Sabtu, 01 Oktober 2011

Rahasia Orion Part 11 bag B

Rahasia Orion Part 11 B
Pesan

***

Musim penghujan telah tiba. Denting gerimis di luar sana bergantian menempa atap-atap rumah. Menimbulkan suara khas yang lama tidak didengar penduduk bumi setelah sekian bulan dilanda kemarau. Hujan menepati janjinya untuk datang malam hari saja, ketika orang-orang sudah mulai rehat dari berbagai aktivitasnya.
Rio dengan tekun masih berusaha mengerjakan 30 soal Fisika dihadapannya. Bu rizky, tampaknya menaruh dendam pada Putra Narendra Haling itu. Beliau tidak percaya dengan surat izin yang diberikan Ify dan menganggap Rio sengaja membolos pada jam pelajarannya, ia memberi Rio hukuman mengerjakan 30 soal Fisika dan harus dikumpilkan dalam waktu 1x24 jam. Padahal untuk Shilla sendiri, surat izin yang diberikan guru piket atas namanya diterima aleh guru bertubuh gempal itu.
Alhasil, malam ini Rio harus bergadang mengerjakan soal-soal itu dan absen menyaksikan pertandingan club sepak bola favouritenya di TV. Sebenarnya, ia bisa saja meminta Shilla mengerjakan untuknya. Toh, Rio dihukum juga karena menemani Shilla yang kurang enak badan kemarin. Tapi ia sebagai laki-laki, harus bertanggung jawab atas hal apapun yang ia lakukan. Jadi sebagai gantinya, Rio memaksa Shilla agar mengajari sekaligus menemaninya mengerjakan hukuman itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam dan Rio baru berhasil mengerjakan separuh dari 30 soal yang ada.

"Hoaamm." Rio menguap lebar. Kedua matanya sudah memerah, pertanda kantuk mulai menderanya.

"Ngantuk Yo ? Tidur aja gih, nanti biar aku aja yang selesain."

"Nggak ah, yang dihukum kan gue."

"Huh. Kepala batu deh." dengus Shilla. Ia lantas melihat-lihat catatan fisika Rio dan melengkapi beberapa bagian yang belum tersalin oleh Rio. Entah lupa atau memang malas. Kegiatan itu Shilla kerjakan, karena tidak tahu harus melakukan apa sembari menemani Rio,"Sambil cerita-cerita aja ya Yo, biar nggak ngantuk." usul Shilla, yang di-iya-kan Rio hanya dengan gumaman tak jelas,  "Emm, mulai dari apa yaa ?" Shilla mengetuk-ngetukkan ujung bolpoint ke pipi, "Cita-cita deh. Cita-cita kamu apa Yo ? Kamu belum pernah cerita lho."

Rio mengangkat wajahnya, memajang tampang sok manis luar biasa, "Io mau jadi doktel, bial bisa sembuh-sembuhin teman Io yang sakit." kelakar Rio.

Shilla memutar bola mata, "Geli deh, sok imut." Celanya, "Serius dong Yo. Aku kan udah pernah ceritain cita-cita aku kepengin jadi dokter specialis jantung, gantian dong kamunyaa..."

"Emm, kalau gue... apa ya? Cita-cita gue simple sih. Cuma pengin selalu ada disamping istri gue saat dia melahirkan anak-anak gue nantinya." jawab Rio kalem.

"Sweet sekaliii..." puji Shilla, "Tapi kok aneh sih ?"

"Aneh apanya ?" sambil menyahuti Shilla, Rio kembali menekuni tugasnya, "Kalau yang namanya cita-cita menurut lo, definisinya nggak jauh-jauh dari profesi, berarti orang kayak gue nggak punya cita-cita dong. Karena mau nggak mau, suka nggak suka, nantinya pasti gue bakal jadi pengusaha nerusin perusahaan keluarga, gue kan anak tunggal. Lagian cita-cita gue kan juga mulia sekali, hehe." seloroh Rio.

