Minggu, 08 Mei 2016

Rahasia Orion Part 14

Hai... (krik-krik) entahlah postingan ini ada yang nunggu atau engga, bahkan ada yang baca atau engga, entahlah. Saya posting tulisan ini nggak lebih dan nggak kurang hanya karena merasa punya hutang. Hutang yang bertahun-tahun belum saya bayar, padahal saya juga nggak tahu sama siapa saya berhutang. Yang pasti saya merasa ada sesuatu yang belum selesai dan ingin saya selesaikan. Cerita ini sudah sekitar 4 tahun tidak saya teruskan dan untuk memulai sesuatu yang sudah begitu lama saya tinggalkan tentu tidak mudah ya. Saya sudah lama kehilangan 'feel' untuk cerita ini meskipun sesekali di waktu luang saya, saya teringat kisah Rio, Alvin, Gabriel, Ify dan Shilla yang belum selesai di tangan saya. Karena itu dalam satu minggu terakhir ini saya berkali-kali membaca ulang cerita ini dari awal untuk mendapatkan 'feel' itu lagi. dan voila... akhirnya selesailah Rahasia Orion Part 14. semoga tidak mengecewakan pembaca yang menunggu (jika ada). Saya mengubah beberapa plot dan nama, untuk beberapa alasan, jadi saya sarankan jika ada waktu luang untuk membacanya dari part awal, tapi jika tidak pun tidak apa-apa karena part 14 ini akan tetap bisa dimengerti.

*

Rahasia Orion Part 14
Merah Darah
*
Merah darah
Darahnya merah
Darah yang membuat salah
Darah yang tak beri celah
Mereka akan kalah
Menyerah pada merah darah
Darah marah memerah
Merah yang membuat mereka berdarah-darah

***

"Rio ? Rio, gue ?" suara baritone seorang pemuda membuat Cakra sekaligus Ify kaget. Orang yang sangat tidak diinginkan mendengar ini semua, berdiri kaku. Entah sejak kapan dia ada disini dan berapa banyak yang telah didengarnya.

“Iya,” Ify mengangguk mantap, ekspresinya dingin tak tertebak. Otaknya sedang ‘berputar’ dengan kecepatan maksimal, mencari celah agar ia bisa lolos dari keadaan ini, “Iya, orang itu Rio,” lanjutnya.

Cakra terlihat bingung, memandang putrinya dan Rio secara bergantian. Laki-laki itu melepas kaca matanya, wajahnya terlihat sangat letih, ia menghela napas berat lalu berkata, “Kalian selesaikan dulu urusan kalian berdua,” Cakra beranjak pergi.

“Nggak,” tukas Ify, “Papa nggak perlu pergi, ini akan segera selesai,” tangan Ify bergetar, berikut kaki dan sekujur tubuhnya. Perutnya melilit yang tidak ada hubungannya dengan rasa lapar, “Ify suka Rio. Tapi…itu dulu. Duluuu sekali. Sekarang… sekarang…” Ify mengepal tangannya kuat-kuat, ia butuh kekuatan yang ekstra untuk melanjutkan kalimatnya, “Sekarang yang Ify suka Alvin, Pa,” tandasnya seraya menunduk.

Kalimat itu akhirnya meluncur dari bibir tipis Ify. Kebohongan-kebohongan yang lalu, kini telah beranak-pinak dan meminta untuk terus-menerus ditutupi dengan kebohongan-kebohongan yang lainnya. Ify terlalu takut, Ify takut untuk mengatakan segalanya. Ify takut jika ia berkata jujur, ia akan menyakiti hati Sang Papa. Ia tidak ingin membuat Papanya semakin kecewa. Ify juga takut jika ia mengatakan segala kebenaran yang ada dalam hatinya, maka Rio akan menjauhinya. Bagi Ify, Rio sudah sangat baik hati dengan mau menjadi sahabatnya. Ia tidak ingin dianggap memanfaatkan kebaikan hati Rio dengan berharap hubungan yang lebih dari sekedar sahabat baik Rio.
Biar. Biarlahakan ia bendung segenap perasaan yang mengalir kian deras setiap harinya. Biar perasaan itu menenggelamkan dirinya sendiri saja. Meski dengan tanggul-tanggul berbahan dasar kebohongan, Ify tidak akan membiarkan perasaannya merembes setetespun.

“Ify suka Alvin Pa, karena itu Ify setuju dengan perjodohan Ify dan Alvin,” suara Ify melunak, pandangan matanya sayu.

Tidak, teriak Rio dalam hatinya. Bukankah tempo hari Ify bilang pada Rio kalau ada orang lain yang Ify sukai dan itu bukan Alvin. Itu berarti Ify berbohong. Tapi perkataan mana yang bohong. Ucapannya tempo hari pada Rio atau ucapannya hari ini pada Papanya. Rio tetap mematung di tempatnya, belum saatnya ia bicara.

“Papa apapun yang Papa minta akan Ify turuti, apapun itu asalkan Papa bahagia pasti Ify lakukan buat Papa,” Ify mengusap air mata yang membentuk aliran di kedua pipinya, “Seumur hidup Ify, Ify tidak pernah dan tidak ingin membantah Papa, tapi Pa, Ify mohon kali ini saja izinkan Ify tetap menulis. Ify bakal tetap jadi dokter kayak yang Papa mau. Nulis itu hobi Ify Pa dan Ofy sama sekali nggak akan jadiin itu profesi. Ify nggak akan jadi penulis kayak Bunda. Ify bakal tetep jadi dokter, Pa. jadi tolong, Ify mohon, izinin Ify nulis,” Ify berkata penuh harap, ditangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya.

