mungkin tan, tante pasti bohong. Tante bercanda kan ?" Sivia mulai berkaca-kaca, sekuat tenaga gadis berkulit putih itu menggelengkan kepalanya, "Tapi...tapi...ini gak mungkin tan, ini pasti salah. Ini salah. Via gak percaya."

klik

Sivia segera memutus sambungan telepon. Pasti akan terkesan sangat tidak sopan, tapi ada yang lebih penting dari sekedar telepon. Sivia harus memastikan, ya, ia harus memastikan bahwa berita yang datang padanya barusan itu salah besar. Gadis bermata sipit itu segera berlari keluar rumah.

"Yel, kamu-" ucapannya terpotong saat orang yang dimaksud tidak ada lagi ditempatnya.

"Yel !!" panggil Sivia, "Iel !?" Sivia memutuskan untuk berlari ke jalan raya, mungkin Iel buru-buru pergi untuk mengejar jadwal penerbangan ke Indonesia, "IEL !! GABRIEL !!" teriak Sivia, lagi-lagi memanggil nama pemuda yang di sebut-sebut dalam komunikasi singkat lewat telepon tadi.

Sepi. Jalan raya yang luas itu lengang. Sivia baru menyadari satu hal, dengan apa Gabriel kemari ? Ia tidak membawa mobil. Lalu bagaimana ia bisa masuk, bukankah pintu pagarnya terkunci ? Bulu tengkuk Sivia meremang.

Gadis itu, menjatuhkan diri, lututnya yang beradu dengan aspal, sontak mengeluarkan darah. Tapi tak dirasa, "Kamu bukan pulang ke Indonesia, Yel ? Kenapa Yel, kenapa kamu tinggalin aku ?" ujar Sivia. Ia terceguk berkali-kali, menggigit bibir, mengepalkan tangan kuat-kuat, hingga terasa kuku-kuku yang menancap pada telapak tangannya.
Rasa kehilangan yang maha dahsyat, bahkan membuat gadis ini tak kuasa lagi meneteskan air mata.

Cettarrr

suara petir bergaung, menakutkan.
Bukan sahutan dari Gabriel yang Sivia peroleh. Tapi isyarat tegas dari sang alam bahwa massanya telah tiba, jarak akan segera dibentangkan. Genderang tangis akan segera ditabuh, kesedihan akan segera bernyanyi dan kehilangan akan segera keluar sebagai pemenang.

***

Waktu baru beranjak 15 menit dari tengah malam. Semua anak panti sedang asik tenggelam dalam selimut tebal mereka masing-masing. Tidak hujan saja, Bandung sudah sangat dingin, apalagi di tambah gerimis yang begitu setia sejak sore tadi menemani senandung sang kodok. Tentu hanya orang abnormal saja yang tidak memilìh meringkuk diatas tempat tidur.

"Sil... Silvia !! Anterin Aren pipis yuk, kebelet nih." pinta seorang gadis cilik pada teman satu ranjangnya.

"Ah, gak mau ah, Ren. Kamar mandi kan jauh, serem ah. Udah tahan aja ya." tolak gadis bernama Silvia tadi.

"Yah, gak bisa Sil, ayo dong, udah di ujung nih." desak Aren.

Tidak menggubris, Silvia malah menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Aren merengut. Terpaksa ia bangun dari tempat tidurnya dan beranjak ke kamar mandi.

Saat setelah menutup pimtu kamarnya, Aren hampir saja menjerit histeris saat dilihatnya ada sereorang dengan baju putih terduduk di salah satu kursi yang berjejer di depan ruang perpustakaan panti, tak jauh dari kamar Aren. Tapi kemudian, teriakkan itu ditahannya setelah menyadari siapa seseorang itu. Pelan, aren mencoba mendekat. Wajah pucat orang itu terlihat sedih sekali.

"Kak Iel ?" tegur Aren.

Yang disapa tadi, lantas menoleh. Aren melempar senyum lega, pada Iel. Karena ternyata orang ini betul-betul kak Iel, bukan hantu seperti perkiraannya tadi.

"Kakak kok malem-malem ada disini ? Bukannya kakak di Singapore." tanya Aren.

