***
"IEL,VIA" sentak seorang pria.
Bagai disengat ribuan watt listrik, iel dan via terperejat. Reflek via menarik tubuhnya dari pelukan iel, bersamaan keduanya menoleh ke arah suara yang tadi menyentakkan nama mereka.
"RI..RIO.." ujar iel gugup, sedangkan via hanya menunduk dalam sambil memainkan ujung bajunya.
Rio tersenyum, aneh.
Senyum terpaksa tepatnya.
"mmh, aku, aku ke..ke kamar dulu ya. Malem." pamit via.
"buru-buru amat vi. Santai aja kali."
tidak perlu ilmu menerka suara untuk mengartikan nada bicara rio barusan, nada mencela, sangat mencela.
"kayaknya lo udah baikan ya vi. Alvin pasti seneng." sindir rio.
Via masih diam, menunduk, rambut panjangnya bagai tirai yang kini menyembunyikan wajahnya.
Mendengar nama alvin, hatinya ikut berorasi, memprotes pengkhianatan yang via lakukan terhadap pria itu.
"nih, buku catetan dari ify. Biar lo gak ketinggalan pelajaran katanya." rio mengangsurkan sebuah buku bersampul coklat bertulis biologi di sudut kanan atasnya.
"mmh, iya thanks yo." tanpa bicara banyak via segera pergi, karena hal yang paling ingin via lakukan saat itu adalah menghindari tatapan rio yang seakan terus menyudutkannya.
Rio kini mengalihkan pandangannya pada iel, tepat setelah bayangan via hilang diujung koridor yang menikung. Rio menatap tajam manik mata milik pria di hadapannya itu.
"jangan mandangin gw kayak gitu dong, Yo. Kalo ada yang liat kan gak enak. Lo sih aman udah punya cewek." ujar iel risih.
"mau lo apa sih, yel?" tanya rio ketus.
Jujur saja rio bingung harus bersikap bagaimana pada sahabatnya ini. Iel salah, sangat salah. Tapi apa tega rio menjudge iel?
"gw sih mau umur panjang Yo. Tapi kayaknya permintaan gw itu ditolak mentah-mentah sama tuhan." jawab iel enteng.
"kalo gak inget keadaan lo, udah gw bikin bonyok lo, Yel." tegas rio.
Iel mendelik, "trus kenapa gak lo lakuin? Karena gw penyakitan, IYA YO? LO KASIAN SAMA GW" bentak iel, jelas iel tidak suka ucapan rio sebelumnya.
"gw..."
"simpen aja rasa kasian lo buat orang lain yo, gw gak butuh."
"maksud gw bukan gitu Maaf kalo lo tersinggung. Mmh..semuanya udah terlambat Yel. Yang udah lo lepas gak mungkin lo tarik buat lo miliki lagi kan?"
"berapa kali mesti gw bilang sih Yo. Gw tau, dan gw juga gak akan sejahat itu kok."
"trus apa yang gw liat tadi? Lo sadar gak sih, gimana kalo alvin liat. Bukan hubungan via sama alvin aja yang bakal hancur, tapi hubungan lo berdua juga bakal kacau." rio berusaha mengingatkan, memilah kata yang tepat agar tidak lagi menyinggung iel.
"gw tau yo, gw tau. Tapi gak segampang itu, apalagi setelah gw tau via punya perasaan yang sama sama gw."
rio terhenyak, ia menoleh memandang siluet wajah iel dari samping, dengan ekspresi galau tingkat akhir seperti itu, rio yakin iel tidak sedang bercanda.
"fuuh" rio menghembuskan nafasnya, kasar.
Rasanya hidupnya akan terasa lebih mudah tanpa mengetahui semua ini.
"trus sekarang gimana? Apa lo mau rebut via dari alvin?"
"gw gak tau."
SIAL. Rutuk iel. Lidahnya berkhianat. Kata-kata yang seharusnya keluar adalah 'nggak' bukan 'nggak tau'. Apa-apaan sih, mengapa disaat seperti ini lidahnya malah tidak kompak dengannya.
"kalo gitu sorry aja yel. Tapi apapun alasen lo. Gw ada di pihak alvin kalo lo sampe rebut via dari dia. Kalo lo mau sadar yel, orang yang paling tulus itu bukan elo, orang yang nantinya paling sakit juga bukan elo. Lo liat alvin, dia kasih semua cintanya buat via, tapi vianya?? Apa menurut lo ini adil?"
"oke,oke. Gw ngerti." jawab iel singkat.
"bagus. Kalo gitu berhenti ngeliatin via dengan tatapan penuh cinta kayak tadi." ujur rio dingin, lalu melenggang pergi.
Iel terdiam. Benarkah?
Apa sekarang matanya juga mulai tidak bisa diajak berkomplot?
Iel segera berlalu kecil, menyusul rio yang berjalan santai melewati petak-petak asoka juga kolam ikan mini ditaman itu.
