Rahasia Orion Part 4
Terulang
***
Shilla menyeka buliran keringat di pelipisnya. Gadis itu
mulai menghitung dalam hati, telah berapa kali ia lalui pos satpam dekat tiang
listrik ini?
Ternyata, ini adalah kali kelimanya. Dan itu berarti, sejak
tiga jam yang lalu ia hanya berputar-putar di jalan yang sama. Rumah mewah
keluarga Haling, sama sekali belum terlihat. Shilla merogoh saku blazernya,
hanya tersisa tiga lembar uang seribuan. Uang saku yang diberikan Gladys (atas
perintah Narendra tentu saja) tadi pagi, benar-benar sudah ludes untuk membayar
ongkos kendaraan berargo, yang baru 5 menit lalu, Shilla turuni.
Shilla
jadi menyesali keputusannya untuk ikut tinggal di Jakarta, tempo hari. Gadis
itu merasa tidak cocok hidup di lingkup perkotaan dengan orang-orang yang
apatis terhadap sekelilingnya.
"Mungkin
Rio sama Om Haling itu stock orang baik terakhir, yang ada di Jakarta."
begitu fikir Shilla.
Ia mendesah keras-keras, berharap dengan melepaskan gas
karbon dioksida sebanyak-banyaknya, lelah dan takut yang membelit pun ikut
terlepas. Gadis cantik itu, baru saja akan melangkah, menyeret kedua kakinya
untuk meneruskan pencarian, saat ponsel dalam sakunya bergetar heboh.
"Rio.."
desisnya, setelah mendapati nama pemuda itu pada layar ponsel yang berkerjap-kerjap.
Dengan luapan rasa lega dan syukur pada Tuhan, bahwa Ia telah
mengirimkan dewa penolong yang memang sejak tadi dipinta Shilla, gadis itu
menekan tombol hijau pada keypad ponselnya.
"Riooo...
Aku kesasar, Yo." Shilla langsung merajuk, bahkan sebelum lawan bicaranya
di seberang sana bersuara, "Aku udah muter-muter tapi rumah kamunya nggak
ketemu-ketemu."
"Aku
sekarang di ... mmh... nggak tau Yo, tapi tadi aku liat ada plang besar,
tulisannya Neptun Estate, aku ada di dekat pos satpam gitu. Pokoknya kamu...
yah.. yayayaaah. Mati lagi handphonenya. Aduuh, nyebelin banget sih."
Shilla menatapi LCD ponselnya dengan nelangsa. Saat Rio menelpon tadi, baterai
ponselnya memang tinggal 1 bar.
"Amira!"
Shilla menoleh. Yakin tidak ada orang lain lagi di dekat
sini, berarti suara berat itu menyapanya. Saat gadis itu memutar tubuhnya ke belakang,
ia terlonjak kaget. Spontan, Shilla mundur beberapa langkah. Seorang pria
tengah menyeringai lebar ke arahnya. Pakaian pria itu kotor dan kumal,
rambutnya awut-awutan, satu tangannya menimang-nimang sebuah boneka plastik
yang terlihat mengerikan, sedang tangan yang lain memegang sepotong besi besar
yang diayun-ayunkan sembarangan. Dan melihat segala macam atribut yang melekat
pada tubuh pria itu, Shilla segera menyadari dirinya dalam bahaya kalau terus
bertahan disana.
"KYAAAA...
Orang gilaaa."
Tanpa harus menunggu sesuatu yang lebih extreme terjadi pada
dirinya, Shilla memilih untuk cepat lari. Lari sekencang-kencangnya, beruntung
buku-bukunya sudah diinapkan dalam loker sekolah, jadilah tas berwarna ungu
muda itu tidak terlalu membebani punggungnya.
"Amira,
tunggu, Nak. Tunggu... Ini Papamu. Amira, ayo peluk Papa. Kamu putri Papa yang
tertukar!" Si Pria tak jelas tadi terus mengejar Shilla, sambil berkoar
tidak penting.
Kalau
saja kejadian ini tidak menimpanya, mungkin sekarang Shilla sudah
terpingkal-pingkal melihat orang gila yang mengejar seorang gadis yang dikira anaknya,
Amira.
"Amira,
tunggu Papa. Jangan pergi!" Orang gila itu belum menyerah, masih mengejar
Shilla sambil melempar senyum penuh arti.
Shilla semakin bergidik, ngeri. Kenapa sih pria itu tidak
berhenti mengejarnya ? Bagaimana kalau sampai ia tertangkap ? Akan diapakan ia
oleh pria itu, dipukul dengan besi atau akan dipeluk dan dicium layaknya
seorang Papa pada Anaknya ?
"Huaaaa...
