Rahasia Orion Part 9
"Menara Merana"
*
Menara
yang Merana
Ia
di atas sana tapi berduka
Ia
serba ada tapi tersiksa
Ia
tinggi tapi sendiri
Ia
sendiri dan rasanya nyeri
Merana-rana
sang menara sedang merana
***
Alvin terlongong.
Foto-foto laknat itu melayang anggun di depan wajahnya.
Ketika menyentuh lantai yang dingin dalam posisi tersibak, Alvin dibuat
membesi. Matanya berkilat tak percaya. Berbanding terbalik dengan mata bening
Gladys yang begitu sendu menampakkan rasa kecewa wanita itu pada Putranya.
Ruangan yang berisikan satu set sofa mewah, guci-guci cantik yang mengkilat dan
berbagai perabotan mahal lainnya itu, terasa kosong diliputi kebisuan dan
ketegangan. Yang tertangkap oleh saraf-saraf pendengaran hanya bunyi
srek-srek-srek dari foto-foto yang dipunguti Alvin dengan jari bergetar. Saat
ini, ada dua buah foto yang menghuni genggaman tangannya.
Keduan foto itu menjadikan Alvin sebagai objeknya. Alvin sang
ketua OSIS Veronna High School dalam foto pertama sedanga berdiri di depan area
sebuah club malam, terlihat santai dengan tangan kiri yang tersembunyi di balik
saku jaketnya dan tangan kanan pemuda itu sibuk memainkan handphone. Sedangkan
pada foto kedua, terlihat Alvin memeluk seorang gadis berpakaian minim masih di
depan clum malam tadi.
Sekarang Alvin faham, ada seseorang yang sengaja menjebaknya
untuk mendapatkan foto-foto itu. Alvin ingat betul pada waktu itu, sebelumnya,
Alvin mendapatkan pesan singkat dari nomor tidak dikenal yang mengabarkan bahwa
Rio dipukuli oleh segerombolan pemuda yang sedang mabuk dan tengah terkapar di
depan sebuah club malam. Pengirim pesan singkat itupun menyertakan alamat yang
harus dituju Alvin untuk menolong Rio. Sesampainya disana Alvin tidak menemukan
Rio, lalu ia menghubungi nomor yang tadi mengirirminya pesan singkat dan
ternyata nomornya tidak aktif. Alvin akhirnya memutuskan untuk pulang karena
yakin bahwa dia sedang dikerjai. Salahnya juga lah karena terlalu panik
sehingga tidak mengecek terlebih dahulu keberadaan Rio. Padahal nyatanya waktu
itu, Rio tidak pernah menjejakkan kaki disana, ia hanya sedang pergi bersama
Shilla ke sebuah pusat perbelanjaan. Ketika Alvin akan berbalik ke arah
mobilnya ada seorang wanita yang tiba-tiba menubruknya, wanita itu lantas
mengalungkan tangannya ke leher Alvin agar tidak jatuh, “Maaf, maaf” ujar
wanita itu. Saat itu Alvin hanya mengangguk dan berlalu.
Alvin baru mengerti sekarang, apa maksud dan tujuan Si
Pengirim Pesan itu, jadi untuk foto-foto ini Alvin diberi berita bohong.
"Ini
nggak kayak yang kalian pikir." Alvin mencoba memberikan klarifikasi,
dengan manik mata yang tak beralih dari keenam foto ditangannya.
Eyang
Putri tertawa mencela, "Apa Gladys juga mengajarimu untuk berkilah ?"
Ekspresi wanita tua dengan tulang pipi tirus dibalut kulit kuning langsat yang
mulai berkerut itu, tetap datar.
"Ini
semua nggak ada hubungannya sama Mama."
"Apa
kamu bilang ?" Eyang Putri memajukan kepalanya, seolah kurang jelas
mendengar perkataan Alvin, "Nggak ada hubungannya ? Jelas-jelas kamu
berkelakuan seperti ini karena Gladys tidak becus mendidikmu. Saya heran, apa
yang sebenarnya membuat Narendra memilih Mamamu itu." Eyang Putri
menggerakkan sedikit kepalanya yang dihiasi konde mungil, kearah Gladys yang
berdiri bersisian dengan Shilla.
