Rahasia Orion Part 7
"Inilah Aku"
***
"Ify..."
suara berat seseorang menyerukan nama gadis yang tengah asik melamun di balkon
kamar itu.
Ify
menoleh.
Cakra
Nugraha, Ayahanda Ify, berdiri kaku di dekat pintu. Pria berkacamata dengan
frame hitam itu, tersenyum seadanya pada putri tunggalnya, "Kamu sudah
menghubungi bundamu untuk acara lusa, Fy ?" suara berat laki-laki berusia
sekitar 40 tahunan itu, memaksa Ify segera beranjak dari balkon kamarnya.
"Udah,
Pa. Bunda bilang, nanti diusahakan buat datang."
"Bagus
kalau begitu." sahut Cakra seraya melonggarkan dasi abu-abu yang mencekat
lehernya, kemeja garis-garis pria itu terlihat kusut, beberapa bagian malah
sudah keluar dari celana bahan berwarna hitam yang ia kenakan, "Ya sudah,
lekas tidur sana. Tidak baik, malam-malam melamun di balkon seperti tadi."
imbuhnya, singkat. Setelah bekerja seharian, Cakra tentu ingin segera membilas
tubuhnya yang lengket oleh keringat dengan berendam di air hangat. Lantas,
rebah diatas kasur empuknya dalam kamar dengan wangi aromatherapy, bunga
Lavender.
Ify hanya mengangguk patuh. Mengamati Sang Papa yang mulai
berjalan kearah pintu. Tapi sejurus kemudian, pria yang sejak 2 tahun lalu
menjadi single parent untuk Ify itu, menghentikan langkahnya. Matanya berkilat
ganjil, menitik pada satu objek.
Seketika Ify merasa tubuhnya di lolosi tulang-belulang, saat
menyadari, apa yang menarik perhatian Sang Papa. Secarik kertas dengan angka 50
yang ditulis besar-besar dengan spidol merah, disisi kanannya. Kertas itu
adalah hasil ulangan biologi yang baru dibagikan tadi pagi, dan celakanya Ify
belum sempat menyembunyikan kertas sial itu. Seakan itu saja belum cukup,
keadaan diperparah dengan dua 'buku' kumpulan cerpen-cerpen buatan Ify, yang
terletak tak jauh dari kertas ulangan tersebut. Gadis yang gemar menulis itu
memang terbiasa mencetak hasil-hasil tulisannya untuk kemudian dijilid rapi dan
dibukukan. Paling tidak, walaupun Ify tidak akan pernah punya kesempatan untuk
menerbitkan cerita-cerita karangannya, ia sudah cukup bangga memiliki dokumen
pribadi yang memuat karya-karyanya itu.
Cakkra
menyipitkan mata. Selembar kertas bergetar dalam genggaman tangannya,
"Materi peredaran darah." ujarnya dingin. Senyum mencela tersungging
nyata pada seraut wajah letih laki-laki itu, "Mana ada dokter yang nilai
biologinya 50. Salah-salah semua pasien akan mati, kalau ditangani dokter bodoh
sepertimu." lanjutnya, sinis.
Ify mengangkat wajahnya, menatap nanar pada Cakra yang
bergeming dekat meja belajar. Kata-kata Papanya tadi, bak mata pisau yang tanpa
ampun, menghujam tepat di ulu hatinya. Seandainya sanggup, ingin sekali Ify
berteriak, menyanggah ucapan Papanya barusan. Apa masih kurang belasan tahun
waktunya yang dikorbankan untuk menuruti semua permintaan orang tuanya,
terutama Sang Papa ? Apa semua itu masih belum cukup, hingga pria yang begitu
Ify hormati, tega memakinya seperti itu, "Kok Papa ngomong kayak gitu
?" lirih Ify.
"Lho,
memang apa yang salah dari omongan Papa. Benar kan ? Hanya orang bodoh yang mau
membuang-buang waktunya untuk menulis SAMPAH-SAMPAH INI." suara Cakra
meninggi, ia mengacungkan dua 'buku' berjilid biru muda, yang keduanya kalau
digabungkan memuat sekitar 30 judul cerita di dalamnya.
Ify
mencelos. Digigitnya bibir bagian dalam untuk menahan tangis, "Pa, Ify
minta maaf."
"Kamu
ya Fy, susah sekali dinasehati. Sudah berapa kali Papa bilang, menulis
cerita-cerita seperti tidak ada gunanya. Apa sih yang kamu peroleh, heuh
?" Cakra, tampak sangat marah kali ini.
"Pa,
apa Papa nggak sayang sama Ify ? Kenapa Papa-"
"Justru
karena Papa sangat menyayangimu." potong Cakra sedikit geram, tubuhnya
yang digelayuti penat dan sudah melolong minta diistirahatkan, membuat pria itu
lebih sulit mengontrol emosi daripada biasanya, "Tidak ada orang tua yang
tidak menyayangi anaknya. Apalagi kamu putri Papa satu-satunya, Fy. Dan karena
itu pula, Papa tidak ingin kamu salah memilih jalan untuk masa depanmu, Papa
tidak mau kamu menyesal, nanti. Menulis itu hanya buang-buang waktu, kamu hanya
akan jadi manusia tertutup yang tidak pernah berani, tidak percaya diri untuk
mengungkapkan pemikiran, pendapat dan perasaanmu. Kamu akan lebih nyaman
menuangkan segalanya dalam bentuk tulisan. Dan yang seperti ini, akan sangat
menghambat kemajuanmu."
"Papa
berlebihan. Ify suka menulis dan-"
"Dan
kamu bersedia jadi tukang khayal, begitu ?" lagi-lagi Cakra menyela
kalimat yang belum rampung Ify ucapkan, "Lihat bundamu ! Dia habiskan
waktunya untuk menulis. Tapi apa yang didapatnya ? Rumah kontrakan dan motor
butut. Kamu mau seperti itu ? Kamu itu jadi anak harus nurut sama Papa, Fy. Toh
Papa juga menginginkan yang terbaik buat kamu. "
"Iya
Pa. Ify akan tetap jadi dokter seperti yang Papa mau. Ify janji itu nilai 50
yang pertama dan terakhir buat Ify." Ify mengangguk, pasrah. Tidak ada
gunanya berdebat lebih jauh dengan Papanya.