Cakra memandang Ify sekilas. Ekspresi wajahnya kaku. Ia menyerahkan kembali buku diary milik Ify dan majalah yang memuat cerpen gadis itu. Ify menerimanya dengan tatapan bingung. Cakra mengusap puncak kepala Ify sekali. Lalu tanpa kata, tanpa jawaban, tanpa senyuman, laki-laki itu melangkah pergi dalam diam.

“Jadi…apa bener lo suka sama gue?”

Suara pemuda itu terdengar lemah, entah karena fisiknya yang kurang sehat atau karena keadaan hatinya yang sedang rapuh mengaduh. Meski pelan, tetap saja suara itu ternyata mampu membuat Ify terkesiap. Ify menyadari bahwa pembicaraan tadi nyatanya bukan hanya milik Ify dan Papanya. Ada sosok lain dalam ruangan itu, sosok yang sekuat tenaga coba Ify abaikan sejak awal kedatangannya yang tak terduga.
Ify berbalik memunggungi Rio, menghindari tatapan Rio. Ia tidak ingin pemuda itu menemukan fakta apapun dari balik dua bola matanya yang saat ini pasti sangat menyedihkan.

“Iya,” jawab Ify singkat untuk pertanyaan Rio sebelumnya, “Tapi…itu dulu. Sekarang gue udah nggak punya perasaan apa-apa buat lo,” tegas Ify.

Gadis itu kemudian melangkah pergi. Menaiki anak tangga satu persatu menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Saat sampai pada anak tangga ke-8, Ify berhenti. Masih dengan posisi yang membelakangi Rio, ia berkata, “Setelah ini, apapun yang lo denger hari ini anggap itu semua nggak pernah terjadi. Ini nggak penting, jadi…lupain semuanya,” Ify kemudian berjalan cepat, hingga sosok gadis itu menghilang di balik pintu kamarnya yang berdebam tertutup.

Lupain semuanya? Batin Rio mengulangi kalimat Ify tadi. Tapi bagaimana bisa?

Ify menyukainya. Pengakuan Ify tadi terus berdengung di kepalanya.

“Tapi itu kan dulu,” ujar sebuah suara dalam kepalanya.

“Tapi bagaimana jika Ify berbohong, bagaimana kalau ternyata Ify masih menyukainya hingga sekarang?” balas suara lain dalam hatinya.

“Itu nggak mungkin, sudahlah masih banyak hal yang harus dipikirkan. Lupakan saja kejadian hari ini, seperti kata Ify tadi,” timpal suara dari kepalanya.

Rio kemudian mengacak-ngacak rambutnya dengan frustasi. Entah siapa dulu dan apa dulu yang harus Rio pikirkan saat ini. Begitu banyak beban yang dilesakkan dalam pikiran dan hatinya, sampai-sampai rasanya sebentar lagi ia akan meledak. Rio merasa dirinya ini ibarat magnet yang membuat besi-besi masalah berebutan mendekat ke arahnya. Rio merasa seakan dirinya sangat menarik hingga masalah-masalah itu datang mengerubunginya secara bersamaan.
Tante Gladys hami, Papanya yang menampar Rio, Rio yang terpaksa harus kabur dari rumah, kemudian masalah Alvin dengan Shilla dan sekarang ditambah lagi dengan pengakuan dari Ify.
Oh astaga… Rio melayangkan tinjunya berkali-kali ke udara lalu memutuskan untuk segera pergi dari rumah Ify dengan perasaan yang campur aduk. Awalnya, Rio berniat untuk mengobrol dengan Ify, menceritakan segala keluh kesahnya dan berharap Ify bisa memberikan solusi terutama untuk menyudahi perang dinginnya dengan Alvin dan Shilla. Tapi niat itu pupus sudah.
Rio baru saja beberapa langkah keluar dari gerbang putih rumah mewah Ify, saat dua telaga beningnya menangkap sosok yang sangat ia rindukan sekaligus ia benci. Sosok itu balas menatap Rio dengan pandangan hampa, ia membawa beberapa tangkai bunga yang sepertinya baru dibeli dari sebuah florish. Dia Shilla.

Rio berjalan ke arah Shilla yang berdiri diam di tempatnya, “hai,” sapa Rio terdengar sinis.

Shilla mendelik, “Hai,” katanya, pendek.

Kemudian ada jeda yang cukup lama. Kedua terdiam seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Kita perlu bicara,” ucap keduanya secara bersamaan.

Rio dan Shilla sepertinya mulai sadar bahwa sikap saling diam seribu bahasa seperti yang mereka lakukan terhadap satu sama lain belakangan ini, tidak akan menyelesaikan permasalahan di antara keduanya. Mereka harus saling bicara, saling memberi dan menerima penjelasan.

“Silakan lo duluan,” ujar Rio.

“Disini?” tanya Shilla ragu. Apakah mereka harus saling bicara di pinggir jalan seperti ini?

“Disini atau enggak sama sekali,” jawab Rio.

Shilla mengerut kening. Betul-betul tidak mengerti, mengapa malah pemuda ini yang marah-marah terhadapnya. Bukan kah hak untuk marah-marah seharusnya ada pada Shilla, yang dibiarkan menunggu sendiri berjam-jam di malam hari.

“Kemana kamu dua malam yang lalu, kenapa nggak datang ke taman kota?”
Sekarang giliran Rio yang dibuat bingung. Dua malam lalu di taman kota? Untuk apa pula Rio kesana? Untuk melihat Shilla berdua-duaan dengan saudara tirinya. Rio tertawa pendek, “Lo pengen gue ada disana.”

“Pastilah,” jawab Rio yakin.

“Buat apa? Buat liatin ke gue dimana romantisnya elo sama Alvin? Gitu? Lo gila ya?”

“Maksud kamu apa sih?”

“Harusnya gue yang tanya gitu ke elo,” Rio membelalak pada Shilla, wajahnya terlihat sangat marah, 
“Kita dekat. Dari sikap lo ke hue, gue kira… gue kira… lo juga suka sama gue. Tapi kenyataannya… sekarang lo sama Alvin. Apa maksud lo, Shilla? Apa mau lo?” Rio terbata-bata.