"Hei, Ren. Sini cantik !!" Iel melambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Aren menghampirinya, setelah cukup dekat, Iel meraih tangan Aren, dan mendudukkan gadis kecil itu dipangkuannya, "Iya, ini kakak juga baru sampai Ren. Tadinya pengen langsung nemuin bunda panti, Aren sama yang lain. Tapi kayaknya udah kemaleman ya ? Kakak gak enak kalau mau bangunin kalian. jadi tadi duduk dulu, rehat disini. capek. Aren apa kabar ?"

"Aren baik kok. Eh, tapi bukannya pintu gerbang ditutup ya kak ? Kalau gak bangunin bunda, trus gimana kakak bisa masuk ?"

"Mmh, itu Ren, mmh, kayaknya bunda lupa kunci pintu gerbangnya. Soalnya tadi pas kakak datang, gerbangnya masih ke buka."

"Oh. Gitu ya... Eh, kak. Aren sama temen-temen kanget banget tau sama kakak. Kak Iel kemana aja sih ? Kok udah jarang nemenin kita-kita main, trus kakak cantik yang waktu itu juga gak pernah diajak kesini lagi ?"

"Iya Ren, kakak lagi sibuk banget belakangan ini. Oh iya, kakak kemari juga mau sekalian pamitan. Mungkin kakak gak akan pernah kemari lagi, setelah ini. Tapi nanti kakak suruh temen-temen kakak yang lain buat sering jengukin kalian ya, disini."

"Pamit ? Emang kak Iel mau pergi kemana ? Mau pindah ke Singapore ya ? Yaaah, gak asik dong kalau gak ada kakak. Kak Iel itu udah kayak malaikat buat kami. Jarang-jarang ada orang yang perhatian dan sayang banget sama kita-kita kayak kak Iel."

"Kakak juga sebenarnya gak mau, kakak juga masih pengen main-main sama kalian, tapi..... Kakak tetep harus pergi, Ren. Pokoknya pesen kakak, Aren jangan nakal ya, harus nurut sama bunda, Aren harus selalu yakin dan semangatin temen-temen semua, kalian pasti sembuh. Terus kalau suatu hari ada kakak-kakak yang datang kemari, bilang ya... Kak Iel pengen buat sanggar seni gratis buat anak-anak yang pengen belajar berbagai kesenian."

"Kakak mau kemana sih ? Kakak jangan pergi dong..." Rengek Aren manja. Gadis kecil berponi itu, lalu mengalungkan kedua lengannya pada leher Gabriel.

"Nanti Aren juga tau. Kakak harus tetep pergi sayang. Jangan pernah lupain kakak ya, kakak pengen selalu hidup dihati orang-orang yang pernah kenal sama kakak."

"Mmh, walaupun Aren gak di kasih tau Kak Iel mau kemana, tapi dimanapun kakak nantinya, Aren akan selalu berdoa supaya kakak selaku bahagia dan di lindungi Tuhan. Kakak juga jangan lupain Aren lho."

Iel mengangguk mantap. Lalu dikecupnya kedua pipi gembil Aren dan memeluk tubuh mungil itu erat.

"Ya udah, kakak pamit ya, adik cantik. Take care."

"Tunggu kak !! Sebelum pergi, kak Iel mau gak, anterin Aren pipis dulu. Aren takut nih kak, ke kamar mandi sendirian."

Gabriel terkekeh, sekilas lagi-lagi diacaknya poni tebal Aren yang membingkai bagian atas wajahnya. Gabriel lalu menggandeng Aren, mengantarkannya, hingga ke kamar mandi yang ada di dekat musholla.

"Mau kakak temenin ke dalem ?" tanya Iel dengan tatapan genit.

"Huuuw, ya gak lah. Kak Iel tunggu sini aja." tolak gadis cerita yang kerap dijuluki Si Cabe Rawit itu. Ia segera memasuki kamar mandi. Setelah terdengan bunyi putaran kran air, bunyi gayung yang beradu dengan dinding bak kamar mandi, laku keracak air, tak Lama Aren keluar, "Haah, Lega banget. Makasih ya kak."

Aren celingukan, saat di depan kamar mandi, sudah tidak ada siapa-siapa lagi, "Lho kak Iel mana ya. Kok cepet ilangnya." gumam Aren, heran.

