Rahasia
Orion Part 11
Pesan
***
Waktu...
Sambil
bergulir, ia tunjukkan sesuatu.
Hal
yang semestinya terjadi.
Biar
begini saja, tidak ada yang perlu dan bisa merubahnya.
***
Alvin dan Rio merasakan mobil yang mereka tumpangi
berputar-putar. Percikan api kecil muncul akibat gesekan antara ban dan aspal
jalan. Terdengar suara benturan keras, sebelum kuda besi itu berhenti. Mobil
menabrak, entah apa, karena gelapnya malam tidak mengizinkan penglihatan
bekerja maksimal. Jantung berdetak tak keruan, seolah ingin memaksimalkan
fungsinya sebelum tugas organ krusial itu selesai, napas memburu seru,
berlarian keluar dari rongga dada. Ketakutan merayapi nadi, keduanya memejamkan
mata, tidak ingin melihat bencana macam apa yang telah terjadi pada mereka.
Banyangan kematian seakan menari di pelupuk mata, begitu dekat, seperti ingin
mendekap dua pemuda itu.
Sedetik,
dua detik...
Waktu
melaju tanpa belenggu. Tidak ada suara. Tidak ada pergerakan. Sepelan apapun.
Sekecil apapun.
Perlahan, satu di antara mereka, tersadar. Mata sipit Alvin
mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar terbuka. Gerakan
berikutnya, ia mencoba menegakkan tubuh, mengangkat wajah yang semula menempel
pada dasbor mobil. Ia tidak heran merasakan perih diseluruh wajah dan keningnya
yang terus berdenyut menyakitkan. Justru, Alvin mengira ia sedang bermimpi
ketika masih bisa merasakan embusan napasnya sendiri.
Bagian depan mobil yang ditumpanginya ringsek parah,
berasap, dengan kapnya yang terbuka, setelah menabrak sebatang pohon trembesi
dibahu jalan. Kaca depan pecah sebagian, serpihannya itulah yang membubuhkan
luka-luka diwajah Alvin.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Tuhan
berikan atas nyawanya, dengan sisa-sisa tenaga dan lutut yang gemetaran, Alvin
berusaha keluar dari mobil naas itu. Setelah berhasil, Alvin memperhatikan
sekelilingnya. Tidak terlihat ada kendaraan lain disana. Sepertinya supir truk
yang tentu saja sudah berpengalaman mengemudi itu bisa banting stir dengan
mulus. Lain dengan Rio yang kehilangan kontrol atas mobilnya dan avanza biru
tua itu baru bisa berhenti setelah menabrakan satu pohon besar dipinggir jalan.
Alvin berjalan terseok-seok, menjauh dari mobil yang sewaktu-waktu bisa saja
meledak. Masih sambil mengurut kening yang memar kebiruan, ia merogoh saku,
mengeluarkan handphone, lantas menelepon contact terakhir yang ia hubungin.
Sambungan terhubung dengan nomor Ify.
"Hallo
Fy ?" ujarnya ketika panggilan diangkat oleh sang empunya nomor, "Fy
masih bangun ? Gue kecelakaan. Jemput kemari ya, dijalan Anyelir. Jangan kasih
tahu orang rumah, apalagi Mama. Gue tunggu, Ok." setelah Ify diujung
telepon sana menggumamkan jawaban, Alvin kemudian mematikan telepon dan
memasukan kembali handphonenya.
Derik jangkrik mengisi hening, entah bersembunyi dimana
kawanan serangga itu. Dalam diam, Alvin merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Ia
mencoba mengingat, hal penting apa yang sekiranya terlupakan. Dalam kondisi
yang tidak cukup baik seperti seakarnag, perlu beberapa menit bagi Alvin untuk
menyadari hal apa yang mengganjal fikirannya.
"Rio
!!" pekiknya.
Cepat, Alvin segera berlari kearah mobil. Dibukanya pintu
pengemudi. Rio masih disana. Kedua lengan pemuda itu terkulai lemas, wajahnya
menempel pada stir. Alvin menarik pundak Rio, hingga tubuh pemuda itu terduduk.
Seketika, jantung Alvin mencelos. Rio tidak memasang seatbeltnya, pemuda itu
mengeluarkan darah lebih banyak daripada Alvin. Dengan gugup, Alvin
mengguncang-guncangkan tubuh saudara tirinya itu.
"Rio
!!"
Tidak
ada jawaban.
"Rio
!! Lo kenapa ?"
Tetap
tidak ada respon, bahkan mata Rio masih terkatup rapat. Alvin kian panik.
"Yo,
lo kenapa ? Rio !!"
Kedua
kaki Alvin seperti dilucuti tulang-belulang. Lemas. Diliputi rasa cemas, ia
memutuskan untuk kembali menghubungi Ify, "Lo dimana sih ?" tegurnya,
sedikit menyentak.
"Maaf
Vin, ini gue bawa mobil sendiri, nggak berani ngebut. Tunggu bentar ya."
"Aargh,
shit. Kenapa nggak diantar supir aja sih. Ribet lo."
