Sabtu, 11 Juni 2011

Rahasia Orion Part 4

Rahasia Orion Part 4
Terulang
 ***
Shilla menyeka buliran keringat di pelipisnya. Gadis itu mulai menghitung dalam hati, telah berapa kali ia lalui pos satpam dekat tiang listrik ini?
Ternyata, ini adalah kali kelimanya. Dan itu berarti, sejak tiga jam yang lalu ia hanya berputar-putar di jalan yang sama. Rumah mewah keluarga Haling, sama sekali belum terlihat. Shilla merogoh saku blazernya, hanya tersisa tiga lembar uang seribuan. Uang saku yang diberikan Gladys (atas perintah Narendra tentu saja) tadi pagi, benar-benar sudah ludes untuk membayar ongkos kendaraan berargo, yang baru 5 menit lalu, Shilla turuni.
Shilla jadi menyesali keputusannya untuk ikut tinggal di Jakarta, tempo hari. Gadis itu merasa tidak cocok hidup di lingkup perkotaan dengan orang-orang yang apatis terhadap sekelilingnya.

"Mungkin Rio sama Om Haling itu stock orang baik terakhir, yang ada di Jakarta." begitu fikir Shilla.

Ia mendesah keras-keras, berharap dengan melepaskan gas karbon dioksida sebanyak-banyaknya, lelah dan takut yang membelit pun ikut terlepas. Gadis cantik itu, baru saja akan melangkah, menyeret kedua kakinya untuk meneruskan pencarian, saat ponsel dalam sakunya bergetar heboh.

"Rio.." desisnya, setelah mendapati nama pemuda itu pada layar ponsel yang berkerjap-kerjap.

Dengan luapan rasa lega dan syukur pada Tuhan, bahwa Ia telah mengirimkan dewa penolong yang memang sejak tadi dipinta Shilla, gadis itu menekan tombol hijau pada keypad ponselnya.
"Riooo... Aku kesasar, Yo." Shilla langsung merajuk, bahkan sebelum lawan bicaranya di seberang sana bersuara, "Aku udah muter-muter tapi rumah kamunya nggak ketemu-ketemu."

"Aku sekarang di ... mmh... nggak tau Yo, tapi tadi aku liat ada plang besar, tulisannya Neptun Estate, aku ada di dekat pos satpam gitu. Pokoknya kamu... yah.. yayayaaah. Mati lagi handphonenya. Aduuh, nyebelin banget sih." Shilla menatapi LCD ponselnya dengan nelangsa. Saat Rio menelpon tadi, baterai ponselnya memang tinggal 1 bar.

"Amira!"

Shilla menoleh. Yakin tidak ada orang lain lagi di dekat sini, berarti suara berat itu menyapanya. Saat gadis itu memutar tubuhnya ke belakang, ia terlonjak kaget. Spontan, Shilla mundur beberapa langkah. Seorang pria tengah menyeringai lebar ke arahnya. Pakaian pria itu kotor dan kumal, rambutnya awut-awutan, satu tangannya menimang-nimang sebuah boneka plastik yang terlihat mengerikan, sedang tangan yang lain memegang sepotong besi besar yang diayun-ayunkan sembarangan. Dan melihat segala macam atribut yang melekat pada tubuh pria itu, Shilla segera menyadari dirinya dalam bahaya kalau terus bertahan disana.

"KYAAAA... Orang gilaaa."

Tanpa harus menunggu sesuatu yang lebih extreme terjadi pada dirinya, Shilla memilih untuk cepat lari. Lari sekencang-kencangnya, beruntung buku-bukunya sudah diinapkan dalam loker sekolah, jadilah tas berwarna ungu muda itu tidak terlalu membebani punggungnya.

"Amira, tunggu, Nak. Tunggu... Ini Papamu. Amira, ayo peluk Papa. Kamu putri Papa yang tertukar!" Si Pria tak jelas tadi terus mengejar Shilla, sambil berkoar tidak penting.

Kalau saja kejadian ini tidak menimpanya, mungkin sekarang Shilla sudah terpingkal-pingkal melihat orang gila yang mengejar seorang gadis yang dikira anaknya, Amira.

"Amira, tunggu Papa. Jangan pergi!" Orang gila itu belum menyerah, masih mengejar Shilla sambil melempar senyum penuh arti.

Shilla semakin bergidik, ngeri. Kenapa sih pria itu tidak berhenti mengejarnya ? Bagaimana kalau sampai ia tertangkap ? Akan diapakan ia oleh pria itu, dipukul dengan besi atau akan dipeluk dan dicium layaknya seorang Papa pada Anaknya ?

