Sabtu, 22 Juni 2013

Bianglala

Kalian tahu bianglala?
Beberapa tahun lalu aku menangis melihat benda bundar besar itu. Berputar-putar mengerikan di atas ketinggian. Aku takut, takut sekali.
Tapi Ibu menggenggam tanganku, Ibu bilang bianglala itu baik. Dia tidak akan menyakitiku, apalagi menghempaskanku hingga jatuh.
Dari atas bianglala, aku akan melihat hal-hal baru yang belum pernah terjamah sepasang bola mata kecilku kala itu.
Ibu yakinkan, bahwa aku bukan penakut. Bianglala saja sih bukan apa-apa untukku.

Karena Ibu, untuk Ibu, aku ambil langkah pertama menuju bianglala. Baru saja satu langkah, ah sialnya ketakutan itu kembali menyergapku. Rasanya sakit sekali.
Dalam hati terapal pinta, Ibu, tolong usir rasa takut itu, untukku.
Tanpa perlu berkata-kata, Ibu mengerti ketakutanku. Ibu berjanji akan menemaniku menikmati putaran bianglala pertamaku.
Ah akhirnya, itulah kali pertama aku mengenal bianglala. Ibu, terima kasih atas pengertian untuk segala cemas dan takut yang tak terkatakan.

Kali ini…
Aku dipertemukan kembali dengan bianglala.
Hanya saja, jika dulu orang yang memegang tanganku adalah Ibu, sekarang yang berdiri di sampingku adalah kamu.
Ini memang bukan bianglala pertamaku, entah yang kedua, ketiga atau…ah entahlah itu tidak penting menurutku karena sekarang tetap saja bianglala membuatku takut seperti dulu. Mengapa?
Karena bianglala yang kutemui sebelum ini ternyata membuatku jatuh dan lukanya belum hilang hingga kamu datang, sekarang.
Awalnya, kamu juga meyakinkan aku bahwa bianglala yang kamu perkenalkan kali ini, tidak akan menambah daftar luka yang harus aku obati.
Bianglala yang ada dihadapan kita kan membuat siapapun yang berputar bersamanya, merasa seperti layang-layang. Terbang, ringan.

Karena kamu, untuk kamu, aku belajar berani.
Ini tidak akan sulit. Ya seharusnya tidak akan sulit sebelum tiba-tiba ada yang berteriak di hadapanku. Di depan wajahku. Tepat.
Katanya, kamu tidak akan cocok dengan bianglala itu, kamu tidak cukup kuat untuk menghalau angin yang akan menderamu, lihat saja, kamu hanya akan disakitinya.

Ah, benarkah begitu?
Kamu…
Mengapa malah diam saja?
Tidak bisakah mengatakan sesuatu yang membuatku berani.
Mengapa malah diam saja?
Tidak bisakah merasakan ketakutanku.
Oh ya, mungkin aku berkhayal terlalu tinggi saat berharap kamu mampu mengerti cemasku, mampu merasakan ketakutanku, tanpa aku harus berkata apa-apa, tanpa aku harus bercerita. Ya aku yang berharap terlalu tinggi. Aku yang salah.

Kamu tidak akan mau menemaniku seperti Ibu hahaha tentu saja tidak.
Kamu pasti takut aku akan merepotkan selama perjalanan. Kamu pasti mulai bertanya-tanya, jangan-jangan bianglala yang kamu perkenalkan memang tidak cocok denganku. Kamu mulai ragu. Tapi mungkin, kamu terlalu baik untuk berkata jujur. Mungkin, kamu takut menyakitiku, karenanya kamu memilih diam. Ah ya sudahlah.

Hei kamu, terakhir, aku hanya ingin memberi tahu.
bianglala itu, yang kamu perkenalkan padaku...
Tahukah?
Orang-orang lebih mengenalnya dengan nama sayang.
Bianglala itu, yang kamu perkenalkan padaku...
Sekarang, aku memilih menikmati putaran demi putarannya sendirian.
Ya, aku saja. Sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar