Sabtu, 09 Juli 2011

Rahasia Orion Part 7

Rahasia Orion Part 7
"Inilah Aku"

***

"Ify..." suara berat seseorang menyerukan nama gadis yang tengah asik melamun di balkon kamar itu.

Ify menoleh.

Cakra Nugraha, Ayahanda Ify, berdiri kaku di dekat pintu. Pria berkacamata dengan frame hitam itu, tersenyum seadanya pada putri tunggalnya, "Kamu sudah menghubungi bundamu untuk acara lusa, Fy ?" suara berat laki-laki berusia sekitar 40 tahunan itu, memaksa Ify segera beranjak dari balkon kamarnya.

"Udah, Pa. Bunda bilang, nanti diusahakan buat datang."

"Bagus kalau begitu." sahut Cakra seraya melonggarkan dasi abu-abu yang mencekat lehernya, kemeja garis-garis pria itu terlihat kusut, beberapa bagian malah sudah keluar dari celana bahan berwarna hitam yang ia kenakan, "Ya sudah, lekas tidur sana. Tidak baik, malam-malam melamun di balkon seperti tadi." imbuhnya, singkat. Setelah bekerja seharian, Cakra tentu ingin segera membilas tubuhnya yang lengket oleh keringat dengan berendam di air hangat. Lantas, rebah diatas kasur empuknya dalam kamar dengan wangi aromatherapy, bunga Lavender.

Ify hanya mengangguk patuh. Mengamati Sang Papa yang mulai berjalan kearah pintu. Tapi sejurus kemudian, pria yang sejak 2 tahun lalu menjadi single parent untuk Ify itu, menghentikan langkahnya. Matanya berkilat ganjil, menitik pada satu objek.
Seketika Ify merasa tubuhnya di lolosi tulang-belulang, saat menyadari, apa yang menarik perhatian Sang Papa. Secarik kertas dengan angka 50 yang ditulis besar-besar dengan spidol merah, disisi kanannya. Kertas itu adalah hasil ulangan biologi yang baru dibagikan tadi pagi, dan celakanya Ify belum sempat menyembunyikan kertas sial itu. Seakan itu saja belum cukup, keadaan diperparah dengan dua 'buku' kumpulan cerpen-cerpen buatan Ify, yang terletak tak jauh dari kertas ulangan tersebut. Gadis yang gemar menulis itu memang terbiasa mencetak hasil-hasil tulisannya untuk kemudian dijilid rapi dan dibukukan. Paling tidak, walaupun Ify tidak akan pernah punya kesempatan untuk menerbitkan cerita-cerita karangannya, ia sudah cukup bangga memiliki dokumen pribadi yang memuat karya-karyanya itu.

Cakkra menyipitkan mata. Selembar kertas bergetar dalam genggaman tangannya, "Materi peredaran darah." ujarnya dingin. Senyum mencela tersungging nyata pada seraut wajah letih laki-laki itu, "Mana ada dokter yang nilai biologinya 50. Salah-salah semua pasien akan mati, kalau ditangani dokter bodoh sepertimu." lanjutnya, sinis.

Ify mengangkat wajahnya, menatap nanar pada Cakra yang bergeming dekat meja belajar. Kata-kata Papanya tadi, bak mata pisau yang tanpa ampun, menghujam tepat di ulu hatinya. Seandainya sanggup, ingin sekali Ify berteriak, menyanggah ucapan Papanya barusan. Apa masih kurang belasan tahun waktunya yang dikorbankan untuk menuruti semua permintaan orang tuanya, terutama Sang Papa ? Apa semua itu masih belum cukup, hingga pria yang begitu Ify hormati, tega memakinya seperti itu, "Kok Papa ngomong kayak gitu ?" lirih Ify.

"Lho, memang apa yang salah dari omongan Papa. Benar kan ? Hanya orang bodoh yang mau membuang-buang waktunya untuk menulis SAMPAH-SAMPAH INI." suara Cakra meninggi, ia mengacungkan dua 'buku' berjilid biru muda, yang keduanya kalau digabungkan memuat sekitar 30 judul cerita di dalamnya.

Ify mencelos. Digigitnya bibir bagian dalam untuk menahan tangis, "Pa, Ify minta maaf."

"Kamu ya Fy, susah sekali dinasehati. Sudah berapa kali Papa bilang, menulis cerita-cerita seperti tidak ada gunanya. Apa sih yang kamu peroleh, heuh ?" Cakra, tampak sangat marah kali ini.

"Pa, apa Papa nggak sayang sama Ify ? Kenapa Papa-"

"Justru karena Papa sangat menyayangimu." potong Cakra sedikit geram, tubuhnya yang digelayuti penat dan sudah melolong minta diistirahatkan, membuat pria itu lebih sulit mengontrol emosi daripada biasanya, "Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Apalagi kamu putri Papa satu-satunya, Fy. Dan karena itu pula, Papa tidak ingin kamu salah memilih jalan untuk masa depanmu, Papa tidak mau kamu menyesal, nanti. Menulis itu hanya buang-buang waktu, kamu hanya akan jadi manusia tertutup yang tidak pernah berani, tidak percaya diri untuk mengungkapkan pemikiran, pendapat dan perasaanmu. Kamu akan lebih nyaman menuangkan segalanya dalam bentuk tulisan. Dan yang seperti ini, akan sangat menghambat kemajuanmu."

"Papa berlebihan. Ify suka menulis dan-"

"Dan kamu bersedia jadi tukang khayal, begitu ?" lagi-lagi Cakra menyela kalimat yang belum rampung Ify ucapkan, "Lihat bundamu ! Dia habiskan waktunya untuk menulis. Tapi apa yang didapatnya ? Rumah kontrakan dan motor butut. Kamu mau seperti itu ? Kamu itu jadi anak harus nurut sama Papa, Fy. Toh Papa juga menginginkan yang terbaik buat kamu. "

"Iya Pa. Ify akan tetap jadi dokter seperti yang Papa mau. Ify janji itu nilai 50 yang pertama dan terakhir buat Ify." Ify mengangguk, pasrah. Tidak ada gunanya berdebat lebih jauh dengan Papanya.