Aku nggak mau, nggak mauuu." teriak gadis itu, sambil terus menambah
kecepatan larinya. Ia tak lagi sempat, untuk mengamati arah yang diambil.
Jalan-jalan yang dilalui hanya sepintas berkelebat, dan tentu saja sama sekali
tidak bisa diingat-ingat sesudahnya. Apalagi sepertinya, Shilla sudah berlari
cukup jauh.
Shilla memberanikan diri untuk menoleh. Dan ternyata orang
gila tadi sudah tidak membuntutinya, Shilla menghela napas lega. Tapi udara
yang memasuki saluran pernapasannya seketika terasa dicekat. Habislah sudah,
sekarang Shilla benar-benar tidak tahu berada di mana. Yang ia lihat hanya
rumpun-rumpun bambu yang mengelilingi sebuang lapangan tak terawat.
Rumput-rumput tumbuh liar, bersaing dengan belukar ilalang, memenuhi setiap
titik tempat ini. Kalau tadi, setidaknya Shilla masih bisa mengingat jalan
untuk kembali keperempatan, tempat Alvin menurunkannya. Tapi sekarang, Shilla
sama sekali tidak tahu harus kemana dan berbuat apa. Belia itu, terduduk lemas.
Hari sudah semakin gelap, sedangkan kediaman keluarga Haling sepertinya masih
sangat jauh dari tempat ini. Ia mencoba memusatkan fikirannya, berharap bisa
mengingat kembali rute yang dilewati, sampai ia terdampar di tempat ini. Tapi
otaknya buntu. Satu-satunya yang terfikir malah hal konyol, bawah ia ingin
membeli mesin waktunya Doraemon. Shilla ingin sekali menganulir keputusannya
menerima tawaran Alvin untuk pulang bersama beberapa jam yang lalu, itu
benar-benar racun berwujud kue tart.
Shilla
masih duduk berselonjor, kedua tangan memukul-mukul kaki yang terasa sangat
pegal.
"Capek
ya Neng, sini Abang pijitin."
Matanya yang semula menumbuk pada tanah berlapis rumput yang
mengalasi duduknya, kini tertancap pada empat pasang kaki yang berjajar di
depannya. Shilla mendongak. Glek. Ia menelan ludah. Gadis berambut panjang itu
segera bangkit dan mundur perlahan. Ada empat orang pemuda yang berdiri
berjajar dihadapannya. Dua di antaranya bertubuh tinggi besar, sedang sisanya
meski ukuran tubuhnya normal, tapi tindik dan tatto yang menghiasi Dua tubuh
itu, jelas menunjukkan bahwa kesemuaan dari mereka bukanlah orang baik. Plus
baju compang-camping berwarna hitam dan jeans belel yang mereka kenakan,
rasanya empat pemuda itu tidak jauh berbeda penampilannya dengan pria stres
yang tadi mengejar Shilla.
Shilla menepis kasar lengan salah satu dari mereka yang
mencolek dagunya. Ia terus mundur, sampai punggungnya terasa nyeri karena
membentur batang kasar pohon mangga yang juga menjadi bagian dari tempat ini.
"Duh,
judes amat sih, Neng." ujar pemuda bertatto yang sepertinya ketua kelompok
orang-orang aneh ini, "Mau kemana? Ikut kita-kita aja yuk, Neng!"
pemuda tadi mencolek lengan Shilla.
"Jangan
macam-macam ya, atau saya bakal teriak."
Mendengar
ancaman bodoh, gadis yang tampak ketakutan di depan mereka, 4 orang pemuda tadi
tertawa lepas.
"Silakan,
gue mau denger, seberapa kenceng terikan lo, cantik." tantang Si Tinggi
Besar.
Shilla
tertunduk lesu. Sadar, mau berteriak sampai urat leher putus pun tidak akan ada
yang mendengarnya. Tempat ini sepertinya jarang dilintasi penduduk setempat.
"Ayo,
katanya mau teriak?" tantang pemuda yang sama, matanya berkilat nakal
membuat Shilla bertambah pucat. Keringat dingin, seketika membanjiri tubuhnya.
"Udahlah
boss, nggak usah basa-basi, langsung seret aja ke markas." usul salah satu
dari mereka. Pemuda berkalung rantai besar dengan bandul tengkorak.
"Tuh,
dengar kan manis? Jadi mau ikut dengan suka rela atau kita..."
"Jangan
ganggu dia."
Suara baritone bernada datar itu hampir saja membuat Shilla
menangis seketika, karena lega. Shilla tahu pasti, siapa pemilik suara itu, ia
memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menerjang salah satu pemuda
yang berdiri di hadapannya. Gadis itu berlari ke arah Rio dan langsung
membenamkan diri di balik punggung tegap pemuda itu.
