Rahasia
Orion Part 5
Masa
Lalu
***
"Aku
harus pulang ke kampung Yo."
"Pulang
?" Rio mengerutkan kening, "Kenapa? Lo nggak betah tinggal disini ?"
Shilla
menggeleng dengat cepat, hingga sebagian anak-anak rambutnya terkoyak seiring
gerakan kepalanya, sedang sisanya direkatkan oleh air mata, pada kedua pipinya.
Bibir gadis itu mengukir senyum tipis, "Aku nggak seharusnya tinggal
disini, Rio. Aku nggak pantas."
"Kata
siapa? Gue senang lo tinggal disini. Eyang, Papa, semua suka sama lo." Rio
menghampiri Shilla, masih dengan kedua tangan yang disembunyikan di belakang
punggung. Pemuda itu ikut duduk di sisi Shilla yang sedang membenahi isi tas
hitam di atas kasur yang sudah di penuhi berlembar-lembar pakaiannya, yang baru
saja di jarah dari lemari besar di kamar ini.
"Nggak
Yo. Aku cuma bisa bikin masalah. Orang-orang nggak suka sama aku."
"Shilla...
Lo ngomong apa sih ? Ada apa sebenarnya ?" Rio memandangi Shilla dengan
lembut.
"Yo,"
Shilla menghentikan aktivitasnya, ia balas memandangi Rio dengan tatapan sendu
dari kedua bola matanya, "Baru beberapa hari aku tinggal di sini, aku udah
bikin kamu sama Alvin marahan. Aku bikin kamu kehujanan, bikin kamu sakit,
bikin Tante Gladys hampir diusir. Aku selalu bikin masalah, Yo."
"Shil,
itu bukan-"
"Belum
lagi di sekolah," potong Shilla, "Aku tu bingung mau temenan sama
siapa, Veronna itu tempat sekolahnya anak orang-orang kaya, obrolan mereka, gaya mereka, sikap mereka kebanyakan
nggak cocok sama aku, Yo. Ify juga, dia belum pernah tu ajak aku ngobrol selama
kita sebangku. Kalau ditanya pun jawabannya singkat-singkat, seadanya. Aku
sedih Yo, aku kangen kampungku, aku ngerasa asing banget tinggal di sini."
Shilla
merasakan pelupuk matanya memanas. Butiran-butiran air mata sudah terakumulasi
secara berlebihan disana. Shilla yakin, dengan satu kali kedipan saja, butiran
air mata itu akan langsung terjun bebas tanpa bisa lagi dibendung.
"Itu
cuma perasaan lo aja, Shil. Gue sama Alvin udah baikan kok, semua yang terjadi
belakangan ini, bukan sepenuhnya salah lo. Lagi pula lo lupa, lo ke sini kan
buat sekolah yang benar, raih cita-cita dan bikin bangga Ibu lo. Jangan pulang
Shil, gue senang lo ada di sini," pinta Rio.
Shilla
menunduk dalam, menyembunyikan semburat rona merah yang tiba-tiba saja memulas pipi
pualamnya setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rio. Seketika, apa yang
bergumul di otaknya, tentang beragam alasan yang membuat Shilla ingin segera
pulang ke kampong tadi, menguap. Hilang begitu saja. Ah ada apa dengan
diri Shilla? Mengapa hatinya bisa begitu mudah dibolak-balikan oleh seorang Rio
dan ucapan-ucapannya. Apa mungkin karena hati itu tanpa sengaja telah tertawan oleh
pemuda tampan di hadapan Shilla? Sudah Jatuh hatikah Shilla pada Rio?
"Shil,"
Rio menggumamkan nama Shilla, sudah lebih dari tiga kali ia memanggil gadis
itu, hanya saja tak ada respon dari Shilla. Jiwa Gadis itu sepertinya
benar-benar belum kembali ke dunia nyata, masih sibuk berfikir perihal hatinya.
Pada kali keempat, barulah Rio mendapat sahutan dari Sang Empunya nama yang
tadi di rapalnya, "Shilla."
"Eh,
hah, iya ? Kenapa Yo ?" tanya Shilla, tergagap.
"Jangan
pulang ke kampung ya, gue mohon."
"Emm..."
Shilla tampak menimbang, memasang ekspresi khusyuk pada wajah cantiknya.
"Gue
sogok deh, nih !!" Rio mengulurkan kedua tangannya yang sejak tadi
tersembunyi di belakang punggung. Tangan kanan pemuda itu menjingjing plastik
bening berisi beberapa buah kerupuk, sedang yang satunya membawa sebotol kecap
manis, "Kata bi Arum, lo suka makan kerupuk pakai kecap ?" imbuh
pemuda itu.
"Masa
sogokannya kerupuk doang sih ?" gerutu Shilla. Gadis itu melipat kedua
tangannya di dada sembari memajukan bibir tipisnya beberapa centi.
"Terus
lo maunya apa dong ? Gue kasih deh, apapun yang lo minta tapi jangan pergi ya.
Please, jangan ya..." rajuk Rio, ia menelungkupkan kedua tangannya di
depan dada.
"Mmh...
Kamu betulan nggak mau aku pergi ?"
"Ya
betulan dong, Shil."
Shilla
mendesah pelan, "Oke. Aku nggak akan pergi, tapi kamu harus cepat masuk
sekolah ya, Yo. Gimana ?"
Rio
tersenyum lebar, "Sip. Gue bakal cepat masuk sekolah," ujar pemuda
itu mantap, "Karena nggak jadi pergi, ajarin dong, gimana caranya makan
ini pakai ini !!" pinta Rio, sambil menunjuk kerupuk dan kecap yang tadi
di bawanya secara berurutan.