"Kak Iel !! Kak Iel... Kak !!" panggilnya, berulang-ulang kali.

Tapi nihil. Tidak ada sahutan apapun. Hanya kukukan burung hantu yang entah datang dari mana. Terdengar begitu mengerikan.
Ditambah malamnya yang begitu pekat. Karena langit, tak pernah bisa meloloskan diri dari kepungan mendung. Lengkalpah sudah, suasana yang membuat bulu kuduk siapapun meremang.

***

Sakit. Bukan saat jarum-jarum suntik itu menembus kulitku.
Bukan saat selang-selang dijejalkan melalui hidungku.
Bukan saat kemoterapi yang membuat tubuhku semakin kurus.
Bagiku, Sakit adalah saat melihat orang-orang yang aku sayangi menangis, sedangkan aku tidak pernah lagi bisa untuk menyeka air mata mereka.
Sakit adalah saat orang-orang tercintaku jatuh, sedangkan aku tidak lagi cukup kuat untuk mengulurkan lengan, membantu mereka bangkit.
Sakit adalah saat orang-orang yang aku kasihi bersedih sedangkan aku tidak pernah lagi mampu untuk sekedar membisikkan kalimat-kalimat penghibur.

Mama, Papa, Alvin, Via, semuanya. Kalian malaikat buat aku.

Aku cuma berharap, semua akan tetap baik setelah aku pergi.
Aku dapat banyak hal dari kalian yang selamanya gak akan pernah aku lupa. Semoga perpisahan ini cuma sementara ya, karena aku yakin, suatu hari Tuhan akan mempertemukan kita lagi ditempat yang sangaaat indah.

-Gabriel Stevent-

***

Ify, Agni dan Rio masih mengedarkan pandangan. Pesawat dengan rute penerbangan Singapore-Bandung, baru saja landing. Mereka bertiga masih mencari-cari orang-orang yang mereka tunggu sejak setengah jam lalu. Hari ke-10 dibulan ini. Karena hari libur, jadilah Bandara tak ubahnya pasar tradisional, ramai sekali. Hiruk pikuk dan seliweran ratusan atau bahkan ribuan umat, membuat 3 orang remaja itu, sedikit kesulitan menemukan objek yang dicari.

"Itu mereka !!" Agni menunjukkan ke satu titik. Tampak 5 orang dengan wajah loyo dan kacamata hitam, berjalan menghampiri mereka.

"Kok kayak community tukang pijet gitu ya ? Pake kacamata item segala." Ceplos Rio, yang membuat Ify dan Agni tertawa kecil.

Setelah gerombolan kecil itu mendekat. Barulah terlihat sesuatu yang janggal.

"Lho, bukannya katanya Alvin udah dapet donor mata ya ? Kok masih..." Agni terlihat enggan untuk meneruskan kalimatnya.

"Alvin sama aku emang udah dapet donor, Ag. Tapi kita milih operasi di Indonesia aja." jawab Sivia dengan suara bergetar.

"Trus lo kenapa udah balik Kka ? Bokap lo udah sembuh, gitu ? Dan... Iel. Ielnya mana ?" ganti Rio yang melontarkan pertanyaan.

Semua diam. Tidak ada satupun dari kelima orang itu yang berniat untuk menjawab.
Tiba-tiba saja Sivia berlari memeluk Ify, Ify yang tidak ada persiapan apapun sebelumnya, hampir saja terjengkang menerima pelukan Sivia yang lebih tepat disebut tubrukan.

"Harusnya Iel yang sembuh Fy, harusnya hari ini dia nemuin kalian disini, harusnya Iel yang sembuh, hiks. Aku...aku sama Alvin gak dapet donor, Iel yang lebih dulu dapet pendonor, harusnya...harusnya... Iel yang sembuh." Siva terus meraung dalam pelukan Ify, hingga gadis itu sempat menjadi perhatian beberapa orang di Bandara ini, "Iel... Kenapa harus Iel. Kenapa Tuhan gak pernah ngizinin orang sebaik dia, buat bahagia."

