Minggu, 23 Oktober 2011

Putih Abu-Abu (cerpen)

Layaknya lembayung yang memayungi senja.

Teduh yang selalu iringi hujan.

Dan bara yang menguatkan api.

Seperti itulah, aku dan kamu, sahabatku..

Satu kesatuan yang saling melengkapi.


***


Putih abu-abu.

Perkenalan. Jabat tangan. Seulas senyum.


Tahun pertama. Mereka mengikatku dengan tali persahabatan.


Ada banyak hal didunia ini yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Seperti halnya suhu di Ibu Kota pada siang hari ini. Entah harus berapa banyak kata banget yang harus aku bubuhkan dibelakang kata panas, agar sesuai untuk menggambarkan bagaimana garangnya matahari membakar Jakarta. Aku benar-tidak sanggup membayangkan bagaimana rasanya kalau harus tinggal di Merkurius, planet yang jaraknya paling dekat dengan Matahari. Entah, akan selegam apa kulitku yang sudah hitam ini.


Kemeja putihku sudah lengket, menempel dengan tubuh yang dibanjiri keringat. Dua kancing teratasnya sengaja kubiarkan terbukan. Bukan sok sexy, tapi... oh ayolah, siang ini benar-benar panas dan gerah. Matahari sepertinya memang sedang murka pada manusia, karena pepohonan yang selalu ingin dilihatnya dari atas sana, dienyahkan dari bumi oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab yang hanya mementingkan perut sendiri.


Haah, kalau saja bukan karena keteledoranku sendiri yang menjatuhkan kunci mobil, pasti aku akan menolak mentah-mentah jika diharuskan berputar-putar selama hampir satu jam di area parkir seperti ini.


"Yo, sebenarnya kuncinya hilang atau lo telan sih ?" Alvin sudah berdiri dibelakangku yang sedang mengorek-ngorek tempat sampah dengan gagang sapu ijuk.


"Gue malah curiga, elo yang makan tu kunci." selorohku, menanggapi ucapannya.


"Gue nyerah deh! Udah hampir satu jam kita cari tapi nggak ada hasil. Udahlah mending pulang naik taksi aja yuk!" saran Alvin. Ia menyandarkan tubuh pada kap vios hitamku. Wajahnya sudah kuyu dan penuh peluh. Dasi abu-abu tergantung serampangan pada kerah kemeja yang tidak pernah ia masukkan.


Aku menghela napas, "Ya udah deh, yuk balik." ujarku, pasrah.


Aku merangkul pundak Alvin. Kasihan dia. Sahabatku ini memang paling tidak tahan dengan panas. Aku jadi tidak enak sudah merepotkannya.

Hari ini, kami baru resmi menjadi siswa kelas X, setelah seminggu melewati masa orientasi yang seru bersama kakak-kakak OSIS yang 'baik dan manis'. Aku belum mempunyai teman untuk dimintai tolong, jadilah hanya Alvin yang membantu mencari kunci mobilku yang jatuh, entah dimana.

Kebetulan, kalau Alvin, aku sudah berteman dekat dengannya sejak SMP.


Sekali lagi, aku melayangkan pandangan ke sekelilingku, berharap menemukan benda perak yang aku cari. Tapi memang benda itu tidak ada disekitar sini. Mataku malah bertumbuk dengan dua manik coklat gelap milik seorang siswa. Jika diperhatikan, siswa bertubuh jangkung itu, sejak tadi berdiri dibawah naungan pohon trembesi yang teduh, tak jauh dari tempatku berdiri. Siswa itu kemudian bergerak menghampiri aku dan Alvin. Aku tersenyum tipis, basa-basi agar tidak dikira sombong.


"Kalian cari ini ?" tanyanya, sembari mengangsurkan sebuah kunci berbandul bola basket yang sangat aku kenali.


Mataku berbinar, "Eh iya, itu punya gue." aku menerimanya dengan perasaan lega, "Lo temuin dimana ? Thanks banget ya." sambungku, riang.


"Tadi pagi pas gue datang, gue lihat kunci itu jatuh, ya udah gue simpan aja. Barangkali nanti ada yang kehilangan, ternyata punya kalian."


"Berarti dari tadi lo tahu dong, kita kelimpungan nyari tu kunci ? Bukannya dikembaliin dari tadi kek, malah nontonin dibawah pohon, senang ya lihat orang susah ?" gerutu Alvin, kesal.


"Gue cuma mau lihat, seberapa besar tanggung jawab anak orang kaya, atas barang titipan orang tua mereka." sahutnya, tenang.


Aku mengangguk paham, "Iya Vin, yang penting kan udah dibalikkin. Oh iya, kenalin gue Mario, panggil aja Rio. Kalau ini Alvin. Lo siapa ?"


Siswa tadi mengulurkan tangannya, "Gue Gabriel. Kita sekelas kok. Gue duduk dibelakang lo berdua."


Aku membalas uluran tangannya, "Oh iya ? Wah nice to know you, Gabriel. Dan sebagai ucapan terima kasih dari gue, lo gue traktir makan deh Yel. Kebetulan dekat-dekat sini ada cafè baru."


"Emm, traktir dikantin aja gimana ? Kalau nggak mau juga nggak apa-apa. Ucapan terima kasih dari lo juga udah cukup kok."


Aku menyernyit heran, kantin ?

Biasanya, teman-temanku yang lain akan berlomba menyebutkan cafè-cafè mahal atau restaurant ternama setiap kali aku ingin mentraktir mereka. Tapi Gabriel memilih di kantin sekolah ? Serius ?


"Jadi nggak ?" tegur Gabriel.


"Eh, iya jadi kok. Ayo Vin." aku merangkul pundak Alvin. Berdua, kami membuntuti Gabriel yang berjalan lebih dulu.


*


Delapan bulan berlalu.

Adakah yang pandai menbelenggu waktu.

Aku bahkan masih terseok menata langkahku,

tapi waktu... tak pernah kenal kata menunggu.


Aku berlari secepat kakiku bisa, menyusuri koridor-koridor panjang antar kelas yang sudah sepi. Hanya ada beberapa siswa yang masih melaksanakan tudas piket, sedang membuang sampah keluar kelas. Sepuluh menit lagi pelajaran akan dimulai, aku terlambat. Dan sialnya PR Kimia, mata pelajaran pertama hari ini, belum aku rampungkan. Dengan panik aku mempercepat ayunan langkah kedua kakiku, seraya membentuk simpul dasi dileher secara asal-asalan.


"Gaaaabb, gue nyontek PR Ki-"


Aku berteriak-teriak saat tiba dimejaku, tapi suara cemprengku segera berakhir ketika buku bersampul coklat menempel diwajahku.


"Bangga banget sih lo, mau nyontek aja pakai teriak-teriak." cibir Gabriel yang terlihat sedang berkutat dengan kamus dan LKS bahasa Inggrisnya.


"Hehe, thankyou bro."


"Hm." timpalnya singkat.


Dengan cepat, aku mengeluarkan buku tugas kimiaku. Kemudian menyalin semua tulisan kecil yang menyemut rapi khas Gabriel, kedalam buku tulisku. Dalam beberapa menit saja, aku sudah berhasil meng-copy PR Gabriel sebanyak 3 nomor.


"Elo, cepat banget deh ya, kalau urusan nyontek tugas." goda Alvin yang baru saja datang membawa sebungkus roti dan sebotol air mineral, "Ni Yel." terdengar suaranya berbicara dengan Gabriel yang duduk dibekakangku.


"Nggak usah Vin." tolak Gabriel.