Shilla
menarik kedua sudut bibirnnya, keatas. Di hapusnya sisa-sisa lelehan air mata
yang menyelusup diantara bulu-bulu lentik yang menghiasi matanya. Gadis itu
lantas meraih makanan favouritenya yang tergeletak diantara ia dan Rio,
"Masa makan kayak di ginian aja nggak bisa. Caranya gini, " Shilla
menuangkan cairan kental berwarna hitam dari botol kecil bertutup merah itu ke
telapak tangannya, "Sini deh!" ujar Shilla pada Rio. Pemuda itu
menurut, tidak menyadari seringai nakal yang terpeta pada wajah cantik gadis di
sebelahnya. Rio mendekat. Dengan cepat, Shilla segera mengoleskan kecap yang
menggenang pada telapak tangannya ke pipi kanan Rio, saat pemuda itu lengah,
"Kena!" seru gadis itu, langsung bangkit dari duduknya sambil tertawa.
Rio
terkesiap, "Errr... Shillaaa, lo apaan sih ?" Ia segera menggerakkan
tangannya untuk membersihkan pipi kanan yang dilumuri kecap manis, sebelum
akhirnya Shilla mencekal lengan kokoh itu.
"Selama
di dalam kamarku, kecapnya nggok boleh di hapus dong." ujar gadis itu
sambil mengedipkan sebelah matanya.
Rio
menjulurkan lidahnya, "Dasar jail." cibir pemuda itu, "Awas aja,
kalau kesasar lagi, lo nggak akan gue cariin." ancam Rio.
"Hahaha,"
Shilla tertawa renyah, "Biarin aku kan nggak akan nyasar lagi."
balasnya. Shilla sudah kembali duduk di sebelah Rio. Tangannya yang tadi
mencekal lengan Rio, kini sudah sibuk menuangkan kecap manis pada kerupuk,
"Eh, tapi makasih banget ya Yo, kalau waktu itu nggak ada kamu, aku nggak
tau deh-"
"Gimana
nasib aku." lanjut Rio, "Ya ampun Shil, gue sampai hafal tau nggak
sih, sama kata-kata lo. Lo kayaknya udah ratusan kali deh bilang makasih."
celetuk Rio sembari menerima kerupuk berkecap yang diangsurkan Shilla,
"Ini langsung dimakan ?" tanya pemuda itu dengan kedua alis
terangkat.
Shilla
yang telah lebih dulu melahap kerupuknya, hanya mengangguk kecil, "Eh,
tapi aku masih penasaran Yo, kok waktu itu kamu tau aku ada di lapangan yang
itu ?"
"Waktu
gue telepon elo, sebenarnya gue udah ada di Neptun Estate. Pas lo bilang ada di
dekat pos satpam, gue langsung cari-cari pos satpam di sekitar sana. Dan
akhirnya ketemu, gue udah liat lo, pas mau gue panggil, eh lo malah lari. Kita
ikutin lo, tapi lo kayaknya bekas atlit marathon ya, cepet banget larinya, udah
gitu masuk ke gang-gang kecil pula, mobil gue kan mesti susah payah biar bisa
masuk. Coba lo larinya ke jalan-jalan gede, gue sama Ify pasti bisa lebih cepet
nemuin lo." papar Rio diiringi bunyi kres-kres-kres dari kerupuk renyah
yang di lahap ia dan Shilla.
"Ya
namanya juga panik, Yo. Mana sempat pilih-pilih jalan." bela Shilla.
"Eh,
iya Shil. Lo kan waktu itu tanya, pajangan kaca yang dikamar gue itu dapat dari
mana ? Gue baru inget, itu punya temen kecil gue, namanya-"
"Rio,
Shilla, Ayo makan dul-" seorang wanita tua menyeruak masuk ke dalam Krisan
room, mata wanita tua itu melebar seketika, melihat wajah Rio dan Shilla, serta
lantai kamar itu yang sama-sama di ceceri kecap, "Astaga, kalian ini
apa-apa sih ?" serunya seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Eh
Eyang" ujar Rio dan Shilla kompak, seraya menyeringai lebar kearah Eyang
Putri yang malam ini terlihat sangat anggun dengan pakaian bernuansa batik yang
dikenakan. gurat-gurat kecantikan masa muda yang di miliki wanita berusia lebih
dari setengah abad itu, memang tidak benar-benar mengelupas di usia senjanya.
"Sudah
cepat basuh wajah kalian, dan segera turun. Yang lain sudah menunggu untuk
makan malam."tegas Eyang Putri lalu berbalik masih sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya yang kali ini di hiasi sanggul kecil.
"Sip
Eyang !!" ujar Rio dan Shilla hampir bersamaan.
***
Matahari
mulai merangkak naik. Menghapus pulasan fajar di ufuk timur. Menyudahi malam
yang temaram dan menggantinya dengan cahaya baru. Babak yang baru. Hari yang
baru. Bumi telah siap mengantarkan manusia-manusia penghuninya untuk menggapai
cita-cita, meraih semua yang mereka mau, menempuh jalan yang telah mereka
pilih. Pagi yang indah, dengan denting dawai embun yang bertalu kecil saat
merosot ke tanah, setelah kian rapuh bergantung pada dahan-dahan angsana. Bau
tanah yang wangi, menyelusup indera pembau, menawarkan aroma ketenangan dan
harapan. Seolah berkatalah tanah pada jutaan manusia, selama aku masih kau
pijak, maka tidaklah ada sesuatu yang tabu untuk kau raih.
