Minggu, 06 Februari 2011

Tanpa Tangan Kananku (cerpen)

Tanpa Tangan Kananku (cerpen)

***

Kemilau cahaya mentari menerobos masuk ke dalam kamar anak laki-laki itu. Sang empunya kamar tiba-tiba tersentak, ia terjaga dari mimpi-mimpi kecilnya. Segera ia bangkit dan menyibak selimut hangatnya. dijejakkan kakinya kelantai, ah masih terasa dingin ternyata. Dengan tergesa diambilnya tas sekolah doraemon di meja dekat tempat tidurnya, dikeluarkan sebuah gambar dari dalam tas itu. Sepasang kaki mungil itu langsung berlari lincah keluar kamar. entah apa yang akan dilakukan bocah lucu itu.

"ma, pa, mama, papa!!!" teriaknya menunggu sahutan.

Seorang perempuan paruh baya tergopoh-gopoh menghampirinya.

"aden, kok udah bangun?" tanya wanita yang ternyata pembantu rumah tangga, di rumah mewah itu.

"bi, mama sama papa mana?" tanya bocah itu.

"nyonya sama tuan sudah berangkat ke bandara tadi pagi-pagi sekali, den. Mereka ada rapat di luar kota." jelas si Bibi.

"yaahh, padahal aku mau nunjukin ini," rajuk anak itu kecewa, sambil mengangsurkan buku gambarnya.

"wah, bagus sekali gambarnya. dapat nilai 9 ya?" puji si Bibi saat mengamati gambar anak laki-laki itu.

"bi,aku pengen deh main ke dufan bareng mama sama papa, aku pengen makan es krim bareng mereka. Aku kangen mereka, bi," rengek anak itu dengan suara manja khas anak kecil sambil memeluk pinggang si Bibi.

si Bibi membalas pelukannya dengan mengelus rambut anak majikannya itu, "iya, nanti ya, kalo mereka sudah tidak sibuk. Aden tau kan mereka sibuk itu juga buat aden. Sekarang mandi dulu ya, kan mau sekolah."

Mario stevano, begitulah nama yang diberikan orang tuanya kepada bocah laki-laki itu. Ia baru berusia 6 tahun, tahun ini adalah tahun pertamanya di Sekolah Dasar. Rio adalah anak yang manis dan pintar, ia ramah dan penyayang. Celoteh dan tingkahnya selalu membuat orang lain, gemas. Rio anak yang baik, tidak pernah rewel meski sering ditinggal orang tuanya bekerja. Tapi bagaimanapun Rio hanya seorang anak kecil yang kadang merindukan saat-saat bersama orang tuanya, ia juga ingin rapor sekolahnya diambil oleh orang tuanya, seperti teman-teman yang lain. ia ingin orang tuanya yang merawatnya saat sakit, ia juga sangat ingin merayakan ulamg tahun bersama mama-papanya, bukan hanya kue ulang tahun bertingkat atau kado-kado yang menggunung, bukan... bukan itu yang rio harapkan.

*

"mama, besok mama dateng ya ke sekolah rio, sekolah rio mau ngadain acara peringatan hari ibu," pinta rio sambil bersandar manja di bahu mamanya. Kebetulan hari itu mamanya sedang berada di rumah.

"mama nggak bisa rio, besok mama ada kerjaan."

selalu begitu, rio hafal betul, kata-kata itu. Karena memang selalu kata-kata itulah yang terlontar saat rio meminta mama atau papanya menemaninya, entah untuk sekedar main ,mengajari membuat PR ataupun datang ke acara sekolah rio.

"tapi besok Rio nyanyi lho, ma. Mama nggak pengen lihat?"

"sama bibi aja ya, sayang."

"Rio maunya sama mama" rengek rio.