Huuh. Hal seperti ini selalu terjadi hampir disetiap pagi. Gabriel entah kenapa tidak ada bosan-bosannya menolak apapun yang aku ataupun Alvin berikan. Gabriel sering datang ke sekolah tanpa sarapan dulu, katanya sih tidak sempat atau tidak lapar, tapi aku yakin dia berbohong, karena tidak jarang terdengar perutnya berbunyi ditengah jam pelajaran, ketika kelas sedang benar-benar hening. Menurut beberapa siswa mungkin itu lucu, mereka akan tertawa-tawa dan Gabriel hanya akan memasang seringai lebar. Tapi untukku dan Alvin itu sama sekali tidak lucu. Kami tahu bagaimana keadaan keluarga Gabriel. Karena itu, sekarang, aku atau Alvin akan membelikan atau mengajaknya sarapan dikantin, walaupun tidak setiap hari karena Gabriel lebih sering menolak ajakkan kami..


Tidak terasa, delapan bulan sudah, kami berteman.

Ternyata, insiden kunci mobilku dulu, adalah jembatan awal untuk perhabatan kami. Ada banyak hal yang telah kami lalui, bukan cuma suka, sering sekali selisih faham terjadi, tapi kami mencoba untuk tigak egois. Tidak memperuncing masalah dan membesar-besarkannya.


"Go Rio. Go go Rio... Go Rio. Go go Rio.. Yeah !!" Alvin yang sepertinya sudah berhasil membujuk Gabriel untuk menerima sarapan yang dibawakan untuknya, sekarang berbalik menggangguku dengan melakukan berbagai gerakan ala-ala pemandu sorak, lengkap dengan pom-pom khayalan di kedua tangannya. Pemuda sipit itu bergerak hiperaktif, bertepuk tangan dan melompat-lompat tidak jelas. Aneh sekali dia, seperti anak autis saja.


"Apaan sih lo Vin, ganggu deh!" sentakku.


"Makanya ngerjain PR tu dirumah. Lo mah malas sama bodoh dipiara sih, Yo." cela Alvin.


"Eh songong banget lo ngatain gue."


Karena kesal aku menghentikan aktivitasku, dan memilih meladeni Alvin. Pemuda itu sekarang berlari keluar, di depan pintu, ia berhenti dan menekan-nekan hidungnya sambil menjulurkan lidah. Apa tu maksudnya ? Mau menghina hidungku yang tidak mancung ? Ah sial.

Geram, ku raih botol air mineral Gabriel yang tinggal setengah, lantas ku lempar kearah Alvin. Duh, meleset.

Kemudian ganti kuambil penghapus whiteboard dan kupastikan benda ini akan mengenai salah satu bagian tubuh pemuda yang sudah mengambil ancang-ancang untuk kabur itu. Aku mengejarnya. Kami berlarian sepanjang koridor, melompati beberapa pot bunga yang sudah tertata rapi. Haah, anak kecil sekali bukan, kami ini ? Tapi percayalah, kelak hal seperti ini akan sangat dirindukan dan jadi kenangan yang tak terlupakan.


Aku masih semangat berlari, mengejar Alvin yang tertawa-tawa mengejekku. Tapi kemudian aku teringat sesuatu, aku buru-buru berbalik arah menuju kelas. Kuurungkan niat membalas Alvin, ada yang lebih krusial dari itu. PRku belum selesai !!

Aku melirik jam digital hitam yang melingkari pergelangan tanganku. Kurang 2 menit dari pukul 7 pagi. Astaga, matilah aku. Kalau sampai ketahuan Pak Jantes, aku belum membuat PR, bisa-bisa aku tidak boleh mengikuti pelajarannya hari ini.


Aku tiba dikelas dengan napas yang senin-kamis. Masih dengan mulut yang mangap-mangap karena kehabisan napas, aku menuju mejaku, "Loh buku gue mana ni ?" tanyaku karena tidak menemukan buku tugas kimiaku diatas meja.


"Ni buku lo, udah puas lari-larinya ?" Gabriel menyerahkan buku tugasku.


Aku terdiam beberapa saat, bingung mau berkata apa, "Lo tulisin PR gue Yel ?"


Gabriel tidak menjawab, hanya tersenyum kalem kemudian kembali sibuk dengan LKSnya. Gabriel melakukan itu pasti karena tidak ingin melihatku dihukum, baik sekali dia. Kalau saja kami sama-sama perempuan, aku akan langsung memeluk Gabriel. Tapi sayangnya, adegan berpelukan seperti itu terasa janggal dilakukan dua remaja laki-laki yang mengaku normal. Maka sebagai gantinya, aku membalas senyum simpul Gabriel dengan satu tepukan dipundak dan ucapan terima kasih.


Sahabat adalah mereka yang memberi mesti tak pernah kamu meminta,

dan ia tidak merasa perlu mendapat imbalan atas apa yang telah ia berikan.


*


Upacara terakhir sebelum kami menghadapi ulangan umum kenaikan kelas dan bisa ditebak, tentu saja kepala sekolah kami yang menjadi pembina upacara pagi hari ini akan dengan senang hati memberikan berbagai wejangan agar kami bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri untuk ulangan umum tersebut. Aku tidak habis fikir, sudah 35 menit laki-laki botak dengan kumis lebat itu berbicari diatas podium, tapi ia tidak kehabisan kata-kata dan belum ada tanda-tanda amanat pembina upacara itu akan usai. Padahal kami para siswa, sudah sangat nelangsa berbaris dibawah guyuran sinar matahari seperti sekarang.


"Ngomong apaan sih tu orang ?" bisikku yang memang tidak ada niat secuilpun untuk memperhatikan apa yang disampaikan bapak kepala sekolah tercinta.


"Paling juga itu-itu lagi Yo yang dibahas. Bosen gue dengarnya." timpal Alvin yang berbaris didepanku.


"Memang lo pernah dengarin Vin ?" tanya Gabriel sok polos.


"Hehehe." Alvin hanya melempar cengiran kuda. Aku ikut terkikik pelan.


"..... Baiklah, seperti apa yang tadi sama sampaikan bahwa memasang atribut sekolah secara lengkap adalah salah satu bentuk disiplin menaati tata tertib, maka bagi sisa yang tidak beratribut lengkap diharapkan maju ke depan. Kalian akan diberi sanksi agar lebih disiplin." suara berat berwibawa Bapak Kepala Sekolah terdengar sampai kebelakang.


"Huuuh." Alvin mendesah, kentara. Aku menoleh, ternyata Alvin tidak mengenakan topinya. Otomatis, ia pasti harus bergabung dengan siswa-siswa lain yang tidak beratribut lengkap untuk menerima sanksi.

Alvin menunduk. Dari bahasa tubuhnya, jelas sekali ia tidak suka dengan sanksi yang akan diterimanya. Terlebih karena aku dan Gabriel mengenakan atribut lengkap. Jadi kami tidak akan menjalani hukuman bersama-sama.

Alvin sudah beranjak untuk maju, ketika tiba-tiba saja sebuah topi melayang didepan wajahku dan mendarat tepat disela-sela semak dibelakang barisan kami. Aku mencari oknum pelempar atribut sekolah itu. Gabriel. Ia membuang topinya dan merangkul pundak Alvin.


"Gue temanin." ujarnya.


Aku tersenyum haru. Tak mau kalah, akupun ikut melepas dasiku lantas melemparnya sembarangan. Beberapa siswa yang melihat aksiku, menatap heran, tapi apa peduliku ?


"Kira-kira dihukum apa ya kita ?" tanyaku seraya menerobos barisan. Berarak maju, bersama dua sahabatku.


Yang membungkuskan suka untukmu dan mau mencicipi dukamu adalah orang yang sama, sahabatmu...


***


Putih abu-abu. Larutnya perbedaan. Sejuta maaf tanpa jeda. Sayang yang sempurna.


Tahun kedua. Mereka membuatku merasa berharga dengan cara yang sederhana.