“Rio maksud kamu apa sih? Aku nggak ada apa-apa sama Alvin,” papar Shilla mencoba menjelaskan.

Rio yang sejak tadi sudah sangat frustasi mencengkram kedua pundak shilla, mengguncang-guncangkan pundak gadis itu hingga bunga yang pegangnya jatuh mengadukan diri pada jalan beraspal yang mereka pijak.

“Lo jangan bohong!”

“Aku nggak bohong!”

“Bohong!” tuduh Rio,”Guee lihat sendiri, lo berdua sama Alvin di taman kota, hujan-hujanan. Apa yang kalian berdua lakuin di belakang gue HAH?”

“Rio sakit!” Shilla menyentakkan kedua tangan Rio dan mundur beberapa langkah.

“Sakit?” Rio bertanya, “Gue lebih sakit Shilla! Sejak kapan kalian deket hah? Sejak gue kabur dari rumah? Gitu?”

“Rio kamu salah faham.”

“Lo yang salah!”

“Rio kamu dengerin aku dulu,” Shilla masih mencoba menjelaskan, karena tampaknya ia mulai paham alasan di balik sikap Rio yang dingin terhadapnya belakangan ini, sepertinya Rio salah paham, “Apa kamu dating ke Taman Kota malam itu?” tanya Shilla, “Berarti kamu terima pesan yang aku titipin ke Ify? Terus kenapa kamu datang terlambat?” lanjut Shilla.

“Pesan? Pesan apa?”

“Pesan dari aku. Aku minta kamu datang ke Taman Kota malam itu.”

Rio menggeleng, “Tapi gue nggak terima pesan apapun dari siapaun. Gue ke Taman Kota karena kebetulan lewat aja, rumah Feldy oaling dekat kalau lewat sana.”

“Kamu nggak terima pesannya?”

“Enggak.”

“Tapi aku udah titip pesan ke Ify, aku-”

“Whatever,” Rio memotong, “Nggak penting lah gue terima pesannya atau enggak. Faktanya adalah lo berdua-duaan sama Alvin dan itu nggak terbantahkan!”

“Jelas pesan itu penting Rio.”

Shilla tersenyum, berharap agar senyumnya mampu mencairkan ekspresi kaku di wajah Rio. I mulai menjelaskan segalanya. Menjelaskan apa yang sebenrnya terjadi dari mulai ia yang menghubungi Rio tapi dijawab oleh Ify, kemudian tentang pesannya untuk Rio yang tenyata tidak pernah disampaikan, lalu tentang Shilla yang menunggu berjam-jam sampai kehujanan hingga akhirnya Alvin datang menjemputnya.

“Alvin bahkan bilang kalau dia nyari aku Cuma karena disuruh Tante Gladys, Rio. Jadi kita benar-benar nggak ada apa-apa.”

Kemudian terakhir Shilla menjelaskan tujuannya meminta Rio menemuinya di Taman Kota malam itu adalah untuk memberikan Rio jawaban atas pertanyaan pemuda itu saat camping tempo hari.

“Jadi… lo kesana malam itu nungguin gue dan… dan… lo mau kasih jawaban itu ke gue?”

Shilla mengangguk malu-malu.

Setelah mendengar penjelasan Shilla barusan, rasanya satu tali yang meliliti hati Rio seakan terputus, membuatnya sedikit lega. Batu-batu besar yang dilesakkan dalam dada dan membuatknya sesak pun seakan terangkat satu persatu. Jadi semua ini, rasa marahnya, cemburunya, kecewanya, hanya kesalah pahaman?
Rio menatap Shilla yang masih menunduk mengamati kelopak-kelopak bunga yang berhamburan di dekat kakinya. Gadis itu, entah mengapa kini terlihat berkali-kali lebih cantik dari saat Rio bertemu dengannya beberapa menit yang lalu.

“Kalau gitu…” Rio tersenyum penuh arti, “Apa jawaban lo?”

Shilla mengangkat wajahnya, lalu mengangguk perlahan, “Jawabanya, iya.” Kata-kata itu meluncur dengan cepat, seolah sudah sangat lama tertahan di ujung lidah perapalnya, “Jangan marah lagi ya,” rajuk Shilla.

Rio tersenyum lagi. Saat pemuda itu tersenyum, Shilla merasa hari-hari menyebalkan itu telah berlalu. Hari-hari saat Rio mendiamkannya dan Shilla merasa waktu-waktu yang ia lewati hanya sebatas rangkai detik tanpa makna. Rasanya sudah lama sekali Shilla tidak melihat senyum itu, senyum yang selalu membuatnya ingin ikut tersenyum.
Kebahagiaan yang dirasakan Shilla juga dirasakan oleh Rio. Tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan kebahagian yang tengah dirasakan pemuda itu saat ini. 

“Jadi mulai sekarang, lo puny ague,” vonis Rio, seraya satu tangannya terulur membelai lembut pipi Shilla yang bersemu merah sedangkan tangan yang lain menggenggam erat jemari gadis cantik di hadapannya.

Shilla mengangguk kalem.

Keduanya sama-sama bahagia, tapi juga sama-sama merasakan bahwa ada yang salah dalam hubungan yang baru saja mereka mulai.

***
Shilla mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada dagu, nampak sedang memilih. Barisan kue-kue mungil dalam nampan perak di hadapannya membuat Shilla bingung menentukan pilihannya. Kue-kue itu imut dan lucu dengan berbagai bentuk yang menggemaskan dan warna-warni yang manis. Shilla sebenarnya ragu, jika ia membeli salah satu diantara mereka (kue-kue itu) akankah Shilla tega memakannya? Kue-kue itu terlihat lebih layak untuk dikoleksi dari pada dikonsumsi.
Shilla agak tidak rela kalau kue-kue itu akhirnya hanya akan jadi bollus yang melewati kerongkongannya lalu meluncur melewati sistem-sistem pencernaan Shilla yang lain. Tapi walau bagaimanapu sudah takdir kue inilah untuk dibeli kemudian dimakan.