"emang keliatan banget ya yo?" tanya iel, setelah berhasil menyusul rio.
"kalo aja tadi via gak sibuk nangis, dia pasti bisa langsung tau sedalam apa lo sayang sama dia, cuma dengan liat mata lo. Makanya kalo mau kontrol mata, belajar sama gw." rio merekomendasikan diri pada iel, Sebagai guru privat mata.
"preet. Alah sok banget lo. Lo gak nyadar apa kalo lo liatin ify kayak gimana?" cibir iel.
"biasa aja." jawab rio cool.
"huuu, gw kasih tau ya, elo kalo liatin ify kayak gini nih..."
iel mulai mengubah ekspresi wajahnya. Pasang tampang mupeng, mulut nganga, sambil matanya merem melek.
"idih, gw gak sejelek itu kali." rio mendorong muka menggelikan iel itu dengan kelima jari tangannya.
"ye gak percaya, malah kadang lebih parah."
"itu mah tampangnya cakka kalo liat cewek cakep." bantah rio.
"mmh, Yo. Lo gak akan bilangin kejadian tadi kan sama alvin?" tanya Iel ragu.
"yaaa anggap aja, lo dapet kesempatan ke dua dari gw. Dan gw mohon yel, jangan bikin gw mesti nutupin lebih banyak lagi dari ini. Gw udah ngerasa berdosa banget, gak ngasih tau kondisi lo sama orang-orang yang padahal lebih berhak buat tau."
"maaf ya Yo. Gw nyusahin lo."
rio mengangguk.
"ya udah buruan lo balik, udah malem masih aja kelayapan lo."
"ini juga gw mau pulang. Lo sih ngajakin ngobrol mulu." iel lalu melengos pergi, memasukkan kedua tangan pada saku jaketnya dan berjalan ke arah sedan merah miliknya.
Rio menandangi sahabatnya itu, lalu mengantarkan mobil iel yang mulai melaju dengan lengkungan senyum.
"gw selalu berharap lo sembuh Yel. Selalu." bisik rio, mungkin pada angin malam yang mulai menggelitik kulitnya.
Kebahagian terbesar dalam hidup adalah saat kamu menemukan sahabat-sahabat yang ikhlas meminjamkan bahunya untukmu menangis, dan tidak pernah dendam saat kamu lupa membagi tawamu dengannya.
***
semenjak rio meminta ify menjadi 'pacarnya' fans rio memang tidak berkurang, tapi paling tidak gadis-gadis yang semula berniat mendekati rio, banyak yang mundur perlahan.
Rio-Ify, ya, mungkin keduanya kini telah menjadi best couplenya SMA Citra Bangsa. Sandiwara yang dimainkan rio dan ify bisa dibilang sangaaaattt sempurna.
Ntah karena bakat acting bagus yang dimiliki keduanya, atau karena mereka melakukannya dengan hati??
Hm. Cinta.
Ya hanya sebuah sinyal sederhana yang sangat sulit terdeteksi karena getaran-getarannya kadang merayap begitu pelan. Jadi wajar kan kalau ify ataupun rio tidak menyadari bunga-bunga merah jambu yang mulai disemai dihati mereka?
Seperti biasa, rio dan ify saat ini lagi-lagi tengah membuat puluhan pasang mata terbelalak iri. Keduanya tengah duduk berasal rumput dibawah sebatang pohon dengan rimbunan daun yang bersedia melindungi kulit dari amukan matahari.
Pohon trembesi di tepi lapangan basket ini menang menjadi favorit sebagian siswa. Selaing daunnya yang rindang, angin juga sepertinya lebih senang berpusar mengelilingi pohon tua ini, membuat sekitarnya terasa lebih sejuk. Siang ini ify meminta rio mengajarinya fisika, untuk ulangan lusa.
"ikh, gemes tau gak gw sama lo. Belet banget sih, fy?" rio mencubit ke dua pipi ify hingga pemiliknya meringis kesakitan.
"aargh, rioo. Lo apaan sih, sakit tau." Ify mengelus pipi malangnya.
"pokoknya ya, Fy. Kalo elo kagak dapet 90 besok, gw ambil lagi tu boneka spongebobnya." ancam rio.
"yaelah Rio. Fisika tu pelajaran angker, gurunya apalagi, lo gak liat tu kutil di idungnya aja udah horror banget. Gw dapet 70 aja udah keajaiban tau." jelas ify sambil mulai membereskan buku-buka pelajarannya dan memasukkannya dalam tas.
"kalo cuma 70 mah sia-sia dong gw ajarin." cibir rio.
"huh, sebenernya kalo elo yang ngajarin, gw bukan belajar Yo, malah sport jantung." batin ify.
"ekh Fy. Rambut gw udah kepanjangan ya?" tanya rio sambil membenahi rambut hitamnya.