"Mama
nggak sa-"
"Cukup
Alvin." salak Gladys, keras, "Jangan membantah Eyang lagi. Beliau
benar, Mama sudah gagal mendidik kamu." sambung Gladys, lirih diujung
kalimatnya.
"Ma,
yang terjadi sebenarnya nggak seperti yang kelihatan di foto-foto ini, Alvin
nggak main-main ke club malam. Mama dengerin Alvin dulu, Alvin bisa jelasin
semuanya, Ma."
"Baik.
Sekarang Mama tanya, foto-foto itu asli atau hanya rekayasa ?" tanya
Gladys dengan suara tegas.
Alvin
tergagap. Beragam penjelasan yang tadi berpusar diotaknya, tiba-tiba saja
menguar. Kenapa harus pertanyaan itu yang Gladys ajukan ? Mulut Alvin
bergerak-gerak, tapi tidak sepatah katapun terdengar darinya.
"Jawab
!!" bentak Gladys, galak.
"Fo..foto..fotonya...
Fotonya asli Ma, tapi Alvin-"
"Cukup."
lagi-lagi Gladys memotong ucapan Alvin, "Itu sudah lebih dari cukup. Mama
tidak mau dengar lebih banyak lagi. Sekarang cepat pergi dari sini. Jangan
temui Mama sebelum kamu menyadari kesalahanmu dan berjanji pada diri sendiri
untuk tidak mengulanginya. " Gladys memalingkan wajah, tidak ingin beradu
pandangan dengan Alvin. Ia merasa terlalu lunak, tidak bisa bersikap tegas
terhadap Alvin, sehingga sekarang anak itu benar-benar berada jauh diluar
kontrolnya.
Alvin
mengepalkan tangannya kuat-kuat. Meremas keenam foto petaka, yang membuatnya
kehilangan kepercayaan Sang Mama. Dan itu sangat menyakitkan, mengingat hanya
Gladys lah yang ia miliki saat ini, "Ma..." suaranya terdengar lemah,
matanya sayu, "Alvin anak Mama. Alvin nggak akan pernah tega bikin Mama
kecewa. Harusnya Mama percaya dan mau dengar penjelasan Alvin dulu."
tambahnya dengan nada memohon.
"Jadi
Mama harus dengar pembelaan kamu, Vin ? Siapa yang berani jamin kalau kamu
tidak sedang membohongi Mama ? Siapa yang berani jamin kalau kamu tidak sedang
mengarang alasan ?"
"Saya
berani jamin." Rio menyela. Tidak ingin jadi lakon pasif dalam ruangan
itu, kalau nyatanya ia bisa berbuat lebih untuk membela Alvin. Duduk, diam dan
mendengarkan, hah, Rio tidak bisa hanya melakukan tiga hal itu sementara Alvin
selalu melayangkan tatapan meminta bantuan kearahnya.
"Diam
Rio !!" sergah Eyang Putri, "Tidak ada yang meminta kamu berbicara.
Kamu jangan terus-terusan membela Alvin. Sekarang, cepat masuk kamar dan
renungkan kejadian hari ini. Jangan sampai kamu mengulangi kesalahan yang sama
dengan Alvin." kali ini Eyang Putri sepertinya sangat marah, terbukti, ia
sampai tidak sadar telah membentak Rio seperti tadi.
Rio
menunduk. Jarang sekali, Eyang Putri bicara dengan nada tinggi seperti barusan,
membuat Rio sedikit ngeri untuk membantah, "Eyang, tapi Rio yakin, Alvin
nggak-"
"Rio
!! Masuk kamar !!"
“Tapi
Rio tau cerita sebenernya Eyamg, Alvin nggak sa-“
“MARIO!
MASUK KAMAR!” raung Eyang Putri, marah.
Rio
menggerutu, dengan wajah ditekuk, akhirnya ia memilih untuk menurut. Rio
berjalan gontai, menaiki tangga pualam menuju kamarnya dilantai atas. Sebelum
sampai pada anak tangga terakhir, Rio sempat melempar pandangan berartikan
maaf, yang dibalas anggukan kecil oleh Alvin.