Shilla balas tersenyum, "Jatuh cinta deh sama cita-cita kamu Yo," jujur Shilla, "Beruntung ya yang nanti jadi istri kamu." imbuh Shilla.

Kemudian sepi.
Lama... Tidak terdengar sahutan dari Rio. Ternyata pemuda itu telah terlelap, berbantal sebelah tangannya.

Shilla geleng-geleng kepala, "Gampang banget sih tidurnya." gumamnya pelan.

Shilla lalu menarik beberapa buku tulis dan kertas-kertas soal, membenahinya, berikut alat-alat tulis Rio. Setelah semuanya tertumpuk rapi, Shilla bertopang dagu. Menatapi wajah pulas Rio yang begitu tenang. Pundak pemuda itu naik-turun dengan teratur, selaras embusan napasnya. Kelopak matanya terkatup sempurna.
Entah didorong oleh apa, Shilla tanpa sadar menjulurkan tangannya. Mengusap lembut sebelah pipi Rio. Kemudian, tulang belakangnya membungkuk, Shilla menurunkan wajah hingga bibis tipisnya menyentuh pipi kiri Rio. Satu kecupan mendarat disana.
Detik itu juga, pengakuan itu muncul.
Hatinya telah berlabuh, pada dermaga yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Dirinya telah ditaklukan, bukan dengan hunusan pedang, hanya lewat satu senyum menawan.
Adalah Rio, pemuda yang berhasil membuatnya jatuh cinta kini dan semoga saja sampai nanti.
Meski demikian, tidak ada yang Shilla tuntut dari Tuhannya, tidak agar Rio jadi miliknya, tidak pula supaya pemuda itu memiliki rasa yang sama dengannya.
Jika, kelak cintanya harus teruji, ia ikhlaskan airmatanya tumpah. Karena di setiap cinta, selalu ada yang terluka bukan ?

***

Hujan di luar sana belum usai. Iramanya tidak lagi membawa ketenangan. Terlalu banyak volume air yang dicurahkan langit. Deras sekali. Ditambah deru angin yang tanpa ampun merontokkan setiap helaian daun, mematahkan ranting dan dahan pepohonan. Kilat berikut guntur jadi peran utama pada pentas alam malam ini. Sepertinya dua pengiring hujan itu sangat bahagia ketika semakin banyak insan yang takut dan cemas karena kehadiran mereka.
Gabriel menyaksikan fenomena alam itu lewat kaca jendela kamarnya yang beruap. Ia tidak meyukai hujan, tapi selalu mengharapkan kedatangannya. Kenapa ? Karena ia berharap, air hujan akan membawa hanyut kepingan rasa tak berbalas yang ia punyai. Ia ingin, air hujan mampu meluruhkan sketsa wajah gadis tirus yang terpulas permanen dalam otaknya. Meskipun, kenyataannya sesering apapun hujan turun, harapan itu tak pernah menyentuh kata terkabul, "Huufh..." ia mengulur napas berat, kembali mengamati selembar foto ditangannya. Foto dengan objek yang sama seperti objek puluhan lemabr foto-foto lain yang terpajang disetiap pelosok kamar Gabriel, terutama disekitar meja belajar dan tempat tidur. Foto-foto itu, menampilkan Ify dalam berbagai posse. Gabriel tidak pernah mengizinkan orang lain untuk masuk ke kamarnya, bahkan Mamanya sekalipun. Karena itu juga, ia merasa aman memajang foto Ify sebanyak-banyaknya dalam area privacynya itu.
Gabriel tersenyum misterius. Dengan perasaan mendalam, dikecupnya foto Ify, lalu didekap erat didadanya. Ia memejamkan mata. Kembali sunyi yang bertahta, tidak ada suara sekecil apapun dari dalam kamar bercat abu-abu itu. Cahaya yang temaram membuat ruangan ini seperti tak berpenghuni.
Gabriel terdiam cukup lama. Sebelum secara tiba-tiba, matanya jadi nyalang, ekspresinya mengeras, ada kemarahan yang bercampur rasa kecewa yang menghiasi mimik wajahnya. Ia memperhatikan setiap foto. Gambar-gambar ketika Ify tersenyum adalah favouritenya, termasuk foto yang tengah ia pegang saat ini. Dan dalam kegelapan yang sunyi, Gabriel sepertinya menyadari sesuatu yang membuatnya begitu marah. Tawa itu, senyum itu, selalu muncul hanya setiap kali Ify berada didekat Rio. Seakan-akan Tuhan memang mendesainnya, khusus untuk pemuda yang begitu ia benci. Itulah fakta yang Gabriel temukan.
Lalu kejadian beberapa malam yang lalu, terputar kembali dalam ingatannya, ketika Ify membatalkan pergi dengannya hanya karena kedatangan Rio. Itu benar-benar menyakitinya. Apa gadis itu tidak bisa, sekali saja peduli pada perasaanya? sekali saja memilihnya ? Mementingkannya?
Dengan perasaan tak menentu, Gabriel menangis tapi juga sambil tertawa. Tawa miris yang misterius. Perlahan, ujung jarinya menyusuri foto Ify.

Gabriel memiringkan wajahnya,"Cantik, lo punya gue ya? Punya gue!" desisnya. Ia berbisik halus pada foto ditangannya, seolah-olah, benar, sosok Ifylah yang sedang ia ajak bicara. kemudia ia menggeleng, "Nggak  mau ? kenapa ?" seperti orang tidak waras, ia mengajak bicara selembar foto dengan penuh perhatian, "Pasti gara-gara Rio. Aku mau bunuh dia... tapi.. tapi.. nanti kamu sedih." racau Gabriel semakin melantur, "Hahaha..." tawanya yang tanpa sebab menggema dalam ruangan, berpadu dengan suara hujan dan petir.

Gabriel melanjutkan menyusuri foto-foto Ify yang paling dekat dengan tempatnya duduk, Gabriel melakukannya sambil tersenyum dan bernyanyi-nyanyi kecil.

Tok-tok-tok

Suara ketukan dipintu kamarnya membuat Gabriel terkesiap. Ia menatap marah daun pintu yang masih menutup, "Ganggu !!" gerutunya.

Dengan enggan, ia membukakan pintu dan secepatnya menutupnya kembali. Mamanya berdiri didepan pintu, tersenyum lembut kearahnya.

"Mama ?"

"Yel, gimana ? Kamu sudah baikan ?" tanya Sang Mama yang masih mengenakan baju kerjanya, "Mama tadi beli soup, makan dulu yuk, terus minum obat." ia menunjukkan kantong kresek putih yang dibawanya.

Tapi Gabriel bergeming.

"Yel ? Are you Okay?"

"Akan jauh lebih baik sebenarnya, kalau Mama bisa pulang daritadi dan ngerawat Iel."

"I'm sorry, maafin Mama ya. Mama banyak banget kerjaan hari ini."

"Aku kecewa sama Mama, tapi ya... Nggak ada yang perlu aku maafin. Mama nggak salah. Yang salah besar tu ya Rio sama Papanya, kalau bukan karena mereka, pasti Papa nggak akan pergi, Mama nggak perlu kerja dan punya banyak waktu buat aku."

"Sudah berapa kali Mama bilang, Gabriel. Mama tidak suka kamu bicara seperti itu. Ini semua bukan salah siapa-siapa. Ini takdir Yel, kamu harus bisa terima itu."

"Mama kenapa sih ? Masih aja belain mereka. Mama tahu apa tentang mereka, Iel lebih tahu, Ma. Mereka itu bajingan."

"Gabriel !! Jaga ucapan kamu. Ada banyak hal yang nggak pernah kamu tahu tentang mereka. Dan suatu saat, kalau kamu mengetahuinya, kamu akan menyesal pernah bicara selancang ini."

"Alah bullshit." Gabriel mengibaskan tangannya, lantas melengos meninggalkan Mamanya di depan pintu karena mendengar lantunan lagu Favourite Girl - Justin Bieber yang di-set khusus untuk nada dering nomor Ify, mengalun dari handphonenya.

