Jumat, 24 Juni 2011

Rahasia Orion Part 6

Rahasia Orion Part 6
"Bintang Jatuh"

***

"Sore Kia…"

Kia. Entah untuk siapa sapaan itu diucapkan. Tapi toh dua orang yang tengah duduk di gazebo itu sama-sama terongong.
Sore Kia. Dua kata itu di rapal riang oleh seorang gadis dengan terusan warna lilac, yang kini tengah melangkah menyusuri jalan setapak berdasar rumput teki hijau terang, menuju gazebo tempat Rio dan Alvin tertegun rapi. Gadis tadi menggigit bibir saat menyadari efek sapaannya untuk dua orang pemuda itu. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan, sadar bahwa nama itu tabu untuk di rapalnya. Ia tahu bahwa satu dari dua pemuda yang sama-sama memicing mata kearahnya, mempunyai history dengan nama itu. "Maaf ya, kelepasan..." Gadis manis berambut ikal itu berujar lirih sambil memetakan ekspresi menyesal.
Rio melirik Alvin yang kebetulan juga tengah mengintip siluet saudara tirinya itu lewat ekor mata sipitnya. Rio mengangkat bahu. 
Gadis tirus lantas ikut duduk bersama Rio dan Alvin di Gazebo kecil itu. Bangunan mungil yang merupakan bagian dari rumah mewah keluarga Haling itu, seperti apa yang pernah Shilla katakan, tampak sangat mirip dengan saung-saung di pedesaan. Kayu-kayu jati penyusunnya halus dan rapi meski tanpa pelitur. Lantainya yang terbuat dari bilah-bilah bambu akan selalu menyuarakan nada yang sama setiap kali di duduki, kreyot-kreyot. Ditambah dengan kentungan berbentuk cabai yang bergemelutuk saat tersentuh angin, dan samak (tikar) dari anyaman jerami-jerami kering yang di gelar disana, ah, gazebo ini jadi seperti saung yang dicomot langsung dari desa untuk melengkapi keunikan Rumah Besar.

"Gue baru buat brownies. Cobain ya." pinta Ify dengan wajah berbinar berusaha mencairkan suasana yang tegang akibat sapaannya tadi. Dibukanya tutup tempat kue yang di bawanya dengan semangat, "Cobain deh, enak nggak ?"
Rio dan Alvin saling berpandangan. Sebuat pertanyaan seperti tercetak jelas dan besar-besar pada kening kedua pemuda tampan itu, aman-nggak-ni ?
Mengingat track record Ify yang lebih sering gagalnya dibanding berhasil dalam memasak, akhirnya dengan enggan Rio dan Alvin meraih masing-masing satu kerat brownies buatan Ify. Setelah gigitan pertama, Rio dan Alvin kompak melahap sisa brownies di tangan mereka dengan sekali suap, lantas buru-buru ditelan tanpa menguyahnya lama-lama. Ketika potongan brownies itu berhasil melewati pangkal lidah, keduanya mendesah lega.

Ify menatapi kedua pemuda itu dengan siratan kecewa, "Segitunya sih kalian," katanya, ketus.

"Emm, sebenarnya nggak parah-parah banget kok, Fy. Cuma gue saranin, kalau lo mau belajar masak, mending dari yang gampang-gampang aja dulu." hibur sekaligus usul Rio, pemuda itu juga masih ketar-ketir merasakan pahit yang masih menempel pada lidahnya.

"Ya udah deh, ini biar gue kasih kucing aja." Ify segera merapikan dan menutup kembali kotak kuenya.

"Yakin kucingnya mau ?" celetuk Alvin, datar.

"Ih, lo jahat banget sih Vin, ngomongnya."

"Emang. Gue jahat dan Rio baik, semua juga bilang gitu." timpal Alvin, ketus.

"Udah Fy, jangan dengerin Si Alvin." Rio mengacak poni gadis yang memilih duduk di sebelahnya itu, "Eh, Fy. Katanya ada tugas bikin makalah Bahasa Inggris ya ? Buatin dong Fy, lo kan jago tu kalau buatin kayak gituan. Yayaya, buatin ya." pinta Rio.

"Hobi banget sih ngerepotin Ify, kenapa nggak minta buatin Shilla." cibir Alvin yang kini mulai terlihat sibuk dengan SLRnya.

"Eh, nggak pa-pa kok. Biar gue aja yang buatin." sergah Ify. Setidaknya dengan begini Ify merasa di butuhkan oleh Rio, "Oh iya, lo mulai masuk sekolah lagi, kapan Yo ?"

"Gue keasikan libur ni Fy, jadi malas sekolah. Hehe."

"Ck. Lo tu udah kelas XII, Mario. Jangan main-main gitu dong sama sekolah lo. Lo udah ketinggalan banyak materi tau, pokoknya gue mau paling lama lusa lo harus udah masuk. Kalau soal catat-mencatat, nanti gue sama Shilla bisa bantu." tutur Ify panjang lebar. Persis seperti seorang Ibu yang menasehati putranya agar tidak nakal dan harus rajin ke sekolah.