Shilla
menyambut hari ini dengan semangat baru. Dengan ceria gadis itu melangkah,
menyusuri jalanan berbatu menuju gerbang utama. Bus sekolah berwarna biru pucat
telah menunggunya, di depan sana. Selama Rio belum bisa masuk sekolah, Shilla
lebih memilih untuk diantar-jemput bus sekolahnya, ketimbang harus pergi dan
pulang bersama Alvin. Bukan apa-apa, Shilla sudah cukup trauma dengan kejadian
tempo hari, dan tentu ia tidak cukup bodoh untuk mencobanya lagi di kemudian
hari. Apalagi sejauh ini, Alvin juga sama sekali belum mengibarkan bendera
putih, lambang perdamaian kepadanya.
Rambut
pajang gadis itu berurai lincah mengimbangi hentakan langkahnya. Ketika
memasuki bus, Shilla melempar senyum ramah pada teman-teman satu sekolahnya. Ia
memilih duduk di kursi ke-3 dari pintu, di sebelah Muthia, gadis jangkung
berambut sebahu itu mengangguk kecil saat Shilla datang, "Pagi
Muthi," sapa Shilla ramah.
Ia
benar-benar berharap, mulai hari ini akan mempunyai banyak teman, sehingga
tidak perlu mengadu hal-hal tidak penting, kepada Rio seperti semalam. Shilla
benar-benar merasa tidak enak, masih untung keluarga Rio mau menampung dan
membiayai semua keperluannya, ia malah dengan tidak tahu diri meminta untuk
pulang, bahkan Rio harus membujuknya untuk tetap tinggal, dan itu hanya karena
hal sepele. Masalah teman? Ah, memangnya apa niat Shilla hijrah ke Jakarta?
Cari teman? Tentu saja bukan. Ia ingin sekolah dan menjadi seorang dokter
jantung. Syukur kalau selama proses merintis cita-cita, Shilla mengenal
orang-orang baru yang mau dijadikan temannya, tapi kalaupun tidak, ya apa mau
di kata?
"Eh,
hehe.. Pagi Shil," balas Muthia, sedikit ragu, "Tumben lo nyapa gue
Shil, hehe."
"Memang
kenapa ? Nggak boleh ya ?"
"Eh,
bukan gitu. Boleh kok, boleh banget malah. Cuma tumben aja." balas Muthia,
"Lo tinggal di rumahnya Rio ya, Shil ?" tanyanya, ingin tahu.
Sebenarnya sudah sejak lama Muthia ingin menanyakan hal itu, tapi Shilla yang
kemarin-kemarin lebih banyak diam, membuat Muthia sangsi untuk bertanya.
"Iya,"
jawab Shilla kalem, "Ayah sama Ibuku udah nggak ada, jadi om Haling ngajak
aku tinggal dirumahnya, katanya beliau sahabat dekat ayah sama ibu," papar
Shilla jujur.
"Huaaa,
mauu bangeett." koar gadis itu dengan wajah berbinar-binar,"Diajak
tinggal di rumahnya Oom Rendra, tiap hari lo bisa ketemu Rio sama Alvin dooong.
Shilla, beruntung banget sih lo.." dengan gemas, Muthia mencubit kedua
pipi Shilla.
"Ya
ampun, segitunya kamu, Muth." tanggap Shilla seraya mengelus-ngelus
pipinya yang memerah, "Walau gimana pun, lebih beruntung kamu kali Muth,
masih punya orang tua." imbuh Shilla.
"Ya,
tapi tetep aja Shil, gue envy sama lo. Tapi sebelum tinggal di Jakarta memang
lo tinggal dimana, Shil ?"
"Cihideung."
"Wah,
kampungnya Rio dong ?"
"Memangnya
Rio dari Cihideung ya ?"
"Iya,
masa lo nggak tau, Rio kan lahiran Cihideung, setahu gue dia pindah ke Jakarta
setelah Mamanya meninggal." tutur gadis ceriwis itu.
Shilla
tertegun. Rio berasal dari Cihideung? Gadis itu mulai menyusun puzzle-puzzle
harapan sekaligus dugaan yang beberapa kepingannya telah ia temukan. Apa
Rio itu kawan kecilnya dulu...
Shilla
membuang pandangannya keluar jendela. Terlihat jejeran gedung-gedung tinggi yang
berkelebatan, serta kendaraan-kendaraan berbagai jenis yang sudah ambil bagian
dalam menyumbangkan polusi di pagi hari yang masih sejuk ini. Gadis cantik itu
menyusuri masa kecilnya, seiring gilasan roda bus yang menyusuri jalanan
beraspal ibu kota. Di tapakinya memoar-memoar tentang masa-masa menyenangkan
itu. Ah, kemana sebenarnya, kawan kecilnya itu?
Shilla
memejamkan matanya, ia tidak pernah merasa serindu ini pada kawan kecilnya itu.
Sebenarnya sudah sejak lama Shilla menina-bobokan masa lalu itu. Tapi entah
mengapa, setelah mengenal Rio, masa lalu yang telah lama terlelap itu seakan
diusik dan terbangun kembali dari tidur panjangnya, "Kamu dimana Lana. Apa
masih ingat sama aku ?" lirih gadis itu.
"Apa
Shil ?" tanya Muthia.
Shilla
menoleh, baru menyadari bahwa ia tidak sedang melamun di dalam kamarnya, ada
orang lain yang duduk disebelahnya dan kini tengah memandanginya dengan heran,
"Eh, mmh, nggak kok. Nggak. Hehe."
"Oh,
kirain tadi lo nanya apa gitu sama gue. Eh iya, lo ambil ekskul apa, Shil ?"
"Emh,
Drama Musikal mungkin." balas Shilla.