"ya udah, besok mama usahain ya. Udah sana main lagi!"

mama rio kembali berkutat dengan laptop, pena dan kertas-kertasnya. Rio pun menurut, bocah itu keluar dengan senyum manis mengembang di wajah lucunya, mengingat mamanya akan hadir di sekolahnya, besok. Setelah beberapa langkah, rio berbalik, ia berlari kecil ke arah mamanya, lalu dengan tangan-tangan kecilnya dipeluk mama tercintanya itu.

"I LOVE YOU, MOM," ucap Rio tulus dengan bahasa inggris khas anak SD.

Mama Rio tersenyum kecil, kemudian dielusnya rambut rio dengan lembut.

*

kubuka album biru penuh debu dan usang kupandangi semua gambar diri kecil, bersih belum ternoda
fikirku pun melayang dahulu penuh kasih teringat semua cerita orang tentag riwayatku
nada-nada yang indah s'lalu terurai darinya tangisan nakal dari bibirku takkan jadi deritanya


suara rio mengalun memenuhi ruangan itu. memang belum terdengar merdu, tapi cukup untuk membuat orang terharu karena lagu itu terlantun dari bibir kecil dengan segenap ketulusan. Dentingan piano dan barisan lilin di belakang rio, membawa semua orang larut dalam bayangan sosok seorang ibu.

Tangan halus dan lembut t'lah mengangkat tubuh ini, jiwa raga dan seluruh hidup rela dia berikan

"lagu ini, buat mama Rio tercinta," ucap rio di sela-sela jeda lagunya.

Kata mereka diriku slalu ditimang kata mereka diriku slalu dimanja...

sejak awal rio berdiri di panggung, sudah berkali-kali ia menatap barisan penonton di hadapannya, berharap menemukan sosok mamanya berdiri dan tersenyum kepadanya. Tapi hingga detik ini, Rio tidak juga melihat mamanya disudut manapun diruangan ini.

Oh, bunda ada dan tiada dirimu kan selalu, ada di...

Rio sudah hampir menyelesaikan penampilan bernyanyinya. lagu yang ia nyanyikan akan segera berakhir, mungkin sama dengan harapan rio atas kedatangan mama ataupun papanya, semuanya sudah hampir kandas. Terakhir kali, matanya menyapu setiap sisi ruangan itu, tapi hasilnya tetap nihil. Ia menarik nafas sejenak dan meneruskan nyanyiannya tadi.


Ada didalam hatikuuu...


Prok-prok-prok suara tepuk tangan penonton menutup penampilan rio.

"t'limakasih" rio tersenyum dan membungkuk.

Rio turun dari panggung diiringi tatapan kagum para orang tua murid yang hadir.

mama nggak datang, mama bohongin Rio, batin rio kecewa.

Tapi rio tidak menangis seperti layaknya anak kecil lain, tidak ada setitik pun airmata yang terpeta di wajah lucunya, ia terus tersenyum. Senyum tulus yang selalu disuguhkan pada siapapun yang ia temui.

*

malam telah begitu larut, gelap dan sunyi. Hanya deritan jangkrik yang masih terdengar meraung di tengah kebisuan malam, tapi rio belum juga terlelap masih asyik bermain dengan puzzle-puzzlenya.

"ayo den, sudah malam,aden bobo yuk!" bujuk si bibi.

"Rio pengen nunggu mama sama papa pulang, Bi" rio menolak.

Tak berapa lama deru mobil terdengar memasuki halaman rumah rio, rio segera membukakan pintu.

"mama, papa" sapa rio, bersemangat.

"rio kok, belum bobo?" tanya Mamanya.

"Rio mau kasih liat ini ma, pa. Lihat Rio dapet nilai MTK 100. Nilai Rio paling tinggi lho," rio bangga, sambil menyodorkan selembar kertas dengan tulisan khas anak TK dan angka 100 tertulis di sudut kanan atasnya. Tapi mama ataupun papanya tidak ada yang berminat untuk sekedar mengulurkan tangan dan meraih kertas yang disodorkan rio itu.

"iya, nanti papa beliin hadiah ya," balas papa rio sambil lalu.