"Bagus kalau begitu. Mulai sekarang, berhenti melakukan hal bodoh, seperti menulis sampah-sampah seperti-"

"PA !" Sela Ify dengan nada tinggi, "Berhenti bilang bodoh dan sampah didepan Ify, Pa. Ify anak Papa. Bukan pengemis yang pantas Papa caci-maki." Ify benar-benar tidak habis fikir, kenapa Papanya masih saja menjudge dirinya dan dunia yang ia sukai, dengan kata-kata sekasar itu, padahal Ify kira perdebatan itu sudah usai. Air mata gadis manis itu meleleh, "Ini kehidupan Ify, Pa. Bukan hidup Papa. Jadi dokter itu mimpi Papa kan ? Sama sekali bukan cita-cita Ify. Mimpi yang terpaksa kandas karena Opa dan Oma paksa Papa jadi pemimpin perusahaan keluarga. Papa tahu rasanya di paksa, Papa tau sedihnya nggak punya kesempatan mewujudkan mimpi kita, terus.. terus kenapa Papa ulangi semua ini sama Ify, Pa ? Kenapa ? Ify nggak mau, Ify nggak suka jadi dokter." tegas Ify dengan suara bergetar hebat. Ify tidak tahu, darimana ia memperoleh keberanian untuk bicara seperti itu di depan Papanya. Ia bahkan mengatakan semua itu sambil memejamkan mata, tadi.

"Oh, sudah berani membantah Papa rupanya. Siapa yang mengajarimu, Bundamu ? Kamu betul-betul keras kepala, harus diberi pelajaran. Sini ikut Papa !" Cakra menarik pergelangan tangan putrinya dengan kasar. Diseretnya Ify keluar kamar.

"Papa, lepas Pa. Sakit." Ify maronta, berusaha melepas pergelangan tangannya dari cengkraman kuat lengan kokoh Sang Papa. Gadis itu meringis kesakitan.

Cakra mengabaikan Ify yang tertatih mengimbangi langkah-langkah panjang kedua kakinya. Pria itu menyeret Ify sampai halaman depan, "Mang Suhe, bakar kertas-kertas ini." perintah Cakra, pada laki-laki paruh baya, tukang kebun rumah Ify.

"Pa, jangan Pa. Ify mohon. Jangan. Ify janji nggak akan nulis lagi."

"Cepat bakar, Mang !"

"Tapi Tuan..."

"Cepat bakar, atau kamu saya pecat." ancam Cakra.

"Pa, jangan..." pinta Ify, memelas. Ify bersimpuh, lengan kirinya yang masih bebas bergerak, memeluk kaki Cakra. Tapi pria itu tetap membesi, tak peduli.

Dalam sekejap, api mengepul. Dua 'buku' Ify tadi di lempar dengar kasar kedalam kobaran nyala kemerahan, Ify menangis tersedu. Si jago merah dengan senang hati, langsung melumatnya, dengan cepat menggosongkan beberapa bagian.

"Jangan pernah melawan Papa lagi, atau kamu akan mendapatkan yang lebih buruk dari ini." Cakra memperingatkan Ify, lalu beranjak pergi. Meninggalkan putri semata wayangnya yang terduduk lemas dengan wajah dibanjiri air mata.

Ada elegi dan symphony yang telah susah payah Ify tuangkan dalam rangkaian kata. Tapi kini, api telah menjadikannya abu. Entahlah, Ify hanya bisa duduk memeluk lutut, membiarkan gada-gada raksasa milik bima menggodam hatinya. Meninggalkan denyutan menyakitkan yang akan coba untuk Ify abaikan.

***

"Rio, buruan dong!" Shilla mendorong tubuh jangkung Rio, sambil terus berkoar agar pemuda itu mempercepat rutinitas pagi harinya.

"Sebentar dong, Shil. Ini kan baru jam 6, lo mau bersih-bersih sekolah dulu? Lihat ni, dasi gue aja masih berantakan." seloroh Rio sembari terus mencoba membentuk simpul yang apik pada dasinya, "Lagian ya, gue bangun jam 5 pagi aja harusnya udah dapat nobel, tau nggak ?" rancau Rio.

"Nggak tau." balas Shilla tak acuh.

Rambut tebal pemuda itu, yang belum sempat tersentuh sisir, diacaknya dengan tangan kanan secara asal. Dengan gerakan cepat, Rio berjalan kearah sedan biru tuanya, membukakan pintu untuk Shilla. Pemuda tampan itu sedikit membungkuk dengan tangan kiri terlipat di belakang punggung. Sikap sempurna untuk seorang supir yang hendak mengantarkan seorang putri cantik berpergian, "Silakan ?" katanya, santun.

Shilla terkekeh, " Terima kasih."

"Yeah, thanks are nice but kiss is better." Rio memajukan wajahnya, sambil menutup mata.

"You wish." desis Shilla.

Tapi sebelum masuk ke dalam mobil mewah berplat B itu, Shilla menjulurkan tangannya. Membenahi poni rambut Rio yang kelewat panjang menutupi alis mata pemuda itu. Jemarinya menyisir lembut, rambut hitam Rio.
Tiba-tiba Rio membuka matanya, dua manik mata mereka beradu untuk sesaat. Dalam satuan detik yang kelewat singkat itu, paling tidak keduanya sama-sama merasakan ada deburan halus yang mengetuk perlahan hati masing-masing dari mereka. Layaknya ombak lautan yang membelai lembut serpihan pasir-pasir di pantai. Meski merasa canggung dan malu-malu, tapi Rio ataupun Shilla sepertinya enggan membuang pandangan kearah lain, sampai akhirnya deheman usil beberapa begawai yang lalu lalang, membuat mereka harus rela menyudahi adegan klise tadi.

"Ekhm, Pagi Mas Rio. " goda seorang pelayan muda yang berjalan menuju pintu samping sambil menenteng belanjaan.

Dengan kikuk, setelah Shilla duduk manis dalam mobilnya, Rio menutup pintu, kemudian duduk dibalik kemudinya.

Sejurus kemudian, mobil yang merupakan hadiah dari Eyang Putri untuk cucu kesayangannya itu, mulai merangkak teratur, menggilan jalanan beraspal Ibu Kota. Lalu lintas kota Jakarta masih cukug lengang, mengingat waktu baru beranjak 5 menit dari pukul 6 pagi. Shilla memang ngotot mengajak Rio untuk berangkat ke sekolah lebih awal, karena mereka akan terlebih dulu mampir ke taman kota. Shilla ingin mencicipi nasi uduk yang dijual di pinggir-pinggir jalan sepanjang taman kota.

