Sabtu, 01 Oktober 2011

Rahasia Orion Part 11 bag A

Rahasia Orion Part 11
Pesan

***

Waktu...
Sambil bergulir, ia tunjukkan sesuatu.
Hal yang semestinya terjadi.
Biar begini saja, tidak ada yang perlu dan bisa merubahnya.

***

Alvin dan Rio merasakan mobil yang mereka tumpangi berputar-putar. Percikan api kecil muncul akibat gesekan antara ban dan aspal jalan. Terdengar suara benturan keras, sebelum kuda besi itu berhenti. Mobil menabrak, entah apa, karena gelapnya malam tidak mengizinkan penglihatan bekerja maksimal. Jantung berdetak tak keruan, seolah ingin memaksimalkan fungsinya sebelum tugas organ krusial itu selesai, napas memburu seru, berlarian keluar dari rongga dada. Ketakutan merayapi nadi, keduanya memejamkan mata, tidak ingin melihat bencana macam apa yang telah terjadi pada mereka. Banyangan kematian seakan menari di pelupuk mata, begitu dekat, seperti ingin mendekap dua pemuda itu.

Sedetik, dua detik...

Waktu melaju tanpa belenggu. Tidak ada suara. Tidak ada pergerakan. Sepelan apapun. Sekecil apapun.

Perlahan, satu di antara mereka, tersadar. Mata sipit Alvin mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar terbuka. Gerakan berikutnya, ia mencoba menegakkan tubuh, mengangkat wajah yang semula menempel pada dasbor mobil. Ia tidak heran merasakan perih diseluruh wajah dan keningnya yang terus berdenyut menyakitkan. Justru, Alvin mengira ia sedang bermimpi ketika masih bisa merasakan embusan napasnya sendiri.
Bagian depan mobil yang ditumpanginya ringsek parah, berasap, dengan kapnya yang terbuka, setelah menabrak sebatang pohon trembesi dibahu jalan. Kaca depan pecah sebagian, serpihannya itulah yang membubuhkan luka-luka diwajah Alvin.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Tuhan berikan atas nyawanya, dengan sisa-sisa tenaga dan lutut yang gemetaran, Alvin berusaha keluar dari mobil naas itu. Setelah berhasil, Alvin memperhatikan sekelilingnya. Tidak terlihat ada kendaraan lain disana. Sepertinya supir truk yang tentu saja sudah berpengalaman mengemudi itu bisa banting stir dengan mulus. Lain dengan Rio yang kehilangan kontrol atas mobilnya dan avanza biru tua itu baru bisa berhenti setelah menabrakan satu pohon besar dipinggir jalan. Alvin berjalan terseok-seok, menjauh dari mobil yang sewaktu-waktu bisa saja meledak. Masih sambil mengurut kening yang memar kebiruan, ia merogoh saku, mengeluarkan handphone, lantas menelepon contact terakhir yang ia hubungin. Sambungan terhubung dengan nomor Ify.

"Hallo Fy ?" ujarnya ketika panggilan diangkat oleh sang empunya nomor, "Fy masih bangun ? Gue kecelakaan. Jemput kemari ya, dijalan Anyelir. Jangan kasih tahu orang rumah, apalagi Mama. Gue tunggu, Ok." setelah Ify diujung telepon sana menggumamkan jawaban, Alvin kemudian mematikan telepon dan memasukan kembali handphonenya.

Derik jangkrik mengisi hening, entah bersembunyi dimana kawanan serangga itu. Dalam diam, Alvin merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Ia mencoba mengingat, hal penting apa yang sekiranya terlupakan. Dalam kondisi yang tidak cukup baik seperti seakarnag, perlu beberapa menit bagi Alvin untuk menyadari hal apa yang mengganjal fikirannya.

"Rio !!" pekiknya.

Cepat, Alvin segera berlari kearah mobil. Dibukanya pintu pengemudi. Rio masih disana. Kedua lengan pemuda itu terkulai lemas, wajahnya menempel pada stir. Alvin menarik pundak Rio, hingga tubuh pemuda itu terduduk. Seketika, jantung Alvin mencelos. Rio tidak memasang seatbeltnya, pemuda itu mengeluarkan darah lebih banyak daripada Alvin. Dengan gugup, Alvin mengguncang-guncangkan tubuh saudara tirinya itu.

"Rio !!"

Tidak ada jawaban.

"Rio !! Lo kenapa ?"

Tetap tidak ada respon, bahkan mata Rio masih terkatup rapat. Alvin kian panik.

"Yo, lo kenapa ? Rio !!"

Kedua kaki Alvin seperti dilucuti tulang-belulang. Lemas. Diliputi rasa cemas, ia memutuskan untuk kembali menghubungi Ify, "Lo dimana sih ?" tegurnya, sedikit menyentak.

"Maaf Vin, ini gue bawa mobil sendiri, nggak berani ngebut. Tunggu bentar ya."

"Aargh, shit. Kenapa nggak diantar supir aja sih. Ribet lo."

"Kok lo kasar gitu sih ngom-"

Tut-tut-tut

Alvin mengakhiri teleponya. Merasa tidak ada gunanya, berdebat dengan Ify sekarang. Yang paling penting adalah bagaimana caranya membuat Rio sadar. Ia benar-benar tidak akan pernah memaafkan diri sendiri, kalau sampai terjadi sesuatu terhadap Rio. 6 tahun mengenal Rio, bahkan sekarang mereka tinggal seatap, seharusnya ia cukup mengerti bahwa Rio tidak bisa dipancing sedikit, pemuda itu pasti akan menanggapinya dengan meledak-meledak, seharusnya Alvin tidak menyulut emosi Rio dengan kata-katanya. Gemetar, Alvin mengulurkan tangannya, mencabut satu pecahan kaca yang tertancap dan merobek kulit pelipis Rio. Tidak ada jeritan kesakitan. Sumpah demi apapun, kalau saja bisa, ia ingin sekali menangis histeris seperti yang dilakukan oleh kebanyakan kaum hawa, untuk meluapkan kesediahan. Hanya saja, entah mengapa ia tidak bisa menangis, padahal rasa takut dan kalut yang kuar biasa, menekan hatinya. menyesakkan.

"Yo sadar ! Gue mohon..." lirih Alvin. Suaranya berat, tertahan ditenggorokan. Mungkin berlebihan, tapi rasa sayang dan pedulinya terhadap Rio, bukan cuma basa-basi atau sekedarnya. Rio sudah Alvin anggap saudaranya, meski tak pernah rahim Mamanya tertitipi sosok bayi Rio.

Alvin mempertajam penglihatan serta pendengarannya, berharap menangkap gerakan ataupun suara sekecil apapun. Dan benar saja, tak lama, Alvin mendengar erangan kecil dari Rio. Disusul dengan, kelopak mata Rio yang perlahan terbuka. Alvin menghela napas lega. Seumur hidup, ia tidak pernah merasa selega ini.

"Yo ?"

Tidak ada sahutan, tapi Alvin tersenyum. Kemudian dengan hati-hati ia mengalungkan tangan kanan Rio ke pundaknya, lalu memapah Rio menjauh dari bangkai mobil itu.

"Gue masih hidup ?"

Itulah kalimat pertama yang diucapkan Rio dengan suara parau dan tatapan mata kosong. Darah yang masih basah menghiasi tepian bibirnya.

"Kenapa ? Lo pengin mati aja ?"

Rio menoleh. Alvin menatapnya, marah.

"Lo pikir tadi itu lucu ? Seru ? Nggak pernah berubah ya lo, selalu emosinal. Tadi tu taruhannya nyawa, ngerti lo ?"

"Maaf..." Rio menunduk, "Lo... Nggak pa-pa ?"

"Nggak pa-pa gimana ? Jelas gue marah." tandas Alvin, "Lo bikin gue panik. Gue bingung. Gue kira, lo udah mati tadi." tegas Alvin.

Rio membisu, sepertinya masih shock. Hanya menatap Alvin nanar, dengan raut menyesal.

Sambil memandang langit suram diatas sana, Alvin meneruskan ucapannya, "Kita jadi sering ribut, hari ini kita malah hampir mati, dan itu semua karena Shilla kan ? Gue emang mggak pernah suka sama tu cewek dari awal."

"Yakin? Lo beda kalau sama dia."

Alvin menoleh kearah Rio, sekilas, lalu kembali melayangkan pandangan pada jalan raya lengang di depan sana, "Lo sekarang dengar gue Yo. Di dunia ini, setelah Mama, lo adalah orang yang paling berarti buat gue. Kalau elo senang, gue juga senang. kalau lo sedih, gue juga sedih. Lo bilang, lo suka sama Shilla, she's yours, Rio. Gue nggak mungkin....." Alvin menghentikan kalimatnya, mengatur napas sejenak sebelum melanjutkannya, "Gue nggak mungkin rebut dia dari lo. Gue..... Janji." lanjutnya.

Rio tidak menimpali sepatah katapun. Pemuda itu malah menggeleng pelan.

"Kenapa diam ? Masih nggak percaya ? Gue udah janji, Yo."

"Kenapa lo baik sama gue ?" tanya Rio, gamang.

Alvin tertawa pendek, "Lo nggak berharap gue bilang, gue sayang sama lo kan Yo ? Merinding gue bayanginnya." kelakar Alvin.

Rio tidak tertawa, senyumpun tidak, "Gue jahat Vin, sama lo. Gue selalu marah-marah ke elo," ujar Rio.

"Gue juga," timpal Alvin, "Lo tau Yo ? Yang patahin raket kesayangan lo itu gue. Yang putusin senar gitar lo juga gue. Ipad lo rusak juga karena kesiram kuah mie sama gue. Minggu lalu, gue juga yang ngumpetin celana olahraga lo, tapi itu idenya Feldy sih." papar Alvin, panjang lebar diselingi tawa jenaka.