Sedikit kecewa, tapi rio tidak menyerah. Ia berlari kecil, lalu menarik tangan mama dan papanya. "Rio punya kejutan. ayo ma, pa, lihat!"

"rio, mama sama papa capek, besok aja ya," ujar sang mama.

Rio tetap menarik tangan kedua orang tuanya ke arah bagasi. Di sana tertengger dengan anggun sebuah mobil berwarna hitam mengkilap, mobil itu keluaran terbaru, harganya tentu sangat mahal. mobil itu baru tiba sore tadi di rumah rio.

"lihat ni, mobil papa rio gambarin, supaya kalo mama sama papa pergi kerja, mama sama papa selalu ingat rio. kata bu guru gambar rio bagus," rio menunjukkan gambar di atas mobil baru papanya itu.

Ia menggambari mobil itu dengan paku. alhasil mobil mewah itu menjadi korban kepolosan rio. Mobil itu dipenuhi coretan crayon dan lecet-lecet akibat goresan paku.

"ini mama," rio menunjuk satu gambar dari tiga gambar yang ada, "ini papa dan yang kecil ini-"

tiba-tiba papa rio menarik tangan kanan rio, mengambil gagang sapu terdekat dan....

Plak-plak-plak.

Tangan kecil itu dipukuli sejadi-jadinya.

"bandel kamu, bandel. Siapa yang suruh coret-coret mobil papa, bandel!!!" seru papa rio marah, mungkin karena sangat lelah dan emosi, ia jadi begitu tega berbuat seperti itu pada putra semata wayangnya.

"ampun pa, ampun...ampun pa," rio menangis terisak-isak, tangan kanannya sudah merah berdarah.

"sudah pa, sudah. kasian ri,o" mama rio mencoba menenangkan suaminya yang tengah dikuasai amarah.

"sudah tuan, kasian den rio," si bibi datang dan langsung memeluk tubuh rio.

"BAWA DIA, DASAR ANAK NAKAL! KAMU JUGA TIDAK BECUS MENJAGA ANAK KECIL BISA-BISANYA RIO MENGGAMBARI MOBIL SAYA SEPERTI INI. NGAPAIN SAJA KAMU?" papa Rio memaki-maki si Bibi dengan suara keras.

"hiks, hiks, tangan Rio sakit, Bi..." lirih rio.

*

Lima hari kemudian, luka di tangan rio membengkak, badannya pun sudah tiga hari ini sangat panas. Si bibi sudah berulang kali bicara pada orang tua rio agar segera membawanya ke Rumah Sakit.

"beri saja parasetamol atau dikompres, paling demam biasa. Saya belum ada waktu untuk mengantar Rio ke Rumah Sakit, bi" begitu jawaban mama rio.

Papa Rio lebih parah lagi, "anak itu memang sangat manja" komentarnya, pedas.

Tepat satu minggu setelah kejadian itu, rio dilarikan ke Rumah Sakit karena sudah hampir seharian rio tak sadarkan diri.

"amputasi!"

CTTAAARR

kilatan petir bagai berlomba menghujam hati orang tua rio, saat mendengar keputusan dokter. Ternyata mereka terlambat, tangan kanan rio infeksi dan harus diamputasi. Mama rio terus menangis, membayangkan putra tunggalnya akan cacat. Dan beribu sesalpun singgah di benak papa rio. Anak yang selalu ceria, anak yang tanpa mereka sadari selalu membuat mereka bangga...aarrghhh, entah apa yang akan dikatakan rio kelak ketika dewasa, bila mengetahui kebodohan orang tuanya. entah bagaimana orangtua Rio menjelaskan semuanya pada anak itu.

sehari pasca operasi, rio sudah dipindahkan ke kamar inap. mama rio masih terus terisak saat mengamati rio yang sangat lucus aat tertidur pulas.

