Rahasia Orion Part 11 B
Pesan
***
Rio dengan tekun masih berusaha mengerjakan 30 soal Fisika
dihadapannya. Bu rizky, tampaknya menaruh dendam pada Putra Narendra Haling
itu. Beliau tidak percaya dengan surat izin yang diberikan Ify dan menganggap
Rio sengaja membolos pada jam pelajarannya, ia memberi Rio hukuman mengerjakan
30 soal Fisika dan harus dikumpilkan dalam waktu 1x24 jam. Padahal untuk Shilla
sendiri, surat izin yang diberikan guru piket atas namanya diterima aleh guru
bertubuh gempal itu.
Alhasil, malam ini Rio harus bergadang mengerjakan soal-soal
itu dan absen menyaksikan pertandingan club sepak bola favouritenya di TV. Sebenarnya,
ia bisa saja meminta Shilla mengerjakan untuknya. Toh, Rio dihukum juga karena
menemani Shilla yang kurang enak badan kemarin. Tapi ia sebagai laki-laki,
harus bertanggung jawab atas hal apapun yang ia lakukan. Jadi sebagai gantinya,
Rio memaksa Shilla agar mengajari sekaligus menemaninya mengerjakan hukuman
itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam dan Rio baru berhasil
mengerjakan separuh dari 30 soal yang ada.
"Hoaamm."
Rio menguap lebar. Kedua matanya sudah memerah, pertanda kantuk mulai menderanya.
"Ngantuk
Yo ? Tidur aja gih, nanti biar aku aja yang selesain."
"Nggak
ah, yang dihukum kan gue."
"Huh.
Kepala batu deh." dengus Shilla. Ia lantas melihat-lihat catatan fisika
Rio dan melengkapi beberapa bagian yang belum tersalin oleh Rio. Entah lupa
atau memang malas. Kegiatan itu Shilla kerjakan, karena tidak tahu harus
melakukan apa sembari menemani Rio,"Sambil cerita-cerita aja ya Yo, biar
nggak ngantuk." usul Shilla, yang di-iya-kan Rio hanya dengan gumaman tak
jelas, "Emm, mulai dari apa yaa ?" Shilla mengetuk-ngetukkan
ujung bolpoint ke pipi, "Cita-cita deh. Cita-cita kamu apa Yo ? Kamu belum
pernah cerita lho."
Rio
mengangkat wajahnya, memajang tampang sok manis luar biasa, "Io mau jadi
doktel, bial bisa sembuh-sembuhin teman Io yang sakit." kelakar Rio.
Shilla
memutar bola mata, "Geli deh, sok imut." Celanya, "Serius dong
Yo. Aku kan udah pernah ceritain cita-cita aku kepengin jadi dokter specialis
jantung, gantian dong kamunyaa..."
"Emm,
kalau gue... apa ya? Cita-cita gue simple sih. Cuma pengin selalu ada disamping
istri gue saat dia melahirkan anak-anak gue nantinya." jawab Rio kalem.
"Sweet
sekaliii..." puji Shilla, "Tapi kok aneh sih ?"
"Aneh
apanya ?" sambil menyahuti Shilla, Rio kembali menekuni tugasnya,
"Kalau yang namanya cita-cita menurut lo, definisinya nggak jauh-jauh dari
profesi, berarti orang kayak gue nggak punya cita-cita dong. Karena mau nggak
mau, suka nggak suka, nantinya pasti gue bakal jadi pengusaha nerusin
perusahaan keluarga, gue kan anak tunggal. Lagian cita-cita gue kan juga mulia
sekali, hehe." seloroh Rio.
Shilla
balas tersenyum, "Jatuh cinta deh sama cita-cita kamu Yo," jujur
Shilla, "Beruntung ya yang nanti jadi istri kamu." imbuh Shilla.
Kemudian
sepi.
Lama...
Tidak terdengar sahutan dari Rio. Ternyata pemuda itu telah terlelap, berbantal
sebelah tangannya.
Shilla
geleng-geleng kepala, "Gampang banget sih tidurnya." gumamnya pelan.
