Rahasia Orion Part 1
"Malam di Bulan Januari"
***
Ketika sosok-sosok mungil itu masih gemar berlari mengejar kunang-kunang. Ketika bibir-bibir kecil itu masih ramai berceloteh memamerkan mainan baru mereka. Ketika mereka masih begitu bangga dengan seragam putih-merah mereka. Dulu. Ya, 10 tahun silam.
Ketika kaki gadis kecil ini bahkan belum cukup panjang untuk menjejak bumi saat ia terduduk di saung di tepi jalan yang becek ini. Kedua kakinya terayun, mendepaki udara malam yang mulai menebar dinginnya. Sudah 15 menit ia lewati dengan hanya duduk dan menatapi bintang-bintang yang Tuhan taburkan pada langit gelap di atas sana. Gadis berkuncir ekor kuda itu, ia menyukai malam. Entah karena apa? Mungkin karena saat malam begini tak ada matahari. Ia selalu benci matahari. Ya. Karena matahari adalah ‘ayahnya’.
"Hei !!"
Gadis kecil tadi menoleh. Mengalihkan kedua mata bulatnya dari langit. Ia langsung tersenyum lebar saat tahu, siapa yang memanggilnya dan kini tengah mengambil posisi duduk di sampingnya. Anak laki-laki dengan topi hitam yang dikenakan terbalik. Kaos biru tuanya yang kebesaran, membuat tubuh anak laki-laki itu terlihat lebih kurus.
"Lana, lama banget sih." keluh gadis kecil itu.
Anak laki-laki tadi menyeka keringat dipelipisnya, "Maaf, tadi rantai sepedaku putus." katanya, sambil mengarahkan dagu ke sebuah sepeda yang diparkir sembarang di depan saung.
"Oh. Makanya sepeda butut itu dijual aja. Hehe." Timpal gadis kecil itu, "Eh, iya, katanya Lana mau pamit. Mau pindah ke Jakarta ya? Asik dong?"
"Asik apanya, nanti kita nggak main bareng-bareng lagi."
"Iya, ya. Nanti aku main sama siapa, kalau Lana pindah?"
"Kamu kan cantik, baik lagi. Pasti banyak kok yang mau jadi teman kamu." Lana mencoba menghibur teman kecilnya itu.
"Aku punya sesuatu buat Lana, supaya Lana gak pernah lupa sama aku. Ni..." Si gadis menyodorkan sebuah pajangan berukuran kecil dari kaca berbentuk kuda, "Ini yang palsunya, kalau Lana udah besar nanti, jemput aku disini pakai kuda yang asli ya. Nanti Lana ajak aku jalan-jalan ke Jakarta. Oke?"
"Hehehe," Lana terkekeh lucu, "Oke. Ini aku simpan ya. Tapi kalau jemput kamu nanti, kayaknya bakal lebih keren kalau pakai mobil deh."
"Ya, mobil juga boleh deh, walaupun jadinya nggak kayak pangeran-pangeran di dongeng gitu. Yang penting, Lana janji, kita bakal ketemu lagi."
"Pasti."
"Janji ?" Si Gadis mengacungkan kelingkingnya, yang disambut tautan kelingking Lana.
Dan tersuratlah janji itu. Di malam pada bulan januari yang dingin dan basah, di bawah naungan Orion yang berpijar indah, janji itu terguguslah. Janji yang tanpa disadari akan membawa para pengikrarnya, dalam penantian yang menelan banyak masa, mengubur sekian banyak waktu, menghabiskan ribuan hari, minggu, bulan bahkan tahun.
Gadis kecil tadi masih bertahan di tempatnya. Setelah siluet bocah laki-laki bersepeda itu menghilang di telan gelap malam, dua tetes air matanya luruh. Tapi ia masih terlalu kecil untuk bisa menamai rasa sesak yang tengah dirasakannya. Ia masih terlalu kecil untuk mengerti alasan mengapa ia harus menangis. Yang ia tahu, esok tidak akan ada lagi Lana. Tidak ada lagi teman kecilnya itu, tidak ada lagi yang menemaninya bermain, melindunginya dari anak-anak nakal. Sederhana saja. Ia ditinggalkan sahabatnya, ia sedih, lalu menangis.
