Minggu, 06 Februari 2011

Dalam Rumah-Mu (cerpen)

Orang bodoh adalah orang yang selalu merasa tidak dicintai.
Orang bodoh adalah orang yang selalu merasa tidak penting.
Orang bodoh adalah orang yang mau dipermainkan perasaannya sendiri.
Dan orang bodoh adalah orang yang sangat pintar menghancurkan dirinya.

*

Aku berjalan gontai, menyerupai zombie, menuju salah satu sudut sekolahku. Dengan terus menunduk, kuselusuri kawanan rumput hijau yang menyelimuti tanah yang kupijak. Satu...dua...tiga... daun-daun jambu kering mulai berjatuhan, tak kuasa menahan dera angin rupanya. Begitu pula denga air mataku, satu persatu mulai menetes membentuk riak kecil dipipiku, sesekali aku menyusutnya dengan punggung tanganku, tapi sepertinya kelenjar air mataku sedang begitu rajin berproduksi, hingga tangis ku tak kunjung mereda. Tanpa menunggu lama, aku segera masuk menerobos bangunan bercat putih dengan kusen-kusen bercat coklat gelap ini. Bangunan yang terletak paling ujung setelah deretan kelas XII, bangunan ini yang selalu dengan ikhlas menawarkan rasa sejuk dan ketenangan setiap aku memasukinya. Masjid sekolahku.

Aku melirik jam biru muda yang melingkari pergelangan tangan kiriku, masih ada 2 jam pelajaran sebelum bel pulang sekolah berdentang. Tapi aku sama sekali tidak berniat mengikuti 2 jam pelajaran terakhir itu. Fisika, ah, aku benci pelajaran itu. Aku tidak pernah mengerti, kenapa aku yang bercita-cita ingin menjadi psikolog ini harus berkutat dan berkenalan dengan rumus-rumus ciptaan Newton dkk.
Jadilah, aku lebih memilih pergi kesini, ke masjid sekolah.

Bruk

aku segera membanting tubuhku, terduduk dengan kasar beralas lantai masjid berkeramik putih yang kali ini entah mengapa terasa sangat dingin. Dari kaca berukuran sedang didepanku, tampak di luar sana mentari sudah terusir oleh mendung, pergi bersama semua potongan-potong mimpi kecil yang telah kususun. Angin berdesau lirih, seakan ingin berhenti sejenak di sekitarku dan menertawakan kemalanganku.

Kualihkan pandanganku, melihat nilai-nilai hasil Try Out, yang sejak tadi menghuni genggamanku. Nilai matematika, biologi, fisika dan kimiaku, semua di bawah lima.
Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa lulus kalau nilaiku begini?
Dari awal sudah kubilan, aku tidak suka IPA, aku tidak suka. Kenapa mereka memaksaku masuk jurusan ini?
Dua tahun, dan aku tersiksa, sangat tersiksa, apa mereka mengerti?

"aku bukan kakak, Mah. Aku tidak suka IPA, Pah. Hiks," aku mulai menangis kembali, entah sudah berapa liter air mata yang ku keluarkan hari ini.

"sorry, bisa nggak elo kecilin suara nangis lo. Gue lagi baca dan sangat terganggu," suara baritone itu membuatku terpaksa berhenti menangis dan mengangkat kepalaku. Mataku mendapati seorang pria tengah duduk bersila disalah satu sudut tempat ini. Sepertinya tadi aku terlalu 'bersemangat' untuk menangis, hingga saat memasuki masjid ini aku tidak sadar, telah ada orang yang lebih dulu menghuninya.
Aku menatap pria itu dengan sinis. Apa-apaan orang itu, memang siapa dia, menyuruhku mengecilkan tangisanku?

"ngapain elo ngeliatin gue kaya gitu?" tanya pria itu, setelah menangkap basah aku yang tengah memandanginya.

Aku tidak menjawab, hanya menunduk sambil memeluk kedua lututku. Dalam hati kurutuki pria itu, ada seorang gadis menangis bukannya simpati atau apa, malah menyuruh mengecilkan suara tangisan, dasar pria aneh.

"eh, cewek. Ni," pria itu, tiba-tiba saja sudah duduk disampingku, seraya mengangsurkan sebuah sapu tangan bermotif kotak-kotak kearahku. Aku menerimanya, dengan agak ragu.