"Cepat
masuk mobil. Di sana udah ada Ify." bisik pemuda tampan itu, pada Shilla
yang sudah berkaca-kaca.
Shilla
mengangguk faham, ia menuju sedan hitam milik Rio yang terparkir tak jauh dari
situ, dengan setengah berlari. Benar saja, di dalam sudah ada Ify yang langsung
menyambutnya dengan pertanyaan yang semenjak tadi juga berlintasan dalam benak
Shilla, "Nggak apa-apa tu Rio ngadepin orang-orang itu sendirian?"
ujar gadis berdagu runcing itu, dengan siratan khawatir yang terpeta jelas pada
seraut paras ayunya.
Sedangkan
Rio masih berdiri santai menghadapi empat orang pemuda yang menatap tak suka
pada dua telaga bening miliknya.
Rio
tersenyum mengejek, "Kalian nggak malu gangguin cewek?" cibir Rio,
sinis.
"Jelaslah
kita gangguin cewek, lo kira kita maho doyan sama cowok. Mikir dong lo."
balas salah satu dari mereka.
"Badan
ceking begitu aja mau sok-sokan jadi pahlawan lo, heh? Hahaha." timpal
yang lain, disahuti derai tawa teman-temannya.
Percakapan
lima orang pemuda itu sama sekali tidak terdengar oleh Shilla dan Ify. Dua
gadis cantik yang kelak dipaksa takdir untuk saling melukai itu, hanya bisa
menyertakan doa untuk Rio. Memperhatikan lekat-lekat, setiap gerakan yang
muncul. Tak lama berselang, dua gadis itu bisa tersenyum lega ketika Rio
berjalan ke arah mobil, lalu membuka pintu dan duduk manis di samping Ify,
tanpa kurang suatu apapun.
"Lo
nggak pa-pa, Yo ?" tanya Ify.
"Nggak
Fy. Udah buruan jalan." intruksi Rio.
"Kok
bisa ?"
"Hah?
Apanya?"
"Kok
bisa, lo nggak diapa-apain sama mereka ? Gue kira tadi bakal
tonjok-tonjokkan."
"Ya
bagus dong. Emang lo mau gue bonyok-bonyok?"
"Ya,
nggak sih. Tapi kan aneh aja, tadi padahal kayaknya mereka marah banget."
Suara
yang terdengar mengisi hening dalam mobil yang menggilas jalanan itu, masih
milik Ify dan Rio, sedang lakon lain di dalam sana hanya mendengarkan dengan
seksama. Tidak punya niat untuk menimpali, karena rasanya seluruh tenaganya
sudah benar-benar terkuras habis.
"Gampang
aja, gue bilang ke mereka, banci kalau main keroyokan. Dan gue bakal bawa genk
gue buat lawan genk mereka besok sore."
"Emang,
sejak kapan lo punya genk, Yo ? Kok gue nggak tau ya ?" tanya Ify, sambil
terus fokus pada jalanan di depannya. Pukul 6 sore, jam pulang kerja. Tentu
saja seperti hari-hari sebelumnya, Jakarta selalu macet. Membuat gadis berambut
ikal itu, dengan tidak sabar, berkali-kali memencet klakson.
"Gue
nggak punya genk. Asal aja ngomong begitu. Yang jelas, lo jangan sampai nyasar
ke sana lagi, Shil. Bisa dikulitin entar kita, kalau ketemu mereka lagi."
Rio melirik ke kursi belakang, ternyata Shilla sudah tertidur pulas. Gadis itu
mendendangkan napas teratur dengan wajah pualamnya yang terlihat damai diseret
alam mimpi.
Rio
tersenyum tipis, mengerti betul kelelahan yang Shilla rasakan.
"Oh,
jadi ceritanya, lo kabur gitu ya? Ah, nggak keren banget sih lo." cibir
Ify, sembari mengetuk-ngetukkan jemari pada kemudinya, menunggu antrian panjang
kendaraan bermotor yang berjejalan memenuhi jalan raya ini, bahkan trotoar yang
seharusnya digunakan para pejalan kaki, malah dilalui sepeda motor.
"Ya,
ini kan bukan sinetron, Fy. Logikanya, cowok dengan satu tangan di perban kayak
gue, mana mungkin bisa menang, lawan mereka. Yang ada gue bakal bonyok, terus entar
lo sama Shilla gimana coba? Selagi ada kesempatan, mendingan gue meloloskan
diri kan? Nggak selamanya berantem itu mesti pakai otot."
"Bisa
banget deh lo nge-les-nya."
Saat
mobil Rio akhirnya melewati gapura depan Orion Estate, Rio membangunkan Shilla
dengan suara lembut. Gadis itu mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya
menegakkan tubuhnya.