Shilla lalu menarik beberapa buku tulis dan kertas-kertas
soal, membenahinya, berikut alat-alat tulis Rio. Setelah semuanya tertumpuk
rapi, Shilla bertopang dagu. Menatapi wajah pulas Rio yang begitu tenang.
Pundak pemuda itu naik-turun dengan teratur, selaras embusan napasnya. Kelopak
matanya terkatup sempurna.
Entah didorong oleh apa, Shilla tanpa sadar menjulurkan
tangannya. Mengusap lembut sebelah pipi Rio. Kemudian, tulang belakangnya
membungkuk, Shilla menurunkan wajah hingga bibis tipisnya menyentuh pipi kiri
Rio. Satu kecupan mendarat disana.
Detik
itu juga, pengakuan itu muncul.
Hatinya
telah berlabuh, pada dermaga yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Dirinya
telah ditaklukan, bukan dengan hunusan pedang, hanya lewat satu senyum menawan.
Adalah
Rio, pemuda yang berhasil membuatnya jatuh cinta kini dan semoga saja sampai
nanti.
Meski
demikian, tidak ada yang Shilla tuntut dari Tuhannya, tidak agar Rio jadi
miliknya, tidak pula supaya pemuda itu memiliki rasa yang sama dengannya.
Jika,
kelak cintanya harus teruji, ia ikhlaskan airmatanya tumpah. Karena di setiap
cinta, selalu ada yang terluka bukan ?
***
Hujan di luar sana belum usai. Iramanya tidak lagi membawa
ketenangan. Terlalu banyak volume air yang dicurahkan langit. Deras sekali.
Ditambah deru angin yang tanpa ampun merontokkan setiap helaian daun,
mematahkan ranting dan dahan pepohonan. Kilat berikut guntur jadi peran utama
pada pentas alam malam ini. Sepertinya dua pengiring hujan itu sangat bahagia
ketika semakin banyak insan yang takut dan cemas karena kehadiran mereka.
Gabriel menyaksikan fenomena alam itu lewat kaca jendela
kamarnya yang beruap. Ia tidak meyukai hujan, tapi selalu mengharapkan
kedatangannya. Kenapa ? Karena ia berharap, air hujan akan membawa hanyut
kepingan rasa tak berbalas yang ia punyai. Ia ingin, air hujan mampu meluruhkan
sketsa wajah gadis tirus yang terpulas permanen dalam otaknya. Meskipun,
kenyataannya sesering apapun hujan turun, harapan itu tak pernah menyentuh kata
terkabul, "Huufh..." ia mengulur napas berat, kembali mengamati
selembar foto ditangannya. Foto dengan objek yang sama seperti objek puluhan
lemabr foto-foto lain yang terpajang disetiap pelosok kamar Gabriel, terutama
disekitar meja belajar dan tempat tidur. Foto-foto itu, menampilkan Ify dalam
berbagai posse. Gabriel tidak pernah mengizinkan orang lain untuk masuk ke
kamarnya, bahkan Mamanya sekalipun. Karena itu juga, ia merasa aman memajang
foto Ify sebanyak-banyaknya dalam area privacynya itu.
Gabriel tersenyum misterius. Dengan perasaan mendalam,
dikecupnya foto Ify, lalu didekap erat didadanya. Ia memejamkan mata. Kembali
sunyi yang bertahta, tidak ada suara sekecil apapun dari dalam kamar bercat
abu-abu itu. Cahaya yang temaram membuat ruangan ini seperti tak berpenghuni.
Gabriel terdiam cukup lama. Sebelum secara tiba-tiba,
matanya jadi nyalang, ekspresinya mengeras, ada kemarahan yang bercampur rasa
kecewa yang menghiasi mimik wajahnya. Ia memperhatikan setiap foto.
Gambar-gambar ketika Ify tersenyum adalah favouritenya, termasuk foto yang
tengah ia pegang saat ini. Dan dalam kegelapan yang sunyi, Gabriel sepertinya
menyadari sesuatu yang membuatnya begitu marah. Tawa itu, senyum itu, selalu
muncul hanya setiap kali Ify berada didekat Rio. Seakan-akan Tuhan memang
mendesainnya, khusus untuk pemuda yang begitu ia benci. Itulah fakta yang
Gabriel temukan.