"mmhh" Ify nampak berfikir sambil mengetuk-ngetukkan bolpoint hitamnya ke dagu, "gak kepanjangan sih Yo. Tapi modelnya aneh." lanjut Ify.
"lha aneh? Masa sih, ini model yang kayak biasa kok."
"sini deh gw betulin biar tambah keren." tawar Ify sambil tersenyum jahil, rio menurut saja.
Ify mulai mengacak-ngacak rambut rio, membaginya menjadi 2 dengan belah tengah, rambut rio yang tadinya berdiri dibikin klimis rata. Setelah selesai dengan rambut, Ify menarik dasi rio lebih ketat sampai ujung kerahnya.
"nah ini baru keren. Lo tinggal pake kacamata, trus celana lo naikin dah sampe dada. Sip kan. Hhahaha." Ify Tertawa puas mengamati hasil karyanya.
"iipoot, ikh, rese lo. Ini sih cupu abis." protes rio.
"aaaaah, udah, udah. Jangan di acak-acak, udah bagus." Ify memegangi kedua tangan Rio, menahannya agar tidak merapikan rambutnya.
"bagus nenek lo sexy. Lo mengurangi kadar kegantengan gw aja sih, Fy. Malu tau, noh diliatin cewek-cewek." rio menunjuk beberapa gadis yang tengah cekikikan, dengan dagunya.
"rio lagi coba style rambut baru." Ify menjelaskan kepada 4 orang siswi yang tengah lewat sambil tertawa geli.
"IPOOTT, LEPAS." rio memberontak, Ify menyerah, selain karena tenaga yang memang tidak sebanding, juga nampaknya Ify sudah sangat puas menertawakan Rio.
Rio segera membetulkan model rambutnya, membiarkan helaian hitam itu jatuh secara ajak membingkai wajah manisnya. Ia lalu berdiri melepas dasi dan mengeluarkan kemeja putihnya, yang sejak tadi memang sudah meronta meminta dikeluarkan.
"nah ini baru, Rio's style." ujarnya bangga sambil menaik turunkan alis matanya.
Ify tersenyum, rasanya tidak perlu disangkal bahwa pria di hadapannya ini, adalah wujud nyata pangeran-pangeran di negeri dongeng.
Posturnya yang tinggi tegap, pundak yang terkesan kokoh.
tatapan yang bisa melumerkan hati setiap gadis, garis hidung yang melengkung sempurna, senyum yang indah, semua berpadu menjadi komposisi sempurna, penyusun wajah tampan yang di gandrungi banyak gadis itu.
"woii, Fy. Ifyy." rio mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah Ify, yang masih asik memandangi Rio.
"hai cantik." sapaan debo barusanlah yang berhasil membuyarkan keterkaguman Ify pada makhluk ciptaan Tuhan didepannya, Rio.
"dipanggil tu, Yo." seru Ify, tak acuh.
"lha kok rio sih? Ya elo lah fy. Hai ify cantik." debo mengulang sapaannya.
"oh gw. Mmmh, hai juga orang. . . .jelek. Wlek." balas Ify ketus, lalu memeletkan lidahnya.
Ia segera menarik rio pergi dari tempat itu. Meninggalkan debo yang masih bertahan memandanginya lengkap dengan senyum ramah.
"tumben lo Fy. Jutek sama anak baru." tegur Rio, ketika mobilnya mulai bergerak pelan meningglkan Komplek sekolah elite, Citra Bangsa.
"males gw. Apaan tuh, murid baru begitu, sok deket, sok ramah."
"emang debo ramah deh kayaknya. Kebukti temennya aja langsung banyak kan."
"bodo. Intinya gw males sama. . . .siapa tu tadi namanya?"
"debo, Fy."
"nah iya itu."
"awas Fy. Ntar males-males, lama-lama suka lho. Debo kan ganteng." goda Rio.
Ify tidak membalas, melihat ekspresi cengengesan Rio, Ify malah sebel sendiri.
"emang Rio gak jealous apa, kalo gw suka sama anak baru itu? Huh Ify, lo tu ngarep aja sih." dumel ify dalam hati.
Kau takkan pernah sadari
betapa ku mencintaimu
kau yang selalu aku banggakan
kau takkan pernah mengerti
betapa ku menyayangimu
kau yang selalu aku inginkan
suara merdu Ryan d'masiv mengalun dari radio yang di stel Ify. Lagu itu benar-benar cocok untuk dijadikan soundtrak hidupnya.
Ify kembali melirik rio dengan sudut matanya, bukankah sangat mudah untuk menyukai pria ini?
Tapi itu tabu untuk Ify. Ia dilarang keras menyukai Rio. Berulang kali Ify menyangkal hatinya, membuat perjanjian yang tak boleh terlanggar tapi hatinya menolak, dan rasa itu muncul.