"Eh, iya Shil, gue mau tanya ?" ujar Rio, setelah beberapa menit terlewati dalam diam. Sedikit terasa aneh, karena sebelumnya Rio dan Shilla tidak pernah sekaku ini meskipun duduk hanya berdua selama berjam-jam, selalu saja ada yang bisa di bicarakan dari hal-hal krusial tentang mereka pribadi sampai topik-topik tidak penting seperti menu makan malam atau jadwal arisan Eyang Putri. Mungkin kali ini, efek dari tatap-tatapan singkat tadi masih bekerja.

"Tanya apa ?"

"Emm..." Rio mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada stir, dengan ekor matanya, Rio melirik Shilla yang terlihat asik mengamati jalanan yang masih sepi dari balik kaca jendela, "Yang semalam itu... Maksudnya apa ?"

"Semalam ? Yang mana ?"

"Aduh... Yang 'aku minta kamu' itu lho. Maksudnya apa ?"

"Oh, itu..." Shilla tersenyum simpul, gadis itu mulai duduk menyamping menghadap Rio, "Emm, dari pertama aku tinggal di Jakarta, aku selalu minta sama Tuhan supaya turunin seseorang yang bisa bikin aku betah tinggal di kota ini. Siapapun orangnya. Dan semalam aku fikir, mungkin yang selama ini aku minta itu, kamu. Kalau bukan karena kamu yang selalu baik sama aku, aku pasti udah pulang ke kampung dari kemarin-kemarin." papar Shilla.

Setelah kalimat panjang yang dituturkan Shilla, tidak ada lagi suara yang terdengar dari dalam mobil yang terus melaju. Hanya samar-samar terdengar Rio yang bersenandung kecil, melantunkan sebuah lagu featuring antara grup band Ungu dengan Andien, dengan judul Saat Bahagia.
Pagi ini, entah karena pengaruh Mataharinya yang bersinar terang atau karena udaranya yang masih segar, wajah tampan Rio terlihat lebih cerah dari biasanya. Sorot matanya tampak begitu hidup.

"Lagi senang ya ?" Shilla memiringkan kepalanya, menyangganya dengan tangan kiri, lantas mengamati Rio dengan tatapan menyelidik, "Atau... Lagi jatuh cinta ?" tebaknya, asal.

Rio mengendikkan bahu, "Maybe..."

"Cie Rio..." Shilla berusaha terlihat wajar dan biasa saja mendengar pernyataan Rio barusan, "Ayooo sama siapa ? Aku kenal nggak sama cewek beruntung itu ? Aaaa... Aku tahu, sama Ify yaaa ? " Shilla menyikut lengan Rio, sembari memasang senyum jahil.

Rio mengerutkan keningnya, "Kok Ify sih ? Bukan dong."

"Lha, terus siapa dong ? Aku liat cewek yang dekat sama kamu cuma Ify deh."

"Emangnya lo bukan cewek ?"

"Ha ?" Shilla membulatkan mulutnya.

"Hahaha. Pokoknya ada deh Shil, tapi bukan Ify."

"Kenapa bukan Ify aja, dia baik kan ?" pancing Shilla. Ia hanya ingin tahu bagaimana perasaan Rio terhadap kawan semejanya itu, karena selama ini yang Shilla lihat, keduanya sangat dekat dan (harus Shilla akui) mereka serasi.

"Ya, emang sih dulu gue sempat berfikir kalau gue suka sama Ify. Dia cewek yang nyaris sempurna, tapi... Gue pernah lihat Alvin meluk Ify dan ya…mereka cocok kok." cerita Rio, dengan pandangan lurus kearah jalan, berusaha tetap fokus mengendalikan mobilnya.

"So ? Mereka pelukan juga belum tentu ada apa-apa kan ?"

"Iya sih, tapi kalau menurut gue, emang seharusnya kayak gitu. Ify sama Alvin. Tipe ceweknya Alvin tu yang mandiri, yang bisa ngelakuin banyak hal sendiri, yang nggak manja dan selalu ngandalin orang lain, cerdas, tegas, Ify banget kan ? Lagi pula, gue sama Ify memang lebih pas jadi sahabat aja."

"Kalau kamu ?"

"Gue ? Apanya ?"

"Tipe cewek kamu yang kayak gimana ?"

Rio tersenyum penuh arti, "Emm yang gimana ya ??" Rio mengetuk-ngetukkan telunjuk pada dagunya, tampak berfikir serius untuk sekedar menjawab pertanyaan Shilla, "Mungkin yang rambutnya panjang, jago masak, perhatian, lembut, polos, ya... Kayak lo gitu juga nggak pa-pa sih." Jawabnya, sambil melirik nakal pada Shilla.

"Hah ? Aku ?" Shilla mengarahkan telunjuknya ke depan wajah.

"Hehehe, udah ah, buruan sana. Udah sampai tu, lo sendiri aja ya yang beli, gue tunggu di mobil." perintah Rio.

Tidak terasa, mobil Rio sudah menghentikan lajunya tepat di depan sebuah taman kota. Seperti tempat-tempat yang lain, taman ini juga masih cukup sepi. Hanya terlihat segelintir orang yang sedang jogging dan gerobak pedagang bubur ayam yang di kerumuni ibu-ibu berdaster dengan roll rambut yang masing menyembul dari beberapa kepala.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan Ibu pedagang nasi uduk yang ia incar, setelah melakukan transaksi jual beli yang cukup singkat, Shilla sudah akan kembali ke mobil Rio dengan menentrng dua bungkus nasi uduk masih hangat yang baunya menguar kemana-mana menggugah selera.

Gadis yang kali ini mengenakan jepitan mungil beraksen kumbang warna merah untuk menghiasi rambut panjangnya itu berjalan ringan sambil bersenandung, ketika kemudian di melihat seorang gadis yang duduk membelakanginya di salah satu bangku taman.

Shilla berjalan perlahan, memberanikan diri untuk menghampiri gadis yang sepertinya dikenalnya itu, "Fy..." sapanya, lirih.