Lalu kejadian beberapa malam yang lalu, terputar kembali
dalam ingatannya, ketika Ify membatalkan pergi dengannya hanya karena
kedatangan Rio. Itu benar-benar menyakitinya. Apa gadis itu tidak bisa, sekali
saja peduli pada perasaanya? sekali saja memilihnya ? Mementingkannya?
Dengan perasaan tak menentu, Gabriel menangis tapi juga
sambil tertawa. Tawa miris yang misterius. Perlahan, ujung jarinya menyusuri
foto Ify.
Gabriel
memiringkan wajahnya,"Cantik, lo punya gue ya? Punya gue!" desisnya.
Ia berbisik halus pada foto ditangannya, seolah-olah, benar, sosok Ifylah yang
sedang ia ajak bicara. kemudia ia menggeleng, "Nggak mau ? kenapa
?" seperti orang tidak waras, ia mengajak bicara selembar foto dengan
penuh perhatian, "Pasti gara-gara Rio. Aku mau bunuh dia... tapi.. tapi..
nanti kamu sedih." racau Gabriel semakin melantur, "Hahaha..."
tawanya yang tanpa sebab menggema dalam ruangan, berpadu dengan suara hujan dan
petir.
Gabriel
melanjutkan menyusuri foto-foto Ify yang paling dekat dengan tempatnya duduk, Gabriel
melakukannya sambil tersenyum dan bernyanyi-nyanyi kecil.
Tok-tok-tok
Suara
ketukan dipintu kamarnya membuat Gabriel terkesiap. Ia menatap marah daun pintu
yang masih menutup, "Ganggu !!" gerutunya.
Dengan
enggan, ia membukakan pintu dan secepatnya menutupnya kembali. Mamanya berdiri
didepan pintu, tersenyum lembut kearahnya.
"Mama
?"
"Yel,
gimana ? Kamu sudah baikan ?" tanya Sang Mama yang masih mengenakan baju
kerjanya, "Mama tadi beli soup, makan dulu yuk, terus minum obat." ia
menunjukkan kantong kresek putih yang dibawanya.
Tapi
Gabriel bergeming.
"Yel
? Are you Okay?"
"Akan
jauh lebih baik sebenarnya, kalau Mama bisa pulang daritadi dan ngerawat
Iel."
"I'm
sorry, maafin Mama ya. Mama banyak banget kerjaan hari ini."
"Aku
kecewa sama Mama, tapi ya... Nggak ada yang perlu aku maafin. Mama nggak salah.
Yang salah besar tu ya Rio sama Papanya, kalau bukan karena mereka, pasti Papa
nggak akan pergi, Mama nggak perlu kerja dan punya banyak waktu buat aku."
"Sudah
berapa kali Mama bilang, Gabriel. Mama tidak suka kamu bicara seperti itu. Ini
semua bukan salah siapa-siapa. Ini takdir Yel, kamu harus bisa terima
itu."
"Mama
kenapa sih ? Masih aja belain mereka. Mama tahu apa tentang mereka, Iel lebih
tahu, Ma. Mereka itu bajingan."
"Gabriel
!! Jaga ucapan kamu. Ada banyak hal yang nggak pernah kamu tahu tentang mereka.
Dan suatu saat, kalau kamu mengetahuinya, kamu akan menyesal pernah bicara
selancang ini."
"Alah
bullshit." Gabriel mengibaskan tangannya, lantas melengos meninggalkan
Mamanya di depan pintu karena mendengar lantunan lagu Favourite Girl - Justin
Bieber yang di-set khusus untuk nada dering nomor Ify, mengalun dari
handphonenya.
"Hallo
Fy ?" sapa Gabriel.
"Hallo
Yel ? Katanya sakit ya, sakit apa ?"
"Cuma
demam biasa aja kok Fy." jawab Gabriel dengan nada riang. Senang rasanya
mendapat perhatian dari Ify, meski hanya sebatas itu.