"Pasti
karena Rio anak DM juga yaaaa... Ciee..." tebak seorang pemuda tampan yang
tiba-tiba menyembulkan kepala dari belakang kursi, tempat duduk Shilla dan
Muthia. Pemuda dengan dasi longgar yang tergantung di lehernya, serta kemeja
putih tanpa blazer itu menaik-naikan kedua alis mata hitamnya.
Shilla
terkekeh, "Iya, Fel. Lagi pula Drama Musikal kayaknya seru."
tambahnya.
"Kalau
gitu, lo ikut Club Badminton juga dong Shil, Rio juga kan anak Club
Badminton." usul pemuda bernama Feldy itu. Ia adalah salah satu siswa
putra yang cukup dekat dengan Rio.
"Nggak
deh, Fel. Kalau badminton aku nggak bisa." tolak Shilla.
"Yaaah.
Kan belum di coba Shil, ikutan aja, gue ketuanya lho." bujuk Feldy, belum
menyerah.
"Terus
ngaruh gitu ya, kalau elo ketuanya ?" cibir Muthia, "Udah sana-sana,
ganggu aja lho." usir Muthia, setelah sebelumnya melayangkan gulungan
kertas karton tepat mengenai kening Feldy. Pemuda yang terkenal playboy itu,
sambil bersungut-sungut akhirnya kembali duduk manis di kursinya.
Shilla
tertawa kecil. Dalam hati, ia membatin, ternyata tidak sulit juga mengajak
anak-anak Jakarta berteman. Mungkin kemarin-kemarin Shilla terlalu minder untuk
berbaur dengan mereka, sehingga teman-temannya pun enggan menegur atau mengajak
Shilla bergabung.
"Eh,
gimana keadaan Rio ? Udah sembuh ?" suara Muthia kembali terdengar, disela
raungan mesin bus yang membawa mereka menuju bangunan mewah Veronna High
School.
"Udah
baikan kok. Sebentar lagi juga udah bisa sekolah."
"Oh
gitu. By the way, kalian berdua sebenarnya ada hubungan apa sih ?
gosip-gosipnya kalian pacaran ?"
Shilla
menggeleng, "Nggak lah."
"Lah,
kenapa emangnya, menurut gue kalian cocok lo. Lagian ya Rio itu kan cakep,
baik, kaya pula, kurang apa coba ?" Muthia menggerakkan satu-persatu
jemarinya. Seperti membuat daftar atas hal-hal mengagumkan yang menurutnya
dimiliki oleh seorang Mario, "Atau lo lebih suka tipe yang cuek-cuek kayak
Alvin gitu ya ?"
"Aduh,
Muthia apaan sih, pagi-pagi udah ngaco banget deh ngomongnya. Aku nggak ada
apa-apa kok sama mereka berdua."
"Tapi
saran gue sih lo mending sama Rio aja Shil, siapa tau lo malaikat yang di
kirimkan Tuhan buat mengobati trauma yang Rio alami," ujar Muthia dengan
nada yang di dramatisir. Gadis itu menerawang, sambil meletakkan kedua
tangannya di dada. Shilla mengerutkan keningnya, gadis di sebelahnya ini entah
tipe manusia ekspresif atau memang suka berlebihan.
"Trauma
gimana maksudnya ?" tanya Shilla, sambil mulai membenahi seragam yang ia
kenakan. Bus mulai memasuki pelataran Veronna High School. Kedua belia itu, Shilla
dan Muthia terpaksa harus menyudahi obrolan mereka. Lantas, ikut turun bersama
siswa-siswi yang lain, saat bus berwarna biru pucat yang mereka tumpangi,
akhirnya berhenti tepat di halamar parkir Veronna.
Shilla
dan Muthia masih berjalan beriringan sampai di koridor utama. Mereka lalu
berpisah, saat Muthia pamit ke kantin untuk membeli sarapan. Shilla berjalan
sendiri menuju kelasnya. Gadis yang mengenakan bando biru tua sebagai penghias
rambut panjangnya itu, terus melempar senyum pada teman-teman sekelasnya yang
kebetulan berpapasan di jalan. Beberapa mata yang masih berkilat sinis
terhadapnya, coba di abaikan begitu saja.
"Pagi
Fy," tegur Shilla, setelah sampai di kelasnya dan meletakkan tas berwarna
ungu miliknya pada kursi kosong di samping Ify.
Gadis
berambut ikal itu menoleh, tersenyum tipis, lantas berujar, "Pagi
Shil."
"Pagi-pagi
udah sibuk aja, Fy ?" tanya Shilla pada gadis manis yang tengah sibuk
bergulat dengan laptopnya itu. Shilla ikut memandangi layar laptop Ify yang
menampilnya tulisan-tulisan serta tabel-tabel yang tidak Shilla mengerti.
"Iya
nih, Shil. Lagi di kebut, bentar lagi kan regen. Supaya program kerja yang
belum tercapai sama OSIS angkatan kita, bisa di kerjain sama anak-anak OSIS
tahun depan." jelas Ify, masih dengan fokus yang tidak terbagi dari layar
laptopnya.
Shilla
hanya mengangguk kecil, lantas mengeluarkan buku-buku fisika dan alat tulisnya.
Sejurus
kemudian Ify menutup laptopnya dan duduk menyamping menghadap Shilla,
"Maaf ya Shil." ujarnya, sedikit tertahan.
Shilla
menoleh, kepalanya di miringkan ke sisi kanan, kerutan tipis terpeta pada
kening mulusnya, "Maaf buat apa Fy ?" tanyanya keheranan.