Jantungnya yang mulai berdegup tidak normal saat didekat rio, pipinya yang selalu memerah saat rio melayangkan sebuah pujian, matanya yang tak mau berpaling dari sosok Rio. Ah, semua terlalu pasti untuk disangkal. Dan andai boleh ber-ego sedikit saja, Ify berharap Rio juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
"emmh, Yo. Kayaknya elo harus ke dokter deh." Ify mulai bersuara, tidak ingin larut dalam diam yang akan semakin menyesatkannya dalam lamunan-lamunan konyol.
"akhir-akhir ini, gw liat lo sering pucet. Siapa tau lo kena penyakit serius, kayak kanker rahim atau AIDS gitu misalnya." lanjut Ify, asal.
"woo, ngaco lo. Emang gw cowok apakah?" gerutu Rio.
"hhehehe, kali aja gitu." Ify terkekeh.
"paling gw capek doang." jawab Rio, mobil yang dikemudikannya mulai melambat lalu berhenti tepat didepan gerbang rumah Ify.
"ekh, Yo. Lo pulang aja deh. Gw udah baikan kok. Bibi juga udah pulang."
"serius gak pa-pa gw tinggal?"
"iya,gak pa-pa"
"ya udah, gw balik ya." Rio mengusap lembut puncak kepala ify, sambil tersenyum.
Ah, senyum itu lagi. Sepertinya setelah sandiwara ini usai, Ify harus memeriksakan jantungnya ke dokter. karena sering berdegup diatas normal bila melihat senyum itu.
"nona alyssa, sudah puas memandangi saya seperti itu? Kapan nona mau turun dari mobil saya." tegur Rio gemas, saat melihat Ify masing terbengong-bengong memandanginya.
"hhehe, iya gw turun. Bye Rio. Hati-hati ya." Ify melambaikan tangan kanannya, setelah keluar dari mobil Rio.
"oke. Kalo ada apa-apa telepon gw." pesan rio sebelum mobilnya meluncur meninggalkan rumah Ify.
Ify tersenyum, ya. . . .apapun yang terjadi sekarang ini, rasanya Ify hanya perlu bersyukur, karena Tuhan memberinya kesempatan untuk mengenal Rio. Tidak perlu berharap lebih banyak, karena Ia tau kecewa itu bukan sesuatu yang meng-enakkan tentunya.
***
Pemuda ini masih betah terpaku ditempatnya, menatap kearah lapangan basket yang masih ramai di gunakan ekstrakulikuler tim basket putri. Matanya tetap fokus membidik satu objek, huh. . .gadis itu benar-benar membuatnya kacau akhir-akhir ini.
Fuuihh. . .
Ntah sudah untuk keberapa kali ia menghembuskan nafas-nafas beratnya seperti tadi. Seakan berharap seluruh beban yang ditanggungnya bisa ikut terbuang bersama hembusan nafasnya, atau paling tidak rasa sesak di hatinya bisa berkurang sedikit.
"kenapa sih gw? Ayolah, gw bisa dapetin yang lebih dari dia." tegasnya pada diri sendiri.
Ya. Bukan sombong, ia memang benar dengan satu senyum saja, pasti akan banyak gadis yang dengan senang hati mengganti posisi 'gadis berkuncir kuda' didepan sana.
"aaaarghh" pemuda tadi mengacak rambutnya, geram.
"weist nyante kka. Kutu lo pada loncat noh, semangat bener ngacak rambutnya." goda alvin, pada pemuda tadi. Cakka.
Cakka menoleh sekilas pada alvin yang kini mengambil posisi duduk disisinya.
"masalah lo sama Agni, kayaknya belum kelar ya?"
"gimana mau kelar kalo Agninya ngehindar mulu. Lo liat aja, dia tadi malah tukeran tempat duduk sama Oik."
"emang masalah lo berdua apaan sih?"
cakka menggeleng.
"gak tau lah Vin, apa Agni udah tau soal taruhan itu ya??"
"kalo Agni udah tau, lo pasti udah di putusin plus di hadiahi bogemannya sekarang."
"trus kenapa dong?"
Alvin mengangkat bahunya, "ekh gw ada ide. Nih, pake.." Alvin menyodorkan gitar yang sejak tadi di pangkunya, kepada Cakka.
"gitar, buat apaan?"
"maen bulu tangkis." jawab alvin ketus, "ya, buat nyanyi dong ganteng, jadi gini elo. . .." alvin mulai menuturkan rencananya, Cakka hanya manggum-manggut, faham.
"lo yakin sukses?"
Alvin malah nyengir, dan menggaruk kepalanya, "kalo urusan kayak gini sih, Iel lebih jago. Tapi ya dicoba dulu deh. Udah sono."
Cakka segera berdiri, setelah menerima dorongan halus di pundaknya. Sedetik kemudian semua mata langsung memandang padanya, yang melangkah pasti sambil memetik gitar.