Ify yang duduk di salah satu bangku usang di taman itu dengan kedua tangan menutupi wajah dan pundak bergetar, tergagap mendengar suara lembut Shilla yang memanggilnya. Dengan satu gerakan cepat, di sapunya seluruh air mata yang menggenangi Pipinya dengan punggung tangan, "Shilla. Kamu... Kok kamu ada disini ?"

"Harusnya aku yang tanya kayak gitu, kamu ngapain disini ? Nggak ke sokalah ?"

"Aku... Aku.."

"Kamu habis nangis ya ? Kenapa ?" Shilla ikut duduk di sebelah Ify, mengusap-ngusap pundak Ify dengan lembut.

"Nggak kok, Shil. Tadi cuma kelilipan." kilah Ify.

"Ayolah Ify, kamu kenapa ? Kita kan sahabat, cerita aja, aku mau dengerin kok."

"Sa-Sahabat ?"

Shilla mengangguk mantap, "Iya, kita sahabat kan ?"

Ify tergugu. Gadis ini, apa benar menganggap Ify sebagai sahabatnya ? Seingat Ify, Shilla adalah gadis pertama yang berkata demikian. Yang menganggapnya sahabat, meski Ify sama sekali belum pernah membantunya. Bahkan sejauh ini, Ify masih belum bisa bersikap lebih baik pada Shilla. Padahal, teman-temannya yang lain, baru akan bilang "Lo kan sahabat gue, Fy." hanya kalau mereka membutuhkan bantuan, menyelesaikan tugas kelompok atau menyalin pekerjaan rumah.
Ify menitikkan air mata sambil tertawa kecil, gadis itu memeluk Shilla dengan erat, "Kita sahabat, Shil." dari balik punggung Shilla, Ify menangis sepuasnya. Menceritakan segala hal yang memang sudah sejak lama ingin ia bagi. Menumpahkan seluruh keluh-kesah dan beban yang selama ini di simpannya seorang diri. Ify mungkin memang memiliki Alvin dan Rio yang akan selalu mau mendengarkan ceritanya, tapi tentu tidak senyaman kalau berbagi cerita dengan sesama kaum hawa.
"Udah ya Fy. Cup-cup-cup. Kamu udahan dong nangisnya, nanti aku malah ikutan nangis jadinya." Shilla mengibas-ngibaskan tangan di depan mata beningnya yang mulai berkaca-kaca, "Udah ya, Rio atau Alvin mungkin simpan salinan beberapa cerpen kamu, nanti kamu minta dan print ulang aja. Sabar ya..." hibur Shilla, seraya mengelus-ngelus punggung Ify.
Ify melepas pelukannya, mata bulat gadis itu tampak sembab. Pipinya basah oleh air mata, dengan anak-anak rambut yang ikut menempel disana, "Nggak usah Shil. Mungkin aku mau nyerah aja. Aku bakal berhenti nulis seperti apa yang Papa mau." tutur gadis itu terdengar lemah dan rapuh. Shilla benar-benar iba, melihatnya. Andai bisa, apapun akan Shilla berikan agar Ify bersemangat lagi, seperti biasanya, "Kenapa ya Shil. Inilah aku, aku yang selalu berusaha jadi yang terbaik bagi orang tua aku meskipun itu harus ngorbanin diri aku sendiri, tapi kenapa ya Papa nggak ngerti aku sedikit aja.”

"Kebahagiaan itu ibarat cahaya fy dan kamu nggak perlu jadi lilin kok." Shilla memandang kearah langit yang masih menyisakan warna keemasan di ufuk timur, "Lebaynya gini Fy, kamu nggak perlu kok membakar diri kamu sendiri kayak lilin supaya bisa kasih cahaya ke orang lain. Kamu nggak perlu mengorbankan banyak hal, mulai dari waktu, masa remaja, mimpi, bahkan kehidupan kamu demi sahabat, pacar, keluarga termasuk Papa kamu. Masih banyak cara buat bikin orang-orang yang kamu sayang bahagia dan bangga sama kamu, tanpa harus menyakiti diri kamu sendiri. Yang paling penting kamu nggak boleh nyerah." Shilla mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, "Harapan kamu nggak boleh mati, kalau jadi penulis itu adalah takdir kamu, Tuhan pasti akan kasih jalan. Kamu jangan nyerah gitu aja," Imbuh Shilla, penuh keyakinan.

Ify beranjak dari duduknya, membenahi rok kotak-kotaknya yang sedikit kusut, "Yuk !!" serunya dengan nada ceria.

"Kemana ?" tanya Shilla, polos.

"Ke sekolah dong, Shil. 15 menit lagi masuk, kamu nggak mau telat kan ? Pelajaran pertama Bu Rizki lho."

Shilla mendesah lega, mendapati senyum manis yang kembali terpeta pada paras ayu Ify. Gadis tirus itu pasti sudah merasa lebih baik, sekarang.

***

Bu rizki masih sangat asik menulis rentetan rumus dan angka-angka pada kedua whiteboard di depan kelas. Tulisan tegak sambung khas orang tempo dulu, bukan hanya membuat malas siswa-siswinya untuk mencatat, bahkan melihatnya saja sudah membuat mata berkunang-kunang. Butuh iman dan dedikasi yang kuat untuk bisa meresapi, dan kemudian menyalin tulisan-tulisan semrawut milik Bu Rizki ke dalam buku tulis masing-masing. Seperti belum cukup menyiksa, guru bertubuh besar itu juga menjelaskan setiap materi mata pelajarannya dengan sangat membosankan dan berbelit-belit. Membuat setiap siswa yang menyukai pelajaran fisika, dianggap abnormal oleh teman-temannya. Mengingat bagaimana cara mengajar guru mata pelajaran tersebut yang sangat jauh untuk bisa di bilang mengasyikan, menyerempet sedikitpun tidak sama sekali.
Pagi ini, kelas XII MIPA 1 yang ketiban sial, harus menghadapi guru killer pecinta kebersihan itu, di jam pertama. Sudah lebih dari 1 jam, Bu Rizki mengajar di kelas, dan seperti biasanya suasana kelas hening dan tenang. Tapi bukan karena murid-muridnya yang memperhatikan, lebih karena sebagian besar dari mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang SMSan, baca novel di kolong meja, berpetualang di dunia maya, curhat di halaman belakang buku tulis, bahkan anak-anak yang duduk di barisan paling belakang sudah terlelap dengan wajah di halangi buku paket fisika masing-masing. Hanya sedikit dari mereka yang masih setia mendengarkan Bu Rizki yang sedang mengulas materi kalor. Pun dengan Rio, pemuda tampan itu, asyik memainkan handphonenya. Rio hampir saja juga ikut memejamkan mata, sebelum terdengar bunyi gebrakan meja yang membuatnya terlonjak kaget.

