Minggu, 27 November 2011

Rahasia Orion Part 12

Rahasia Orion Part 12
Lilin-lilin

***
Pinus-pinus berbaris rapat. Pucuknya menari rancak, saat angin mengadukan diri dengan mereka. Bayangannya menghitami tanah. Terutama pohon-pohon besar yang berdiri angkuh diatas batang yang perkasa. Bunyi kresek-kresek dari ranting kering yang bergesekkan, melagukan riuh-rendah yang sempurna. Dedaunan terjalin, membentuk kanopi yang mengukung hutan kecil ini. Tidak diizinkan cerca cahaya gemintang, menghujani tempat ini. Empat remaja berjalan lambat-rambat, menerobos semak. Aduan  kaki dengan tanah yang tak luput dari rumput terdengar jelas mencabik sunyi. Seleret cahaya dari center yang dipegang Rio menjadi penerang bagi keempatnya. Rintik air turun jarang-jarang, menambah risau dan keinginan segera menamatkan ekspedisi menyusuri hutan malam ini. Gemericik air lamat-lamat mengusik pendengaran, pertanda untuk kesekian kalinya mereka harus meniti sungai.
"Yo, lo benar nggak sih baca petanya ? Kok perasaan daritadi ketemunya sungai lagi-sungai lagi." keluh Ify yang berjalan disisi kanan Rio.
Rio mengarahkan center pada secarik kertas ditangannya. Pemuda itu melirik Ify dengan sebal, "Ini udah yang keempat kalinya lo tanya begitu. Nggak percaya banget sih lo sama gue, Fy." geramnya.

"Kalau urusan beginian kan emang lo nggak bisa diandalin. Jangan-jangan sekarang kita malah nyasar." gerutu Ify yang sudah frustasi berada ditempat seperti ini sepanjang malam.
"Jalannya benar kok Fy, tu ada petunjuk jalannya." jelas Shilla.
Keempatnya kemudian lanjut berjalan. Biasanya kalau sudah ada tanda panah penunjuk jalan, berarti mereka sudah cukup dekat dengan pos berikutnya.
"Mendingan gue aja deh yang baca petanya." Gabriel mengajukan diri.
Rio berusaha menahan diri untuk tidak menyahut. Tetap fokus dan menulikan pendengarannya dari suara-suara pasukan alitnya yang terus saja memprotes kepemimpinan Rio.
"Aduuuh, nyamuk, malesin banget sih." gerutu Ify (lagi).
"Sebentar lagi juga sampai kok Fy, kamu mau pakai cardiganku dulu ?" tawar Shilla.
"Sebentar lagi ? Iya, mending kalau kita nggak dibawa nyasar sama Rio."
Tanpa disangka, Rio yang sejak tadi memilih diam, meradang. Ia tiba-tiba melemper peta yang dipegangnya. Ify berikut Shilla tersentak, terutama karena peta itu mendarat tepat dipundak kanan Ify.

"Gue paling nggak suka diremehin cewek," tegas Rio, tidak terima, "Ok. Gue tahu lo kedinginan, lo takut gelap, disini banyak nyamuk, gue tahu Fy. Tapi yang ngerasain juga bukan cuma elo, jadi please, berhenti ngeluh. Shilla aja nyantai. Sekarang silakan, lo yang bawa petanya, cari jalan yang benar buat kita. PUAS LO !! Nyusahin."

"Oh jadi menurut lo, gue nyusahin Yo ? Kalau lo nggak suka sekelompok sama gue, bilang dong dari awal." balas Ify dengan suara bergetar.

"Udah-udah. Jangan pada berantem. Kalian sama-sama capek, sama-sama ngantuk jadi gampang ke sulut emosi. Udah ya, jangan ribut, kita lanjut jalan lagi." Shilla mencoba menengahi.
"Kalau lo nggak suka gue disini, gue bakal pergi Yo." ancam Ify.
"Oh silakan Fy, silakan. Bagus malah. Sana pergi !!"
Seperti bensin yang diberi api, Rio yang pada dasarnya bertemperamen tinggi, semakin meletup-ketup menimpali semua perkataan Ify. Urusan gender tidak lagi Rio perhitungkan.
Ify tergugu. Pundaknya kebas, lemas rasanya. Tapi dipaksakan kedua kakinya untuk bergerak. Ia berlari meninggalkan teman-temannya sambil menahan tangis. Ify sedikit berharap Rio akan mencegahnya, tapi ternyata tidak. Rio tetap berdiri ditempatnya, meski setiap partikel tubuhnya berorasi menyuruhnya agar mengejar Ify, tapi ia bergeming. Sampai akhirnya, Rio merasakan hantaman dipipi kanannya, kemudian tubuhnya tersungkur memeluk tanah. Rupanya Gabriel telah melayangkan tinjunya tepat diwajah Rio. Rio melotot marah, tertatih, ia mencoba bangun, "Apaan sih lo ?"
"Bangsat banget ya lo. Kalau ngomong, mikir dulu kek, punya otak kan lo ? Cepat susulin Ify."