"Enak banget sih hidup lo, Yo." sahut Alvin, singkat.

"Ya, beginilah nasib orang ganteng, Vin. Apalagi gue orangnya suka nggak tegaan nolak bantuan dari orang lain. Hehe." Rio terkekeh, kedua matanya yang masih sipit selepas tidur siang, jadi tinggal segaris saat kedua ujung bibirnya ditarik membentuk senyum memukau, "Iya, gue bakal masuk, fy.”

***
Potongan puzzle itu mulai dikirim Orion...

Mungkin masanya telah tiba, sebuah rahasia harus dikuar. Seharusnya penemu kepingan puzzle itu berkenan untuk mulai merangkainya. Melongok pola hidup seperti apa yang sedang atau akan di susun oleh sang takdir. Jika dulu kaki-kaki kecil milik bocah-bocah cilik itu, bahkan belum cukup panjang untuk menjejak kulit bumi ketika mereka menunggangi sepeda kumbang Eyang kakung, kini kaki-kaki itu telah begitu kokoh menyokong tubuh masing-masing.
Sudah seharusnya, waktu mendewasakan lakon-lakon itu.
Liku hidup yang terlalui, semestinya membuat air mata mengkristal, tidak perlu ada tangis saat apa yang di harapkan tak sesuai dengan yang telah di gariskan.

Ternyata ada rahasia kecil, di Rumah Besar...

***
Ruangan itu kosong, dalam artian tidak ada manusia lain selain Shilla, disana. Tadinya gadis yang pandai memasak juga menyulam ini, berniat untuk duduk manis selama menunggu kedatangan Eyang Putri, yang katanya menunggu Shilla di ruang kerja Narendra Haling.
Tapi ternyata, sulit untuk menahan dirinya agar tidak menelusuri ruangan yang baru pertama kali dimasukinya itu, setelah sekian minggu menetap di Rumah Besar. Ruangan ini terkesan begitu misterius, sama seperti pemiliknya yang lebih sering berdiam khidmat dan memandang teduh pada Shilla, lewat kedua bola mata di balik kaca mata tanpa bingkai yang sering digunakan putra tunggal keluarga Haling itu.
Ada 3 lukisan dalam ruangan ini, dan ketiganya menampilkan objek yang sama, pohon kiara. Dengan daun-daunnya yang di pulas hijau cemerlang serta batangnya yang kecoklatan, terbingkai anggun dalam figura-figura yang cantik. Shilla jadi ingat, Rio pernah berkata bahwa Papanya sangat menyukai pohon Kiara.
Disisi lain ada lemari kaca besar, memuat puluhan buku-buku tebal yang kebanyakan judulnya berbahasa asing, dan satu set sofa warna karamel yang mengisi pojok kanan ruangan ini. Penerangan yang minim, serta dominasi warna kecoklatan, mempertegas kesan tenang dan tersembunyi.
Shilla mundur teratur, sambil mengamati foto Rio kecil (balita tepatnya) bersama Papa dan Almarhummah Mamanya yang dipasang didinding, bersisian dengan piagam penghargaan untuk Narendra S. Haling sebagai pengusa muda terbaik, yang di anugrahkan beberapa tahun silam pada pria itu. Wanita itu. Yang menggendong bayi Rio, Shilla seperti sudah pernah melihatnya. Tapi enyah dimana. Tanpa sengaja, lengan gadis itu menyenggol sebuah buku tebal bersampul merah hati dengan gambar bendera Perancis. Buku itu jatuh berdegam, selembar foto keluar dari dalamnya. Shilla meraih foto itu, keningnya lantas berkerut rapat. Itu adalah potret Shilla cilik bersama Ibunya, "Kok om Haling punya foto ini ?" gumamnya pelan, satu pertanyaan baru tiba-tiba tercetus dalam benaknya, "Narendra Haling. Kayaknya pernah dengar nama itu, tapi dimananya ?"

Tap-tap-tap

Dentum suara sepatu yang kian jelas, mengisyaratkan seseorang telah berjalan mendekat kearah ruangan ini, dan itu pasti Eyang Putri. Dengan asal Shilla meletakkan foto dan buku tadi, "Mungkin Ibu pernah menyebut nama itu, wajar kan ? om Haling kan sahabat dekatnya." begitu fikir Shilla.
Gadis yang mewarisi mata jernih Sang Ibu itu, ternyata tidak mau repot-repot menyusun potongan puzzle yang telah di kirimkan Orion. Ia lantas duduk manis di sofa dan berlagak asik membolak-balikkan majalah flora yang di sambarnya dari kolong meja kecil dihadapannya, tidak berminat untuk tahu lebih banyak lagi, mengenai foto atau pun hal-hal lain yang berkenaan dengan hubungan persahabatan Sang Ibu dengan Narendra Haling.

"Mengurus rumah saja tidak becus. Rumput sudah setinggi itu tapi tidak di rapikan. Jam segini dapur masih seperti kapal pecah. Dasar pemalas semua." gerutu Eyang Putri yang baru saja masuk, seraya mengibas-ngibaskan kipas lipatnya di depan wajah.