BRAK

"Gabriel !! Bangun kamu !" raung Bu Rizki dengan suara keras, kayu yang biasa digunakannya menunjuk tulisan-tulisan di papan tulis, di hentakan ke meja, "Sudah merasa pintar, heuh ? Berani-beraninya kamu tidur saat saya mengajar. Ke depan dan kerjakan contoh soal nomer 3." perintahnya, galak.

Walaupun bukan cuma Gabriel yang tertidur saat pelajaran fisika, tapi jelas pemuda itu yang paling kentara karena duduk di barisan depan, "Tumben, " Rio mengernyitkan dahi, melihat siapa yang kali ini jadi korban amukan Bu Rizki. Bu Rizki termasuk guru yang terkenal cukup galak, beliau tidak pernah segan mencantumkan nilai 40 pada rapor siswa-siswi yang bermasalah dengannya.

"Kenapa kamu diam saja ? Tidak bisa ?" sentak Bu Rizki pada Gabriel yang masih mematung di depan papan tulis. Mungkin nyawa pemuda itu belum benar-benar berkumpul sepenuhnya, "Soal seperti ini saja kamu tidak bisa, tapi berani-beraninya tidur saat saya menjelaskan. Mau jadi apa kamu ? Orang malas tidak akan punya masa depan. " cemooh guru 'bermulut pedas' itu.

Belakangan tersiar kabar, bahwa Bu Rizki memang sedang ada masalah dengan keluarganya, mungkin itu juga yang membuat beliau lebih mudah terselut emosi akhir-akhir ini. Tapi sebagai guru yang sudah senior, alasan itu tidak bisa dijadikan pemakluman seharusnya masalah keluarga tidak dibawa-bawa dalam pekerjaan kan.

Karena alasan itu pula Rio mengeluarkan celetukan isengnya, "Bu, kami membayar mahal bukan untuk melihat adegan tidak mendidik seperti ini,” selorohnya sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

"Kamu mengajari saya ?" Bu Rizki melotot tidak terima.

"Tidak Bu, mengajar kan tugas Ibu. " jawab Rio, cuek.

"Maju kamu !" Bu Rizki menggerakan dagunya, mengisyaratkan agar Rio cepat maju, "Gantikan Gabriel, kerjakan soal nomer 3! " intruksi guru yang mengajar mata pelajaran Fisika untuk siswa kelas XII itu.

Rio maju. Diraihnya spidol hitam dari tangan Gabriel, dalam waktu kurang dari lima menit, soal yang diberikan kepadanya, sudah selesai Rio kerjakan. Sebetulnya, Rio bukan termasuk siswa yang pandai. Nilai ulangannya di bidang eksakta tidak pernah jauh dari tangga nada, do-re-mi-fa-sol. Kebetulan saja, semalam Shilla baru mengajarinya soal yang sama persis dengan yang diberikan Bu Rizki, hanya berbeda di angka-angkanya saja.

"Saya bisa belajar menyelesaikan soal seperti ini dalam waktu kurang dari 2 jam. Tapi untuk mulai belajar menghargai orang lain, umur Ibu sepertinya sudah terlalu sepuh." sindir Rio, telak, "Gabriel dibesarkan orang tuanya, bukan untuk Ibu kecilkan di depan kami semua." Imbuhnya, kalem.

"Jangan lancang kamu. Saya ini guru kamu dan saya bisa saja memberikan kamu hukuman. Satu lagi, saya punya hak penuh atas nilai fisika kamu di rapor. "

"Oh, silakan kalau ibu mau menghukum saya, tapi itu artinya Ibu sudah siap kehilangan pekerjaan."

Bu Rizki tersenyum ganjil, "Bagus. Bagus sekali. Kamu mau menggunakan kekuasaan orang tuamu atas sekolah ini, begitu Rio ?"

"Ibu menggunakan otoritas Ibu sebagai guru untuk memberikan hukuman pada saya, padahal belum tentu apa yang saya katakan tadi salah. Jadi apa salahnya kalau saya mencontoh Ibu ? Menggunakan otoritas orang tua saya untuk memecat Ibu."

Kelas benar-benar hening. Padahal seluruh penghuninya dalam keadaan terjaga. Tidak ada yang berani bersuara, bahkan bernapas pun sepertinya dilakukan sepelan mungkin. Siswa-siswi dalam kelas ini, duduk dengan tegang sambil merapal doa, agar tidak ada sesuatu yang buruk menimpa kedua teman mereka, Rio dan Gabriel. Rio dianggap kelewat berani atau bodoh, entahlah.

"Baru masuk kok udah cari masalah aja sih, Yo." lirih Shilla, khawatir.

Sedangkan Bu Rizki tampak marah sekali. Wajahnya merah padam, tubuh gempalnya berdiri kaku. mata besarnya melotot kearah Rio. Sejurus kemudian, ia segera membenahi buku-buku dan alat tulisnya, "Mario-Kiara-Haling,” Bu Rizki mengeja nama itu satu persatu dengan tegas,” temui saya di kantor." ujarnya, lantas keluar dari ruangan kelas XII MIPA 1. Padahal bel tanda habisnya mata pelajaran Fisika baru akan berbunyi 20 menit ke depan.

"Gila lo, Yo. Cari mati. Bu Rizki, Bro. Lo berani apa bego sih ?" koar Feldy, yang langsung menghampiri Rio di depan kelas, setelah Bu Rizki tidak terlihat lagi.

"Hidup tu nggak asyik, Bro, kalau lempeng-lempeng aja." balas Rio, seraya menjotos pundak Feldy.

Seluruh kelas hanya menggelengkan kepala, mendengar jawaban Rio. Mereka kembali pada aktivitas masing-masing setelah adegan yang lebih menegangkan dari pertarungan Harry Potter VS Lord Voldemort tadi, usai.

Sedangkan Si Oknum yang di bela Rio tadi malah melengos keluar kelas.