"Kok
lo kasar gitu sih ngom-"
Tut-tut-tut
Alvin mengakhiri teleponya. Merasa tidak ada gunanya,
berdebat dengan Ify sekarang. Yang paling penting adalah bagaimana caranya
membuat Rio sadar. Ia benar-benar tidak akan pernah memaafkan diri sendiri,
kalau sampai terjadi sesuatu terhadap Rio. 6 tahun mengenal Rio, bahkan
sekarang mereka tinggal seatap, seharusnya ia cukup mengerti bahwa Rio tidak
bisa dipancing sedikit, pemuda itu pasti akan menanggapinya dengan
meledak-meledak, seharusnya Alvin tidak menyulut emosi Rio dengan kata-katanya.
Gemetar, Alvin mengulurkan tangannya, mencabut satu pecahan kaca yang tertancap
dan merobek kulit pelipis Rio. Tidak ada jeritan kesakitan. Sumpah demi apapun,
kalau saja bisa, ia ingin sekali menangis histeris seperti yang dilakukan oleh
kebanyakan kaum hawa, untuk meluapkan kesediahan. Hanya saja, entah mengapa ia
tidak bisa menangis, padahal rasa takut dan kalut yang kuar biasa, menekan
hatinya. menyesakkan.
"Yo
sadar ! Gue mohon..." lirih Alvin. Suaranya berat, tertahan ditenggorokan.
Mungkin berlebihan, tapi rasa sayang dan pedulinya terhadap Rio, bukan cuma
basa-basi atau sekedarnya. Rio sudah Alvin anggap saudaranya, meski tak pernah
rahim Mamanya tertitipi sosok bayi Rio.
Alvin mempertajam penglihatan serta pendengarannya, berharap
menangkap gerakan ataupun suara sekecil apapun. Dan benar saja, tak lama, Alvin
mendengar erangan kecil dari Rio. Disusul dengan, kelopak mata Rio yang
perlahan terbuka. Alvin menghela napas lega. Seumur hidup, ia tidak pernah
merasa selega ini.
"Yo
?"
Tidak
ada sahutan, tapi Alvin tersenyum. Kemudian dengan hati-hati ia mengalungkan
tangan kanan Rio ke pundaknya, lalu memapah Rio menjauh dari bangkai mobil itu.
"Gue
masih hidup ?"
Itulah
kalimat pertama yang diucapkan Rio dengan suara parau dan tatapan mata kosong.
Darah yang masih basah menghiasi tepian bibirnya.
"Kenapa
? Lo pengin mati aja ?"
Rio
menoleh. Alvin menatapnya, marah.
"Lo
pikir tadi itu lucu ? Seru ? Nggak pernah berubah ya lo, selalu emosinal. Tadi
tu taruhannya nyawa, ngerti lo ?"
"Maaf..."
Rio menunduk, "Lo... Nggak pa-pa ?"
"Nggak
pa-pa gimana ? Jelas gue marah." tandas Alvin, "Lo bikin gue panik.
Gue bingung. Gue kira, lo udah mati tadi." tegas Alvin.
Rio
membisu, sepertinya masih shock. Hanya menatap Alvin nanar, dengan raut menyesal.
Sambil
memandang langit suram diatas sana, Alvin meneruskan ucapannya, "Kita jadi
sering ribut, hari ini kita malah hampir mati, dan itu semua karena Shilla kan
? Gue emang mggak pernah suka sama tu cewek dari awal."
"Yakin?
Lo beda kalau sama dia."
Alvin
menoleh kearah Rio, sekilas, lalu kembali melayangkan pandangan pada jalan raya
lengang di depan sana, "Lo sekarang dengar gue Yo. Di dunia ini, setelah
Mama, lo adalah orang yang paling berarti buat gue. Kalau elo senang, gue juga
senang. kalau lo sedih, gue juga sedih. Lo bilang, lo suka sama Shilla, she's
yours, Rio. Gue nggak mungkin....." Alvin menghentikan kalimatnya,
mengatur napas sejenak sebelum melanjutkannya, "Gue nggak mungkin rebut
dia dari lo. Gue..... Janji." lanjutnya.
Rio
tidak menimpali sepatah katapun. Pemuda itu malah menggeleng pelan.
"Kenapa
diam ? Masih nggak percaya ? Gue udah janji, Yo."
"Kenapa
lo baik sama gue ?" tanya Rio, gamang.
Alvin
tertawa pendek, "Lo nggak berharap gue bilang, gue sayang sama lo kan Yo ?
Merinding gue bayanginnya." kelakar Alvin.
Rio
tidak tertawa, senyumpun tidak, "Gue jahat Vin, sama lo. Gue selalu
marah-marah ke elo," ujar Rio.
"Gue
juga," timpal Alvin, "Lo tau Yo ? Yang patahin raket kesayangan lo
itu gue. Yang putusin senar gitar lo juga gue. Ipad lo rusak juga karena
kesiram kuah mie sama gue. Minggu lalu, gue juga yang ngumpetin celana olahraga
lo, tapi itu idenya Feldy sih." papar Alvin, panjang lebar diselingi tawa
jenaka.