***
Berbeda dengan Lana dan teman kecilnya yang harus menjumpai perpisahan, di malam yang sama, di bulan januari. Dengan formasi bulan dan bintang yang sama, dengan lantunan orkestra alam yang sama -derik jangkrik dan suara kung-kong dari katak-katak yang memanggil hujan-, dua penduduk bumi dipertemukan takdir dengan caranya.
Bocah laki-laki berkemeja lengan pendek, berjalan ringan, menyusuri tepian jalan berumput basah ini. Sesekali terdengar senandung kecil dari bibir mungilnya. Tangan kanan bocah itu menggenggam ranting kering, yang akan segera dilayangkan setiap kali dijumpai entah kambing, sapi, kerbau atau tumbuh-tumbuhan.
"Heh kamu yang jelek itu, wlek!" goda bocah tadi pada seorang gadis kecil yang padahal baru kali ini di jumpainya.
Gadis kecil itu, tampaknya sedang berusaha menyeret-nyeret kambingnya yang enggan diajak pulang, padahal hari sudah gelap. Gadis kecil berkuncir satu itu memutar bola matanya, mengacuhkan bocah laki-laki aneh yang menjulur-julurkan lidah kearahnya.
Karena tidak mendapat respon dari si gadis kecil yang diganggunya, bocah itu berkacak pinggang, matanya memicing tajam pada gadis cilik yang terlihat sudah frustasi terhadap kambingnya. Gadis kecil berbaju terusan bunga-bunga itu, berselonjor pasrah dan hampir menangis, di bawah sebatang pohon Randu tempatnya mengikat tali kambing tadi.
"Apa Kamu ?" sentak gadis kecil itu, galak.
"Galak banget sih, pantes kambingnya nggak mau jalan sama kamu." cibir bocah laki-laki tadi dengan gaya pongah luar biasa.
Gadis kecil tadi mendelik, ia sepertinya pernah melihat bocah laki-laki itu tapi entah dimana, dengan ketus gadis kecil itu menjawab, "Si Enuy mau kok sama aku. Ayo Enuy kita pulang!" balas Si Gadis tak mau kalah. Dengan kasar ditariknya tali yang mengikat leher kambing bernama Enuy itu. Alhasil, dua kaki kambing betina tadi mendepak lucut Si gadis sambil meng-embe dengan heboh.
"Aduuh..." erang Gadis cilik tadi.
"Huuuu, makanya jangan sok, kamu. Nih !! Buat bersihin lukamu." bocah tadi mengangsurkan sapu tangannya, "Kok bengong sih ? Ayo ambil, masih bersih kok."
Gadis Cilik tadi memicing mata, memperhatikan penampilan bocah laki-laki seusianya yang tengah berdiri di depannya dengan tangan menyodorkan sebuah sapu tangan, berhias hurus K. Sepertinya sapu tangan itu, hasil sulaman tangan, langsung.
"Ish, udah jelek, budek pula." gerutu bocah tadi jengkel, "Aku Kia. Kamu bisa panggil Aku, Kak Kia. Aku bukan orang jahat kok. Ayo ambil sapu tangan ini."
Sedikit ragu, Gadis Kecil tadi menerimanya, "Kenapa harus panggil Kakak." tanyanya, heran.
"Karena, kamu sama aku lebih tinggi aku. Jadi kamu mesti panggil aku, Kakak. Nama kamu siapa ?"
"Aku-"
"Kia, ya ampun, kamu kok mainnya jauh-jauh banget sih. Ayo cepat pulang, udah malam, nanti papamu marah." seru seorang nenek, yang datang dengan napas tersengal. Sepertinya, ia sudah kewalahan membututi bocah laki-laki gembil itu.
Kia mengerucutkan bibir, "Selalu di susulin. Aku kan udah besar." gerutunya.
"Udah pulang sana, disuruh minum susu kali." ledek Si Gadis Cilik, seraya tersenyum jahil.