"Kok lo nggak pernah bilang ?"

"Itu tadi sih gue bilang."

Rio melengos, sedikit kesal. Terutama karena masalah celana olahraganya yang hilang dan ia harus menjalani hukuman lari 10 keliling lapangan basket karena mengenakan celana abu-abu di jam olahraga. Alvin ternyata juga jahat, walaupun jahatnya kecil-kecil.

"Makasih dan maaf  ya Vin, atas semua yang lo lakuin buat gue dan atas semua salah yang pernah gue buat." terutama soal Aya, lanjut Rio dalam hati.

"Nggak gratis, suatu saat gue bakal minta imbalan, dan lo harus kasih apa yang gue mau."

Rio mengangguk mantap, "Pasti." sanggupnya, tanpa berfikir dua kali bahwa imbalan itu bisa jadi akan menyulitkannya, kelak.

"Eh, itu Ify datang." seru Alvin, kemudian bangkit.

Rio ikut berdiri.

Sebuah jazz merah meluncur cepat kearah mereka. Dari dalam Ify keluar, dengan langkah tergesa setengah berlari, karena mendapati Rio juga ada disana. Tapi ayunanan kedua kaki jenjangnya reflek terhenti, ketika ada sosok lain yang berlari mendahuluinya. Shilla.
Ify memang meminta gadis itu menemaninya, ia tidak berani menyetir sendiri malam-malam. Rencananya, sesudah menjemput Alvin, Ify dan Shilla berniat mencari Rio yang juga belum kembali.
Shilla berhenti tepat dihadapan Rio. Mata indahnya langsung basah, bahkan sebelum ia sempat bicara apapun.

"Jam 2 malam. Aku nggak pengen makan, nggak bisa tidur, gara-gara kamu. Ngeselin banget sih. Handphonenya kenapa mati ?" cerocos Shilla.

Rio malah tertawa kecil, mendengar gadis cantik di hadapannya mencak-mencak tak keruan, "Sini... !" ia merentangkan kedua tangan kokohnya. Tanpa ba-bi-bu, Shilla meluruh dalam dekapan Rio. Berharap cemasnya menguap kala itu juga, "Kamu nggak pa-pa ?" tanya Shilla, lirih.

"Nggak pa-pa gimana ? Berdarah-darah begini."

"Tapi masih kuat berdiri, berarti nggak pa-pa dong ?"

"Dikuat-kuatin. Gue nggak pengin air mata lo jatuh lebih banyak dari sekarang." jawab Rio pelan.

Alvin menatap 2 remaja yang berdiri tak jauh darinya dengan perasaan tak menentu. Karena tidak meyukai pemandangan dihadapannya, ia memilih mencari-cari sosok gadis lain yang seharusnya juga berada disana. Ify. Gadis itu mematung tak jauh dari tempat Rio dan Shilla. Merunduk dengan kedua tangan meremas ujung-ujung cardigannya.

Alvin berinisiatif meraih tangan gadis itu, lantas menggandengnya menuju mobil, "Sini, gue peluk juga." ia menarik tubuh Ify kedalam pelukannya, "Mungkin memang semestinya begini Fy, lo sama gue, kita bisa saling menguatkan. Dan Rio untuk Shilla, mereka saling menyayangi." batin Alvin, tak terucap.

Duri itu milik mawar, sedang wangi itu milik melati. Akan sia-sia jika mencoba menukarnya. Sama seperti takdir kita, kamu dengan gadis pilihanmu. Sedang aku, dengan ia yang dibawakan takdir untukku. Semestinya begini, bukan ?
 ***

Bosan. Itu yang sejak tadi Shilla rasakan. Sudah lebih dari setengah jam Rio tidak mengajaknya bicara, malah sibuk dengan buku tebal bersampul biru gelap, bacaan favouritenya. Shilla memasang wajah merengut, "Asik banget sih bacanya." tegur Shilla.

"Seru, Shil." jawab Rio masih dengan fokus yang tidak beralih dari halaman demi halaman buku dihadapannya.

Shilla mendengus, kembali menyapu keadaan Matahari Room dengan pandangan mata jernihnya. Berharap ada sesuatu yang menarik untuk mengusir jenuh. Sebenarnya Shilla bisa saja pergi dan mencari kesibukan lain diluar kamar Rio, tapi tanggung, sebentar lagi juga Eyang Putri pasti akan menyuruh mereka turun untuk makan malam.
Shilla tersenyum kecil, mendapatkan ide untuk menghilangkan bosan sekaligus mengusili Rio. Ia menyalakan handycam di tangannya. Kebetulan ia berada dikamar Rio pun karena sebelumnya minta diajari mengoperasikan benda canggih itu.