"Sama-sama, Yel." teriak Rio, "Wah, manis banget ya cara lo berterima kasih." lanjutnya, saat Gabriel sampai di ambang pintu kelas.

Gabriel sama sekali tidak berkomentar, hanya menghentikan langkahnya sejenak, lantas kembali berjalan tanpa dosa, meninggalkan kelasnya.

***
Rio membawa tiga gelas karton berisi orange jus, menyodorkan dua diantaranya pada Shilla dan Ify. Dua gadis itu baru saja membantu Rio secara sembunyi-sembunyi untuk membersihkan semua toilet di lantai dasar sekolah mereka. Selama hampir tiga tahun Rio bersekolah di Veronna High School, belum pernah ada guru yang berani menghukumnya seberat ini. Rio diminta membersihkan seluruh toilet di lantai dasar sekolahnya tanpa bantuan dari siapapun sebagai hukuman dari bu Rizki. Sebelumnya, telinga Rio rasanya sudah sangat panas karena diceramahi habis-habisan oleh bu Rizki tentang sopan santun, etika dan lain sebagainya.

“Thanks ya,” ujar Rio pada Ify dan Shilla yang sedang meneguk minumannya.

“Fy,” Shilla mencoleh lengan kanan Ify, “Lusa, ikut aku sama Rio yuk ke PRJ.”

“Kalian mau jalan-jalan? Emang gapapa kalo gue ikut?” Ify melirik Shilla dan Rio bergantian.

“Ya nggaklah kenapa juga ngeganggu, iya kan yo?”

Rio mengangguk samar, “Iya ikut aja fy kalo lo mau,” jawabnya.

Setelah menandaskan isi gelas karton miliknya, pemuda jangkung itu berdiri, "Pulang yuk Shil, udah sore, " ajaknya, "Fy, lo mau bareng gue, apa sama Alvin ? Dia masih di Ruang OSIS kayaknya.”

"Gue bareng kalian aja, nggak pa-pa kan ?"

"Ok. Yuk, balik kalau gitu. " Rio berjalan lebih dulu. Tapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Ternyata, hujan berniat menghadang kepulangan mereka. Rio sudah akan melepas blazernya untuk dijadikan payung, karena jarak dari kantin menuju parkiran cukup jauh, tapi kemudian Ify menyodorkan sesuatu, "Gue bawa payung kok, ni pakai ! "

"Bagus. Kalau gitu, gue pinjam dulu ya buat anterin Shilla ke mobil, nanti gue balik lagi. "

Sebelum Ify sempat mengamini permintaan Rio, pemuda itu sudah meraih payung merah tua milik Ify, "Ayo Shil ? " Rio menggandeng Shilla. Membimbing gadis itu agar lebih dekat dengannya, mereka berlalu sambil sedikit berjingkat melewati lapangan futsal dan sepetak area yang ditanami tumbuhan apotek hidup.

Ify memperhatikan keduanya, sembari memaksakan seulas senyum.

"Nggak usah sok senyum-senyum, kalau hati lo nangis." suara yang tak kalah dingin dengan udara saat ini, terlantun dari mulut seorang pemuda sipit yang sekarang berdiri menyandarkan tubuh pada salah satu pilar bangunan, tak jauh dari tempat Ify berdiri.

Ify berusaha melebarkan senyumnya, "Lho, Memang kenapa hati gue mesti nangis ? " tanya Ify, sok tidak mengerti.

"Harusnya lo yang diantar Rio duluan. " komentar Alvin, singkat.

"Whatever. " Ify mengibaskan lengan kanannya, "Yang penting sekarang, lo berhenti liatin gue kayak gitu. Gue nggak suka. " tegas Ify.

Ia memang tidak suka dengan cara Alvin memandanginya. Alvin jadi terkesan seperti sedang mengejeknya, menganggap Ify bodoh dan lemah.

"Pangeran lo datang." Alvin menggerakkan dagunya kearah Rio yang berlari kecil, mendekati mereka.

"Fy, yuk !! Eh, Vin. Duluan Ya. " pamit Rio.

Alvin mengangguk, lalu mengacungkan ibu jarinya.

Rio dan Ify berjalan melewati rute yang sama, yang tadi dilewati Rio dengan Shilla. Ify melirik Rio, yang melingkarkan lengan kokohnya pada pundak Ify. Gadis itu, balas melingkarkan lengannya di pinggang Rio. Dalam hati Ify berdoa, supaya secara ajaib jarak dari selasar kantin menuju parkiran setara dengan jarak antara Manado dengan Jakarta.

***

Hari ini matahari benar-benar menuai banyak sumpah serapah dari penduduk bumi, karena ia lalai dalam menjalankan kewajibannya. Udara yang dingin, membuat matahari enggan beranjak dari peraduannya yang nyaman. Seharian hanya gulungan mendung yang terlihat memulas cakrawala. Gumulan awan kelabu itu memang sangat menyebalkan. Sebentar-sebentar menurunkan hujan lalu berhenti, kemudian hujan lagi, lalu berhenti. Lalu hujan lagi, terus berhenti, haaah, betul-betul cuaca yang tidak bersahabat. Membuat malas melakukan aktivitas, terutama yang dikerjakan di luar rumah.
Tapi sepertinya, pernyataan tadi tidak berlaku untuk Shilla. Dengan hanya mengenakan cardigan baby pinknya, Shilla betah berlama-lama duduk di tepi kolam ikan sambil memandangi secarik kertas putih ditangannya. Kertas berukuran A4 itu berisikan gambar sketsa wajah Shilla. Rio baru memberikannya, siang tadi.
Shilla meraba sekitar wajahnya, apa benar ia terlihat secantik itu dimata Rio. Karena jujur saja, gambar sketsa wajah itu tampak begitu sempurna. Sangat cantik.
Desingan angin musim pancaroba meliuk-liuk, di setiap sudut. Menguarkan dingin yang khas. Rambut panjang Shilla sepertinya jadi objek yang sangat menarik untuk di permainkan. Angin mengoyak anak-anak rambut gadis itu hingga melayang ringan kesana kemari. Shilla menumpukan dagu diatas lututnya yang ditekuk. Tangannya menelusuri selembar kertas, yang kelihatannya akan mampu menggeser posisi sapu tangan biru cerah, sebagai barang kesayangan Shilla.