"Oh
syukur deh kalau gitu. Eh iya, data-data praktikum kelompok kita ada di
flashdisc kamu kan ya ?"
"Iya,
kenapa Fy ?"
"Nggak
pa-pa sih, cuma kan, deadline pengumpulan power pointnya besok. Tadinya malam
ini, gue mau ke rumah lo, ambil materi terus dikerjain bareng Muthi, tapi
berhubung hujannya deras banget, jadi batal deh. Tapi besok sebelum berangkat,
gue ambil flashdiscnya ya kerumah lo, nanti gue minta kelonggaran deh sama Bu
Lia buat ngumpulin tugasnya lusa aja."
"Ya
udah Fy, sekarang aku ke rumah kamu aja. Kamu di rumah Bunda kamu kan ? Nanti
kita kerjain sama-sama."
"Eh
nggak usah, besok aja. Lo kan lagi sak-"
Tut-tut-tut
Gabriel
memutus sambungan teleponya. Dalam satu gerakan cepat, ia menyambar
flashdiscnya yang tergeletak diatas meja belajar.
"Yel,
kamu mau kemana ?" tanya Sang Mama yang dijumpai Gabriel diruang TV.
"Rumah
Ify." jawab Gabriel sambil berlalu.
***
Ify beringsut dari tempatnya duduk, setelah terdengar
ketukan samar dari luar. Hujan masih cukup deras, membuat Ify heran juga, siapa
gerangan yang mau repot-repot bertamu, sementara cuasa sedang tidak bersahabat
seperti sekarang. Saat pintu kayu didepannya terbuka, desau angin tanpa permisi
segera saja menghantarkan dingin yang dibawanya menerobos daun-daun Angsana di luar.
"Ya
ampun, Iel !" serunya kaget, melihat siapa yang berdiri dalam keadaan
setengah basah di depan pintu rumahnya. Ify segera menarik lengan Gabriel untuk
cepat masuk, "Lo ngapain kesini, udah tau hujan gini, katanya sakit."
"Mau
antar ini." Gabriel mengangsurkan flashdiscnya.
"Ck,
nekat banget sih, Yel. Kan udah gue bilang besok juga bisa."
"Udah,
nggak pa-pa lah. Lagi ngerjain kan ? Yuk, aku bantu." tawar Gabriel,
melihat laptop dan buku-buku yang berjajar dimeja ruang tamu Ify.
"Tapi-"
"Ini
kan tugas kelompok, aku nggak enak belum bantu ngerjain apa-apa." desak
Gabriel.
"Ya
udah deh. Kalau gitu. Duduk dulu, gue buatin minum."
Gabriel
mengangguk, kemudian duduk lesehan dilantai, menghadap layar laptop Ify yang
menyala. Baru saja, ia membaca beberapa baris kalimat yang dijadikan Ify
sebagai landasan teori laporan praktikum kelompok mereka, handphone disakunya
bergetar. Gabriel segera men-check handphonenya. Ada SMS dari Mamanya. Setelah
mengetikkan jawaban singkat, Gabriel tersenyum penuh arti, menekan beberapa
tombol, lalu membiarkan gadget mungil itu terkapar di atas meja.
Tak
berapa lama, Ify kembali, membawakan satu gelas panjang berisi teh dengan
asapnya yang masih mengepul, serta sebuah handuk, "Nih Yel, keringin dulu
tu rambut lo, terus tehnya diminum." belia itu lantas duduk disamping
Gabriel.
Sementara
Gabriel mulai menyesap tehnya, Ify terlihat sibuk dengan handphonenya. Senyum
manis
tersungging di bibir tipisnya. Mendapati satu pesan baru yang masuk.
From
: Rio
Hallo,
Lagi apa Fy?
Dalam beberapa waktu ke depan, Ify tidak membiarkan
handphonenya lepas dari genggaman tangannya. Tanpa sadar, ia mengabaikan
Gabriel yang begitu khidman, menikmati senyum yang merekah dibibir Ify secara
live dalam jarak sedekat ini.
