Minggu, 06 Februari 2011

Pelangi Persahabatan Kami (cerpen)

Pelangi Persahabatan Kami

***

separuh darimu menjadi bagian dari kami
separuh darimu memberikan kekuatan pada kami
dan separuh darimu menjadi setitik kehidupan untuk kami


tetesan air langit masih saja mengguyur bumi, sejak tadi pagi.
Awal november. ah ya, tentu saja hujan yang berkuasa. bahkan tumpahan air langit itu tidak mengizinkan senja muncul hari ini untuk sekedar menjemput mentari kembali keperaduannya. Dan aku masih terdiam di sini sejak beberapa menit lalu. mendengar dendang tangis milik seseorang yang sepertinya aku kenal. Pemuda tampan dan manis begitu kata orang tentangnya. Tapi aku tak tau bagaimana rupanya, ya... karena memang aku belum pernah melihatnya. Aku ify, karena sebuah kecelakaan aku buta sejak kecil dan karena itu pula aku tinggal dipanti ini setelah orang tuaku meninggal akibat kecelakaan yang sama. dengan langkah tersaruk, kucoba menghampiri pemilik dendang tangis itu.

"ngapain kamu disini sendirian yo?" tanyaku padanya.

"jangan sok peduli. pergi sana!" ketusnya padaku.

"yo, ayo kita masuk, kamu kan baru sembuh." ajakku sedikit memaksa.

"gue bilang jangan sok peduli! udah lo pergi sana. gue baik-baik aja. GUE SEHAT," tekannya setengah berteriak, "Gue nggak kayak lo sama teman-teman lo yang lemah, penyakitan," tambahnya, kasar.

Ah menyakitkan sekali ucapan pemuda ini. ada apa dengannya? mengapa mulutnya bisa bicara setajam dan semenusuk itu? Tapi sudahlah, aku tidak peduli dengan apa yang baru saja dikatakannya, yang terpenting adalah segera mengajaknya masuk karena udara di pelataran sini, mulai terasa mendingin. aku tentu tak akan tega membiarkan rio, sahabatku, sendirian di luar padahal cuaca sedang begitu tak bersahabat apalagi dia baru sembuh dari sakitnya.

"kalo kamu nggak mau masuk, aku juga bakal tetep di sini temenin kamu," ancamku.

"udah deh, PERGI SANA!!!"

Aku merasa dorongan keras pada tangan kananku, hingga tubuhku tersungkur. sepertinya Riolah pelaku pendorongan itu.

"ify!!!" teriak suara baritone yang aku yakini milik Alvin.

kemudian terdengar langkah-langkah kaki yang berlarian ke arahku dan sepasang tangan lembut yang membantuku untuk bangun.

"fy, kamu nggak apa-apa?" suara seorang gadis menyapa indera pendengaranku, sepertinya aku mengenal suara itu. suara milik sivia, sahabat sekaligus gadis yang membantuku berdiri tadi (sepertinya).

Mereka semua adalah sahabat-sahabat terdekatku. Alvin, Sivia dan Rio tentunya. kami berkawan sangat dekat. Alvin adalah penderita penyakit kerusakan hati, sedangkan sivia menderita gagal ginjal. Aku sendiri (seperti sudah aku katakan tadi), buta. Panti ini memang dibangun khusus untuk anak-anak seperti kami. anak-anak yang diberikan kelebihan oleh Tuhan. Ya penyakit-penyakit yang kami derita, aku menyebutnya sebagai kelebihan. bukan apa-apa aku hanya tidak ingin menambah beban hidup anggap saja semua yang Tuhan berikan padamu kemarin, hari ini ataupun esok adalah kelebihan yang pantas disyukuri. paling tidak itu akan membuatmu merasa lebih baik dan mengurangi beban. Di panti ini kami merasa lebih nyaman, kami merasa sama dan senasib, di sini kami belajar saling melengkapi, belajar peduli, saling menyemangati dan berbagi.