"Bagus
kalau begitu. Mulai sekarang, berhenti melakukan hal bodoh, seperti menulis
sampah-sampah seperti-"
"PA
!" Sela Ify dengan nada tinggi, "Berhenti bilang bodoh dan sampah
didepan Ify, Pa. Ify anak Papa. Bukan pengemis yang pantas Papa
caci-maki." Ify benar-benar tidak habis fikir, kenapa Papanya masih saja
menjudge dirinya dan dunia yang ia sukai, dengan kata-kata sekasar itu, padahal
Ify kira perdebatan itu sudah usai. Air mata gadis manis itu meleleh, "Ini
kehidupan Ify, Pa. Bukan hidup Papa. Jadi dokter itu mimpi Papa kan ? Sama
sekali bukan cita-cita Ify. Mimpi yang terpaksa kandas karena Opa dan Oma paksa
Papa jadi pemimpin perusahaan keluarga. Papa tahu rasanya di paksa, Papa tau
sedihnya nggak punya kesempatan mewujudkan mimpi kita, terus.. terus kenapa
Papa ulangi semua ini sama Ify, Pa ? Kenapa ? Ify nggak mau, Ify nggak suka
jadi dokter." tegas Ify dengan suara bergetar hebat. Ify tidak tahu,
darimana ia memperoleh keberanian untuk bicara seperti itu di depan Papanya. Ia
bahkan mengatakan semua itu sambil memejamkan mata, tadi.
"Oh,
sudah berani membantah Papa rupanya. Siapa yang mengajarimu, Bundamu ? Kamu
betul-betul keras kepala, harus diberi pelajaran. Sini ikut Papa !" Cakra
menarik pergelangan tangan putrinya dengan kasar. Diseretnya Ify keluar kamar.
"Papa,
lepas Pa. Sakit." Ify maronta, berusaha melepas pergelangan tangannya dari
cengkraman kuat lengan kokoh Sang Papa. Gadis itu meringis kesakitan.
Cakra
mengabaikan Ify yang tertatih mengimbangi langkah-langkah panjang kedua
kakinya. Pria itu menyeret Ify sampai halaman depan, "Mang Suhe, bakar
kertas-kertas ini." perintah Cakra, pada laki-laki paruh baya, tukang
kebun rumah Ify.
"Pa,
jangan Pa. Ify mohon. Jangan. Ify janji nggak akan nulis lagi."
"Cepat
bakar, Mang !"
"Tapi
Tuan..."
"Cepat
bakar, atau kamu saya pecat." ancam Cakra.
"Pa,
jangan..." pinta Ify, memelas. Ify bersimpuh, lengan kirinya yang masih
bebas bergerak, memeluk kaki Cakra. Tapi pria itu tetap membesi, tak peduli.
Dalam
sekejap, api mengepul. Dua 'buku' Ify tadi di lempar dengar kasar kedalam
kobaran nyala kemerahan, Ify menangis tersedu. Si jago merah dengan senang
hati, langsung melumatnya, dengan cepat menggosongkan beberapa bagian.
"Jangan
pernah melawan Papa lagi, atau kamu akan mendapatkan yang lebih buruk dari
ini." Cakra memperingatkan Ify, lalu beranjak pergi. Meninggalkan putri
semata wayangnya yang terduduk lemas dengan wajah dibanjiri air mata.
Ada elegi dan symphony yang telah susah payah Ify tuangkan
dalam rangkaian kata. Tapi kini, api telah menjadikannya abu. Entahlah, Ify
hanya bisa duduk memeluk lutut, membiarkan gada-gada raksasa milik bima
menggodam hatinya. Meninggalkan denyutan menyakitkan yang akan coba untuk Ify
abaikan.
***
"Rio,
buruan dong!" Shilla mendorong tubuh jangkung Rio, sambil terus berkoar
agar pemuda itu mempercepat rutinitas pagi harinya.
"Sebentar
dong, Shil. Ini kan baru jam 6, lo mau bersih-bersih sekolah dulu? Lihat ni,
dasi gue aja masih berantakan." seloroh Rio sembari terus mencoba
membentuk simpul yang apik pada dasinya, "Lagian ya, gue bangun jam 5 pagi
aja harusnya udah dapat nobel, tau nggak ?" rancau Rio.
"Nggak
tau." balas Shilla tak acuh.
Rambut tebal pemuda itu, yang belum sempat tersentuh sisir,
diacaknya dengan tangan kanan secara asal. Dengan gerakan cepat, Rio berjalan
kearah sedan biru tuanya, membukakan pintu untuk Shilla. Pemuda tampan itu
sedikit membungkuk dengan tangan kiri terlipat di belakang punggung. Sikap
sempurna untuk seorang supir yang hendak mengantarkan seorang putri cantik
berpergian, "Silakan ?" katanya, santun.
Shilla
terkekeh, " Terima kasih."
"Yeah,
thanks are nice but kiss is better." Rio memajukan wajahnya, sambil
menutup mata.
"You
wish." desis Shilla.
Tapi sebelum masuk ke dalam mobil mewah berplat B itu, Shilla
menjulurkan tangannya. Membenahi poni rambut Rio yang kelewat panjang menutupi
alis mata pemuda itu. Jemarinya menyisir lembut, rambut hitam Rio.
Tiba-tiba Rio membuka matanya, dua manik mata mereka beradu
untuk sesaat. Dalam satuan detik yang kelewat singkat itu, paling tidak
keduanya sama-sama merasakan ada deburan halus yang mengetuk perlahan hati
masing-masing dari mereka. Layaknya ombak lautan yang membelai lembut serpihan
pasir-pasir di pantai. Meski merasa canggung dan malu-malu, tapi Rio ataupun
Shilla sepertinya enggan membuang pandangan kearah lain, sampai akhirnya deheman
usil beberapa begawai yang lalu lalang, membuat mereka harus rela menyudahi
adegan klise tadi.
"Ekhm,
Pagi Mas Rio. " goda seorang pelayan muda yang berjalan menuju pintu
samping sambil menenteng belanjaan.
Dengan
kikuk, setelah Shilla duduk manis dalam mobilnya, Rio menutup pintu, kemudian
duduk dibalik kemudinya.
Sejurus kemudian, mobil yang merupakan hadiah dari Eyang
Putri untuk cucu kesayangannya itu, mulai merangkak teratur, menggilan jalanan
beraspal Ibu Kota. Lalu lintas kota Jakarta masih cukug lengang, mengingat
waktu baru beranjak 5 menit dari pukul 6 pagi. Shilla memang ngotot mengajak
Rio untuk berangkat ke sekolah lebih awal, karena mereka akan terlebih dulu
mampir ke taman kota. Shilla ingin mencicipi nasi uduk yang dijual di
pinggir-pinggir jalan sepanjang taman kota.