"Nyuruh gue ? Ck, kayak gue bakal peduli aja sih, " balas Rio tak acuh, "Ngapain disusul, kan dia sendiri yang mau pergi."
Rio yang sudah berhasil bangkit, beberapa detik kemudian kembali tersungkur jatuh. Gabriel menghajarnya. Mendaratkan pukulan-pukalan tanpa jeda dengan kalap, ke sekujur tubuh Rio.
Teriakan Shilla yang melerai keduanya, tak diindahkan sama sekali. Gabriel baru berhenti setelah merasakan dirinya kepayahan. Pemuda itu lantas meninggalkan Rio dan Shilla, berlari kearah yang sama dengan yang dilalui Ify tadi. Entah sudah seberapa jauh Ify pergi. Tapi Gabriel bertekad harus bisa menemukan Ify secepatnya. Kasihan gadis iti, Gabriel tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Sementara Rio, masih terkapar lemas di atas tanah. Napasnya tersengal, terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya yang jadi sasaran empuk pukulan-pukulan Gabriel. Rahang dan rusuknya berkedut nyeri, “shit !” makinya entah pada siapa.
Shilla ikut terduduk disamping Rio, "Yo, kamu nggak apa-apa?" tanyanya, cemas.
"Ya." jawab Rio sembari tersenyum sebisanya.
Shilla membantu Rio untuk duduk, "Aku tahu kamu pasti capek, kamu sebal diprotes terus, tapi seharusnya kamu bisa lebih kontrol emosimu, apalagi Ify itu kan cewek." nasehat Shilla dengan lembut.
Rio tidak menjawab. Sudah cukup Gabriel menghakiminya sampai babak-belur seperti ini, jangan tambah Shilla yang ikut-ikutan menceramahinya. Jadilah tempat itu diselimuti kesunyiaan total. Tidak ada gelombang bunyi sekecil apapun yang tertangkap indera pendengaran. Bahkan anginpun seperti enggan berdesau di sekitar mereka. Tapi ternyata waktu tetap merambat, bergulir tanpa henti, meski dunia di sekitar Rio dan Shilla seperti mati.
Rio menggerakkan kepalanya, melirik Shilla yang duduk memeluk lutut disisinya. Ia tersenyum. Gadis itu tetap saja terlihat cantik, meski dilihat dalam cahaya minim seperti sekarang. Perlahan, Rio merogoh saku jaket, terdapat satu batang lilin dan korek gas didalamnya. Dua benda itu sengaja dibawa Rio, untuk sekedar berjaga-jaga kalau di perjalanan, mereka membutuhkan lebih dari sekedar cahaya senter. Melihat dua benda di tangannya, Rio secara mendadak mendapatkan ide. Mungkin waktunya tidak tepat, tapi bukankah kesempatan yang sama tidak pernah datang dua kali ?
Untuk merealisasikan idenya, pertama-tama, Rio mematikan center,  yang kontan langsung menuai protes Shilla, "Kok dimatiin sih Yo ? Gelap tahu." Omel gadis itu.
Kemudian dinyalakannya sebatang lilin hingga sekelilingnya kembali terang. Cahaya dari sumbu lilin yang mungil berpendar kesana-kemari lantas terpantul cantik pada kedua bola mata jernih milik Shilla. Paras ayu gadis itu terlihat semakin anggun dilatari keremangan. Pun dengan Rio, meski lebam kebiruan tercetak di beberapa tempat diwakahnya, tetap tidak bisa mengurangi ketampanan yang dianugrahkan Tuhan secara cuma-cuma pada pemuda itu.
"Yo, luka kamu-"
"Shil," Rio menyela kalimat rumpang Shilla.
"Hm ?"
"Mm... Guesayangsamalo." aku Rio, bicaranya cepat tanpa titik koma, membuat kening mulus Shilla mendadak berkerut, bingung, "Kamu ngomong apa Yo ?"
Rio membuang napas, mengacak-ngacak rambutnya, tampak salah tingkah dan tidak nyaman, "Mm...guesayangsamalo.” lagi-lagi Rio berbicara seperti dikejar bencong. Tanpa jeda dan hanya membuat Shilla tambah bingung.
“Nggak ngerti.” Celetuk Shilla.
Rio meremas ujung-ujung jaketnya, gemas sekali. Kenapa sih Shilla masih saja sulit memahami kalimatnya, padahal kalimat itu hanya terdiri dari empat kata ? Setelah mengatur napasnya dan menyeting pita suara agar terdengar normal, Rio kembali memulai kalimatnya, “Shilla, dalam keadaan gelap kayak tadi, semua orang butuh bantuan penerangan, gue pun gitu. Masa-masa sebelum gue kenal elo, adalah masa tergelap di kehidupan gue. Gue kehilangan banyak hal. Selama ini, gue selalu cari lilin mana yang paling pas buat terangi jalan gue dan sekarang ketemu. Shilla Azahra, you're my everything, would you be mine? Kalau lo bersedia, tiup lilin ini karena gue udah nggak butuh cahaya-cahaya lain, lo aja udah lebih dari cukup."
Shilla hampir kehabisan napas, karena dipandangi dengan begitu intens oleh Rio. Belum lagi, kata-kata Rio yang membuatnya meleleh seleleh-lelehnya, didukung oleh suasana yang begitu romantis. Lilin, cahaya, sederhana tapi mengena.
Dengan usaha maksimal untuk mengendalikan dirinya, Shilla mengangkat wajahnya, "Kalau aku tolak ?" tanyanya, menantang.
Rio mendelik sekilas, dengan suara pelan ia menjawab, "Biarin aja apinya nyala sampai lilinya habis."

Mata Shilla beralih menatap lilin yang dipegang Rio. Shilla menggigit bibir bagian dalam, baru sadar ternyata selama percakapan tadi tetesan-tetesan dari lilin yang meleleh, jatuh tepat di atas telapak tangan Rio. Pasti rasanya sangat panas. Tapi biar saja, Shilla ingin tahu, seberapa besar perjuangan Rio untuknya. Seberapa gigih usaha pemuda itu untuk mendapat apa yang ia mau. Dan Rio bergeming. Seolah panas yang membakar kulitnya, bukanlah hal yang berarti. Ia tetap teguh memegang lilin putih itu, seteguh perasaan yang sudah tertonggak mantap di hatinya. Ia biarkan sorot dari dua manik kecoklatan milik Shilla menelanjangi hatinya. Mengizinkan gadis itu mengorek kejujuran dan segenap ketulusan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, lewat dua jendela hatinya.
Shilla menyilangkan tangannya didada, mengetuk-ngetuk dagunya sambil tertawa pendek, "Kebanyakan gaul sama Feldy sih kamu, jadi gombal deh." ia meninju pelan pundak kanan Rio.
"Yang penting kan cuma sama lo gombalnya."
"Masa ?"
"Iya."