Apa yang harus aku lakukan
untuk membuat kau mencintaiku
ini lah aku
yang memilih kau untukku
apa yang harus aku tunjukkan
untuk membuat kau menyayangiku
segala upaya
telah ku lakukan untukmu
karena aku mencintaimu
dan hatiku hanya untukkmu
tak akan menyerah
dan takkan berhenti
mencintaimu
ku berjuang dalam hidupku
untuk slalu memilikimu
tak akan menyerah
dan takkan berhenti
mencintaimu
apa yang harus aku lakukan???
Cakka menatap Agni dalam-dalam, tapi gadis itu tak menggubris, tetep sibuk dengan bola basket di tangannya. Baru setelah namanya disebut Agni menoleh.
"Agni?"
tidak kah gadis ini menghargai sedikit saja usaha Cakka?
Seorang Cakka Kawekas Nuraga rela menjadi tontonan para siswa demi Agni,tapi yang ia dapat hanya tatapan malas dari kedua bola mata gadis itu.
"lo kenapa sih, Ag?" tanya Cakka halus.
Kini Agni memilih menunduk, menatap ujung-ujung sepatunya yang mulai di hinggapi debu, karena ia tau betul kelenjar air matanya tengah semangat memproduksi air mata yang siap meluncur bebas bila Agni mengadukan pandangannya, dengan tatapan memohon Cakka. Matanya menangkap beberapa ekor semut hitam yang seperti sedang menjulurkan lidah, mengejeknya, 'Agni lemah, Agni lemah.' walaupun sebenarnya itu tentu saja tidak mungkin dan terlalu berlebihan.
"Agni, lo kenapa?" Cakka mengulang pertanyaannya yang tak kunjung memperoleh jawaban.
"gw...gw gak pa-pa, kka." tanpa diberi tahupun agni sudah bisa menebak suaranya pasti terdengar sangat aneh, kali ini.
"kalo gak pa-pa, kenapa lo jauhin gw, kenapa lo pindah tempat duduk, kenapa lo bohong sama gw, soal ke jogja kemaren. Ayolah Ag, kenapa? Gw ada salah?"
kenapa? Bahkan Agni sendiri tidak tau jawaban untuk pertanyaan Cakka. Apa sebenarnya alasannya menjauhi Cakka. Apa mungkin Agni jujur pada Cakka kalau ini semua karena kata-kata Riko tempo hari?
"elo gak salah apa-apa,kka. Gw cuma lagi butuh sendiri."
"kenapa harus sendiri, lo kan punya gw. Kenapa gak lo bagi semua masalah lo sama gw?"
"lo tu sadar gak sih kka, lo udah bikin gw lemah. Gw gak mau bergantung sama lo, karena nanti kalau lo ninggalin gw, bakal sulit buat gw move on."
"gw gak ngerti."
"ya, ada banyak hal yang belum kita mengerti bahkan tentang diri kita sendiri. Dan ada baiknya, kita break kka, sampai kita betul-betul ngerti, apa yang baik buat kita." tutur Agni, sudah puluhan bahkan ratusan kali mungkin, Agni memikirkan hal ini. Jadi tidak heran bila ia begitu lancar, mengucapkan kalimat yang membuat Cakka shock, itu.
"tapi. . ."
"maaf kka, ini keputusan gw." timpal Agni singkat, lalu pergi. Tanpa menolei lagi kebelakang, kearah cakka, sekalipun.
Dan Taraaaa...
Ini akhirnya? Betul kah?
Miris. Tentu.
Dengan menahan malu Cakka rela menjadi tontonan di lapangan, bernyanyi bahkan memohon agar Agni tidak menjauhinya, tapi apa balasannya, gadis itu kini malah bukan hanya menjauhinya, tapi pergi, pergi dari Cakka.
Ya, seperti adegan-adegan disinetron, perpisahan Agni dan Cakka diiringi rinai hujan. Mendung yang sejak tadi menggantung di langit, kini mulai menurunkan rintik-rintik air yang melengkapi kepedihan yang Cakka rasakan.
"cuma break Cakka, cuma break, semua bakal segera baik-baik aja." cakka mencoba mengumpulkam kembali kepingan-keping hatinya, coba merekatkannya kembali dengan lambungan harapan bahwa semua akan segera baik-baik saja.
***
Matahari sudah terbit sempurna. Tapi Ify masih saja sibuk dengan tali sepatunya.
"duh, pake telat lagi." gerutunya.
Setelah selesai dengan sepatunya, Ify segera berlari dari rumah sampai ke depan komplek perumahannya, sudah tidak ada lagi anak-anak berseragam ataupun karyawan-karyawan yang biasa begitu setia menunggu angkutan umum disini. Supir ify sedang absen hari ini. Ify menyeka keringat didahinya, lalu mengibas-ngibaskan tangan kanannya disekitar wajah.
"gila pagi-pagi gw udah maraton, mana tu angkot gak nongol-nongol." Ify lagi-lagi menggerutu sebal.
TINTIINN
avanza silver itu berhenti tepat di depan Ify. Pengemudinya, menurunkan setengah kaca mobilnya dan tersenyum. Ify melengos.
"pagi Ify, kesiangan ya, bareng gw aja yuk." tawar orang dalam mobil.
"gak deh, makasih."
"dari pada telat."
"aduh elo tu maksa banget sih."
"siapa yang maksa, kalo gak mau ya sudahlah."
Ify nampak berfikir, kalau sudah jam segini pasti sangat sulit menemukan angkot atau kendaraan umum lain yang ke arah sekolah Ify.
"mmh, oke deh. Gw ikut, tapi sekali ini aja."
Ify pun menaiki mobil itu, lengkap dengan wajah yang dibuat seBT-BTnya.
"yaelah, lo telat sampe lupa setrika muka, kusut amat. Ekh pangeran lo gak jemput ya?"
"denger ya, mmmh, siapa nama lo?"
"debo."
"iya itu. Dengernya debo, muka juga muka gw, jadi gak usah pake komen-komen segala deh." balas Ify, jutek.
"emang Rio gak malu kalo ceweknya mukanya lecek. Setau gw ceweknya Rio cantik-cantik deh." ledek debo.
Ify membalas ejekan debo tadi dengan tatapan sinis tanda tidak suka.
"tau apa sih lo tentang Rio?" balas Ify, sewot.
"hhe, nyantai aja kali Fy. Gak usah sewot gitu. Ekh, si Rio kemana, lo gak di jemput?"
"sakit."
"ohh, shock ya dia?"
"shock? Shock kenapa?"
"ya, shock aja gitu. Karena ada gw."
"apa urusannya mesti shock timbang ada elo."
"mmh, apa ya? Ya mungkin dia shock karena ada cowok yang lebih ganteng dari dia." ujar debo, PD.
"idih, punya kaca gak lo?"
"ya ampun, perhatian banget sih lo sama gw. Sampe kaca aja ditanyain, gw punya kok, gede-gede malah, dirumah."
"terus pernah ngaca gak lo?"
"nggak, soalnya, mau dikacain berapa kali juga tetep aja gw ganteng, senyum gw manis." ujar Debo, santai.
"ya ampun, dasar penderita narsis akut." batin ify jengkel.
"ekh, Fy. Kira-kira kapan ya gw direkrut jadi personil d'orions" tanya Debo, dengan pandangan tetap fokus pada jalanan.
"WHAT? Lo mau jadi personil d'orions. Ckckck, gw prihatin sama lo, sabar ya. Pasti lo terobsesi pengen kayak iel dan kawan-kawan ya??" Ify memasang mimik prihatin sambil menepuk-nepuk pundak Debo.
"sabar kenapa? Lo liat aja, bentar lagi pasti gw direkrut jadi personil d'orions." ujar Debo, yakin.
"yakin lo?" tanya Ify, mencela.
Ify memandangi Debo yang tengah mengemudi dari atas sampai bawah, "manis sih" pikirnya jujur.
Tapi dengan cepat ditepisnya pikiran itu dengan menggelengkan kepalanya.
"huu, lo jangan ngerendahin gw gitu dong, ntar kena pesona gw, trus suka sama gw tau rasa lo." rutuk Debo, terdengar menyumpahi.
"gw? Suka sama elo? Ada juga elo kali yang suka sama gw."
"emang." jawab Debo enteng, Ify mendelik mengangkat kedua alis matanya.
"tapi tenang aja, gw masih mau kok ngasih lo kesempatan buat mutusin Rio." lanjut Debo, senyum jahil terpeta diwajah bersihnya.
Debo melirik Ify sekilas, lalu mengedipkan sebelah matanya yang dibalas Ify dengan juluran lidah.
Sesudahnya Ify hanya mengelus dada, dan membuang pandangannya pada jalan di depan sana, yang mmh. . ..sepertinya terlihat asing untuk Ify.
"lho, lho, ini mau kemana? Ini bukan jalan ke sekolah, tau." tegur Ify mengingatkan.
"ya, bolos sekali-kali gak pa-pa kali Fy. Elo mendapat penghormatan buat nemenin gw, muter-muter Bandung. Gw kan baru disini."
"ikh, gak mau. Ogah gw. Gw mau ke sekolah titik."
"lo gak liat jam tuh. Udah jam 8, mending juga bolos sekalian."
"elo sih bawa mobil udah kayak kura-kura pincang, lama banget. Udah ayok cepet puter balik, kita kesekolah."
"kita? Gw sih mau bolos. Kalo lo mau kesekolah, sono sendiri, gw turunin lo disini." Debo mulai menghentikan laju mobilnya.