"Lo,
nggak pa-pa kan Shil ?" tanya Rio.
Shilla menggeleng. Kalau saja yang bertanya tadi bukan Rio,
Shilla akan langsung mencak-mencak memaki si penanya. Bagaimana mungkin, ia
tidak apa-apa. Setelah dikejar-kejar orang gila, dan diganggu pemuda-pemuda
sarap itu, apa masih kurang tragis hingga masih layak di bilang tidak apa-apa?
Hanya saja, Shilla tidak ingin terlihat manja dengan mengeluhkan ini-itu di depan
Rio. Toh, sekarang ia sudah selamat.
"Abis
ini lo mandi, makan terus istirahat ya, kayaknya lo capek banget." imbuh
Rio.
Perhatian kecil yang diberikan Rio pada Shilla, tanpa sadar
menyayat sebentuk hati yang lain. Pemiliknya mulai membongkar kotak-kotak
kenangan yang disimpan rapi dalam ingatan, mencari tahu, pernahkah pemuda di sampingnya
itu memberikan perhatian yang sama terhadapnya. Dan akhirnya, ia tersenyum
cerah. Pernah. Ya, bahkan lebih dari ini. Rio pernah meminjamkan punggungnya
untuk Ify bersandar, selama pemuda itu menggendongnya menuju tenda, saat mereka
camping dan Ify terjatuh hingga kakinya terkilir.
Bila saat di mana ia harus berpura-pura mati rasa dan kembali
mengenakan topeng ketegaran, datang lagi. Bila masa itu terulang lagi... Ah,
apa iya, pengganti cinta pertama Rio datang secepat ini ? Tidak. Ify mengerang
dalam hati. Berteriak, untuk mensugesti dirinya sendiri. Ada sebersit rasa
khawatir, tapi segera ditepisnya. Bahkan, Rio dan Shilla baru saling mengenal.
Di antara keduanya pasti tidak ada apa-apa. Mungkin ia yang terlalu sensitif
mengartikan tatapan lembut yang dilayangkan Rio untuk Shilla.
Ify menarik kembali fokusnya pada jalanan beraspal yang mulai
menggelap dihujam tangisan langit. Ia tidak ingin terlalu lama memikirkan
hal-hal yang hanya akan membuatnya bersedih. Sejurus kemudian, mobil yang
dikemudikan Ify, berbelok memasuki halaman Rumah Besar. Wangi bunga Mandevilla
yang khas, langsung menyapa indera pembau ketiga orang dalam mobil, berbaur
dengan aroma tanah yang menguar bersama rinai hujan.
"Eyang
?" lirih Rio.
Pemuda itu segera melompat dari dalam mobil, bahkan sebelum
putaran rodanya benar-benar terhenti. Ify dan Shilla segera menyusul Rio dengan
tubuh menegang, karena mendengar teriakan-teriakan seorang wanita tua terhadap
Gladys. Segala umpatan dan kata-kata menyakitkan, meluncur deras menyaingi
keracak air langit yang tercurah. Gladys terlihat pasrah, kedua tangannya
mengelus dada yang naik-turun mengimbangi tangisan yang seumpama luapan air
langit di musim penghujan, deras. Tapi sepertinya, wanita tua itu terlalu
enggan untuk iba terhadap istri dari anak tunggalnya itu.
"Jaga
dua anak saja tidak becus. Baru saya tinggal satu minggu saja Rio sudah sakit.
Apa yang kamu lakukan kepadanya, heh ? Kamu pasti tidak memperhatikannya, iya ?
Kamu pasti membeda-bedakan Rio dengan Alvin ? Memang dasar kamu penjilat, hanya
ingin hidup enak saja di sini," umpat wanita tua, tadi.
Mendengar
rentetan kalimat yang dilontarkan Eyangnya, Rio menaikkan alis matanya, sambil
berlari kecil menghindari hujan, pemuda itu mendekati Eyangnya di selasar
rumah, "Eyang!" panggil Rio.
"Eh,
hi dear. Kemari cucuku sayang," wanita tua berdarah Belanda-Indonesia itu
merentangkan kedua tangannya, seraya menghampiri cucu kesayangannya, "Lho,
lho, tanganmu kenapa Yo ?" Eyang Putri memeluk dan mencium Pipi Rio.
Pemuda itu sebenarnya risih juga, tapi memaklumi karena ia adalah cucu
tunggal di keluarga Haling.
Setelah menyelesaikan prosesi melepas rindu dengan cucunya,
Eyang Putri berjalan dengan dagu terangkat, berbalik kearah Gladys yang masih
menangis dalam pelukan Alvin.