"Kok
lo nggak pernah bilang ?"
"Itu
tadi sih gue bilang."
Rio
melengos, sedikit kesal. Terutama karena masalah celana olahraganya yang hilang
dan ia harus menjalani hukuman lari 10 keliling lapangan basket karena
mengenakan celana abu-abu di jam olahraga. Alvin ternyata juga jahat, walaupun
jahatnya kecil-kecil.
"Makasih
dan maaf ya Vin, atas semua yang lo lakuin buat gue dan atas semua salah
yang pernah gue buat." terutama soal Aya, lanjut Rio dalam hati.
"Nggak
gratis, suatu saat gue bakal minta imbalan, dan lo harus kasih apa yang gue
mau."
Rio
mengangguk mantap, "Pasti." sanggupnya, tanpa berfikir dua kali bahwa
imbalan itu bisa jadi akan menyulitkannya, kelak.
"Eh,
itu Ify datang." seru Alvin, kemudian bangkit.
Rio
ikut berdiri.
Sebuah jazz merah meluncur cepat kearah mereka. Dari dalam
Ify keluar, dengan langkah tergesa setengah berlari, karena mendapati Rio juga
ada disana. Tapi ayunanan kedua kaki jenjangnya reflek terhenti, ketika ada
sosok lain yang berlari mendahuluinya. Shilla.
Ify memang meminta gadis itu menemaninya, ia tidak berani
menyetir sendiri malam-malam. Rencananya, sesudah menjemput Alvin, Ify dan
Shilla berniat mencari Rio yang juga belum kembali.
Shilla berhenti tepat dihadapan Rio. Mata indahnya langsung
basah, bahkan sebelum ia sempat bicara apapun.
"Jam
2 malam. Aku nggak pengen makan, nggak bisa tidur, gara-gara kamu. Ngeselin
banget sih. Handphonenya kenapa mati ?" cerocos Shilla.
Rio
malah tertawa kecil, mendengar gadis cantik di hadapannya mencak-mencak tak
keruan, "Sini... !" ia merentangkan kedua tangan kokohnya. Tanpa
ba-bi-bu, Shilla meluruh dalam dekapan Rio. Berharap cemasnya menguap kala itu
juga, "Kamu nggak pa-pa ?" tanya Shilla, lirih.
"Nggak
pa-pa gimana ? Berdarah-darah begini."
"Tapi
masih kuat berdiri, berarti nggak pa-pa dong ?"
"Dikuat-kuatin.
Gue nggak pengin air mata lo jatuh lebih banyak dari sekarang." jawab Rio
pelan.
Alvin menatap 2 remaja yang berdiri tak jauh darinya dengan
perasaan tak menentu. Karena tidak meyukai pemandangan dihadapannya, ia memilih
mencari-cari sosok gadis lain yang seharusnya juga berada disana. Ify. Gadis
itu mematung tak jauh dari tempat Rio dan Shilla. Merunduk dengan kedua tangan
meremas ujung-ujung cardigannya.
Alvin
berinisiatif meraih tangan gadis itu, lantas menggandengnya menuju mobil,
"Sini, gue peluk juga." ia menarik tubuh Ify kedalam pelukannya,
"Mungkin memang semestinya begini Fy, lo sama gue, kita bisa saling
menguatkan. Dan Rio untuk Shilla, mereka saling menyayangi." batin Alvin,
tak terucap.
Duri itu milik mawar, sedang wangi itu milik melati. Akan
sia-sia jika mencoba menukarnya. Sama seperti takdir kita, kamu dengan gadis
pilihanmu. Sedang aku, dengan ia yang dibawakan takdir untukku. Semestinya
begini, bukan ?
***
Bosan. Itu yang sejak tadi Shilla rasakan. Sudah lebih dari
setengah jam Rio tidak mengajaknya bicara, malah sibuk dengan buku tebal
bersampul biru gelap, bacaan favouritenya. Shilla memasang wajah merengut,
"Asik banget sih bacanya." tegur Shilla.
"Seru,
Shil." jawab Rio masih dengan fokus yang tidak beralih dari halaman demi
halaman buku dihadapannya.
Shilla mendengus, kembali menyapu keadaan Matahari Room
dengan pandangan mata jernihnya. Berharap ada sesuatu yang menarik untuk
mengusir jenuh. Sebenarnya Shilla bisa saja pergi dan mencari kesibukan lain
diluar kamar Rio, tapi tanggung, sebentar lagi juga Eyang Putri pasti akan
menyuruh mereka turun untuk makan malam.
Shilla tersenyum kecil, mendapatkan ide untuk menghilangkan
bosan sekaligus mengusili Rio. Ia menyalakan handycam di tangannya. Kebetulan
ia berada dikamar Rio pun karena sebelumnya minta diajari mengoperasikan benda
canggih itu.
"Hai...