"Hallo Fy ?" sapa Gabriel.

"Hallo Yel ? Katanya sakit ya, sakit apa ?"

"Cuma demam biasa aja kok Fy." jawab Gabriel dengan nada riang. Senang rasanya mendapat perhatian dari Ify, meski hanya sebatas itu.

"Oh syukur deh kalau gitu. Eh iya, data-data praktikum kelompok kita ada di flashdisc kamu kan ya ?"

"Iya, kenapa Fy ?"

"Nggak pa-pa sih, cuma kan, deadline pengumpulan power pointnya besok. Tadinya malam ini, gue mau ke rumah lo, ambil materi terus dikerjain bareng Muthi, tapi berhubung hujannya deras banget, jadi batal deh. Tapi besok sebelum berangkat, gue ambil flashdiscnya ya kerumah lo, nanti gue minta kelonggaran deh sama Bu Lia buat ngumpulin tugasnya lusa aja."

"Ya udah Fy, sekarang aku ke rumah kamu aja. Kamu di rumah Bunda kamu kan ? Nanti kita kerjain sama-sama."

"Eh nggak usah, besok aja. Lo kan lagi sak-"

Tut-tut-tut

Gabriel memutus sambungan teleponya. Dalam satu gerakan cepat, ia menyambar flashdiscnya yang tergeletak diatas meja belajar.

"Yel, kamu mau kemana ?" tanya Sang Mama yang dijumpai Gabriel diruang TV.

"Rumah Ify." jawab Gabriel sambil berlalu.

***

Ify beringsut dari tempatnya duduk, setelah terdengar ketukan samar dari luar. Hujan masih cukup deras, membuat Ify heran juga, siapa gerangan yang mau repot-repot bertamu, sementara cuasa sedang tidak bersahabat seperti sekarang. Saat pintu kayu didepannya terbuka, desau angin tanpa permisi segera saja menghantarkan dingin yang dibawanya menerobos daun-daun Angsana di luar.

"Ya ampun, Iel !" serunya kaget, melihat siapa yang berdiri dalam keadaan setengah basah di depan pintu rumahnya. Ify segera menarik lengan Gabriel untuk cepat masuk, "Lo ngapain kesini, udah tau hujan gini, katanya sakit."

"Mau antar ini." Gabriel mengangsurkan flashdiscnya.

"Ck, nekat banget sih, Yel. Kan udah gue bilang besok juga bisa."

"Udah, nggak pa-pa lah. Lagi ngerjain kan ? Yuk, aku bantu." tawar Gabriel, melihat laptop dan buku-buku yang berjajar dimeja ruang tamu Ify.

"Tapi-"

"Ini kan tugas kelompok, aku nggak enak belum bantu ngerjain apa-apa." desak Gabriel.

"Ya udah deh. Kalau gitu. Duduk dulu, gue buatin minum."

Gabriel mengangguk, kemudian duduk lesehan dilantai, menghadap layar laptop Ify yang menyala. Baru saja, ia membaca beberapa baris kalimat yang dijadikan Ify sebagai landasan teori laporan praktikum kelompok mereka, handphone disakunya bergetar. Gabriel segera men-check handphonenya. Ada SMS dari Mamanya. Setelah mengetikkan jawaban singkat, Gabriel tersenyum penuh arti, menekan beberapa tombol, lalu membiarkan gadget mungil itu terkapar di atas meja.

Tak berapa lama, Ify kembali, membawakan satu gelas panjang berisi teh dengan asapnya yang masih mengepul, serta sebuah handuk, "Nih Yel, keringin dulu tu rambut lo, terus tehnya diminum." belia itu lantas duduk disamping Gabriel.

Sementara Gabriel mulai menyesap tehnya, Ify terlihat sibuk dengan handphonenya. Senyum
manis tersungging di bibir tipisnya. Mendapati satu pesan baru yang masuk.

From : Rio
Hallo, Lagi apa Fy?