Vios hitamku berlari membelah udara. Berbalap dengan angin, melintas jalan-jalan 'tikus' untuk menuju sekolahku, secepat mungkin. Bangunan bertingkat dengan catnya yang hijau cerah, sudah berada dalam jarak pandangku. Aku tidak berani melirik jam. Aku sudah tahu, pasti kami sangat terlambat. Aku menginjak gas lebih kedalam. Ban mobilku dengan beringas menggilas aspal jalan. Terdengar bunyi decit saat rem ku injak. Viosku terhenti, "Udah ditutup Vin gerbangnya." aku menoleh pada Alvin yang duduk disampingku.


"Ya iyalah, udah jam 8, Bro. Lo kira ini gerbang puskesmas, buka sampai jam 12." seloroh Alvin.


Tin-tin-tiiiiin.


Alvin malah menekan klakson sembarang. Satpam sekolah kami keluar dari posnya. Aku menyembulkan kepala dari balik kaca mobil, "Pak bukain gerbangnya dong !!" pintaku, memelas.


"Kalian tahu sekarang jam berapa ? Sudah, lebih baik pulang lagi saja sana."


"Ya, nggak bisa gitu dong Pak, kita kan udah bayar, masa mau masuk aja nggak boleh." balas Alvin, asal.


"Hari ini saya ada ulangan Pak, please bukain." imbuhku dengan wajah berkadar memelas yang lebih tinggi dari sebelumnya.


"Harusnya kamu fikirkan itu, sebelum datang terlambat."


"Gini aja deh Pak, biar sama-sama enak mending sekarang bapak bukain gerbangnya dan nanti kami kasih uang rokok." sogok Alvin.


Pak Satpam menggeleng-gelengkan kepalanya, "Mau jadi apa kalian ? Masih muda tapi cari instannya saja. Sudah, kalian pulang sana! Saya tidak terima sogokkan kalian." putus Pak Satpam.


"Bukain aja Pak!" aku melihat tubuh jangkung Gabriel berdiri menghadap satpam berpotongan cepak tadi. Pembawaannya yang selalu tenang, sungguh-sungguh mampu menghanyutkan siapapun yang jadi lawan interaksinya.


"Tidak bisa Mas Gabriel, ini sudah peraturan sekolah. Siswa yang terlambat tidak boleh masuk." keukeuh Pak Satpam.


"Mereka nggak terlambat kok Pak, Rio dan Alvin sudah datang sejak tadi, cuma mereka pulang lagi buat ambil tugas yang ketinggalan." jawab Gabriel, berbohong.


Satpam tadi tampak menimbang, sebelum akhirnya setuju untuk membukakan gerbang. Tanpa ba-bi-bu, langsung saja ku parkirkan mobil, lalu bersama Alvin, menyusul Gabriel yang berjalan lebih dulu.


"Gabriel !!" aku memanggilnya, tapi Gabriel tidak menyahut, menoleh saja tidak.


Aku dan Alvin saling pandang. Sepertinya Gabriel sedang marah pada kami.


"Gabriel ?" aku lagi-lagi menyapa, sambil menepuk pundaknya. Tapi Gabriel menepis tanganku.


"Lo kenapa ? ngambek ? Kayak anak perawan aja sih lo." tanya Alvin to the point.


Gabriel tersenyum ganjil.


"Lo marah sama kita ?" tanyaku, ingin tahu, "Ngomong aja Yel!"


"Kemana lo berdua semalam ?" tanyanya, tiba-tiba.


Aku dan Alvin sama-sama terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Aku menyikut Alvin, agar ia memberikan jawaban.


"Semalam... Gue sama Rio anu Yel, itu... Kita ke... anu..."


"Jangan coba-coba bohongin gue." tandas Gabriel, mendengar Alvin yang terbata-bata memberikan jawaban.


Alvin menghela napas, sebelum memulai kalimatnya, "Gini Yel, kemarin tu gue sama Rio ditantang anak genk motor buat balapan. Ya, dari pada disangka cemen atau pengecut akhirnya kita terima tentangan mereka. Kebetulan kita menang, ya udah deh kita parti party dicafè buat rayain. Karena udah kemalaman, kita akhirnya pilih nginap dirumah teman yang dekat-dekat situ." papar Alvin sejujur-jujurnya. Aku meng-iya-kan dengan beberapa anggukkan.


"Kalau mau ngapa-ngapain tu apa susahnya sih minta izin dulu sama keluarga kalian." balas Gabriel, ketus.


"Ya ampun Yel, anak SD juga kalau mau minta izin pilih-pilih dulu kali. Mau balapan masa minta izin ? Ya mana dikasih." seloroh Alvin.


"Ya kalau nggak dikasihpun itu karena mereka khawatir sama keselamatan kalian. Gimana kalau semalam kalian kenapa-kenapa, siapa yang repot ? Siapa yang mau nolongin kalian, rasa gengsi kalian itu ? Semalam abang lo telponin gue Yo, berkali-kali nanyain lo ada dimana, dia baru berhenti hubungin gue setelah gue bilang lo mau nginap ditempat gue semalam. Lo juga Vin. Lo udah nggak punya Mama lo, apa lo nggak takut kehilangan Oma lo juga. Beliau kerumah gue semalam, nanyain lo. Lo nggak kasihan ? Beliau udah nggak semuda dulu Vin, buat hadapin kenakalan lo." Gabriel terdiam sejenak, "Kalian sobat gue, kalian boleh minta apapun dari gue, tapi jangan paksa gue bohongin keluarga kalian." tegas Gabriel.


Sekarang aku mengerti duduk perkaranya, jadi karena ini Gabriel marah pada kami, "Maafin kita ya Yel." lirihku menyesal.


"Gue marah, kecewa, sama lo berdua. Tahu kenapa ?" Gabriel menatap aku dan Alvin bergantian, "Gue nggak pernah iri karena kalian ke sekolah pakai mobil mewah, gue nggak iri karena uang jajan kalian gede, handphone kalian canggih, sepatu kalian bagus, tapi satu yang gue iri banget. Kalian punya keluarga, punya ayah, ibu, nenek, kakak, orang-orang yang peduli dan sayang sama kalian. Gue iri sama semua itu. Lo berdua beruntung, tapi malah nggak menghargai kehadiran mereka. Coba, lo berdua tahu, gimana rasanya nggak punya keluarga kayak gue."


Aku mengerti, Gabriel pasti sangat sedih. Ia tidak pernah tahu dimana keluarganya berada. Tidak tahu siapa Mama dan Papanya. Sejak kecil, Gabriel diasuh oleh seorang janda beranak 5 yang semuanya masih berusia dibawah 10 tahun. Itulah sebabnya, Gabriel lebih sering mengalah untuk tidak sarapan dari rumah, agar adik-adiknya kebagian sarapan.

Pasti sangat menyesakkan, melihat sebayanya mendapat curahan kasih sayang dari keluarga mereka serta hidup berkecukupan. Tapi Gabriel tidak pernah mengeluh. Selalu tampak 'nrimo dengan segala vonis Tuhan atas jalan hidupnya. Kejadian pagi ini, memberikanku satu pelajaran, betapa berharganya arti sebuah keluarga, dan aku tidak akan berbuat seperti ini lagi nantinya, "Lo punya keluarga kok Yel, mulang sekarang, kita abang lo. Hehe. Iya nggak Vin ?" Aku merangkul pundak Gabriel dan Alvin.


"Yoi ! Nanti kalau lo nggak pulang-pulang kita juga pasti bakal cariin lo kok." imbuh Alvin, sambil tersenyum lebar.


Gabriel hanya tertawa. Ia tidak menambahkan apa-apa, aku pun tidak berharap ia mengatakan sesuatu. Biar hati yang mengendapkan segalanya serta mengawetkannya dalam bentuk kristal-kristal kenangan.


Kami bertiga berjalan sejajar, menyusuri koridor bisu yang jadi saksi betapa indah sebuah persahabatan.


*


When it hurts to look back and you scared to look up, you can look beside you and your best friend will be there.