"Hai... Aku Shilla," Shilla tersenyum lebar, melambaikan tangannya pada lensa camera yang terarah kepadanya, "Emm, kata orang sih aku cantik, hehe..." ia memeletkan lidahnya, "Now, aku lagi ada di Matahari Room." kemudian diarahkan lensa camera, ke sekeliling kamar Rio. Alat itu secara otomatis merekam keadaan Matahari Room waktu itu dalam format gambar-gambar bergerak, "Kenapa namanya Matahari Room ? Karena kata penunggunya, kita bisa lihat sunrise dari sana," handycam terulur kearah balkon. Disana terpajang lukisan malam. Dimana hanya ada pasir langit yang mengerling genit, serta lambaian daun-daun akasia yang selaras tiupan angin, "Nah, penunggu kamar ini, namanya... Jengjengjeng... Mbah Mario," sekarang ganti Rio yang jadi objek bidik handycam Shilla, "Itu orangnya... Rio !! Lihat kemari dong !!" seru Shilla.

Rio bergeming, memilih terus saja menunduk, mengamati bacaannya. Ia terlihat amat khusyu' membaca, padahal sebetulnya, sejak tadi pun ia lebih tertarik mendengarkan celoteh Shilla dibanding larut dalam cerita fantasi, Harry Potter seri 5 yang sudah berulang kali ia baca.
Shilla membidik cover buku yang dibaca Rio, tampak anak laki-laki berjubah dengan kaca mata dan tongkat sihir teracung, "Baca Harry Potter ternyata, saudara-saudara," seloroh Shilla. Kemudian, dengan cepat ia merebut bacaan Rio.

"Eh ? Shil, apaan sih, balikin !" Rio mengulurkan tangannya, berusaha menggapai bukunya yang kini berada dibalik punggung Shilla.

"Lihat camera dulu dong, terus senyuuum ?"

Rio tak acuh. Ia terus berusaha mengambil alih buku yang disabotase Shilla. Rio mengulurkan kedua tangannya, kesisi kanan dan kiri tubuh Shilla. Sedangkan Shilla terus mundur perlahan dengan handycam yang masih menyala dan terarah pada Rio. Sampai akhirnya, Shilla berhenti, punggungnya membentur dinding. Ia tidak lagi bisa bergerak mundur. Dan kedua tangan Rio yan menempel pada dinding, membuat tubuhnya terkurung.

Rio mengangkat sebelah alis matanya, "Masih mau main-main. hm ?" tanyanya dengan senyum nakal.

Rio merapatkan tubuhnya pada Shilla, mengurangi batas antara mereka. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Shilla sampai bisa melihat bintik merah kecil seperti bekas gigitan nyamuk di kening Rio.
Shilla tentu saja akan langsung menerjang pemuda lain yang berani sedekat ini dengannya, tapi ia sangat-sangat tidak mengerti, kenapa mendadak tubuhnya kaku. Tak kuasa berontak, bahkan ketika Rio memiringkan kepala dan mendekatkan wajah kearahnya. Shilla memejamkan mata, seluruh wajahnya terasa hangat oleh helaan napas Rio.

Ceklik.

"Yo, lo di-" pintu jati disisi kanan mereka terbuka, "Eh, sorry-sorry gue ganggu." Alvin kembali menutup pintu yang barusan dibukanya, "Cuma mau kasih tahu, kalian ditunggu buat makan malam." katanya dari luar. Lalu terdengar langkah-langkah kaki yang menandakan Alvin segera pergi setelah berkata demikian.

Sementara Rio, ia buru-buru menurunkan tangannya dan memundurkan tubuhnya. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal, dengan malu-malu diliriknya Shilla, "Pipi lo merah tu." ceplos Rio, bingung, harus bicara apa untuk mengurangi rasa canggung.

"Pipi kamu juga." balas Shilla.

Keduanya lantas saling pandang, lalu tertawa lepas bersamaan, "Hahahahaha" tak jelas, apa sebenarnya yang cukup lucu untuk ditertawakan.

***

Rio bersenandung kecil, seraya mengenakan kemeja putihnya. Sekilas, ia melirik cermin besar di kamarnya. Seorang pemuda tampan, balik memandangnya. Saat Rio menarik sudut-sudut bibirnya, ia melihat senyum sang Papa terulas sempurna dalam refleksi wajahnya sendiri di cermin. Bekas-bekas luka di wajah Rio pasca kecelakaan mobil sebulan yang lalu itu pun sudah hilang tak bersisa. Setelah merasa cukup rapi, Rio lalu mengenakan sepatu dan langsung menyambar ransel hitam kesayangannya.

"Lho ? Tumben udah rapi ?" Shilla sepertinya juga baru saja keluar kamar. Gadis itu terlihat sedikit pucat meski wajahnya telah dibubuhi sapuan bedak, tipis, mungkin sedang kurang fit. Shilla juga sudah rapi dalam balutan seragam sekolah. Kalau Shilla sih, tentu saja tidak aneh sudah rapi, sepagi ini. Ia memang biasa bangun pagi dan membantu menyiapkan sarapan setiap harinya, "Masih jam 6 kurang lho."

"Hehe, iya Shil. Sekali-kali pengin berangkat pagi. Oh iya, hari ini lo berangkat bareng Alvin nggak pa-pa kan ? Atau sama bus sekolah aja."

"Kok ? Emang kenapa ?"

"Emm, gue mau berangkat bareng Ify, udah lama banget nggak bareng dia." Balas Rio. Belakangan Rio sadar, ia dan Ify sudah sangat jarang menghabiskan waktu berdua. Jadi ia meluangkan waktunya kali ini untuk berangkat sekolah bersama Ify.

"Kan bisa bertiga. Emang kamu mau pake motor ?"

"Nggak sih. Gue naik sepeda."

Shilla memutar bola matanya, "Oh. Terserah kalau gitu." jawabnya ketus. Lalu berjalan cepat menuruni tangga. Rio mengekor dibelakangnya, sambil bersiul-siul, tidak menangkap perubahan raut air muka Shilla yang jadi kesal.

***

"Iffyyyy... Ifyy !!!"

Kring... Kring..

"Aduh, Den Mamen, pagi-pagi teh jangan teriak-teriak didepan rumah orang atuh. Gandeng pisan (berisik sekali)." Mang Suhe, tukang kebun rumah Ify yang asli garut, berlari tergopoh-gopoh membukakan pintu gerbang.

Setelah jejeran besi itu terbuka, memperlihatkan istana keluarga Umari, Rio menerobos masuk bersama sepedanya, sambil melambaikan tangan pada Mang Suhe, "Thanks, Bro." serunya diiringi seringai lebar.

"Sami-sami Den Mamen." balas pria paruh baya itu sembari menepuk-nepuk dada, melakukan gerakan-gerakan khas anak gaul metropolitan.

Rio menarik rem tepat ketika sepedanya sampai dimuka rumah Ify. Tampak Cakra sedang membaca koran paginya, ditemani secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
"Pagi Om." sapa Rio, ramah.

"Eh kamu, Yo. Pagi."

"Ifynya udah siap Om ?"

"Masih sarapan kayaknya, lihat aja ke dalam."

Rio mengangguk, "Ngomong-ngomong celananya keren lho, Om. Hehe." Rio mengomentari celana pendek motif batik yang dikenakan Cakra. Memang sedikit aneh, melihat Cakra yang selalu tampil rapi dalam setelan jas dan celana bahan, pagi ini, mengenakan kaos putih polos dan celana pendek.

Cakra mengangkat gelas, menyesap isinya sedikit-sedikit, "Hahaha, kamu ini ada-ada saja Yo." sahutnya, sambil melipat koran yang telah selesai ia baca.

"Oh, elo, Yo. Gue kira Ayah ngobrol sama siapa." Ify muncul dari dalam rumah, menyandang tas selempangnya, serta membawa setangkup roti tawar ditangan kanannya.

"Selamat pagi, Ifyyy..." seloroh Rio sembari membungkukkan tubuh, seperti memberi hormat.

"Ngapain lo pagi-pagi kemari ? Mau pinjem PR ya ?" selidik Ify.

"Kagak." Rio menyerobot roti yang baru dilahap Ify satu gigitan, dan langsung menyantapnya tanpa canggung, "Be..angka..ba..eng uukk." Rio bicara dengan mulutnya yang dipenuhi roti berisi selai cokat.

"Telan dulu deh Yo, baru lo ngomong."

"Hehe. Berangkat bareng yuk !" Rio mengulangi ajakannya setelah potongan roti berhasil melewati kerongkongannya.

Ify mengernyit, "Lha, Shilla gimana ?"

"Sama Alvin. Atau nggak, naik bus sekolah kali." setelah memasukkan potongan terakhir rotinya, Rio segera berpamitan pada Cakra, dilanjut Ify yang mencium pipi AYah tercintanya itu, lantas ikut mengekor Rio menuju sepedanya.

"Naik ini ?" tanya gadis manis itu, tak yakin.

"Yoi, udah yuk, buruan naik." Rio merentangkan tangan kirinya, agar Ify bisa duduk pada besi hotizontal bercat hitam yang melintang.

"Nggak pakai acara jatuh ya." was-was Ify.

"Siap Tuan Putri." sanggup Rio.

Rio mulai mengayuh sepeda, kendaraan beroda dua tanpa bahan bakar itu segera saja menggelindingkan roda-rodanya. Keluar dari rumah Ify, Rio membelokkan sepedanya kekiri jalan, berlawanan arah dengan jalan raya. Kalau bersepeda, memang lebih nyaman memotong jalan, melewati jalan-jalan tikus untuk sampai disekolah dengan jarak yang lebih pendek.

"Siap Fy ?" tanya Rio.

Setelah sepuluh menit, sepedanya berarak mengurai jarak, tibalah mereka kini dimulut sebuah turunan panjang dengan kemiringan yang lumayan. Rio menjejakkan kaki panjangnya ketanah, untuk menghentikan laju sepedanya, sejenak.

"Teriak sama-sama ya." ujar Rio.

"Teriak apa ?"

"Apa aja. Yang lo fikirin."

Ify mengangguk mengerti. Tanpa menunggu lama, setelah menegangkan otot tungkainya, Rio memberikan sedikit dorongan pada sepedanya. Kendaraan tanpa polusi itu langsung meluncur lepas menuruni jalan beraspal yang lengang, dengan kecepatan maksimal. Rio dan Ify, merasakan sentuhan kasar angin pagi yang menerpa wajah mereka. Petak-petak rumah dan pepohonan disisi jalan, seperti berlarian. Teriakan keduanya berdengung, bersaing dengan desau angin yang menggelitik bola langit yang tergantung rapuh diufuk timur.

"Rioo-“ teriakan Ify terputus sampai disitu, saat sadar bukan namanyalah yang diteriakkan Rio. Ya, tentu saja bukan namanya. Ify tertawa miris dalam hati.

"Shiillaaaaaaaaaaaaaaa....." Rio berteriak sepuasnya, sampai sepedanya melambat karena telah mencapai bidang landai. Dengan napas yang satu-dua, Rio tersenyum lebar, "Heh, kok diem ?" tanyanya, menyadari gadis didepannya malah menunduk dalam.

Ify menoleh sekilas, hanya untuk menyuguhkan senyum seadanya.

"Kenapa tadi teriakin nama gue ?"

Ify menggigit bibir, bingung merangkai alasan untuk mengelak.

"Aaaaa, gue tau, lo mau balas dendam yaa ? Mau gantian, bikin gue GR ? Huu, nggak mempan, Fy." celetuk Rio, yang disambut senyum lega oleh Ify. Akhirnya ia tidak perlu repot mencari alasan.

Rio kembali mengayuh sepedanya, kali butuh konsentrasi lebih, karena kontur jalan yang mereka lalui tidak rata, lubang dengan berbagai size bertebaran dimana-mana, "Aduh Fy, lo jangan gerak-gerak terus." omel Rio.

Saat terdapat lubang besar menganga didepannya, Rio tidak sempat berkilah. Ban depan sepedanya terperosok kedalam. Sepeda oleng. Rio melepas stang, kedua tangannya memeluk tubuh Ify, usaha terakhir agar gadis manis itu tidak terluka, meskipun mereka terjatuh.

"Riooooo..."
           
Bruukk

"AUWW." pekik Rio dan Ify berbarengan.

Rio mengira pastilah tulang punggungnya sudah remuk tak keruan, karena jatuh membentur kerasnya aspal jalan, ditambah Ify yang jatuh menimpanya. Keduanya menutup mata, beberapa detik ketika sepeda terhempas jatuh. Mereka baru membuka kelopak mata, setelah merasakan ujung hidung mereka beradu, karena jarak yang sangat dekat.

"Aaaaa, Mamaaa ada kakak-kakak pacalaaan..." koar seorang anak berambut kriwil dengan piyama bergambar beruang dan sebotol susu ditangan. Bocah cilik itu mengintip malu-malu dari celah jari tangan yang menutupi separuh wajahnya.

Rio dan Ify, buru-buru bangkit. Merapikan seragam mereka dan memajang ekspresi seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bocah kecil tadi, lalu berlari kedalam rumah, setelah Rio menjulurkan lidah dan menjulingkan matanya.

"Hahaha, jelek abis lo." Ify tertawa sambil menunjuk-nunjuk wajah Rio, "Emang ya dari dulu, naik sepada sama lo, nggak afdol aja gitu kalau nggak sampai jatuh. Serampangan sih lo, mending sama Iel." imbuh Ify.

Rio tersenyum nakal, "Ciee, Iel nih jadinyaa, cihuuy..." Rio menaik-turunkan alis matanya.

Ify melengos, pergi.
 "Lho Fy, mau kemana ?" Rio menuntun sepedanya, menyusul Ify, "Ayo naik lagi !"

"Ogah. Gedung Veronna udah kelihatan tu," Ify menggerakkan dagu runcingnya pada bangunan bertingkat tak jauh dari situ, "Mendinagn jalan, masih pagi ini, nggak akan telat." lanjutnya, sesudah melihat jam pada hanphonenya.

"Ya udah deh, gue juga ngikut jalan." putus Rio pada akhirnya, "Romantis ya Fy, kita jalan berdua, nuntun-nuntun sepeda begini. Berasa couple Soekarno-Fatmawati ni. Coba kalau ditambah gerimis gitu." cerocos Rio.

"Bawel deh." sewot Ify. Baginya, seromantis apapun keadaan saat ini, toh tidak akan berarti apa-apa. Rio tidak akan secara tiba-tiba jatuh cinta padanya, hanya karena semilir angin syahdu, langit biru kelabu, ataupun matahari yang menatap sayu.Tidak semudah itu kan ?

"Tu kan, lo sih asal ngomong, jadi beneran hujan kan." dumel Ify, saat satu-persatu angkasa mulai mencurahkan air.

"Hujan juga air ini sih, lagian juga cuma gerimis, lo nggak akan basah kuyup sampai kelas." sergah Rio. Ia melirik gadis manis yang berjalan menyejajarinya disisi kanan itu, dengan sedikit ragu, Rio bertanya, "Fy ?"

"Hm ?"

"Sebenernya lo tuh suka nggak sih sama Alvin ? Ko gue liat-liat sekarang lo jarang banget berdua-duaan. Pada sibuk sendiri-sendiri."

Ify tidak langsung menjawab. Mendiamkan Rio, membiarkan pemuda itu menerka dulu. Sekaligus menguji kepekaan Rio, “Kalau gue bilang gue nggak suka Alvin, gimana?”

"Gue bukannya mau ikut campur, tapi menurut gue, Alvin itu yang terbaik buat lo, gue kenal dia luar-dalam. Sedangkan cowok lain kan belum tentu baik."

"Dia juga baik kok, sama kayak lo."

"Jadi, lo betulan nggak suka sama Alvin ?"

"Belum mungkin, atau emang nggak ? nggak tahu deh, gue sih jalanin aja dulu apa yang ada di depan gue." Ify hanya mengangkat bahu.

"Siapa sih dia itu? Gabriel?"

"Bukan !"

"Terus ?"

"Tebak!"

"Atauu... Jangan-jangaaan... Lo sukanya sama gue yaaa ?"

Jleb. Tepat sekali.

Tapi tidak ada perubahan signifikan pada raut wajah Ify, tetap normal. Benar-benar menunjukkan bahwa gadis itu memang sudah terlatih untuk hal semacam ini.

"Menurut lo ?" Ify balik bertanya.

"Hahaha. Ya nggak mungkinlah. Gue kan bukan tipe lo, nggak pintar dan dewasa."

"Nah tu lo tahu."

Lagi-lagi mengingkari perasaannya. Entah, apa gunanya Tuhan menitipkan hati yang bisa merasakan pada Ify, kalau yang dirasa, pada akhirnya, hampir semua harus rela Ify pendam.

"Jadi siapa doong ? Lo gitu sih Fy, nggak pernah mau cerita-cerita lagi sama gue."

"Yakin mau tahu ?"

Rio mengangguk antusias.

Ify terus berjalan, bibirnya terkatup rapat, tidak ada tanda-tanda akan mengeluarkan sebuah kata atau satu nama.

"Itu apa sih Yo ?" Ify menunjuk genangan air jernih yang ada didepan gerbang Veronna, sepertinya sisa hujan semalam.

Rio melongok objek yang ditunjuk Ify, alisnya terangkat tinggi. Tidak ada apapun, disekitar genangan air itu. Yang ada hanya permukaan air tenang, yang merefleksikan wajah tampannya, "Ada apaan ?"

"Itu di dalam air!"

"Apa sih ? Yang mana ?"

"Ck. Udahlah lupain aja." Ify mengibaskan tangannya.

"Cih. Random lo." cibir Rio, seraya membariskan sepedanya dengan beberapa sepeda lain yang sudah berjajar rapi diarea parkir. Veronna SHS, menyediakan tempat parkir tersendiri untuk sepeda, karena banyak diantara para siswa dan guru-guru yang bersepeda ke sekolah, biasanya sih yang kediamannya tidak begitu jauh dengan bangunan sekolah elite itu.

"Heh, lo belum jawab. Siapa cowok yang lo suka ?"

"Bukannya udah gue kasih liat tadi ?"

"Hah ? Kapan ?" Rio memasang tampang innocentnya, lengkap dengan aksi garuk-garuk kepala.

Ify mendesah kecewa, ternyata Rio memang tidak peka sama sekali. Genangan air tadi memantulkan bayangan Rio, pemuda yang Ify sukai, "Udah gue jawab tadi, dalam hati." tandas Ify.

Rio mengendikkan bahu, "Nggak asik ah." cibirnya, tapi tak ambil pusing. Toh dia memang bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Kalau Ify belum mau memberitahunya, berarti ia memang belum saatnya tahu lebih banyak. Dengan langkah ringan, Rio berjalan berdua Ify, menyusuri koridor-koridor yang masih sepi.

***

Tiba di kelas, ruangan XII IPA 1 itu masih kosong. Hanya ada tas-tas tak bertuan yang mengisi beberapa bangku, sepertinya ditinggal pemiliknya berburu sarapan. Rio dan Ify menuju meja masing-masing.
Ify mengeluarkan buku-buku dan alat tulisnya, menyusun benda-benda itu di atas meja dengan permukaan yang dipenuhi jejak-jejak vandalisme siswa-siswi yang kelewat kreatif. Kemudian, tanpa sengaja matanya menangkap sesuatu yang tidak seperti biasa. Setangkai bunga mawar putih, teronggok di kolong mejanya.

Drrttt

Handphone dalam saku Ify bergetar.

1 new message

From : Rio
Pagi Ify :)
Ify mendelik, “Ngapain sih ni bocah, barusan ketemu terus sekarang SMS selamat Pagi,” batin Ify, heran.

Ify merasakan tepukan halus di pundaknya, ia menoleh. Sebatang coklat disodorkan Rio tepat di depan wajahnya.

"Buat lo." ujar Rio, sebelum Ify sempat bertanya apa-apa.

"Gue ? Dalam rangka apa ?"

"Nggak dalam rangka apa-apa, mau kasih aja." aku Rio.

Kening Ify berkerut rapat, "Kenapa sih ?" tanyanya heran, "Tumben banget, lo hari ini baik banget ? Jemput gue, ngasih coklat, ngasih bunga juga."

"Nggak pa-pa sih, gue cuma nggak mau kita jauh." jujur Rio, "Akhir-akhir ini, gue rasa kita udah jarang bareng-bareng."

"Itu karena lo sibuk sama dunia baru lo, Yo. Sibuk sama Shilla." batin Ify.

"Eh, tapi tunggu deh, kapan gue kasih lo bunga, Fy ?" Rio menatap Ify, bingung.

"Lho, bunga mawar ini dari lo kan?"

“Hah? Bu-“

"Rio !"

Rio dan Ify kompak mendongakkan wajah, menatap sosok pucat yang berdiri di sisi meja Rio.

Reflek, Rio cepat bangkit, buku pelajaran yang dipangkunya sampai terhambur jatuh, "Shil, lo kenapa ?" tanya Rio, "Alvin mana ?"

"Aku nggak sama Alvin, aku bareng bus sekolah." jawab Shilla lemah.

Rio tidak sempat bertanya lagi, karena tubuh Shilla tiba-tiba jatuh menubruknya. Kepala gadis itu membentur bibir Rio hingga berdarah. Beruntung, Rio cukup sigap menahan tubuh Shilla, agar tidak jatuh tersungkur ke lantai.

"Shilla." Rio menepuk-nepuk pipi Shilla.

Ify segera beranjak dari duduknya, bantu melepas tas selempang yang membebani pundak kanan Shilla, "Shilla kenapa Yo ?"

"Pingsan Fy, nggak tau kenapa."

"Ya udah, bawa ke UKS aja yuk !" usul Ify.

"Mending ke rumah sakit aja, bawa mobil gue. Tu anak dari rumah udah pucat, diajak bareng malah nggak mau, pakai nggak sarapan pula." Alvin yang baru saja datang, menyerahkan kunci mobilnya pada Ify.

Tidak berlama-lama lagi, Rio cepat-cepat membopong tubuh lemah Shilla menuju parkiran. Tatapan ingin tahu, sekaligus iri berbinar dari mata sebagian gadis yang melihat adegan yang dianggap romantis itu.

Gerimis berubah jadi hujan, berkeracak mengguyur setiap area tak beratap, "Hujan Fy." Rio melirik Ify, raut cemas terpeta jelas diwajahnya.

"Ya udah tunggu sini Yo !" Ify nekat berlari menerobos hujan, padahal jarak dari muka koridor utama, menuju parkiran cukup jauh. Harus melewati lapangan basket outdoor dan Aula.
Tak lama, gadis itu kembali dengan mobil Alvin yang ia kemudikan sampai di tempat Rio berdiri. Ify keluar dari dalam mobil, rambut dan seragamnya basah, "Cepat masuk !" perintah Ify, "Mending diantar ke rumah aja Yo, lebih dekat juga kan, kayaknya Shilla cuma kurang fit, sebenarnya dibawa ke UKS juga bisa, tapi jam segini yang jaga pasti belum pada datang."

"Ok deh. Nanti kalau nggak baikan baru gue antar ke RS. Mintain izin buat gue sama Shilla ya Fy."

Ify mengangguk setuju.

Rio telah membaringkan Shilla dikursi belakang, ia kembali menghampiri Ify. Pemuda itu memberikan sebuah kunci, "Di loker gue ada jaket sama kemeja putih , masih bersih. Cepat ganti baju, gue nggak mau lo sakit." pesan Rio. Tapi sebelum sempat Ify menimpali atau sekedar berkata 'hati-hati', pemuda itu sudah pergi begitu saja. Sedetik kemudian, sedan hitam Alvin langsung melejit menyisakan cipratan air kesana-kemari.

Ify menghela napas, sedikit berharap ia bisa bertukar tempat dengan Shilla saat ini, serta menemukan ekspresi khawatir yang sama pada wajah Rio, "Semoga Shilla nggak kenapa-kenapa." doanya dalam hati,

***


1 komentar:

-Me- mengatakan...

Keren kakaaa.. pas bagian rio shilla dikamar itu lho.. astajim.. aq senyum2 sendiri gatau kenapa.. hahaha.. tapi pas awal2 aku nyesek gimana gitu.. agak khawatir sama rio.. tp untung kesininya gaa:) hehe..

Posting Komentar