"Gue
bakal lakuin apapun Fy, supaya lo terus senyum kayak gini." batinnya.
Tak lama lagi ia akan pergi. Gabriel mungkin tidak akan lagi
melihat senyum Ify, jadi selagi ia bisa, ia akan membuat gadis itu bahagia dan
melihat lebih banyak lagi senyum diwajah Ify. Apapun akan ia lakukan, meski
dengan cara yang sangat ia benci.
"Senyum
terus Fy, pasta gigi lagi murah ya ?" tegur Gabriel.
"Eh
? Hehe." Ify terkekeh. Ia kemudian meletakkan handphonenya dan meraih
buku-buku pelajaran. Acara ngobrolnya dengan Rio via SMS untuk malam ini telah
usai. Rio bilang, ia harus mengerjakan tugas kelompoknya juga, bersama Shilla.
"Texting
with Rio, right ?" tebak Gabriel.
Ify
mendelik, "How do you know ?"
Gabriel
mengangkat bahu, "Neak. Kamu suka Rio ya?" sebenarnya ia tidak perlu
bertanya demikian, karena jawabannya, sudah barang tentu ia ketahui dengan
pasti, jauh sebelum saat ini.
"Nggak."
jawab Ify singkat.
"Yakin"
"What
do you care ?" ketus Ify.
"Nothing.
But, if you really love him, i think you just have to fight for it."
"Buat
apa ? Rio udah punya Shilla, yang jauh lebih baik dari gue. Gue nggak cukup
pantes buat dia."
Gabriel
tersenyum kalem, "Berarti benar dong, kamu suka sama Rio."
"Jangan
cerita sama siapapun, apalagi sama Rio, atau gue bakal marah banget sama
lo." ancam Ify.
Lama... Kemudian tidak ada yang terdengar bersuara. Keduanya
diam. Gabriel mungkin untuk kesekian kalinya sedang sibuk, menata kembali hati
yang remuk redam. Gadis yang mampu membuatnya jatuh cinta disetiap hari selama
bertahun-tahun ternyata mematenkan hati hanya untuk pemuda yang begitu ia
benci. Sedangkan Ify, secara lahiriah gadis itu terlìat sibuk menyalin beberapa
tulisan kedalam kertas HVS.
"Menurutku
Fy, semua warna pelangi itu cantik dan indah," Gabriel buka suara,
"Kalau ada salah satu yang kemudian jadi warna favourite kita, itu cuma
perkara selera. Sama kayak cewek, semuanya cantik dan special, kalau Rio nggak
suka sama kamu bukan berarti kamu nggak pantes buat dia, balik lagi ke soal
selera. Kriteria."
"Hahaha,
ya ya ya. Lo sendiri, gimana ? Kok gue nggak pernah dengar gosip-gosip lo dekat
sama cewek gitu sih. Anak Veronna kan cantik-cantik Yel, atau jangan-jangaaann..."
Ify tersenyum jahil.
Gabriel
memutar bola matanya, "Aku normal kok."
"Hm
? Masa ?"
"Mau
bukti ?"
Repp.
Mendadak
gelap. Semua lampu padam. Ruangan yang semula bergelimang cahaya, jadi gelap
gulita.
"Mati
listrik." ujar Ify.
Dalam gelap, Ify bergerak perlahan. Tangannya meraba setiap
benda, mencari-cari handphone untuk memberikan sedikit penerangan. Laptop yang
semula menyala, ikut mati karena low battery. Ify masih berusaha mengulurkan
tangan kesegala arah, saat kemudian terasa embusan napas yang berderu keras
menerpa wajahnya. Kecupan hangat, mendarat didagu lancipnya, lama dan
membekukan. Saat cahaya kilat menerobos masuk, memberikan penerangan singkat
dalam ruangan itu, Ify bisa melihat manik mata Gabriel beradu dengan bola
matanya.