"Eh, tapi besok kita main ya, aku bakal kemari lagi." ujar Kia, semangat.
Gadis kecil penggembala kambing itu, mengacungkan kedua ibu jarinya.
"Yeyeye... Kia punya teman baru." sorak Kia kesenangan. Maklum, dikukung dalam 'kastil'nya membuat Kia jarang sekali punya teman, "Ayo kita pulang, tapi besok aku boleh main lagi kan?"
Si Nenek tadi mengangguk, setuju.
"Dadaaaah, adik tukang kambing. Besok Kakak kemari lagi." Kia melambaikan tangannya.
"Ok. Aku tunggu ya Kak Kia..."
Sebuah pertemuan manis dengan sentuhan takdir, yang karena jalan takdir pulalah kelak harus ditutupi. Harus di rahasiakan, agar kedua lakon pertemuan tanpa disengaja itu, tidak menderita luka dan patah hati.
Seperti Peter Pettigrew dalam serial buku cerita fantasi Harry Potter karya J.K Rowling, yang didaulat menjadi penjaga rahasia James dan Lily Potter, Orion malam ini pun kebagian tugas yang sama. Tapi bedanya, Orion sama sekali tidak berniat membongkarnya pada siapapun. Setiap peristiwa, entah pertemuan, perpisahan ataupun janji, semua terekam sempurna, di simpan rapi sebagai suatu rahasia yang kelak akan diuraikan bila memang tiba saatnya.
Orion yang muncul menghias malam di bulan januari, adalah penjaga rahasia paling ulung. Karena jauh sebelum Lana dan teman kecilnya, serta Kia dan Gadis penggembala kambing, telah banyak orang-orang terdahulu, sebelum mereka yang juga menitipkan janji, kenangan manis, aib dan segala hal, untuk disimpan Orion sebagai rahasia. Bahkan, orang tua mereka, mungkin termasuk dalam salah satu dari orang-orang terdahulu itu.
***
Detik-detik pun menguap. Menyisakan sesal untuk orang-orang yang telah menyia-nyiakannya. Meninggalkan senyum, bagi mereka yang telah sempat menorehkan kisah-kisah manis sepanjang perjalanan yang telah tertempuh.
Malam dan siang ikut berganti, memaksa tahun demi tahun bergulir, masa demi masa menua, pun dengan bumi yang kian merenta. Bocah-bocah berseragam putih-merah itu, entah telah sebesar apa mereka sekarang. Kaki-kaki kecil itu, entah telah berapa jauh jarak yang telah tertapaki. 10 tahun telah berlalu. Semua berjalan sesuai alurnya, berputar selaras porosnya. Perubahan banyak terjadi, tapi tidak dengan malam di bulan januari. Tetap dingin, tetap basah, tetap dengan Orion yang menghiasinya.
***
Pemuda berkulit sawo matang itu terus menyusuri jalanan dengan langkah-langkah ringan.
"Belok kiri dan sampai." cetus otaknya.
Ya, seperti halnya nama dan tanggal lahirnya sendiri, pemuda ini begitu hafal jalan-jalan yang akan ia lalui untuk akhirnya sampai di depan rumah mewah bercat putih dengan sepetak kebun mawar dan dua pohon mangga, rumah gadis pujaanya.
Seraut wajah cantik itu membuainya, membuat ia terus menarik kedua ujung bibirnya, di sepanjang malam ini. Dua bola mata indah yang dihiasi tatanan lengkungan alis sempurna di atasnya. Kedua pipinya yang bersemu merah saat ia tertawa, hidungnya yang bangir, dagu tirusnya yang membuat wajah lonjong itu kian sempurna, aroma apel yang terkuar saat kuncir kudanya berayun. Ah, gadis itu cantik. Sangat cantik malah.
"Sampai." sorak pemuda tadi dalam hati.