"Iel kenapa Vi ? Emang ada apa ? Kenapa dia gak pulang bareng kalian ?" tanya Ify, tanpa sadar sudah ikut berkaca-kaca.

Melihat mama Alvin juga tersedu dibahu suaminya, Ify, Rio dan Agni, yang memang belum tau apa-apa, menjadi semakin yakin bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.

Masih dalam rengkuhan sahabatnya, Sivia kembali bicara, "Iel yang lebih dulu dapet donor, Fy. Dia juga yang lebih dulu operasi. Harusnya, Iel sembuh. Iya kan Fy ? Iel keliatan seneng banget, dia selalu bilang sama aku bahwa sebentar lagi dia gak perlu ngerasain sakit kayak dulu-dulu. Tapi...tap...tapi... Operasinya hiks, operasinya gagal. Gak ada yang nyangka bakal gagal, karena Iel yakin kalau dia akan sembuh, begitu juga tim dokter, semua gak ada yang ngira bakal kayak gini. Dokter Fadli sampai mundur dari profesinya dan sekarang menetap di Kanada bersama istri dan anaknya karena beliau merasa sangat gagal, sedih, gak bisa nyelametin...nyelametin...nyawa... Iel." tangis Sivia kian memarah. Terdengar begitu memilukan.

Sedangkan Rio, Ify bn Agni hanya bisa mematung. Masih sulit mengangkap apa yang baru saja Sivia utarakan. Jadi, yang diradio tempo hari itu... Apa benar-benar Gabriel ? Yang berpamitan pada mereka semua ?

"Ginjal Iel cocok sama ginjalku, dia yang jadi pendonor buat aku sama Alvin. Sebelum operasi berlangsung, Iel udah menanda tangani surat penjanjian donor organ tubuhnya kalau operasi itu gagal dan terjadi sesuatu sama dia. Dokter Fadli sendiri yang bilang. Liat Fy !! Bahkan Iel selalu peduli sama orang-orang disekitarnya. Aku belum sempat bilang makasih, kenapa dia udah pergi ?? Hiks hiks. Kenapa harus Iel ? Kenapa Tuhan jahat sama Iel ? Harusnya dia sembuh, harusnya hari ini kalian bisa ketemu lagi sama kalian. Kenapa Iel ? Kenapa Fy ? Kasian Iel."

"Iel orang baik Via. Jadi Tuhan mau lebih cepet ketemu sama dia. Kita... Kita ikhlasin ya Vi, kamunya jangan nangis terus kayak gini, nanti Iel juga ikut sedih. " tutur Ify, lembut.

"Bawa gue pergi dari sini Kka !!" pinta Alvin, tiba-tiba.

Semua mata lantas tertuju padanya. Baru menyadari, bahwa orang yang paling kehilangan tentulah Alvin. Orang yang satu rumah dengan Iel, orang yang mengenal Iel sejak kecil, orang yang begitu menyayangi saudara laki-lakinya itu. Alvin, pasti menyimpan banyak sekali memori tentang senyum seorang Gabriel, keusilannya, semangatnya untuk meraih sesuatu. Alvin pasti mempunyai kenangan yang lebih besar, dari siapapun. Kenangan yang entah bagaimana, kelak, akan dikuburnya.

"Tapi Vin..."

"BAWA GUE PERGI DARI SINI KKA !! SEKARANG !!" raung Alvin.

Cakka akhirnya menurut. Didorongnya kursi roda Alvin menjauh.
Semua mengantarnya, dengan tatapan iba.

***

sebuah gedung berdiri kokoh diatas sebuah lahan cukup luas, di pusat kota Bandung. Dindingnya yang putih, ditambah lampu-lampu ber-watt cukup besar, mampu mengalahkan cahaya bulat sabit yang memang belum seberapa di cakrawala sana. Bila ditilik lebih ke dalam, akan terdapati kursi-kursi yang disusun rapi, semuanya menghadap panggung berukuran sedang yang ada dalam gedung ini. Sebagian kursi telah diisi, sedangkan beberapa, masih menunggu penghuninya yang mungkin tengah dalam perjalanan.

Terlihat beberapa operator, sedang sibuk melakukan check sound, ada juga yang memperbaiki lagi beberapa ornamen diatas panggung, juga letak kursi-kursi dan menyortir tempat ini dari sampah sekecil apapun.