"Kenapa
masih disini? Kalian sudah saya usir kan tadi. Cepat pergi. Ambil pakaian
kalian di dalam, jangan membawa apa yang bukan hak kalian. Dari awal saya
memang sudah tidak setuju, anak saya menikahi wanita seperti kamu." tandas
Eyang Putri dengan pongah.
"Rio,"
Shilla mendekat, memegangi satu lengan pemuda itu dengan kedua tangannya,
"Jangan biarin Tante Gladys sama Alvin diusir, Yo. Eyang kamu salah faham.
Kamu sakit kan karena hujan-hujanan sama aku, dan... dan tangan kamu.. itu kan
di luar tanggung jawab Tante Gladys. Ayo bilang sesuatu sama Eyang kamu, Yo.
Jangan biarin Tante Gladys pergi, aku mohon." pinta Shilla,
sungguh-sungguh. Gadis itu hampir melelehkan cairan bening yang sering disebut
senjata kaum hawa dari sudut matanya, menyaksikan Gladys yang tersedu di pundak
Alvin. Sekarang ia tahu, apa yang mendasari kemarahan Alvin kepadanya tempo
hari. Jadi inilah bencana yang dulu di maksud Alvin, Eyang Rio ternyata bisa
begitu marah hanya karena cucunya terserang demam yang tidak seberapa, menyadari
hal itu, Shilla semakin merasa bersalah.
"Ini
bukan salah Mama, Eyang." tukas Alvin. Benar kan prediksinya tempo hari
mengenai Mamanya yang harus membayar mahal demam yang diderita Rio. Alvin sudah
hafal, bukan sekali dua kali, Eyang Putri marah-marah pada Mamanya hanya karena
hal sepele.
"Siapa
yang meminta pendapatmu, Alvin ?" sinis Eyang Putri.
"Alvin
Benar." timpal Rio, "Tante Gladys nggak salah Eyang, jangan usir
mereka. Tapi... Ada syaratnya..." Rio memicing mata, mengadu pandangan
dengan sorot dingin dari kedua mata Alvin, "Alvin harus minta maaf sama
Shilla!" perintah Rio.
Shilla
melirik Rio, "Nggak perlu kok. Aku udah ma-"
"Dia
harus minta maaf sama lo, Shil. Gara-gara Alvin lo kesasar seharian."
kukuh Rio.
Alvin
menghembuskan nafas berat, menghampiri Shilla lantas berujar, "Maafin gue
Shilla, gue salah."
"Iya...
Vin, aku udah maafin kamu kok." jawab Shilla, takut-takut. Jelas takut,
tidak berbuat apa-apa saja Alvin sudah tidak menyukainya, lalu bagaimana nasibnya
setelah ini ?
"Ok.e
Cukup." ujar Rio dingin. Pemuda itu menarik lengan Shilla dan
membimbingnya menjauh dari Alvin, "Ayo masuk, Shil." Rio lantas
meletakkan kedua tangannya dipundak Shilla, mendorong gadis itu dengan
perlahan.
Eyang
Putri, mengekori kedua remaja itu, setelah sebelumnya berkata, "Berterimakasihlah
pada Rio. Karena berkat dia, kalian tidak jadi gembel malam ini." wanita
yang terlihat awet muda itu berjalan anggun meninggalkan Alvin dan Mamanya.
***
Menjaring desau angin
sia-siakah ?
Tapi aku senang melakukannya
senang membumbungkan harap,
bahwa suatu ketika
desauan itu bisa ku genggam.
Ah, aku selalu bisa merasakan semilirmu
yang tak pernah kau tawarkan untukku
sreeett
suara
ujung bolpoint yang bergesekkan dengan kertas, mengusik kekuasaan hening yang
tengah bertahta sejak tadi di ruangan ini. Gadis pecinta bunga mawar, penghuni
kamar bercat baby pink itu, menahan laju penanya. Menyudahi tumpahan-tumpahan
tinta yang tercetak pada secarik kertas di depannya. Jari-jarinya lantas
menelusur, menyunting barisan-barisan kalimat yang ia susun sejak satu jam yang
lalu. Sampai di beberapa kalimat akhir yang berhasil ia bubuhkan, gadis itu
mendesah keras, "Ini sih bukan puisi, tapi curhat colongan. Come on Ify,
masa puisi kayak gini yang mau lo kasih ke editor Aruna, besok?" ia
menggerutu, jengkel. Merutuki otaknya yang tiba-tiba saja kehilangan kemampuan
untuk merangkai kata-kata, pada saat Ify benar-benar dikejar deadline.
Gadis dengan piama pink bercorak minnie mouse itu, perlahan
beringsut dari duduknya. Matanya memandang nanar pada setumpuk kertas yang
menggunduk di sudut ruangan dekat tempat sampah. Beberapa kali ia meremas
kertas dan melakukan lemparan jarak jauh dengan fokus keranjang sampah, tapi
berulang kali pula lemparan bola-bola kertas itu meleset.