Tapi rio? Dia berbeda dengan kami, seperti yang (sering) dia katakan, Rio tidak sakit. Tidak cacat seperti kami. setauku, sebelas tahun yang lalu, ibu panti membawa seorang anak berusia sekitar lima tahun. anak itu menagis terus. Ibu panti bilang beliau menemukan anak itu, di station. Anak itu menangis kebingungan mencari ibunya. mungkin dia terpisah dari orang tuanya atau mungkin sengaja di tinggal. Ah, entahlah, itu tidak penting untuk kami. Saat itu yang kami fikirkan adalah kami akan mempunyai teman baru lagi yang bernama Rio.

"orang tuaku, pasti akan menjemputku."

itu adalah kalimat andalan rio yang aku hafal betul. Dulu saat awal-awal Rio tinggal di panti, anak itu menolak setiap kali kami ajak bermain. Dia sepertinya tidak suka dengan keberadaan kami, dia lebih suka sendiri, asik dengan dunianya yang entah berisi apa, tak ada yang tau, karena memang tak pernah dibagi. Tapi seiring berjalannya waktu, sosok asli rio mulai muncul. Rio anak yang lucu dan baik hati. Pada dasarnya rio itu ramah dan penyanyang, kami semua jadi mulai terbiasa membaur dengannya, sebagaimana Rio pun mulai bisa menerima kami sebagai bagian dari hidupnya yang baru.
Aku, sivia, alvin dan rio memang sangat akrab. Kami sering bermain bersama. Rio mengajari banyak hal pada kami, termasuk semangat yang tak pernah padam untuk sembuh. Rio yang mengajari alvin bermain gitar, menemani bermain sepak bola, bahkan rio juga tidak canggung membantu sivia merawat bunga-bunganya. Rio juga selalu menceritakan hal-hal yang tidak bisa aku lihat, seperti keindahan saat mentari terbenam, bunga yang bermekaran, rinai hujan, juga tentang sosok alvin dan sivia. Rio bilang alvin itu ganteng, tinggi, kulitnya putih. sedangkan sivia, cantik, pipinya bulat menggemaskan. Dan rio bilang kalau aku itu manis, dengan dagu tirus dan rambut lurus yang membingkai wajahku.

Tapi entah mengapa sejak beberapa bulan lalu, sosok rio mulai berubah. ia kembali menjadi rio yang dulu, yang tertutup, yang tak mengizinkan seorangpun masuk dalam hari-harinya. rio yang cenderung kasar dan sangat menyebalkan.

"yo, kamu apa-apaan sih?" bentak alvin.

"LO NGGAK USAH IKUT CAMPUR!"

"tapi kita sahabat kamu yo dan kita sedih liat kamu kayak gini. ada apa sebenarnya?" tambah sivia.

"kamu kenapa sih yo? Kita kangen rio yang dulu," tanyaku sehalus mungkin.

"ini gue rio. Yang ada di hadapan lo semua, inilah rio yang asli. Rio yang kemarin udah mati. MATI!"

aku mendengar langkah-langkah kaki menjauh, sepertinga sepasang kaki milim Rio. Ya Tuhan ada apa dengan sahabatku itu?

*

sore itu selepas hujan, kami bertiga, aku,alvin dan sivia (lagi-lagi tanpa Rio), berkumpul di danau bintang. Danau ini, riolah yang menemukannya. Sudah berapa lama rio tidak mengunjungi tempat ini? Akhir-akhir ini, rio lebih sering mengunci diri di kamarnya. Danau ini menurut cerita Rio, di kelilingi barisan pohon pinus dengan daun-daun mungilnya yang berwarna hijau cerah yang selalu berhias butiran-butiran air selepas hujan. Air danaunya bergerak perlahan membiaskan langit di atasnya. Saat malam, danau ini akan menghamparkan ribuan bintang, karena itulah Rio menamainya danau bintang.

"eh, eh lihat ada pelangi!" kata alvin, heboh.

"oh ya?" balasku.

"iya fy," jawab sivia, singkat.

"andai ada rio di sini, pasti dia akan dengan senang hati bercerita tentang perwujudan pelangi itu," batinku,
"aku kangen rio" gumamku.

"kita juga, fy." timpal alvin dan sivia bersamaan.

Setelah itu, kami terdiam. Tak berapa lama pelangi pun hilang. kami bergegas untuk pulang, Sivia menuntunku perlahan. tapi kemudian derap kami terhenti.

"ada apa?" tanyaku tak mengerti.

ternyata alvin dan via melihat rio melangkah perlahan ke arah sebuah pohon, rio menggali lubang di sana dan menguburkan sesuatu.

