Rahasia Orion Part 2
"Tante, Bukan
Mama"
***
Shilla masih terlongo-longo. Benar kata Pamannya dulu, Jakarta tidak pernah tidur. Waktu telah beranjak setengah jam dari pukul sembilan malam. Tapi jalan-jalan raya di kota ini sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan sepi. Lampu-lampu gemerlapan disana-sini, melumpuhkan fungsi benda-benda langit yang seharusnya berpijar terang ketika malam. Gedung-gedung bertingkat berdiri kokoh, seolah ingin berlomba mencakari langit-langit Jakarta. Dan belum usai keterkesimaan Shilla, ia lagi-lagi ternganga lebar, saat mobil yang ditumpanginya memasuki komplek sebuah perumahan. Komplek perumahan ini pastilah termasuk kawasan elite, terlihat dari kebersihannya, lalu pohon-pohon di sepanjang jalan yang terawat rapi. Gapura depan yang indah, bertulis Orion Estate.
Semua bangunan di komplek perumahan ini, benar-benar mewah.
Terlihat bahwa keseluruhannya dibangun dengan perhitungan matang
arsitek-arsitek handal. Tapi tetap saja, rumah yang ada di depannya ini adalah
yang paling indah, yang paling cantik di banding yang lain. Rumah 3 lantai itu
tidak terlalu besar, cukup manis dan sederhana, yang membuatnya unik dan
berbeda adalah halamannya. Shilla bahkan sempat berfikir, itu bukan halaman sebuah
rumah, melainkan taman nasional, kebun raya, atau sebagainya.
Dari pintu gerbang menuju rumah, yang menjadi titik pusat
tempat ini, sebelumnya, harus melewati jalan dengan batu-batu kerikil hitam.
Tanaman mandeville, dengan bunganya yang putih terjuntai dan daun-daunnya meliuk-liat
pada batang-batang besi berwarna putih membentuk kanopi, memayungi jalanan
tadi.
Meski
dalam remang malam, Shilla masih bisa menangkap ada beberapa pohon apel di
halaman itu. Tidak jauh dari rumah, ada juga gazebo yang atapnya dibuat dari
jerami-jerami kering. Dibeberapa titik, tersebar pohon-pohon Kiara. Ada juga
rumpun tanaman Tebu disudut-sudut halaman rumah ini dan yang paling menarik
adalah tumbuhnya satu pohon berbunga orange menyala, pohon Flamboyan.
Disisinya
yang lain, terdapat rumah berukuran sedang seperti terbuat dari kaca sepertinya
berisi bunga-bunga cantik. Dari komposisi warna-warni yang sangat harmonis,
Shilla yakin, halaman ini pun hasil dari tangan dingin arsitek handal.
"Hei! Kok bengong sih?" suara baritone sekaligus tepukan pelan dipundaknya, membuat Shilla terkejut.
"Eh, iya. Kenapa?"
"Lo, kenapa bengong?"
"Hehe. Nggak kok. Nggak apa-apa. Aku terpesona aja sama rumah kamu. Hehe." balas gadis itu, jujur. Sambil melempar seringai lebar.
Sejurus kemudian, ia lagi-lagi ternganga. Shilla memutar kepalanya, mengamati keadaan sekelilingnya. Sejak kapan ia memasuki rumah ini? Pasti saking asyiknya memikirkan betapa 'wah'nya halaman rumah keluarga Haling, Shilla sampai tidak menyadari kakinya sudah berpijak dan menyusuri keramik-keramik mengkilat, lantai rumah ini, sejak tadi. Ia dan Rio kini sedang meniti anak-anak tangga menuju lantai atas.
"Eh, Yo... Em... Kita mau kemana ?"
Rio menghentikan langkahnya, menoleh pada Shilla yang tertinggal dua undakan darinya, "Ke kamar lo, lah." jawab Rio.
"Oh," Shilla mengangguk faham, "Eh, itu biar aku aja yang bawa." Shilla mengulurkan tangannya, meminta tas hitam berisi baju-bajunya yang tengah dijinjing Rio.
"Walaupun badan gue kurus, kalau cuma bawa ginian doang gue kuat kok." timpal Rio, asal. Pemuda yang didaulat Papanya mengantarkan Shilla ke kamar itu, terus berjalan mendahului Shilla.
"Rumah kamu unik banget ya, Yo." ungkap Shilla.
"Halamannya maksud lo?"
"Semuanya sih, kayaknya
natural banget. Nuansa alamnya berasa banget."
"Dari buyut sampai Papa-Mama gue, maniak banget sama yang berbau alam-alaman gitu. Gue yakin ni ya, kalau gunung bisa dipindahin, mereka dari dulu pasti bakal taruh di belakang rumah. Papa malah dulu punya ide gokil piara hewan-hewan gitu, tapi dibiarin hidup bebas tanpa kandang." tutur Rio yang sekarang mulai menarik kenop pintu bertulis Krisan Room, di depannya.