Siang itu, sama saja dengan siang-siang sebelumnya. Panas dan gerah. Angin yang berpusar, rasanya terlalu lemah untuk bisa menerbangkan setumpuk dahaga yang merajai tubuh, semilir udara terlalu minim untuk menguapkan penat yang ada.

Saat ini, pukul 2 siang lewat 45 menit. Baru seperempat jam yang lalu, bel tanda berakhirnya jam pelajaran disekolahku berbunyi. Siswa-siswi yang belum ingin segera pulang, kebanyakan memilih kantin sebagai tempat herat. Beberapa terlihat sedang menyantap makanan yang mereka pesan, sedang sisanya, ada yang sekedar nongkrong atau mengobrol dengan teman-teman mereka. Aku, Alvin dan Gabriel menjadi bagian dari para penghuni kantin siang ini. Niatnya sih kami kemari untuk cari makan, tapi ternyata rasa laparku telah lari entah kemana. Aku mendadak merasa kenyang.


"Huuuh." aku mendengar Gabriel menghembuskan napas, berat.


"Lo berdua kenapa sih ?" tegur Alvin.


Aku mengangkat wajah, berhenti mengaduk-aduk kuah bakso yang kupesan. Alvin memandangiku dan Gabriel bergantian. Menyelidik. Aku melihat Gabriel menggeleng samar, kemudian menghempaskan tubuhnya kesandaran kursi.


"Lo kenapa Yel ?" aku ikut menanyainya.


Gabriel tampak ragu, tapi kemudian setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk bercerita. Mungkin ia teringat pada janji kami bahwa tidak akan ada yang boleh disembunyikan antara satu sama lain.


"Tadi gue dipanggil wali kelas," Gabriel mulai bercerita, "Beliau bilang, nilai gue disemester 3 kemarin menurun, dan kalau gue nggak bisa memperbaikinya disemester depan, pihak sekolah akan cabut beasiswa gue. Ya... Kalian tahu kan, gue nggak mungkin bisa terusin sekolah tanpa beasiswa itu."


Oh begitu toh, masalahnya. Perkara nilai rapor memang jadi satu hal yang penting bagi Gabriel.


"Nilai lo turun pasti karena kebanyakan main sama kita ya, Yel ?" tebak Alvin.


"Ha ? Nggak kok, bukan. Mungkin karena belakangan gue juga sibuk kerja paruh waktu disalah satu cafè, jadi ya waktu belajar gue banyak ke sita."


Gabriel membungkuk, mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. Ia menyerahkan kertas itu pada Alvin yang duduk lebih dekat dengannya, "Gimana mau gue perbaiki nilai disemester depan, kalau belum apa-apa ulangan harian kimia gue dapat 75. Padahal gue udah belajar semalaman, gue bingung banget." tutur Gabriel.


"Ya elah, lo dapat 75 masih galau ? Gue aja yang nilainya stuck diangka 4 sama 5, nyantai." komentar Alvin.


"Ya jangan samain Gabriel sama lo dong Vin." sergahku.


"Ya tapi nggak usah dipikiran sampai stres gitu juga kali. Toh, kalaupun bukan bantuan dari pihak sekolah, gue atau Rio juga bisa bantu kok."


"Ck. Gue kan udah bilang berkali-kali. Gue paling nggak suka ngerepotin kalian, apalagi soal materi. Nanti kesannya gue malah kayak manfaatin kalian aja."


"Ok-ok, saran gue sih ya Yel, lo kan udah berusaha dan berdoa pastinya, ya udah serahin aja semuanya sama Tuhan. Dia tahu mana yang paling baik buat lo. Sekarang, yang penting jangan karena nilai 75 lo yang sekali ini, lo jadi down dan nggak mensyukuri nilai-nilai 100 yang lebih sering lo dapat."


Alvin selesai menyampaikan petuahnya, ia kemudian menyeruput orange jusnya sampai habis.


"Thanks ya Vin."


"Buat ?"


"Ya buat sarannya. Gue udah usaha semaksimal mungkin, apapun hasilnya ya mungkin memang segitu jatah gue dari Tuhan."


"Sip." jawab Alvin singkat, ia lantas ganti melihat kearahku, "Ini lagi, bocah satu, kenapa lo ?"


"Apanya yang kenapa ?" sahutku, sok polos.


"Gue perhatiin lo dari tadi diam aja Yo ?" tambah Gabriel.


"Nggak apa-apa kok, gue cuma lagi mikir, kayaknya gue udah nggak cocok gabung sama kalian." kataku.


Alvin memutar bola matanya, "Walaupun taraf ketampanan lo jauh dibawah kita berdua, tapi ya... nggak masalah kok, persahabatan kan nggak mentingin rupa." kelakar Alvin.


"Gue nggak bercanda Vin. Sekarang tiap kita ngumpul, lo berdua selalu bahas makalah fisika, praktikum biologi, rumus kimia, sedangkan gue ? Gue nggak nyambung sama sekali. Semuanya jadi beda sekarang."


Gabriel dan Alvin, walaupun tidak satu kelas, mereka berdua masuk jurusan IPA, hanya aku sendiri yang masuk IPS karena nilai mata pelajaran IPAku lebih kecil.


"Heran deh ya, anak-anak zaman sekarang tu pada pengin cepat tua apa gimana sih ? Hal-hal sepela aja digalauin. Yo, emang gue pernah ajuin syarat apa, kalau mau berteman sama gue itu harus nyambung tiap ngomongin pelajaran ?" ujar Alvin dengan raut kesal.


"Apa dan gimana pun keadaannya, kemarin, sekarang dan mudah-mudahan sampai nanti, kita tetap teman, Yo." imbuh Gabriel.


"Kamar lo tetap jadi basecamp kita, mobil lo tetap jadi kendaraan umum kita, PS lo tetap one for all. So, gue yakin nggak ada yang berubah." Alvin menggenapi.


Aku mengangguk kecil. Mungkin pemikiran seperti tadi memang sangat kekanak-kanakan. Seharusnya aku sadar, betapa sahabat-sahabatku adalah manusia luar biasa yang mau menerimaku apa adanya. Beserta lebih dan segunung kurangku. Mereka tidak akan berubah hanya karena perbedaan jurusan.


Dalam persahabatan. Setiap orang adalah bunga, punya hak yang sama untuk mekar dan jadi indah, dengan kelopak dan warnanya sendiri. Jangan merasa minder, hanya karena kamu berbeda.


*


Lilin angka 1 dan 7 yang dimahkotai api kecil yang meliuk-liuk digelitik angin telah padam sejak 2 jam yang lalu. Sumbu-sumbu mungilnya sudah mendingin. Kue tart sebagai tempat kedua lilin tapi tertancap pun sudah dipotong. Tapi Gabriel belum juga datang. Malam ini adalah pesta perayaan ulang tahunku yang ke-17. Acaranya cukup meriah, Mama mengaturnya dengan sangat apik. Teman-teman SMP dan SMA sampai beberapa teman SDku datang untuk memberikan ucapan selamat dan doa. Sebenarnya aku sedikit kecewa karena Gabriel tidak datang malam ini. Ia bilang, tidak punya baju yang cocok untuk datang ke pestaku. Aku sudah mendesaknya, tapi Gabriel tetap menolak, jadi ya sudahlah.


"Si Gabriel betulan nggak jadi datang ?" tanya Alvin.


"Nggak ada baju yang pantas katanya." jawabku, pelan.


"Gitu banget sih, masa cuma gara-gara baju aja nggak mau datang." dumel Alvin, "Eh, dia datang kok. Tu dia..." Alvin menunjuk kearah pintu masuk. Seorang pemuda jangkung melangkah enggan, memasuki halaman rumahku yang disulap jadi area pesta. Seperti dalam film-film, tanpa di komandoi, mendadak sebagai besar, mata para tamu undangan tertuju pada sosok Gabriel. Tapi bukan karena terpesona oleh ketampanannya, lebih karena kemeja lusuh yang Gabriel kenakan, warnanya sudah hampir pudar. Ditambah jeans belel dan sepatu tali yang bagian depannya sudah menganga. Tentu penampilan semacam ini sangat kontras dengan tamu-tamu yang lain. Dengan kepala tertunduk, ia menghampiriku.


"Joyeux anniversaire Rio."


"Mercy. Pourquoi fin ?"


"Désolé Rio. Dan kayaknya gue juga nggak bisa lama-lama deh. Ini kado buat lo," Gabriel meminta maaf atas keterlambatannya dan menyerahkan kresek hitam berukuran besar kepadaku, "Gue pamit ya Yo, Vin. Duluan!"


"Eeehh... nggak bisa. Enak banget lo, datang paling akhir, balik paling dulu. Nggak mau tahu. Pokoknya malam ini lo sama Alvin nginap disini." tegasku tak ingin dibantah.


"Ikutin aja Yel, apa maunya Rio. Hari ini kan birthday nya." Alvin menambahi.


*


Aku baru saja selesai membilas tubuh. Sambil menggosok-gosokkan handuk ke kepala agar rambutku lekas kering, aku berjalan kearah doublebed-ku. Suasana kamar ini sepi, meskipun tidak lagi dihuni olehku seorang diri, seperti biasanya. Hanya terdengar bunyi-bunyi kecil dari jari-jari Alvin yang beradu lincah dengan keypad laptopku, ia sedang memainkan salah satu game favouritenya. Dan suara lain, berasal dari halaman demi halaman majalah otomotif yang sedang dibolak-balik oleh Gabriel.

Aku bersiul santai, kemudian merebahkan tubuh keatas kasur. Hari ini lelah sekali.


"Yo !" panggil Gabriel.


"Hm ?"


"Maaf ya."


"Emang lo ada salah apa ?"


"Ya, gue datang ke acara lo pakai baju kayak gini, terlambat pula. Pasti malu-maluin lo banget kan ?"


Gabriel masih saja merasa tidak enak, walaupun aku sudah berulang kali meyakinkannya bahwa bajunya tidak begitu buruk. Aku sangat menghargai apapun yang Gabriel pakai malam ini.


"Yang penting lo masih pakai baju Yel." celetuk Alvin tanpa menoleh.


"Hahaha, benar lo Vin." aku ikut menimpali.


"Sialan lo. Eh anyway, gue mau tanya Yo."


"Apa ?"


"Emm... Soal Sivia. Lo benar pacaran sama dia ?"


Mataku melotot lebar, aku segera bangun dari tidurku, "Kata siapa ?" pekikku tak percaya, Gabriel bisa bertanya seperti itu padaku.


"Udah jujur aja," goda Alvin, "Sok kayak artis deh lo, pacaran diam-diam gitu." ceplosnya.


Aku mendelik marah, "Apaan sih lo Vin, bacot aja." sentakku, "Jangan percaya Yel. Gue temanan aja kok sama Via." ralatku.


"Serius ?"


"Ck," Alvin berdecak, lantas memutar kursinya menghadap kami setelah sebelumnya mem-pause gamenya, "Rio sama Via udah jadian Yel, dua hari yang lalu. Mereka backstreet, alasannya klise. Nggak mau bikin lo sakit hati."


"VIN !!" bentakku.


"Apa deh lo bentak-bentak, bokap gue yang ngasih uang jajan aja nggak pernah bentak gue."


"Kok lo bohong Yo ? Tadi kenapa lo bilang kalian cuma teman ?"


"Ya gue..." aku tidak tahu harus bicara apa. Kalau berterus terang pasti Gabriel akan marah kepadaku. Sivia itu adalah gadis yang disukai Gabriel sejak kelas X. Tapi kalau mesti berbohong, sudah kepalang tanggung, Alvin sudah membongkar semuanya, "Gue bohong demi kebaikan kita Yel, sementara waktu, gue tadinya nggak mau lo tahu dulu hubungan gue sama Via. Gue nggak mau lo sakit hati sama gue."



Gabriel tertawa mencibir, "Kebohongan itu nggak akan membuat apapun jadi lebih baik. Nggak ada bohong demi kebaikan. Bohong ya bohong aja. Lagi pula, gue nggak marah kok. Dua orang yang gue sayang sama-sama senang, nggak ada hal yang lebih membahagiakan buat gue. Patah hati sih pasti, gue nggak muna, tapi gue yakin kalau bukan Sivia, diluar sana Tuhan udah siapin gadis yang terbaik buat gue." Gabriel tersenyum tulus, ia menepuk pundakku beberapa kali.



Aku jadi merasa bersalah. Seharusnya aku tahu bahwa Gabriel adalah orang yang bijak. Ia tidak mungkin marah dan memutuskan tali persahabatan kami hanya karena seorang gadis, seperti yang aku khawatirkan sebelumnya.



"Tu kan apa gue bilang ? Mending juga jujur dari awal, biar nggak ribet. Emang dasar lo nya aja chicken, kalau jadi Sivia sih gue ogah deh sama lo. Hareee geneeeh masih backstreet, go to hell mendingan." Alvin menirukan cara bicara anak-anak kelewat gaul untuk mencibirku.



"Sialan lo." Aku melempar bantar, sekenanya. Tapi dengan sigap, meski membelakangiku, Alvin berhasil menangkap amunisi pertamaku dengan baik.



"Eh, iya, anayway gue belum buka kado dari lo, Yel." aku meraih keresek hitam yang kuletakkan diatas meja kecil dekat tempat tidurku.



"Nggak usah dibuka lah Yo. Mending buka punya Alvin aja."cegah Gabriel.



"Ni," aku mengangsurkan sebuah bola basket. Disana sudah tertera tanda tanganku dan Alvin, "Giliran lo, tanda tangan!" Aku memberikan Gabriel spidol hitam, "Itu kado dari Alvin. Jadi tinggal punya lo yang belum gue buka." tandasku.


Kado dari Gabriel unik, dibungkus dengan kertas koran, "Isinya apaan ni ?" aku menimang-nimang kado itu, kemudian memutuskan segera membukanya. Ternyata isinya adalah sebuah kotak dari kayu berukuran sedikit lebih besar dari kotak sepatu.


"Sorry ya Yo, gue cuma bisa kasih begituan. Bingung juga mau kasih apa."


Aku tidak menanggapi ucapan Gabriel, melainkan sibuk meneliti beberapa benda yang ditaruh dalam kotak kayu itu.


Sebuah pensil.

Aku tersenyum. Ini adalah pensil yang aku berikan pada Gabriel saat akan ulangan Matematika dan Gabriel tidak membawa pensil. Dulu masih utuh, tapi sekarang panjangnya kurang dari tinggi jari kelingkingku.


Surat pemanggilan orang tua.

Itu adalah surat pertama yang diterima Gabriel saat kami duduk di kelas X, karena ia menghanjar dua orang kakak kelas yang coba-coba memalakku, hingga babak-belur.


Sisanya, kebanyakan hanya foto-foto kami bertiga. Yang terakhir aku keluarkan dari dalam kotak kayu tadi adalah selembar kartu ucapan. Pupil mataku mulai bergerak, membaca barisan kata yang tertera disana dengan seksama.


Weey, yang tambah tua...

Kertas sekecil ini nggak akan cukup untuk nulis semua doa gue buat lo. Yang perlu lo ingat, kalau terjadi kebaikan-kebaikan dihidup lo kedepannya, itu berarti doa-doa gue yang dikabulkan Tuhan. Hehe. Sebenarnya, gue paling benci tiap lo atau Alvin ulang tahun, karena gue nggak pernah bisa kasih kalian kado yang pantas. Tapi semoga hal-hal kecil dan sederhana yang gue kasih, nggak akan mengurangi kebahagiaan lo, dihari jadi lo ini ya.


Gabriel.


***


Putih abu-abu. Akhir perjuangan. Penghujung kebersamaan. Berai lalu pisah.