Seperti sabtu malam sebelum-sebelumnya, ia akan mengunjungi kediaman keluarga Umari ini, menaruh satu buket mawar putih favourit gadisnya di atas kotak surat yang dipasang di pintu gerbang rumah mewah itu, dan selanjutnya, ia akan merasa cukup puas hanya dengan memandangi siluet gadis cantiknya yang tengah berkutat di dalam kamarnya, dari luar. Atau cukup dengan mendengarkan alunan piano yang dimainkan gadis itu. Tapi untuk mengunjunginya langsung, pemuda dengan senyum menawan itu sama sekali tidak punya keberanian. Pemuda tadi sangat tahu, gadis pujaannya sama sekali belum terikat suatu hubungan apapun dan dengan siapapun. Gadis yang menjabat sebagai sekretaris OSIS di sekolahnya itu, hanya akan diam dalam kamar atau bermain piano setiap sabtu malam. Tapi sepertinya tidak untuk malam ini. Tirai kamar di lantai dua tertutup rapat, dentingan piano pun sama sekali tidak terdengar. Pemuda itu masih tercenung di depan gerbang, "Kemana ya ?" gumamnya, tak jelas.
Ia lalu berbalik, berniat pulang dan terpaksa harus merasa cukup puas menatapi rupa gadisnya di alam mimpi. Tapi niat itu segera terabai, saat melihat pagar tinggi yang berdiri kokoh di sebrang jalan. Besi-besi itu berjejer angkuh, membentengi 'kastil' mewah di dalamnya.
"Anak manja. Keluarga busuk." umpatnya sinis.
Pemuda tadi kini ingat, kemana perginya gadis berdagu runcing itu.
Satnite. Dinner w/ his family. Yeaah (y)
Ia ingat, potongan tweet yang di update gadis itu pada akun twitternya sore tadi.
"Errr, Shit!!"
Ia melempar buket bunga yang dibawanya dengan kasar. Kelopak bunga-bunga mawar cantik itupun rontok seketika.
"Nggak elo, nggak bokap lo, sama aja. Sukanya ngerebut hak orang laik. Sok sempurna, gue benci. Benci banget sama lo." raungnya, kalap.
Berkali-kali dilayangkan tinjunya ke udara. Belum merasa puas, diraihnya sebongkah batu berukuran sedang dan dilemparnya kuat-kuat dengan sasaran lampu taman bulat yang menerangi halaman rumah di sebrang jalan sana. Rumah pemuda yang sangat ia benci. Ia tidak begitu ingat, sejak kapan senyum ramah pemuda itu jadi begitu memuakkan di matanya. Ia juga tidak ingat, sejak kapan sosok asyik pemuda itu jadi begitu menyebalkan untuknya. Mungkin beberapa bulan yang lalu. Ya, sejak kejadian pada malam di bulan januari itu. Malam yang menjadi akhir dari mimpi-mimpinya, serta jadi awal, kehancurannya.
***
Suasana jadi hening. Tidak seperti beberapa menit yang lalu dimana masih terdengar derai tawa renyah, ejekkan-ejekkan, ataupun celoteh manja gadis bawel yang duduk tepat di samping Alvin. Semua berubah jadi sepi, setelah pemuda berwajah oriental itu melontarkan sebuah pertanyaan.
Halaman rumah ini luas, sangat luas. Cukup untuk membangun satu studion olah raga, mungkin. Tapi karena terlalu lama kedua orang ini terdiam, dua pasang bola mata mereka sampai-sampai kehabisan objek untuk diperhatikan.
"Kok nggak dijawab?" tegur Alvin tanpa menoleh pada gadis yang duduk termangu disisi kirinya,
"Gimana kalau perjodohan itu betul-betul terjadi, lo bakal terima?" pemuda bermata sipit itu mengulangi pertanyaannya.
"Vin. Itu nggak mungkin." tukas Si Gadis dengan cepat.
"Nothing impossible. Gimana kalau seandainya it-"
"Gue nggak suka berandai-andai."
"Oke. Oke. Kalau gitu biar gue yang berandai-andai. Gimana kalau dugaan gue betul? Gimana kalau keluarga kita memang merencanakan sebuah perjodohan?"
Gadis itu tetap bungkam. Lebih memilih mengabaikan pertanyaan Alvin.