Ia mengedarkan pandangan, meneliti setiap sudut kamar beserta
pernak-pernik bernuansa putih dan pink yang mengisi ruangan itu, berharap satu
diantara objek-objek yang tertangkap sepasang mata beningnya, mampu memberikan
inspirasi untuknya. Ify selain aktif di OSIS, gadis manis itu juga merupakan
salah satu author kebanggaan sekolah, puisi dan cerita-ceritanya sering kali
dimuat di Aruna. Aruna adalah majalah sekolah yang dikelola oleh anak-anak dari
ekstrakulikuler jurnal, yang secara rutin terbit setiap hari sabtu. Aruna
merupakan salah satu ikon kebanggaan Veronna Senior High School, majalah
sekolah itu telah beberapa kali memenangkan lomba-lomba membuat artikel,
cerpen, puisi , essai taupun karya-karya tulis lainnya.
"Mana
harus gue kasih ke Gabriel, besok pula. Ah, mau nulis apa coba gue, nggak ada
ide." keluh Ify.
Setelah menghabiskan puluhan detik hanya dengan mondar-mandir
mengitari kamarnya yang luas, seperti yang biasa dilakukan Ify kalau sudah
merasa bosan, akhirnya Ify memutuskan melangkah menuju balkon. Dengan satu
tangan, digesernya pintu kaca yang menjadi pembatas antara kamar dengan balkon.
Seketika, angin malam dengan dinginnya yang khas langsung menyapa gadis berdagu
runcing itu. Kontan, Ify memasukkan kedua tangan ke dalam saku piamanya. Ify
tersenyum masam, ketika mendapati alpanya dua ikon malam yang fenomenal itu.
Tak ada kedipan-kedipan nakal dari bintang-bintang kecil kesukaannya. Pun
dengar berkas cahaya anggun sang dewi malam. Langit benar-benar kosong dan
gelap. Yang ada hanya desau lirih angin malam yang mempermainkan rumpun tanaman
bambu hias di halaman depan rumah Ify. Ify termenung, kembali teringat kejadian
kemarin lalu yang meskipun susah payah Ify lupakan tapi terus menggelayuti
pikirannya belakangan ini. Kejadian itu, saat Rio dengan lembut membangunkan
Shilla yang tertidur di mobil. Mata indah gadis itu berkilat menyedìhkan. Apa
masa itu benar-benar akan datang lagi? Haruskah digunakannya topeng itu lagi ?
Ify tak pernah tahu kalau ternyata cahaya mampu menyesatkan.
Seperti cahaya milik Rio yang terus-menerus menyeretnya dalam dunia mimpi,
hingga sulit bagi Ify untuk menyadarkan diri bahwa hidupnya adalah sebuah
kenyataan. Ify merasakan ada yang diam-diam mengembang hening di matanya.
Bergulir perlahan di pipinya. Dengan punggung lengan kanannya, gadis manis itu
menyeka air mata, beberapa tetesan tidak lagi sempat tersentuh tangan.
Terlanjur jatuh, mengadu diri dengan lantai, lalu terpecah menjadi
partikel-partikel air yang lebih kecil dan meninggalkan jejak-jejak basah di sana.
"Kamu
bodoh, Fy !! Kamu terlambat." ejek lantai dingin yang ia pijak.
"Apa
gunanya menangis, sekarang?" kali ini tembok-tembok kaku itu, ikut
berseru.
Serpihan angin kembali menerpa parasnya, terasa basah, karena
membawa buliran air hujan. Sepertinya, mendung yang bergantung rapuh sejak tadi
akan segera menebar hujan. Mendendangkan elegi bumi yang seolah tahu kesedihan
yang di derita Ify. Kenapa rasanya jauh lebih sakit dari yang dulu ? Ingin
sekali, Ify menarik Shilla agar menjauh setiap kali ia melihat gadis itu
duduk-duduk berdua dengan Rio. Ingin sekali Ify mengingatkan gadis itu agar
tidak mendekati Rio lagi, agar Shilla tidak membuat Rio tersenyum atau tertawa
lagi, tapi apa haknya ?
Ify mendesah pasrah. Kalau memang ia harus mengalah, sekali
lagi, itu bukan masalah. Bukankah menunggu dan mengalah telah jadi kawan
karibnya selama ini ?
Gadis
itu berjalan gontai ke dalam kamarnya. Ify merebahkan tubuh pada kasur empuknya.
Tidak munafik, ada atau pun tidak ada hubungan antara Rio dan Shilla, Ify tetap
merasa kecewa. Ia ingin marah. Tapi siapa yang pantas ia marahi ?