"kenapa lo nangis?" tanyanya, singkat. Tapi aku tidak yakin dia sedang bicara denganku, matanya saja tidak lepas dari buku tebal bersampul coklat yang dipangkunya. Maka kuputuskan untuk diam, tidak menjawab pertanyaannya.

"elo mau bunuh diri ya?" tanyanya lagi, tapi kali ini sambil melirik kearah tangan kananku yang memegang sebuah cutter.

"jangan disini!" lanjutnya, berkata.

"hah?" aku mengerutkan keningku, apa maksudnya dengan kalimat 'jangan disini' tadi?

"iya maksud gue, kalau elo mau bunuh diri, jangan disini. Ini kan rumah Allah. Tapi kalau lo udah nggak punya referensi tempat lain buat bunuh diri. Ya udah, terserah deh lo mau bunuh diri disini juga, asal tunggu setengah jam lagi ya," ujarnya, setelah itu ia kembali fokus pada bacaannya, "tunggu gue selesai baca dulu, paling sebentar lagi. Kalau elo bunuh diri sekarang, nanti gue keseret-seret lagi. Masih mending kalau gue cuma dijadiin saksi sama polisi, nah kalau dijadiin tersangka? Kan repot," lanjutnya, cuek.

"oh." tanggapku singkat.

OK. Dia memang benar, pikiran untuk mengakhiri hidup memang sempat berkelebat di otakku, dan cutter ini memang aku bawa siapa tau sewaktu-waktu aku sudah siap merealisasikan kelebatan pikiran itu.
Tapi tunggu, tunggu, kalau di novel-novel romantis, seharusnya pria ini mencegahku, menyemangatiku atau apalah, tapi kok malah gini? Dia malah menyuruhku menunggu sampai ia selesai membaca. Ya Tuhan, setidak-berarti itukah aku?

"eh, nama elo siapa?" suara berat itu kembali terdengar.

"Ara. Ngapain tanya-tanya?" balasku, sinis.

"ya, supaya gue tau aja. Kalau besok ada berita siswi SMA ditemukan tewas di Masjid, berarti itu elo, Ara," ucapnya santai.

Huh. Benar-benar orang aneh. Wajahku langsung terasa membara. Hei-hei! aku saja belum yakin akan mengakhiri hidupku, tapi kenapa dia sudah berfikir sejauh itu?
Orang seperti ini ni yang harus segera dilenyapkan dari muka bumi. Sok cuek, sok dingin, tidak berperasaan bikin darah tinggi, saja.

"kok elo malah gitu sih?" protesku, kesal.

"gitu gimana?" ia balik bertanya. Tapi lagi-lagi ia tidak memandangku, malah mengeluarkan buku baru yang kali ini bersampul biru tua dari ranselnya.

"ya, harusnya elo kan mencegah gue, nyemangatin atau apa kek, kok kayanya elo malah ngedukung niat gue bunuh diri?"

Pria tadi mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata dengan nada tak peduli, "Lah, emang bakal ngaruh ya?"

"ngaruh gimana?"

"orang-orang kaya elo, yang pengen bunuh diri gitu biasanya suka sok-sokan. Mau dijejelin nasihat, mau dicekokin kata-kata penyemangat,,pasti nggak akan didengerin. So, ngapain gue repot-repot nyemangatin lo? palingan juga nggak didengerin. Kalau elo mau bunuh diri, ya bukan urusan gue, itu hak lo." balasnya, santai.

Aku benar-benar gemas pada pria ini. Rasanya tanganku sudah sangat gatal ingin menonjok mukanya atau yang lebih sadis, aku cincang-cincang tubuhnya, kumasukan dalam koper lalu kuhanyutkan ke samudra Hindia. Biar tau rasa dia. Berada didekat pria macam ini membuat sisi kriminalku, muncul.

"S. Aditya?" gumamku, membaca sebuah nama yang tersulam rapi pada blazer kuning yang dikenakan pria itu, "itu nama lo? S-nya itu apa? Sinting atau sadis?" tanyaku berniat mencela.

Pria tadi langsung memandangiku dengan tatapan tidak suka, "nama gue Stevano Aditya, elo bisa panggil gue Vano," tukasnya.