Dalam beberapa waktu ke depan, Ify tidak membiarkan handphonenya lepas dari genggaman tangannya. Tanpa sadar, ia mengabaikan Gabriel yang begitu khidman, menikmati senyum yang merekah dibibir Ify secara live dalam jarak sedekat ini.

"Gue bakal lakuin apapun Fy, supaya lo terus senyum kayak gini." batinnya.

Tak lama lagi ia akan pergi. Gabriel mungkin tidak akan lagi melihat senyum Ify, jadi selagi ia bisa, ia akan membuat gadis itu bahagia dan melihat lebih banyak lagi senyum diwajah Ify. Apapun akan ia lakukan, meski dengan cara yang sangat ia benci.

"Senyum terus Fy, pasta gigi lagi murah ya ?" tegur Gabriel.

"Eh ? Hehe." Ify terkekeh. Ia kemudian meletakkan handphonenya dan meraih buku-buku pelajaran. Acara ngobrolnya dengan Rio via SMS untuk malam ini telah usai. Rio bilang, ia harus mengerjakan tugas kelompoknya juga, bersama Shilla.

"Texting with Rio, right ?" tebak Gabriel.

Ify mendelik, "How do you know ?"

Gabriel mengangkat bahu, "Neak. Kamu suka Rio ya?" sebenarnya ia tidak perlu bertanya demikian, karena jawabannya, sudah barang tentu ia ketahui dengan pasti, jauh sebelum saat ini.

"Nggak." jawab Ify singkat.

"Yakin"

"What do you care ?" ketus Ify.

"Nothing. But, if you really love him, i think you just have to fight for it."

"Buat apa ? Rio udah punya Shilla, yang jauh lebih baik dari gue. Gue nggak cukup pantes buat dia."

Gabriel tersenyum kalem, "Berarti benar dong, kamu suka sama Rio."

"Jangan cerita sama siapapun, apalagi sama Rio, atau gue bakal marah banget sama lo." ancam Ify.

Lama... Kemudian tidak ada yang terdengar bersuara. Keduanya diam. Gabriel mungkin untuk kesekian kalinya sedang sibuk, menata kembali hati yang remuk redam. Gadis yang mampu membuatnya jatuh cinta disetiap hari selama bertahun-tahun ternyata mematenkan hati hanya untuk pemuda yang begitu ia benci. Sedangkan Ify, secara lahiriah gadis itu terlìat sibuk menyalin beberapa tulisan kedalam kertas HVS.

"Menurutku Fy, semua warna pelangi itu cantik dan indah," Gabriel buka suara, "Kalau ada salah satu yang kemudian jadi warna favourite kita, itu cuma perkara selera. Sama kayak cewek, semuanya cantik dan special, kalau Rio nggak suka sama kamu bukan berarti kamu nggak pantes buat dia, balik lagi ke soal selera. Kriteria."

"Hahaha, ya ya ya. Lo sendiri, gimana ? Kok gue nggak pernah dengar gosip-gosip lo dekat sama cewek gitu sih. Anak Veronna kan cantik-cantik Yel, atau jangan-jangaaann..." Ify tersenyum jahil.

Gabriel memutar bola matanya, "Aku normal kok."

"Hm ? Masa ?"

"Mau bukti ?"

Repp.

Mendadak gelap. Semua lampu padam. Ruangan yang semula bergelimang cahaya, jadi gelap gulita.

"Mati listrik." ujar Ify.

Dalam gelap, Ify bergerak perlahan. Tangannya meraba setiap benda, mencari-cari handphone untuk memberikan sedikit penerangan. Laptop yang semula menyala, ikut mati karena low battery. Ify masih berusaha mengulurkan tangan kesegala arah, saat kemudian terasa embusan napas yang berderu keras menerpa wajahnya. Kecupan hangat, mendarat didagu lancipnya, lama dan membekukan. Saat cahaya kilat menerobos masuk, memberikan penerangan singkat dalam ruangan itu, Ify bisa melihat manik mata Gabriel beradu dengan bola matanya.
Ify mematung sesaat, kesadarannya terenggut. Tubuhnya tak kuasa berontak, tapi hatinya riuh berorasi. Memprovokasi otaknya, yang lantas mengirimkan isyarat pada kedua tangan Ify untuk bergerak. Gadis manis itu mendorong tubuh didepannya sekuat tenaga. Terdengar bunyi sesuatu yang berbenturan. Ify beringsut mundur, tapi kemudian ada 2 tangan kokoh yang membelit tubuhnya. Memeluknya erat, "Lepas Yel ! Lepas !"