Tahun ketiga. Tahun terakhirku.

Waktu mengajariku bahwa yang pergi tak akan kembali lagi.

Dan yang hilang tak akan pernah pulang.



Hujan turun sangat deras, padahal seharusnya bulan ini sudah memasuki musim pancaroba. Matahari melelah kalah. Tak kuasa melawan kepungan mendung. Udara dingin menusuki belulang hingga ke sumsum, dan aku sangat heran, melihat anak-anak jalanan yang tampak begitu riang menikmati hujan sore ini. Kaki-kaki tanpa alas itu berlari, gurau mereka menghadirkan tawa, bermain gembira dibawah siraman air langit. Dingin, sepertinya sudah sangat akrab menyapa kulit legam bocah-bocah itu.

Dari kaca mobil yang berembun, pemandangan itu berbingkai dengan begitu manis.


Aku mendesah melirik tas sekolah yang teronggok disampingku. PR yang menggunung, tugas-tugas yang semakin sulit, haah, andai saja, hidupku bisa semudah menikmati hujan. Tanpa beban. Seperti bocah-bocah itu.


Aku kembali melayangkan pandanganku, mataku menangkap sosok yang sepertinya aku kenali. Pemuda jangkung berkaos hitam yang sibuk menyodor-nyodorkan payung bututnya kepada beberapa orang yang hilir mudik didepannya.


"Pak ! Ketempat itu Pak !" perintahku pada supirku agar menepikan mobil ke beranda sebuah pusat perbelanjaan. Setelah tiba, aku segera melompat turun.


"Pak payungnya Pak, mbak ojeg payungnya..." tawar pemuda berkaos hitam tadi dibarengi seulas senyum ramah.


"Gabriel !" panggilku.


Pemuda itu menoleh. Ah ya, ternya memang benar Gabriel.


"Lo ngapain hujan-hujanan begini ? Bawa-bawa payung tapi nggak dipakai." aku mengamati Gabriel dari ujung rambut sampai ujung kaki, basah kuyup, "Besok tu lo UN Yel, gila ya lo, malah hujan-hujanan begini. Kalau sakit, mampus deh lo." omelku.


"Nggak akan lah Yo, cuma kehujanan gini doang udah biasa."


Aku menggeleng-gelengkan kepala, "Lo ojeg payung."


Gabriel mengangguk tenang, "Iya, mumpung hujan. Lumayan buat bantu-bantu Ibu, beliau kan makin tua, tenaganya nggak kayak dulu, kasihan kalau masih harus kerja keras."


"Tapi nggak gini juga dong Yel, besok tu kita UN. Udah! Ayo sekarang gue antar balik." paksaku.


Gabriel terlebih dahulu, merogoh sakunya, mengamati segenggam uang ribuan dan receh-receh, hasil jerih payahnya sore ini.


"Ya udah, ayo deh!" serunya, setuju.


Baguslah. Untung Gabriel langsung setuju, karena kalau dia menolak, akan aku patahkan payung norak warna merah bergambar bunga-bunga miliknya itu.


*


Cita-citanya jadi orang baik...


Ckckck.

Sekarang aku sedang bersama dua orang pemuda mellow yang duduk manis menatap bintang-bintang dilangit,

menggelikan sekali bukan ? Aku sudah bilang aktivitas seperti ini sangat tidak 'cowok' tapi mereka malah memelototiku dan menyuruhku pergi saja, kalau tidak suka berada disini. Terpaksa, aku harus ikut duduk memeluk lutut dan mengamati ornamen-ornamen malam yang dilukis diatas langit gelap. Tidak begitu buruk rupanya, bintang-bintang diatas sana memang terlihat sangat cantik.Dan angkasa terpulas hitam, memberikan ketenangan dalam hati.


Sekian lama, kami membunuh waktu dengan kebisuan. Membiarkan angin yang menyuarakan desauannya, membiarkan serangga-serangga yang bernyanyi merobek sunyi.


"Nggak terasa ya, udah hampir tiga tahun kita lewati. Padahal rasanya baru kemarin gue pakai seragam putih abu-abu." Alvin membuka pembicaraan.


"Iya... Setelah lulus nanti, pasti bakal kangen banget sama upacara bendera, acara nyontek PR masal sama bendahara kelas yang mencak-mencak setiap tagihin uang kas." Imbuhku, menerawang. Membayangkan keluh-kesah siswa-siswi ketika harus mengikuti upacara dan betapa sibuknya kelas dipagi hari kalau banyak PR.


"Lusa, surat kelulusan dibagiin. Udah deh. Kita bakal berjuang masing-masing. Menempuh jalan baru yang pastinya bakal berbeda sama masa-masa SMA kita." Gabriel ikut menambahi, "Ya, life must go on, kita punya cita-cita yang nggak akan pernah terwujud kalau kita stuck disatu titik kan ? Tiga tahun ini, mungkin akan sulit banget kita tinggalin tapi masa depan juga cukup menarik buat dijalani." Gabriel menoleh kearahku dan Alvin bergantian. Kami mengangguk setuju.


"By the way, lo gimana Yo, udah tahu apa cita-cita lo ?" tanya Gabriel sembari tertawa pelan.


Aku nyengir lebar. Diantara kami bertiga, memang akulah yang paling galau kalau sudah bicara soal cita-cita. Aku merasa hidupku benar-benar suram, karena belum menemukan sesuatu yang bisa ku sebut cita-cita.


"Nggak tahu lah Yel, tapi kayaknya gue tertarik sama dunia musik. Gue mau jadi penyanyi atau musisi, mungkin." jawabku tak yakin.


"Lo Vin ? Masih belum berubah ?"


"Lo kira cita-cita gue bunglon, berubah-berubah. Ya tetaplah. Gue mau jadi arsitek. Lo sendiri ? Cita-cita lo apa, lo belum

pernah cerita deh."


Gabriel mendongakkan wajahnya menatap langit, ia tersenyum kecil, "Gue mau jadi orang baik. Jadi anak yang berbakti sama Ibu. Kakak yang bisa melindungi adik-adik gue, jadi sahabat yang menyenangkan buat kalian, jadi orang yang ikhlas dan pandai bersyukur."


Alvin mengerutkan dahi, "Jadi orang baik sih semua orang juga mau Yel. Masa yang kayak gitu lo bilang cita-cita."


"Semua orang mau, tapi belum tentu semua orang punya kesempatan buat jadi orang baik kan ? Dan gue harap, Tuhan kasih gue, waktu yang cukup buat meraih cita-cita itu."


Saat kebaikan jadi cita-cita hidupmu, maka kebaikan pulalah yang akan mengiringi setiap langkahmu.


*


Hidup dan keabadian adalah dua hal yang tak akan pernah sejalan.


Gabriel keluar dari cafè tempatnya bekerja paruh waktu. Senyum lebar mengembang dikedua sudut bibirnya. Tangan kanannya, menjinjing 3 buah layangan putih polos. Rencananya, besok setelah pengumuman kelulusan, kalau hasilnya seperti yang diharapkan, Gabriel akan mewarnai layang-layang itu bersamaku dan Alvin untuk kemudian kami terbangkan dilapangan dekat sekolah. Sepulang bekerja, rencananya, Gabriel berniat membeli cat yang akan kami gunakan besok. Aku melihat Gabriel berjalan menuju sepedanya. Tak berapa lama, ia mulai mengayuh kendaraan roda dua itu. Sepeda melaju lambat-lambat, sebelum menepi didepan sebuah toko kecil yang menjual cat-cat, dipinggir jalan. Setelah melakukan transaksi jual-beli yang tidak lama dengan pramuniaga toko itu, Gabriel segera keluar. Sialnya, ia mendapati sepedanya tidak lagi berada ditempat semula. Gabriel panik, ia memutar pandangan ke segala arah.