"Hayoo !! " lengkingan suara Ify dan tepukkan keras pada pundaknya, membuat Shilla terperejat.

"Ih, Fy, ngagetin aja sih." gerutu Shilla.

"Hehehe. Lo ngapain disini, Shil ? Kan dingin tau. "

"Nggak ngapa-ngapain juga sih, habis di dalam bosen."

"Oh, " Ify manggut-manggut, "Eh, by the way Shil kapan-kapan boleh dong, gue diajarin masak?"

"Cie mau belajar masak ya ceritanya ? Boleh kok. "

"Ok. Kalau gitu hari minggu nanti, kita mulai belajar ya Shil, di rumah gue."

"Sip." Shilla mengacungkan kedua ibu jarinya tanda sepakat. Ify tersenyum senang.

"Ok deh. Thanks ya Shil, gue masuk dulu deh ya. Di tunggu Rio kayaknya." pamit Ify sambil mengacungkan makalah bersampul kecoklatan dengan tulisan, English Paper 'Kind of The Paragraph', terketik rapi pada cover makalahnya. Sepertinya itu 'pesanan' Rio.

Tanpa menunggu Shilla menyahuti perkataannya, Ify sudah lebih dulu melenggang pergi. Shilla mengendikkan bahu. Detik berikutnya, seperti tidak akan pernah ada bosannya, Shilla kembali menekuni kertas ditangannya.

"Lo ada apa sama Rio ?"

Shilla merutuk dalam hati. Merasa mengenali pemilik suara irit itu. Ia sungguh tidak mengerti, kenapa pemuda berkulit putih itu suka datang dan pergi begitu saja. Bicara pun asal ceplos. Tidak pernah basa-basi lebih dulu. Tidak sopan. Di mata Shilla atitude pemuda itu benar-benar bernilai merah.

"Lo suka sama Rio ? " tak kunjung mendapatkan jawaban, Alvin mengganti pertanyaannya.

Shilla membisu. Selain karena tidak suka urusan pribadinya dikorek-korek, gadis itu juga tidak tahu harus menjawab apa.

"Kok nggak di jawab ?"

Shilla memutar kedua bola matanya, tak acuh. Sedangkan Alvin, sambil menunggu gadis di sebelahnya buka suara, ia menyibukkan diri dengan mengulik handphonenya. Fokus pemuda itu kini tertuju sepenuhnya pada layar handphone yang menampilkan ikon amplop kuning yang bergerak-gerak, menandakan ada pesan singkat yang baru masuk. Alvin menekan tombol tengah pada keypad handphonenya.

From : Mario

Apa gue ska sm shilla y vin?

Alvin tertegun. Sejak dari perjalanan pulang setelah hunting foto bersama klub fotografi sekolahnya ke beberapa museum di Jakarta, ia dan Rio memang saling berkirim pesan singkat, karena Rio bilang ingin menceritakan sesuatu pada Alvin. ia mengulang membaca pesan yang di kirim Rio, berkali-kali. Tapi tetap tidak ada yang berubah dengan isi SMS itu.

Pemuda sipit itu segera menanggalkan ekspresi aneh yang terpeta pada wajah tampannya, begitu menyadari Shilla tengah menatapnya dengan heran. Dengan cepat, air wajah pemuda itu kembali datar, "Lo nggak bisu kan Shil ? " Alvin sepertinya masih berusaha mendesak Shilla untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya.

"Ck." Shilla berdecak kesal, "Memang apa sih peduli kamu heuh ? Kalau aku suka sama Rio kenapa ? Urusan kamu ? masalah buat kamu, iya ? " balas Shilla, super ketus.

"Kalau elo, betulan suka sama Rio, gue punya kabar baik buat lo." jawab Alvin, tanpa melihat Shilla, "Kabar baiknya, Rio juga suka sama lo." Alvin mengalihkan pandangannya dari sebatang pohon flamboyan di depannya. Ia menatap lekat-lekat kedua bola mata jernih milik Shilla.

Shilla menoleh dengan cepat. Bibir tipisnya ternganga, seperti ingin berseru "HAH ? " tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Mata bulat gadis itu melebar maksimal.

Jepret

Tiba-tiba, Alvin membidikkan lensa kameranya. Mengabadikan ekspresi tak percaya Shilla dalam jepretan LSR yang tergantung di lehernya.

"Eh ? " Shilla terkesiap, "Apaan sih ? Kok pakai foto-foto segala. " omelnya.

"Kenapa marah ? Wajah lo di lukis Rio, lo nyantai aja. Kenapa lo mesti marah kalau gue foto ? " jawab Alvin, menyebalkan.

"Hapus !! "

"Nyuruh gue ? Siapa lo ?"

"Kamu tu nyebelin banget sih, Vin. "

"Thanks."

Shilla menggelembungkan pipinya, meremas-remas rok abu-abu yang ia pakai dengan kuat, untuk mengalihkan hasratnya yang sangat ingin meninju dan meremas-remas wajah sok cool, pemuda menyebalkan di hadapannya.

"Sini gue mau lihat. " Alvin merebut secarik kertas dari tangan Shilla dengan cepat, "Oh jadi gambar beginian yang bikin lo senyum-senyum sendiri daritadi. Manipulatif. " komentar Alvin, skeptis.

"Nggak usah sok kasih komentar deh. Nggak penting."

Alvin tidak mempedulikan ucapan Shilla tadi, "Lo nggak secantik ini kali, dan yang paling kelihatan bohongnya, jelas-jelas di balik punggung lo nggak tumbuh sayap." lanjut Alvin.

"Udah sini balikin." Shilla menyambar gambar sketsa wajah miliknya dari Alvin, dengan cepat.

"Emang lo masih minat simpan gambar itu ? Mending juga hasil potretan gue kali, lebih real dan apa adanya."

Shilla tertawa mencibir, "Denger ya, Vin. Terserah deh, mau foto-foto kamu tu jutaan kali lebih bagus pun aku nggak peduli. Karena yang bikin berkesan itu bukan barangnya, tapi siapa yang ngasihnya. Buat aku, yang ngasih gambar ini jelas-jelas lebih berarti dibanding kamu. " tegas Shilla yang kemudian berlaku pergi seraya melirik Alvin dengan sinis.

Sementara Alvin, dalam beberapa detik ke depan masih larut dalam keterkesimaannya akan kata-kata Shilla barusan.