"Oh," sahut Shilla singkat. Melihat Rio yang meringis kesakitan karena semakin banyak lelehan lilin yang terakumulasi dalam telapak tangannya, Shilla jadi tidak tega. Ia mengambil-alih lilin dari Rio, lalu meletakkannya dibawah, "Bisa banget sih ? Kalau udah sampai luka begini mana tega aku mau nolaknya." tambah Shilla kalem.
"Jadi ?" tanya Rio, memastikan bahwa ekspektasinya tidak berlawanan dengan maksud perkataan Shilla.
"Kalau aku terima kamu, apa yang bisa kamu janjikan buat aku ?"
"Nothing." jawab Rio, tenang.
Bibir Shilla mengerucut tipis, "Kok gitu ?" gusarnya.
Rio menaruh kedua telapak tangannya di bahu Shilla. Dengan senyum lembut yang menawan ia menjawab, "Gue nggak bisa janjiin apa-apa, Shil. Karena semua bisa berubah ke depannya. Cinta gue nggak timeless and happy ever after kayak cerita pangeran sama Cinderellanya, yang perlu lo tahu, gue sayang sama lo, sekarang dan mudah-mudahan sampai nanti."
Shilla mengangguk samar. Lega rasanya mendengar jawaban Rio. Sesimple itu, semudah itu, tidak perlu ada janji atau sodoran mimpi yang muluk. Karena sebetulnya, setiap wanita memiliki intuisi yang kuat. Tidak selamanya, semua hal harus diungkapkan secara gamblang apalagi dibubuhi dengan obralan kata-kata manis, kebanyakan kaum hawa bisa membaca apa yang tersurat dalam hati.
"Kamu teh jangan terlalu dekat dengan den Rio, Geulis !!"
Shilla terhenyak. Tiba-tiba saja, ucapan Bi Arum tempo hari menghujam sadarnya. Melibas taman bunga warna-warni yang baru saja bersemi dihati Shilla. Ia sejujurnya tidak mengerti, kenapa Bi Arum melarangnya dekat dengan Rio. Tapi Kakak dari Ibunda Shilla itu sepertinya tidak main-main atas larangannya.
Melihat ekspresi Shilla yang berubah muram, Rio menjentikkan jari, "Hei !!"
"Eh, hah ? Apa Yo ?" gagap Shilla.
"Ck, kok malah bengong sih ?"
"Maaf Yo. Eh, emm.. Pertanyaan kamu tadi, aku jawabnya nanti nggak apa-apa ? Emm, aku juga pengen kamu yakinin dulu perasaan kamu buat Aku, benar sayangkah atau cuma selingan karena… karena nggak ada Acha."
Shilla butuh waktu, bukan untuk memikirkan jawaban untuk Rio, karena detik ini pun jawaban itu sudah ada. Lebih kepada Bibinya, Shilla mungkin harus bertanya sekali lagi, apa alasan Bi Arum melarangnya terlalu dekat dengan Rio. Shilla juga ingin Rio memastikan terlebih dahulu tentang perasaannya pada Shilla dan berapa besar porsi Shilla di hati Rio, lebih besarkah dari Acha?
"No problem. I'll wait." sanggup Rio, dengan sedikit nada kecewa.
"Yo, menurut kamu, apa orang tua kita punya hubungan dimasa lalu ? Selain hubungan pertemanan, pastinya."
"Maksudnya ?"
"Emm..  udahlah lupain aja. Sekarang mendingan kita cari Ify aja yuk ! Kasihan, malam-malam sendirian ditempat kayak gini." usul Shilla.
Rio mengangguk setuju. Ia juga merasa tidak enak sudah membentak Ify tadi, walau tetap saja baginya Ify kelewat manja malam ini. Kemudian dua remaja itu berjalan bersisian, menyisir setapak dalam kegelapan. Nama Ify sesekali diserukan, agar gadis tirus itu (dimanapun dia) menyadari bahwa Rio dan Shilla sedang berusaha mencarinya.

***

Dia, masih saja menangis untuk orang yang tak pernah merasa ditangisi.
Ify terduduk. Menyandarkan tubuh mungilnya pada sebatang pohon besar yang entah berjenis apa. Ditumpukan dagu runcingnya pada lutut yang tertekuk. Pandangan matanya nanar, tapi tidak ada airmata. Ya, Ify berusaha tidak menangis, tidak untuk kesekian kalinya, tidak untuk orang dan hal yang nyaris sama.
Gelap dan terang bertukar seirama hari yang berganti. Semua berubah. Banyak hal telah terjadi. Suka ataupun tidak, Ify harus mengakui, segalanya tidak lagi sama. Rio bukan lagi sahabatnya yang dulu, bukan lagi pemuda yang selalu ada untuk Ify. Dulu, meski telah berstatus sebagai kekasih Larissa Kinara, Rio tidak pernah mengabaikannya seperti ini. Tapi sekarang ?
Sering, lelah menyuruhnya menyerah. Tapi selalu saja ia dikalahkan perasaan yang terlanjur berjelaga.
Ify menghela napas berat. Satu tetes airmata, lepas dari kontrolnya, meluncur menuruni pipi Ify. Tapi airmata tadi tidak lantas tertanam dalam tanah, melainkan berlantas pada telapak tangan kokoh milik Gabriel.
"Tanah paling nggak suka jadi landasan airmata." ujarnya lembut. Gabriel menengadahkan tangan kanannya dan disanalah bulir airmata Ify bermuara.
"Ngapain lo disini ?"
Reflek, Ify segera bangkit dari duduknya. Mundur beberapa langkah. Dari gestur tubuhnya yang menegang, jelas sekali bahwa Ify masih sangat enggan berdekatan dengan Gabriel. Semenjak kejadian dirumah Ify beberapa bulan lalu, gadis itu menjadi sangat antipati terhadap Gabriel. Untuk urusan majalah Aruna pun, Ify sekarang lebih suka bekerjasama dengan Iley.
"Fy..."