"Eh Rio kenapa? kok kayaknya nangis?" sivia bertanya-tanya.

"rio nangis? Aku mau samperin dia," kataku.

"jangan fy, entar kamu kena bentak lagi. udahlah mungkin dia udah nggak butuh kita." cegah alvin.

"tapi dia kan sahabat kita, kasihan," belaku.

"Iya Fy, tapi mungkin Rio emang lagi butuh sendiri untuk beberapa waktu," imbuh Sivia.

*

Dua minggu setelah kejadian itu, sekarang di sinilah kami. ditemani suara guntur yang melolong menyeramkan, kami berdiri bisu menunggui sosok lemah seorang pemuda. Dari percakapan Alvin dan Sivia, pemuda itu tertidur pulas dalam sebuah ruangan, ia terlihat begitu letih, guratan kesakitan hampir menghilangkan ketampanannya. Rambutnya menipis, kulitnya pucat, bibirnya hampir seputih salju dan tangan yang dulu selalu diulurkan untuk membantu teman-temannya, kini terkulai tak berdaya di sisi tubuhnya. memilukan bukan?

Air mata? Ah ya tentu tak dapat lagi dihitung, berapa banyak yang sudah tertumpah.

"rio selalu bilang, kalian segalanya untuknya, maafkan sikap rio selama ini pada kalian. dia hanya tidak ingin kalian sedih saat dia pergi nanti," jelas ibu panti kepada kami.

Aku terisak, "ibu jangan bilang begitu, rio pasti sembuh. Kita selalu mendoakannya," ucapku getir.

Semua hanyut dalam kesedihan dan doa. Doa untuk sahabat terbaik kami. Aku takut, entah mengapa aku merasa rio akan segera pergi meninggalkan kami, tapi segera kutepis perasaan itu. Bagaimana jadinya kami tanpa dia, bukankah dia yang selama ini menyemangati kami, yang ikut merasakan kesakitan alvin, yang ikut menangis melihat sivia kemoterapi, yang selalu berbaik hati jadi tongkatku, cahayaku. Tentu tuhan tidak akan sejahat itu, mengambilnya dari kami. Bersamaan dengan doa yang terus mengalir untuk rio yang sedang berjuang di dalam sana, memori tentang riopun mengalir dalam fikiran kami masing-masing.

"HAHAHA."

kami kompak menertawakan rio yang (sepertinya) terpeleset ke dalam air danau saat itu, rio tentu saja hanya ketawa-ketiwi tidak jelas. memang sangat aneh bocah itu.

"eh, eh, lihat tu ada pelangi," tunjuk sivia.

"eh iya, tapi kok nggak ada warna hijaunya ya?" tanya alvin heran.

"bukan nggak ada vin, mungkin belum jelas. Pelangi itu akan selalu datang dengan warna yang lengkap. sama kayak kita yang selalu sama-sama," jelas rio.

"iya ya Yo, pengen deh kita selalu sama-sama. persahabata kita kayak warna-warni pelangi gitu, selalu lengkap. Tapi sayangnya nggak mungkin ya, suatu hari, salah satu dari kita pasti bakal pergi duluan. hm... nggak kebayang gimana sedihnya."

"jangan ngomong git dong Vi. alvin pasti bakal dapat pendonor hati, kamu pasti bakal dapat ginjal yang cocok dan ify juga akan bisa melihat lagi. percaya deh, suatu saat kalian akan sembuh dan lihat pelangi itu sama-sama sambil tersenyum," tutur Rio, menyemangati

"iya aku percaya. aaaaa...jadi nggak sabar pengen bisa liat pelangi," seruku.

*

kami berlari kecil di koridor rumah sakit. sivia terus menggandeng tanganku. Senyum manis merekah di sudut bibir kami.

Rio sadar.

Ah bahagia sekali rasanya mendengar berita ini dari ibu panti.

"rio," sapa alvin.

"haiii," rio tersenyum, kami menatapnya sedih, "pada kenapa sih, nggak usah didramatisir gitu deh. gue sadar bukan buat liat kalian sedih-sedih gitu."

"kamu harus janji yo." kata alvin.

"janji apa?" tanya rio.