“Emm…yang itu aja deh pak. Yang di ujung kanan, sama yang di sebelahnya. Masing-masing dua ya pak, sama jus apelnya satu,” pesan Shilla pada salah seorang pramniaga.

Si Bapak penerima pesanan Shilla tadi segera menyiapkan pesanan pelanggannya dengan cekatan. Shilla akhirnya memilih kue mungil berbentuk minion dan Minnie mouse. Pesanan Shilla dibungkus dalam sebuah kantong karton kecil dengan nama kedai kue ini dibagian depannya. Setelah membayar pesanannya, Shilla mengucapkan terimakasih pada bapak pramuniaga tadi. Kedai kue di seberang Veronna High School ini baru buka beberapa minggu yang lalu, karena selalu ramai Shilla jadi penaran ingin mengunjungi kedai kue ini.

“Ni!”

“Astaga,” Shilla mengurut dada karena kaget tiba-tiba disodori sebuah dompet tepat di depan wajanya.

“Kasih ke Rio ya.”

Alvin (entah dari mana munculnya pemuda itu) sudah berada di depannya. Shilla tidak begitu heran melihat pemuda sipit itu berdiri di hadapannya. Di dunia ini, siapa sih manusia yang datang tak di jemput pulang tak diantar, selain Alvin.
Shilla mengamati dompet yang disodorkan Alvin di hadapannya, jika dilihat dari ketebalannya, dalam dompet itu pastilah ‘soekarno-hatta’ sedang berdesakkan mencari tempat yang tersisa. Atau mungkin ‘soekarna-hatta’ di dalam sana sudah mulai berteriak-teriak, berorasi minta dibelanjakan.

“Cepet ni ambil pegel tangan gue,” perintah Alvin.

Shilla mengulurkan tangannya, menerima dompet yang disodorkan Alvin. Bibirnya mengerucit, mencibirkan pada Alvin.

“Kamu tu hantu ya? Bisa nggak sih kalau muncul nggak usah bikin kaget.”

Alvin mengabaikan protes Shilla, “Bilang aja itu dari Eyang. Eyang masih berusaha bujuk Papa buat mau jemput Rio pulang. Tebakan gue Rio pasti nolak, jadi tugas lo gimanapun caranat Rio harus terima uang itu,” instruksi Alvin, jelas,

Shilla mengendikan bahu, “Oke,” jawabnya singkat.

Alvin kemudian berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi pada Shilla, bahkan ucapan terimakasig sekalipun. Pemuda itu memasukkan telapak tangan kanannya pada saku celana. Berjalan santai ke arah area parkir Veronna High School, tempat sedan hitam favoritnya berbaris rapi dengan kendaraan-kendaraan roda empat lainnya.
Shilla memasukkan dompet Rio ke dalam tasnya. Ia berjalan ke samping gerbang hitam Veronna Senior High School menuju bus sekolah yang akan mengantarkannya pulang. Semenjak Rio kabur dan menginap di rumah Feldy, Shilla terpaksa harus pergi dan pulang sekolah dengan bus sekolah. Sementara Rio bersama dengan Feldy menggunakan mobil Feldy. Sayangnya rumah Feldy dengan Rumah Besar tidak searah jadi Shilla tidak bisa menumpang,
Sebelum sampai di tempat yang Shilla tuju, lagi-lagi ia harus bertemu dengan makhluk yang paling tidak ingin Shilla temui. Ia berpapasan dengan Gabriel yang sedang memutar-mutar cutter di tangannta. Shilla buru-buru menunduk dan mempercepat ayunan langkah kakinya.
Gabriel tersenyum sinis.

***
Shilla memasuki bus berwarna biru pucat itu. Di dalamnya sudah hampir penuh. Sebagian besar tempat duduk sudah terisi. Shilla memilih duduk di kursi pertama dekat pintu. Ia menyandarakan punggung pada sandaran kursi yang empuk, lalu menikmati kue-kue lucu yang tadi dibelinya. Selain bentuknya yang unik, rasanya juga tak kalah enak. Tak berapa lama, supir sekolah sudah masuk ke dalam bus, menempati posisi di balik kemudi tandanya bus akan segera berangkat. Perlahan ban-ban raksasa bus yang ditumpangi siswa-siswa Veronna Senior High School mulai bergerak. Kendaraan besar itu mulai bergerak menjauhi gedung bertingkat Veronna Senior High School, membaur dengan kendaraan-kendaraan bermotor lainnya, menyususri jalanan Ibu Kota.
Shilla mengaduk-ngaduk isi tasnya, mencari handphone. Ia biasa mendengarkan lantunan musik dari handphonenya untuk menemani perjalanan menuju atau dari sekolahnya. Saat menarik gadget kesayangannya itu, tanpa sengaja dompet Rio ikut terogoh keluar dan jatuh ke lantai bus dalam posisi terbuka.
Shilla mengambilnya dengan perasaan tak enak. Ada selembar foto dalam dompet itu. Bukan. Bukan foto Si Pemilik dompet ataupun keluarganya, bahkan bukan pula foto Shilla. Foto itu melukis secara permanen wajah seorang gadis. Gadis itu sedang tersenyum menatap kamera dengan rambut ikal  panjang yang jatuh membingkai wajah pualamnya. Senyumnya begitu manis seakan-akan senyum itu bisa memaniskan segala kepahitan dalam hidup.
Gadis dalam foto itu adalah dia yang pernah membuat Rio ‘berdarah-darah’, seperti kata Alvin dulu, "Lo sendiri? Foto siapa yang ada di dompet lo, di laci kamar lo, di loker sekolah ? Heh ? The most beautiful one. Larissa Kinara."
Sialnya, karena dompetnya sudah lebih dari dua minggu tidak berada di tangan Rio, sehingga pemuda itu belum sempat mengganti foto gadis itu dengan foto Shilla yang jelas-jelas menyandang status sebagai kekasihnya sekarang. Alvin juga tidak ingat sama sekali dengan keberadaan foto gadis itu dalam dompet Rio, jadilah tanpa rasa bersalah ia memberikan dompet itu paa Shilla.
Shilla tersenyum kecut, ada denyutan rasa kecewa yang mulai bertalu-talu dalam hatinya. Ia lantas menarik keluar foto gadis itu dari dompet Rio. Mengamati sejenak wajah manis dalam foto, kemudian melesakkan lembaran kertas itu ke dalam tasnya.