"Huaaaa... Aku nggak mau, nggak mauuu." teriak gadis itu, sambil terus menambah kecepatan larinya. Ia tak lagi sempat, untuk mengamati arah yang diambil. Jalan-jalan yang dilalui hanya sepintas berkelebat, dan tentu saja sama sekali tidak bisa diingat-ingat sesudahnya. Apalagi sepertinya, Shilla sudah berlari cukup jauh.

Shilla memberanikan diri untuk menoleh. Dan ternyata orang gila tadi sudah tidak membuntutinya, Shilla menghela napas lega. Tapi udara yang memasuki saluran pernapasannya seketika terasa dicekat. Habislah sudah, sekarang Shilla benar-benar tidak tahu berada di mana. Yang ia lihat hanya rumpun-rumpun bambu yang mengelilingi sebuang lapangan tak terawat. Rumput-rumput tumbuh liar, bersaing dengan belukar ilalang, memenuhi setiap titik tempat ini. Kalau tadi, setidaknya Shilla masih bisa mengingat jalan untuk kembali keperempatan, tempat Alvin menurunkannya. Tapi sekarang, Shilla sama sekali tidak tahu harus kemana dan berbuat apa. Belia itu, terduduk lemas. Hari sudah semakin gelap, sedangkan kediaman keluarga Haling sepertinya masih sangat jauh dari tempat ini. Ia mencoba memusatkan fikirannya, berharap bisa mengingat kembali rute yang dilewati, sampai ia terdampar di tempat ini. Tapi otaknya buntu. Satu-satunya yang terfikir malah hal konyol, bawah ia ingin membeli mesin waktunya Doraemon. Shilla ingin sekali menganulir keputusannya menerima tawaran Alvin untuk pulang bersama beberapa jam yang lalu, itu benar-benar racun berwujud kue tart.

Shilla masih duduk berselonjor, kedua tangan memukul-mukul kaki yang terasa sangat pegal.

"Capek ya Neng, sini Abang pijitin."

Matanya yang semula menumbuk pada tanah berlapis rumput yang mengalasi duduknya, kini tertancap pada empat pasang kaki yang berjajar di depannya. Shilla mendongak. Glek. Ia menelan ludah. Gadis berambut panjang itu segera bangkit dan mundur perlahan. Ada empat orang pemuda yang berdiri berjajar dihadapannya. Dua di antaranya bertubuh tinggi besar, sedang sisanya meski ukuran tubuhnya normal, tapi tindik dan tatto yang menghiasi Dua tubuh itu, jelas menunjukkan bahwa kesemuaan dari mereka bukanlah orang baik. Plus baju compang-camping berwarna hitam dan jeans belel yang mereka kenakan, rasanya empat pemuda itu tidak jauh berbeda penampilannya dengan pria stres yang tadi mengejar Shilla.
Shilla menepis kasar lengan salah satu dari mereka yang mencolek dagunya. Ia terus mundur, sampai punggungnya terasa nyeri karena membentur batang kasar pohon mangga yang juga menjadi bagian dari tempat ini.

"Duh, judes amat sih, Neng." ujar pemuda bertatto yang sepertinya ketua kelompok orang-orang aneh ini, "Mau kemana? Ikut kita-kita aja yuk, Neng!" pemuda tadi mencolek lengan Shilla.

"Jangan macam-macam ya, atau saya bakal teriak."

Mendengar ancaman bodoh, gadis yang tampak ketakutan di depan mereka, 4 orang pemuda tadi tertawa lepas.

"Silakan, gue mau denger, seberapa kenceng terikan lo, cantik." tantang Si Tinggi Besar.

Shilla tertunduk lesu. Sadar, mau berteriak sampai urat leher putus pun tidak akan ada yang mendengarnya. Tempat ini sepertinya jarang dilintasi penduduk setempat.

"Ayo, katanya mau teriak?" tantang pemuda yang sama, matanya berkilat nakal membuat Shilla bertambah pucat. Keringat dingin, seketika membanjiri tubuhnya.

"Udahlah boss, nggak usah basa-basi, langsung seret aja ke markas." usul salah satu dari mereka. Pemuda berkalung rantai besar dengan bandul tengkorak.

"Tuh, dengar kan manis? Jadi mau ikut dengan suka rela atau kita..."

"Jangan ganggu dia."

Suara baritone bernada datar itu hampir saja membuat Shilla menangis seketika, karena lega. Shilla tahu pasti, siapa pemilik suara itu, ia memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menerjang salah satu pemuda yang berdiri di hadapannya. Gadis itu berlari ke arah Rio dan langsung membenamkan diri di balik punggung tegap pemuda itu.