Shilla tersenyum kalem, "Ada apa Eyang ?" tanyanya, basa-basi.

"Eh, Shilla, sudah lama ?"

"Shilla juga baru datang kok. Eyang ada apa cari Shilla ?"

"Oh, tidak apa-apa, Shil. Eyang hanya ingin ngobrol denganmu. Tidak ke beratan bukan ?"

Shilla menggeleng.

Eyang Putri kembali bersuara, setelah sebelumnya merapikan tatanan rambutnya yang tergelung anggun, "Kamu betah tinggal disini, Nak?"

"Betah Eyang. Betah sekali. Semua baik sama aku."

"Bagus kalau begitu," wanita tua itu merapatkan punggungnya pada sofa, "Rio juga sepertinya menyukai kehadiranmu. Kalian terlihat cukup akrab. Sejak Rendra memutuskan untuk menikah lagi, setahun yang lalu, anak itu jadi pemarah dan sensitif. Tapi setelah kamu tinggal disini, saya lihat Rio jadi lebih sering tertawa dan jarang marah-marah. Sifat manjanya juga sepertinya mulai hilang."

Shilla menarik satu ujung bibirnya, "Hilang dari mana coba ?" batinnya sarkatis. Mengingat beberapa malam yang lalu Rio merajuk di depan pintu kamarnya hanya untuk meminta Shilla menemaninya makan malam, padahal waktu itu Shilla sedang asik bermimpi candlelight dinner bersama pangeran tampan dari negeri antah-berantah, "Lo nggak makan juga nggak pa-pa, temenin gue aja." begitu seloroh Rio, dengan ekspresi anak kucing manis meminta semangkuk susu.

Atau Rio yang entah dengan alasan apa, hanya mau digantikan perban lengannya oleh Shilla saja. Itu pun harus extra pelan, atau pemuda itu dengan berlebihan, akan mengaduh kesakitan.
Tapi anehnya, Shilla selalu senang melakukan apapun yang Rio minta. Ia tak pernah merasa keberatan atau pun merasa di repotkan untuk itu semua. Tanpa sadar Shilla menggeleng malu-malu, bibirnya tersenyum tipis.

"Kenapa Shil ?"

"Eh, emm... Enggak Eyang, nggak pa-apa."

"Oh iya, saya dengar dari Rendra, Ibumu telah meninggal. Saya turut berduka cita ya. Lalu bagaimana kabar Ayahmu sekarang ? Dimana dia tinggal ?" tanya Eyang Putri hati-hati, seolah kata-katanya ibarat jarum yang salah-salah bisa memecahkan sesuatu yang telah di jaga dengan begitu apik.

"Ayah sudah meninggal sejak aku kecil, Eyang."

"Meninggal ?" mata Eyang Putri melebar seketika seiring dengan mulutnya yang ternganga.

"Kenapa ? Apa Eyang juga mengenal Ayahku ?"
Eyang Putri mengulur napas panjang, "Ti…Tidak. Saya tidak mengenal Ayahmu. Saya hanya mengenal Lisha, dia perempuan yang sangat baik dan menyenangkan. Dia juga cantik sepertimu."

Shilla hanya mengangguk kecil. Sudah banyak yang berkata demikian padanya. Bahwa Shilla memang sangat mirip dengan Ibunya. Shilla lebih senang menggerai rambut panjangnya, sama seperti Lisha. Warna kulit kuning langsat dan bibirnya yang merah alami, serta bulu matanya yang lentik, juga benar-benar di warisi dari Sang Ibu. Bukan hanya soal fisik, sampai masakan dan warna favorit pun Shilla idem dengan Lisha.

"Oh, iya kamu boleh menyimpan foto ini." Eyang Putri mengulurkan selembar foto yang baru saja diambilnya dari meja kerja Haling. Kertas bergambar itu mengabadikan dua lengkungan senyum milik Lisha dan... Narendra Haling. Shilla merasa belum pernah melihat Ibunya tersenyum begitu bahagia seperti dalam foto di tangannya.

Shilla mengamati kertas bergambar itu dengan heran, sebetulnya seberapa dekat Ibunya dengan Haling. Kenapa Haling tidak pernah mengunjungi Ibunya dulu ?

Saat gadis cantik itu mengangkat wajahnya kembali, di dapati seraut senyum pada wajah Eyang putri, "Foto itu sebagai bukti bahwa Mahesa dan Rendra bersahabat, tidak berarti apa-apa. Saya hanya ingin setelah melihat foto itu, kamu tidak perlu merasa sungkan terhadap keluarga ini. Kami semua menyayangimu, sama seperti kami menyayangi Lisha." terang Eyang Putri, "Dan mengenai Ayahmu. Yakinlah, walaupun dia tidak memelukmu, mengantarkanmu kesekolah, atau pun membelikan kado saat ulang tahunmu, tapi Ayahmu juga pasti sangat menyayangimu juga." imbuhnya dengan suara bergetar, seperti menahan tangis.

Siapa pula yang tak merasa sakit, saat menerima kenyataan, belasan tahun seorang anak terpaksa hidup dalam kebohongan, hanya karena perjanjian konyol, yang terabaikan.