Ify mematung sesaat, kesadarannya terenggut. Tubuhnya tak
kuasa berontak, tapi hatinya riuh berorasi. Memprovokasi otaknya, yang lantas
mengirimkan isyarat pada kedua tangan Ify untuk bergerak. Gadis manis itu
mendorong tubuh didepannya sekuat tenaga. Terdengar bunyi sesuatu yang
berbenturan. Ify beringsut mundur, tapi kemudian ada 2 tangan kokoh yang
membelit tubuhnya. Memeluknya erat, "Lepas Yel ! Lepas !"
Dua
tangan kokoh itu tidak juga membebaskannya. Ify meronta.
"Lepasin
gue !"
Lampu
menyala.
"Lepas
!" Ify mendorong tubuh Gabriel sekuat mungkin. Pemuda itu terhuyung
kebelakang. Dan seperti disengat aliran listrik ribuan watt, Gabriel tersentak.
Entah apa yang merasukinya tadi, sampai-sampai ia kehilangan kendali atas
dirinya sendiri. Melihat wajah Ify yang pucat pasi, Gabriel yakin ia baru saja
melakukan satu kegilaan yang fatal. Gabriel mendekat, diulurkan tangannya untuk
menyentuh pipi Ify, tapi gadis itu dengan tergagap segera mundur sejauh
mungkin, "Gila lo Yel !" umpatnya dengan suara tertahan, tidak ingin
bundanya terbangun dan memperpanjang masalah.
"Fy,
maaf..."
"Keluar
!"
"Fy,
gue nggak-"
"Keluar
gue bilang !" Ify berjalan kearah pintu, membukakannya untuk Gabriel.
Angin bertiup kencang mengibarkan anak-anak rambutnya, "Cepat keluar
!"
Dengan terpaksa Gabriel menurut, ia melangkah menuju pintu.
Sampai dihadapan Ify, ia menatap gadis itu, dalam. Cukup lama dan menusuk.
Membuat hati Ify tiba-tiba saja bergetar. Saat Gabriel bahkan baru saja
sepersekian detik menginjakkan kedua kakinya diteras rumah, Ify langsung
membanting pintu.
Gabriel
terduduk lemas didepan pintu, merutuki dirinya, kenapa begitu bodoh dan tidak
bisa mengontrol diri. Mungkin ia terbawa suasana. Malam ini ia merasa begitu
aneh dengan dirinya sendiri, sepertinya kewarasannya mulai terganggu. Entahlah.
Sekarang, Ify sangat marah padanya, Gabriel yakin itu, "Maafin gue
Fy." lirihnya penuh sesal.
Ify
sendiri melampiaskan kemarahannya pada salah satu bantal di sofa ruang tamunya.
Diremas, dipukul, ditinju, digigit, seandainya bantal itu benda hidup, pastilah
sudah menuntut Ify ke Polisi dengan tuduhan penganiayaan salah alamat,
"Sialan Si Iel. Kurang ajar." rutuk Ify marah. Matanya berkaca-kaca.
Seumur hidup, tidak diizinkan seorang pria, selain Papanya untuk menciumnya.
Bahkan Rio sekalipun, tidak akan ia izinkan. Dan Gabriel dengan seenaknya
berbuat seperti itu terhadapnya. Benar-benar tidak menghargai Ify.
Drrttt
Handphone
Ify diatas meja, menyala. Lagi-lagi pesan masuk.
From
: Rio
Dipundakku.
Kau temukan sandaran. Disana luka bertemu obatnya. Disanalah, airmatamu
terbasuhkan.
Ify
mendekap handphonenya. Rasa tenang menjalari setia tubuhnya. Sms tepat, disaat
yang tepat, dari orang yang memang diharapkan.
***
Lembayung
milik senja baru saja melebur diufuk barat. Bola langit semerah darah, telah
terbenam.
Satu-dua-tiga.
Bintang-bintang
mungil mulai mengguguskan diri, meski hanya beberapa. Awan keabuan memulas
tipis selaksa langit. Sepertinya malam ini lagi-lagi akan berselimut mendung.
Bulan
desember, tentu saja hujan turun dengan intensitas yang lebih dari bulan-bulan
sebelumnya.