"Cepat masuk mobil. Di sana udah ada Ify." bisik pemuda tampan itu, pada Shilla yang sudah berkaca-kaca.

Shilla mengangguk faham, ia menuju sedan hitam milik Rio yang terparkir tak jauh dari situ, dengan setengah berlari. Benar saja, di dalam sudah ada Ify yang langsung menyambutnya dengan pertanyaan yang semenjak tadi juga berlintasan dalam benak Shilla, "Nggak apa-apa tu Rio ngadepin orang-orang itu sendirian?" ujar gadis berdagu runcing itu, dengan siratan khawatir yang terpeta jelas pada seraut paras ayunya.

Sedangkan Rio masih berdiri santai menghadapi empat orang pemuda yang menatap tak suka pada dua telaga bening miliknya.

Rio tersenyum mengejek, "Kalian nggak malu gangguin cewek?" cibir Rio, sinis.

"Jelaslah kita gangguin cewek, lo kira kita maho doyan sama cowok. Mikir dong lo." balas salah satu dari mereka.

"Badan ceking begitu aja mau sok-sokan jadi pahlawan lo, heh? Hahaha." timpal yang lain, disahuti derai tawa teman-temannya.

Percakapan lima orang pemuda itu sama sekali tidak terdengar oleh Shilla dan Ify. Dua gadis cantik yang kelak dipaksa takdir untuk saling melukai itu, hanya bisa menyertakan doa untuk Rio. Memperhatikan lekat-lekat, setiap gerakan yang muncul. Tak lama berselang, dua gadis itu bisa tersenyum lega ketika Rio berjalan ke arah mobil, lalu membuka pintu dan duduk manis di samping Ify, tanpa kurang suatu apapun.

"Lo nggak pa-pa, Yo ?" tanya Ify.

"Nggak Fy. Udah buruan jalan." intruksi Rio.

"Kok bisa ?"

"Hah? Apanya?"

"Kok bisa, lo nggak diapa-apain sama mereka ? Gue kira tadi bakal tonjok-tonjokkan."

"Ya bagus dong. Emang lo mau gue bonyok-bonyok?"

"Ya, nggak sih. Tapi kan aneh aja, tadi padahal kayaknya mereka marah banget."

Suara yang terdengar mengisi hening dalam mobil yang menggilas jalanan itu, masih milik Ify dan Rio, sedang lakon lain di dalam sana hanya mendengarkan dengan seksama. Tidak punya niat untuk menimpali, karena rasanya seluruh tenaganya sudah benar-benar terkuras habis.

"Gampang aja, gue bilang ke mereka, banci kalau main keroyokan. Dan gue bakal bawa genk gue buat lawan genk mereka besok sore."

"Emang, sejak kapan lo punya genk, Yo ? Kok gue nggak tau ya ?" tanya Ify, sambil terus fokus pada jalanan di depannya. Pukul 6 sore, jam pulang kerja. Tentu saja seperti hari-hari sebelumnya, Jakarta selalu macet. Membuat gadis berambut ikal itu, dengan tidak sabar, berkali-kali memencet klakson.

"Gue nggak punya genk. Asal aja ngomong begitu. Yang jelas, lo jangan sampai nyasar ke sana lagi, Shil. Bisa dikulitin entar kita, kalau ketemu mereka lagi." Rio melirik ke kursi belakang, ternyata Shilla sudah tertidur pulas. Gadis itu mendendangkan napas teratur dengan wajah pualamnya yang terlihat damai diseret alam mimpi.

Rio tersenyum tipis, mengerti betul kelelahan yang Shilla rasakan.

"Oh, jadi ceritanya, lo kabur gitu ya? Ah, nggak keren banget sih lo." cibir Ify, sembari mengetuk-ngetukkan jemari pada kemudinya, menunggu antrian panjang kendaraan bermotor yang berjejalan memenuhi jalan raya ini, bahkan trotoar yang seharusnya digunakan para pejalan kaki, malah dilalui sepeda motor.

"Ya, ini kan bukan sinetron, Fy. Logikanya, cowok dengan satu tangan di perban kayak gue, mana mungkin bisa menang, lawan mereka. Yang ada gue bakal bonyok, terus entar lo sama Shilla gimana coba? Selagi ada kesempatan, mendingan gue meloloskan diri kan? Nggak selamanya berantem itu mesti pakai otot."

"Bisa banget deh lo nge-les-nya."

Saat mobil Rio akhirnya melewati gapura depan Orion Estate, Rio membangunkan Shilla dengan suara lembut. Gadis itu mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya menegakkan tubuhnya.