"janji nggak bakal ninggalin kita," lanjut alvin.

"iya. dan kamu juga harus cepet sembuh yo," tambahku.

Rio tidak mengiyakan, "Gue pengen jalan-jalan ke luar. kalian mau anterin kan? nggak akan lama kok, sebentar aja," pinta rio.

"ya udah ,tapi sebentar aja ya. kamu kan harus istirahat," balas Alvin.

"aku minta izin ke dokter dulu kalau gitu," usul sivia.

*

kamipun mulai menyusuri jalan berumput menuju ke taman rumah sakit dan kalian tau? Rio meminta aku. aku yang buta ini, untuk mendorong kursi rodanya. Dia selalu mengarahkanku, menuntunku ke jalan yang tepat. Aku semakin sadar akan sangat sulit berpisah darinya, dia adalah titik cerah yang tuhan kirimkan untuk sosok-sosok dalam kegelapan seperti aku. Saat sampai, kami disambut oleh bau khas tanah yang yang tersiram air hujan.

"eh, eh, ada pelangi," teriak via.

"selalu indah," guman rio.

Kami semua menatap barisan warna itu. akupun seakan menemukan lengkungan berwarna itu dalam kegelapan.

"aku pengen jadi warna merahnya, kuat dan berani, supaya bisa jagain kalian," kata alvin, tiba-tiba.

"kalo aku pengen jadi kuning, ceria dan periang, supaya aku bisa bikin hari kalian selalu cerah," lanjutku.

"aku pengen jadi warna hijaunya, tenang dan lembut. Biar aku bisa bawain kalian kesejukan." tambah sivia.

"dan gue pengen jadi hujannya," ucap rio.

"kenapa hujan yo? Kenapa nggak jadi langitnya. langit tempat pelangi bergantung," saranku.

"suatu saat, kita pasti akan pisah, dan gue bakal jadi orang pertama yang mempersatukan kita. Kalian tau kan, pelangi nggak akan muncul tanpa seruan hujan. Karena itu gue pengen jadi hujan, hujan yang akan memanggil kalian, warna-warni pelangi."

aku menangkap kata-kata itu sebagai ucapan selamat tinggal. bukankah Rio dulu bilang kami akan melihat pelangi bersama-sama sambil tersenyum. lalu kenapa sekarang tiba-tiba pemuda ini bicara tentang perpisahan? Aku berfikir bahwa rio sadar bukan untuk sembuh, tapi hanya untuk mengizinkan kami mendengar suaranya untuk yang terakhir kali.

"kita balik yuk yo!" ajakku.

"entar fy, tunggu pelanginya hilang," rio menolak.

Kami menikmati kemunculan pelangi sore itu, pelangi terakhir yang bisa kami nikmati bersama kehadiran rio. karena setelah itu, bersamaan dengan pelangi yang memudar, mata riopun perlahan merapat. terpejam dan tak akan pernah terbuka lagi untuk selamanya. kami tidak akan mendengar celoteh ramai pemuda itu lagi ataupun permainan musiknya yang mengagumkan.

"hiks," aku mendengar sivia terisak.

"pelanginya udah hilang yo, ayo kita balik," lirih alvin.

Kita sama-sama tau bahwa jiwa rio telah meninggalkan raganya. Aku menggenggam tangan rio, sedingin es. Saat menuju rumah sakit aku kembali yang mendorong kursi roda itu, kali ini alvinlah yang mengarahkanku. kami fikir permintaan Rio agar akulah yang mendorong kursi rodanya adalah permintaan terakhir pemuda baik hati itu. kini tentu berbeda, raga yang duduk di atas kursi roda tak lagi menunjukan arah yang harus kutempuh. Kami semua terdiam, merasakan gejolak kesedihan dalam relung hati.

*

hari itu cuaca cerah, burung- burung berterbangan di angkasa. Kami berdiri di sini, di bawah sebuah pohon besar di tepi danau bintang.

"sekarang vin!" pinta sivia.

alvin pun mulai menggali tanah itu, tak berapa lama sebuah kotak muncul dari dasar lubang yang tidak terlalu dalam. Alvin mengambil dan membersihkannya dari beberapa bulir tanah. Kami bertiga sepakat untuk segera membukanya. Membuka kotak yang rio kubur waktu itu. Saat kami membukanya, kami dapati lima buah benda di sana, hiasan meja berbentuk gitar dari alvin, syal biru tua dari sivia, gantungan kunci berbentuk bola basket dariku dan selembar foto. Foto kami berempat sedang tertawa lepas menatap kamera.