“Dia cuma masa lalu,” katanya meyakinkan diri.

***
Hatinya diiris tipis-tipis, membuat pemiliknya meringis menahan tangis.
Hatinya dicacah tipis-tipis, selapis demi selapis, aduhai miris.

Ify berjinjit-jinjit. Kedua tangannya yang menggenggam tumpukan majalah sudah terulur secara maksimal namun tetap saja rak tempat penyimpanan majalah itu terlalu tinggi, hingga tak terjangkau olehnya.

“Sama gue aja,” sebuah suara menghentikan usaha Ify untuk menyimpan majalah-majalah itu.

Pemilik suara tadi mengulurkan tangannya mengambil alih tumpukan majalah di tangan Ify. Dengan tubuhnya yang jangkung, ia tidak perlu bersusah payah, dengan sekali uluran tangan majalah-majalah itu sudah teronggok di tempatnya.
Ify mendengus. Setelah membantu Ify, pemilik suara tadi kembali melanjutkan pekerjaannya dalam diam. Pemilik suara sekaligus orang yang membantu Ify tadi adalah Gabriel.
Sudah sejak setengah jam yang lalu, Ify berusah membutakan matanya, menulikan telinganya dan membisukan suaranya, menganggap seolah-oleh tidak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri di ruangan itu. Ify berulangkali meyakinkan dirinya bahwa Gabriel hanya sebatas angin lalu yang tidak perlu ia pedulikan. Ify dan Gabriel siang ini sedang melaksanaan tugas piket mereka di ruang redaksi Aruna.

“Fy.”

Suara itu lagi, Ify pura-pura tuli.

“Ify.”

Ify bertahan untuk diam.

“Fy, kita perlu ngomong”

Ify berbalik ke arah Gabriel, ia memasang wajah jutek luar biasa, “Nggak ada yang perlu dibicarakan.”

“Ada Fy.”

“Nggak!”

“Fy, ada yang harus gue jelasin.”

“Terseralah,” Ify mengibaskan tangannya, membenahi tasnya dan berniat akan segera pulang karena ia sudah menyelesaikan tugasnya.

“Fy, sekaliiii aja,” Gabriel memohon.

Ify lagi-lagi memilih diam.

Gabriel menghampiri Ify.

“Jangan deket-deket sama gue,” larang Ify, gadis itu mundur beberapa langkah menjauhi Gabriel.

“Oke. Oke gue nggak akan deket-deket sama lo. Tapi gue mohon Fy, kasih sekali aja kesempatan buat gue jelasin ke elo. Kalau setelah ini lo mau maafin gue, gue bakal sangat bersyukur. Tapi kalau lo tetep mau benci ke gue, gue janji… gue janji nggak bakal ganggu lo lagi,” Gabriel menagngkupkan kedua tangannya, “Sebentar aja, gue mohon Fy. Please.”

“Nggak,” kukuh Ify, “Gue nggak mau denger apa-apa dari lo,” tegasnya, galak.

“Fy beberapa bulan lagi kita lulus dan setelah itu mungkin kita nggak akan pernah ketemu lagi. Apa mau lo bawa-bawa rasa benci lo ke gue seumur hidup. Gue butuh jelasin dan lo juga butuh penjelasan Fy.”

Ify terlihat menimbang, kemudian melipat kedua tangannya di dada, “Oke, kali ini gue bakal dengerin lo,” Ify mengcungkan jari telunjuknya ke hadapan Gabriel, “Tapi-kali-ini-aja!” tegasnya.

Gabriel setuju. Ia kemudian menggeser dua kursi. Satu untuknya dan satu lagi untuk Ify, “sambil duduk ya,” pintanya halus.
Ify duduk, masih dengan ekspresi dingin, “Cepet ngomong apa yang mau lo omongin! Gue nggak punya banyak waktu!” perintanya.

Gabriel mengangguk. Kemudian memulai ceritanya.