"Lo, nggak pa-pa kan Shil ?" tanya Rio.

Shilla menggeleng. Kalau saja yang bertanya tadi bukan Rio, Shilla akan langsung mencak-mencak memaki si penanya. Bagaimana mungkin, ia tidak apa-apa. Setelah dikejar-kejar orang gila, dan diganggu pemuda-pemuda sarap itu, apa masih kurang tragis hingga masih layak di bilang tidak apa-apa? Hanya saja, Shilla tidak ingin terlihat manja dengan mengeluhkan ini-itu di depan Rio. Toh, sekarang ia sudah selamat.

"Abis ini lo mandi, makan terus istirahat ya, kayaknya lo capek banget." imbuh Rio.

Perhatian kecil yang diberikan Rio pada Shilla, tanpa sadar menyayat sebentuk hati yang lain. Pemiliknya mulai membongkar kotak-kotak kenangan yang disimpan rapi dalam ingatan, mencari tahu, pernahkah pemuda di sampingnya itu memberikan perhatian yang sama terhadapnya. Dan akhirnya, ia tersenyum cerah. Pernah. Ya, bahkan lebih dari ini. Rio pernah meminjamkan punggungnya untuk Ify bersandar, selama pemuda itu menggendongnya menuju tenda, saat mereka camping dan Ify terjatuh hingga kakinya terkilir.
Bila saat di mana ia harus berpura-pura mati rasa dan kembali mengenakan topeng ketegaran, datang lagi. Bila masa itu terulang lagi... Ah, apa iya, pengganti cinta pertama Rio datang secepat ini ? Tidak. Ify mengerang dalam hati. Berteriak, untuk mensugesti dirinya sendiri. Ada sebersit rasa khawatir, tapi segera ditepisnya. Bahkan, Rio dan Shilla baru saling mengenal. Di antara keduanya pasti tidak ada apa-apa. Mungkin ia yang terlalu sensitif mengartikan tatapan lembut yang dilayangkan Rio untuk Shilla.
Ify menarik kembali fokusnya pada jalanan beraspal yang mulai menggelap dihujam tangisan langit. Ia tidak ingin terlalu lama memikirkan hal-hal yang hanya akan membuatnya bersedih. Sejurus kemudian, mobil yang dikemudikan Ify, berbelok memasuki halaman Rumah Besar. Wangi bunga Mandevilla yang khas, langsung menyapa indera pembau ketiga orang dalam mobil, berbaur dengan aroma tanah yang menguar bersama rinai hujan.

"Eyang ?" lirih Rio.

Pemuda itu segera melompat dari dalam mobil, bahkan sebelum putaran rodanya benar-benar terhenti. Ify dan Shilla segera menyusul Rio dengan tubuh menegang, karena mendengar teriakan-teriakan seorang wanita tua terhadap Gladys. Segala umpatan dan kata-kata menyakitkan, meluncur deras menyaingi keracak air langit yang tercurah. Gladys terlihat pasrah, kedua tangannya mengelus dada yang naik-turun mengimbangi tangisan yang seumpama luapan air langit di musim penghujan, deras. Tapi sepertinya, wanita tua itu terlalu enggan untuk iba terhadap istri dari anak tunggalnya itu.

"Jaga dua anak saja tidak becus. Baru saya tinggal satu minggu saja Rio sudah sakit. Apa yang kamu lakukan kepadanya, heh ? Kamu pasti tidak memperhatikannya, iya ? Kamu pasti membeda-bedakan Rio dengan Alvin ? Memang dasar kamu penjilat, hanya ingin hidup enak saja di sini," umpat wanita tua, tadi.

Mendengar rentetan kalimat yang dilontarkan Eyangnya, Rio menaikkan alis matanya, sambil berlari kecil menghindari hujan, pemuda itu mendekati Eyangnya di selasar rumah, "Eyang!" panggil Rio.

"Eh, hi dear. Kemari cucuku sayang," wanita tua berdarah Belanda-Indonesia itu merentangkan kedua tangannya, seraya menghampiri cucu kesayangannya, "Lho, lho, tanganmu kenapa Yo ?" Eyang Putri memeluk dan mencium Pipi Rio. Pemuda itu sebenarnya risih juga, tapi memaklumi karena  ia adalah cucu tunggal di keluarga Haling.
Setelah menyelesaikan prosesi melepas rindu dengan cucunya, Eyang Putri berjalan dengan dagu terangkat, berbalik kearah Gladys yang masih menangis dalam pelukan Alvin.