"Jangan dekat-dekat gue !!" salak Ify.
"Masih sebenci itu Fy, kamu sama aku ?"
Ify tertawa mencela, "Masih dan akan selalu benci, tolong dicatat." tandas Ify.
"Tapi aku kan udah jelasin semuanya Fy, waktu itu gelap dan ya... Aku nggak sengaja."
"So ? Gue mesti percaya gitu sama omongan lo ? Waktu gue minta lepasin pelukan lo, apa yang lo lakuin Gabriel ? Hah ?"
"Jadi kamu tetap mggak mau maafin aku, walaupun Rio yang suruh ?"
Ify mendelik, "Tahu darimana lo kalau Rio nyuruh gue maafin lo ?" selidiknya. Memang sempat beberapa kali setiap bercakap-cakap via SMS, Rio menyuruh Ify memaafkan Gabriel, tapi tentu saja tidak semudah itu.
"Nggak penting aku tahu darimana. Saufika Ayyara, maafin aku."
Gabriel mengepalkan kedua telapak tangannya, kuat-kuat. Mungkin untuk mengalihkan luapan emosinya agar tidak lepas kendali lantas berbuat sesuatu yang buruk pada gadis manis didepannya, "Ok. Nggak masalah, kamu nggak maafin aku sekarang. Tapi kamu harus ikut aku Fy, kita mesti cepat-cepat sampai di perkemahan sebelum tengah malam."
"Nggak mau!"
"Kenapa ? Apa kamu masih mau tunggu Rio yang jemput kamu ? Ify, dia bahkan nggak peduli sama kamu." cibirnya penuh kemenangan.
"Fy !!" panggil Rio dari kejauhan.
"Dia amat sangat peduli sama gue !" Ify balas tersenyum menghina, lalu berlari menyongsong kedatangan Rio dan Shilla.
"Kamu nggak apa-apa Fy ?" tanya Shilla, setelah teman semejanya itu sampai dihadapannya. Ify hanya menggeleng kecil, lantas memeluk Shilla dengan penuh kelegaan, "Syukurlah." lirih Shilla.

Dalam diam, Ify pun sangat bersyukur karena Rio dan Shilla segera datang. Ia benar-benar takut Gabriel akan berlaku yang tidak pantas lagi terhadapnya. Masih dalam kesibukkan merapal puji syukur pada Tuhan, Ify merasakan dua tangan kokoh menyentuh pundaknya setelah ia melepas pelukannya pada Shilla.
"Gue selalu aja bikin lo sedih. Maaf." ujar Rio, datar, seraya menyematkan jaketnya pada pundak Ify.
"Gue juga. Maaf udah bikin lo kesal." lirih Ify.
"Segampang itu kamu maafin Rio, Fy. Padahal dia udah sering banget buat kamu sedih." komentar Gabriel, "Lo tau Rio, Ify itu cinta banget sama lo, lebih dari seorang sahabat. Sekarang kasih tau gue, apa lo juga punya perasaan yang sama kayak Ify?"

"Gabriel !!" sentak Ify.
"Apa ? Kamu mau marah ? Silakan. Toh daritadi juga kamu udah marah sama aku. Aku cuma pengin bantu kamu, biarin Rio tahu semuanya dan kamu bakal sadar kalau dia nggak pernah punya perasaam buat kamu. Sedikit pun. Berhenti berharap sama Rio, Fy." papar Gabriel berapi-api.

Rio terlongong maksimal. Ify menyukainya ? Tuhan, lindungilah Gabriel. Pasti pemuda itu sedang dirasuki makhluk halus makanya bicaranya ngawur seperti itu. Cerdas, bertanggung jawab dan dewasa, Rio masih begitu ingat kriteria pemuda idaman dari sahabatnya itu. Dan jelas sekali, ketiga sifat itu nggak Rio banget.

Ify sendiri tak kalah shock. Tidak menyangka Gabriel akan bicara frontal seperti itu. Apa sih hak Gabriel membongkar rahasia yang sekian lama Ify tutupi ? Rahasia yang ia bagi hanya pada selaksa langit. Perasaan tersembunyi yang ia titipkan diam-diam pada keremangan malam. Secretly love, yang bahkan desau angin pun tak Ify izinkan mengusiknya, "Apa sih urusan lo ?" gumam Ify, pelan.
Hening yang ditawarkan malam berakhir, ketika suara baritone Gabriel kembali merambati udara, "Rio sekarang punya Shilla, selamanya kamu cuma akan jadi bayangan yang setia dan selalu ada didekat Rio, tapi nggak pernah dianggap penting. Apa kamu bahagia Fy dalam keadaan kayak gini. Masih banyak cowok yang lebih baik dari Gabriel, open your eyes !" Gabriel bicara dengan penuh kelembutan, matanya tak lepas menatap Ify yang terus menunduk. Saat gadis itu mengangkat wajah dan pandangan mereka beradu, Gabriel tidak bisa menampik tatapan penuh kebencian dari dua bola mata Ify. Sorot tajam yang menghunus titik kelemahannya, menghujam tepat di hatinya.

"Gabriel, lo gila ya?”
“Do you still want to deny ?"
"Of course, ‘cause everything you say is a lie."
Gabriel mengendikkan bahunya, kemudian menggeleng kecil, "Ok. Kalau gitu, anggap aja gue nggak pernah ngomong apa-apa malam ini." katanya kalem.
Gabriel sebetulnya ingin menguak semuanya di depan Rio. Tapi sepertinya tidak malam ini. Untuk sementara, yang tadi itu sudah cukup, ia masih punya banyak waktu untuk permainan-permainan selanjutnya. Ada begitu banyak luka yang tertoreh di hidupnya. Dan semua orang yang pernah menorehkan luka itu, harus merasakan sakit yang sama atau bahkan lebih, tanpa terkecuali. Jika Tuhan tidak pernah berlaku adil padanya, maka Gabriel yang akan menciptakan keadilan untuk dirinya sendiri.
***
Sore begitu tenang dengan jingga yang memulas tipis kaki langit, merapuhkan lazuardi terang. Daun-daun Angsana mungil tertawa renyah digelitiki angin, menarik minat pipit-pipit kecil untuk hinggap sejenak didahannya yang tegar. Rio menikmati pesona senja hari itu lewat pintu kaca yang membatasi area kamarnya dengan balkon.
Pagi tadi, ia baru saja pulang dari acara camping tahunan Veronna, bersama teman-teman seangkatannya. Bicara soal fisik, Rio tentu saja letih dan merasakan seluruh persendiannya pegal-pegal, tapi anehnya, tubuh lelah itu menolak diistarahatkan. Bahkan dua telaga beningnya, sulit sekali terlelap. Untuk kesekian kalinya, bahkan setelah pemuda berkulit coklat itu berada dikamarnya yang super nyaman, ia tetap gagal dalam usahanya tertidur pulas. Matanya malah nyalang, mengamati langit-langit putih kamarnya.
“Ify cinta sama lo lebih dari sebagai sahabat.”