Ify
mendesah tak kentara, "Semalam, Rio telepon gue. Maaf ya Shil. Gue sering
cuekin lo. Tapi gue nggak maksud kayak gitu kok, gue cuma..." Ify terdiam
sejenak, membiarkan kalimatnya tergantung disitu, ia belum menemukan kata-kata
yang cocok untuk menyambungnya, karena tidak mungkin kalau Ify harus berterus
terang bahwa semua sikapnya selama ini karena rasa cemburunya pada Shilla.
Apalagi mengingat bagaimana semalam Rio meneleponnya tepat pukul satu dini hari
hanya untuk Shilla, bagaimana Rio meminta Ify agar bersikap lebih baik pada
Shilla, bagaimana pemuda itu bercerita bahwa ia tidak ingin melihat Shilla sedih,
itu benar-benar menyesakkan untuk Ify. Kalau saja Ify tidak pandai-pandai
mengontrol emosinya, sudah barang tentu, gadis cantik di hadapannya itu sudah
habis dimaki-maki. Untungnya ia sudah cukup terlatih untuk menyembunyikan
perasaannya dan menekan segala macam gejolak dalam hatinya.
"Nggak
pa-pa kok Fy, harusnya aku yang minta maaf karena udah ngadu-ngadu hal sepele
kayak gitu sama Rio," tutur Shilla tidak enak, "Emh, Fy !! Aku boleh
tanya sesuatu ?"
"Tanya
aja."
"Kata
Muthia, Rio itu punya trauma soal cewek ? Memang trauma kenapa sih ?"
Shilla membenahi posisi duduknya, menghadap Ify.
Ify
tersenyum simpul, "Si Mumuth sih nggak usah di percaya Shil, tu anak
memang biang gosip. Trauma sih kayak nggak deh, cuma belum ketemu yang lebih
baik dari Acha, mungkin." Ify mengangkat kedua bahunya. Gadis itu
memandangi Shilla dengan alis terangkat, seolah mengisyaratkan Shilla agar
lanjut bertanya kalau memang masih ada yang ingin di tanyakan. Mendapati Shilla
malah bergeming dengan tatapan penuh makna tak terbaca yang terbias dari
bola-bola matanya yang indah, Ify memilih untuk memutar tubuhnya. Menghadap
papan tulis yang masih berhias coretan-coretan sisa pelajaran kemarin. Petugas
piket hari ini sepertinya belum sempat menjamah dua papan tulis itu.
Satu
persatu penghuni kelas XII MIPA 1, berdatangan. Mengisi bangku-bangku kosong
dalam kelas ini. Bangku-bangku yang akan menemani perjuangan dan tahun terakhir
mereka menuntut ilmu dengan seragam putih-abu abu.
Shilla
menoleh, saat di dengarnya helaan napas panjang yang di hembuskan oleh teman
sebangkunya dengan dramatis, "Kenapa ?" tanya gadis itu, heran.
Ify
terlihat menimbang, ada sesuatu yang harus ia ceritakan. Ah, tapi mungkin juga
tidak. Bukan porsinya untuk mengungkit masa lalu itu, masa yang mungkin dengan
sangat keras telah coba untuk di hapus dari ingatan masing-masing pelakunya.
Apa pentingnya ia bercerita tentang semua itu pada Shilla, lagi pula kelak
Shilla juga pasti akan tahu, bahkan mungkin dari Rio sendiri. Sementara itu,
Shilla bukannya tak acuh dengan nama asing yang tadi di sebutkan Ify. Acha.
Mendengar nama itu, tanpa alasan yang pasti tiba-tiba saja ada denyutan nyeri
yang menjamah hatinya dan gadis cantik itu nampaknya masih kesulitan untuk
memberikan nama yang pas untuk apa yang dirasakannya kali ini. Ia belum pernah
merasakan yang seperti ini sebelumnya. Acha. Sepertinya, nama itu begitu lekat
dengan kehidupan Rio. Acha. Mungkinkah pemilik nama itu adalah bagian
terpenting dalam diri seorang Rio, napasnya kah, atau aliran darahnya ?
"Acha
itu cinta pertamanya Rio, Shil." suara lirih Ify, akhirnya jadi jawaban
untuk pertanyaan yang Shilla lontarkan dalam hati.
Yang
berkecamuk dalam batin Ify pada akhirnya mengguguskan satu keputusan. Ify akan
menceritakan semuanya pada Shilla, berharap dengan mengetahui betapa berartinya
Acha untuk Rio, Shilla akan mundur teratur dari usahanya mendekati Rio. Shilla
melirik Ify sekilas, sebentuk wajah dengan dagu runcing itu menegang kaku.
Rautnya begitu dingin dengan tatapan kosong yang terpatri pada papan tulis di
depan kelas.
"Acha
cantik, pintar, ramah dan putri seorang dokter. Rio bilang sudah menyukainya
sejak lama, sejak kecil. Acha cinta pertamanya. Tapi mereka baru resmi jadian
pas kelas 3 SMP. Mereka berdua sangat cocok, semua pasangan yang liat mereka
pasti iri. Sampai akhirnya, tiba-tiba ada kabar mereka putus, katanya Rio
mergokin Acha selingkuh. Pemandangan Acha yang nangis-nangis di depan Rio atau
Rio yang bentak-bentak Acha, udah jadi rahasia umum. Setahu gue Acha tu sayang
banget sama Rio dan itu terbukti, nilai-nilai Acha langsung merosot setelah
putus dari Rio, akhirnya pas mau masuk SMA, Acha dan orang tuanya mutusin buat
pindah. Dan setelah itu Rio baru tau apa yang sebenarnya terjadi dari Alvin.