***
Horisan tanpa pulasan jingga. Senja mulai merayap, tapi mendunglah yang berkuasa. Matahari pulang ke peraduannya di giring gulungan awan hitam. Rintik gerimis mulai luruh satu-persatu. Menimbulnya denting, ketika beradu dengan genting-genting bangunan ini. Membuat bercak-bercak gelap padan jalana beraspal diluar sana. Hawa dingin mulai ikut ambil bagian, menusuki setiap pori-pori kulit, mengayun-ambing setiap insan agar segera merapat dengan kasur dan selimut tebal.

Ify mendesah pelan, "Setengah enam." katanya, setelah melirik jam tangan merah muda senada bando dan tas selempang yang ia kenakan.

Gadis manis itu segera menggerakan kursor dan melakukan beberasa prosedur untuk mematikan laptopnya. Setelah selesai, Ify lantas merapikan serakan kertas-kertas penuh coretan yang memenuhi meja di hadapannya.

Semuanya sudah rampung, dan Ify baru menyadari sekelilingnya, sangat sepi dan mulai temaram, "Kayaknya udah nggak ada orang di sekolah."

Ify baru saja menyelasaikan cerita bersambung yang kelanjutannya harus segera di setorkan ke Aruna, lusa. Dan untuk menulis dengan tenang, tentu tidak bisa dilakukannya dirumah. Ayahnya sangat tidak suka melihat Ify menekuni dunia tulis-menulis, dunia yang sebetulnya bisa membuat Ify merasa sangat bahagia.
Sebetulnya, Ify mempunyai satu impian. Impian yang sama sekali tidak berkenan Ayahnya untuk sekedar mendengarkannya. Ya, mendengarkan kemauan Ify akan jadi hal terakhir yang ingin di lakukan Sang Ayah dalam hidupnya.
Masuk jurusan bahasa dan ambil fakultas sastra untuk kuliahnya, itulah sebenarnya impian Ify. Tapi tentu tidak akan pernah terwujud, karena ia merupakan salah satu dari beberapa orang yang tidak diperbolehkan bermimpi dan memilih oleh Sang Takdir. Kalau untuk kebanyakan orang, hidup adalah suatu pilihan, maka untuk Ify kehidupan tak lebih dari sebuah keharusan yang menjenuhkan.
Kalau di rumah, gadis itu harus bermain kucing-kucingan dengan Sang Ayah, setiap ingin mengasah bakat menulis Ify yang didapat dari Bunda tercintanya. Ayah Ify menginginkan putri semata wayangnya menjadi seorang dokter, dan itu sudah tidak bisa ditawar lagi. Kadang Ify berfikir, hidupnya sama sekali bukan miliknya, ia tak lebih dari seorang robot yang dipaksa melakukan banyak hal untuk membahagiakan orang lain, bukan untuk kebahagiaan dirinya sendiri.

Ceklik

Glek. Ify menelan ludah. Detik berikutnya, rasa panik mengbungkus rapat tubuhnya yang mematung.

Pintunya terkunci. Sepertinya petugas sekolah tidak melihatnya didalam saat mengunci semua pintu ruangan.

Ify segera mengaduk-ngaduk isi tasnya, mencari benda mungil, produk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari, kian canggih. Setelah mendapatkan handphonenya, Ify berniat menghubungi Alvin, tapi kemudian teringat isi sms yang di kirimkan pemuda itu beberapa waktu yang lalu.

Gue mau hnting foto k kta tua. Mau ikt g?

"Pasti Alvin belum pulang." batin Ify. Dengan cepat, otaknya mengusulkan satu nama, di tekannya beberapa tombol pada keypad handphonenya lalu benda mungil itu di dekatkan ke telinga, "Halo Yo, lo dimana ? Oh, Ok. Ok. Sama supir kan ? Yo, jemput gue, please..... Gue masih di sekolah... Ke kunci di ruang OSIS..... Iya, ya udah, buruan ya Yo.... Gue takut ni, disini sepi banget. Ok. Gue tunggu."

Ify menghela napas lega, Rio bilang sedang ditaman kota. Kalau tidak terjebak macet, dalam waktu 15 menit, seharusnya pemuda itu sudah sampai di sekolah. Ify mencoba untuk tenang, ia memilih duduk di salah satu kursi yang paling dekat dengan pintu.
Sebentar-sebentar gadis itu melirik jam tangannya. Sudah 15 menit, tapi Rio belum juga datang. Langit di luar sana bertambah gelap. Guyuran hujan menjajah bumi tanpa ampun. Ify semakin ketakutan, wajahnya pucat pasi, ketika di dengar bunyi kresek-kresek dari dalam lemari besar tempat beberapa arsip lawas di simpan. Kilat memainkan perannya, membelah langit dengan cahaya biru keunguan. Di susul guntur yang ditabuh bersahutan bak genderang perang Negeri Indraprasta dan Gandara. Membuat Ify terlonjak kaget dan semakin was-was. Di tambah lagi dari luar terdengar bunyi langkah-langkah kaki. Padahal tidak ada deru mobil yang datang sejak tadi. Mulut Ify terus berkomat-kamit merapal doa, lengannya memilin-milik rok dengan gelisah. Suara langkah kaki itu kian dekat kearah Ruang OSIS. Suara apa itu ? Rio kah atau.....