Kalimat Gabriel itu lagi-lagi berpusar dalam benaknya. Itulah kalimat tersakti yang membuat Rio galau belakangan ini. Sebetulnya Rio tidak ingin memikirnya, berusaha tak acuh dan menganggapnya tidak lebih dari guraun Gabriel. Tapi logikanya menolak. Ify bilang Gabriel yang berbohong, itu artinya Ify tidak pernah menyukai Rio. Lantas untuk apa gadis itu menghindarinya sekarang.
Kenapa setiap kali bertemu, Ify jadi kelihatan kikuk dan canggung ?
Apa mungkin, Ify lah justru yang berbohong ?
Kalau benar begitu, apa yang mesti Rio perbuat ?
Ify sendiri sudah cukup tahu bahwa Rio menyayangi Shilla, tapi apa Rio tega menyakiti hati gadis sebaik Ify ? Apa Rio harus menjauh, agar sahabatnya itu bisa pelan-pelan melupakannya ? Atau... Rio boleh memiliki keduanya, Shilla dan Ify ? Ah, tidak-tidak, yang terakhir itu sepertinya terlalu jahat.
Berbagai pertanyaan silih berganti menyambangi pikirannya. Sedang asyik-asyik mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tadi, mendadak Rio mengerjat. Cepat-cepat ia bangun, mendekat kearah meja berukuran sedang disisi kanan tempat tidurnya. Rio ingat sesuatu. Sepucuk surat yang diberikan Ify kepadanya tempo hari. Ya, mungkin di sana Rio akan dapat jawaban.
Pelan, ditariknya sebuah amplop biru muda dari laci meja, "Maaf ya Fy, gue ingkar janji." gumam Rio. Ia tidak lupa kalau sebetulnya amplop ini baru boleh dibuka saat Rio telah mendapatkan apa yang ia mau. Tapi mau bagaimana lagi, Rio jadi penasaran apa yang Ify tulis di dalamnya.
Tidak butuh waktu lama tentunya, untuk Rio mengeluarkan selembar kertas warna biru pucat dari dalam amplop di tangannya. Lalu dengan seksama matanya bergerak, memindai huruf demi huruf yang berbaris apik, tulisan khas Ify.
Aku biarkan kamu pergi. Untuk menemukan apa yang kamu cari. Meski dengan begitu, aku akan kehilanganmu. Aku harus belajar melewati malam tanpa ceritamu tentang Orion, Sirius atau Andromeda. Hahaha... Ya. Ya. Aku harus terbiasa tidak lagi mendengar celotehmu tentang pasir-pasir langit itu. Dan itu tidak mudah. Sungguh. Tapi aku tahu, memang inilah yang seharusnya aku lakukan. Membiarkanmu pergi, semata-mata karena aku menyayangimu. Karena aku tahu, seberapa ingin kamu meraih...... dia. Aku benar bukan ? Dia. Namanya yang kamu rapal dalam hati, setiap aku tanya apa yang ingin kamu raih. Aku terlalu mengenalmu. Untuk menebak isi hatimu saja itu terlalu mudah bagiku. Tak peduli seberapa tebal masa lalu itu berkerak, kesungguhanmu pasti mampu mengikisnya. Aku percaya, kelak kamu akan berhasil meraihnya dan semoga saat itu, aku bisa ikut berbahagia. Teruslah berjalan, meski itu berarti kita semakin jauh. Ah ya, andai kamu memiliki beberapa detik saja untukku saat ini. Aku tidak berharap kamu kembali, hanya ingin kamu dengar, akan kubisikkan sesuatu dari hatiku. Mario, aku merindukanmu (yang dulu).
Rio tercenung setelah membaca surat dari Ify. Matanya masih tertancap pada secarik kertas ditangannya. Perlahan, seulas senyum mengembang. Benar kan, akhirnya Rio mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang membuatnya risau. Sekarang Rio yakin Gabriel yang bohong besar. Ify tidak menyukainya, karena dalam surat jelas sekali Ify mendukung Rio untuk memperjuangkan Shilla. Menurut analisnya (yang lebih sering meleset), Rio menyimpulkan surat itu sebagian besar hanya berisi ketakutan Ify kalau-kalau Rio akan mengabaikannya setelah mengenal Shilla lebih jauh. Tapi gadis itu pastilah tidak khawatir lagi sekarang, karena akhir-akhir ini Rio sudah menunjukkan bentuk-bentuk perhatiannya pada Ify. Semoga itu sudah cukup, untuk memupuskan ketakutan Ify.
Seandainya Rio mau sedikit saja peka, mau sediit saja berusaha mencari tahu. Bukankah tulisan dalam kertas biru itu, sama seperti tulisan pada elembar kertas yang lain. Tulisan pada pesawat kertas yang dulu ‘menghampiri’ Rio. Seandainya Rio sedikit saja mau mencari tahu, bahwa dua tulisan itu milik orang yang sama.
Rio tertawa pendek, "Ke-pede-an banget sih gue. Mana mungkin Ify suka sama gue, sama Alvin aja dia nggak tertarik." Rio menggeleng-gelengkan kepala, seraya mengacak rambut tebalnya, "Tapi penasaran juga sama cowok yang Ify suka kalau bukan Alvin."
Sejauh ini, pemuda yang paling dekat dengan Ify hanyalah Alvin dan Rio sendiri. Kalau pun sebelumnya Ify sempat akrab dengan Gabriel, itu juga hanya karena mereka satu teamwork di redaksi majalah Aruna. Kalau Ify bilang tidak ada perasaan lebih pada Alvin, So, who he ?