Acha minta bantuan Alvin buat ceritain semuanya. Ternyata cowok yang di liat
Rio bareng Acha dulu, adalah pasien Papanya Acha. Acha berusaha ngasih
perhatian dan semangat hidup buat pasien itu. Sejak saat itu Rio nyesel banget
nggak pernah kasih Acha kesempatan buat jelasin semuanya. Dan sampai sekarang
pun, gue nggak yakin Rio udah bisa lupain Acha" setelah menyelesaikan
ceritanya, Ify menghela nafas panjang. Bukan hal yang mudah baginya mengurai
lagi kisah itu, karena tanpa ada seorang pun yang tahu, sedih yang Rio alami
kala itu, juga menjadi miliknya. Menyambangi tanpa jeda. Mengusik kala terjaga.
Dan Mendekap saat terlelap. Saat melihat Rio tertawa dengan Acha, ia terisak
dalam hati. Tapi ketika melihatnya terpuruk, nalurinya ternyata kian tersiksa,
menjerit tak karuan.
"Sekarang
Acha dimana ?" tanya Shilla, datar.
"Dia
pergi. Tinggalin Rio gitu aja. Tanpa kabar apapun."
"Kamu
suka Rio, Fy ?" tanya Shilla tiba-tiba, tatapannya begitu lembut memagut
coklat gelap manik mata Ify.
Ify
mengangkat sebelah alis matanya, ekspresi gadis itu datar, seolah pertanyaan
Shilla barusan bukan dan tidak berarti apa-apa, "Nggak lah Shil.
Kita sahabatan." jawabnya berbohong. Kebohongan yang tidak perlu
sebetulnya. Kebohongan yang akan membuatnya menyesal.
***
Gambar-gambar
bergerak yang tersaji di balik layar kaca televisi di depannya, sama sekali
tidak menarik perhatian pemuda ini. Meski rumah yang dihuninya tidak terlalu
besar, tapi tetap saja di tinggal seorang diri seperti ini membuatnya kesepian.
Apalagi kalau teringat masa-masa dimana keluarga kecilnya dulu begitu harmonis
dan bahagia. Ia tidak pernah merasa sepi, tidak pernah sendirian, tidak pernah
merasa kekurangan perhatian, karena luapan kasih sayang kedua orang tuanya tak
pernah alpa membanjiri hari-harinya. Tapi sekarang, entahlah, menguap kemana
tawa dan kehangatan keluarganya yang dulu.
Suara
tap-tap-tap dari sepatu yang beradu dengan lantai, memecah lamunan pemuda itu.
Ia segera menegakkan posisi duduknya, lantas tersenyum manis. Tak lama, seorang
wanita cantik, menyeruak masuk dengan penat yang begitu jelas menggelayuti
paras anggunnya. Ada lingkaran kehitaman pada kantung mata wanita tadi. Ia
merebahkan tubuhnya yang kelewat letih pada sofa hijau tosca, tak jauh dari
tempat duduk Si Pemuda tadi.
"Mama
tumben udah pulang," tegur Si Pemuda sambil berjalan menghampiri wanita
yang di panggilnya Mama tadi, "Baru jam 7." tambahnya setelah melirik
jam besar yang di pasang bersebelahan dengan sebuah lukisan kawanan kuda,
"Tapi nggak pa-pa deh, aku kan jadi bisa minta masakin makan malam sama
Mama." Pemuda tadi kini tengah memijit-mijit pundak Mama tercintanya.
Sang
Mama mendelik, menatapi putra semata wayangmya dengan raut kesal, "Maaf
Yel, tadi Mama lelah, kalau kamu lapar dan ingin makan malam, beli saja di
luar."
"Ma,
sekali-kali Mama masak kek buat aku. Kapan coba terakhir kali Mama buatin aku
makan malam ? Mama tu selalu sibuk, nggak pernah perhatiin aku."
"Yel,
kamu jangan manja gitu dong. Mama kerja juga kan buat kamu. Bersikaplah dewasa,
kamu sudah besar, Gabriel."
"Aku
tu bukannya manja Ma, aku cuma kangen sama Mama. Mama nggak pernah ada waktu
buat aku, selalu kerjaan-kerjaan ini yang Mama pentingin." Pemuda tadi,
Gabriel, merebut beberapa map yang di tenteng Sang Mama. Dengan cepat, di
sobeknya lembaran-lembaran berisi abjad-abjad yang tersusun rapi, itu.
Sang
Mama melotot, geram, "YOU'RE STUPID. Apa yang kamu lakukan Gabriel
??" tangan wanita itu sudah terangkat, siap mendaratkan tamparan di pipi
putranya.
"Mama
nggak berhak tampar Iel." ujar pemuda itu seraya menahan lengan Mamanya
yang sudah tergantung di udara, dengan tangan kirinya.
Lantas,
di hempaskan lengan wanita yang tengah mengandungnya itu dengan satu sentakan
yang sangat kasar. Tanpa berkata apa-apa lagi, Gabriel menyambar jaket hitamnya
yang tergeletak diatas sofa. Pemuda itu lalu melengos pergi, mengabaikan suara
Sang Mama yang menyerukan namanya berulang-ulang kali.
Tanpa
tujuan, Gabriel membiarkan kaki-kakinya melangkah sekehendak hati. Menyusuri kolong
langit yang remang di tinggal pulang oleh Sang Raja Siang. Gabriel ingin
berbagi. Tapi getir yang dirasa, ketika tersadar ia bahkan tidak punya
siapa-siapa lagi selain Mamanya. Mama yang sangat menyebalkan,
"Sial," umpatnya dibarengi tinju yang dihantamkan pada udara. Bahkan
alam pun seperti memusuhinya. Tidak ada bintang-bintang mungil, yang bisa
diajaknya untuk berbagi cerita. Mengapa semua jadi seperti ini ? Kemana
perginya, masa-masa indah itu ? Pertanyaan semacam itu terus berpusar bak
beliung, melibas seluruh logika dan kesadaran yang tersisa. Semua gara-gara
keluarga busuk itu. Akhirnya, pemikiran semacam itulah yang di cetuskan
emosinya.
Gabriel
terus berjalan tanpa tujuan, kedua tangan kokohnya terkepal kaku, rahangnya
mengeras, matanya berkilat penuh amarah.
Setelah
beberapa menit terlewati hanya dengan berjalan tanpa tujuan, sepasang kaki
beralas sandal biru tua itu tiba-tiba terhenti, di depan sebuah toko florish
langganannya. Gabriel tersenyum cerah. Sepertinya ia tahu, hal apa yang harus
ia lakukan, setidaknya untuk mengurangi kekacauan dalam dirinya. Pemuda
menjulang itu, kemudian memasuki toko sederhana di pinggir jalan itu. Setelah
melakukan transaksi dengan pramuniaga toko itu, berpindahlah sebuket mawar
putih ke dalam genggamannya. Dengan langkah yang lebih ringan, Gabriel
meninggalkan tempat itu. Menuju rumah dengan sepetak kebun krisan dan dua pohon
mangga di muka. Rumah Ify. Kebetulan seingatnya hari ini adalah jadwal Ify les
piano di rumahnya. Jadi paling tidak, Gabriel berharap, dentingan permainan
piano gadis pujaannya itu bisa meredam kemarahan yang tengah bergolak dalam
hatinya.
Jarak
Orion Estate dengan perumahan tempat Gabriel tinggal memang tidak begitu jauh,
bisa di tempuh dengan hanya berjalan kaki. Tak lama, Gabriel sudah sampai di
depan sebuah rumah mewah dengan pagar besinya yang di cat dengan warna putih.
Seakan mewakili penghuninya, rumah itu terkesan begitu manis dan sederhana
dimata Gabriel.
Pemuda
itu baru saja akan meletakkan buket mawar yang di bawanya di tempat biasa,
seperti yang selama ini dilakukannya, saat suara lembut seorang gadis
menyapanya dari belakang.
"Iel
?"
Gabriel
berbalik. Kaget setelah melihat sosok cantik Ify dengan piama coklatnya,
berdiri di hadapannya dengan ekspresi heran, "Ngapain lo malam-malam
disini ? Ada perlu ya ? Soal Aruna ?"
"Eh,
emm, nggak Fy. Anu aku... itu.. aku mau.. itu sebenarnya aku anu... itu mau,
mauuu ke rumah Iley. Ya, ke rumahnya Iley." jawab Gabriel asal. Keringat
dingin sebesar buliran biji jagung langsung bercucuran membasahi pelipisnya.
"Oh,
urusan jurnal ya ?" Ify manggut-manggut faham. Iley dan Gabriel, keduanya
memang merupakan anggota jurnal yang paling aktif, "Terus itu ?" Ify
menunjukkan rangkaian mawar putih yang bertengger anggun di atas kotak pos rumahnya.
"Oh
aku... aku nggak tau Fy, itu bukan punya aku. Tadi aku cuma berhenti buat
ngikat tali sepatu aja."
"Sepatu
? Kamu kan pakai sandal, Yel." sergah Ify.
Gabriel
menundukkan kepala, menatapi kakinya yang memang dialasi sandal jepit biru tua,
"Eh iya. Emh, tadi bersihan celana ding, kecipratan lumpur soalnya."
Kalau
di sekolah ada tugas mengarang alasan untuk berkilah, maka pemuda itu lah yang
diramalkan mendapat nilai yang paling rendah. Karena sejak tadi, alasan-alasan
yang di ucapkan benar-benar tidak berbobot.
"Oh,
betulan bukan punya lo ?"
"Bukan
Fy."
Ify
mengangkat pundaknya, "Oh, punya secret admirer gue kali ya, hehe."
Ify terkekeh sambil berjalan ke arah kotak pos rumahnya guna meraih mawar-mawar
cantik itu.
"Eh,
kamu abis ketemu Alvin ya ? Emang nggak ada jadwal les piano ?"
"Gue
abis ketemu Rio sih. Nggak, lesnya gue cancel. Karena Rio minta bantuan buat
bikin power point tugas biologi. Eh, tapi lo tau dari mana, hari ini gue ada
les ?"
"Oh,
itu. Aku sering aja denger kamu main piano setiap hari senin, kalau lagi pas
kebetulan lewat sini. Jadi aku fikir kamu pasti lagi les." jawab Gabriel,
lidahnya sepertinya semakin lancar dan pintar berbohong.
"Oh.
Ya udah deh Yel, kalau nggak ada perlu, gue masuk ya ?"
"Eh,
iya. Silakan Fy. Good night ya." Gabriel tersenyum lebar.
"Night
too. See you tomorrow." Ify melambaikan tangannya, lalu mulai berjalan
memasuki rumahnya.
Sedangkan
Gabriel masih mematung di depan rumah Ify, dengan senyum manis tersungging di
wajahnya. Mungkin percakapan singkat malam ini, tidak akan berarti apa-apa
untuk Ify. Tapi bagi Gabriel sendiri, 10 menit percakapannya dengan Ify
barusan, pasti akan bisa membuatnya bermimpi indah, malam in.
Untuk
seorang pemuja, tidak ada satu hal sekecil apapun itu, yang tidak berarti
tentang sosok pujaannya.