"...jelas-jelas lebih berarti di banding kamu."

Kali ini, Alvin memilih bernego dengan Tuhan. Bisakah ia dimasukkan ke dalam sarkofagus dan di lesakkan ke tanah, detik ini juga. Atau, bolehkan hatinya terbuat dari bongkahan batu, agar ia tidak bisa merasakan apapun, sekarang.

***

Ify menyesap sedikit demi sedikit hot chocolate yang mengisi gelas plastik dalam genggaman tangannya. Uap yang menguarkan aroma coklat masih mengepul diatas gelas plastik tadi. Sementara Rio hanya memainkan minumnya, sambil mengamati lautan umat yang hilir-mudik di hadapannya. Rio memang sudah lama tinggal di Jakarta, tapi jarang sekali ia mengunjungi Pekan Raya Jakarta, acara tahunan yang biasanya berlangsung menjelang hari ulang tahun kota yang pada masa Belanda dulu bernama Batavia ini. Jadilah  malam ini, ia sedikit norak melihat begitu banyaknya manusia di tempat ini.

Keduanya tengah menunggu Shilla yang beberapa waktu lalu pamit untuk membeli arum manis. Mereka memilih duduk-duduk pada kursi yang di sediakan salah satu lapak penjual minuman yang lebih sepi di banding lapak-lapak pedagang yang lain.
Ify melirik jam tangan kuning pucat yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Jarum pendek berhenti tepat di angka sepuluh sedangkan jarum panjangnya menyempil antara angka 11 dan 12. Tinggal beberapa menit sebelum tepat pukul 10 malam.

"Kenapa Fy ? Kemalaman ya ? Lo nanti pasti dimarahin Oom Cakra." seloroh Rio.

Rio, Shilla dan Ify terlalu menikmati jalan-jalan mereka malam ini, sampai-sampai lupa waktu.

"Nggak akan. Tadi kan gue udah izin perginya bareng lo."

"Om Cakra aneh ya ? Kayaknya percaya banget gitu sama gue. Padahal kadang otak gue kriminal juga. Bisa aja, gue culik anak gadisnya, terus gue jual. Duitnya buat beli kaset PS baru." cerocos Rio mirip sales sebuah produk yang membeberkan keunggulan produk dagangannya.

"Boleh aja. Tapi itu berarti lo udah siap nggak lulus, karena nggak ada lagi yang mau bantuin lo bikin tugas. " ujar Ify, kalem.

Keduanya lalu terdiam cukup lama. Seperti kehabisan topik untuk ditanyakan atau diceritakan.

"Fy... ? "

"Hm ? "

"Bintangnya indah ya ? "

Ify mendelik, gadis itu malah tertawa mendengar perkataan Rio, "Hahaha. Dangdut banget deh lo." cibirnya.

Rio merengut, "Kok dangdut sih ? Serius kali. Bintangnya malam ini cantik banget. Tapi... Lo jauh lebih cantik."

Ify tertawa semakin keras. Wajahnya memerah, menahan tawanya agar tidak semakin menjadi. Ify sampai harus membekap mulutnya sendiri dengan tangan, "Hahahaaduh, aduh udah deh Yo. Cukup ya. Please. Lo nggak bakat gombal. Lagian lihat tu keatas, lagi nggak ada bintang kali. "

"Ah, lo nggak asik deh, Fy. Ketawa mulu, gue lagi mau ngomong serius ni, " dumel Rio. Pemuda itu melempar-lempar kulit kacang diatas meja dengan asal, "Fy, gue mau jujur sama lo tentang perasaan gue. Tapi please ya, gue mohon lo jangan ketawa..."

Ify mengangguk setuju. Penasaran juga, apa yang kira-kira ingin Rio sampaikan pada Ify.

"Gue... Sebenarnya.. Gue suka sama lo, Fy. Udah sejak lama. Tapi gue baru berani bilang sama lo, sekarang. Gue tahu ini pengecut banget, maka dari itu gue nggak akan minta lo buat jadi cewek gue. Lo tahu perasaan gue aja itu udah lebih dari cukup. Tapi... Kalau seandainya lo mau kasih gue kesempatan buat jagain lo dan buktiin rasa... emm.. sayang gue, gue bakal berterima kasih banget, Fy."

Rio menatap lembut, coklat gelap kedua manik mata Ify. Lengan kokoh pemuda itu, menggenggam jemari gadis yang terpaku di hadapannya. Suara halus Rio terdengar begitu tulus dalam mengucapkan setiap kalimatnya tadi. Ia menyunggingkan senyum terbaiknya. Ify terdiam. Benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Merasakan tubuhnya seperti melayang, ditemani kawanan kupu-kupu bersayap merah jambu. Jantungnya berdegup tak beraturan. Wajahnya terasa panas membara.
Mungkin sebentar lagi ia akan meledak saking bahagianya. Haaah, setelah sekian lama waktu terlewati, akhirnya Tuhan berbaik hati mengakhiri segala penantiannya. Malam ini perasaan yang lama terpendam itu, menuai balasan. Ingin sekali, detik itu juga, Ify melompat dan memeluk Rio.

"I love you..." ujar Rio, sungguh-sungguh.

Ify menarik nafas, "Lov-."

"Rio ? "

Shilla merasakan pandangannya mulai samar, matanya memanas, ada yang diam-diam mengembang dan siap mengalir dari pelupuk mata indahnya. Gadis itu tanpa sadar menggelengkan kepala, seolah tidak terima. Suaranya bergetar saat memanggil nama pemuda yang duduk berdua Ify, tak jauh dari tempatnya berdiri. Shilla tidak mengerti, tapi apa yang baru saja dilihat dan didengarnya, membuat seluruh tubuhnya lemas, ada rasa nyeri yang menohok hatinya. Shilla mundur perlahan dengan kepala tertunduk. Gadis itu lantas berbalik dan memutuskan untuk berlari menjauh.

"Lho ? Shilla kenapa ? Shillaa... Shil !! " Rio segera bangkit dan berusaha mengejar Shilla.

Ify merasakan sesuatu yang menyakitkan akan terjadi, begitu Rio menyentakkan pegangan pada kedua tangannya. Gadis itu berjalan dengan sedikit enggan, menyusul Rio.


 ***

0 komentar:

Posting Komentar