"Fuihh," Alvin menghela napas, "Bukan apa-apa. Tapi kalau lo punya niatan buat nolak, sebaiknya lo fikirin alasannya dari sekarang, sebelum dugaan gue benar-benar terjadi. Karena kalau dari gue sih, gue nggak akan pernah bisa nolak permintaan orang tua gue." tegas Alvin.
Si Gadis mengerutkan kening, ekor matanya melirik siluet tampan pemuda yang tengah asyik memaku pandangan kearah langit itu. Cerah, ya, malam yang sangat indah untuk ukuran kota Jakarta. Langit kotor Jakarta yang mungkin, bintang-bintang paling malas menyinggahinya, malam ini terlihat begitu cantik dihiasan kerlipan benda langit mungil itu.
"Gue anak tunggal, Vin," Gadis itu mulai bersuara, "Dari kecil, gue selalu jadi pelampiasan keinginan-keinginan orang tua gue, karena emang cuma gue yang mereka punya, terutama papa. Dari mulai negara tempat gue tinggal, sekolah gue, jurusan yang harus gue pilih, excul, les, bahkan mungkin cita-cita gue juga orang tua gue yang pilih. So, gue nggak akan ngerasa aneh, kalau pendamping hidup gue nanti juga orang pilihan, orang tua gue. Jadi... Ya... Kalau perjodohan itu betul-betul terjadi, sama kayak elo, gue juga nggak yakin bakal bisa nolak."
Alvin tersenyum tipis, "Lo jawab begitu, karena lo masih punya option kan? Keluarga gue punya 2 anak laki-laki. Tapi gimana kalau orangnya udah pasti? gimana kalau elo dijodohin sama gue, Put? Bukan sama... Pangeran lo."
Gadis tadi mendelik, heran. Sebegitu kentarakah perasaannya, hingga Alvin bisa dengan mudah menebaknya. Lalu, kenapa orang yang dimaksud Alvin, 'pangeran lo' itu malah sama sekali tak acuh. Kurangkah sinyal-sinyal yang telah ia berikan ?
Gadis tadi menatap tajam tepat di dua manik hitam milik Alvin. Dan disana, bayangan masa lalu itu seperti menemukan media untuk merefleksikan diri. Kenangan itu, hari dimana gadis tadi baru kembali menjejakkan kaki di Indonesia, setelah beberapa tahun menetap di negeri kincir angin, Belanda. Ia yang tidak begitu pandai berbahasa Indonesia, sering dikerjai dan jadi bulan-bulanan teman-temannya. Ia kerap menggunakan kata-kata kotor dan kasar kepada guru-guru, karena diajari demikian oleh teman-temannya. Ia yang sering di tertawakan saat tes pidato atau membaca puisi. Dan saat itulah, pemuda itu datang. Bermula dari kejadian kecil, yang tak akan pernah ia lupakan. Pemuda itu mengantarkannya pulang ke rumah, setelah seharian ia tersasar. Tidak tahu jalan dan angkutan umum apa yang mesti dinaikinya. Sejak saat itu, keduanya berteman. Dan sejak saat itu pula, gadis tadi jadi buta. Tidak lagi bisa melihat sosok lain yang lebih indah dan sempurna daripada pemudanya. Ia jadi tuli, tidak mau lagi mendengar suara merdu dari yang lain, selain suara pemudanya. Dan sialnya orang itu bukan Alvin, melainkan orang yang sangat dekat dengan pemuda tampan itu, saudara laki-lakinya. Ya, kedua telaga bening milik saudara laki-laki Alvin telah lebih dulu memagut pandangannya, hingga sampai detik ini, gadis tadi tak pernah bisa berpaling.
"Hei!!" jentikan jari Alvin, yang tepat di depan wajahnya membuat gadis manis itu terkesiap,
"Ditanya malah bengong." cibir Alvin.
"Ehm, gue...gue..."
"Nggak perlu di jawab, Put," Sela Alvin, "Aku udah tau jawabannya. Kadang mata itu bisa bercerita lebih banyak ya, dibanding mulut." Alvin mengacak poni Gadis di depannya.
PRAAANGG
Suara bola lampu yang pecah tertimpuk batu itu, membuat Alvin reflek menarik tubuh Gadis Manis itu, ke dalam rengkuhannya. Tanpa maksud tertentu, tanpa getaran istimewa, tanpa hasrat, tanpa rasa. Ya, itu hanya kejadian sederhana. Dimana seorang pemuda berniat melindungi seorang gadis agar tidak terkena serpihan kaca dari bola lampu yang pecah, tak jauh dari tempat mereka duduk berselonjor.
Tapi sepasang mata lain yang melihat adegan itu, mengartikan lain. Apa yang di tangkap oleh 2 telaga bening itu, membuat pemiliknya harus menggali dan memunguti lagi benih-benih asa yang bahkan baru saja ia semai. Ia tersenyum tipis, "Ify buat lo, Vin."
***
"Jadi sekarang itu rumahnya, Bi ?"
"Iya Tuan. Rumah yang lama, yang menyatu dengan toko florish itu sudah dijual untuk biaya masuk sekolah Shilla waktu baru mau masuk SMA."
"Astaga... Kenapa Lisha tidak pernah menghubungi saya soal ini?"
"Adik saya bukan orang yang suka merepotkan orang lain, Tuan."
"Apa separah itu? Apa aku terlihat seperti orang lain? Kasihan mereka."
"Tuan tidak perlu mengasihani Lisha ataupun Shilla. Keduanya, selalu terlihat bahagia selama ini, walaupun kehidupan mereka tidak seberuntung keluarga Tuan. Lisha tidak pernah mengeluhkan apa-apa."
"Ya. Ya. Aku tau. Lisha memang wanita yang sederhana dan menyenangkan."
"Shilla pun demikian. Gadis itu benar-benar cetak biru ibunya."
"Aku jadi tidak sabar untuk menemuinya. Ayo, kita jemput dia!"
"Tapi Tuan..... Apa benar, tidak apa-apa kalau Shilla diajak tinggal di Rumah Besar? Apa... Kehadiran Shilla yang tiba-tiba, tidak akan jadi masalah untuk keharmonisan keluarga Tuan?"
"Keharmonisan yang mana yang kamu maksud, Bi? Mama yang selalu membanding-bandingkan Gladys dengan almarhumah istriku, atau Rio yang tidak pernah bisa menerima kehadiran Gladys? Itu yang kamu bilang harmonis? Justru saya berharap, hadirnya Shilla bisa membawa keceriaan di Rumah Besar, seperti dulu."
"Tapi Tuan..."
"Sudahlah Bi, saya yakin Lisha juga pasti akan lebih senang melihat Shilla mendapat penghidupan yang layak."
Sudah sejak tadi mewah berwarmna hitam itu terparkir rapi di bawah sebuah pohon trembesi, tak jauh dari sebuah rumah yang salah satu penghuninya tengah jadi fokus pembicaraan seorang bapak berusia sekitar 40 tahunan, dengan seorang wanita paruh baya.
Pembicaraan singkat tadi, nampaknya berdampak cukup hebat. Hingga kedua orang tadi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memutuskan, apa yang harus mereka lakukan atau katakan selanjutnya. Tidak ada yang mengerti. Mungkin hanya malam dan segala ornamennya yang faham, bagaimana perih yang dirasakan dua orang ini setelah koreng lama itu, terkelupas kembali, dan dicucuri air cuka. Sakitnya, tak terbilang.
"Bi, kemana-"
"Ke warung sepertinya, Tuan. Beli air mineral." sahut Bibi bernama Arum itu, dengan cepat.
"Ya sudahlah, kita kesana duluan." laki-laki tadi mengarahkan dagunya pada sebuah rumah berdinding anyaman bambu, lantas berjalan pelan ke tempat itu. Bi Arum mengangguk pasrah, berjalan mengekor majikannya dengan langkah gontai. Dalam benaknya, kini berkecamuk kecemasan akan hidup keponakannya, kelak.
"Punten..." sapa Bi Arum dalam bahasa sunda yang fasih.