Setelah
bunyi derap kaki Rio yang sengaja dihentakan sangat keras oleh pemiliknya
berakhir, ditutup dengan aksi Rio membanting pintu kamar, Eyang Putri kembali
beralih menatap Alvin. Sudut matanya meruncing, berkilat mencela dengan senyum
seadanya yang membuat tampang wanita tua itu ingin sekali Alvin lempari lumpur,
saking mengesalkannya, "Seharusnya, sebelum bertindak bodoh dan memalukan
seperti ini, kamu berpikir dulu ribuan kali. Sekarang kamu bukan lagi putra
orang pinggiran yang bebas melakukan apapun tanpa aturan. Kamu sadar tidak?
Kelakuan buruk kamu bisa menular kepada Rio, tentu saya tidak akan rela kalau
itu terjadi. Kamu itu bagian dari kami, Alvin. Anggota keluarga besar Haling
yang terhormat. Mau ditaruh dimana muka kami kalau kejadian ini sampai terendus
orang luar. Benar-benar apatis kamu ini, hanya mementingkan diri kamu sendiri,”
cerocos Eyang Putri.
"Ibu
benar," Gladys meletakkan tangan kanannya di dada. Pemandangan yang
membuat Alvin merasakan sayatan mata pisau paling tajam di setiap sisi hatinya.
"Jangan sampai Rio meniru Alvin." imbuhnya, tertahan.
Alvin
tergugu sejenak, tak menyangka hanya karena masalah foto yang belum jelas
kebenarannya, Mamanya tega berujar demikian, "Saya tidak pernah berharap
jadi bagian dari keluarga Haling yang terhormat. Kalau bukan karena Mama
mencintai Papa, saya merasa lebih nyaman jadi putra orang pinggiran."
tegas Alvin. Matanya memicing tajam, air mukanya yang keras kembali memetakan
diri. Ia merasa tidak perlu lagi memelas atau memasang ekspresi memohon. Toh,
percuma saja. Gladys apalagi Eyang Putri tidak akan tergerak untuk sekedar
mendengarkan penjelasannya. Alvin memutuskan untuk segera berlalu dari tempat
itu.
"Mau
kemana kamu ?" Eyang Putri dan Alvin berdiri bersisian dengan posisi
sejajar. Sama-sama memasang ekspresi datar.
"Kenapa
? Bukankah saya tidak diharapkan ada ditempat ini ?" sahut Alvin, ketus.
Eyang
Putri mengulurkan tangan, "Kemarikan SLR mu!"
Alvin
terpaku cukup lagi. Tanpa sadar kedua tangannya jadi semakin erat memegangi SLR
yang tergantung dilehernya.
"SLRmu
ditahan sementara. Sampai Rendra pulang, dan menjatuhkan hukuman yang pantas
untuk kamu. Saya akan menghubunginya setelah ini. Mana SLRmu ??"
Letupan kemarahan berpendar pada kedua manik mata Alvin.
Sejauh ini fotografi adalah satu-satunya tempat Alvin melarikan diri dari rasa
penat yang membebaninya. Lantas bagaimana jadinya kalau SLR Alvin disita ? Hah,
tapi toh hukum rimba memang benar-benar berlaku. Dunia memang hanya memihak
pada mereka yang disertai kekuasaan. Alvin hanya bisa pasrah ketika Eyang Putri
yang tidak sabar, segera menarik paksa SLR hibahan Rio itu darinya. Sejurus
kemudian, wanita berpakaian terusan bunga-bunga coklat itu, melenggang anggun
meninggalkan ruangan yang masih diselubungi atmosfer ketegangan itu.
Alvin mengulur napas berat. Rasanya udara sekitar entah
bagaimana prosesnya berubah jadi bongkahan batu, yang semakin dihirup, semakin
membuatnya sesak. Alvin menyeret kaki panjangnya menuju kamar dengan kedua
tangan terkulai lemas disamping tubuh jangkungnya. Wajah yang digelayuti letih
setelah seharian hunting foto bersama teman-temannya terlihat makin kuyu dan
putus asa, selayaknya raut muka Rama saat pertama kali menyadari Shintanya
dilarikan oleh Rahwana. Cocok kan, Alvin jadi Rama, SLRnya Shinta dan Eyang
Putri itu Rahwana, Si Raksasa menyebalkan.