"oh, salah tebak ya gue?" sahutku tak acuh, "tapi yang ini pasti nggak salah tebak, elo pasti anaknya orang kaya kan? Yang mau apa aja tinggal tunjuk. Lo pasti nggak pernah, ngerasain putus asa kan? Makanya lo lancar banget ngomong kayak tadi," cerocosku, berapi-api, "lo nggak tau, gimana sulitnya hidup gue. Lo juga nggak tau kan, segimana nggak adilnya Tuhan sama gue?" lanjutku, masih dengan sedikit emosi.

Dengan ekor mataku, aku bisa melihat Vano melotot kearahku.

"oya? masa? Gue jadi penasaran, emang sesulit apa sih hidup lo? Sampai elo berani bilang Tuhan nggak adil sama lo?" katanya, sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi dan melipat kedua tangannya di depan dada. Oh, menantangku bercerita rupanya. Baiklah...

Aku menarik nafasku dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Setelah melakukan hal serupa beberapa kali, aku mulai merasa siap untuk bercerita. Kulihat Vano masih bertahan dengan ekspesinya yang dingin dan datar.

"orang tua gue," aku mulai membuka ceritaku, "mereka maksa gue masuk jurusan IPA, gue selalu dipaksa ngikutin jejaknya kakak, gue juga harus ngambil fakultas kedokteran buat kuliah, padahal gue sama sekali nggak suka. Mereka selalu banding-bandingin gue sama kakak kandung gue, yang kelewat perfect itu. Padahal jelas-jelas kita tu beda. Belum lagi, sekarang setelah ayah pensiun, ibu gue makin gencar nyindir-nyindir gue, katanya harusnya gue bisa dapet beasiswa kaya kakak supaya beban orang tua gue nggak terlalu berat. Tapi mana mungkin coba? Gue tu sama sekali nggak suka IPA, gimana mau berprestasi dan dapat beasiswa? Belum lagi, sobat-sobat gue....." dan meluncurlah semua cerita itu dari mulutku, aku terus bercerita, tidak peduli walaupun satu-satunya pendengarku adalah pria-sok-cuek-yang-asik-sendiri-dengan-bukunya.

Kuceritakan dari A sampai Z, semua hal yang kuanggap tidak adil untukku. Tentang Angel, Dhiska, Caca, sahabat-sahabatku yang semakin menjauh dan seakan tidak mau peduli lagi dengan keluh kesahku, tentang Gabriel yang lebih memilih Dhiska, setelah hampir 2 tahun kami lalui bersama sebagai sepasang kekasih. Padahal Dhiska adalah sahabatku sendiri. Ralat !! Mantan sahabat maksudnya.

Selama aku bercerita, Vano tidak menanggapi apa-apa, malah kembali asik dengan buku-bukunya, hanya komentar-komentar singkat seperti, "oh gitu?", "trus?", "oh, iya-iya." atau anggukan kecil dari Vano yang menandakan ia masih mendengarkan ceritaku. Aku tak peduli apa dan bagaimana responnya, saat ini yang aku butuhkan hanya teman bercerita, orang yang mau mendengarkan keluh kesahku dan hadirnya Vano disini walaupun tidak banyak berpengaruh tapi itu sudah lebih dari cukup.

"gimana gue nggak mau bunuh diri coba kalau hidup gue begini terus ?"

"oh gitu."

aku mendelik, "heh!!" kurebut buku yang sedari tadi menyedot perhatian Vano, "elo kok malah asik sendiri sih? Lo nggak dengerin gue ya? Percuma dong gue cerita panjang lebar." gerutuku, berang.

Vano menoleh, memandang tajam keaarahku, "udah cuma segitu doang masalah lo?"

Ish, meremehkan sekali pria ini, batinku.

"jadi kalau gue simpulkan dari cerita lo, lo kecewa sama orang tua lo karena mereka terlalu memaksakan keinginan mereka ke elo. Lalu lo ngiri sama kakak lo-"

"eh, siapa yang ngiri? Gue cuma nggak suka dibanding-banding terus sama dia." protesku.

"ya OK. Gue anulir. Elo ngerasa terbebani punya kakak yang kelewat sempurna. Terus elo juga ngerasa sobat-sobat lo mulai menjauh dan terakhir, cowok lo selingkuh, gitu?" seakan membuat daftar, Vano mengacungkan jari-jarinya satu persatu setiap dia menyebutkan masalah-masalah yang aku ceritakan tadi.