"Eh,
iya Shil, gue mau tanya ?" ujar Rio, setelah beberapa menit terlewati
dalam diam. Sedikit terasa aneh, karena sebelumnya Rio dan Shilla tidak pernah
sekaku ini meskipun duduk hanya berdua selama berjam-jam, selalu saja ada yang
bisa di bicarakan dari hal-hal krusial tentang mereka pribadi sampai
topik-topik tidak penting seperti menu makan malam atau jadwal arisan Eyang
Putri. Mungkin kali ini, efek dari tatap-tatapan singkat tadi masih bekerja.
"Tanya
apa ?"
"Emm..."
Rio mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada stir, dengan ekor matanya, Rio melirik
Shilla yang terlihat asik mengamati jalanan yang masih sepi dari balik kaca
jendela, "Yang semalam itu... Maksudnya apa ?"
"Semalam
? Yang mana ?"
"Aduh...
Yang 'aku minta kamu' itu lho. Maksudnya apa ?"
"Oh,
itu..." Shilla tersenyum simpul, gadis itu mulai duduk menyamping
menghadap Rio, "Emm, dari pertama aku tinggal di Jakarta, aku selalu minta
sama Tuhan supaya turunin seseorang yang bisa bikin aku betah tinggal di kota
ini. Siapapun orangnya. Dan semalam aku fikir, mungkin yang selama ini aku
minta itu, kamu. Kalau bukan karena kamu yang selalu baik sama aku, aku pasti
udah pulang ke kampung dari kemarin-kemarin." papar Shilla.
Setelah kalimat panjang yang dituturkan Shilla, tidak ada
lagi suara yang terdengar dari dalam mobil yang terus melaju. Hanya samar-samar
terdengar Rio yang bersenandung kecil, melantunkan sebuah lagu featuring antara
grup band Ungu dengan Andien, dengan judul Saat Bahagia.
Pagi ini, entah karena pengaruh Mataharinya yang bersinar
terang atau karena udaranya yang masih segar, wajah tampan Rio terlihat lebih
cerah dari biasanya. Sorot matanya tampak begitu hidup.
"Lagi
senang ya ?" Shilla memiringkan kepalanya, menyangganya dengan tangan
kiri, lantas mengamati Rio dengan tatapan menyelidik, "Atau... Lagi jatuh
cinta ?" tebaknya, asal.
Rio
mengendikkan bahu, "Maybe..."
"Cie
Rio..." Shilla berusaha terlihat wajar dan biasa saja mendengar pernyataan
Rio barusan, "Ayooo sama siapa ? Aku kenal nggak sama cewek beruntung itu
? Aaaa... Aku tahu, sama Ify yaaa ? " Shilla menyikut lengan Rio, sembari
memasang senyum jahil.
Rio
mengerutkan keningnya, "Kok Ify sih ? Bukan dong."
"Lha,
terus siapa dong ? Aku liat cewek yang dekat sama kamu cuma Ify deh."
"Emangnya
lo bukan cewek ?"
"Ha
?" Shilla membulatkan mulutnya.
"Hahaha.
Pokoknya ada deh Shil, tapi bukan Ify."
"Kenapa
bukan Ify aja, dia baik kan ?" pancing Shilla. Ia hanya ingin tahu
bagaimana perasaan Rio terhadap kawan semejanya itu, karena selama ini yang
Shilla lihat, keduanya sangat dekat dan (harus Shilla akui) mereka serasi.
"Ya,
emang sih dulu gue sempat berfikir kalau gue suka sama Ify. Dia cewek yang
nyaris sempurna, tapi... Gue pernah lihat Alvin meluk Ify dan ya…mereka cocok
kok." cerita Rio, dengan pandangan lurus kearah jalan, berusaha tetap
fokus mengendalikan mobilnya.
"So
? Mereka pelukan juga belum tentu ada apa-apa kan ?"
"Iya
sih, tapi kalau menurut gue, emang seharusnya kayak gitu. Ify sama Alvin. Tipe
ceweknya Alvin tu yang mandiri, yang bisa ngelakuin banyak hal sendiri, yang
nggak manja dan selalu ngandalin orang lain, cerdas, tegas, Ify banget kan ?
Lagi pula, gue sama Ify memang lebih pas jadi sahabat aja."
"Kalau
kamu ?"
"Gue
? Apanya ?"
"Tipe
cewek kamu yang kayak gimana ?"
Rio
tersenyum penuh arti, "Emm yang gimana ya ??" Rio mengetuk-ngetukkan
telunjuk pada dagunya, tampak berfikir serius untuk sekedar menjawab pertanyaan
Shilla, "Mungkin yang rambutnya panjang, jago masak, perhatian, lembut,
polos, ya... Kayak lo gitu juga nggak pa-pa sih." Jawabnya, sambil melirik
nakal pada Shilla.
"Hah
? Aku ?" Shilla mengarahkan telunjuknya ke depan wajah.
"Hehehe,
udah ah, buruan sana. Udah sampai tu, lo sendiri aja ya yang beli, gue tunggu
di mobil." perintah Rio.
Tidak terasa, mobil Rio sudah menghentikan lajunya tepat di
depan sebuah taman kota. Seperti tempat-tempat yang lain, taman ini juga masih
cukup sepi. Hanya terlihat segelintir orang yang sedang jogging dan gerobak
pedagang bubur ayam yang di kerumuni ibu-ibu berdaster dengan roll rambut yang
masing menyembul dari beberapa kepala.
Tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan Ibu pedagang nasi uduk yang ia
incar, setelah melakukan transaksi jual beli yang cukup singkat, Shilla sudah
akan kembali ke mobil Rio dengan menentrng dua bungkus nasi uduk masih hangat
yang baunya menguar kemana-mana menggugah selera.
Gadis
yang kali ini mengenakan jepitan mungil beraksen kumbang warna merah untuk menghiasi
rambut panjangnya itu berjalan ringan sambil bersenandung, ketika kemudian di
melihat seorang gadis yang duduk membelakanginya di salah satu bangku taman.
Shilla
berjalan perlahan, memberanikan diri untuk menghampiri gadis yang sepertinya
dikenalnya itu, "Fy..." sapanya, lirih.
Ify
yang duduk di salah satu bangku usang di taman itu dengan kedua tangan menutupi
wajah dan pundak bergetar, tergagap mendengar suara lembut Shilla yang
memanggilnya. Dengan satu gerakan cepat, di sapunya seluruh air mata yang
menggenangi Pipinya dengan punggung tangan, "Shilla. Kamu... Kok kamu ada
disini ?"