"Pantesan alam banget. Itu dinding-dinding yang di teras juga lucu banget, dari pecahan batu-batu kali asli ya, gazebonya juga. Mirip banget sama saung di desaku."
Rio tersenyum tipis, menanggapi antusiasme Shilla bercerita tentang rumahnya yang memang selalu menuai kagum orang-orang yang baru pertama kali mengunjunginya. Apalagi kalau bukan karena halamannya dan desainnya yang 'alam banget' itu, "Besok gue ajak lo keliling-keliling deh. By the way, ini kamar lo. Kuncinya gue taruh sini ya." Rio menaruh sebuah kunci diatas meja rias dekat sebuah lemari besar.
"Hah ? Serius ? Ini kamarku ?" tanya Shilla tak percaya, "Luas banget !!"
"Masa sih? Perasaan yang paling Luas itu kamar gue deh." timpal Rio santai, memasang tampang sok polos.
"Iya, ini sih hampir sama luasnya kayak satu rumah Bi Asih." ujar Shilla, masih dengan nada takjub. Ia berkeliling kamar dan asyik mengamati pernak-pernik ruangan itu yang hampir semua berbau Krisan, dari background, selimut, lukisan, "Ini tema kamarnya bunga Krisan ya, Yo?" tanya Shilla penasaran.
"He-em, karena Eyang Putri sama Mama gue itu suka banget bunga-bungaan, jadilah setiap kamar di rumah ini ada tema dan namanya, yang diambil dari nama bunga-bunga gitu. Tapi ngasih namanya juga nggak asal lho. Kayak kamar gue misalnya, dikasih nama Matahari Room, soalnya dari atas balkon kamar gue, bisa keliatan Matahari terbit. Ya, walaupun nggak sejelas kalau di gunung atau tepi pantai juga sih. Terus, kamar yang di ujung, namanya Edelweiss Room, itu karena kamarnya paling terpencil. Jadi sepi gitu deh. Mana setiap buka jendela pemandangannya cuma rumpun tebu sama pohon Kiara, benar-benar sepi, kayak di puncak gunung tempatnya bunga Edelweiss. Kamar lo juga ada sejarahnya. Krisan Room. Lo sini deh, Shil !!" Rio melambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Shilla mendekat kearah jendela.
Dan saat daun jendela berukiran rumit itu terbuka, terlihat halaman samping rumah itu. Ada beberapa bale panjang dari kayu. Disana, sekumpulan orang berseragam tengah bercengkrama dalam gurau dan obrolan seru.
"Kata Papa, dulu nyokap lo punya toko florish, Lo pasti tau arti warna-warna krisan kan Shil?"
"Merah itu simbol dari cinta, pink itu kasih sayang, kuning kebahagian, orange keinginan dan putih itu ketulusan." jawab Shilla, lancar.
"Mereka itu pegawai-pegawai Rumah Besar, dari supir, tukang kebun sampai pelayan. Bale-bale itu tempat mereka melepas lelah, setiap malam. Mereka itu kayak Krisan, Shil. Mereka punya 'cinta' dan 'kasih sayang' yang 'tulus'. Mereka punya 'keinginan' buat 'membahagiakan' keluarga mereka, di rumah ataupun di desa, yang lagi nunggu kiriman gaji mereka. Lengkapkan ? Bunga Krisan itu simbol, dan mereka wujud aslinya. Dan dari Krisan Room, lo bisa liat mereka tiap malam."
"Yeee!" sorak Shilla, entah untuk apa, "Kamar aku, mengagumkan banget ya. Hehe."
"Dan nggak tau karena kekuatan magic atau apa, setiap kamar juga biasanya mencerminkan karakter penghuninya. Misalnya, Cattleya Room, dulu kamar itu ditempatin sama sepupu gue dari Mama, asli dia tuh cantik dan anggun banget kayak Cattleya. Terus Rose Room, dulu ditempatin cucu angkatnya Eyang Putri, yang manis tapi jago karate jadi bisa lindungin diri sendiri kayak mawar. Lalu Edelweiss Room, lo bisa liat sendiri deh, nanti gimana penghuninya. Dan Krisan's room... Gue rasa, lo cocok dapat kamar ini. Polos dan tulus, kamu banget kan?" Rio melempar senyum terbaiknya, membuat Shilla tanpa sadar ikut menarik kedua ujung bibirnya.
"Sok tahu, kamu. Kita kan baru kenal. Bisa-bisanya udah bilang aku polos dan tulus."
"Feeling cowok seganteng gue tu jarang meleset, Shil."