"Jangan
pedulikan keluarga Haling kalau kamu memang tidak suka menjadi bagian darinya,
tapi setidaknya pikirkan perasaan Ayahmu. Dia pasti akan sangat malu, melihat
kamu seperti ini sekarang." Gladys berucap lirih, sebelum Alvin mencapai
puncak anak tangga.
Pemuda itu tidak menunjukkan reaksi yang berarti, hanya
tangan kokohnya yang meremas pegangan tangga secara berlebihan, membuat
buku-buku jarinya memucat. Tanpa menoleh sedikitpun, Alvin meneruskan
langkahnya menyusuri lantai granit yang mendasari Rumah Besar.
Gladys terduduk lemas. Wanita yang akhir-akhir ini sering
mengenakkan baju-baju bersize longgar itu, merobohkan diri pada sofa coklat
gelap yang beberapa menit lalu dihuni 4 orang dengan perasaan gelisah menanti
kedatangan Alvin, semenjak hadirnya foto-foto itu. Gladys terisak, sambil
menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisan yang ditahan agar tidak pecah
membuatnya terceguk dengan bahu yang bergetar hebat. Di satu sisi, ia tidak
tega melihat perlakuan Eyang Putri terhadap Alvin. Ia menyesali semua
perkataannya, yang pasti menyakitkan untuk Alvin. Tapi bagaian hatinya yang
lain, terlanjur kecewa. Yang ia tahu Alvin adalah putranya yang baik dan
penurut, bukan anak nakal seperti yang secara tidak langsung diceritakan
foto-foto itu.
Shilla yang juga masih berada ditempat itu, benar-benar iba
melihatnya. Yang dirasakan Gladys saat ini, pasti sama dengan yang dirasakan
Ibunya ketika dulu mendapat laporan dari tetangga bahwa Shilla dan pasukan
alitnya mencuri jambu dikebun Teh Mirah. Pasti sedih sekali, mengetahui buat
hati kebanggaannya berbuat tidak baik. Waktu itu, Ibu sampai sakit karena
memikirkan Shilla kecil yang begitu nakal. Sekarang, saat Shilla sudah beranjak
dewasa. Mulai berusaha untuk jadi gadis manis berperangai baik, justru Ibunya
telah lebih dulu direngkuh maut. Shilla tidak ingin hal yang sama terulang pada
orang lain. Semua anak harus bisa membuat orang tuanya bangga, sebelum menyesal
dikemudian hari, setelah Tuhan lebih dulu memeluknya. Kalau memang Alvin punya
penjelasan, Shilla harap Gladys mau mendengarkannya. Ia yakin Alvin tidak
bersalah dan karena itu, tidak sepantasnya wanita anggun itu menangis. Ia
mencoba mendekati Gladys, mengambil porsi lebih dari sekedar jadi pendengar
atau penonton saja, seperti tadi "Tante..." tutur Shilla lembut,
disentuhnya punggung tangan Gladys, perlahan. Shilla tersenyum kalem saat
Gladys merespon panggilannya dengan menurunkan kedua telapak tangannya dan
berusaha menghentikan tangisannya, "Tante, sabar ya... Tante jangan
terlalu sedih. Shilla yakin kok, Alvin punya penjelasan atas ini semua. Alvin
itu anak yang baik, Tan. Tante percaya kan sama Alvin ?" Shilla
menambahkan dua anggukan kecil diujung kalimatnya.
"Tante
juga maunya semua itu bohong, Shil. Semua itu nggak benar. Tapi kamu dengar
sendiri kan, apa yang Alvin bilang. Foto-foto itu asli." seloroh Gladys
dengan suara sarat kekecewaan, "Sudah sejak lama Tante khawatir, takut
karena satu dan lain hal yang terjadi belakangan di rumah ini, akan membuat
Alvin tertekan. Tante sedikit lega, saat tahu Alvin melarikan diri ke dunia
fotografi, paling tidak itu adalah kegiatan yang positif. Tapi ternyata
fotografi hanya kamuflase. Tante tidak pernah menyangka kalau Alvin sudah
terlibat jauh dalam pergaulan buruk seperti itu." Gladys
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Sungguh ia tidak rela, tidak akan
pernah rela putra kebanggaannya terjerumus pada pergaulan yang hanya akan
menghancurkan masa depannya. Ingin ia memuntahkan semua pil pahit yang
dijejalkan secara paksa kepadanya, hari ini.