Seorang wanita berusia lebih muda darinya keluar dari dalam rumah, "Eh, Teteh. Mangga, mangga, kalebet." ujar wanita berdaster yang sibuk menggelung rambut panjangnya itu, "Hayu atuh, calik.
Kumaha damang, Teh?" wanita tadi mempersilahkan tamunya untuk duduk, dan menanyakan kabar kakak kandungnya yang telah lama menetap di Jakarta itu.
"Damang." balas bi Arum, "Mmh, begini, Teteh kemari ada perlu sama... Shilla. Shillanya ada?"
Wanita tadi yang adalah adik bungsu Bi Arum, langsung mengerti kenapa kakaknya menggunakan bahasa Indonesia. Ada orang kota rupanya.
"Oh, Shilla, ada, ada. Shillaaa. Neng, geura kadieu !!" (cepat kemari)
"Iya Bi, ada apa?" seorang gadis cantik berambut panjang, mengenakan rok bunga-bunga dan kaos putih lusuh muncul dari salah satu kamar di rumah itu.
"Shillaaa..." bi Arum segera memeluk keponakan yang sudah bertahun-tahun tak ditemuinya itu. Matanya berkaca-kaca, "Sudah sebesar ini sekarang kamu teh. Meuni geulis."
"Ah, nggak atuh Bi, Shilla mah biasa aja, masih kayak dulu. Bibi kapan datang dari Jakarta teh ? Kok nggak bilang-bilang, kalau mau kemari."
"Bibi juga baru sampai, Shil," jawab Bi Arum kalem, ia lalu membimbing Shilla agar duduk di dekatnya, "Mmh, begini Shilla. Bibi kemari sebetulnya mau mengajak kamu untuk tinggal bersama bibi, di Jakarta. Kamu tau kan setelah suami dan putra Bibi meninggal, bibi tinggal sendiri. Shilla mau kan tinggal bersama Bibi!"
Shilla tidak perlu berpikir 2 kali, ia tahu betul jawaban yang berpusar di otaknya. Ia tidak mungkin meninggalkan desa ini, "Maaf Bi, tapi Shilla nggak mau. Shilla lahir dan besar di desa ini dan lagi makam ibu juga ada disini. Shilla nggak mungkin pergi."
"Ya, Bibi tahu kamu pasti akan bicara seperti itu. Tapi Shilla, coba kamu fikirkan! Kalau kamu disini, bagaimana dengan sekolahmu, masa depanmu. Apalagi sekarang ibu kamu sudah tidak ada, apa kamu mau menambah beban Bi Asih ? Kalau di Jakarta kamu bisa melanjutkan sekolah, sayang kan kalau putus. Kamu sudah naik kelas 12 kan ?" desak Bi Arum, "Oh iya, kenalkan, ini Tuan-"
"Haling." sambar laki-laki tadi, memperkenalkan nama belakangnya.
"Shilla."
"Beliau majikan Bibi, Shil. Sekaligus sahabat, emmh..... Ayah dan Ibumu. Beliau yang akan menyekolahkanmu sampai perguruan tinggi. Kita juga akan tinggal di rumah beliau." papar Bi Arum.
"Tapi-"
"Shilla, saya yakin ibumu sudah mengajarkan bahwa menolak niat baik seseorang itu tidak sopan. Ibumu telah menyelamatkan nyawa putra saya. Sebelum saya membalas hutang budi, dia telah tiada. Jadi saya mohon izinkan saya membayar semuanya lewat kamu."
Bohong! Apa yang diberikan ibunda Shilla, sebetulnya adalah pertolongan yang tidak perlu, dan tentu saja tidak bisa dikategorikan menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi menurut Haling, untuk sementara biar hanya itu yang Shilla ketahui. Ia akan menunggu, sampai semuanya siap. Menunggu sampai tiba saat yang tepat, untuk menceritakan segalanya pada Shilla. Tanpa pernah disadarinya, sebelum saat yang tepat itu tiba, akan ada banyak hati yang terlukai lebih dulu, termasuk hati putra-putranya.