"Ish, pede banget"
"Eh, iya Shil, sebenernya gue pengen tanya. Lo itu... anak selingkuhannya Papa ya? Atau jangan-jangan lo istri mudanya?" celetuk Rio.
"Ih, apaan sih? Kalau kamu memang nggak suka aku tinggal disini, bilang aja. Nggak usah pakai nuduh yang aneh-aneh kayak gitu deh."
"Hehehe. Iya, iya. Gue bercanda kali Shil. Tapi penasaran juga, apa alasannya Papa mau bela-belain jemput cewek udik kayak lo, jauh-jauh ke Cihideung."
"Rioo... Kamu rese banget sih. Siapa juga yang udik." protes Shilla yang sudah berniat melempari Rio dengan apa saja yang ada dalam genggamannya. Sayangnya yang dipegang adalah HP butut pemberian terakhir Ibunya untuk ulang tahun Shilla yang ke-17. Jadilah diurungkannya niat mulia itu.
"Yang udik elo lah, masa gue. Gue kan anak gaul metropolitan, hahaha." Rio tertawa renyah, "Eh, ya udah deh Shil, lo mau istirahat kan? Udah malam pula, gue tinggal ya. Kalau perlu apa-apa, kamar gue disebelah kamar lo, pas." Rio mulai berjalan kearah pintu, sebelum benar-benar keluar dari kamar Shilla, pemuda itu lagi-lagi tersenyum manis, membuat Shilla spontan menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan pipinya yang memerah.
"Kalau panas, ACnya nyalain aja. Pipi lo sampai merah, gitu." Goda Rio sambil berlalu.
Setelah pintu berdebam,
tertutup, shilla masih bertahan ditempatnya dengan bibir masih menyunggingkan
seulas senyum. Sejurus kemudian gadis cantik itu berbalik, lantas menjatuhkan
tubuhnya dikasur empuknya, kedua tangan gadis itu mendekap dadanya.
"Rio baik banget." ujarnya, tersipu-sipu.
***
"Mau kemana, Vin ?" suara bernada tanya itu, membuat Alvin menghentikan langkah sekaligus siulannya. Ia menoleh, didapati saudara laki-lakinya bersama sebuah majalah otomotif.
"Main layangan." jawab Alvin singkat. Ya, memang begitulah, singkat dan seperlunya. Dua kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan seorang Alvin.
"Gue ikut, gue ikut." pemuda yang sejak tadi merebahkan tubuhnya di sofa empuk berwarna biru laut itu, dengan cepat-cepat berjingkat bangun, "Eh, tapi... Lo main dimana ?" selidiknya.
"Taman komplek."
"Bareng siapa?"
"Ify."
Pemuda tadi memutar bola matanya, "Kalau gitu, gue nggak jadi ikut deh. Ntar ganggu lagi." ia kembali duduk dan menekuni majalahnya.
"Ganggu apa sih, Yo ? Biasanya juga kita main bertiga. Buruan ambil layangan lo, kalau mau ikut."
"Nggak jadi ikut, Vin." tolak Rio, "Eh lo udah kenalan belum sama penghuni baru rumah kita ?"
"Penghuni baru?"
Rio menganggukkan kepala, "Namanya Shilla. Anaknya cantik lho."
"Elo sih cewek model gimana juga di bilang cantik semua." balas Alvin santai.
"Alvin, kamu gimana sih?" Seorang wanita anggun berparas keibuan, menghampiri Alvin beserta
segelas minuman ditangannya, "Tadi katanya minta mama buatin jus apel. Nih, udah jadi, diminum dulu kek, main pergi aja." cerewet wanita tadi, sambil menyodorkan gelas ditangannya pada Alvin. Sejurus kemudian, kedua lengannya mulai sibuk membenahi rambut putra kesayangannya itu.
Gerak-gerik ibu dan anak itu tertangkap jelas oleh dua telaga bening milik Rio. Membuatnya, merasakan buncahan rindu pada Sang Mama yang kemudian menggiring pemuda itu pada rasa sakit yang tidak biasa. Sudah berapa lama ia tidak dibelai seperti itu, sudah berapa tahun Rio tidak bisa memeluk dan di peluk Mama tercintanya. Sudah berapa waktu yang harus Rio lewati tanpa seorang Ibu. Bahkan Rio sendiri kerap tak menyangka, ia yang sejak dulu begitu manja dengan Mamanya, bisa tumbuh sampai sebesar ini tanpa Sang Mama.
Seperti hukum aksi-reaksi yang dicanangkan Newton, aksi Alvin
dan Mamanya menimbulkan reaksi yang tidak sederhana pada Rio.
BRAAK
Rio melempar majalah otomotifnya dengan kasar. Alvin dan Mamanya tersentak kaget, dipandanginya tubuh tegap Rio yang sekarang melenggang menaiki tangga, dengan tatapan heran.