Aku Shilla," Shilla tersenyum lebar, melambaikan tangannya pada lensa
camera yang terarah kepadanya, "Emm, kata orang sih aku cantik,
hehe..." ia memeletkan lidahnya, "Now, aku lagi ada di Matahari
Room." kemudian diarahkan lensa camera, ke sekeliling kamar Rio. Alat itu
secara otomatis merekam keadaan Matahari Room waktu itu dalam format
gambar-gambar bergerak, "Kenapa namanya Matahari Room ? Karena kata penunggunya,
kita bisa lihat sunrise dari sana," handycam terulur kearah balkon. Disana
terpajang lukisan malam. Dimana hanya ada pasir langit yang mengerling genit,
serta lambaian daun-daun akasia yang selaras tiupan angin, "Nah, penunggu
kamar ini, namanya... Jengjengjeng... Mbah Mario," sekarang ganti Rio yang
jadi objek bidik handycam Shilla, "Itu orangnya... Rio !! Lihat kemari
dong !!" seru Shilla.
Rio bergeming, memilih terus saja menunduk, mengamati
bacaannya. Ia terlihat amat khusyu' membaca, padahal sebetulnya, sejak tadi pun
ia lebih tertarik mendengarkan celoteh Shilla dibanding larut dalam cerita
fantasi, Harry Potter seri 5 yang sudah berulang kali ia baca.
Shilla
membidik cover buku yang dibaca Rio, tampak anak laki-laki berjubah dengan kaca
mata dan tongkat sihir teracung, "Baca Harry Potter ternyata,
saudara-saudara," seloroh Shilla. Kemudian, dengan cepat ia merebut bacaan
Rio.
"Eh
? Shil, apaan sih, balikin !" Rio mengulurkan tangannya, berusaha
menggapai bukunya yang kini berada dibalik punggung Shilla.
"Lihat
camera dulu dong, terus senyuuum ?"
Rio tak acuh. Ia terus berusaha mengambil alih buku yang
disabotase Shilla. Rio mengulurkan kedua tangannya, kesisi kanan dan kiri tubuh
Shilla. Sedangkan Shilla terus mundur perlahan dengan handycam yang masih
menyala dan terarah pada Rio. Sampai akhirnya, Shilla berhenti, punggungnya
membentur dinding. Ia tidak lagi bisa bergerak mundur. Dan kedua tangan Rio yan
menempel pada dinding, membuat tubuhnya terkurung.
Rio
mengangkat sebelah alis matanya, "Masih mau main-main. hm ?" tanyanya
dengan senyum nakal.
Rio merapatkan tubuhnya pada Shilla, mengurangi batas antara
mereka. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Shilla sampai
bisa melihat bintik merah kecil seperti bekas gigitan nyamuk di kening Rio.
Shilla tentu saja akan langsung menerjang pemuda lain yang
berani sedekat ini dengannya, tapi ia sangat-sangat tidak mengerti, kenapa
mendadak tubuhnya kaku. Tak kuasa berontak, bahkan ketika Rio memiringkan
kepala dan mendekatkan wajah kearahnya. Shilla memejamkan mata, seluruh
wajahnya terasa hangat oleh helaan napas Rio.
Ceklik.
"Yo,
lo di-" pintu jati disisi kanan mereka terbuka, "Eh, sorry-sorry gue
ganggu." Alvin kembali menutup pintu yang barusan dibukanya, "Cuma
mau kasih tahu, kalian ditunggu buat makan malam." katanya dari luar. Lalu
terdengar langkah-langkah kaki yang menandakan Alvin segera pergi setelah
berkata demikian.
Sementara
Rio, ia buru-buru menurunkan tangannya dan memundurkan tubuhnya. Ia
menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal, dengan malu-malu
diliriknya Shilla, "Pipi lo merah tu." ceplos Rio, bingung, harus
bicara apa untuk mengurangi rasa canggung.
"Pipi
kamu juga." balas Shilla.
Keduanya
lantas saling pandang, lalu tertawa lepas bersamaan, "Hahahahaha" tak
jelas, apa sebenarnya yang cukup lucu untuk ditertawakan.
***
Rio bersenandung kecil, seraya mengenakan kemeja putihnya.
Sekilas, ia melirik cermin besar di kamarnya. Seorang pemuda tampan, balik
memandangnya. Saat Rio menarik sudut-sudut bibirnya, ia melihat senyum sang
Papa terulas sempurna dalam refleksi wajahnya sendiri di cermin. Bekas-bekas
luka di wajah Rio pasca kecelakaan mobil sebulan yang lalu itu pun sudah hilang
tak bersisa. Setelah merasa cukup rapi, Rio lalu mengenakan sepatu dan langsung
menyambar ransel hitam kesayangannya.
"Lho
? Tumben udah rapi ?" Shilla sepertinya juga baru saja keluar kamar. Gadis
itu terlihat sedikit pucat meski wajahnya telah dibubuhi sapuan bedak, tipis,
mungkin sedang kurang fit. Shilla juga sudah rapi dalam balutan seragam
sekolah. Kalau Shilla sih, tentu saja tidak aneh sudah rapi, sepagi ini. Ia
memang biasa bangun pagi dan membantu menyiapkan sarapan setiap harinya,
"Masih jam 6 kurang lho."