Shilla
?
Ah,
bahkan gadis itu selalu berusaha bersikap ramah dan menyenangkan, selama duduk
satu bangku dengan Ify.
Atau
Rio ?
Tentu
saja bukan. Dengan bodohnya, dulu Ify pernah menampik pertanyaan yang Rio
ajukan. Rio pernah menanyakan bagaimana sebenarnya perasaan Ify terhadapnya ?
Apa perhatian yang Ify berikan, karena gadis itu menyukai Rio ? Dan sambil
terbahak, Ify malah berujar bahwa itu adalah pertanyaan paling bodoh yang
pernah di dengarnya. Satu-satunya yang layak dimarahi pasti adalah Ify sendiri.
Dengan gamang, Ify meraih ponselnya. Ia merasa perlu berbagi,
menceritakan semua unek-unek yang ada dalam hatinya. Ia butuh teman untuk
berkeluh kesah dan otaknya langsung mencetuskan satu nama. Sejurus kemudian,
gadis itu mulai sibuk dengan ponsel di tangan kanannya, menekan beberapa tombol
lalu mendekatkannya ke telelinga.
"Vin
gue mau cerita....."
***
Rio mengulurkan satu tangannya, sedang yang lain menenteng
sebuah bungkusan berbalut kertas coklat. Belum sempat lengan kokoh pemuda itu
mendarat pada knop pintu jati dengan pahatan nama Edelweiss Room, ia kembali
menariknya. Setelah berfikir sebentar, tangan Pemuda itu kembali terulur, tapi
kemudian dengan cepat ditariknya lagi. Begitulah yang terjadi sejak beberapa
menit lalu. Rio hanya berdiri dengan bimbang di depan pintu kamar Alvin.
"Ayolah
Rio. Lo mau sampai kapan berdiri disini ?" katanya, pada diri sendiri.
Rio meyakinkah dirinya, ia tidak mungkin mengulur waktu lagi.
Itu sama saja dengan merentangkan jarak antara ia dengan penghuni kamar di hadapannya.
Dengan mantap, di putarnya knop pintu, selembar papan dari jati itupun berdecit
terbuka, didapati Alvin tengah berkutat dengan buku-buku tebalnya di meja
belajar. Pemuda sipit itu hanya menoleh sebentar, lalu membuang muka saat tahu
Riolah yang datang mengunjunginya.
Rio menyeret kakinya yang tiba-tiba saja enggan bergerak,
sebelumnya ia tidak pernah merasa secanggung ini setiap memasuki kamar Alvin.
Untuk beberapa saat, dua pemuda tampan itu terdiam. Akhirnya, suara baritone
Rio lah yang memecah hening.
"Vin,"
sapanya kikuk, "Lo masih marah sama gue gara-gara kejadian Shilla itu
?"
Alvin
bergeming. Tidak ada komentar apapun yang keluar dari bibirnya.
"Gue...
Gue minta maaf, Vin. Gue nggak bisa, diem-dieman terus sama lo, kayak gini.
Udah tiga hari lo nggak ngajak gue ngomong. Jangan lama-lama dong ngambeknya,
kayak anak cewek aja sih lo." ujar Rio setengah memohon, setengah
mencibir.
Alvin
tetap tak merespon. Seolah-olah Rio ini adalah makhluk kasat mata dan ocehannya
bak desau angin lalu.
"Vin!"
panggil Rio.
Lawan
bicaranya tetap bisu.
"Alvin!!"
"Hm
?"
"Ck,"
Rio berdecak kesal, "Gue minta maaf, Vin. Gue tahu, gue keterlaluan. Gue
cuma nggak mau, kejadian kayak gini keulang lagi sama Shilla, Ify ataupun
cewek-cewek lain yang nebeng lo. Gimana pun, lo nggak seharusnya turunin cewek
di tengah jalan. Itu nggak jantan, Vin." ujar Rio, diplomatis.
Alvin
tak kuasa untuk menahan ujung-ujung bibirnya agar tidak tertarik ke atas
mendengar penuturan Rio, "Terus kalau nggak jantan, gue apa dong ? Betina
? Udah kayak ayam aja." ceplos pemuda berwajah oriental itu, dengan nada
yang sepertinya mengumandangkan perdamaian.
"Hehehe,"
Rio terkekeh lebar, "Gue juga mau minta maaf Vin, udah bilang klub
fotografi lo nggak penting, waktu itu. Kita damai kan ?" Rio
menaik-naikkan kedua alis matanya.
Alvin
hanya memandang datar ulah saudara tirinya itu, lalu melongos tanpa
berkomentar.
"Elo
masih belum mau maafin gue ?"