"Dan saya tau, kamu sangat menyukai bunga-bunga seperti Lisha. Kamu bisa merawat kebun milik almarhumah istri saya di Jakarta." sambung Haling.
Bi Arum mendelik heran, "Kamu juga bisa bantu-bantu pekerjaan Bibi, Shil." Tambahnya.
"Maksudnya... Aku disana sebagai, emh... Pembantu ?"
"Oh, bukan, bukan. Kamu akan saya anggap putri saya sendiri." Sambar Haling.
Shilla terdiam. Melihat kondisi ekonomi Bi Asih dan keluarganya, dengan lima orang anak. Rasanya tentu mustahil kalau tahun ajaran baru ini Shilla tetap bisa melanjutkan sekolahnya. Padahal impian terbesar Shilla adalah sekolah tinggi dan jadi dokter spesialis jantung. Agar kelak tidak ada lagi, orang-orang yang menderita seperti ibunya. Agar tidak ada lagi, gadis-gadis belia yang harus kehilangan ibu mereka.
"Bi Asih, apa Shilla boleh ikut ke Ja-"
"Silakan Shil,” Sambar Bi Asih, “Bibi rasa, tinggal bareng Si Teteh bakal lebih menjamin masa depan kamu." sahut Bi Asih, seraya tersenyum lembut.
"Kalau gitu..... Shilla mau ikut, Bi."
***
Pemuda itu masih asyik menatap langit malam. Setelah beberapa tahun, ia baru melihat lagi taburan bintang sebanyak malam ini.
"Di Jakarta, mana ada yang kayak begini." batinnya, mencela.
Kota itu benar-benar payah menurutnya. Hanya berisi polutan dan limbah. Bahkan bulan dan bintang harus berusaha lebih keras, agar pesonanya dalam terlihat, mengiasi langit-langit kota Jakarta. Pemuda tadi menyandarkan tubuhnya, pada badan mobilnya. Mengedarkan pandangannya dengan sorot penuh kerinduan. Desa ini, ah... Sudah banyak berubah rupanya. Jalan-jalannya sudah diaspal. Obor-obor yang dulu, sudah di ganti lampu-lampu neon. Cihideung memang sudah di resmikan sebagai salah satu ikon pariwisata oleh pemerintah daerah setempat. Kota yang mayoritas di huni keluarga penjual bunga hias itu sudah cukup maju. Tapi tetap saja, alunan musik dangdut dengan suara khas dari gendangnya yang ditabuh rancak, masih terdengar dari rumah-rumah penduduk. Ia juga masih yakin, begitu ia berjalan lurus masih akan ditemui pertigaan yang kalau berbelok ke kiri akan di jumpai sebuah saung di bawah pohon randu yang rindang. Dan kalau ambil jalan ke kanan akan dilihatnya air terjun tiga tingkat, tempat bermain favouritenya dulu.
Pemuda itu terus meneliti, matanya kemudian menangkap kerumunan bapak-bapak bersarung yang tengah larut dalam senda gurau ditemani secangkir kopi hitam plus potongan-potongan singkong goreng. Lalu terlihat pemudi karang taruna yang melewatinya, dan berbisik-bisik sambil melirik malu-malu kearahnya. Pemuda tadi tersenyum tipis, "Emang ya, pesona gue nggak di kota, nggak di desa, tetap nggak bisa di tolak." ujarnya, percaya diri.
"Mau pada bantu acara hajatan kali ya, mereka ?" gumamnya, dalam hati. Karena lamat-lamat terdengar suara degung yang seingatnya dulu, hanya akan terdengar kalau jurLana kampung tengah menggelar hajatan.
Ia tersenyum sendiri. Desa ini manis, seperti mama dan bunga-bunga kesayangannya. Manis, seperti masa kecilnya. Manis, seperti... seperti... Gadis di depannya.
"Nah, kenalkan ini putra, Om."
Suara berat itu membuat pemuda tadi terkesiap. Astaga, sejak kapan Papanya berdiri disini ??
"Shilla." Gadis cantik itu, mengulurkan tangannya.
"Rio."
***
0 komentar:
Posting Komentar