"KYAAA... Bukain dong, gue mohon. Siapa pun, tolong bukain. Ya Tuhan lindungi hamba. Toloong..." Ify berteriak sekencang mungkin, sambil menggebrak-gebrak daun pintu yang masih tertutup rapat.

Sedangkan diluar, tak jauh dari Ruang OSIS, Gabriel tertegun. Menatap langit yang dengan brutal tengah mencurahkan hujan. Pemuda yang menjabat sebagai ketua ekskul jurnal itu, baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai editor majalah Aruna. Ketika hendak pulang, hujan deras malah menghadangnya.
Lamat-lamat Gabriel mendengar teriakan panik yang di serukan Ify. Sedikit enggan, Gabriel mencari sumber suara itu. Dalam hati, ia mengucap doa. Semoga yang di dengarnya adalah benar suara manusia. Bukan makhluk halus, jin atau saudara-saudaranya.

"Ify ? Yang didalam kamu, Fy ?" tanya pemuda itu, setelah memastikan bahwa teriakan tadi berasal dari Ruang OSIS. Gabriel yakin, yang tadi di dengarnya adalah suara Ify. Percuma mengagumi Ify hampir dua tahun kalau suara manja khas gadis itu saja , ia tidak mengenalinya.

"Iya Yel, ini gue. Tolong bukain, gue ke kunci." sahut suara dari dalam.

"Ok. Ok. Kamu minggir ya Fy. Pintunya biar aku dobrak."

Pemuda itu mengambil ancang-ancang. Dengan kekuatan penuh, dibenturkannya tubuh bagian kanan pada pintu, beberapa kali. Pada kali ketiga, pintu baru terjeblak terbuka. Bersamaan dengan itu, Rio datang bersama Shilla dan supirnya. Tanpa aba-aba apaun, Ify yang telah berhasil keluar dari ruangan yang hampir membuatnya mati ketakutan tadi, lantas berlari melewati Gabriel dan langsung menubruk tubuh tegap Rio. Pemuda itu sampai terhuyung beberapa langkah kebelakang. Ify menumpahkan tangisnya pada dada bidang Rio, memeluk pemuda itu dengan kedua tangannya yang gemetar, "Rio... Rio.." nama itu beberapa kali terdengar diucap dengan lirih, di sela tangis ketakutannya.

Gadis yang mahir berbahasa Belanda itu, entah terlalu sibuk menangis atau masih di dera kepanikan, sampai-sampai ia melupakan dua hal yang sebenarnya cukup krusial.
Pertama, ia lupa mengucapkan terima kasih pada orang yang menyelamatkannya tadi. Karena sialnya, dewa penolong itu bukan seperti apa yang diharapkan Ify, dia bukan Rio, bukan Rio.
Kedua, seharusnya ia menyadari, bahkan Rio tidak bereaksi apapun setelah Ify menangis tersedu-sedu di dekatnya. Tidak balas merangkul atau mengelus lembut rambut Ify, bahkan kedua bibirnya masih terkatup rapat. Tidak ada kalimat-kalimat penenang yang seharusnya di dengar Ify. Lengan kanan pemuda itu tergantung di samping tubuhnya, sedang yang lain masih bertautan dengan jemari gadis cantik yang menatap Ify dengan ekspresi yang sulit diartikan. Oh, mungkin Rio bereaksi. Ya, reaksi yang bisa di sebut penolakan, barangkali. Rio tamp[ak sekali kurang nyaman mendapat pelukan dari gadis yang hampir selama 6 tahun menjadi sahabatnya itu.
Tanpa ada yang mencoba untuk mendengarnya, malam ini, ada tiga tangisan yang mengguyur bumi. Tangisan langit, tangisan Ify dan tangisan sebentuk hati milik Gabriel. Ia merasakan denyutan menyakitkan yang mengoyak hatinya, membuat kakinya harus mengeluarkan kekuatan extra untuk tetap dapat berdiri tegak. Nyeri itu ternyata bukan hanya pada tubuhnya yang berkali-kali bertumbukan dengan pintu, tapi juga pada hatinya.
Apa disaat sepanik itu, Ify masih sempat memilih atau memang nalurinya yang bekerja ? Naluri, dimana hanya ada nama Rio yang terpahat begitu dalam, disana.
Kenapa ia tidak pernah diinginkan oleh semua orang, seperti Rio ?
Kenapa gadis itu selalu mengabaikannya, setiap kali ada Rio ?
Sebenarnya, apa dosa yang pernah dilakukannya pada pemuda itu , mengapa Rio selalu menghancurkan kehidupannya ?
Air langit boleh saja luruh, udara boleh saja dingin, tapi tidak dengan hati Gabriel. Setelah apa yang di lihatnya, saat Ify berlari melewatinya. Saat Ify merengkuh tubuh milik pemuda lain. Saat Ify lebih memilih menumpahkan tangisnya di dada Rio. Ah, mungkin Gabriel akan belajar merelakan Ify bersama Rio, kalau saja Rio bisa menjaga dan menyayangi Ify. Tapi sekarang lihat saja, pemuda itu malah bergeming, "Lo brengsek, Yo." tutur hatinya.