Alvin
lagi-lagi bertahan dalam diam. Membuat Rio merutuk kesal dalam hati.
"Elah
lo samaannya aja ni sama Gabriel mau sok jadi pangeran es?"
Pemuda
penghuni Edelweiss Rom itu menatap Rio dengan gusar, sepertinya kehadiran Rio
benar-benar telah mengganggunya, "Apa kita harus tautin kelingking dulu
kayak anak TK, supaya lo berhenti ngerecokin gue ?"
"Sorry
deh kalau gue ganggu. Ya udah, gue bakal keluar, ni buat lo." Rio
meletakkan bungkusan coklat yang tadi dibawanya, di atas meja belajar Alvin.
"Apa
ni ?"
"Sogokan,
supaya lo nggak jutek lagi sama Shilla."
Rio
tersenyum kalem. Sementara Alvin sibuk menerka-nerka isi dari bungkusan yang
ada di hadapannya. Dan seperti bisa membaca fikiran Alvin, Pemuda yang sedang
bersandar di meja belajar Alvin dengan kedua tangan terlipat di dada itu,
berujar, "Itu isinya SLR. Kata Ify, lo pingin beli SLR buat lomba
fotografi. Itu sebenarnya hadiah dari koleganya Papa buat ulang tahun gue tahun
lalu, tapi gue nggak tertarik sama potret-memotret. Jadi buat lo aja, itu belum
pernah gue pakai kok. Jadi bukan bekas."
"Enggak
deh Yo. Simpan aja, gue udah nabung kok, dan minggu ini Mama janji mau temenin
gue beli SLR."
"Ngapain
beli sih Vin, kalau udah ada. Pakai ajalah Vin, dari pada cuma jadi penghuni
lemari gue, kan sayang. Tabungannya kan bisa di pake keperluan yang lain."
saran Rio, "Dan lo tau kan, gue paling nggak suka penolakan." tegas
Tuan Muda itu.
"Gaya
lo udah kayak boss besar aja Yo." cibir Alvin, "Ok deh gue terima,
thanks ya."
Rio
mengangguk dua kali.
"Eh,
iya Yo, gue mau ingetin lo sesuatu. Emm, mending lo jaga jarak deh sama Gabriel,
tu orang kayaknya punya dendam pribadi sama lo." kata Alvin, serius.
Rio
mengerutkan kening, "Masa sih ? Kayaknya gue nggak ada masalah deh sama
dia. Lo berlebihan, kalau soal kejadian di Lab tempo hari, itu murni kecelakaan
kok." kilah Rio.
"Tapi
Yo, gue-"
"Udah
lah Vin, nggak usah parno. Gue nggak ada masalah sama Gabriel kok,"
setelah berujar demikian, pemuda tampan itu lantas berjalan dengan santai
kearah pintu kamar Alvin, sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, Rio
berkata, "Oh, Iya. Gue juga mau ingetin lo, karena sogokannya udah lo
terima. Berarti lo harus baik-baik sama Shilla mulai sekarang.”
Sejurus
kemudian, terdengar bunyi ceklik dan tap-tap-tap yang menyamar, menandakan Rio
sudah beranjak jauh dari kamar Alvin.
Perlahan, pemuda itu menggeser buku-buku dan alat tulis yang
berserakan memenuhi permukaan meja kecoklatan di depannya. Lantas, diraihnya
satu pigura yang mengukung selembar masa lalu yang terabadikan dalam sebuah
foto. Seperti orang yang kehilangan akal sehatnya, Alvin berbicara dengan benda
mati yang menghuni genggaman tangannya itu, "Shilla. Dia mirip kamu Aya."
***
Rio
mematung di depan pintu yang sedikit terbuka, dengan kedua lengan yang
tersembunyi di balik punggungnya.
"Lo
mau kemana, Shil ?" tanya Pemuda itu, ketika melihat Shilla yang menyambar
pakaian-pakaiannya dari dalam lemari dengan kasar, lalu melemparkannya ke dalam
tas hitam besar diatas kasur. Gadis cantik itu tak begitu menggubris pertanyaan
Rio, "Lo kok cemberut gitu sih, Shil ? Ada apa ?" tanya Rio lagi.
Shilla
masih membisu.
"Shil,
kenapa ? Gue bikin lo marah ya, gue bikin salah ?" dakwa Rio pada dirinya
sendiri.
Shilla
menghentikan aktivitasnya. Ternyata ia memang tidak benar-benar bisa
mengabaikan kehadiran Rio. Dengan senyum masam, gadis itu berseru, "Aku
harus pulang ke kampung Yo."
***
1 komentar:
makin seru ja...
lanjut..lanjut...
ditunggu part selanjutnya... jangan lama-lama.
penasaran nih....
Posting Komentar