***
Gustav Damanik adalah seorang pengusaha. Bisnisnya berkembang cukup baik hingga keluarga kecilnya hidup berkucukupan. Ia, istri dan putranya hidup bahagia dengan segala hal yang mereka miliki, saling menyayangi dan mengasihi. Gustav meskipun sibuk bekerja ia tidak pernah melupakan keluarganya, selalu memberikan perhatian yang cukup terutama untuk keluarganya,
Sampai akhirnya bencana itu datang. Gustav Damanik dituduh melakukan penipuan yang merugikan partner bisnisnya hingga milyaran rupiah. Karena tuduhan itu, Gustav harus mencicipi dinginnya lantai prodeo selama beberapa bulan. Sebelum akhirnya pengacaranya mampu membuktikan bahwa kliennya tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuduhan. Gustav segera dibebaskan dengan permintaan maaf penuh dari pihak pelapor.
Tapi terlambat. Ketika Gustav bebas, bisnis yang rintisnya dari nol sedang dalam keadaan kritis, nyaris gulung tikar. Kemudian salah seorang rekan lama Gustav menasehatinya agar menjalin kerjasama dengan Veronna corporation, perusahaan besar milik keluarga Rio.
Setelah membuat janji dengan prosedur yang rumit, akhirnya Gustav Damanik mendapatkan jadwal untuk bertemu langsung dengan Narendra Haling, pemilik Veronna corporation. Pertemuan kedua dijadwalkan lusa pada pukul 11. Gustav menyiapkan segalanya dengan sangat matang. Berkas-berkas, slide presentasi, surat perjanjian kerjasama semua telah tersusun rapi dalam tas kerjanya bahkan ia telah menyiapkan pakaian terbaik untuk menemui Narendra Haling. Ia harus segera menjalin kerjasama dengan perusahaan Narendra agar bisnisnya tidak benar-benar mati. Bisnis Gustav bergerak di bidang furniture ini sangat sesuai dengan Veronna corporation yang kabarnya tengah mendirikan beberapa hotel demi melebarkan kepak sayap perusahaan besar itu.
Akan tetapi, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Dua jam sebelum waktu yang dijadwalkan untuk pertemuannya dengan Narendra, Gustav menerima pesan singkat dari sekretaris Narendra.

Selamat siang
Bapak tidak bisa bertemu hari ini. Pertemuan dengan Anda akan diatur ulang, untuk pemberitahuan selanjutnya saya akan menghubungi Anda kembali.

Gustas benar-benar kecewa saat itu. Setelah menunggu lama dan setelah semua persiapan yang ia lakukan, pertemuan yang sangat penting itu dibatalkan begitu saja secara sepihaka bahkan hanya via sms. Gustav tidak bisa terima begitu saja, diputuskan ia akan menemui Narendra di kediamannya. Apapun yang terjadi, kontrak kerjasama itu harus ia dapatkan hari ini juga. Gustav bukan tidak pernah mencoba menjalin kerjasama dengan perusahaan lain dengan berbagai penawaran terbaik yang bisa ia ajukan, tapi semua menolak dengan berbagai harapan. Gustas yakin alasan sebenarnya adalah karena dirinya yang seorang mantan narapidana. Meskipun dirinya telah ditanyakan bersih dari segala tuduhan namun tetap saja predikat mantan narapidana dengan kasus penipuan sudag terlanjur terpatri pada laki-laki itu.
Hari ini ia akan mencoba peruntungannya dengan menemui Narendra Haling. Ia menuju kediaman Narendra dengan menggunakan taksi. Ketika sampai ia melihat sebuah mobil mewah meluncur menuju gerbang kokoh rumah mewah di depan sana. Gustas berlari kecil ke arah mobil itu. Saat mobil berwarna putih susu itu berhenti menunggu gerbang terbuka, ia mengetuk-ngetuk kaca di bagian penumpang.

“Pak… Pak Narendra!” seru Gustav.

Benar saja dari balik kaca mobil yang terbuka, menyembul seraut wajah milik Narendra, “Ya?” katanya dari dalam mobil.

“Saya Gustav Damanik Pak, yang membuat janji dengan bapak hari ini.”

Narendra kemudian keluar dari mobilnya, “Begitu ya? Tapi saya tidak bekerja hari ini. Apa sekretaris saya tidak menghubungi Anda?” tanyanya dengan suara berat berwibawa.

“Iya Pak, tapi ini sangat penting jadi saya kemari.”

Keluarga Narendra yang lain turun dari dalam mobil. Gladys, Rio dan Alvin. Ketiganya menghampiri Narendra, “Ada apa Mas?” tanya Gladys lembut.

Gustav mengabaikan kehadiran orang-orang baru di sekelilingnya dengan terburu-buru ia mengeluarkan berkas-berkasnya dari dalam tas, “Saya ingin membicarakan kerja sama kita. Saya sudah memba-”

“Maaf Pak Gustav” potong Narendra, “Saya sedang tidak bekerja hari ini.”

“Tapi Pak, saya sudah menyiapkan berkas-berkasnya dan ini,” Gustav menarik selembar kertas, “Bapak hanya tinggal menandatanganinya. Saya akan pemberikan barang dengan kualitas terbaik untuk ho-“

“Pak!” Narendra kembali memotong kalimat Gustav, “Anak saya baru saja memenangkan sebuah turnamen,” ia menepuk pundak Rio yang berdiri di sampingnya membawa sebuah tropi berukura besar, “Dan saya beserta keluarga akan merayakannya. Saya tidak bekerja hari ini. Silakan hubungi sekretaris saya, dia akan mengatur ulang jadwal pertemuan kita. Saya akan segera menemui Anda tapi tidak hari ini. Saya mohon maaf,” papar Narendra dengan sopan.

“Pak tapi ini sangat penting bagi saya, bis-”

“Pak putra saya juga sangat penting bagi saya,” Narendra mulai terlihat geram.

“Anda hanya tinggal menanda-”

“SATPAM!” Narendra yang mulai kehilangan kesabaran berteriak memanggil satpam rumahnya.

Dua orang berbadan tegap dengan seragam putih lengkap dengan pentungan hitamnya datang berlari ke arah majikannya.

“Pak sebentar saja Pak!”