Dua tangan kokoh itu tidak juga membebaskannya. Ify meronta.

"Lepasin gue !"

Lampu menyala.

"Lepas !" Ify mendorong tubuh Gabriel sekuat mungkin. Pemuda itu terhuyung kebelakang. Dan seperti disengat aliran listrik ribuan watt, Gabriel tersentak. Entah apa yang merasukinya tadi, sampai-sampai ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Melihat wajah Ify yang pucat pasi, Gabriel yakin ia baru saja melakukan satu kegilaan yang fatal. Gabriel mendekat, diulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Ify, tapi gadis itu dengan tergagap segera mundur sejauh mungkin, "Gila lo Yel !" umpatnya dengan suara tertahan, tidak ingin bundanya terbangun dan memperpanjang masalah.

"Fy, maaf..."

"Keluar !"

"Fy, gue nggak-"

"Keluar gue bilang !" Ify berjalan kearah pintu, membukakannya untuk Gabriel. Angin bertiup kencang mengibarkan anak-anak rambutnya, "Cepat keluar !"

Dengan terpaksa Gabriel menurut, ia melangkah menuju pintu. Sampai dihadapan Ify, ia menatap gadis itu, dalam. Cukup lama dan menusuk. Membuat hati Ify tiba-tiba saja bergetar. Saat Gabriel bahkan baru saja sepersekian detik menginjakkan kedua kakinya diteras rumah, Ify langsung membanting pintu.

Gabriel terduduk lemas didepan pintu, merutuki dirinya, kenapa begitu bodoh dan tidak bisa mengontrol diri. Mungkin ia terbawa suasana. Malam ini ia merasa begitu aneh dengan dirinya sendiri, sepertinya kewarasannya mulai terganggu. Entahlah. Sekarang, Ify sangat marah padanya, Gabriel yakin itu, "Maafin gue Fy." lirihnya penuh sesal.

Ify sendiri melampiaskan kemarahannya pada salah satu bantal di sofa ruang tamunya. Diremas, dipukul, ditinju, digigit, seandainya bantal itu benda hidup, pastilah sudah menuntut Ify ke Polisi dengan tuduhan penganiayaan salah alamat, "Sialan Si Iel. Kurang ajar." rutuk Ify marah. Matanya berkaca-kaca. Seumur hidup, tidak diizinkan seorang pria, selain Papanya untuk menciumnya. Bahkan Rio sekalipun, tidak akan ia izinkan. Dan Gabriel dengan seenaknya berbuat seperti itu terhadapnya. Benar-benar tidak menghargai Ify.

Drrttt

Handphone Ify diatas meja, menyala. Lagi-lagi pesan masuk.

From : Rio
Dipundakku. Kau temukan sandaran. Disana luka bertemu obatnya. Disanalah, airmatamu terbasuhkan.

Ify mendekap handphonenya. Rasa tenang menjalari setia tubuhnya. Sms tepat, disaat yang tepat, dari orang yang memang diharapkan.

***

Lembayung milik senja baru saja melebur diufuk barat. Bola langit semerah darah, telah terbenam.
Satu-dua-tiga.
Bintang-bintang mungil mulai mengguguskan diri, meski hanya beberapa. Awan keabuan memulas tipis selaksa langit. Sepertinya malam ini lagi-lagi akan berselimut mendung.
Bulan desember, tentu saja hujan turun dengan intensitas yang lebih dari bulan-bulan sebelumnya.
Rio dan Shilla duduk sebelahan, menghadap api unggun yang menyala-nyala. Paling tidak, cukup hangat untuk bisa mengusir dingin yang teramat, meski tidak pernah benar-benar bisa mengenyahkannya.