"Tante..."
Shilla memiringkan wajahnya, menatap kedua bola mata Gladys yang digenangi
selaput tipis air mata, "Bukan maksud Shilla menggurui, tapi terkadang apa
yang kita pikirkan tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi," Shilla
meraih tissue dari kotak persegi panjang cantik berbalut kain kotak-kotak warna
krem yang terletak diatas meja dihadapan mereka, “Tante baca deh!" Shilla
mengangsurkan ponselnya yang menampilkan satu message terbuka pada Gladys. Pesan
dari Rio. Isinya menjelaskan kejadian sebenarnya pada waktu itu. Begitu Rio
pulang dari pusat perbelanjaan dan menemui Alvin di kamarnya, pemuda sipit itu
langsung menceritakan segalanya pada Rio. Tentang pesan singkat yang diterima
Alvin dan club malam itu. Rio menceritakannya sejelas mungkin dan meminta
Shilla menunjukkannya pada Gladys. Sementara Eyang Putri, Rion akan berusaha
bicara dengannya nanti kalau amarahnya sudah mereda.
Gladys
menghela napas sangat lega, menyusut air
mata dengan tissue yang diberikan Shilla tadi. Senyum lembutnya kembali
mengembang, "Syukurlah kalau begitu." ia menepuk puncak kepala
Shilla. Gadis berambut panjang itu, merasakan nyaman sekali. Sudah lama, ia
tidak mendapatkan perlakuan seperti ini dari seorang Ibu. Tiba-tiba saja,
sulur-sulur rindu pada Ibunya menyeruak, merambati sebentuk hatinya, menjalari
sumsum dan setiap persediannya. Shilla ingin sekali menangis. Dua bola mata
jernih gadis itu tampak berkaca-kaca, pandangannya mulai mengabur, "Boleh
Shilla peluk Tante ? Sebentaaar aja..." pintanya, sedikit ragu. Takut
kalau Gladys akan menolak meluluskan permohonan kecilnya.
Tapi
wanita itu dititipi Tuhan jiwa yang begitu halus, tidak akan pernah terlontar
kalimat penolakan darinya, apalagi untuk seorang gadis yatim piatu yang hanya
menginginkan satu pelukan. Gladys merentangkan tangannya, detik berikutnya,
tubuh Shilla sudah berada dalam rengkuhan hangatnya, "Tante harus minta
maaf pada Alvin. Apa Tante boleh meminta bantuanmu, Shilla ?"
Shilla
menarik tubuhnya dari pelukan Gladys, "Bantuan apa ?"
***
Alvin membanting tas yang disandangnya dengan kasar. Benda
itu, menghantam jam pasir berbahan dasar kaca yang terletak diatas nakas dekat
satu set peralatan elektronik penghuni kamar luas Alvin. Menimbulkan bunyi
gaduh dengan serpihan kaca yang terpencar dilantai.
"Sial."
rutuk pemuda itu, marah.
Ditariknya bedcover yang menyelimuti doublebed-nya, guling
serta bantal yang tersusun rapi diatas sana, alhasil ikut terhambur jatuh
menagdu diri dengan lantai dingin Edelweiss Room. Belum puas dengan usahanya
menghancurkan kamar, Alvin menendang sebuah bantal yang paling dekat dengan
jangkauan kakinya, lantas menendang bantal itu sekuat tenaga. Bantal tanpa dosa
itu terpental, menabrak lampu tidur dimeja kecil sebelah double bed. Bunyi
prang dari benda yang pecah kembali membahana.
Kemarahannya belum berkurang. Emosi masih bergolak. Tapi
tenaganya sudah terkuras. Mengontrol diri sendiri, ternyata memerlukan energi
yang lebih banyak, dibanding untuk melawan segerombolan preman. Alvin terduduk,
dengan punggung menempel pada sisi ranjangnya. Dengan geram diajak rambutnya
hingga beberapa helaian hitam itu mencuat tak beraturan.