"Emang dasar anak aneh." cela Alvin.
"Hush, jangan ngomong begitu." komentar Mamanya.
***
Shilla masih asik memandangi halaman samping rumah ini dari jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka. Masih setengah empat sore, pantas baru segelintir pegawai yang sudah duduk-duduk di bale panjang yang kemarin Rio tunjukkan. Desau angin menerpa wajah cantiknya dengan lembut, menebar wangi khas buah apel ranum yang sepertinya telah siap petik.
Gadis berambut panjang itu, baru 20 menit yang lalu berhasil
menyelesaikan prosesi membilas tubuh, yang kali ini benar-benar menyulitkan. Di
kamar mandinya, terlalu banyak botol-botol berisi cairan yang Shilla sendiri
tidak tau pasti apa fungsinya. Juga beberapa alat yang sama sekali tidak berani
Shilla sentuh, "Ngeri tiba-tiba meledak." begitu fikirnya.
Shilla
tertawa geli, mengingat acara mandinya tadi, "Orang kaya emang aneh.
Sukanya yang ribet-ribet." gumamnya.
Tok-tok-tok
"Shil... Shilla.."
Shilla menoleh cepat, berjalan ke arah pintu dengan cepat pula, tak ingin pemilik suara yang menyerukan namanya tadi menunggu terlalu lama. Tapi sebelumnya, entah untuk apa, gadis itu merasa perlu untuk melirik cermin besar di meja riasnya. Merasa ia sudah cukup 'siap', Shilla segera menarik kenop pintu kamarnya.
"Heii, udah mandi kan ?" sapa, sekaligus tanya Rio.
Shilla mengangguk.
"Sip. Kalau gitu, jalan yuk!"
"Jalan?"
"Iya, kita ke Mall aja, mau nggak ? Gue lagi BT nih di rumah. Lo juga perlu buku-buka sama alat tulis kan buat sekolah ?"
"Ya udah, kalau gitu aku ganti baju dulu ya," pamit Shilla. Beberapa detik kemudian, gadis itu kembali, "Emm, Yo, aku titip aja deh ya."
"Lho, kenapa ?"
"Emm... Aku... Aku... nggak ada baju yang bagus Yo." jawab Shilla, pelan.
"Hahaha, Shilla, Shilla. Emang kalau ke Mall kudu pakai baju bagus apa ? Yang penting sopan aja kali Shil, yang lo pake itu juga nggak pa-pa." ujar Rio, masih sambil menahan tawa geli.
"Beneran nggak apa-apa pakai ini ?"
Rio memperhatikan Shilla dari ujung kaki sampai pangkal kepala, rok putih polos dipadu-padankan dengan baju lengan panjang berwarna coklat muda, plus rambut kuncir dua, "Emm, paling lo di kira pembantu gue, Shil."
"Ih, Riooo udah ah, aku nggak mau ikut."
"Hehe, nggak ko. Tapi..." Rio mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu, "Ininya, mending dilepas aja kali ya." Rio mengulurkan kedua lengan kokohnya, melepas tali rambut coklat muda yang di gunakan Shilla untuk mengikat rambutnya. Helaian hitam berkilau itupun langsung terurai lembut melewati bahu pemiliknya. Membuat Rio tanpa sadar menahan lengannya disana, membiarkan helaian rambut gadis itu menyelusup halus diantara jemarinya.
"Yo, jadi pergi kan ?" tegur Shilla yang mulai jengah dipandangi Rio tanpa kedip.
"Eh iya jadi, jadi. Yuk!!"
Rio berjalan lebih dulu, disusul Shilla yang sengaja berjalan dua langkah dibelakangnya.
***
Karena Shilla ngotot ingin lewat bale-bale yang sekarang mulai terisi pelayan-pelayan wanita yang sepertinya telah menyelesaikan tugas-tugas mereka, akhirnya ia dan Rio terpaksa harus lewat pintu samping untuk menuju halaman depan.
"Mas Rio sama Shilla cocok banget ya."
"Iya, cantik sama ganteng. Serasi."
"Tapi kan Si Shilla cuma keponakannya Bi Arum."
Bisik-bisik para pelayan itu semakin santer saat Shilla dan Rio berjalan beriringan melewati mereka.
"Hayo, gosipin saya ya?" tegur Rio.
"Cie, Mas Rio mau kemana ni?" tanya salah seorang dari Mereka.
"Kemana aja boleh dong, kan udah gede." timpal Rio ramah, disertai seringai lebar.
Lebih sering ditinggal sendiri dirumah sebesar itu, membuat Rio jadi lebih akrab dengan para pegawai Rumah Besar.
Tidak jarang Rio bergabung dengan Mereka,
berbincang-bincang, bergurau bersama bahkan kadang-kadang minum teh bersama.
Kebanyakan dari mereka, terutama yang sudah sepuh dan telah lama bekerja pada
keluarga Haling, telah menganggap Rio seperti putra mereka sendiri. Dan Rio
sama sekali tidak keberatan.
Rio masih mempertahankan senyum di bibirnya setelah melewati
kerumunan para pelayan tadi. Tapi air wajahnya segera berubah saat melewati
rumah kaca berisi berbagai jenis bunga yang menurut cerita Rio dan Bi Arum pada
Shilla, rumah kaca itu memiliki arti yang mendalam untuk Rio maupun Papanya. Kening
Shilla berkerut rapat mendapati pemuda di sampingnya berdiri kaku dengan kedua
tangan terkepal kuat dan rahang yang mengeras.
"TANTE GLADYS!! JANGAN SENTUH BUNGA-BUNGA MAMA!!" raung Rio, sangat marah.
Baik Shilla ataupun wanita
bernama Gladys itu terlonjak kaget, mendengar bentakan Rio.
"Ri... Rio.."
"APA? Tante itu ngeyel banget sih, udah aku bilang jangan pernah sentuh bunga-bunga Mamaku ?" hardik Rio.
"Ri... Rio.. Mama cuma... Cuma mau bersihin daun-daun mawar yang kering ini aja kok. Mama nggak akan merusaknya. Sungguh."
Rio tersenyum sinis, "Nggak usah sok baik deh. Papa masih sanggup bayar tukang kebun. Jadi tante gak perlu repot-repot ngurusin bunga-bunga Mama." tegas Rio.
"Yo, jangan kasar gitu dong. Niat tante itu baik kok, bunga-bunga mawar kalau daun keringnya nggak secepatnya dipotong bakal mengganggu banget." bela Shilla yang tidak tega melihat Gladys di hujani bentakan-bentakan oleh Rio. Gadis itu juga masih heran, kenapa tiba-tiba Rio bisa semarah dan sekasar itu.
"Gue nggak suka dia sentuh bunga-bunga Mama."
Rio memang lebih suka, kalau rumah kaca beserta isinya dirawat oleh tukang kebun. Ia akan sangat marah kalau sampai Gladys berani masuk apalagi menyentuh bunga-bunga mamanya. Rio tidak ingin, ibu tirinya itu merusak tempat yang dibangun Mamanya dengan 'susah payah'. Ia sangat membenci Gladys. Menurut Rio, Gladys telah berusaha menggantikan posisi Mamanya di rumah dan di hati Sang Papa.
"Ngapain masih di situ. Ayo keluar! Keluar Tante!" salak Rio, telunjuknya mengarah lurus ke pintu keluar, "Keluar, saya bilang!"
"Yo, Mama minta ma-"
"Nggak usah banyak ngomong, cepat keluar!"
"Yo, lo bisa nggak sih sopan dikit. Itu Mama kita, Yo." seorang pemuda sipit dengan layangan ditangannya ikut berkoar, mengimbangi suara keras Rio yang diyakini terdengar sampai gerbang utama. Shilla menoleh ke arah datangnya suara. Bersamaan dengan itu pemuda tadipun melihat kearah Shilla. Sejenak dua pasang mata itu beradu pandang.
"Aya…" Alvin membatin, lirih. Otaknya langsung bekerja, memunguti kembali puzzle-puzzle kenangan yang kemarin sempat ia buang, lantas menyusunnya hingga memunculkan berbagai dugaan. Memunculkan sebuah harapan yang sempat hilang di telan waktu yang kian menua.
"Nyokap lo kali, Vin. Tapi bukan nyokap gue." kilah Rio sinis.
Alvin mengakhiri kelebatan masa lalu yang tiba-tiba berpusar cepat sejak dua manik hitamnya bertumbukan dengan coklat terang milik gadis yang berdiri dengan ekspresi bingung,disisi Rio. Ia melayangkan tatapan dingin pada saudara tirinya, "Gue aja bisa terima Papa lo, kenapa sih lo nggak bisa terima Ma-"
"Gue nggak nyuruh," potong Rio, cepat, "Gue sama sekali nggak pernah nyuruh lo, buat terima Papa. Vin, gue mungkin bisa terima lo sebagai saudara, karena jauh sebelum ini, kita emang sahabatan dan gue udah anggap lo saudara gue. Tapi kalau Tante Gladys, sorry, tapi gue nggak mau dan nggak akan pernah bisa terima dia, gantiin posisi Mama."
"Nggak ada yang menggantikan ataupun di gantikan Yo. Semua punya porsi masing-masing di rumah ini dan di hatinya Papa. Lo harusnya bisa lebih dewasa nanggapin semua ini."
"Ck. Udahlah, mending cepat lo bawa nyokap lo pergi dari sini. Atau gue yang bakal seret dia keluar." ancam Rio.