"jadi intinya, lo punya 4 alasan buat bunuh diri. Terus lo udah pikirin, lo punya berapa alasan buat nerusin hidup ?" lanjutnya, bertanya.

"lah, emang gue masih punya alasan ya buat hidup?" sahutku dengan senyum getir.

Vano mengangkat bahunya, "ya, menurut gue sih masih. Pertama lo belum sempet ikut Ujian Nasional, padahal waktunya tinggal beberapa minggu lagi. Kedua, lo belum ngerasain haru-birunya acara perpisahan. Ketiga, lo belum ngerasain gimana serunya jadi mahasiswa. Dan secara gue udah ngerasain jadi mahasiswa walaupun baru satu semester tapi percaya deh, itu tu seru banget. Banyak pengalaman baru yang bakal beda banget sama masa-masa SMA lo. Keempat, elo belum sempet nanya sama temen-temen lo, kenapa mereka jauhin lo. Kelima, lo belum sempet nyari cowok baru yang lebih baik dari si Gabriel tadi, buat nunjukin bahwa dia yang rugi ninggalin lo. Dan keenam, kalo lo muslim, pasti lo nyesel nggak akan ketemu shalat Ashar hari ini."

Aku mendengarkan setiap kalimat yang Vano ucapkan dengan sungguh-sungguh dan saat ia merapal kata, shalat. Aku terdiam. Shalat?

"pantas saja Tuhan tidak adil padamu Ara. Coba ingat kapan terakhir kali kamu menunaikan kewajibanmu yang satu itu, kapan Ara?" suara itu seakan muncul secara ghaib, bergaung dalam otak dan fikiranku, serta menusuk-nusuk relung hatiku.

Melihat aku yang terdiam, Vano melanjutkan perkataannya, tanpa mau repot-repot menungguku yang sedang mencoba mencerna kalimat-kalimat yang ia lontarkan sebelumnya, "dan satu lagi. Sebelum lo bunuh diri, elo harus tau, Ra. Setiap malam ada sepasang suami istri yang selalu ngedoain elo. Ada seorang ibu dan seorang ayah yang selalu sayang sama lo dan berharap elo berhasil. Dan suatu saat, kalau elo bener-bener berhasil, mereka nggak akan minta apa-apa, Ra. Nggak sedikitpun. Mereka cuma bakal bilang 'ini putri kami, ini Ara putri kebanggaan kami. sekarang Ara telah sukses.' apa elo nggak kepingin liat senyum bangga mereka?"

Aku semakin membisu. Kata-kata Vano sepertinya menyedot kemampuan otakku untuk merangkai kalimat. Vano benar, ya dia benar. Dan kebenaran itu mencekat nafasku, menyudutkanku dari segala arah.

"lagian, Ra. Kenapa sih elo nggak suka masuk IPA? Padahal kan keren." ujar Vano, kini ia telah kembali berkutat dengan buku-buku tebalnya.

"karena gue udah tau, 1 tambah 1 itu 2. Gue lebih tertarik mempelajari hal-hal yang terus berkembang mengikuti perubahan zaman. Lagi pula emang penting ya buat seorang psikolog belajar rumus kekekalan momentum, atau berapa diameter plasma darah ? Nggak kan ?"

"oh jadi elo mau jadi psikolog ?" aku menjawab pertanyaan Vano dengan sebuah anggukan kecil, "terus elo udah ngomongin semua ini sama orang tua lo?"

aku tercenung sesaat, mencoba memutar kembali memori yang tersimpan rapi di otakku, mengingat-ingat sejumlah pertengkaranku dengan orang tuaku.

"mmh... ya, nggak juga sih. Gue cuma bilang gue nggak suka disama-samain sama kakak." jawabku.

"pantesan aja."

"pantes apanya?"

"ya, pantes aja orang tua lo nggak ngerti apa mau lo. Pasti mereka cuma mikirnya alasan lo itu nggak rasional, kekanak-kanakan. Coba kalau elo jelasin tentang cita-cita lo, tentang pilihan lo dari awal, mungkin situasinya bakal beda, sekarang"

Aku memeluk kedua lututku dan menumpukan daguku diatasnya, "iya juga kali ya..." gumamku, ragu.