Tak berapa lama, kursi-kursi yang semula kosong, mulai terisi oleh pemuda-pemudi ber-dress code hijam, yang baru saja berdatangan, memasuki gedung dengan plang besar bertulis Sanggar Seni Aluna, dimuka.

Tak ingin membuang waktu, karena dirasa sudah lebih dari 3/4 undangan yang telah hadir, maka, seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya, pukul 19.30, Acha yang didakwa sebagai master of cheremony malam ini, segera memulai tugasnya.

"Selamat malam semuaa..." sapa gadis itu, lantang.

"Selamat malaaam..." koor para undangan yang hadir.

"Apa kabar nih kalian semua ??" tanya Acha, ramah.

"Baiiik.," lagi-lagi dijawab dengan kompak oleh seluruh tamu undangan.

"Sebelumnya, Acha atas nama Alvin dan keluarga mau ngucapin terima makasih yang sebesar-besarnya buat temen-temen yang udah nyempetin hadir malam ini. Seperti yang telah dituliskan dalam surat undangan yang sebelumnya sudah disebar, malam ini, selain acara, emm.. ya bisa dibilang syukuran keluarga Alvinlah ya, atas kelulusan Alvin, malam ini juga sebagai Acara peresmian sekaligus pembukaan Sanggar Aluna... Yang menurut informasi, dibangun atas permintaan teman dan sahabat tercinta kita, Gabriel.

Semua pasti masih ingat kan sama Iel ? Ingat sama senyum ramahnya, sama banyolan-banyolannya selama dikelas 11 IPA 1, inget sama gayanya yang bikin melting waktu main basket, semua pasti gak akan ada yang bisa lupa sama sosok abang yang menyenangkan, dan wakil ketua OSIS terbaik yang pernah CB punya, itu..." Acha mengambil nafas sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya. Walau bagaimanapun, Acha juga sempat mengenal Gabriel, dan sama seperti Citra Bangsa yang langsung berduka ketika menerima berita kepergian Iel, ia juga masih sulit percaya sampai detik ini, bahwa kapten basket itu telah tiada. Begitupun dengan semua orang yang sempat mengenal Iel, pasti akan sangat merasa kehilangan, sosok hangat itu.

"Gak kerasa ya, Gabriel udah setahun pergi ninggalin kita semua." lanjut Acha.

"Gue malah masing sering berharap liat Iel lagi main basket dilapangan sekolah," gumam Cakka.

"Gue malah masih sering denger Iel gitaran, di kamarnya. Tiap pagi gue gedor-gedor pintu kamarnya, berasa dia masih ada, dan masih betah molor dikamarnya. Padahal udah jelas-jelas kamar Iel udah kosong." timpal Alvin.

"Malam ini ada banyak susunan acara yang bakal kita lalu. Tapi sebelumnya... Ada persembahan kecil dari alumni kelas IPA 1 plus temen-temen excul basket, untuk teman terbaik kami, Gabriel."

Diatas panggung terlihat anak-anak kecil berusia sekitar 8 sampai 10 tahun, mulai berbaris rapi. Ada sekitar 12 anak. Mereka adalah Aren dan kawan-kawannya dari panti asuhan kasih bunda.

"Ini ya adik-adik kesayangannya Iel." tanya Rio.

"Bukan cuma adik, mereka juga semangat hidup seorang Gabriel Stevent." jawab Sivia.

Sedangkan disatu titik diatas panggung, Ify juga telah siap dengan grand piano hitam didepannya. Sekilas gadis berdagu lancit itu melempar senyum kearah sahabat-sahabatnya yang duduk dikursi barisan depan. Perlahan, jemari lentiknya mulai menari, memainkan tuts-tuts piano.

Kau jauh melangkah
melewati batas waktu
menjauh dariku
akankah kita berjumpa kembali ?

Sahabat kecilku...
Masihkah kau ingat aku ?
Saat kau lantunkan segala cita dan tujuan mulia
tak ada satupun masa seindah saat kita bersama
bermain-main
hingga lupa waktu

mungkinkah kita kan mengulangnya ??