"Hehe,
iya Shil. Sekali-kali pengin berangkat pagi. Oh iya, hari ini lo berangkat
bareng Alvin nggak pa-pa kan ? Atau sama bus sekolah aja."
"Kok
? Emang kenapa ?"
"Emm,
gue mau berangkat bareng Ify, udah lama banget nggak bareng dia." Balas
Rio. Belakangan Rio sadar, ia dan Ify sudah sangat jarang menghabiskan waktu
berdua. Jadi ia meluangkan waktunya kali ini untuk berangkat sekolah bersama
Ify.
"Kan
bisa bertiga. Emang kamu mau pake motor ?"
"Nggak
sih. Gue naik sepeda."
Shilla
memutar bola matanya, "Oh. Terserah kalau gitu." jawabnya ketus. Lalu
berjalan cepat menuruni tangga. Rio mengekor dibelakangnya, sambil
bersiul-siul, tidak menangkap perubahan raut air muka Shilla yang jadi kesal.
***
"Iffyyyy...
Ifyy !!!"
Kring...
Kring..
"Aduh,
Den Mamen, pagi-pagi teh jangan teriak-teriak didepan rumah orang atuh. Gandeng
pisan (berisik sekali)." Mang Suhe, tukang kebun rumah Ify yang asli
garut, berlari tergopoh-gopoh membukakan pintu gerbang.
Setelah
jejeran besi itu terbuka, memperlihatkan istana keluarga Umari, Rio menerobos
masuk bersama sepedanya, sambil melambaikan tangan pada Mang Suhe,
"Thanks, Bro." serunya diiringi seringai lebar.
"Sami-sami
Den Mamen." balas pria paruh baya itu sembari menepuk-nepuk dada,
melakukan gerakan-gerakan khas anak gaul metropolitan.
Rio
menarik rem tepat ketika sepedanya sampai dimuka rumah Ify. Tampak Cakra sedang
membaca koran paginya, ditemani secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
"Pagi
Om." sapa Rio, ramah.
"Eh
kamu, Yo. Pagi."
"Ifynya
udah siap Om ?"
"Masih
sarapan kayaknya, lihat aja ke dalam."
Rio
mengangguk, "Ngomong-ngomong celananya keren lho, Om. Hehe." Rio
mengomentari celana pendek motif batik yang dikenakan Cakra. Memang sedikit
aneh, melihat Cakra yang selalu tampil rapi dalam setelan jas dan celana bahan,
pagi ini, mengenakan kaos putih polos dan celana pendek.
Cakra
mengangkat gelas, menyesap isinya sedikit-sedikit, "Hahaha, kamu ini
ada-ada saja Yo." sahutnya, sambil melipat koran yang telah selesai ia
baca.
"Oh,
elo, Yo. Gue kira Ayah ngobrol sama siapa." Ify muncul dari dalam rumah,
menyandang tas selempangnya, serta membawa setangkup roti tawar ditangan
kanannya.
"Selamat
pagi, Ifyyy..." seloroh Rio sembari membungkukkan tubuh, seperti memberi
hormat.
"Ngapain
lo pagi-pagi kemari ? Mau pinjem PR ya ?" selidik Ify.
"Kagak."
Rio menyerobot roti yang baru dilahap Ify satu gigitan, dan langsung
menyantapnya tanpa canggung, "Be..angka..ba..eng uukk." Rio bicara
dengan mulutnya yang dipenuhi roti berisi selai cokat.
"Telan
dulu deh Yo, baru lo ngomong."
"Hehe.
Berangkat bareng yuk !" Rio mengulangi ajakannya setelah potongan roti
berhasil melewati kerongkongannya.
Ify
mengernyit, "Lha, Shilla gimana ?"
"Sama
Alvin. Atau nggak, naik bus sekolah kali." setelah memasukkan potongan
terakhir rotinya, Rio segera berpamitan pada Cakra, dilanjut Ify yang mencium
pipi AYah tercintanya itu, lantas ikut mengekor Rio menuju sepedanya.
"Naik
ini ?" tanya gadis manis itu, tak yakin.
"Yoi,
udah yuk, buruan naik." Rio merentangkan tangan kirinya, agar Ify bisa
duduk pada besi hotizontal bercat hitam yang melintang.
"Nggak
pakai acara jatuh ya." was-was Ify.
"Siap
Tuan Putri." sanggup Rio.
Rio
mulai mengayuh sepeda, kendaraan beroda dua tanpa bahan bakar itu segera saja
menggelindingkan roda-rodanya. Keluar dari rumah Ify, Rio membelokkan sepedanya
kekiri jalan, berlawanan arah dengan jalan raya. Kalau bersepeda, memang lebih
nyaman memotong jalan, melewati jalan-jalan tikus untuk sampai disekolah dengan
jarak yang lebih pendek.
"Siap
Fy ?" tanya Rio.
Setelah
sepuluh menit, sepedanya berarak mengurai jarak, tibalah mereka kini dimulut
sebuah turunan panjang dengan kemiringan yang lumayan. Rio menjejakkan kaki
panjangnya ketanah, untuk menghentikan laju sepedanya, sejenak.
"Teriak
sama-sama ya." ujar Rio.