Potongan adegan-adegan tadi, bagai api yang kemudian menyulut bambu-bambu kebencian. Asap kemarahannya mengepul dan membuat sesak. Menyisakan jelaga yang kian berkerak, membuat sebentuk hati itu makin gelap dan menyedihkan.

***

"Lo suka bintang ya ?" suara baritone Rio terdengar kembali, setelah beberapa menit terlewati dalam diam.

Ah, tapi tak selamanya kata-kata itu penting, bukan ? Kadang diam, bisa lebih pandai bercerita dan mengungkap apa yang oleh lisan sulit terungkap. Ada deburan kecil yang menggetarkan jiwa, saat dua telaga beningnya melirik siluet cantik milik Shilla dan Rio baru menyadari itu. Rio juga baru tahu, duduk berjam-jam bersama Shilla tidak pernah membuatnya bosan, walaupun keduanya lebih banyak diam dan hanya memandangi langit gelap dengan bintang-bintang yang jumlahnya tidak begitu banyak.

"Nggak." jawab gadis yang duduk disamping Rio, sambil memeluk lututnya.

"Kalau gitu lo pasti suka bulan ?" tanya Rio, lagi.

Yang diajak bicara, hanya menjawab dengan gelengan kepala. Sepertinya, gadis itu tengah berkonsentrasi penuh mengamati langit kelam yang memayungi bumi, malam ini. Seolah-olah ada sesuatu yang amat penting yang akan muncul dari langit dan ia akan sangat menyesal kalau sesuatu itu terlewat.

"Terus, kenapa lo ngeliatin langit sampai segitunya ?"

Tanpa menoleh, gadis yang mengenakan piama biru tua dan sendal kelinci lucu itu menjawab, "karena aku suka malam.”

"Malam ?" Rio melirik gadis di sebelahnya dengan kening berkerut tipis, "Kenapa ?" lanjutnya, bertanya.

"Karena, kalau malam, nggak ada matahari. Nggak ada surya."

"Haha," Rio tertawa mendengar penuturan gadis di sebelahnya, "Ya iyalah Shil, di belahan bumi manapun kalau lagi malam pasti nggak ada matahari. Alasan lo aneh deh." cibir Rio.

Shilla menoleh, mencondongkan kepalanya sedikit ke kanan. Mata indahnya berkilau, memantulkan cahaya bulan sabit yang bercokol anggun di peraduannya. Ditatapi pemuda tampan itu dengan seksama, "Tapi buat aku nggak sesederhana itu Yo." sahutnya, "Matahari itu surya, surya itu matahari. Dari kecil aku nggak suka matahari, karena tiap liat matahari aku selalu ingat Ayah. Ayah jahat, dia pergi bahkan sebelum aku punya sesuatu tentang Ayah, yang bisa aku kenang." tutur Shilla seraya menerawang. Menenggelamkan diri dalam genangan kisah manis yang kemudian jadi tangis miris saat Sang Ibu pada akhirnya juga harus berlutut takluk pada maut.

"Tapi itu kan takdir, Shil. Siapa sih yang mau mati ? Nggak ada, termasuk Ayah lo."

"Pada awalnya aku juga berfikir kayak gitu, tapi setelah aku dewasa, aku rasa ada yang aneh. Aku dan Ibu nggak pernah dapat kunjungan dari keluarga Ayah. Mungkin kami adalah orang-orang yang nggak pernah di harapkan kehadirannya di kehidupan Ayah. Mungkin aja Ayah tinggalin kami gitu aja, tapi Ibu tutupin semuanya dari aku, bisa aja kan ?"

"Lo terlalu banyak nonton sinetron deh Shil. Dugaan lo itu berlebihan."

"Kamu bisa bilang gitu, karena kamu nggak tau gimana rasanya nggak punya Ayah. Ayah kamu baik dan sayang banget sama kamu." ujar Shilla, tertahan. Suaranya bergetar, ia sudah ingin menangis. Tapi tidak, tidak di depan Rio lagi.

"Hei." Rio membentangkan kedua tangannya, kemudian merengkuh Shilla menyandarkan kepala gadis itu pada pundaknya, "Jangan sedih gitu dong. Mulai sekarang, Papa gue itu Ayah lo. hibur Rio, sehalus mungkin.

Shilla tersenyum bahagia. Tuhan memang maha adil. Shilla fikir setelah Ibunya meninggal ia akan merasa sendiri dan kesepian, tapi ternyata di tempat yang baru ini, Shilla menemukan begitu banyak orang-orang yang peduli dan menyayanginya.