Rio dan Shilla duduk sebelahan, menghadap api unggun yang
menyala-nyala. Paling tidak, cukup hangat untuk bisa mengusir dingin yang
teramat, meski tidak pernah benar-benar bisa mengenyahkannya.
Rio
melepas jaket, menyampirkannya kepundak gadis cantik yang sedang
menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
"Lho
? Kok dikasih aku ?"
"Nggak
pa-pa, pakai aja. Dingin kan ?"
"Aku
udah pakai cardigan kok, kamu aja yang pakai."
"Itu
kan tipis, Shil."
"Nggak
juga kok."
Shilla
menaruh jaket Rio kembali kepangkuan pemiliknya. Tahu Shilla akan bersikukuh
menolak, Rio memutuskan untuk kembali mengenakan jaketnya, "Kalau gitu,
sinian lo nya."
"Hah
?"
"Lo
dekatan sama gue, sini."
Sedikit
ragu, Shilla merapat pada Rio. Pemuda itu lalu mengalungkan lengan kirinya
kepundak Shilla, "Kalau nggak mau pakai jaket gue, dipeluk aja deh."
ujar Rio, ringan.
Shilla
menyingkirkan lengan Rio dari pundaknya, "Apaan deh Yo, malu tau."
"Malu
sama siapa ?"
"Tuuu..."
Shilla mengarahkan dagu pada segerombolan anak yang berkumpul dibibir sebuah
tenda. Sedang melihat kearah ia dan Rio. Sambil berbisik-bisik.
Rio dan Shilla sedang mengikuti camping. Siswa-siswi kelas
XII Veronna High School memang sedang mengadakan acara camping tahunan yang
secara rutin diselenggarakan setiap libur semester awal. Satu minggu yang lalu,
mereka memang baru saja menerima rapor semester 5. Camping diadakan di daerah
Bandung dengan peserta yang hanya terdiri dari siswa kelas XII. Ini adalah
malam kedua, mereka berada dialam bebes seperti ini.
"Oh,
itu... Malu kenapa coba, emang kita ngapain ?" tanya Rio sok polos.
Shilla tidak menjawab, membiarkan hening menyelimuti mereka.
Walaupun tidak pernah benar-benar hening, karena bising dan hilir-mudik panitia
yang mempersiapkan acara Jurit Malam membuat suasana ramai dan semarak. Juga
para peserta camping yang bermain gitar dan mengobrol satu sama lain.
"Yo
!"
"Hm
?"
"Boleh
tanya ?"
"Bayar
!"
"Ih,
serius tauu..."
"Haha,
iya-iya boleh, tanya apa ?"
"Emm,
soal Acha."
Ekspresi
Rio seketika berubah keruh, "Jangan tanya apa-apa tentang Acha. Bukannya
gue nggak mau jawab, tapi karena... Gue emang nggak tau apa-apa soal Acha,
Shil."
"Kok
gitu ?"
"Gue
egois Shil. Gue merasa cuma gue yang paling serius sama hubungan kami. Gue
rasa, gue yang paling all out, pertahanin semuanya, jadi dulu gue nggak pernah
pentingin gimana Acha," Rio menunduk, memainkan rumput liar yang tumbuh
menutupi tanah, "Acha tahu semua hal tentang gue, sampai hal-hal terkecil
sekalipun. Sedangkan gue ? Warna kesukaannya aja gue nggak tau."
"Separah
itu ?"
"Gue
nggak tau, warna favouritenya Shil, karena Acha emang selalu kelihatan suka dan
happy sama apapun yang gue kasih ke dia. Warna apapun dan dalam bentuk apapun,
kalau di tanya juga, selalu jawab, 'yang special buat aku ya yang ngasihnya
lah', Acha sayang banget sama gue, tapi gue bikin dia nangis, gue bikin nilainya
hancur mungkin juga hatinya, dan akhirnya dia pergi."
Shilla
menggigit bibir, kenapa rasanya tidak rela mendengar Rio begitu tulus memuji
gadis lain seperti ini, "Kamu belum bisa lupain Acha ?" pertanyaan
itu akhirnya terlontar juga. Selama menunggu jawaban dari Rio, Shilla harus
berjuang sekuat tenaga untuk bisa bersikap wajar dan tidak mengangkat kedua
tangannya untuk menyumbat indera pendengarannya.