Alvin mengulurkan tangan, meraih ponselnya, ketika benda
mungil itu terus saja bergetar heboh dengan layarnya yang berkerjap-kerjap.
Display ponsel keluaran terbaru itu, menunjukkan ikon gagang telepon plus
sederet nomor yang tidak Alvin kenal. Meski enggan, Alvin tetap mengangkat
panggilan yang baru masuk itu, takut-takut berasal dari staf OSIS yang ada
kepentingan dengannya. Walau bagaimana pun Alvin harus tetap profesional.
"Hallo."
sapanya, seraya mengatur deru napas, berusaha menormalkan suara.
"Gimana
? Udah sampai balasan dari tinju lo waktu itu ? Foto-fotonya keren kan, Vin ?
Lebih keren dari semua hasil jepretan lo."
Tubuh
pemuda berkulit putih itu kembali menegang. Pegangan pada ponselnya jadi
ratusan kali lebih kuat dibanding sebelumnya.
"Oh
ya, ada bonusnya juga lho," suara diseberang sana, terdengar mencibir
dengan selingan tawa-tawa pendek yang sinis, "Dua tonjokkan di pipi
saudara tiri lo, kemarin. Ya, gue rasa itu udah lebih dari cukup buat bikin lo
paham bahwa nggak ada yang boleh berbuat seenaknya sama gue, Gabriel Damanik."
"Sialan
lo Yel, jadi elo otak dari semua ini ? Sakit ya lo, keterlaluan."
"Hahaha...
Gue bukan cuma otaknya Vin, tapi gue fotografer plus delivery-nya, sampai foto
itu tiba didepan pintu rumah keluarga Haling yang emm... Busuk !!"
"Oh,
terus sekarang lo ngerasa menang ? Lo kira gue nggak bisa berbuat yang lebih
extreem dari ini, lo lihat aja nanti."
"Aduh,
ckck, jadi takut ni gue. Tapi sayang ya, Vin, gue selangkah lebih maju
dibanding lo. Gue masih simpan foto-foto itu, jadi lo jangan macam-macam kalau
nggak mau, gambar Alvin dan wanita 'simpanannya' jadi cover Aruna edisi
terbaru."
"OK.
We'll see. Ingat, Yel. Lo yang sulut, jadi jangan nyesel kalau apinya membakar
diri lo sen-"
"Hoaam,
omongan lo kayak kakek-kakek deh Vin, bikin ngantuk. Ya udah lah, bye Vin,
selamat malam dan semoga lo mimpi indah. Hahaha." Gabriel mengakhiti percakapan
singkat itu dengan tawa mencela, membuat Alvin sangat berang.
tut-tut-tut
Sambungan
diputus sepihak.
Alvin tertunduk lemas. Kemarahannya kian menjadi, tapi
tenaganya belum pulih, jadilah pemuda itu memilih untuk membenamkan kepalanya
pada kedua tangan yang terlipat diatas lututnya yang tertekuk. Pada dasarnya
Alvin tidak suka bermusuhan, ia tidak pernah ingin menyakiti orang lain.
Bahkan, kadang kala, Alvin sendiri bingung, kenapa Tuhan harus menciptakan rasa
benci antar umat manusia. Tapi perbuatan gabriel sudah kelewatan Alvin tidak
akan bereaksi kalau saja yang dilakukan Gabriel tidak melukai Mamanya. Pemuda
itu memejamkan matanya rapat-rapat, berharap ini semua hanya sebatas mimpi yang
akan segera berakhir setelah kedua kelopak matanya terbuka.
***
Kamar itu cantik. Dengan dindingnya yang dicat warna baby
pink, ber-background kepala-kepala boneka dan bunga-bunga kecil.
Bintang-bintang yang akan bersinar keperakan ketika lampu dikamar ini
dipadamkan, tertempel pada langit-langitnya. Bedcover yang membungkus single
bed dalam ruangan ini bercorak minnie mouse yang lagi-lagi didasari warna pink.