"ternyata memang manis," batinku.

Ya, inilah kali pertama aku melihat wajah rio. pemuda itu memang terlihat manis, wajahnya ramah, tatapan matanya hangat dan senyumnya, tipe senyum yang selalu berhasil membuat siapapun yang melihatnya ingin ikut tersenyum. Sekarang kami bertiga telah sembuh. tak tahu ada keajaiban apa dan bagaimana ceritanya, tiba-tiba sehari setelah kepergian rio menuju keabadian, ada seorang pendonor yang suka rela memberikan separuh dari dirinya untuk menjadi setitik kehidupan untuk kami.

Dan terakhir, penghuni kota Rio adalah sepucuk surat yang ditaruh di dasar kotak. Alvin mulai membuka dan membacakannya. Aku dan sivia mendengarkan.

Gue Rio. gue bukan cowok hebat, bukan pemain basket, penyanyi terkenal ataupun cowok keren yang diuber-uber banyak cewek. Gue Rio dan gue cuma cowok biasa. seorang yang baru nemuin kebahagian di sini. di panti ini. gue baru ngerasain gimana rasanya disayangi, gimana indahnya diperhatiin dan dianggap ada. dari kecil gue sendiri, nggak tau lah mungkin gue dibuang sama orangtua gue, mungkin mereka nggak sanggup biayain hidup gue, atau mungkin karena gue anak dari hasil hubungan gelap. ah itu nggak penting buat gue. gue bersyukur karena dengan gitu akhirnya gue bisa ketemu mereka. Ify, sivia dan alvin. Sobat kebanggaan gue. semangat gue, hidup gue.
Gue rela nuker apapun yang gue punya demi mereka. Saat gue tau, mereka bakal cepat ninggalin gue, gue takut, gue sedih. gue berdoa supaya gue duluan yang dipanggil tuhan, supaya gue nggak perlu ngerasain sedihnya kehilangan mereka. Dan tuhan kabulin doa gue dengan kanker otak. haha lucunya sesaat gue sempet berfikir itu anugrah, tapi gue langsung sadar ,gimana mereka kalo gue pergi, siapa yang bakal jagain mereka?
Berpura-pura semuanya baik-baik aja, tentu bukan hal yang mudah, jadi gue milih jauhin mereka. Gue nggak mau semangat mereka buat sembuh hilang saat tau keadaan gue. Gue nyesel sama doa gue, gue nggak yakin sanggup biarin mereka sedih. gue nggak akan sanggup ninggalin mereka, gue masih pengen liat senyum mereka. Akhirnya gue putusin, gue titipin sebagian dari gue ke mereka. kalau suatu saat gue benar-benar pergi, gue bakal donorin mata untuk ify hati untuk alvin dan ginjal untuk sivia. semoga tuhan kasih keajaiban dan organ-organ tubuh gue cocok sama mereka dan gue bakal tetap bisa di sisi mereka meski dalam wujud yang nantinya akan berbeda.


Tak ada airmata yang tercurah dari kami bertiga, melepas sahabat terbaik kami tentu bukan dengan airmata. dan kmai yakin rio tidak akan suka melihat kami menangis. Lagipula hujan telah mewakili kami. aneh ya, saat ini hujan turun cukup deras, padahal hari sangat cerah, bahkan mentari tak beranjak dari tempatnya. Kami berlari-lari kecil di tengah hujan, seperti yang sering rio lakukan dulu, kami berkejaran dan tertawa lepas menikmati hujan. Biarlah raganya menjauh, tapi kasih sayangnya tentu masih mengalir dalam deru darah kami.

"eh, liat ada pelangi," tunjuk sivia.

"kamu berhasil jadi hujan yo," ucapku lirih.

"rio berhasil bawain pelangi buat kita," lanjut alvin.

Kamipun berdiri tegak, menautkan tangan kami, menatap barisan warna yang di kirim sahabat kami,pelangi persahabatan kami.


the end

***
best regard

via 

0 komentar:

Posting Komentar