"kapan terakhir kali kita mengecup keningnya ya, pa?" tanya mama rio lirih pada suaminya yang sedang duduk termenung dengan tatapan kosong.

"ergghh," rio mengerang dan mulai membuka matanya, "mama, papa."

"iya, nak?" tanya mama rio yang langsung mendekatkan wajah pada Rio.

"maafin Rio ya, ma, pa. Rio janji nggak akan nakal lagi," bukannya menjawab mama rio malah menangis tersedu.

rio berusaha bangun untuk menenangkan mamanya dan..."tangan? kemana tangan rio mah? Papah kemana tangan rio?" Rio kebingungan melihat tangannya yang tinggal sebelah, "ampun pa, rio minta maaf. kembaliin tangan rio pah, nanti rio nggak bisa gambar lagi," selaput bening pun mulai luruh satu-persatu dari mata rio.

"sayang, maafin mama," mama rio menghamburkan pelukannya, "Rio sakit nak, tangan rio harus dipotong kalau nggak nanti rio nggak bisa ketemu mama sama papa lagi, nggak apa-apa ya nak. Rio jangan nangis, nanti mama ikut sedih sayang."

Tiba-tiba saja papa Rio meraih pisau buah yang ada di atas meja kecil dekat tempat tidur Rio, "Rio potong tangan papa saja nak, ayo cepat potong tangan papa. ini semua gara-gara papa. Rio boleh hukum papah nak. potong tangan papa!!!" papa Rio menangis, dari ekspresi wajahnya tampak penyesalan yang luar biasa. belum pernah Rio melihat papanya sesedih itu.

"Papa..." Rio memeluk papanya dengan satu tangan, "Rio nggak mau potong tangan papa, rio nggak mau. Rio nggak apa-apa kok tangannya dipotong, daripada Rio nggak bisa ketemu papa sama mama lagi." rio mengusap air mata papanya dengan lembut, "tapi ma, pa, rio sekarang udah nggak punya tangan kanan, apa Rio tetap anak mama sama papa?" tanya rio polos.

orang tuanya mengangguk. "kamu tetep putra papa. mario putra kebanggaan papa."

Rio tersenyum, "Rio sayaaang banget sama mama dan papa." ucap rio tulus.

Ucapan rio tadi membuat relung dada orang tuanya semakin penuh sesak dengan rasa bangga. Rio begitu berbesar hati padahal cobaan yanh diberikan Tuhan sangat berat untuk ukuran anak seusianya. Rio adalah anugrah paling luar biasa yang Tuhan titipkan pada kedua orang tua Rio.

*

Seorang pria dan wanita berdiri mengapit seorang pemuda tampan dengan senyum khasnya. Mereka berada dalam sebuah pameran. pameran tunggal, MARIO STEVANO.

Aula gedung itu kini dipenuhi guratan warna warni dari kuas yg ditorehkan oleh tangan kiri rio. Tiga belas tahun telah berlau semenjak kejadian menyedihkan itu dan pelukis terkenal, itulah rio sekarang. ia membuktikan bahwa cacat tidak bisa menghambat bakat dan impiannya. Dengan bangga kini ia berdiri tegak, diiringi pujian dan sanjungan yang selalu terlontar dari mulut pemuja lukisannya.

"ma, pah, rio mau bilang makasih. Kalo dulu papa nggak mukul tangan rio, mungkin sampai sekarang rio akan lebih suka mencoret-coret mobil dibanding menggambar di atas kanvas," ucap rio sambil tersenyum polos, senyum khas rio yang sejak kecil sudah menjadi cirinya.

Orang tua Rio pun hanya mampu mengucap syukur yang tak terbilang jumlahnya karena telah dianugrahi anak seluar biasa Rio. Mereka menatap haru pada putra mereka yang tengah menuai sukses dengan segala keterbatasannya. mereka sangat bangga, bangga pada putra mereka, rio si anak tanpa tangan kanan.

The end

***

best regard

via

0 komentar:

Posting Komentar