Tapi Narendra diam saja terlihat sangat kesal. Gustav yang sudah sangat lelah, frustasi dan kecewa sudah tidak bisa lagi menahan amarah dan emosinya. Gara-gara bocah laki-laki itu, bocah laki-laki di samping Narendra, gara-gara dia dan turnamen bodohnya itu, Gustas harus kehilangan satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan bisnisnya.
Dengan kemarahan yang luar biasa, Gustav menyerang Rio. Mendorong pemuda itu dengan sekuat tenaga. Rio tersengkur. Gladys menjerit panik. Narendra, Alvin, dua orang satpam dan supir yang tadi mengantar Narendra serta keluarga, berusaha menarik Gustav agar menjauhi Rio.
Tapi laki-laki itu sudah kalap, ia mengeluarkan segenap tenaga dan kemampuannya. Ia memukul, menendang, menyumpahi Rio dengan kata-kata kotor bahkan berusah mencekik Rio. Aksi Gustav yang membabi buta itu baru bisa dihentikan setelah, satpam-satpam Narendra berhasil mengikat tangan Gustav dengan tali-tali besar.
Gladys sudah menangis panik, memeluk Rio yang entah masih sadar atau tidak. Rio segera dilarikan ke rumah sakit karena Narendra khawatir pukulan-pukulan Gustav tadi mencederai organ-organ krusial tubuh Rio. Sedangkan Gustav lagi-lagi harus dibawa ke kantor polisi. Narendra bersumpah agar Gustav menerima balasan atas perbuatan terhadap putranya, ia menjanjikan balasan yang lebih daripada yang bisa dibayangkan Gustav. Tak lama berselang dari peristiwa penyerangan itu, Gustav ditemukan meninggal. Bunuh diri dalam kamar tahanannya.

***

Ify ternganga tak percaya. Kisah yang baru saja diceritakan Gabriel membuatnya takjub. Berita tentang Ayah Gabriel yang seorang narapidanya memang sudah menjadi rahasia umum, tapi Ify tidak pernah (mau) tahu apa yang menyebabkan Ayah pemuda itu harus mendekam di penjara. Kemudian Ayah Gabriel yang dikabarkan meninggal karena bunuh diri, itu pun bukan hal yang aneh bagi Ify karena berita itu pernah menjadi skandal di Veronna Senior High School.
Berita itu pernah menjadi memnjadi buah bibir dalam beberapa pecan. Akan tetapi apa dan bagaimana peristiwa terjadi tidak pernah ada yang tahu kebenarannya. Pada saat itu yang berkembang hanyalah dugaan-dugaan, spekulasi, prasangka dan gossip. Ada yang menyebutkan Ayah Gabriel bunuh diri karena bangkrut, ada yang bilang karena malu karena di penjara bahkan sampai-sampai ada yang dengan jahat mengatakan bahwa Ayah Gabriel bunuh diri karena istrinya selingkuh dengan orang yang lebih kaya.
Ify sama sekali tidak menyangka bahwa yang terjadi pada Gabriel berhubungan langsung dengan Rio. Pilihan untuk mengakhiri hidupnya adalah pilihan Gustav sendiri, Ify tidak bisa mengatakan bahwa Rio bersalah atas hal ini tapi Ify juga tahu pasti bahwa dalam kemarahannya Gabriel membutuhkan seseorang untuk ia salahkan. Ify juga yakin dalam diri Gabriel ia kecewa terhadap keputusan Ayahnya untuk mengakhiri hidup, tapi sebagai seorang anak tentu Gabriel tidak ingin mencederai kenangan indah tentang Ayahnya yang telah tiada, karena itu Riolah yang harus menerima kekecewaan Gabriel. Rio harus menanggung kemarahan yang bahkan ia tidak tahu karena apa.
Gabriel menoleh ke arah Ify, ia menarik napas panjang sebelum meneruskan ceritanya, “Jadi coba lo bayangin rasanya jadi gue Fy. Waktu itu… malam waktu gue… gue ngelakuin hal… hal yang… nggak pantes ke elo. Malam itu gue lagi stress banget Fy, gue tertekan,” Gabriel meremas rambutnya dengan kesal, “Keluarga gue hancur dan itu karena Rio, tapi nyokap gue masih terus belain Rio dan keluarganya di depan gue. Seolah-olah kematian bokap gue nggak penting lagi, gue berantem sama nyokap. Dan lo… lo selalu belain Rio. Di mata lo Rio itu sempurna dan nggak pernah salah. Lo batalin pergi sama gue cuma buat Rio, lo pergi gitu aja dan nggak peduli sama gue…padahal… padahal…gue sayang sama lo Fy, dari dulu.”

Lagi-lagi Ify ternganga. Apa-apaan Gabriel ini. Bohong. Ini semua pasti bohong. Gabriel pasti sedang bercanda. Ify menggeleng pelan.

“Maafin gue Fy, malam itu…gue bener-bener nggak sengaja. Gue nggak maksud berbuat kurang ajar sama lo.”

Gabriel menyembunyikan wajah di balik kedua tangan kokohnya. Pemuda itu terdiam. Bahunya bergetar pelan, entah karena menahan tangis atau karena kepedihan yang tengah berusaha ia lawan.
Meski Ify berharap semua yang dikatakan Gabriel adalah tidak benar (termasuk pengakuan cinta Gabriel tadi), tapi toh pemuda itu tidak menenunjukkan tanda-tanda sedag berbohong. Ify pun bisa merasakan bahwa yang dikatakan dan dirasakan pemuda itu adalah benar adanya.
Sebagai teman Ify ingin sekali bisa menggenggam tangan Gabriel. Ingin mengucapkan kata-kata penghibur, ingin menceritakan sebuah lelucon yang akan membuat pemuda di hadapannya tertawa dan sedikit melupakan luka hatinya. Ify tidak ingin diam saja seperti sekarang sementara di depannya ada seseorang yang jelas-jelas sedang kelimpungan menghadapi rasa sakit hatinya.
Ify tahu bagaimana rasanya tertekan karena urusan keluarga dan cinta yang bertepuk sebelah tangan. HA! Siapa yang lebih hafal bagaimana rasanya selain Ify sendiri.
Tapi untuk saat ini Ify tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak sementara hatinya masih diliputi rasa ketidak-percayaan. Maka Ify memilih bangkit dari kursinya, dengan gerakan halus ia menepuk-nepuk pundak Gabriel.