"Kenapa masih disini? Kalian sudah saya usir kan tadi. Cepat pergi. Ambil pakaian kalian di dalam, jangan membawa apa yang bukan hak kalian. Dari awal saya memang sudah tidak setuju, anak saya menikahi wanita seperti kamu." tandas Eyang Putri dengan pongah.

"Rio," Shilla mendekat, memegangi satu lengan pemuda itu dengan kedua tangannya, "Jangan biarin Tante Gladys sama Alvin diusir, Yo. Eyang kamu salah faham. Kamu sakit kan karena hujan-hujanan sama aku, dan... dan tangan kamu.. itu kan di luar tanggung jawab Tante Gladys. Ayo bilang sesuatu sama Eyang kamu, Yo. Jangan biarin Tante Gladys pergi, aku mohon." pinta Shilla, sungguh-sungguh. Gadis itu hampir melelehkan cairan bening yang sering disebut senjata kaum hawa dari sudut matanya, menyaksikan Gladys yang tersedu di pundak Alvin. Sekarang ia tahu, apa yang mendasari kemarahan Alvin kepadanya tempo hari. Jadi inilah bencana yang dulu di maksud Alvin, Eyang Rio ternyata bisa begitu marah hanya karena cucunya terserang demam yang tidak seberapa, menyadari hal itu, Shilla semakin merasa bersalah.

"Ini bukan salah Mama, Eyang." tukas Alvin. Benar kan prediksinya tempo hari mengenai Mamanya yang harus membayar mahal demam yang diderita Rio. Alvin sudah hafal, bukan sekali dua kali, Eyang Putri marah-marah pada Mamanya hanya karena hal sepele.

"Siapa yang meminta pendapatmu, Alvin ?" sinis Eyang Putri.

"Alvin Benar." timpal Rio, "Tante Gladys nggak salah Eyang, jangan usir mereka. Tapi... Ada syaratnya..." Rio memicing mata, mengadu pandangan dengan sorot dingin dari kedua mata Alvin, "Alvin harus minta maaf sama Shilla!" perintah Rio.

Shilla melirik Rio, "Nggak perlu kok. Aku udah ma-"
  
"Dia harus minta maaf sama lo, Shil. Gara-gara Alvin lo kesasar seharian." kukuh Rio.

Alvin menghembuskan nafas berat, menghampiri Shilla lantas berujar, "Maafin gue Shilla, gue salah."

"Iya... Vin, aku udah maafin kamu kok." jawab Shilla, takut-takut. Jelas takut, tidak berbuat apa-apa saja Alvin sudah tidak menyukainya, lalu bagaimana nasibnya setelah ini ?

"Ok.e Cukup." ujar Rio dingin. Pemuda itu menarik lengan Shilla dan membimbingnya menjauh dari Alvin, "Ayo masuk, Shil." Rio lantas meletakkan kedua tangannya dipundak Shilla, mendorong gadis itu dengan perlahan. 

Eyang Putri, mengekori kedua remaja itu, setelah sebelumnya berkata, "Berterimakasihlah pada Rio. Karena berkat dia, kalian tidak jadi gembel malam ini." wanita yang terlihat awet muda itu berjalan anggun meninggalkan Alvin dan Mamanya.

***

Menjaring desau angin
sia-siakah ?
Tapi aku senang melakukannya
senang membumbungkan harap,
bahwa suatu ketika
desauan itu bisa ku genggam.
Ah, aku selalu bisa merasakan semilirmu
yang tak pernah kau tawarkan untukku

sreeett

suara ujung bolpoint yang bergesekkan dengan kertas, mengusik kekuasaan hening yang tengah bertahta sejak tadi di ruangan ini. Gadis pecinta bunga mawar, penghuni kamar bercat baby pink itu, menahan laju penanya. Menyudahi tumpahan-tumpahan tinta yang tercetak pada secarik kertas di depannya. Jari-jarinya lantas menelusur, menyunting barisan-barisan kalimat yang ia susun sejak satu jam yang lalu. Sampai di beberapa kalimat akhir yang berhasil ia bubuhkan, gadis itu mendesah keras, "Ini sih bukan puisi, tapi curhat colongan. Come on Ify, masa puisi kayak gini yang mau lo kasih ke editor Aruna, besok?" ia menggerutu, jengkel. Merutuki otaknya yang tiba-tiba saja kehilangan kemampuan untuk merangkai kata-kata, pada saat Ify benar-benar dikejar deadline.