"Apa
salah Shil ?" Rio menerawang, melabuhkan tatapan kosongnya pada
pucuk-pucuk pinus yang menari luwes bak tarian putri keraton.
Shilla
mengernyitkan kening, mendengar jawaban Rio, "Salah ? Apanya ?"
"Kalau
seandainya gue bilang, saat ini gue sayang sama lo, sementara gue belum bisa
lupain Acha, apa itu salah Shil ? Apa nggak boleh ?"
Shilla
menarik-ulur napas dengan teratur, meski sesak di dadanya membuatnya kesulitan
bernapas. Ia tersenyum lembut, "Yo, kalau misalkan Acha datang lagi.....
apa kamu... bakal balik sama dia ?"
"Apa
menurut lo, Acha masih mau sama orang yang udah sia-siain dia ? Dimaafin aja
udah syukur, Shil. Sekalipun gue nggak bisa lupain Acha, tapi gue udah belajar
kok buat nggak pernah berharap kami balikan. Acha berhak dapat yang lebih baik
dari gue.
Shilla
mengangguk samar.
"Yo,
Shil !! Buruan kumpul. Jurit Malamnya udah mau mulai." panggil Alvin Sang
ketua Panitia.
Rio
dan Shilla bangkit, ketiganya lantas berarak menuju kerumunan siswa-siswi yang
sudah siap, bergerombol bersama teman-teman sekelompoknya. Jurit Malam kali
ini, Rio dan Shilla satu kelompok, bersama dengan Gabriel serta Ify. Dan Riolah
yang kebagian jadi ketua berdasarkan undian.
"Yang
benar lo, Yo. Jangan sampai nyasar, jangan sampai ada yang celaka, lo harus
belajar tanggung jawab, bukan atas diri lo sendiri. Tapi juga sama anggota yang
lain. Kalau ada apa-apa, cepat hubungin gue atau anak-anak panitia yang
lain." pesan Alvin panjang lebar, saat ia menyerahkan senter, kompas
berikut peta rute perjalanan.
Alvin tidak ikut bergabung dengan peserta yang lain,
menjelajahi hutan, karena ia selaku ketua panitia, kebagian jaga di pos
terakhir. Pemuda sipit itu menasehati Rio panjang lebar, karena ini kali
pertama Rio menjelajah hutan tanpa dirinya, ditambah malam hari. Dan Alvin tahu
betul, Rio paling payah membaca peta. Sayangnya hasil pengundian itu tidak bisa
diganggu-gugat, agar fair dan tidak terkesan nepotisme, Rio tetap harus jadi
ketua kelompok dan hanya dibekali alat bantu seadanya, sama seperti kelompok
lain.
"Iya-iya,
bawel deh lo. Udah yuk berangkat teman-temanku tersayang, hehe." Rio
nyengir kuda.
"Yo,
lo yakin ? Gue nggak mau ada apa-apa, beneran deh. Mending nggak usah aja ya,
entar gue mintain dispensasi."
"Lo
ngeremehin gue banget deh Vin."
"Ya
udah, tapi hati-hati Yo." Alvin menepuk pundak saudara tirinya yang
kemudian melangkah memasuki area hutan diiringi Shilla, Ify dan Gabriel.
***
3 komentar:
kak novia, kereeeen :)))) lanjutnya jangan lama-lama ya kak :D
lanjutnya jangan lama-lama lho kak.. penasaran akut .. ciiee tadi shilla dirangkul rio gitu.. haha aku malah senyum2 gara2 kak via sih--" keren kak.. o ya, janji tepatin ya kak di part 12 :p yang Rio-Shilla "J" ... hahahaha *malahnuntut* .. jangan lama, oke ? *banyak maunya*
_micke_
cerbung ter ter ter deh :D part 12 jangan lama ga sabar baca :) di jadiin novel lebih oke hehe
Posting Komentar