"bener kan? Elo sih apa-apa cuma diliat dari sudut pandang lo sendiri. Coba deh, lo pikir, kalau mati sekarang lo kehilangan kesempatan buat mengkaji ulang setiap masalah yang lo punya." timpalnya. Aku mendesah. Aneh memang. Aku baru sekali bertemu dengan laki-laki yang mengaku mahasiswa semester dua, bernama Vano ini. Tapi entah mengapa semua keluhanku bisa mengalir dengan lancar dihadapannya.

"tapi kan semuanya nggak sesimple itu. Lo nggak tau sih, gimana rasanya jadi gue," ujarku defensif. Aku memang salah, tapi rasa-rasanya tidak sepenuhnya semua itu karena kesalahanku kan? Bagaimana dengan Gabriel yang berselingkuh dengan sahabatku sendiri, apa itu juga karena kesalahanku?

"emang," jawab Vano santai, "gue emang nggak tau rasanya jadi elo. Sama kayak elo yang nggak tau gimana rasanya jadi orang tua lo. Lo nggak tau kan, gimana rasanya dibantah sama anak sendiri, padahal mereka cuma berharap yang terbaik buat lo." Vano berhenti sesaat untuk menarik nafas, lalu segera menyambung kalimatnya kembali, "lo juga pasti nggak tau kan, gimana rasanya jadi kakak lo, mungkin dia juga ngerasa capek harus terus-terusan jadi panutan."

aku mati kutu, benar-benar tak berkutik. Argumen-argumen penuh penyangkalan yang gencar ku lontarkan diawal percakapanku dengan Vano, kini menguap entah kemana.

"jangan terus-terusan mojokin gue gitu dong, lo bikin gue makin ngerasa jadi orang paling menderita sedunia tau nggak?" keluhku, jengkel.

"CK" Vano berdecak keras, "lo nggak sehebat itu kal,." sanggahnya.

Heiii!!! Tanggapan macam apa it?. Memang apa hebatnya jadi orang paling menderita sedunia?

"emang apanya yang hebat kalau jadi orang paling menderita? Aneh deh lo." seruku.

"lo tau nggak, ada lebih dari 6 milyar manusia didunia ini, dan untuk jadi orang paling menderita sedunia, elo harus bersaing sama 6 milyar manusia yang lain. Lo yakin penderitaan lo sehebat itu, sampai bisa mengalahkan orang sebanyak itu?" aku ternganga mendengar jawabannya.

"logila lo aneh." tukasku tak terima, sepertinya daritadi tak ada satupun kalimat yang aku ucapkan benar dimata pria ini.

"aneh tapi bener kan?" tantangnya, aku tidak menjawab, malah melengos, membuang muka. Mencoba mengatur nafasku, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, berharap gas itu bisa sedikit melegakan perasaanku yang sejak tadi sesak dijejali ucapan-ucapan Vano.

"liat deh, isi buku itu!" Vano menunjuk bukunya yang tadi kurebut paksa dan masih bertengger nyaman dipangkuanku.

Aku tak membantah. Perlahan, aku mulai membuka buku itu. Halaman demi halaman pun terurai, dan semakin jauh buku itu kubuka, aku semakin bergidik ngeri dan merasa sedikit mual.

Buku itu berisi gambar orang-orang yang entah karena apa, kepalanya botak, wajahnya dipenuhi ruam-ruam merah berbentuk seperti kupu-kupu di sekitar hidung dan pipi, kulit mereka melepuh dan terkelupas, seluruh badan mereka terlihat bengkak-bengkak. Dan kebanyakan dari mereka adalah kaumku, wanita.
Merasa tidak kuat untuk melihat lebih jauh, buku itu segera kusodorkan pada pemiliknya.

"elo masih yakin, kalau elo orang paling menderita sedunia, sekarang?"

Duh. Kenapa sih anak rese ini paling jago membuatku bungkam setelah mendengar kata-katanya yang kelewat tepat sasaran? Dan lagi-lagi aku memutuskan untuk diam. Ya, diam itu emas, daripada aku bersuara. Yang ada kata-kataku, lagi-lagi akan jadi bumerang sendiri buatku. Aku memilih menunduk, memandangi tanganku yang bergerak-gerak, gelisah. Tertangkap oleh mataku, jam biru muda yang kukenakan. Tiba-tiba aku teringat, ini jam dari Mamah. Yang diberikan tanpa alasan apa-apa, hanya karena aku dengan iseng menunjukkam jam ini saat kami jalan-jalan di Mall. Dalam sekejap, perasaan rindu pada MAmah membuncah didadaku, menyesakkan, menggiring air mataku untuk segera meluncur.