Gadis dengan piama pink bercorak minnie mouse itu, perlahan beringsut dari duduknya. Matanya memandang nanar pada setumpuk kertas yang menggunduk di sudut ruangan dekat tempat sampah. Beberapa kali ia meremas kertas dan melakukan lemparan jarak jauh dengan fokus keranjang sampah, tapi berulang kali pula lemparan bola-bola kertas itu meleset.
Ia mengedarkan pandangan, meneliti setiap sudut kamar beserta pernak-pernik bernuansa putih dan pink yang mengisi ruangan itu, berharap satu diantara objek-objek yang tertangkap sepasang mata beningnya, mampu memberikan inspirasi untuknya. Ify selain aktif di OSIS, gadis manis itu juga merupakan salah satu author kebanggaan sekolah, puisi dan cerita-ceritanya sering kali dimuat di Aruna. Aruna adalah majalah sekolah yang dikelola oleh anak-anak dari ekstrakulikuler jurnal, yang secara rutin terbit setiap hari sabtu. Aruna merupakan salah satu ikon kebanggaan Veronna Senior High School, majalah sekolah itu telah beberapa kali memenangkan lomba-lomba membuat artikel, cerpen, puisi , essai taupun karya-karya tulis lainnya.

"Mana harus gue kasih ke Gabriel, besok pula. Ah, mau nulis apa coba gue, nggak ada ide." keluh Ify.

Setelah menghabiskan puluhan detik hanya dengan mondar-mandir mengitari kamarnya yang luas, seperti yang biasa dilakukan Ify kalau sudah merasa bosan, akhirnya Ify memutuskan melangkah menuju balkon. Dengan satu tangan, digesernya pintu kaca yang menjadi pembatas antara kamar dengan balkon. Seketika, angin malam dengan dinginnya yang khas langsung menyapa gadis berdagu runcing itu. Kontan, Ify memasukkan kedua tangan ke dalam saku piamanya. Ify tersenyum masam, ketika mendapati alpanya dua ikon malam yang fenomenal itu. Tak ada kedipan-kedipan nakal dari bintang-bintang kecil kesukaannya. Pun dengar berkas cahaya anggun sang dewi malam. Langit benar-benar kosong dan gelap. Yang ada hanya desau lirih angin malam yang mempermainkan rumpun tanaman bambu hias di halaman depan rumah Ify. Ify termenung, kembali teringat kejadian kemarin lalu yang meskipun susah payah Ify lupakan tapi terus menggelayuti pikirannya belakangan ini. Kejadian itu, saat Rio dengan lembut membangunkan Shilla yang tertidur di mobil. Mata indah gadis itu berkilat menyedìhkan. Apa masa itu benar-benar akan datang lagi? Haruskah digunakannya topeng itu lagi ?
Ify tak pernah tahu kalau ternyata cahaya mampu menyesatkan. Seperti cahaya milik Rio yang terus-menerus menyeretnya dalam dunia mimpi, hingga sulit bagi Ify untuk menyadarkan diri bahwa hidupnya adalah sebuah kenyataan. Ify merasakan ada yang diam-diam mengembang hening di matanya. Bergulir perlahan di pipinya. Dengan punggung lengan kanannya, gadis manis itu menyeka air mata, beberapa tetesan tidak lagi sempat tersentuh tangan. Terlanjur jatuh, mengadu diri dengan lantai, lalu terpecah menjadi partikel-partikel air yang lebih kecil dan meninggalkan jejak-jejak basah di sana.

"Kamu bodoh, Fy !! Kamu terlambat." ejek lantai dingin yang ia pijak.

"Apa gunanya menangis, sekarang?" kali ini tembok-tembok kaku itu, ikut berseru.