"Ah, biar deh, entar juga Ify cerita." batinnya santai.
Rio mendengus dengan satu tangan, dibuka laci meja, lalu tangan yang lain melempar kasar dua benda yang ia pegang kedalam laci yang ternganga.
Tok-tok-tok

Terdengar ketukan samar dari balik pintu jati disudut kamar. Sebelum sempat sang empunya ruangan mempersilakan tamunya masuk, seorang wanita menerobos masuk. Membawa sebuah nampan berisikan segelas coklat hangat. Asap masih mengepul tipis dari bibir gelas yang tidak tertutup.  Wanita itu tersenyum lembut, menghampiri Rio yang berdiri tak jauh darinya. Rio memandang angkuh, mengangkat sebelah alis mata yang memayungi bola mata teduhnya, seolah bertanya, "Mau apa kemari ?"
Wanita tadi, Gladys, membutakan diri, tak acuh terhadap penolakan yang digencarkan putranya, dengan suara lembut ia berujar, "Sore Rio. Mama buatkan coklat hangat, diminum ya." segaris senyum terukir pada bibirnya yang merah tanpa gincu. Rio tidak membalas. Malah membalikan tubuh kearah doublebednya, lantas mengotak-atik handphone.
"Ya sudah, Mama keluar ya." pamit Gladys.
"Tunggu !" seru Rio.
Gladys berhenti, "Ya ?"
"Bawa lagi minumannya, Rio lagi nggak pengin." perintah Rio.
"Tapi, Mama kan sudah buatkan untuk kamu, Yo."
"Rio nggak minta." sahut Rio, enteng.
"Apa Mamamu tidak sempat mengajari cara menghargai orang lain, Mario ?" tanya Gladys, marah. Jelas wanita itu tersinggung. Rio selalu bersikap seenaknya, padahal Gladys hanya berusaha bersikap baik pada anak itu.
Mendengar Mamanya jadi terbawa-bawa, Rio meradang. Ia segera bangkit. Menjulangkan tubuh tingginya persis dihadapan Gladys, "Mama mengajarkan saya untuk menghargai orang baik. Tante merasa baik, hah ?" balas Rio angkuh.
"Menurutmu saya jahat ? Tunjukkan ! Dimana letak kejahatan yang saya lakukan."
Rio melipat tangannya didada, "Bawa minuman itu dan cepat keluar dari kamar saya. Bisa kan ? Itu pintunya, TANTE !!" Rio menekankan kata Tante yang seharusnya berganti jadi Mama semenjak Gladys resmi menjadi istri Narendra Haling, Papa Rio. Telunjuknya mengarah lurus pada pintu.
Gladys tidak ingin menyulut percikan api yang sudah timbul, tidak mau memperburuk hubungannya dengan Rio. Maka, dengan segera wanita berbusana daster dengan corak batik itu membawa lagi minuman yang tadi ia bawa. Tapi tanpa sengaja, saat ia akan mengangkat nampan yang ia gunakan, Gladys menyenggol sebuah figura berisi foto Veronna yang dipajang Rio, diatas meja.

Praangg

Rio menoleh, Gladys tampak terburu-buru menaruh nampannya lagi, lalu berusaha merapikan pecahan-pecahan kaca dari figura yang pecah, "Jangan sentuh foto Mama !!" salak Rio.
"Maaf Rio, Mama nggak sengaja."
"Tante..." Rio menatap Gladys dengan penuh amarah, segala macam umpatan seharusnya meluncur deras dari mulutnya, tapi sulit. Sulit sekali. Dan Rio benci saat-saat seperti ini, "Rio benci sama Tante. KELUAR !!" lagi-lagi Rio menggunakan nada tinggi dalam bicaranya.

"Yo..."

"Tante munafik. Tukang cari perhatian. Sok baik. Tante pengin semua orang dirumah ini lupain Mama kan ? Tante mau gantiin posisi Mama di rumah ini. Dihatinya Papa. Jangan mimpi. Sampai kapanpun Tante nggak akan bisa lebih baik dari Mama Rio." Rio menggempur Gladys dengan tuduhan-tuduhan tajamnya, "Rio nggak akan pernah terima Tante. Dan anak itu," Rio menunjuk perut Gladys yang kian membuncit tiap bulannya, "Jangan harap, Rio akan anggap dia adik, apalagi Eyang, cuma Rio cucu tunggal keluarga Haling. Nothing else. Anak itu nggak lebih dari orang baru yang nggak diinginkan."
"KIA !!" suara berat berwibawa milik Narendra menggelegar dalam ruangan, "Bicara apa kamu ?"
"Kenapa memangnya ? Papa mau belain Tante Gladys."
"Pasti. Dia istri Papa, Rio !"
"Dan aku anak Papa." sambar Rio, "Oh, atau mungkin Papa lupa ? Papa nggak peduli lagi sama Rio ? Iya sih, untuk apa Papa peduli pada anak dari perempuan yang sudah mati."
Plaakk

Tamparan keras mendarat dipipi kanan Rio sebagai hadiah ucapan lancangnya. Pemuda itu sampai tersungkur, pelipisnya terantuk ujung meja. Tapi tanpa takut, Rio segera bangun. Matanya menantang dua manik mata Sang Papa. Dua tubuh menjulang itu saling berhadapan. Memamerkan ego yang sama besar. Kedua tangan Rio mengepal kuat, sedangkan Narendra yang berada didepannya, meski samar tapi terlihat menyesal atas apa yang ia lakukan pada putra tunggalnya dengan Veronna itu.

"Papa sangat menyayangi kamu, sangat mencintai Mamamu, jangan bicara seperti itu lagi pada Papa."

Rio tertawa hambar, "Dua kali Papa tampar Rio demi orang lain. Rio nggak akan lupain ini semua, " ujar Rio, lugas. Pemuda itu kemudian berjalan ke bebepapa titik kamarnya, mengumpulkan tiga buah benda lantas kembali berhadapan dengan Narendra, "Kunci mobil, handphone dan dompet," Rio membuat absen untuk satu-persatu benda yang ia taruh pada telapak tangan Papanya, "Rio pergi. Maaf udah ganggu kebahagiaan kalian selama ini." setelah berkata demikian. Rio segera berlalu.
Sampai diambang pintu kamar, ia dihentikan oleh suara Narendra, "Kabur-kaburan. Begitu saja terus ! Kamu memang tidak pernah berubah. Selalu memilih lari dari masalah." cibir Narendra.

Rio tidak menimpali perkataan Narendra, namun dalam hatinya bersumpah. Tidak akan pernah kakinya menyambangi rumah ini lagi, sebelum Papanya menceraikan Gladys. Siapapun yang memohon atau meratap dikakinya sekalipun, Rio tidak akan pulang. Sudah saatnya Papanya bisa mempertimbangkan pendapatnya mulai sekarang. Kaki-kaki panjang pemuda itu melangkah tak terbendung. Meninggalkan kamarnya beserta Narendra dan Gladys yang diam-diam dalam hati bermunajat agar Rio berubah pikiran. Tapi Rio terlalu tangguh, terlalu 'cowok' untuk menganulir keputusannya sendiri. Ia tidak akan main-main dengan apa yang keluar dari mulutnya. Sampai diluar Matahari Room, Rio berpapasan dengan Alvin. Tidak bisa dibilang kebetulan, tentu saja, karena Rio yakin, Alvin sudah berada disana sejak tadi.
"Rio..."

"Gue benci nyokap lo."
"Lo nggak perlu pergi."
"Nggak usah sok baik."
"Lo mau kemana ?"
"Bukan urusan lo." tutup Rio.
***

TV plasma itu sepertinya sudah kehilangan fungsi sejatinya. Layar ajaib yang menampilkan gambar bergerak warna-warni yang seharusnya jadi tontonan, sekarang malah ganti menontoni  wajah lucu seorang pemuda yang tertidur pulas di sofa. Pemuda itu tampak begitu nyaman menikmati tidur siang yang berlanjut hingga petang datang. Ia tak peduli pada keadaan sekitarnya yang lebih dari sekedar semrawut. Kulit-kulit kacang dan bungkus makanan ringan berserakan dilantai. Belum lagi kaleng bekas soft drink, keping-keping CD dan bantal bercecer dimana saja. Ruang nonton TV ini benar-benar hancur tak terkendali.
Pemuda tadi, Feldy, mendengus malas saat terdengar pintu rumahnya diketuk keras-keras. Merasa tidak rela ritual tidurnya terusik, Feldy janji pada dirinya sendiri, untuk menghajar siapapun orang diluar sana kalau datang tanpa alasan yang jelas.
Ia berjalan dengan mata setengah terpejam. Rambutnya berantakan, wajahnya kusut, penampilan yang cukup mengenaskan untuk ukuran seorang most wanted boy, "Awas aja kalau tamunya nggak penting banget, gue aniaya sekalian. Ganggu aja." sengitnya, sambil meraih knop pintu.

"Lama banget sih lo, Fel. Pasti molor." seloroh Sang Tamu tak diundang.
"Hah ? Oh, sorry hehe. Lo siapa ?" tanya Feldy melantur.
"Ck. Nggak beres lo. Udah awas minggir-minggir, gue mau masuk. Mulai hari ini gue tinggal disini ya.”
"HAH ?" mata Feldy membulat maksimal, detik itu juga ia baru sadar siapa yang pelesir kehuniannya, "Rio ?"
Rio berdiri sembari mengangkat sebelah alis matanya tinggi-tinggi. Heran, melihat respon Feldy yang berlebihan seperti itu, "Iya ini gue."
"Lo mau nginap ?"
"Iya. Kenapa sih lo ? Biasanya juga gue nginap disini kan."
Feldy masih terlongong. Untung ia termasuk jajaran pemuda tulen, karena kalau tidak, Rio pasti sudah berpikir Feldy adalah korban kesekian dari pesonanya yang memang sulit ditolak (menurut Rio). Apalagi sore ini, ia berdiri didepan pintu sebuah rumah dengar latar jingga yang syahdu dan guyuran daun-daun trembesi kering. Rambutnya sedikit berantakan, terkena angin. Sweet sekali bukan ?
Rio memang sudah terbiasa bermalam di rumah Feldy, terutama kalau ia sedang ada masalah dengan keluarganya. Hanya saja, saat ini kondisinya sedang tidak memungkinkan untuk menampung Rio, "Oh, emm ya udah. Lo tu..tunggu sebentar ya, gue suruh Bibi siapin kamar lo dulu." tanpa memberi kesempatan Rio untuk sekedar mengangguk, Feldy sudah ngacir kekamar yang biasanya ditempati Rio. Tanpa ketuk pintu apalagi mengucap salam, Feldy nyelonong masuk.

"Aduh, bisa nggak sih ketuk pintu dulu. Nggak sopan deh." omel seorang gadis imut yang sedang menata rambut panjangnya, menatap cermin oval didekat lemari pakaian.
"Ada Rio di bawah." ujar Feldy. Matanya tertaut lekat pada wajah cantik sepupunya. Ingin tahu seberapa cepat ekspresi ceria akan luruh dari paras itu. Tidak perlu menunggu lama rupanya, karena pergantian raut wajah itu berlangsung cepat. Gadis yang berdiri bersebrangan dengan Feldy itu tampak memaksakan seulas senyum, ia mengangguk pelan, "Aku juga mau pamit pulang, pintu belakang nggak dikunci kan ?"
"Nggak mau ketemu dulu ?" tawar Feldy.
Rindu aku. Rindu kamu.
Mengalir.
Kita berjarak, tapi tak lapang.
Cukup ku ulurkan tangan.
Kau akan terjangkau.
Tapi kenapa air-air rindu kita...
Tak bersuara pada muara yang sama.
Adakah rindu kamu bukan buatku.
Hingga aku tidak bisa mencicipinya agar hangus semua dahaga.
Kita dekat.
Tapi rindu kian merekat.

Feldy jadi ingat potongan puisi yang ditulis Ify untuk edisi Majalah Aruna minggu lalu. Mungkin kapan-kapan, akan diberikan puisi itu pada sepupunya ini. Sudah sedekat ini, sudah serapat ini, masih bisakah takdir menghalangi pertemuan sepupunya dengan Rio ?

"Semakin lo sembunyi, semakin lo kesiksa."