"Bintang jatuh, Yo." Shilla menarik tubuhnya dari pelukan Rio, ia menunjuk kelebatan cahaya keperakan yang meluncur cepat dari langit, "Make a wish." seru gadis itu, ia sudah lebih dulu menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan memejamkan mata, bibir tipisnya bergerak-gerak merapal sesuatu. Rio malah asik memandangin Shilla yang dengan naifnya masih percaya pada keajaiban yang dibawa bintang jatuh. Pemuda itu tersenyum kecil, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Beberapa waktu kemudian, Shilla telah usai dengan acara 'make a wish' nya. Diusapkan kedua telapak tangannya kewajah, sambil bergumam, "Amin."

"Masih percaya Shil, sama yang begituan ?" tanya Rio.

Shilla menggeleng, "Nggak juga sih, tapi lucu aja gitu. Hehe. Eh, kamu tadi minta apa ?" tanya Shilla dengan nada riang, sepertinya ia sudah melewati fase-fase mellow pasca mengingat Ayahnya, tadi.

"Minta supaya mama selalu bahagia dan di kasihi Tuhan." jawab Rio asal, karena jelas-jelas ia tidak meminta apapun tadi, malah sibuk menatapi profil Shilla. Tapi ia tak sepenuhnya mengarang, permintaan seperti yang Rio sebutkan tadi memang selalu di rapalnya. Ada ataupun tidak ada bintang jatuh, Rio selalu mendoakan Mama tercintanya.

"Itu aja ?"

Rio mengangkat kedua alis tebal yang melintang diatas kedua bola matanya, "Emang lo kira, gue mesti minta apa lagi ? Gue udah punya semuanya. Jadi orang kan nggak boleh serakah Shil, nanti Tuhan marah. Gitu kata Mama, dulu." papar Rio.

Shilla mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada dagu, "Iya juga sih, kamu mau minta apa lagi coba, kamu udah punya segalanya." aku Shilla.

"Kalau elo ?"

"Emm... Kalau aku punya dua permintaan. Pertama aku minta supaya Mama selalu bahagia dan nggak perlu ngerasani sakit lagi kayak dulu. Dan yang kedua, aku minta..." Shilla menggantung kalimatnya sampai disitu, tiba-tiba saja wajahnya terasa panas. Sepertinya darah sedang melakukan keduri pada kedua pipinya, hingga kini merona merah, "Aku minta... Aku.. Minta Kamu.." selesai berujar demikian, Shilla berdiri lantas berjalan meninggalkan gazebo yang mulai rutin mereka kunjungi setiap malamnya sejak satu pekan terakhir.

"Shil, mau kemana ?" tanya Rio. Pemuda itu sebetulnya masih sedikit bingung mengartikan 'aku-minta-kamu' nya Shilla tadi. Seharusnya ada kalimat penjelas setelah tiga kata itu, misalnya aku minta kamu jadi kakakku, atau aku minta kamu jadi teman aku, sahabatku, pacarku, atau aku minta kamu menemaniku, pokoknya kalimat penjelas lah. Bukan sekedar pernyataan gantung seperti yang Shilla ucapkan.

"Kedalam. Aku ngantuk. Lagian udah malam." jawab Shilla, yang sudah sampai pada jembatan kecil yang merentang diantara kolam ikan besar di salah satu sudut halaman Rumah Besar.

"Oh, good night kalau gitu."

"Night too."

Shilla langsung berlari kecil, memasuki Rumah Besar. Selepas kepergian Shilla, Rio tertegun. Ia menyadari, ada sesuatu yang tidak biasa yang sedang terjadi pada dirinya. Dulu Rio pernah memohon satu permintaan, agar Tuhan membiarkannya jatuh cinta lagi, setelah kepergian Acha. Dan mungkinkah apa yang ia rasakan pada Shilla adalah jawaban atas doanya selama ini?

Pluk

Sebuah pesawat dari kertas, entah berasal darimana tiba-tiba saja mendarat mulus tepat diatas punggung Rio. Rio lantas menoleh, diraihnya pesawat kertas itu, "Ada tulisannya," gumam Rio.

Anggaplah ini analogi.
Adakah sama ulat dengan perasaanku, Rio ?
Ulat itu menjijikkan. Kalau kamu janjikan kelak ia akan jadi kupu-kupu cantik, ulat itu rela meluangkan waktunya, lebih dari yang pernah diluangkannya. Ulat itu bersedia ditutup, diselubungi serat-serat lapisan kepompong. Disembunyikan dulu sebelum akhirnya jadi indah.
Tapi kalau kamu tidak bisa berjanji bahwa kelak ulat itu akan jadi kupu-kupu. Biarkan saja ia mati. Jangan peduli. Jangan beri daun-daun harapan yang hanya akan membuatnya tumbuh kian besar dan tambah menjijikkan.
Pun dengan perasaanku Rio, adakah kamu mau menyadarinya. Di alam mimpi pun tak apa, mau kah kamu menjanjikan aku sesuatu ? Agar ada alasan buatku menunggu lebih lama, karena sejujurnya, aku belum ingin menyerah.

Rio membaca tulisan yang menyemut rapi, mengisi pesawat kertas tadi, "Rio ? Rio gue ? Tapi siapa yang nulis ini ?"