"Rio, maafkan Mama, kalau menurut kamu, Mama salah. Mama janji nggak akan lancang lagi."
"Udahlah Ma, kebagusan banget minta maaf sama dia, nanti makin kurang ajar." cibir Alvin, yang langsung menghampiri dan menggandeng Mamanya keluar. Meninggalkan Rio dan Shilla dalam rumah kaca itu.
"Yo !!" panggil Shilla pelan, sedikit takut.
"Maaf ya Shil, lo jadi harus liat yang kayak tadi. Gue cuma... Gue-"
"Nggak pa-pa Yo," sahut Shilla cepat. Lengan lembut gadis itu, mengelus pundak Rio, "Kita jadi pergi... atau..."
"Jadi kok. Yuk !!"
***
Kalau bukan karena permintaan Shilla, seorang Mario Haling tentu saja tidak akan pernah mau makan di tempat seperti ini. Apa enaknya, makan di pinggiran jalan, banyak asap, bising, pengamen, debu, haah, sangat jauh untuk bisa dikatakan nyaman-untuk standart seorang Rio-. Rio benar-benar tidak habis fikir kenapa warung tenda ini, masih begitu banyak peminatnya. Sepulang berbelanja segala macam kebutuhan sekolah Shilla, Rio mengajak gadis itu makan dan menawarkan agar Shilla sendiri yang memilih tempat makannya. Dan Rio benar-benar sadar kalau hal itu adalah salah besar, setelah Shilla menjatuhkan pilihan pada warung tenda pinggir jalan ini.
"Shil, yakin mau makan disini ?"
"He-em. Warung ini rame
banget, pasti masakannya enak."
Glek. Rio menelan ludah. Ia baru tau, kalau campuran debu ditambah sedikit kontaminasi asap kendaraan akan membuat makanan lebih enak.
"Eh, tadi gimana Yo ? Jadi Veronna itu nama Mama kamu ?"
"Iya. Jadi setelah Mama meninggal, perusahan keluarga, atas permintaan Papa di ganti nama jadi Veronna corporation. Jadi semua usaha yang ada dibawah naungan Veronna corporation, namanya juga Veronna." papar Rio, “termasuk sekolah gue.”
"Oh, gitu. Jadi perusahan Papa kamu itu bergerak dibidang pariwisata ya dari mulai hotel, travel agent, penerbangan gitu-gitu ya? Pantes kamu kaya." tutur Shilla polos, "Terus kenapa sih, orang-orang nyebut rumah kamu itu Rumah Besar ?"
"Oh, itu karena kakek buyutku dulu kan orang Belanda. Kamu tahu sendiri kan, orang-orang Belanda jaman dulu kayak gimana?" Rio mengamati Shilla yang masih asyik mendengarkannya, "Mereka suka punya banyak istri. Nah, kakek buyutku juga gitu. Setiap istri-istrinya ditempatkan di rumah-rumah yang berbeda, tapi salah satu istri kesayangannya bakal diajak tinggal di rumahku itu, kalau ada acara-acara besar, semua istri akan dikumpulkan di rumah itu, kayak semacam rumah utama gitu lah, makanya disebut Rumah Besar, sampai sekarang sebutan itu juga masih berlaku, tapi dikalangan pegawai aja sih. Soalnya kalau aku sama Papa, udah nggak pernah nyebut begitu."
"Oh, kalau gitu pasti Papa kamu itu keturunan dari istri kesayangan kakek buyut kamu ya? Makanya rumah itu diwariskan ke Papa kamu."
"Ya, kurang lebih begitu."
Shilla mengangguk faham,”Sekolah kamu itu katanya punya Papa kamu juga ya?”
Rio mengangguk, “Iya Shil,
namanya juga Veronna, sekolah pertama dan satu-satunya yang dibangun sama Eyang
Kakungku sebelum beliau meninggal.”
"Permisi Mas, Mbak. Ini pesanannya." ujar seorang pelayan yang kemudian mengatur 2 mangkok soto betawi dan 2 gelas es teh manis di atas meja. Setelah itu, pelayan belia itu pun segera pergi.
"Kalau Papamu sendiri, Shil ?"
"Emm, aku juga nggak tau, Yo. Kata ibu, Ayah udah meninggal sejak aku kecil, tapi nggak tahu kenapa aku belum pernah diajak ibu ke makamnya. Sekedar foto pun, Ibu nggak pernah tunjukkin ke aku."
"Rio," sapa seorang pemuda tinggi denagn kresek hitam dalam jinjingannya, "Kok lo sama dia? Harusnya kan lo sama Ify." ujarnya tiba-tiba.
Rio mengangkat alisnya tinggi-tinggi, heran juga atas pertanyaan yang di lontarkan teman satu sekolahnya itu, "Emang di muka gue ada tulisannya ya, ha-rus-sa-ma-I-fy ? Perasaan nggak ada deh." timpal Rio, santai.
"Ya, nggak ada sih. Eh, tapi tumben lo makan di tempat beginian, kenapa ? Bokap lo bangkrut ya ? Lo jadi miskin ?" ledek Orang tadi seraya melempar senyum meremehkan, "Keluarga busuk, emang pantesnya makan di tempat begini." tambahnya dalam hati.
"Ck." Rio berdecak kesal, "Lo ada masalah apa sih Yel, sama gue ? Mulut lo kayaknya ngajak ribut banget."
"Ah, perasaan biasa aja deh. Elonya aja kali yang berlebihan nanggapinnya." tambahnya. Pemuda bersenyum menawan itupun lantas pergi tanpa permisi, persis jelangkung. Datang tak dijemput, pulang pun tanpa diantar.
"Kurang ajar banget tu anak." Rio merutuki pemuda yang berjalan kaki dengan santai kearah sebuah toko Florish itu, "Shil, pulang aja yuk. Gue udah nggak mood makan nih."
Rio segera berdiri, lalu merogoh
sakunya, mengeluarkan dompet untuk membayar semua pesanan.
"Mampus. Gue nggak ada uang cash, Shil. Lo bawa uang nggak ?"
"Nggak. Abis tadi kamu ngajak akunya, buru-buru sih. Bayar pakai kartu yang tadi di pakai di Mall aja. Bisa kan ?"
"Kalau tadi lo pilih tempat makan, resto atau cafè, mungkin bisa. Tapi kalau wareng tenda begini, ya nggak mungkin dong, Shillaa..."
"Lha? Emang apa bedanya? Pasti bisa kok." jawab Shilla sok tau, "Pak !!" Shilla memanggil seorang bapak dengan tubuh gempal.
"Eh Shil, lo mau ngapain ?"
"Sstt," gadis itu meletakkan telunjuk pada bibir tipisnya, "Pak, kami nggak bawa uang cash, bayar pakai kartu ini bisa kan ?" tanya gadis itu pada bapak pemilik warung tenda ini.
"Kartu ?" bapak bertubuh gempal tadi, tampak kesal, "Mbak, Mas, saya belanja bahan-bahan makanan ini tu pakai uang, bukan kartu. Kalau nggak punya uang mendingan nggak usah makan."
"Sabar Pak, Sabar. kami pasti bayar kok." ujar Rio, seraya menyeringai lebar. Dalam hati mencibir gadis sok tau di sampingnya, "Lo main langsung panggil aja sih, Shil." batin pemuda itu.
"Sabar, sabar, kamu kira anak istri saya bisa dikasih makan sabar. Dasar anak muda jaman sekarang. Gayanya aja keren, tapi kere. Sudah sana, kalau kalian tidak bisa bayar, cuci piring-piring kotor itu." Pak gempal tadi menunjuk tumpukan piring dan gelas kotor.
"Waduh, ini Bapak songong amat ngomongnya." bisik Rio pada Shilla.
"Budek ya, udah cepat sana, tunggu apa lagi ? malah bisik-bisik." perintah Bapak gempal berkumis lebat itu.
"Iyeee. Tapi nggak usah pakai melotot juga kali, Pak." celetuk Rio.
"Cepat sana! Begajul." Si Tubuh Gempal tadi pun berlalu setelah sebelumnya melempar lap kotor yang mendarat tepat diwajah Rio.
"Puih, dasar gendut, botak. Lap bekas apa sih tu, bau, gila." Rio mencak-mencak. Shilla hanya tersenyum geli melihatnya, kemudian melangkah menuju tempat tumpukan piring dan gelas kotor yang tadi di tunjukkan bapak pemilik warung.
Setelah beberapa menit, mengamati Shilla membersihkan perabot-perabot itu, Rio tertarik untuk mencoba. Sepertinya gampang, fikir pemuda itu. Ia pun mulai meraih satu piring kotor ang paling dekat dengannya.
"Eh, mau apa Yo ?"
"Bantuin lo, biar cepat selesai."
"Eh, nggak usah Yo, biar aku aja, nanti tangan kamu kotor. Biar sama aku."
"Nggak pa-pa lah, Shil. Sekali-kali, aku pengen coba cuci piring. Lagian kayaknya gam-"
PRAANGG
"O-ow." Rio membulatkan mulutnya.
"Tu kaaan, pecah deh."
"Ada apa ini ?" Si Bapak tadi, muncul dan langsung sangat marah melihat ulah membeli kerenya itu,
"Saya suruh kalian membersihkannya bukan memecahkannya. Kalau cuma mecahin, anak balita juga bisa." salaknya tidak terima, seolah-olah yang hancur adalah harga diri dan kehormatannya, bukan sekedar sebuah piring.