***
Desau
angin sore mulai genit menggoda daun-daun mungil pohon angsana yang tumbuh
menjadi pelengkap halaman rumah Rio, yang mengagumkan. Setelah puas dengan
upaya menggosongkan penduduk bumi dengan teriknya di siang hari, Matahari sore
ini mulai mau berdamai. Sinarnya masik cukup cerah, berjatuhan disela semak
tanaman bunga pukul empat yang mulai merekah, dan tentu saja tidak begitu panas
sampai bisa membuat ubun-ubun mendidih seperti siang tadi.
Kawanan
awan putih, berputar-putar dengan siaga, seolah di tugasi menghalau mendung
hitam yang berani mengusik keperkasaan Sang Surya. Sedangkan dari balik
rimbunan pohon besar di halaman ini, beberapa ekor burung pipit berbulu
kecoklatan dengan malu-malu mengintip kebawah. Mengamati gadis cantik yang asik
berkutat dengan benang warna-warni dan jarum yang berukuran sedikit lebih besar
di banding jarum jahit biasanya. Gadis itu tampak sangat sibuk dan mencurahkan
seluruh konsentrasinya pada pola dan simpul yang di buat pada kain strimin di
pangkuannya. Gadis itu, tidak menyadari bahwa sejak beberapa menit yang lalu
ada seorang pemuda yang telah mengambil posisi duduk di sampingnya, "buat
lo." Ujar pemuda berkulit putih itu, dingin.
Baru
setelah mendengar suara yang merapal dua kata itu, gadis tadi mengangkat
wajahnya. Ia memandang bergantian antara pemuda bermata sipit di hadapannya
dengan segulung arum manis yang di sodorkan kearahnya.
"Buat
aku ?"
"iya,
ambil !!"
Lagi-lagi
hanya dua kata, dan lagi-lagi bernada dingin. Jadi terkesan lebih seperti
menodong di banding memberi, siapa juga yang tidak enggan untuk menerimanya.
"Nggak
gue racunin kok Shil, lo tenang aja. Tapi nggak gratis juga."
"Maksudnya
?"
"Lo
mesti bantu gue. Buruan ni terima dulu."
Shilla
akhirnya mengulurkan tangan kanannya. Meraih arum manis yang sejak tadi sudah
berteriak-teriak minta segera di lahap. Gulungan seperti kapas berwana pink itu
memang tampak begitu menggiurkan.
"Tolong
bilang sama Rio, kalau gue udah bersikap baik sama lo." tutur Pemuda Sipit
tadi, setelah arum manis berukuran besar yang susah payah di belinya itu
berpindah dari tangannya, "Gimana deal ?"
"Itu
aja, Vin?"
"Hm."
"Ok.
Deal." sahut gadis tadi, enteng. Serta-merta, segera di lahap arum manis
di tangannya dengan sangat bersemangat, hingga bagian wajah di sekitar mulutnya
di penuhi makanan yang tak pernah alpa di beli Shilla setiap kali mengunjungi
pasar malam sewaktu di desa.
"Eh,
aku jadi kayak dèja vu deh. Dulu juga aku sering dikasih arum manis sama La-"
Shilla
menghentikan kalimatnya, saat Alvin tiba-tiba saja memajukan wajahnya. Shilla
membesi ditempatnya, matanya tak berkedip, sedangkan Alvin masih terus
menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Shilla. Dua mata mereka
beradu. Kilatan teduh milik Shilla, ternyata mampu melelehkan bongkahan es
milik Alvin. Andai ia punya kuasa, akan di hentikannya detikan waktu. Alvin
ingin lebih lama lagi menikmati setiap detail indah paras cantik gadis bermata
jernih di hadapannya. Tanpa sadar tangannya terulur, "Lo doyan apa lapar,
semangat bener makannya." dengan alibi membersihkan wajah Shilla, tangan
kanan pemuda itu menyentuh lembut pipi pualam Shilla.
"Shil,"
suara baritone Rio, membuat Alvin dengan cepat menjauh dari Shilla. Sedangkan
Shilla, merasa tidak ada hal istimewa yang telah terjadi, gadis itu hanya
melempar senyum manis pada Rio, "Lo di cari Eyang tuh." ujar Rio
santai, dari teras rumah. Pemuda itu berjalan dengan malas ke gazebo. Dari
tampangnya yang kusut dan rambutnya yang awut-awutan, terbaca sekali bahwa Rio
baru saja usai menunaikan ritual tidur siangnya, "Hooamm," Rio
menguap lebar-lebar sambil membentangkan kedua tangannya, "Lo ngapain
masih disini, Shilla ? Buruan sono, lo mau di amuk Eyang ?" suruh Rio.
"Ya
udah, iya-iya, aku pergi." Shilla menurut. Gadis berbaju jingga dengan
bawahan rok putih polos itu, segera beringsut dari duduknya, lantas berjalan ke
arah Rumah besar.
Setelah
Shilla dan bayangannya menghilang dibalik pintu utama, Rio memicing mata pada
Alvin, "Lo ngapain tadi sama Shilla ?" tanya pemuda yang kini tengah
merebahkan tubuh dengn posisi terlentang dan kedua tangannya yang terlipat
mengalasi kepala.
"Kan
lo yang suruh gue baikan sama Shilla." jawab Alvin kalem.
Sebelum
sempat Rio menimpali perkataan Alvin, siluet seorang gadis bergerak-gerak
mendekat kearah gazebo, "Sore Kia..."
Semua
terdiam. Hening.
***
1 komentar:
nie cerita bkn aq tmbh penasaran ja...
lanjut..lanjut..!!!!
Posting Komentar