Ify mengamati sekelilingnya Ia benar-benar tidak tau berada dimana ia sekarang. Deretan pohon pinus berbaris disebelah kanan jalan, sedangkan lapak-lapak pedagang tape dan krupuk berjejer rapi disisi kirinya. Huh, bener-bener gak lucu kalau Ify sampai kesasar di tanah kelahirannya.
Dan untuk kedua kalinya, sepertinya keadaan memaksa Ify untuk ikut bersama cowok yang sudah mendapat award dari Ify sebagai cowok terrese ini.
Ify menghembuskan nafas panjang, lalu menyenderkan tubuhnya dengan kasar kebelakang tempat duduk.
"gak jadi turun." Debo bertanya dengan tatapan penuh kemenangan yang jelas berbinar dimatanya.
Ify tidak menjawab, hanya melipat tangan didada, lalu membuang pandangannya, kekiri.
Debo tersenyum, ia sudah memperoleh jawaban dari pertanyaannya, walaupun tidak terucap langsung dari bibir tipis, gadis disampingnya. Debo kembali menginjak gas, membiarkan roda-roda mobilnya bergulir menyusuri jalan beraspal dibawahnya.
"nah, udah nyampe. Turun yuk." ajak Debo, saat mobilnya terparkir disisi jalan setelah melewati sebuah jembatan kayu yang cukup kokoh, untuk menghubungkan dua tepi daratan yang dipisahkan aliran sungai.
Ify akhirnya turun dengan hati yang benar-benar berat yang seberat-beratnya (?). Tapi sejurus kemudian ia menarik kedua sudut bibirnya, membentuk sebuah lengkungan manis.
"sumpah, tempatnya bagus banget." pujinya dalam hati.
Tempat ini memang sangat indah, tidak kalah dengan tebing datar penuh edelweiss khas Iel. Barisan pohon pinus, pohon cemara yang melambaikan pucuk-pucuknya dan pohon-pohon berbatang kokoh lain, bersatu membentuk hutan kecil yang cukup asri, ditambah jalan-jalan setapak berbatu hitam yang kini tengah dilalui Ify dan Debo, serta gemericik air dari aliran sungai yang tak jauh dari situ, hmm. . . .tempat ini bisa dibilang salah satu taman surga yang ditempatkan dibumi.
Sejauh mata memandang, hanya ada cerahnya warna hijau dedaunan yang berkilau diterpa terik mentari. Ify berkali-kali menarik nafas dalam-dalam membiarkan bau lumut dan tanah yang khas menyapa indera penciumnya.
"keren kan tempatnya? Udah pernah ke tempat kayak gini belum, lo sama Rio?" tanya Debo.
"ya. . .ya. ..ud..udah dong pastinya." jawab Ify berbohong.
Mereka memang belum perna pergi ketempat-tempat romantis berdua, tapi Ify tau diri. Tentu saja Rio tidak akan mengajaknya kencan berdua, mengingat Ify hanya pacar bohongannya.
"oh" tanggap Debo, singkat.
"ekh, Fy. Naik itu yuk." Debo menunjuk perahu-perahu yang menepi disisian mulut danau yang ada didepan Debo dan Ify saat ini.
"ini tempat apa sih? Hutan lindung?" tanya Ify.
"ini tempat wisata kok. Gw tau tempat ini dari temen gw yang suka hunting foto. Masa lo orang bandungnya sendiri gak tau sih?" jawab debo, "ekh ayok naik itu." lanjutnya.
"akh gak akh, ngeri gw."
"yaelah, kalo jatuh juga tinggal renang kan?"
"masalahnya gw gak bisa renang. Kalo lo mau naik, ya sono. Gw tunggu sini."
"akh udah ayo ikut aja, tenang aja ada gw kok." tanpa meminta izin pada pemiliknya, Debo meraih tangan Ify. Menuntunnya menuju perahu yang akan disewa.
Perahu itu dikemudikan langsung oleh pemiliknya, biasanya satu perahu bisa digunakan 6-8 orang, tapi berhubung bukan hari libur dan masih jam 9 pagi pengunjung masih sepi. Jadi perahu berwana putih-hijau itu hanya dinaiki Ify dan Debo.
"foto Fy." seru Debo sambil mengarahkan kamerga HPnya pada Ify. Ify langsung memeletkan lidahnya dan mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.
"lagi-lagi." ujar Debo.
Kini pose Ify tengah mengulum senyum manis dengan rambut melayang indah diterpa angin, terabadikan dalam ponsel Debo.
"berdua dong, masa gw sendiri mulu sih?" protes Ify.
Sampai perahu kembali ketitik awal, setelah berputar mengeliling danau alami yang terdapat ditengah hutan kecil itu, Ify dan Debo masih asik berfoto. Nampaknya alunan riak tenang pada air danau yang kehijauan menghipnotis keduanya, membuat mereka nyaman lama-lama berpose didepan kamera.