Suara anak-anak kecil tadi terdengan kompak melantunkan sebuah lagi, diiringi denting piano ify.

Sedangkan dibelakang mereka, terdapat sebuah layar besar yang menampilkan video dan gambar-gambar kebersamaan Iel dengan teman-teman sekelasnya serta anak-anak dari ekstrakulikuler basket.

"Kasih gue, Kka.. Kasih gue..." suara baritone milik pemuda manis itu terdengar menyayat hati, setiap orang yang memang sangat merindukannya.
Seakan menghidupkan kembali sosok Gabriel yang memang tidak pernah mati dalam hati dan fikiran masing-masing orang.

Potongan video tadi diambil saat Iel bermain basket terakhir kali pada pelajaran olah raga pak Marto yang kosong waktu itu.

"Gue jadi kangen gombalannya Iel diruang OSIS, waktu dulu." Shilla terkekeh, tapi disaat yang bersamaan, air matanya juga meleleh.

"Weist, gue dapet 80 mameen. Keren kan." kali ini video Iel yang waktu itu tertangkap handycamp baru Ozy, saat tengah memamerkan nilai ulangan fisikanya.

Tiada...tiada lagi tawamu
yang selalu menemani segala sedihku
tiada...tiada lagi
candamu yang selalu menghibur disaat ku lara
bila malam tiba
ku selalu memohonkan doa
menjaga jiwamu
hingga suatu masa
bertemu lagi

Anak-anak panti itu terus bernyanyi dengan tulus. Berharap suara mereka terdengar sampai ke surga, agar kakak kebanggaan mereka juga bisa mendengar nyanyian mereka.

Kini giliran beberapa foto yang tayang secara slide. Ada saat Iel begitu tampan berbalut jas putih waktu akan mementaskan drama musikal diacara pesta ulang tahun sekolah, beberapa hari sebelum ia berangkat ke Singapore dan tak kembali lagi untuk selamanya. Lalu foto kelas XI IPA 1 yang begitu mengagumkan (re : sangat berantakan) termasuk Iel didalamnya. Lalu gambar Iel, Alvin, Cakka dan Rio yang kompak memeletkan lidah kearah kamera Shilla ketika sedang menjalani hukuman berdiri hormat ke tiang bendera.

Foto-foto terus berganti. Menegas kan bahwa, telah begitu banyak kenangan yang terlewati selama ini.

Ada juga beberapa kutipan, tulisan tangan Iel,


"mentariku telah ada yang memiliki, tapi aku masih tetap memujanya. Karena aku masih sangat membutuhkan sinarnya.
Semoga kekagumanku terhadapnya, tak akan mengusik kebahagiannya dengan orang yang ia pilih." (re : part 6 )

"Aku takut mati. Takut kehilangan tawa mereka."

"waktu pelajaran sejarah kayak gini, gue yakin kiamat masih lama. karen awaktu berjalan lambat banget. hehe."

"Jika orang sepertiku diciptakan hanya untuk merepotkan orang lain, untuk apa Kau berikan aku umur panjang Tuhan ?"

"Aku ingin sembuh. Aku juga layak bahagia bukan. Aku mau sembuh. Aku mau mengejar matahari, meraih bulan dan menggapai bintang."

kau jauh melangkah melewati batas waktu
menjauh dariku
akankah kita berjumpa kembali ?

Sekarang yang muncul tinggal potret-potret sekolah secara keseluruhan. Tanpa Gabriel tentunya. Karena ia telah menjemput keabadian. Meninggalkan dunia yang fana, yang masih menjadi tempat berpijak orang-orang yang menyayangi dan disayanginya.

Ruang kesenian, lapangan upacara, kantin sekolah, ruang osis, perpustakaan, LAB, aula...

3 tahun sudah bangunan itu menemani hari-hari siswa-siswi kelas XII yang beberapa hari kemarin baru saja menerima surat kelulusan. SMA Citra Bangsa, adalah rumah kedua bagi mereka. Tidak terasa gedung SMA itu sebentar lagi akan ditinggalkan. Ratusan, bahkan mungkin ribuan kisah telah terekam. Tergurat tak kasat mata pada dinding-dinding yang mengukung selama 7 jam setiap harinya. Contek-menyontek, gerutuan terhadap guru fisika, saling mengejek, jatuh cinta, bahkan cerita tentang sosok Gabriel pun sebentar lagi hanya akan jadi kenangan.