"Aku tahu." balas gadis bermata coklat terang itu. Ia lalu berjalan kearah pintu, menarik knop yang terasa dingin ditelepak tangannya. Ketika selembar kayu dari Aras itu berderik terbuka, kontak ia terbelalak. Cepat-cepat membekap mulutnya yang ternganga dan kembali menutup pintu, "Rio." lirihnya sambil mengarahkan telunjuk keluar.

"Serius ? Ya udah temuin aja." celetuk Feldy.

"Fel, lo ngapain sih di dalam ? Sama siapa ? Ada orangnya." Rio berkoar dari luar.
"Ya udah lo minggir, biar gue keluar." Putus Feldy, karena jelas sepupunya itu tidak ingin menemuai Rio. Feldy membukakan pintu, lalu secepat mungkin menutupnya lagi.

"Ada siapa sih ? Saudara lo ? Kalau dipakai, gue pakai kamar lain juga nggak apa-apa kok." cerocos Rio, saat Feldy muncul dari balik pintu.

"Nggak kok, tadi gue lagi terima telfon. Lo tolong ambilin bedcover yang bersih dikamar gue ya, yang disini udah kotor." pinta Feldy.

"Ok." patuh Rio, lalu bergerak menjauh kearah kamar Feldy.

Sepeninggalan sosok Rio, Feldy membuka pintu, "Buruan cabut." instruksinya.

"Thanks ya."

Feldy tertawa, melihat tubuh mungil sepupunya yang lari pontang-panting menuju pintu belakang. Berselang beberapa detik, Rio datang membawa satu set bedcover warna biru gelap.

"Kenapa lo ketawa ?"

"Nggak. Bukan apa-apa."

"Ni bedcovernya."

"Terus ? Ngapain lo kasih gue ? Pasang sendiri sono."

"Ogah. Sama lo dong. Tamu itu harus diperlakukan sebaik mungkin."

"Elo sih pengecualian Yo. Pasang sendiri. Kalau perlu yang lama lo cuci, sobat !" pesan Feldy enteng, menepuk pundak Rio dua kali lalu pergi.
Rio memicing mata. Mengiringi kepergian sobat kentalnya itu dengan senyum kecut. Mengingat ia menumpang dikediaman Feldy, jadilah ia manut saja disuruh apapun. Hunian Feldy ini memang lebih sering sepi. Kedua orang tua Feldy menetap dikota Bandung, karena bisnis keluarga Eyang Feldi buka cabang anyar di kota kembang itu. Feldy menempati rumah yang terhitung luas ini bersama seorang pembantu yang sudah mengasuh Feldy sejak kecil. Karena itu pula, Feldy tidak pernah keberatan setiap kali ada teman yang menginap. Biar ramai, katanya.
Kamar di rumah Feldy ini memang tidak seluas Matahari Room, tapi Rio cukup menyukainya. Berbeda dengar kamar aslinya yang menyuguhkan pesona matahari terbit, kamar yang ia tempati sekarang justru sebaliknya. Dari kaca jendela yang menghadap barat, Rio bisa melihat bayang-bayang langit senja yang dipulas jingga dengan sedikit warna merah, juga mega-mega yang mengiri matahari menutup siang. Seperti yang tengah ia lakukan sekarang. Berdiri didepan jendela yang ia buka lebar-lebar. Rio memejamkan mata, merasakan semilir angin membelai setiap inci permukaan kulitnya. Ketenangan mengalir, memenuhi rongga dadanya. Seluruh ketegangan, kekesalan serta amarah, dibiarkan tersapu udara petang. Alamlah yang akan meredam emosinya. Biar gelap yang meramurkan kekecewaannya.
Dari satu titik dibawah sana, sepasang mata milik seorang gadis, meruncing. Mengamati sekecil apapun pergerakan yang Rio lakukan. Ketika Rio memilih untuk menutup matanya, hati gadis itu bersorai. Ia bisa menatap wajah Rio sepuasnya. Penuh konsentrasi, dipahatnya wajah damai Rio dalam ingatan, "Malam ini, aku semakin mengagumimu, tapi dengan keyakinan yang juga bertambah. Bahwa semestinya rasa ini tidak usah ada." lirih gadis dengan shortdress putih susu yang melambai ujung-ujungnya diterpa angin.

"Nice to meet you again, Miss."

Suara bernada datar yang tertangkap indera pendengarannya, membuat gadis tadi beku ditempatnya. Ia kenal suara itu. Tiba-tiba saja, ia berharap ada gempa dahsyat yang mampu membelah bumi tempatnya berdiri, lantas tanah akan menelannya bulat-bulat.

"Kapan sampai di Indonesia ?" pemilik suara tadi sudah berdiri dihadapannya. Seorang pemuda tampan, berkulit putih dengan kedua matanya yang tidak bertambah besar sejak terakhir mereka bertemu.

"Kk... Kak Alvin."

"Masih aja panggil kakak, padahal udah pakai jaster UI. Yang di pasar malam itu, lo kan ?"

Gadis tadi menggangguk. Wajahnya jauh lebih pucat dari sebelumnya.

"Kangen juga ya sama lo," Alvin mengacak poni yang terjuntai luwes menutupi dahi gadis itu,

"Kapan pulang ?"

"Aku nggak pernah pergi."

"Oya ?"

"Panjang ceritanya. Kak, please, jangan kasih tahu siapapun kalau aku ada di Indonesia, terlebih di Jakarta."

"Kenapa ?"

"Karen-"

"Alvin !"

Suara Rio terdengar bersamaan dengan kemunculannya di halaman depan rumah Feldy. Ia berjalan menghampiri Alvin yang berada diluar gerbang dan terlihat sedang mengobrol dengan seorang gadis. Tapi Rio tidak mengenali gadis berambut panjang bergelombang yang kebetulan berdiri memunggunginya. Saat jarak Rio tinggal beberapa langkah lagi dari mereka, gadis tadi tiba-tiba saja buru-buru menjauh.

"See you next time kak Alvin." katanya, tanpa menoleh. Suaranya juga dibuat cempreng, tidak seperti biasa.

Rio tampak bingung mengamati gadis yang berlari tunggang-langgang dan kini menghilang dibawa sebuah taxi, "Siapa dia ?"

"Lo nggak kenal ?"

Rio menggeleng.

"Dia itu..."


***