"yah udahan." keluh Ify.
"huu, tadi aja gak mau diajak naik." cibir Debo, ia lalu mengulurkan tangannya, yang disambut uluran tangan Ify plus senyum manisnya.
"trimakasih, semoga langgeng ya hubungannya." Ujar bapak pemilik perahu, saat Debo menyerahkan uang sewa untuk perahunya.
"hhaha. . .amin, pak." sahut Debo, sedangkan Ify tidak berkomentar, sibuk menyembunyikan pipinya yang tiba-tiba merah merona.
Setelah puas dengan hutan dan danau penyejuk mata tadi, Ify dan Debo kini melanjutkan aksi jalan-jalan mereka, ke daerah peternakan kelinci dan perkebunan strawberry, yang masih berada disekitar kota paris van java ini.
"aduh Debo lama amat sih." gerutu Ify, yang ditinggal sendirian dalam mobil di pinggir jalan. Ify melirik jam merah muda yang melingkar dilengan kirinya. Jarum kecilnya mulai menyelip diantara angka 4 dan 5.
"nih. Es krim strawberry, favorit lo." Debo tiba-tiba menyodorkan es krim strawberry di depan wajah Ify.
"wah kok lo tau sih gw suka es krim strawberry." Ify menerima es krim bagiannya dengan wajah berseri.
"feeling aja, cewek manis kayak lo, pasti sukanya es krim strawberry." jawab Debo.
"Debo pinter banget sih bikin cewek tersanjung." batin Ify.
"lo suka vanilla?" tebak Ify, mengamati Debo yang asik dengan es krimnya. Debo mengangguk.
"sama kayak Rio." bisik Ify, sangat pelan. Ia kembali memandangi pria disampingnya itu.
"kalo rio punya tatapan yang bisi bikin melting, senyumnya juga bisa langsung ngacak-ngacak hati semua cewek, sedangkan Debo, mmh, tatapannya bisa bikin gw nyaman, senyumnya juga lebih ramah, orangnya juga asik, pinter muji, gak kayak Rio."
Ntah mendapat dorongan dari mana Ify jadi membandingkan dua pemuda itu. Surprise party dari Rio untuknya, Rio yang rela menjaganya semalaman dirumah sakit, Rio yang dengan sabar mengajarinya, semua itu hilang, tersingkir dari ingatan Ify. Terganti kenangan lain tentang hari ini, tentang danau, perahu, kelinci putih dan terakhir es krim strawberry.
"ekh, Debo balik yuk. Udah sore nih." ajak Ify.
"oh ya udah. Yuk." Debo segera membersihkan tangannya dari lelehan es krim, setelah selesai, ia mulai melajukan mobilnya, meninggalkan barisan sawah dengan saung-saung kecil dari anyaman bambu disepanjang jalan tadi.
***
"thanks ya Fy, udah Udah mau nemeni gw."
"oke."
"gw balik deh, bye." pamit Debo.
"bye, hati-hati ya." pesan Ify.
Ia lalu menggeser gerbang kokoh bercat coklat, pembatas rumahnya dengan lingkungan luar. Setelah itu, Ify bergegas memasuki rumahnya.
Tapi baru sampai di depan pintu, didalam rumahnya Ify mendapati 4 orang pria yang menatap tajam ke arahnya. Seperti Ify, tiga dari empat pria itu juga masih berseragam, sedang yang satu nampak pucat dengan tubuh yang diselebungi jaket tebal. Alvin, Iel, Cakka dan Rio, memandangi Ify lekat-lekat.
"seru Fy jalan-jalannya?" tanya alvin sinis.
"gw gak abis jalan kok, gw cuma. . . .gw bisa jelasin, tadi...."
"kita sih gak butuh penjelasan lo Fy, tapi mungkin Rio yang lebih butuh, jadi lo ngomongnya liat ke rio dong. Jangan nunduk gitu." kata Iel, tak kalah sinis dari Alvin.
"udah lah, gak pa-pa kok, yang penting Ify udh pulang dan gak apa-apa. Gw juga mau balik deh kalo gitu." lirih Rio, suaranya terdengar serak. Rio berjalan kearah Ify, mengacak poni gadis itu lalu bergumam, "mandi sana."
Dan mendapat perlakuan seperti itu, membuat Ify merasa bersalah. Ntah benar atau tidak, Ify bisa menangkap binar kecewa pada kedua bola mata Rio.
"lo gak ada niat buat ngejar dan minta maaf, Fy." tegur Cakka beberapa detik setelah punggung Rio menghilang dibalik pintu.
BRUUK PRAAANGG
belun sempat ify menjawab pertanyaan cakka, suara gaduh diluar membuat semuanya tersentak.
"RIOO..." teriak Ify, yang segera menghambur keluar, disusul teman-teman yang lain.
***
0 komentar:
Posting Komentar