Serpihan angin kembali menerpa parasnya, terasa basah, karena membawa buliran air hujan. Sepertinya, mendung yang bergantung rapuh sejak tadi akan segera menebar hujan. Mendendangkan elegi bumi yang seolah tahu kesedihan yang di derita Ify. Kenapa rasanya jauh lebih sakit dari yang dulu ? Ingin sekali, Ify menarik Shilla agar menjauh setiap kali ia melihat gadis itu duduk-duduk berdua dengan Rio. Ingin sekali Ify mengingatkan gadis itu agar tidak mendekati Rio lagi, agar Shilla tidak membuat Rio tersenyum atau tertawa lagi, tapi apa haknya ?
Ify mendesah pasrah. Kalau memang ia harus mengalah, sekali lagi, itu bukan masalah. Bukankah menunggu dan mengalah telah jadi kawan karibnya selama ini ?
Gadis itu berjalan gontai ke dalam kamarnya. Ify merebahkan tubuh pada kasur empuknya. Tidak munafik, ada atau pun tidak ada hubungan antara Rio dan Shilla, Ify tetap merasa kecewa. Ia ingin marah. Tapi siapa yang pantas ia marahi ?
Shilla ?
Ah, bahkan gadis itu selalu berusaha bersikap ramah dan menyenangkan, selama duduk satu bangku dengan Ify.
Atau Rio ?
Tentu saja bukan. Dengan bodohnya, dulu Ify pernah menampik pertanyaan yang Rio ajukan. Rio pernah menanyakan bagaimana sebenarnya perasaan Ify terhadapnya ? Apa perhatian yang Ify berikan, karena gadis itu menyukai Rio ? Dan sambil terbahak, Ify malah berujar bahwa itu adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah di dengarnya. Satu-satunya yang layak dimarahi pasti adalah Ify sendiri.
Dengan gamang, Ify meraih ponselnya. Ia merasa perlu berbagi, menceritakan semua unek-unek yang ada dalam hatinya. Ia butuh teman untuk berkeluh kesah dan otaknya langsung mencetuskan satu nama. Sejurus kemudian, gadis itu mulai sibuk dengan ponsel di tangan kanannya, menekan beberapa tombol lalu mendekatkannya ke telelinga.

"Vin gue mau cerita....."

***

Rio mengulurkan satu tangannya, sedang yang lain menenteng sebuah bungkusan berbalut kertas coklat. Belum sempat lengan kokoh pemuda itu mendarat pada knop pintu jati dengan pahatan nama Edelweiss Room, ia kembali menariknya. Setelah berfikir sebentar, tangan Pemuda itu kembali terulur, tapi kemudian dengan cepat ditariknya lagi. Begitulah yang terjadi sejak beberapa menit lalu. Rio hanya berdiri dengan bimbang di depan pintu kamar Alvin.

"Ayolah Rio. Lo mau sampai kapan berdiri disini ?" katanya, pada diri sendiri.
Rio meyakinkah dirinya, ia tidak mungkin mengulur waktu lagi. Itu sama saja dengan merentangkan jarak antara ia dengan penghuni kamar di hadapannya. Dengan mantap, di putarnya knop pintu, selembar papan dari jati itupun berdecit terbuka, didapati Alvin tengah berkutat dengan buku-buku tebalnya di meja belajar. Pemuda sipit itu hanya menoleh sebentar, lalu membuang muka saat tahu Riolah yang datang mengunjunginya.
Rio menyeret kakinya yang tiba-tiba saja enggan bergerak, sebelumnya ia tidak pernah merasa secanggung ini setiap memasuki kamar Alvin. Untuk beberapa saat, dua pemuda tampan itu terdiam. Akhirnya, suara baritone Rio lah yang memecah hening.

"Vin," sapanya kikuk, "Lo masih marah sama gue gara-gara kejadian Shilla itu ?"

Alvin bergeming. Tidak ada komentar apapun yang keluar dari bibirnya.

"Gue... Gue minta maaf, Vin. Gue nggak bisa, diem-dieman terus sama lo, kayak gini. Udah tiga hari lo nggak ngajak gue ngomong. Jangan lama-lama dong ngambeknya, kayak anak cewek aja sih lo." ujar Rio setengah memohon, setengah mencibir.

Alvin tetap tak merespon. Seolah-olah Rio ini adalah makhluk kasat mata dan ocehannya bak desau angin lalu.

"Vin!" panggil Rio.

Lawan bicaranya tetap bisu.

"Alvin!!"

"Hm ?"

"Ck," Rio berdecak kesal, "Gue minta maaf, Vin. Gue tahu, gue keterlaluan. Gue cuma nggak mau, kejadian kayak gini keulang lagi sama Shilla, Ify ataupun cewek-cewek lain yang nebeng lo. Gimana pun, lo nggak seharusnya turunin cewek di tengah jalan. Itu nggak jantan, Vin." ujar Rio, diplomatis.

Alvin tak kuasa untuk menahan ujung-ujung bibirnya agar tidak tertarik ke atas mendengar penuturan Rio, "Terus kalau nggak jantan, gue apa dong ? Betina ? Udah kayak ayam aja." ceplos pemuda berwajah oriental itu, dengan nada yang sepertinya mengumandangkan perdamaian.

"Hehehe," Rio terkekeh lebar, "Gue juga mau minta maaf Vin, udah bilang klub fotografi lo nggak penting, waktu itu. Kita damai kan ?" Rio menaik-naikkan kedua alis matanya.

Alvin hanya memandang datar ulah saudara tirinya itu, lalu melongos tanpa berkomentar.

"Elo masih belum mau maafin gue ?"

Alvin lagi-lagi bertahan dalam diam. Membuat Rio merutuk kesal dalam hati.