"mereka itu para penderita Lupus. Dan yang harus lo tau, dengan keadaan mereka yang kayak gitu banyak yang masih bisa dan mau bertahan hidup, mencoba menerima apa yang telah Tuhan takdirkan. Apa lo nggak malu sama mereka, kalau elo bunuh diri cuma karena masalah-masalah yang nggak ada seujung kukupun dari apa yang mereka harus hadapi?" lanjut Vano.

"gue..gu..gue-"

"ya udah lah, elo gak perlu repot-repot jawab pertanyaan gue. Toh, gue juga udah mau cabut. Gue udah telat. Eh, gue kan diundang buat ngisi pertemuan anak-amak KIR hari ini, nah, anak-anak KIR biasanya kumpulan dimana sih ?" tanya Vano, sambil mulai membenahi barang-barangnya dan memasukkannya dalam ransel.

"di Lab. Dari sini lo lurus aja, pokoknya yang samping kooperasi." jawabku sekenanya.

"oh OK, thanks ya. Gue duluan. Sekarang silakan deh kalau elo mau bunuh disi. Semoga berhasil ya, bye cewek aneh." pamit Vano, yang segera bangkit dan berjalan membelakangiku.

"Vano," panggilku, setelah ia sudah sampai di ambang pintu, Vano menoleh dan menggerakan dagunya seakan bertanya 'apa?'.

"gue mau klarifikasi, pertama gue bukan cewek aneh. Kedua, gue emang nggak mau dan nggak akan pernah bunuh diri," kataku tegas.

Vano menggangguk, "bagus deh. Lo dianugrahi Tuhan kehidupan di dunia ini pasti karena ada suatu alasan. Saat ini mungkin elo belum tau apa alasan itu, tapi yang pasti bukan untuk diakhiri dengan cara dramatis dan sinetron banget, kayak ngiris nadi pake cutter. Lo bakal dapetin yang terbaik dalam hidup, kalau elo juga berusaha melakukan yang terbaik yang bisa lo lakuin. Dan satu lagi, kalau elo bilang gue anak orang kaya, gue anggap itu sebagai doa. Ayah gue cuma supir angkot, dan ibu gue tukang jual kue keliling, tapi gue bersyukur kok atas apa yang gua punya sekarang ini, semoga elo juga gitu ya.." katanya diiringi sebuah senyuman.

Aku tertawa kecil, "thanks ya..." kataku tulus.

Aku ikut berdiri saat tubuh Vano melenggang pergi dari masjid ini. Dari kejauhan kupandangi punggungnya, kalau-kalau ada sepasang sayap disana. Ah, ternyata tidak ada. Dia bukan malaikat. Tapi apapun dan siapapun Vano dia pasti bentuk pertolongan dari Tuhan untukku. Untuk mengentasku dari kegelapan, untuk melapangkan fikiran dan hatiku agar lebih bijak dalam menilai apapun.

"t'rimakasih Tuhan," lirihku.

Tuhan memang tidak pernah tidur, Ia selalu ada dan akan lebih dekat dari urat leher. Bermunajatlah pada-Nya, mintalah pertolongan-Nya saat kamu menemukan hal yang sukar. Niscaya Ia akan membantumu dengan caranya sendiri. Cara yang bahkan mungkin tak pernah kamu duga, lewat seorang pria berusia belasan tahun yang baru dua semester menjadi mahasiswa, misalnya.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya pelan, aku tersenyum. Aku ingin segera pulang. Aku ingin memeluk Mamah. Aku ingin membuatkan minum untuk Papah. Aku ingin bercerita tentang hari ini pada kakak. Aku ingin menelfon sahabat-sahabatku. Aku ingin minta maaf pada mereka semua. Aku ingin memulai semuanya dari awal. Dan aku ingin berteriak pada dunia, bahwa aku bukanlah orang paling menderita sedunia. Justru sebaliknya, aku orang paling bahagia sedunia, karena aku masih memiliki mereka. Mamah, Papah, kakak dan sahabat-sahabatku. Mereka orang-orang yang aku sayangi dan menyayangiku.

***

0 komentar:

Posting Komentar