"Teriak
apa ?"
"Apa
aja. Yang lo fikirin."
Ify
mengangguk mengerti. Tanpa menunggu lama, setelah menegangkan otot tungkainya,
Rio memberikan sedikit dorongan pada sepedanya. Kendaraan tanpa polusi itu
langsung meluncur lepas menuruni jalan beraspal yang lengang, dengan kecepatan
maksimal. Rio dan Ify, merasakan sentuhan kasar angin pagi yang menerpa wajah
mereka. Petak-petak rumah dan pepohonan disisi jalan, seperti berlarian.
Teriakan keduanya berdengung, bersaing dengan desau angin yang menggelitik bola
langit yang tergantung rapuh diufuk timur.
"Rioo-“
teriakan Ify terputus sampai disitu, saat sadar bukan namanyalah yang diteriakkan
Rio. Ya, tentu saja bukan namanya. Ify tertawa miris dalam hati.
"Shiillaaaaaaaaaaaaaaa....."
Rio berteriak sepuasnya, sampai sepedanya melambat karena telah mencapai bidang
landai. Dengan napas yang satu-dua, Rio tersenyum lebar, "Heh, kok diem
?" tanyanya, menyadari gadis didepannya malah menunduk dalam.
Ify
menoleh sekilas, hanya untuk menyuguhkan senyum seadanya.
"Kenapa
tadi teriakin nama gue ?"
Ify
menggigit bibir, bingung merangkai alasan untuk mengelak.
"Aaaaa,
gue tau, lo mau balas dendam yaa ? Mau gantian, bikin gue GR ? Huu, nggak
mempan, Fy." celetuk Rio, yang disambut senyum lega oleh Ify. Akhirnya ia
tidak perlu repot mencari alasan.
Rio
kembali mengayuh sepedanya, kali butuh konsentrasi lebih, karena kontur jalan yang
mereka lalui tidak rata, lubang dengan berbagai size bertebaran dimana-mana,
"Aduh Fy, lo jangan gerak-gerak terus." omel Rio.
Saat terdapat lubang besar menganga didepannya, Rio tidak
sempat berkilah. Ban depan sepedanya terperosok kedalam. Sepeda oleng. Rio
melepas stang, kedua tangannya memeluk tubuh Ify, usaha terakhir agar gadis
manis itu tidak terluka, meskipun mereka terjatuh.
"Riooooo..."
Bruukk
"AUWW."
pekik Rio dan Ify berbarengan.
Rio mengira pastilah tulang punggungnya sudah remuk tak
keruan, karena jatuh membentur kerasnya aspal jalan, ditambah Ify yang jatuh
menimpanya. Keduanya menutup mata, beberapa detik ketika sepeda terhempas
jatuh. Mereka baru membuka kelopak mata, setelah merasakan ujung hidung mereka
beradu, karena jarak yang sangat dekat.
"Aaaaa,
Mamaaa ada kakak-kakak pacalaaan..." koar seorang anak berambut kriwil
dengan piyama bergambar beruang dan sebotol susu ditangan. Bocah cilik itu
mengintip malu-malu dari celah jari tangan yang menutupi separuh wajahnya.
Rio
dan Ify, buru-buru bangkit. Merapikan seragam mereka dan memajang ekspresi seolah-olah
tidak terjadi apa-apa. Bocah kecil tadi, lalu berlari kedalam rumah, setelah
Rio menjulurkan lidah dan menjulingkan matanya.
"Hahaha,
jelek abis lo." Ify tertawa sambil menunjuk-nunjuk wajah Rio, "Emang
ya dari dulu, naik sepada sama lo, nggak afdol aja gitu kalau nggak sampai
jatuh. Serampangan sih lo, mending sama Iel." imbuh Ify.
Rio
tersenyum nakal, "Ciee, Iel nih jadinyaa, cihuuy..." Rio
menaik-turunkan alis matanya.
Ify
melengos, pergi.
"Lho
Fy, mau kemana ?" Rio menuntun sepedanya, menyusul Ify, "Ayo naik
lagi !"
"Ogah.
Gedung Veronna udah kelihatan tu," Ify menggerakkan dagu runcingnya pada
bangunan bertingkat tak jauh dari situ, "Mendinagn jalan, masih pagi ini,
nggak akan telat." lanjutnya, sesudah melihat jam pada hanphonenya.
"Ya
udah deh, gue juga ngikut jalan." putus Rio pada akhirnya, "Romantis
ya Fy, kita jalan berdua, nuntun-nuntun sepeda begini. Berasa couple
Soekarno-Fatmawati ni. Coba kalau ditambah gerimis gitu." cerocos Rio.
"Bawel
deh." sewot Ify. Baginya, seromantis apapun keadaan saat ini, toh tidak
akan berarti apa-apa. Rio tidak akan secara tiba-tiba jatuh cinta padanya,
hanya karena semilir angin syahdu, langit biru kelabu, ataupun matahari yang
menatap sayu.Tidak semudah itu kan ?
"Tu
kan, lo sih asal ngomong, jadi beneran hujan kan." dumel Ify, saat
satu-persatu angkasa mulai mencurahkan air.
"Hujan
juga air ini sih, lagian juga cuma gerimis, lo nggak akan basah kuyup sampai
kelas." sergah Rio. Ia melirik gadis manis yang berjalan menyejajarinya
disisi kanan itu, dengan sedikit ragu, Rio bertanya, "Fy ?"
"Hm
?"
"Sebenernya
lo tuh suka nggak sih sama Alvin ? Ko gue liat-liat sekarang lo jarang banget
berdua-duaan. Pada sibuk sendiri-sendiri."
Ify
tidak langsung menjawab. Mendiamkan Rio, membiarkan pemuda itu menerka dulu.
Sekaligus menguji kepekaan Rio, “Kalau gue bilang gue nggak suka Alvin,
gimana?”
"Gue
bukannya mau ikut campur, tapi menurut gue, Alvin itu yang terbaik buat lo, gue
kenal dia luar-dalam. Sedangkan cowok lain kan belum tentu baik."
"Dia
juga baik kok, sama kayak lo."
"Jadi,
lo betulan nggak suka sama Alvin ?"
"Belum
mungkin, atau emang nggak ? nggak tahu deh, gue sih jalanin aja dulu apa yang
ada di depan gue." Ify hanya mengangkat bahu.
"Siapa
sih dia itu? Gabriel?"
"Bukan
!"
"Terus
?"
"Tebak!"
"Atauu...
Jangan-jangaaan... Lo sukanya sama gue yaaa ?"
Jleb.
Tepat sekali.
Tapi
tidak ada perubahan signifikan pada raut wajah Ify, tetap normal. Benar-benar
menunjukkan bahwa gadis itu memang sudah terlatih untuk hal semacam ini.
"Menurut
lo ?" Ify balik bertanya.
"Hahaha.
Ya nggak mungkinlah. Gue kan bukan tipe lo, nggak pintar dan dewasa."
"Nah
tu lo tahu."
Lagi-lagi
mengingkari perasaannya. Entah, apa gunanya Tuhan menitipkan hati yang bisa
merasakan pada Ify, kalau yang dirasa, pada akhirnya, hampir semua harus rela
Ify pendam.
"Jadi
siapa doong ? Lo gitu sih Fy, nggak pernah mau cerita-cerita lagi sama
gue."
"Yakin
mau tahu ?"
Rio
mengangguk antusias.
Ify
terus berjalan, bibirnya terkatup rapat, tidak ada tanda-tanda akan
mengeluarkan sebuah kata atau satu nama.
"Itu
apa sih Yo ?" Ify menunjuk genangan air jernih yang ada didepan gerbang
Veronna, sepertinya sisa hujan semalam.
Rio
melongok objek yang ditunjuk Ify, alisnya terangkat tinggi. Tidak ada apapun,
disekitar genangan air itu. Yang ada hanya permukaan air tenang, yang
merefleksikan wajah tampannya, "Ada apaan ?"
"Itu
di dalam air!"
"Apa
sih ? Yang mana ?"
"Ck.
Udahlah lupain aja." Ify mengibaskan tangannya.
"Cih.
Random lo." cibir Rio, seraya membariskan sepedanya dengan beberapa sepeda
lain yang sudah berjajar rapi diarea parkir. Veronna SHS, menyediakan tempat
parkir tersendiri untuk sepeda, karena banyak diantara para siswa dan guru-guru
yang bersepeda ke sekolah, biasanya sih yang kediamannya tidak begitu jauh
dengan bangunan sekolah elite itu.
"Heh,
lo belum jawab. Siapa cowok yang lo suka ?"
"Bukannya
udah gue kasih liat tadi ?"
"Hah
? Kapan ?" Rio memasang tampang innocentnya, lengkap dengan aksi
garuk-garuk kepala.
Ify
mendesah kecewa, ternyata Rio memang tidak peka sama sekali. Genangan air tadi
memantulkan bayangan Rio, pemuda yang Ify sukai, "Udah gue jawab tadi,
dalam hati." tandas Ify.
Rio
mengendikkan bahu, "Nggak asik ah." cibirnya, tapi tak ambil pusing.
Toh dia memang bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Kalau
Ify belum mau memberitahunya, berarti ia memang belum saatnya tahu lebih
banyak. Dengan langkah ringan, Rio berjalan berdua Ify, menyusuri
koridor-koridor yang masih sepi.
***
Tiba di kelas, ruangan XII IPA 1 itu masih kosong. Hanya ada
tas-tas tak bertuan yang mengisi beberapa bangku, sepertinya ditinggal
pemiliknya berburu sarapan. Rio dan Ify menuju meja masing-masing.
Ify mengeluarkan buku-buku dan alat tulisnya, menyusun
benda-benda itu di atas meja dengan permukaan yang dipenuhi jejak-jejak
vandalisme siswa-siswi yang kelewat kreatif. Kemudian, tanpa sengaja matanya
menangkap sesuatu yang tidak seperti biasa. Setangkai bunga mawar putih,
teronggok di kolong mejanya.
Drrttt
Handphone
dalam saku Ify bergetar.