***

"Kalian berdua kan sudah kenal dekat dengannya, bagaimana ?"

"Lupakan dia Vin, Mama hanya ingin kamu bahagia. Ini masa depanmu. Dan manusia hidup untuk masa depan, bukan bertahan dengan masa lalu."

"Menurut Rio itu konyol, pasti rasanya aneh."

Dalam balutan diam, dialog-dialog itu justru kegirangan. Seperti mendapat sound terbaik untuk terus berdengung, mengusik Alvin.
Seperti teratai yang mengapung pada permukaan air, kemudian dilempari kerikil, setika ia jadi oleng. Alvin ingin berkata tidak, tapi rasanya sulit sekali. Ah, benar-benar tidak enak. Gamang. Tak ada yang jelas dan pasti.
Semua jadi seperti tebak-tebakkan. Ia bisa saja bahagia, tapi tidak tertutup kemungkinan, Alvin akan menyesali keputusannya di kemudian hari. Kenapa sih, Alvin tidak bisa seperti Rio yang mulutnya benar-benar mewakili hatinya. Sedangkan ia, terlalu banyak berfikir dan menimbang.
Pemuda berwajah oriental itu, terduduk dikusen jendela kamarnya. Sepertinya Alvin berniat menghabiskan sisa malam disitu. Saat ditatapnya langit dengan pandangan nanar, dua bola mata sipinya menangkap kelebatan cahaya keperakan dari langit, Alvin segera merapal doa dalam hatinya. Sebetulnya, ia tidak percaya dan menganggap hal ini konyol, tapi untuk kali ini, ia benar-benar berharap bintang jatuh atau apapun yang baru saja dilihatnya itu dapat membawa sebuah keajaiban untuk hidupnya.

“Apa ini saatnya aku lupain kamu, Aya?” 

***

"Love you, dear."

"Me too."

klik.

Sambungan telepon terputus. Ify tersenyum lebar sesudahnya. Mendengar suara penelpon tadi, suara Bundanya, memang benar-benar bagai mereguk air es teh manis favouritenya, di tengah Sahara.

"... Juara tidak selalu yang pertama atau yang terdepan, Ify. Tapi mereka yang berjuang sungguh-sungguh dan mereka yang bersabar juga seoarang juara..."

Kalimat itu adalah bagian dari dialog yang dilakukan via telepon oleh Ify dan seseorang di seberang sana, barusan. Gadis itu berniat kembali menata hatinya, menjadikan kata-kata tadi sebagai pondasi. Harapan yang ia bangun selama ini, tidak boleh porak-poranda, hanya karena gadis desa seperti Shilla.
Tadinya Ify sempat berfikir Rio tidak lagi peduli padanya setelah ada Shilla, karena selama perjalanan pulang setelah Ify terkunci di Ruang OSIS, Rio malah lebih banyak bergurau dengan Shilla dibanding menanyakan bagaimana keadaannya? Tapi fikiran itu segera ditepis, ketika pesan singkat yang di kirimkan Rio, masuk dalam list inbox nya.

Gue khawatir, Fy. Lo gk pa-pa kan?


Meski terkesan terlambat, tapi tak apa, toh pesan itu tetap mampu membuatnya sedikit merasa lebih baik. Ify mengulas senyum simpul, seraya memandangi LCD ponselnya. Ia beringsut bangun dari posisi tengkurap di kasur empuk ber-bed cover gambar bunga-bunga lavender itu, lantas beralih duduk di depan meja belajarnya. Ada tumpukkan buku-buku, alat-alat tulis, frame foto, dan pernak-pernik lainnya. Tepat diatas meja bercat pastel itu, tertempel jadwal pelajaran kelas XII MIPA 1.
Gadis pendiam itu, kemudian menggerakkan jari-jari lentiknya, meraih secarik kertas yang tadi sudah dibubuhi beberapa kalimat dengan tinta hitam. Kertas itu, dilipatnya membentuk sebuah pesawat mainan. Simpul-simpul lipatan itu dengan rapi membentuk pesawat kertas yang lucu. Dengan langkah pelan, Ify berjalan menuju balkon kamarnya. Balkon di seberang sana masih menyala lampunya, berarti pemiliknya masih terjaga.

"Bintang jatuh," desis gadis manis itu, ketika cerca sinar keperakan itu terlihat olehnya, meluncur membelah langit malam, "Bintang bawa surat kecil ini pada orang yang memang pantas membacanya." pinta Ify dalam hati. Lantas di terbangkanlah pesawat kertas itu, lalu di pandangi hingga menghilang.

"Ify..." suara berat seseorang menyerukan nama gadis yang tengah asik melamun di balkon kamar itu.

Ify menoleh.

***


1 komentar:

Rulita Sani H mengatakan...

kakak tingkat penasaran aku udah tingkat dewa nih :)
penyampaian kalimatnya membuat penasaran,kaena sesuai judulnya RAHASIA orion, jadi banyak rahasia yang buat aku gak bisa tidur.. aku udah ngerti alurnya, lho? wkwk lanjut kak.. liburannya jangan kelamaan.

maff baru komen juga

Posting Komentar