"Harusnya
aku yang tanya kayak gitu, kamu ngapain disini ? Nggak ke sokalah ?"
"Aku...
Aku.."
"Kamu
habis nangis ya ? Kenapa ?" Shilla ikut duduk di sebelah Ify,
mengusap-ngusap pundak Ify dengan lembut.
"Nggak
kok, Shil. Tadi cuma kelilipan." kilah Ify.
"Ayolah
Ify, kamu kenapa ? Kita kan sahabat, cerita aja, aku mau dengerin kok."
"Sa-Sahabat
?"
Shilla
mengangguk mantap, "Iya, kita sahabat kan ?"
Ify tergugu. Gadis ini, apa benar menganggap Ify sebagai
sahabatnya ? Seingat Ify, Shilla adalah gadis pertama yang berkata demikian.
Yang menganggapnya sahabat, meski Ify sama sekali belum pernah membantunya.
Bahkan sejauh ini, Ify masih belum bisa bersikap lebih baik pada Shilla.
Padahal, teman-temannya yang lain, baru akan bilang "Lo kan sahabat gue,
Fy." hanya kalau mereka membutuhkan bantuan, menyelesaikan tugas kelompok
atau menyalin pekerjaan rumah.
Ify menitikkan air mata sambil tertawa kecil, gadis itu
memeluk Shilla dengan erat, "Kita sahabat, Shil." dari balik punggung
Shilla, Ify menangis sepuasnya. Menceritakan segala hal yang memang sudah sejak
lama ingin ia bagi. Menumpahkan seluruh keluh-kesah dan beban yang selama ini
di simpannya seorang diri. Ify mungkin memang memiliki Alvin dan Rio yang akan
selalu mau mendengarkan ceritanya, tapi tentu tidak senyaman kalau berbagi cerita
dengan sesama kaum hawa.
"Udah ya Fy. Cup-cup-cup. Kamu udahan dong nangisnya,
nanti aku malah ikutan nangis jadinya." Shilla mengibas-ngibaskan tangan
di depan mata beningnya yang mulai berkaca-kaca, "Udah ya, Rio atau Alvin
mungkin simpan salinan beberapa cerpen kamu, nanti kamu minta dan print ulang
aja. Sabar ya..." hibur Shilla, seraya mengelus-ngelus punggung Ify.
Ify melepas pelukannya, mata bulat gadis itu tampak sembab.
Pipinya basah oleh air mata, dengan anak-anak rambut yang ikut menempel disana,
"Nggak usah Shil. Mungkin aku mau nyerah aja. Aku bakal berhenti nulis
seperti apa yang Papa mau." tutur gadis itu terdengar lemah dan rapuh.
Shilla benar-benar iba, melihatnya. Andai bisa, apapun akan Shilla berikan agar
Ify bersemangat lagi, seperti biasanya, "Kenapa ya Shil. Inilah aku, aku
yang selalu berusaha jadi yang terbaik bagi orang tua aku meskipun itu harus
ngorbanin diri aku sendiri, tapi kenapa ya Papa nggak ngerti aku sedikit aja.”
"Kebahagiaan
itu ibarat cahaya fy dan kamu nggak perlu jadi lilin kok." Shilla
memandang kearah langit yang masih menyisakan warna keemasan di ufuk timur,
"Lebaynya gini Fy, kamu nggak perlu kok membakar diri kamu sendiri kayak
lilin supaya bisa kasih cahaya ke orang lain. Kamu nggak perlu mengorbankan
banyak hal, mulai dari waktu, masa remaja, mimpi, bahkan kehidupan kamu demi
sahabat, pacar, keluarga termasuk Papa kamu. Masih banyak cara buat bikin
orang-orang yang kamu sayang bahagia dan bangga sama kamu, tanpa harus
menyakiti diri kamu sendiri. Yang paling penting kamu nggak boleh nyerah."
Shilla mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, "Harapan kamu
nggak boleh mati, kalau jadi penulis itu adalah takdir kamu, Tuhan pasti akan
kasih jalan. Kamu jangan nyerah gitu aja," Imbuh Shilla, penuh keyakinan.
Ify
beranjak dari duduknya, membenahi rok kotak-kotaknya yang sedikit kusut,
"Yuk !!" serunya dengan nada ceria.
"Kemana
?" tanya Shilla, polos.
"Ke
sekolah dong, Shil. 15 menit lagi masuk, kamu nggak mau telat kan ? Pelajaran
pertama Bu Rizki lho."
Shilla
mendesah lega, mendapati senyum manis yang kembali terpeta pada paras ayu Ify.
Gadis tirus itu pasti sudah merasa lebih baik, sekarang.
***
Bu rizki masih sangat asik menulis rentetan rumus dan
angka-angka pada kedua whiteboard di depan kelas. Tulisan tegak sambung khas
orang tempo dulu, bukan hanya membuat malas siswa-siswinya untuk mencatat,
bahkan melihatnya saja sudah membuat mata berkunang-kunang. Butuh iman dan
dedikasi yang kuat untuk bisa meresapi, dan kemudian menyalin tulisan-tulisan
semrawut milik Bu Rizki ke dalam buku tulis masing-masing. Seperti belum cukup
menyiksa, guru bertubuh besar itu juga menjelaskan setiap materi mata
pelajarannya dengan sangat membosankan dan berbelit-belit. Membuat setiap siswa
yang menyukai pelajaran fisika, dianggap abnormal oleh teman-temannya.
Mengingat bagaimana cara mengajar guru mata pelajaran tersebut yang sangat jauh
untuk bisa di bilang mengasyikan, menyerempet sedikitpun tidak sama sekali.
Pagi ini, kelas XII MIPA 1 yang ketiban sial, harus
menghadapi guru killer pecinta kebersihan itu, di jam pertama. Sudah lebih dari
1 jam, Bu Rizki mengajar di kelas, dan seperti biasanya suasana kelas hening
dan tenang. Tapi bukan karena murid-muridnya yang memperhatikan, lebih karena
sebagian besar dari mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang SMSan,
baca novel di kolong meja, berpetualang di dunia maya, curhat di halaman
belakang buku tulis, bahkan anak-anak yang duduk di barisan paling belakang
sudah terlelap dengan wajah di halangi buku paket fisika masing-masing. Hanya
sedikit dari mereka yang masih setia mendengarkan Bu Rizki yang sedang mengulas
materi kalor. Pun dengan Rio, pemuda tampan itu, asyik memainkan handphonenya. Rio
hampir saja juga ikut memejamkan mata, sebelum terdengar bunyi gebrakan meja
yang membuatnya terlonjak kaget.