Foto terakhir adalah foto seluruh siswa kelas XII IPA 1 yang kali ini minus Gabriel, berdiri berjajar didepan kelas kesayangan mereka.

Selamat jalan Gabriel dan Selamat meniti kehidupan baru teman-temanku.

Itulah kalimat penutup sebelum video dan gambar-gambar di layar besar itu benar-benar hilang.

Semua undangan yang hadir, tampak tidak ingin menahan lelehan air mata. Beberapa ada yang mulai berpelukan, membisikkan kata-kata pengantar dan doa agar masing-masing sukses pada jalan yang akan di pilih. Yang lain, ada yang bergandengan tangan, merangkul pundak temannya, saling meyakinkan bahwa hari esok yang indah telah menunggu mereka.

"Teman-teman gak kerasa, kita udah harus ngelepas seragam putih-abu kita. Udah harus nutup buku-buku SMA. Udah harus ngucapin salam perpisahan untuk sahabat-sahabat terbaik kita, tapi kita semua harus selalu ingat. Ini bukanlah akhir, justru ini adalah awal yang baru untuk kehidupan kita. Acha pribadi mau minta maaf yang sebesar-besarnya kalau selama ini punya banyak kesalahan, makasih kalian udah mau kenal dan temenan sama Acha. Bercermin dari kisah seorang Gabriel, udah sepantasnya kita yang masih diberi nikmat panjang umur ini menghargai waktu dan kesempatan. Selalu berusaha jadi yang terbaik untuk orang-orang yang menyayangi kita. Selamat memulai dunia baru teman-teman, God bless..."

"Lo jadi teladan Yel, gak akan ada satu orang pun yang bakal lupain Lo. Lo tetep hidup di hati kami, sampai kapanpun." ujar Agni, yang diamini dengan anggukan, oleh orang-orang yang mendengarnya.

Tiada...tiada lagi tawamu yang selalu menemani segala sedihku.
Tiada...tiada lagi candamu yang selalu menghibur disaat ku lara
bila malam tiba
ku selalu memohonkan doa
menjaga jiwamu
hingga suatu masa
bertemu kembali.

***

aku tidak pernah menyangka, bahwa kehilangan dia rasanya sama seperti kehilangan separuh dari jiwaku. Dia menitipkan gadisnya padaku. Agar aku jaga ??
Tapi bagaimana mungkin ?
Bahkan ketika memandang dua bola mata bening gadis itu, penyesalan kian bergumul dalam benakku.
Aku merebut satu-satunya, sumber kebahagiannya.
Gabriel. Ya, mungkin ia tidak ditakdir untuk lebih lama tinggal, karena ia punya tugas yang lebih penting. Menjadi malaikat penuntut ku, agar tidak lagi terseret oleh arus ego dan prasangka buruk terhadap orang lain.
Aku akan menjalani hidup baruku, aku harus siap. Untuk Iel, untuk Via dan untuk diriku sendiri.

-Alvin Jonathan Sindhunata-

***

Andai aku tau lebih dulu, senyumku mampu menguatkannya.
Aku tidak pernah merasa keberatan untuk tersenyum setiap detiknya.
Agar ia bisa bertahan lebih lama bersama kami disini.
Andai aku tau lebih dulu, tawaku bisa menepis sakitnya.
Aku ingin menyuguhkan tawaku, setiap berada di dekatnya.
Tapi terlambat. Ia telah pergi. Tak akan pernah kembali sekuat apapun aku memintanya. Tidak akan pernah lagi ku temukan, sekeras apapun aku mencari.
Kalau tawa dan senyum ini tak lagi bisa mengembalikannya, tak bisa di lihatnya, dengan senang hati aku akan terus tersenyum untuk orang-orang yang dicintainya.

Ini hidup baruku, awal yang harus mulai aku jalani. Aku yakin aku bisa. Aku harap dari tempatmu, kamu masih mau menjagaku, Gabriel. Because you're guardian angel in my life.

-Sivia Azizah-

***