Rio melepas jaket, menyampirkannya kepundak gadis cantik yang sedang menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.

"Lho ? Kok dikasih aku ?"

"Nggak pa-pa, pakai aja. Dingin kan ?"

"Aku udah pakai cardigan kok, kamu aja yang pakai."

"Itu kan tipis, Shil."

"Nggak juga kok."

Shilla menaruh jaket Rio kembali kepangkuan pemiliknya. Tahu Shilla akan bersikukuh menolak, Rio memutuskan untuk kembali mengenakan jaketnya, "Kalau gitu, sinian lo nya."

"Hah ?"

"Lo dekatan sama gue, sini."

Sedikit ragu, Shilla merapat pada Rio. Pemuda itu lalu mengalungkan lengan kirinya kepundak Shilla, "Kalau nggak mau pakai jaket gue, dipeluk aja deh." ujar Rio, ringan.

Shilla menyingkirkan lengan Rio dari pundaknya, "Apaan deh Yo, malu tau."

"Malu sama siapa ?"

"Tuuu..." Shilla mengarahkan dagu pada segerombolan anak yang berkumpul dibibir sebuah tenda. Sedang melihat kearah ia dan Rio. Sambil berbisik-bisik.

Rio dan Shilla sedang mengikuti camping. Siswa-siswi kelas XII Veronna High School memang sedang mengadakan acara camping tahunan yang secara rutin diselenggarakan setiap libur semester awal. Satu minggu yang lalu, mereka memang baru saja menerima rapor semester 5. Camping diadakan di daerah Bandung dengan peserta yang hanya terdiri dari siswa kelas XII. Ini adalah malam kedua, mereka berada dialam bebes seperti ini.

"Oh, itu... Malu kenapa coba, emang kita ngapain ?" tanya Rio sok polos.

Shilla tidak menjawab, membiarkan hening menyelimuti mereka. Walaupun tidak pernah benar-benar hening, karena bising dan hilir-mudik panitia yang mempersiapkan acara Jurit Malam membuat suasana ramai dan semarak. Juga para peserta camping yang bermain gitar dan mengobrol satu sama lain.

"Yo !"

"Hm ?"

"Boleh tanya ?"

"Bayar !"

"Ih, serius tauu..."

"Haha, iya-iya boleh, tanya apa ?"

"Emm, soal Acha."

Ekspresi Rio seketika berubah keruh, "Jangan tanya apa-apa tentang Acha. Bukannya gue nggak mau jawab, tapi karena... Gue emang nggak tau apa-apa soal Acha, Shil."

"Kok gitu ?"
 "Gue egois Shil. Gue merasa cuma gue yang paling serius sama hubungan kami. Gue rasa, gue yang paling all out, pertahanin semuanya, jadi dulu gue nggak pernah pentingin gimana Acha," Rio menunduk, memainkan rumput liar yang tumbuh menutupi tanah, "Acha tahu semua hal tentang gue, sampai hal-hal terkecil sekalipun. Sedangkan gue ? Warna kesukaannya aja gue nggak tau."

"Separah itu ?"

"Gue nggak tau, warna favouritenya Shil, karena Acha emang selalu kelihatan suka dan happy sama apapun yang gue kasih ke dia. Warna apapun dan dalam bentuk apapun, kalau di tanya juga, selalu jawab, 'yang special buat aku ya yang ngasihnya lah', Acha sayang banget sama gue, tapi gue bikin dia nangis, gue bikin nilainya hancur mungkin juga hatinya, dan akhirnya dia pergi."

Shilla menggigit bibir, kenapa rasanya tidak rela mendengar Rio begitu tulus memuji gadis lain seperti ini, "Kamu belum bisa lupain Acha ?" pertanyaan itu akhirnya terlontar juga. Selama menunggu jawaban dari Rio, Shilla harus berjuang sekuat tenaga untuk bisa bersikap wajar dan tidak mengangkat kedua tangannya untuk menyumbat indera pendengarannya.