“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini." ujar Rio, seraya menengadahkan wajah kearah langit. Membuat Shilla tidak bisa menahan tawa geli, melihat ekspresi berlebihan itu.
"Malah ketawa-ketiwi. Sudah, cepat kalian keluar sana. Lama-lama disini, bisa-bisa warung saya kalian hancurkan."
"Tapi Pak, diluar kan hujannya deras banget." tutur Shilla dengan tatapan setengah memohon agar diijinkan tinggal, paling tidak sampai derasnya rinai hujan diluar sana berubah jadi rintik gerimis.
"Bukan urusan saya. Sudah sana, sana, sana." Usir Si Bapak Gempal, sungguh-sungguh.
Rio dan Shilla menurut, mereka tidak ingin membuat lebih banyak lagi mata-mata para pengunjung, melirik kearah mereka.
BYUURR
Sebelum Rio dan Shilla benar-benar keluar dari warungnya, Si Bapak tadi membuang air cucian piring dengan semena-mena, dan lagi-lagi tepat mengenai Rio. Seluruh tubuh pemuda itu basah kuyup, padahal air hujan sama sekali belum sempat menyentuhnya.
"Makan aja, udah kayak mau nikahan ya, pakai prosesi siraman segala. Orang Indonesia emang unik." celetuk Rio.
Shilla tersenyum masam, "Maaf ya Yo, coba kalau aku pilih makan di restoran, pasti nggak kayak gini jadinya." sesal Shilla.
"Never mind, pengalaman juga lah buat gue." pemuda jangkung itu, lantas menyuguhkan senyumnya yang biasa. Senyum yang selalu membuat orang-orang disekitarnya ingin ikut tersenyum.
***
"Darimana kamu, Vin?" tanya Gladys, saat mendapati putranya menyeruak masuk menenteng notebooknya.
"Dari rumah Ify mah, ngerjain proposal OSIS."
"Kalau ngerjain tugas di rumah Ify tu ya jangan sampai malam begini dong, Vin. Liat, udah jam 10, nggak enak sama tetangga."
"Tapi kan ada pembantu, supir, sama satpamnya rumahnya Ify juga kali, Ma. Kita nggak cuma berdua-duaan kok."
Alvin merebahkan diri disamping Gladys yang tengah menekuni rajutannya yang sudah setengah jadi. Hampir empat jam, duduk di depan notebooknya, menyusun proposal untuk dua agenda OSIS sekaligus, membuat leher dan punggungnya pegal-pegal. Untung ada Ify, gadis itu memang cukup cerdas dan cekatan dalam mengerjakan semua tugasnya, bahkan terkadang bagian Alvin pun, Ify yang handle.
"Ma," Alvin melirik Mamanya penuh arti, "emmh, Alvin boleh minta tolong nggak ?"
"Boleh, minta tolong apa ?"
"Gini Ma, Alvin kan mau ikut lomba fotografi, emang sih masih rada lama, tapi Alvin maunya belajar dari sekarang. Lombanya tingkat nasional lho, Ma."
"Terus ?"
"Emmh, Alvin pengen... SLR baru, Ma. Tapi Alvin udah nabung kok, cuma belum cukup. Mama tambahin yaaa, please... Paling 30 persenan lagi lah. Mau ya Ma, yayaya.. Mau ya ?" pinta Alvin.
"Kan katanya lombanya masih lama, ya udah nabung aja dulu sampai uangnya cukup. Lagian, kalau beli sekarang, nanti pas lomba udah rusak lagi."
"Ya, nggak akan lah, Ma. Mama pelit nih, nggak asik. Rio aja minta mobil gampang banget, Alvin kan cuma minta SLR." Alvin mulai menggerutu, merasa tidak adil, mengingat 2 minggu yang lalu sebuah avanza biru tua sudah terparkir diselasar Rumah Besah, dan tentu saja atas permintaan Ri
Gladys tersenyum tipis pada putranya, di elus kepala Alving dengan lembut, "Vin, Mama paling nggak suka, kalau kamu mulai membanding-bandingkan segala sesuatunya dengan Rio. Kalian berbeda. Jauh. Kamu ingat kan ?"
"Iya, Ma. Maafin Alvinnya, Alvin cuma-"
"Nanti Mama tambahin ya, uang tabungannya, minggu depan kita beli SLR yang kamu mau." potong Gladys, sebelum Alvin menyelesaikan kalimatnya.
"Nyonya, Mas Alvin, itu... itu... itu Mas Rio..." Bi Arum datang dengar tergopoh-gopoh, dari wajahnya tersirat kepanikan yang luar biasa.
"Rio kenapa, Bi ?"
"Itu Nyonya, Mas Rio dia... di kamarnya, itu Mas Rio..."
***
0 komentar:
Posting Komentar