Gariel mengangkat wajahnya, menatap Ify yang berdiri di hadapannya, “Fy, maafin gu-”

“Udah,” potong Ify, “Gue tau apa yang lo rasain dan kalo maaf gue bisa bikin lo ngerasa sedikit lebih baik, gue mau maafin lo,” Ify berkata sambil meraih tas dan menyampirkannya di pundak.

Ify lalu pergi. Ia mungkin tidak bisa membalas perasaan yang dimiliki Gabriel untuknya tapi bukankah ia masih bisa berteman dengan Gabriel. Ia akan memaafkan Gabriel dan melupakan kejadian malam itu karena seperti Gariel katakana tadi, kejadian itu adalah ketidak-sengajaan.

***
Udara siang ini benar-benar panas, Shilla mengipas-ngipaskan kedua tangannya di depan wajah. Matanya menyipit mengurangi intensitas cahaya yang masuk pada dua bola mata coklatnya. Shilla duduk di sebuah halte bus bersama beberapa orang yang lain. Bedanya Shilla tidak sedang menunggu angkutan umum seperti mereka yang duduk di kanan-kirinya. Shilla sedang menunggu Rio menjemputnya.
Tadi Shilla sempat mengirimi Rio sms, menanyakan alamat Feldy karena ia harus bertemu dengan Rio dan menyerahkan dompet yang dititipkan Alvin. Kemudian Rio membalas dan menyuruh Shilla untuk menunggu di halte bus ini, Rio akan menjemputnya disana.
Shilla baru menunggu sekitar tiga menit semenjak bus biru pucat dengan lambang gagah Veronna Senior High School tercetak di kanan-kiri badan bus itu berlalu dan hilang dari pandangannya. Ya baru tiga atau empat menit tapi rasanya sudah berjam-jam. Shilla berharap Rio tidak membuatnya lama menunggu karea cuaca siang ini sangat panas, Shilla ingin segera berada di dalam ruangan agar terhindar dari teriknya sinar matahari.
“Hei, Arum Manis.”

Walaupun itu bukan namanya dan walau Shilla tidak mengenal suara itu, tapi saja bola mata gadis itu berputar ke kanan dank ke kiri mencari sumber suara tadi.

Seorang gadis berjalan ke arah Shilla, rambutnya yang bergelombang berayun-ayun indah saat ia melangkah, “Kamu arum manis kan?” sapanya.

“Hah?”

“Iya kamu yang waktu itu kan? Yang arum manisnya aku jatuhin, yang di pasar malam itu lho. Kamu ingat?”

Shilla membulatkan bibirnya, “Oh…” selorohnya, “Iya iya aku ingat,” imbuhnya.

Gadis itu tersenyum. Shilla terkesima, dengan senyum itu pemiliknya terlihat lebih dari sekedar cantik. Dia terlihat…emm apa ya? Menyenangkan. Jika Shilla ini seorang pria pasti ia akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama karena senyuman gadis di hadapannya. Tapi rasa-rasanya Shilla pernah melihat senyum yang sama seperti itu tapi dimana ya?

“Wah kita ketemu lagi,” katanya ceria, “Itu artinya aku harus ganti arum manis kamu ya waktu itu kan akau bilang akan ganti kalau kita ketemu lagi. Tapi…” Gadis itu celingak-celinguk mengedarkan pandangannya pada setiap penjuru yang bisa ia jangkau lewat pandangan mata bulatnya, “Disini nggak ada yang jual arum manis,” lanjutnya dengan nada menyesal.

“Aduh nggak apa-apa ko, nggak perlu diganti,” ujar Shilla.

“Ya nggak bisa gitu, aku kan udah bilang mau ganti. Tapi…” ia melirik jam tangan warna pink pucat yang melingkari pergelangan tangannya, “Tapi aku buru-buru ni. Jadi gimana ya…” Ia mengetuk-ngetukka jarinya ke kening.

“Udah nggak apa-apa ko nggak perlu diganti kan cuma arum manis,” timpal Shilla.

“Aha, gini aja…” gadis itu mulai mengaduk-ngaduk isi sling bag mungilnya, mengeluarkan secarik kertas dan bolpoin lalu menuliskan beberapa angka pada kertas tadi, “Ini nomor aku, hubungin aja nanti kalau kamu punya waktu luang kita cari arum manis sama-sama ya,” katanya sambil mengangsurkan kertas yang tadi ia tulisi.

Tak berapa lama sebuah sedan hitam mengkilap berhenti tepat di pinggir jalan di depan gadis itu, “Aku duluan ya,” ujarnya seraya masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangan.

Shilla mengangguk, “Iya hati-hati,” balasnya.

Shilla mengeluarkan handphonenya, mengetikkan beberapa nomor yanga tertera pada carikan kertas di tangannya. Saat ia harus mengisikan nama untuk kontak baru yang akan disimpannya, Shilla baru ingat ia belum menanyakan nama gadis berjaster kuning itu. Mereka sudah bertemu dua kali tapi sama sekali belum sempat berkenalan. Tapi kemudian Shilla menemukan nama yang cocok untuk gadis itu sebelum Shilla tahu nama aslinya. Ia mengetikkan sebuah nama pada layar handphonenya. Nama yang manis, semanis senyum gadis itu.

Arum Manis.

***

Well, itu tadi part 14nya. bagaimana?
Jika ada yang masih membaca kelanjutan cerita ini, boleh dong ya meninggalkan jejaknya, supaya jadi motivasi untuk menulis part-part selanjutnya. Saya juga menjanjikan kepada beberapa orang untuk memberitahu saat cerita ini saya lanjutkan tapi karena sudah sangat lama jadi saya lupa siapa saja orang-orang itu. Jadi, saya minta bantuannya untuk memberitahu jika memang ada yang masih menunggu kelanjutan cerita ini.
Terimakasih banyak.
Best regard

Via.