BRAK
"Gabriel
!! Bangun kamu !" raung Bu Rizki dengan suara keras, kayu yang biasa
digunakannya menunjuk tulisan-tulisan di papan tulis, di hentakan ke meja,
"Sudah merasa pintar, heuh ? Berani-beraninya kamu tidur saat saya
mengajar. Ke depan dan kerjakan contoh soal nomer 3." perintahnya, galak.
Walaupun
bukan cuma Gabriel yang tertidur saat pelajaran fisika, tapi jelas pemuda itu
yang paling kentara karena duduk di barisan depan, "Tumben, " Rio
mengernyitkan dahi, melihat siapa yang kali ini jadi korban amukan Bu Rizki. Bu
Rizki termasuk guru yang terkenal cukup galak, beliau tidak pernah segan
mencantumkan nilai 40 pada rapor siswa-siswi yang bermasalah dengannya.
"Kenapa
kamu diam saja ? Tidak bisa ?" sentak Bu Rizki pada Gabriel yang masih
mematung di depan papan tulis. Mungkin nyawa pemuda itu belum benar-benar
berkumpul sepenuhnya, "Soal seperti ini saja kamu tidak bisa, tapi
berani-beraninya tidur saat saya menjelaskan. Mau jadi apa kamu ? Orang malas tidak
akan punya masa depan. " cemooh guru 'bermulut pedas' itu.
Belakangan tersiar kabar, bahwa Bu Rizki memang sedang ada
masalah dengan keluarganya, mungkin itu juga yang membuat beliau lebih mudah
terselut emosi akhir-akhir ini. Tapi sebagai guru yang sudah senior, alasan itu
tidak bisa dijadikan pemakluman seharusnya masalah keluarga tidak dibawa-bawa
dalam pekerjaan kan.
Karena
alasan itu pula Rio mengeluarkan celetukan isengnya, "Bu, kami membayar
mahal bukan untuk melihat adegan tidak mendidik seperti ini,” selorohnya sambil
menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
"Kamu
mengajari saya ?" Bu Rizki melotot tidak terima.
"Tidak
Bu, mengajar kan tugas Ibu. " jawab Rio, cuek.
"Maju
kamu !" Bu Rizki menggerakan dagunya, mengisyaratkan agar Rio cepat maju,
"Gantikan Gabriel, kerjakan soal nomer 3! " intruksi guru yang
mengajar mata pelajaran Fisika untuk siswa kelas XII itu.
Rio maju. Diraihnya spidol hitam dari tangan Gabriel, dalam
waktu kurang dari lima menit, soal yang diberikan kepadanya, sudah selesai Rio
kerjakan. Sebetulnya, Rio bukan termasuk siswa yang pandai. Nilai ulangannya di
bidang eksakta tidak pernah jauh dari tangga nada, do-re-mi-fa-sol. Kebetulan
saja, semalam Shilla baru mengajarinya soal yang sama persis dengan yang
diberikan Bu Rizki, hanya berbeda di angka-angkanya saja.
"Saya
bisa belajar menyelesaikan soal seperti ini dalam waktu kurang dari 2 jam. Tapi
untuk mulai belajar menghargai orang lain, umur Ibu sepertinya sudah terlalu
sepuh." sindir Rio, telak, "Gabriel dibesarkan orang tuanya, bukan
untuk Ibu kecilkan di depan kami semua." Imbuhnya, kalem.
"Jangan
lancang kamu. Saya ini guru kamu dan saya bisa saja memberikan kamu hukuman.
Satu lagi, saya punya hak penuh atas nilai fisika kamu di rapor. "
"Oh,
silakan kalau ibu mau menghukum saya, tapi itu artinya Ibu sudah siap
kehilangan pekerjaan."
Bu
Rizki tersenyum ganjil, "Bagus. Bagus sekali. Kamu mau menggunakan
kekuasaan orang tuamu atas sekolah ini, begitu Rio ?"
"Ibu
menggunakan otoritas Ibu sebagai guru untuk memberikan hukuman pada saya,
padahal belum tentu apa yang saya katakan tadi salah. Jadi apa salahnya kalau
saya mencontoh Ibu ? Menggunakan otoritas orang tua saya untuk memecat
Ibu."
Kelas benar-benar hening. Padahal seluruh
penghuninya dalam keadaan terjaga. Tidak ada yang berani bersuara, bahkan
bernapas pun sepertinya dilakukan sepelan mungkin. Siswa-siswi dalam kelas ini,
duduk dengan tegang sambil merapal doa, agar tidak ada sesuatu yang buruk
menimpa kedua teman mereka, Rio dan Gabriel. Rio dianggap kelewat berani atau
bodoh, entahlah.
"Baru
masuk kok udah cari masalah aja sih, Yo." lirih Shilla, khawatir.
Sedangkan Bu Rizki tampak marah sekali. Wajahnya merah padam,
tubuh gempalnya berdiri kaku. mata besarnya melotot kearah Rio. Sejurus
kemudian, ia segera membenahi buku-buku dan alat tulisnya, "Mario-Kiara-Haling,”
Bu Rizki mengeja nama itu satu persatu dengan tegas,” temui saya di
kantor." ujarnya, lantas keluar dari ruangan kelas XII MIPA 1. Padahal bel
tanda habisnya mata pelajaran Fisika baru akan berbunyi 20 menit ke depan.
"Gila
lo, Yo. Cari mati. Bu Rizki, Bro. Lo berani apa bego sih ?" koar Feldy,
yang langsung menghampiri Rio di depan kelas, setelah Bu Rizki tidak terlihat
lagi.
"Hidup
tu nggak asyik, Bro, kalau lempeng-lempeng aja." balas Rio, seraya
menjotos pundak Feldy.
Seluruh
kelas hanya menggelengkan kepala, mendengar jawaban Rio. Mereka kembali pada
aktivitas masing-masing setelah adegan yang lebih menegangkan dari pertarungan
Harry Potter VS Lord Voldemort tadi, usai.
Sedangkan
Si Oknum yang di bela Rio tadi malah melengos keluar kelas.
"Sama-sama,
Yel." teriak Rio, "Wah, manis banget ya cara lo berterima
kasih." lanjutnya, saat Gabriel sampai di ambang pintu kelas.