"Elah lo samaannya aja ni sama Gabriel mau sok jadi pangeran es?"

Pemuda penghuni Edelweiss Rom itu menatap Rio dengan gusar, sepertinya kehadiran Rio benar-benar telah mengganggunya, "Apa kita harus tautin kelingking dulu kayak anak TK, supaya lo berhenti ngerecokin gue ?"

"Sorry deh kalau gue ganggu. Ya udah, gue bakal keluar, ni buat lo." Rio meletakkan bungkusan coklat yang tadi dibawanya, di atas meja belajar Alvin.

"Apa ni ?"

"Sogokan, supaya lo nggak jutek lagi sama Shilla."

Rio tersenyum kalem. Sementara Alvin sibuk menerka-nerka isi dari bungkusan yang ada di hadapannya. Dan seperti bisa membaca fikiran Alvin, Pemuda yang sedang bersandar di meja belajar Alvin dengan kedua tangan terlipat di dada itu, berujar, "Itu isinya SLR. Kata Ify, lo pingin beli SLR buat lomba fotografi. Itu sebenarnya hadiah dari koleganya Papa buat ulang tahun gue tahun lalu, tapi gue nggak tertarik sama potret-memotret. Jadi buat lo aja, itu belum pernah gue pakai kok. Jadi bukan bekas."

"Enggak deh Yo. Simpan aja, gue udah nabung kok, dan minggu ini Mama janji mau temenin gue beli SLR."

"Ngapain beli sih Vin, kalau udah ada. Pakai ajalah Vin, dari pada cuma jadi penghuni lemari gue, kan sayang. Tabungannya kan bisa di pake keperluan yang lain." saran Rio, "Dan lo tau kan, gue paling nggak suka penolakan." tegas Tuan Muda itu.

"Gaya lo udah kayak boss besar aja Yo." cibir Alvin, "Ok deh gue terima, thanks ya."

Rio mengangguk dua kali.

"Eh, iya Yo, gue mau ingetin lo sesuatu. Emm, mending lo jaga jarak deh sama Gabriel, tu orang kayaknya punya dendam pribadi sama lo." kata Alvin, serius.

Rio mengerutkan kening, "Masa sih ? Kayaknya gue nggak ada masalah deh sama dia. Lo berlebihan, kalau soal kejadian di Lab tempo hari, itu murni kecelakaan kok." kilah Rio.

"Tapi Yo, gue-"

"Udah lah Vin, nggak usah parno. Gue nggak ada masalah sama Gabriel kok," setelah berujar demikian, pemuda tampan itu lantas berjalan dengan santai kearah pintu kamar Alvin, sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, Rio berkata, "Oh, Iya. Gue juga mau ingetin lo, karena sogokannya udah lo terima. Berarti lo harus baik-baik sama Shilla mulai sekarang.”

Sejurus kemudian, terdengar bunyi ceklik dan tap-tap-tap yang menyamar, menandakan Rio sudah beranjak jauh dari kamar Alvin.

Perlahan, pemuda itu menggeser buku-buku dan alat tulis yang berserakan memenuhi permukaan meja kecoklatan di depannya. Lantas, diraihnya satu pigura yang mengukung selembar masa lalu yang terabadikan dalam sebuah foto. Seperti orang yang kehilangan akal sehatnya, Alvin berbicara dengan benda mati yang menghuni genggaman tangannya itu, "Shilla. Dia mirip kamu Aya."

***

Rio mematung di depan pintu yang sedikit terbuka, dengan kedua lengan yang tersembunyi di balik punggungnya.

"Lo mau kemana, Shil ?" tanya Pemuda itu, ketika melihat Shilla yang menyambar pakaian-pakaiannya dari dalam lemari dengan kasar, lalu melemparkannya ke dalam tas hitam besar diatas kasur. Gadis cantik itu tak begitu menggubris pertanyaan Rio, "Lo kok cemberut gitu sih, Shil ? Ada apa ?" tanya Rio lagi.

Shilla masih membisu.

"Shil, kenapa ? Gue bikin lo marah ya, gue bikin salah ?" dakwa Rio pada dirinya sendiri.

Shilla menghentikan aktivitasnya. Ternyata ia memang tidak benar-benar bisa mengabaikan kehadiran Rio. Dengan senyum masam, gadis itu berseru, "Aku harus pulang ke kampung Yo."


***

1 komentar:

Westlife to RISE mengatakan...

makin seru ja...
lanjut..lanjut...
ditunggu part selanjutnya... jangan lama-lama.
penasaran nih....

Posting Komentar