1
new message
From
: Rio
Pagi
Ify :)
Ify
mendelik, “Ngapain sih ni bocah, barusan ketemu terus sekarang SMS selamat
Pagi,” batin Ify, heran.
Ify
merasakan tepukan halus di pundaknya, ia menoleh. Sebatang coklat disodorkan
Rio tepat di depan wajahnya.
"Buat
lo." ujar Rio, sebelum Ify sempat bertanya apa-apa.
"Gue
? Dalam rangka apa ?"
"Nggak
dalam rangka apa-apa, mau kasih aja." aku Rio.
Kening
Ify berkerut rapat, "Kenapa sih ?" tanyanya heran, "Tumben
banget, lo hari ini baik banget ? Jemput gue, ngasih coklat, ngasih bunga
juga."
"Nggak
pa-pa sih, gue cuma nggak mau kita jauh." jujur Rio, "Akhir-akhir ini,
gue rasa kita udah jarang bareng-bareng."
"Itu
karena lo sibuk sama dunia baru lo, Yo. Sibuk sama Shilla." batin Ify.
"Eh,
tapi tunggu deh, kapan gue kasih lo bunga, Fy ?" Rio menatap Ify, bingung.
"Lho,
bunga mawar ini dari lo kan?"
“Hah?
Bu-“
"Rio
!"
Rio
dan Ify kompak mendongakkan wajah, menatap sosok pucat yang berdiri di sisi
meja Rio.
Reflek,
Rio cepat bangkit, buku pelajaran yang dipangkunya sampai terhambur jatuh,
"Shil, lo kenapa ?" tanya Rio, "Alvin mana ?"
"Aku
nggak sama Alvin, aku bareng bus sekolah." jawab Shilla lemah.
Rio tidak sempat bertanya lagi, karena tubuh Shilla
tiba-tiba jatuh menubruknya. Kepala gadis itu membentur bibir Rio hingga
berdarah. Beruntung, Rio cukup sigap menahan tubuh Shilla, agar tidak jatuh
tersungkur ke lantai.
"Shilla."
Rio menepuk-nepuk pipi Shilla.
Ify
segera beranjak dari duduknya, bantu melepas tas selempang yang membebani
pundak kanan Shilla, "Shilla kenapa Yo ?"
"Pingsan
Fy, nggak tau kenapa."
"Ya
udah, bawa ke UKS aja yuk !" usul Ify.
"Mending
ke rumah sakit aja, bawa mobil gue. Tu anak dari rumah udah pucat, diajak
bareng malah nggak mau, pakai nggak sarapan pula." Alvin yang baru saja
datang, menyerahkan kunci mobilnya pada Ify.
Tidak berlama-lama lagi, Rio cepat-cepat membopong tubuh
lemah Shilla menuju parkiran. Tatapan ingin tahu, sekaligus iri berbinar dari
mata sebagian gadis yang melihat adegan yang dianggap romantis itu.
Gerimis
berubah jadi hujan, berkeracak mengguyur setiap area tak beratap, "Hujan
Fy." Rio melirik Ify, raut cemas terpeta jelas diwajahnya.
"Ya
udah tunggu sini Yo !" Ify nekat berlari menerobos hujan, padahal jarak
dari muka koridor utama, menuju parkiran cukup jauh. Harus melewati lapangan
basket outdoor dan Aula.
Tak
lama, gadis itu kembali dengan mobil Alvin yang ia kemudikan sampai di tempat
Rio berdiri. Ify keluar dari dalam mobil, rambut dan seragamnya basah,
"Cepat masuk !" perintah Ify, "Mending diantar ke rumah aja Yo,
lebih dekat juga kan, kayaknya Shilla cuma kurang fit, sebenarnya dibawa ke UKS
juga bisa, tapi jam segini yang jaga pasti belum pada datang."
"Ok
deh. Nanti kalau nggak baikan baru gue antar ke RS. Mintain izin buat gue sama
Shilla ya Fy."
Ify
mengangguk setuju.
Rio
telah membaringkan Shilla dikursi belakang, ia kembali menghampiri Ify. Pemuda
itu memberikan sebuah kunci, "Di loker gue ada jaket sama kemeja putih ,
masih bersih. Cepat ganti baju, gue nggak mau lo sakit." pesan Rio. Tapi
sebelum sempat Ify menimpali atau sekedar berkata 'hati-hati', pemuda itu sudah
pergi begitu saja. Sedetik kemudian, sedan hitam Alvin langsung melejit
menyisakan cipratan air kesana-kemari.
Ify
menghela napas, sedikit berharap ia bisa bertukar tempat dengan Shilla saat
ini, serta menemukan ekspresi khawatir yang sama pada wajah Rio, "Semoga
Shilla nggak kenapa-kenapa." doanya dalam hati,
***
1 komentar:
Keren kakaaa.. pas bagian rio shilla dikamar itu lho.. astajim.. aq senyum2 sendiri gatau kenapa.. hahaha.. tapi pas awal2 aku nyesek gimana gitu.. agak khawatir sama rio.. tp untung kesininya gaa:) hehe..
Posting Komentar