Gabriel
sama sekali tidak berkomentar, hanya menghentikan langkahnya sejenak, lantas
kembali berjalan tanpa dosa, meninggalkan kelasnya.
***
Rio membawa tiga gelas karton berisi orange jus, menyodorkan
dua diantaranya pada Shilla dan Ify. Dua gadis itu baru saja membantu Rio
secara sembunyi-sembunyi untuk membersihkan semua toilet di lantai dasar
sekolah mereka. Selama hampir tiga tahun Rio bersekolah di Veronna High School,
belum pernah ada guru yang berani menghukumnya seberat ini. Rio diminta
membersihkan seluruh toilet di lantai dasar sekolahnya tanpa bantuan dari
siapapun sebagai hukuman dari bu Rizki. Sebelumnya, telinga Rio rasanya sudah
sangat panas karena diceramahi habis-habisan oleh bu Rizki tentang sopan
santun, etika dan lain sebagainya.
“Thanks
ya,” ujar Rio pada Ify dan Shilla yang sedang meneguk minumannya.
“Fy,”
Shilla mencoleh lengan kanan Ify, “Lusa, ikut aku sama Rio yuk ke PRJ.”
“Kalian
mau jalan-jalan? Emang gapapa kalo gue ikut?” Ify melirik Shilla dan Rio bergantian.
“Ya
nggaklah kenapa juga ngeganggu, iya kan yo?”
Rio
mengangguk samar, “Iya ikut aja fy kalo lo mau,” jawabnya.
Setelah
menandaskan isi gelas karton miliknya, pemuda jangkung itu berdiri,
"Pulang yuk Shil, udah sore, " ajaknya, "Fy, lo mau bareng gue, apa
sama Alvin ? Dia masih di Ruang OSIS kayaknya.”
"Gue
bareng kalian aja, nggak pa-pa kan ?"
"Ok.
Yuk, balik kalau gitu. " Rio berjalan lebih dulu. Tapi tiba-tiba ia
menghentikan langkahnya. Ternyata, hujan berniat menghadang kepulangan mereka.
Rio sudah akan melepas blazernya untuk dijadikan payung, karena jarak dari
kantin menuju parkiran cukup jauh, tapi kemudian Ify menyodorkan sesuatu,
"Gue bawa payung kok, ni pakai ! "
"Bagus.
Kalau gitu, gue pinjam dulu ya buat anterin Shilla ke mobil, nanti gue balik
lagi. "
Sebelum
Ify sempat mengamini permintaan Rio, pemuda itu sudah meraih payung merah tua
milik Ify, "Ayo Shil ? " Rio menggandeng Shilla. Membimbing gadis itu
agar lebih dekat dengannya, mereka berlalu sambil sedikit berjingkat melewati
lapangan futsal dan sepetak area yang ditanami tumbuhan apotek hidup.
Ify
memperhatikan keduanya, sembari memaksakan seulas senyum.
"Nggak
usah sok senyum-senyum, kalau hati lo nangis." suara yang tak kalah dingin
dengan udara saat ini, terlantun dari mulut seorang pemuda sipit yang sekarang
berdiri menyandarkan tubuh pada salah satu pilar bangunan, tak jauh dari tempat
Ify berdiri.
Ify
berusaha melebarkan senyumnya, "Lho, Memang kenapa hati gue mesti nangis ?
" tanya Ify, sok tidak mengerti.
"Harusnya
lo yang diantar Rio duluan. " komentar Alvin, singkat.
"Whatever.
" Ify mengibaskan lengan kanannya, "Yang penting sekarang, lo
berhenti liatin gue kayak gitu. Gue nggak suka. " tegas Ify.
Ia
memang tidak suka dengan cara Alvin memandanginya. Alvin jadi terkesan seperti
sedang mengejeknya, menganggap Ify bodoh dan lemah.
"Pangeran
lo datang." Alvin menggerakkan dagunya kearah Rio yang berlari kecil,
mendekati mereka.
"Fy,
yuk !! Eh, Vin. Duluan Ya. " pamit Rio.
Alvin
mengangguk, lalu mengacungkan ibu jarinya.
Rio
dan Ify berjalan melewati rute yang sama, yang tadi dilewati Rio dengan Shilla.
Ify melirik Rio, yang melingkarkan lengan kokohnya pada pundak Ify. Gadis itu,
balas melingkarkan lengannya di pinggang Rio. Dalam hati Ify berdoa, supaya
secara ajaib jarak dari selasar kantin menuju parkiran setara dengan jarak
antara Manado dengan Jakarta.
***
Hari ini matahari benar-benar menuai banyak sumpah serapah
dari penduduk bumi, karena ia lalai dalam menjalankan kewajibannya. Udara yang
dingin, membuat matahari enggan beranjak dari peraduannya yang nyaman. Seharian
hanya gulungan mendung yang terlihat memulas cakrawala. Gumulan awan kelabu itu
memang sangat menyebalkan. Sebentar-sebentar menurunkan hujan lalu berhenti,
kemudian hujan lagi, lalu berhenti. Lalu hujan lagi, terus berhenti, haaah,
betul-betul cuaca yang tidak bersahabat. Membuat malas melakukan aktivitas,
terutama yang dikerjakan di luar rumah.
Tapi sepertinya, pernyataan tadi tidak berlaku untuk Shilla.
Dengan hanya mengenakan cardigan baby pinknya, Shilla betah berlama-lama duduk
di tepi kolam ikan sambil memandangi secarik kertas putih ditangannya. Kertas
berukuran A4 itu berisikan gambar sketsa wajah Shilla. Rio baru memberikannya,
siang tadi.
Shilla meraba sekitar wajahnya, apa benar ia terlihat
secantik itu dimata Rio. Karena jujur saja, gambar sketsa wajah itu tampak begitu
sempurna. Sangat cantik.
Desingan angin musim pancaroba meliuk-liuk, di setiap sudut.
Menguarkan dingin yang khas. Rambut panjang Shilla sepertinya jadi objek yang
sangat menarik untuk di permainkan. Angin mengoyak anak-anak rambut gadis itu
hingga melayang ringan kesana kemari. Shilla menumpukan dagu diatas lututnya
yang ditekuk. Tangannya menelusuri selembar kertas, yang kelihatannya akan
mampu menggeser posisi sapu tangan biru cerah, sebagai barang kesayangan
Shilla.
"Hayoo
!! " lengkingan suara Ify dan tepukkan keras pada pundaknya, membuat
Shilla terperejat.