"WOY. Sepeda gue !!" teriaknya, ketika keberadaan Si Pencuri ternyata masih tertangkap indera penglihatannya. Tanpa menunggu lagi, Gabriel memecut kakinya untuk segera berlari. Dengan tenaga yang dikerahkan seluruhnya, Gabriel mengejar pencuri sepeda itu.

Ya, sudah barang tentu Gabriel akan mengejar pencuri itu, karena sepeda yang ia gunakan setiap harinya untuk pergi bekerja adalah pemberianku dan Alvin untuk hadiah ulang tahunnya, tahun lalu. Kami membelinya dengan uang hasil kerja kami sendiri, sebagai delivery sebuah rumah makan. Sepeda yang dibeli pun sebetulnya tidak baru. Kami membelinya di sebuah bengkel kecil. Tapi Gabriel sangat menghargai pemberian kami itu dan menjaganya baik-baik sampai sekarang.


Gabriel menambah kecepatan larinya. Tapi aku merasa ganjil dengan pencuri sepeda Gabriel itu. Ia mengenakan jubah hitam dan kepalanya ditutupi tudung. Ia tidak perlu mengayuh agar sepeda yang ia kendarai melaju.


Aku merasa tidak enak. Aku berteriak-teriak memanggil Gabriel. Menyuruhnya agar berhenti mengejar sepeda itu. Tidak apa-apa, aku dan Alvin tidak akan marah. Ayolah Gabriel, kamu sudah terjatuh berulang kali, kamu sudah tampak kepayahan, berhentilah. Jangan dikejar lagi. Aku memutuskan ikut berlari dan terus memanggil-manggil nama sobatku itu, tapi ia seolah tak mendengarkanku.


Sampai akhirnya aku benar-benar panik, ketika layang-layang yang dibawa Gabriel terjatuh ditengah jalan. Gabriel bermaksud memungutnya, tanpa ia sadari sebuah truk melaju dengan kecepatan maksimal kearahnya.


"Gabriel awaaas, minggir !!" aku berteriak seperti kesetanan, sampai-sampai pita suaraku rasanya sudah putus. Aku ingin menarik Gabriel agar menepi, tapi anehnya, kedua tanganku tidak bisa menyentuh Gabriel.


Kemudian, jeritan pilu terdengar. Memekak telinga. Melumpuhkan saraf, melunakkan belulang. Kakiku lemas. Hatiku mencelos. Ketika ku beranikan diri menatap sosok Gabriel, tubuh sahabatku itu sudah terkapar diaspal. Dengan darah yang menganak sungai. Tiga layang-layang masih ia genggam erat. Sekarang tidak perlu diwarnai. Karena bercak-bercak darah Gabriel telah memulas hampir seluruh permukaannya.


Aku mencoba mendekat. Berjongkok disisi Gabriel. Aku bisa menangkap segurat senyum diwajahnya.


"Selamat tinggal..." lirihnya.


Aku tertawa, "Nggak, ini nggak mungkin." tawaku semakin keras, berusaha bangkit dan menjauh. Semakin jauh. Semakin jauh.


"Gabriel!" seruku.


Aku terbangun dari tidurku. Keringat dingin membasahi sekujur tubusku. Napasku tersengal. Ya Tuhan, untung yang tadi itu hanya mimpi.


***


Saat waktu memenggal nadi dan takdir menyumbat napas.

Kita lepas, terpisah.

Sekarang rindu yang jadi kawanku.

Bukan lagi, kamu...


Aku berjalan gontai. Memasuki kamar yang menguarkan wangi lavender. Tumpukan kardus dan sebuah koper berukuran besar terunduk disatu titik. Tidak ada yang berubah dalam ruangan ini, sejak terakhir kali aku tinggalkan sekitar dua jam yang lalu. Aku tersenyum pahit, ya... tidak ada yang berubah termasuk kusen-kusen jendela itu. Tempat favouritemu setiap kali pelesir kekamarku. Kapan Ya, aku akan melihatmu duduk sambil memetik gitar disana, seperti dulu ?


Aku terduduk disisi tempat tidurku. Berusaha mengabaikan lolongan tawa dan slide-slide kenangan yang berputar dalam benakku, sejak aku mengunjungimu sore ini.


Kenapa ya, belajar merelakan itu tidak semudah saat memulai untuk menyayangi seseorang ?


Aku mengulurkan tangan kananku, mengeluarkan kotak kayu pemberian Gabriel yang ku letakkan dikolong tempat tidur. Hal yang sama, aku lakukan setiap kali rindu mengetuk relungku. Kuelus permukaan kayu itu, ada ketulusan yang tergurat disetiap pahatan rumitnya. Huruf G, A dan R terukir rapi diatas penutupnya, memang tidak bisa dibilang sangat indah tapi aku yakin, Gabriel mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk membuat kotak ini untukku. Dan aku sangat menyesal, belum sempat berbuat hal yang sama untuk teman-temanku sebelum kami berpisah seperti sekarang.


Kotak kayu ini, isinya sekarang sudah lebih banyak dibanding saat pertama kali Gabriel memberikannya padaku dulu. Aku memenuhinya dengan berbagai benda (yang menurutku) istemewa, selama, tiga tahun masa putih abu-abuku.

Aku selalu mengeluarkan beberapa diantaranya untuk mengurangi kangen pada teman-teman SMAku. Sore ini, yang pertama teraih oleh tanganku adalah selembar kertas ulangan fisika. Aku mendapatkan nilai 8 waktu itu, setelah semalaman Gabriel mengajariku. Dan saat aku menawarkan imbalan, Gabriel bilang hanya menginginkan nilai 9 diulanganku yang berikutnya. Padahal, kalau saja Gabriel meminta traktir apapun dan dimanapun, aku tidak akan merasa keberatan.


Kemudian, aku mengeluarkan bunga melati kering dari dalam kotak kayu dipangkuanku. Melati layu seperti ini, mungkin akan dengan mudah ditemukan berserakan dijalan-jalan. Tapi yang satu ini tentu saja berbeda.


"Suka banget cium-cium melati begitu sih Vin ? Horror banget deh lo." ledekku pada suatu sore.


"Lo tahu nggak Yo, melati ini analogi kebaikan. Sekecil apapun bentuknya, pasti bakal kecium wanginya. Nggak tahu ya lo ? NDESO." sahut Alvin waktu itu.


Bunga melati ini kemudian ditinggal Alvin begitu saja. Aku memungut dan menyimpannya, sampai detik ini. Dengan harapan, setiap kali melihatnya lagi aku akan tersemangati untuk berbuat kebaikan. Karena sekecil apapun itu, pasti akan ada manfaatnya.


Benda selanjutnya yang menyita perhatianku adalah sebuah layang-layang ringsek. Bilah bambu yang jadi kerangkanya sudah patah tak beraturan. Sedangkan kertasnya, sudah sobek-sobek dan lusuh, juga dipenuhi noda-noda darah yang mengering.


Rasa sesak memenuhi rongga dadaku, mendesak demikian kuat hingga rasanya sulit untuk bernapas. Aku segera melesakkan layang-layang ini kedalam kotak, tidak ingin berlama-lama melihatnya. Benda ini seharusnya kita terbangkan bersama bukan ? Tepat setelah pengumuman kelulusan. Sekarang sudah hampir 3 minggu berselang setelah kita dinyatakan lulus. Tapi sayangnya, layang-layang tadi tidak akan pernah mengudara. Selamanya.


Mataku kemudian terpaut pada sehelai baju yang merupakan bagian dari isi kotak kayu tadi. Seragam sekolahku. Warnanya tidak lagi putih polos seperti dulu, sudah banyak coretan warna-warni yang menghiasinya. Tanda tangan dan pesan dari beberapa teman-temanku tertera pada kemeja putih ini.


"Good luck bro!"


"Jangan lupain gueeee Yo !"


"Tiga tahun yang menyenangkan. Nice to know you, Mario."