"Apa salah Shil ?" Rio menerawang, melabuhkan tatapan kosongnya pada pucuk-pucuk pinus yang menari luwes bak tarian putri keraton.

Shilla mengernyitkan kening, mendengar jawaban Rio, "Salah ? Apanya ?"

"Kalau seandainya gue bilang, saat ini gue sayang sama lo, sementara gue belum bisa lupain Acha, apa itu salah Shil ? Apa nggak boleh ?"

Shilla menarik-ulur napas dengan teratur, meski sesak di dadanya membuatnya kesulitan bernapas. Ia tersenyum lembut, "Yo, kalau misalkan Acha datang lagi..... apa kamu... bakal balik sama dia ?"

"Apa menurut lo, Acha masih mau sama orang yang udah sia-siain dia ? Dimaafin aja udah syukur, Shil. Sekalipun gue nggak bisa lupain Acha, tapi gue udah belajar kok buat nggak pernah berharap kami balikan. Acha berhak dapat yang lebih baik dari gue.

Shilla mengangguk samar.

"Yo, Shil !! Buruan kumpul. Jurit Malamnya udah mau mulai." panggil Alvin Sang ketua Panitia.

Rio dan Shilla bangkit, ketiganya lantas berarak menuju kerumunan siswa-siswi yang sudah siap, bergerombol bersama teman-teman sekelompoknya. Jurit Malam kali ini, Rio dan Shilla satu kelompok, bersama dengan Gabriel serta Ify. Dan Riolah yang kebagian jadi ketua berdasarkan undian.

"Yang benar lo, Yo. Jangan sampai nyasar, jangan sampai ada yang celaka, lo harus belajar tanggung jawab, bukan atas diri lo sendiri. Tapi juga sama anggota yang lain. Kalau ada apa-apa, cepat hubungin gue atau anak-anak panitia yang lain." pesan Alvin panjang lebar, saat ia menyerahkan senter, kompas berikut peta rute perjalanan.

Alvin tidak ikut bergabung dengan peserta yang lain, menjelajahi hutan, karena ia selaku ketua panitia, kebagian jaga di pos terakhir. Pemuda sipit itu menasehati Rio panjang lebar, karena ini kali pertama Rio menjelajah hutan tanpa dirinya, ditambah malam hari. Dan Alvin tahu betul, Rio paling payah membaca peta. Sayangnya hasil pengundian itu tidak bisa diganggu-gugat, agar fair dan tidak terkesan nepotisme, Rio tetap harus jadi ketua kelompok dan hanya dibekali alat bantu seadanya, sama seperti kelompok lain.

"Iya-iya, bawel deh lo. Udah yuk berangkat teman-temanku tersayang, hehe." Rio nyengir kuda.

"Yo, lo yakin ? Gue nggak mau ada apa-apa, beneran deh. Mending nggak usah aja ya, entar gue mintain dispensasi."

"Lo ngeremehin gue banget deh Vin."

"Ya udah, tapi hati-hati Yo." Alvin menepuk pundak saudara tirinya yang kemudian melangkah memasuki area hutan diiringi Shilla, Ify dan Gabriel.


***

3 komentar:

Rain mengatakan...

kak novia, kereeeen :)))) lanjutnya jangan lama-lama ya kak :D

-Me- mengatakan...

lanjutnya jangan lama-lama lho kak.. penasaran akut .. ciiee tadi shilla dirangkul rio gitu.. haha aku malah senyum2 gara2 kak via sih--" keren kak.. o ya, janji tepatin ya kak di part 12 :p yang Rio-Shilla "J" ... hahahaha *malahnuntut* .. jangan lama, oke ? *banyak maunya*

_micke_

yllow mengatakan...

cerbung ter ter ter deh :D part 12 jangan lama ga sabar baca :) di jadiin novel lebih oke hehe

Posting Komentar