"Ih,
Fy, ngagetin aja sih." gerutu Shilla.
"Hehehe.
Lo ngapain disini, Shil ? Kan dingin tau. "
"Nggak
ngapa-ngapain juga sih, habis di dalam bosen."
"Oh,
" Ify manggut-manggut, "Eh, by the way Shil kapan-kapan boleh dong,
gue diajarin masak?"
"Cie
mau belajar masak ya ceritanya ? Boleh kok. "
"Ok.
Kalau gitu hari minggu nanti, kita mulai belajar ya Shil, di rumah gue."
"Sip."
Shilla mengacungkan kedua ibu jarinya tanda sepakat. Ify tersenyum senang.
"Ok
deh. Thanks ya Shil, gue masuk dulu deh ya. Di tunggu Rio kayaknya." pamit
Ify sambil mengacungkan makalah bersampul kecoklatan dengan tulisan, English
Paper 'Kind of The Paragraph', terketik rapi pada cover makalahnya. Sepertinya
itu 'pesanan' Rio.
Tanpa
menunggu Shilla menyahuti perkataannya, Ify sudah lebih dulu melenggang pergi.
Shilla mengendikkan bahu. Detik berikutnya, seperti tidak akan pernah ada
bosannya, Shilla kembali menekuni kertas ditangannya.
"Lo
ada apa sama Rio ?"
Shilla merutuk dalam hati. Merasa mengenali pemilik suara
irit itu. Ia sungguh tidak mengerti, kenapa pemuda berkulit putih itu suka
datang dan pergi begitu saja. Bicara pun asal ceplos. Tidak pernah basa-basi
lebih dulu. Tidak sopan. Di mata Shilla atitude pemuda itu benar-benar bernilai
merah.
"Lo
suka sama Rio ? " tak kunjung mendapatkan jawaban, Alvin mengganti
pertanyaannya.
Shilla
membisu. Selain karena tidak suka urusan pribadinya dikorek-korek, gadis itu
juga tidak tahu harus menjawab apa.
"Kok
nggak di jawab ?"
Shilla
memutar kedua bola matanya, tak acuh. Sedangkan Alvin, sambil menunggu gadis di
sebelahnya buka suara, ia menyibukkan diri dengan mengulik handphonenya. Fokus
pemuda itu kini tertuju sepenuhnya pada layar handphone yang menampilkan ikon
amplop kuning yang bergerak-gerak, menandakan ada pesan singkat yang baru
masuk. Alvin menekan tombol tengah pada keypad handphonenya.
From
: Mario
Apa
gue ska sm shilla y vin?
Alvin tertegun. Sejak dari perjalanan pulang setelah hunting
foto bersama klub fotografi sekolahnya ke beberapa museum di Jakarta, ia dan
Rio memang saling berkirim pesan singkat, karena Rio bilang ingin menceritakan
sesuatu pada Alvin. ia mengulang membaca pesan yang di kirim Rio, berkali-kali.
Tapi tetap tidak ada yang berubah dengan isi SMS itu.
Pemuda
sipit itu segera menanggalkan ekspresi aneh yang terpeta pada wajah tampannya,
begitu menyadari Shilla tengah menatapnya dengan heran. Dengan cepat, air wajah
pemuda itu kembali datar, "Lo nggak bisu kan Shil ? " Alvin
sepertinya masih berusaha mendesak Shilla untuk memberikan jawaban atas
pertanyaannya.
"Ck."
Shilla berdecak kesal, "Memang apa sih peduli kamu heuh ? Kalau aku suka
sama Rio kenapa ? Urusan kamu ? masalah buat kamu, iya ? " balas Shilla,
super ketus.
"Kalau
elo, betulan suka sama Rio, gue punya kabar baik buat lo." jawab Alvin,
tanpa melihat Shilla, "Kabar baiknya, Rio juga suka sama lo." Alvin
mengalihkan pandangannya dari sebatang pohon flamboyan di depannya. Ia menatap
lekat-lekat kedua bola mata jernih milik Shilla.
Shilla
menoleh dengan cepat. Bibir tipisnya ternganga, seperti ingin berseru "HAH
? " tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Mata bulat gadis itu melebar
maksimal.
Jepret
Tiba-tiba,
Alvin membidikkan lensa kameranya. Mengabadikan ekspresi tak percaya Shilla
dalam jepretan LSR yang tergantung di lehernya.
"Eh
? " Shilla terkesiap, "Apaan sih ? Kok pakai foto-foto segala. "
omelnya.
"Kenapa
marah ? Wajah lo di lukis Rio, lo nyantai aja. Kenapa lo mesti marah kalau gue
foto ? " jawab Alvin, menyebalkan.
"Hapus
!! "
"Nyuruh
gue ? Siapa lo ?"
"Kamu
tu nyebelin banget sih, Vin. "
"Thanks."
Shilla menggelembungkan pipinya, meremas-remas rok abu-abu
yang ia pakai dengan kuat, untuk mengalihkan hasratnya yang sangat ingin
meninju dan meremas-remas wajah sok cool, pemuda menyebalkan di hadapannya.
"Sini
gue mau lihat. " Alvin merebut secarik kertas dari tangan Shilla dengan
cepat, "Oh jadi gambar beginian yang bikin lo senyum-senyum sendiri
daritadi. Manipulatif. " komentar Alvin, skeptis.
"Nggak
usah sok kasih komentar deh. Nggak penting."
Alvin
tidak mempedulikan ucapan Shilla tadi, "Lo nggak secantik ini kali, dan
yang paling kelihatan bohongnya, jelas-jelas di balik punggung lo nggak tumbuh
sayap." lanjut Alvin.
"Udah
sini balikin." Shilla menyambar gambar sketsa wajah miliknya dari Alvin,
dengan cepat.
"Emang
lo masih minat simpan gambar itu ? Mending juga hasil potretan gue kali, lebih
real dan apa adanya."
Shilla
tertawa mencibir, "Denger ya, Vin. Terserah deh, mau foto-foto kamu tu
jutaan kali lebih bagus pun aku nggak peduli. Karena yang bikin berkesan itu
bukan barangnya, tapi siapa yang ngasihnya. Buat aku, yang ngasih gambar ini
jelas-jelas lebih berarti dibanding kamu. " tegas Shilla yang kemudian
berlaku pergi seraya melirik Alvin dengan sinis.
Sementara
Alvin, dalam beberapa detik ke depan masih larut dalam keterkesimaannya akan
kata-kata Shilla barusan.