Dari sederat tulisan-tulisan dan pulasan pilox, ada bagian yang tidak kubiarkan tercoreng warna. Ku jaga agar tetap putih polos. Bagian itu disini, didekat jantungku. Tempat yang seharusnya diisi tanda tangan Alvin dan Gabriel.


"Gue nggak bisa Yo." tolak Alvin, ketika aku menyuruhnya membubuhkan tanda tangan. Dan yang tergores disana pada akhirnya, malah setitik air mata.

Andai kamu masih bersama kami, Gabriel. Hari itu pasti akan jadi hari terbaik untukku.


Hari itu pengumuman kelulusan, semua diliputi suka cita. Seragam putih abu-abu, akan segera dilepas, dilipat dan tidak akan dikenakan lagi. Begitu cepat waktu berlalu. Harus ku akui, hari kelulusan adalah the best part of being in high school. Hari saat kami semua mengendurkan dasi, menggulung lengan kemeja dan berteriak lepas, "Yeaah kami luluuuss !!!"


Tapi buatku dan Alvin, hari itu jadi berbeda. Tidak seindah yang pernah kami bayangkan. Tidak seperti yang sering kami ceritakan bersama. Itu karena kamu tidak bersama kami lagi, Gabriel. Meski sekuat apapun kami meminta, kamu tidak akan pernah kembali. Sehebat apapun rindu ingin menjemputmu, kamu sudah tidak lagi terengkuh.

Kita tidak bisa berteriak bersama, tidak bisa melompat dan meluapkan kegembiraan bersama. Prom night yang mengesankan, acara reuni, atau perjodohan anak-anak kita ?? hahaha, iyu hanya akan jadi angan bodoh yang terenggut takdir dan tak akan pernah menemui perwujudan.


Sejak dulu, aku selalu berfikir kalau mimpi itu tidak lebih dari sekedar bunga tidur. Tapi ternyata tidak dengan mimpiku malam itu. Entah sama persis atau tidak, tapi mimpiku ternyata benar terjadi pada Gabriel. Ia mengalami kecelakaan sepulang kerja. Menurut orang yang berada ditempat kejadian, Gabriel sedang mengikat tali sepatunya ketika tiba-tiba saja sebuah mobil pick up menabrak tubuhnya hingga terlempar beberapa meter. Gabriel meninggal sebelum sempat dilarikan kerumah sakit. Peristiwa itu terjadi pada malam sebelum pengumuman kelulusan. Padahal kamu lulus, Gabriel. Bahkan, kamu juara umum sekolah kita.Tapi hasil itu tidak bisa kamu lihat. tidak bisa kamu pamerkan pada adik-adik kecil dan Ibumu. Kamu tahu Gabriel, Chacha, adik kesayanganmu, dia selalu menangis. Dia mencarimu, Siapa yang akan menenangkannya sekarang ? siapa yang akan mengajaknya bermain sekarang ? Tidakkah kamu ingin kembali ?


Vin, Yo. Lo berdua mungkin nggak tahu seberapa besar rasa syukur gue karena Tuhan kasih gue dua sahabat terbaik kayak lo berdua. Makasih banyak buat 3 tahun yang nggak akan pernah gue lupain. Makasih banyak untuk semua waktu dan kebaikan yang udah kalian kasih, walaupun gue nggak pernah minta. Hidup gue nggak gampang, tapi kalian berdua bikin gue semangat untuk jalani semuanya. Perpisahan itu mutlak, gue tahu. Dan kalau hal itu terjadi sama kita,

lo berdua harus yakin, doa gue selalu sama kalian :)


Aku masih hafal, itu adalah pesan terakhir yang Gabriel kirimkan via SMS, sekitar satu jam sebelum kecelakaan yang merenggut nyawanya terjadi. Ah, andai saja, waktu bisa diputar ulang. Sebentar saja. Aku hanya ingin diberi waktu untuk meminta maaf karena telah merepotkannya selama ini, dan berterima kasih, terutama untuk layang-layang yang kamu beli dengan uang hasil ojeg payungmu. Terima kasih banyak.


Tok-tok-tok.


"Yo ! Sudah siap, Nak ?" terdengar suara lembut Mamaku dari balik pintu.


"Iya, sebentar Ma." sahutku.


Hari ini aku akan pergi, karena itu pula, sore ini aku mengunjungi pemakaman Gabriel untuk berpamitan.


Aku teringat ucapannya, "Kalau hidup lo nggak bisa jadi manfaat buat orang lain, coba deh minimal lo jangan jadi beban."


Karena kalimat itu aku memutuskan untuk menerima tawaran Ayahku untuk sekolah hukum di London. Ketika pulang ke Indonesia kelak, aku harap, bisa menegakkan hukum Indonesia yang sudah melenceng jauh dari kata adil. Aku

ingin jadi penegak hukum yang lurus dan berani. Aku ingin menjadi manfaat untuk orang lain. Doakan aku berhasil menggapai cita-citaku ya Yel, seperti kamu yang telah mampu mewujudkan cita-citamu. Menjadi orang baik. Kamu sudah berhasil mewujudkannya Gabriel. Kamu sudah hidup sangat baik. Begitu banyak yang menumpahkan tangis saat kamu pergi, itu jadi tanda bahwa hidupmu memberikan banyak arti untuk orang lain, kamu sangat dicintai.


Aku segera merapikan isi kotak kayu tadi, menutupnya, lantas menyimpannya ketempat semula. Aku memang tidak ingin membawa kotak kenangan itu ke London. Aku tidak mau ada hal-hal yang akan menggoyahkan konsentrasi dan tekadku. Bersamaan dengan itu, Ayahku menyeruak masuk, tersenyum kearahku. Aku membalasnya.


"Sudah siap semua Yo ?"


"Udah Yah."


"Ok. Ayah bawain ke mobil Ya."


Aku mengangguk setuju. Setelah Ayah berlalu, aku buru-buru bangkit, kemudian meraih satu koper besar yang masih tersisa. Untuk terakhir kalinya, aku menatap berkeliling kesetiap sudut kamarku. Selamat tinggal. Sekarang, aku akan segera terbang, menjangkau angan dan cita-citaku.


Untuk semua orang yang masih diberi kesempatan menyandang seragam putih abu-abu. Aku berpesan. Jangan pernah sia-siakan waktu. Isi 3 tahun yang singkat itu dengan hal-hal manis tak terlupakan, yang setiap kali mengingatnya akan selalu melahirkan senyum dan rasa bangga dalam hati.

Sedangkan untuk teman-temanku, ku titipkan doa pada selaksa udara, ku bisikkan rindu pada desauan angin. Semoga kita berhasil pada setapak yang telah dipilih masing-masing, yuk berjuang sama-sama.


***


especially, untuk sahabat-sahabatku...


Best regard

=Nvia=

5 komentar:

Story From Under Eiffel Tower mengatakan...

KEREEEEEEN PARAAAAH NANGIS AKU SUMPAAH persahabatannya kereen banget inspirasi dan motivasinya juga banyaaak bangeeeet masa putih abu2 emang masa yg indah, jadi ngebayangin kalo tua nanti pasti kangen suasana ini

fridaliash mengatakan...

aku kan udh komen di twitter, difb juga udah, aku cuman mau tambahin, bener kata ka dhea, cerpen ini ngandung banyak inspirasi dan motivasi, banyak kata" bijak yg memotivasi kita, cerpen ini juga ngandung dan ngajarin kita arti persahabatan yg tulus, sahabat sejati itu kayak apa.

tetep nulis yah ka, jan pernah bosen. aku selalu tunggu tulisan kaka :)

kang ucup mengatakan...

bikin orang terharu aja...
but i like it!

Desta 17 mengatakan...

mantap , ,
bs jadi bahan buat nulis cerpen jga . .
.Ksih Jempol deh buat NOVIA . .

Anonim mengatakan...

Keren bangeet. Aku suka kata-katanya :D

Posting Komentar