"...jelas-jelas
lebih berarti di banding kamu."
Kali ini, Alvin memilih bernego dengan Tuhan. Bisakah ia
dimasukkan ke dalam sarkofagus dan di lesakkan ke tanah, detik ini juga. Atau,
bolehkan hatinya terbuat dari bongkahan batu, agar ia tidak bisa merasakan
apapun, sekarang.
***
Ify menyesap sedikit demi sedikit hot chocolate yang mengisi
gelas plastik dalam genggaman tangannya. Uap yang menguarkan aroma coklat masih
mengepul diatas gelas plastik tadi. Sementara Rio hanya memainkan minumnya,
sambil mengamati lautan umat yang hilir-mudik di hadapannya. Rio memang sudah
lama tinggal di Jakarta, tapi jarang sekali ia mengunjungi Pekan Raya Jakarta,
acara tahunan yang biasanya berlangsung menjelang hari ulang tahun kota yang
pada masa Belanda dulu bernama Batavia ini. Jadilah malam ini, ia sedikit
norak melihat begitu banyaknya manusia di tempat ini.
Keduanya tengah menunggu Shilla yang beberapa waktu lalu
pamit untuk membeli arum manis. Mereka memilih duduk-duduk pada kursi yang di
sediakan salah satu lapak penjual minuman yang lebih sepi di banding
lapak-lapak pedagang yang lain.
Ify melirik jam tangan kuning pucat yang melingkari
pergelangan tangan kirinya. Jarum pendek berhenti tepat di angka sepuluh
sedangkan jarum panjangnya menyempil antara angka 11 dan 12. Tinggal beberapa
menit sebelum tepat pukul 10 malam.
"Kenapa
Fy ? Kemalaman ya ? Lo nanti pasti dimarahin Oom Cakra." seloroh Rio.
Rio,
Shilla dan Ify terlalu menikmati jalan-jalan mereka malam ini, sampai-sampai
lupa waktu.
"Nggak
akan. Tadi kan gue udah izin perginya bareng lo."
"Om
Cakra aneh ya ? Kayaknya percaya banget gitu sama gue. Padahal kadang otak gue
kriminal juga. Bisa aja, gue culik anak gadisnya, terus gue jual. Duitnya buat
beli kaset PS baru." cerocos Rio mirip sales sebuah produk yang
membeberkan keunggulan produk dagangannya.
"Boleh
aja. Tapi itu berarti lo udah siap nggak lulus, karena nggak ada lagi yang mau
bantuin lo bikin tugas. " ujar Ify, kalem.
Keduanya
lalu terdiam cukup lama. Seperti kehabisan topik untuk ditanyakan atau
diceritakan.
"Fy...
? "
"Hm
? "
"Bintangnya
indah ya ? "
Ify
mendelik, gadis itu malah tertawa mendengar perkataan Rio, "Hahaha.
Dangdut banget deh lo." cibirnya.
Rio
merengut, "Kok dangdut sih ? Serius kali. Bintangnya malam ini cantik
banget. Tapi... Lo jauh lebih cantik."
Ify
tertawa semakin keras. Wajahnya memerah, menahan tawanya agar tidak semakin
menjadi. Ify sampai harus membekap mulutnya sendiri dengan tangan,
"Hahahaaduh, aduh udah deh Yo. Cukup ya. Please. Lo nggak bakat gombal.
Lagian lihat tu keatas, lagi nggak ada bintang kali. "
"Ah,
lo nggak asik deh, Fy. Ketawa mulu, gue lagi mau ngomong serius ni, "
dumel Rio. Pemuda itu melempar-lempar kulit kacang diatas meja dengan asal,
"Fy, gue mau jujur sama lo tentang perasaan gue. Tapi please ya, gue mohon
lo jangan ketawa..."
Ify
mengangguk setuju. Penasaran juga, apa yang kira-kira ingin Rio sampaikan pada
Ify.
"Gue...
Sebenarnya.. Gue suka sama lo, Fy. Udah sejak lama. Tapi gue baru berani bilang
sama lo, sekarang. Gue tahu ini pengecut banget, maka dari itu gue nggak akan
minta lo buat jadi cewek gue. Lo tahu perasaan gue aja itu udah lebih dari
cukup. Tapi... Kalau seandainya lo mau kasih gue kesempatan buat jagain lo dan
buktiin rasa... emm.. sayang gue, gue bakal berterima kasih banget, Fy."
Rio menatap lembut, coklat gelap kedua manik mata Ify. Lengan
kokoh pemuda itu, menggenggam jemari gadis yang terpaku di hadapannya. Suara
halus Rio terdengar begitu tulus dalam mengucapkan setiap kalimatnya tadi. Ia
menyunggingkan senyum terbaiknya. Ify terdiam. Benar-benar tidak tahu harus
bagaimana. Merasakan tubuhnya seperti melayang, ditemani kawanan kupu-kupu
bersayap merah jambu. Jantungnya berdegup tak beraturan. Wajahnya terasa panas
membara.
Mungkin sebentar lagi ia akan meledak saking bahagianya.
Haaah, setelah sekian lama waktu terlewati, akhirnya Tuhan berbaik hati
mengakhiri segala penantiannya. Malam ini perasaan yang lama terpendam itu,
menuai balasan. Ingin sekali, detik itu juga, Ify melompat dan memeluk Rio.
"I
love you..." ujar Rio, sungguh-sungguh.
Ify
menarik nafas, "Lov-."
"Rio
? "
Shilla merasakan pandangannya mulai samar, matanya memanas,
ada yang diam-diam mengembang dan siap mengalir dari pelupuk mata indahnya.
Gadis itu tanpa sadar menggelengkan kepala, seolah tidak terima. Suaranya
bergetar saat memanggil nama pemuda yang duduk berdua Ify, tak jauh dari
tempatnya berdiri. Shilla tidak mengerti, tapi apa yang baru saja dilihat dan
didengarnya, membuat seluruh tubuhnya lemas, ada rasa nyeri yang menohok
hatinya. Shilla mundur perlahan dengan kepala tertunduk. Gadis itu lantas berbalik
dan memutuskan untuk berlari menjauh.
"Lho
? Shilla kenapa ? Shillaa... Shil !! " Rio segera bangkit dan berusaha
mengejar Shilla.
Ify merasakan sesuatu yang menyakitkan akan terjadi, begitu
Rio menyentakkan pegangan pada kedua tangannya. Gadis itu berjalan dengan
sedikit enggan, menyusul Rio.
***
0 komentar:
Posting Komentar