Tirai victoria yang terjuntai menutupi jendela besar yang menghadap ke barat,
juga berwarna senada dengat cat dinding. Selebihnya, perabot-perabot yang
mengisi kamar dilantai dua sebuah rumah mewah itu, tidak berbeda jauh dengan
kamar-kamar lainnya. Terdapat meralatan elektronik lengkap, dress-in built
dengan koleksi pakaian-pakaian yang cantik, meja rias plus kaca besar yang
dibingkai ukiran kayu jati, lalu pernak-pernik lainnya yang didominasi warna
merah muda. Mempertegas karakter penghuninya yang begitu manis dan manja. Gadis
itu terduduk jenuh dikursi putarnya, menghadap meja belajar. Sudah setengah jam
ia berada dalam posisi seperti ini. Tugas membuat sebuah karangan dalam bahasa
Perancis yang coba dikerjakannya bahkan baru sampai pada kalimat-kalimat
pembuka. Merasa putus asa dengan tugas kuliahnya, ia menyentakkan bolpointnya.
Berlanjut dengan aksi merentangkan tangan sambil menguap kecil. Diliriknya jam
doraemon yang bertengger bersisian dengan foto seorang pemuda tampan, waktu
ternyata berlalu begitu cepat, sudah lewat 20 menit dari tengah malam.
Gadis manis bermata bulat itu menggeser selembar kertas polio
tempatnya menuliskan tugas tadi, ganti diraihnya buku harian dengan cover
boneka beruang berwarna coklat muda. Ia tersenyum kecil, saat-saat seperti
inilah yang paling ia sukai. Saat mengenang kembali sosok pangerannya. Saat ia
dengan leluasa melukis wajah Si Masa Lalu dalam benaknya. Saat ia dengan senang
hati, mengizinkan dirinya digeret dalam satu tahun penuh kenangan manis yang
tak pernah berhasil ia kubur.
Jemari lentik dengan kukunya yang terkikir rapi, mulai menari
lincah membubuhkan beberapa kalimat dalam buku hariannya, yang tanpa disadari,
setiap lembarnya hanya menceritakan satu sosok yang sama, dia, dia, dan akan
selalu dia.
Seandainya aku seorang penulis,
aku akan membuat kakak melihat orion lewat
tulisanku.
Membayangkan betapa terang dan cantiknya
rasi bintang itu.
Seperti yang sering kita lakukan dulu.
Siapa yang sekarang menemanimu melihat
bintang kak ?
Siapa temanmu melihat Sirius dan Andromeda ?
Seandainya aku seorang penulis,
aku akan membuat kakak mengerti lewat
tulisanku.
Tentang hidup, tentang takdir dan tentang
sebuah perpisahan.
Siapa temanmu sekarang kak ?
Pada siapa mimpimu kau ceritakan ?
"Ekhm."
seorang pemuda dengan jaket kulit hitam, menyembulkan kepala dari balik pintu
berbahan dasar kayu aras disisi kamar itu, "Ck, udah tengah malam gini kok
belum tidur sih lo ?"
Si
Gadis tadi terpaksa menghentikan aktivitasnya, "Ini juga mau tidur
kok." balasnya sambil tersenyum. Ia mulai membenahi berbagai alat tulis
dan buku-buku yang berserakan diatas meja belajarnya.
"Ya
udah, gue sekalian pamit pulang ya."
"Mau
pulang ? Ya ampun ini kan udah tengah malam, nanti kalau ada apa-apa dijalan
gimana ? Kenapa nggak besok aja sih pulangnya ?"
"Gue
ada tugas kelompok, deadline-nya besok dikumpulin diketua kelompok, nggak enak
kan kalau seorang Feldy yang terkenal rajin ini, telat ngumpulin tugas
bagiannya." Pemuda tadi, Feldy, merentangkan tangan sembari menaikan kedua
pundaknya.
"Huuu,
apa banget deh." gadis berkulit kuning langsat itu melempar penghapusnya
kearah Feldy.
Feldy
bisa menangkapnya dengan sigap, "Mau titip salam nggak ?"
Gadis
dalam balutan piyama pink pudar itu memajukan bibirnya, "Apaan sih, udah
ah, bikin galau aja tahu nggak." ia menutup telinganya dengan kedua
tangan.
"Hahaha,
cie sepupu gue bisa galau juga. Ya udah, gue pamit ya, bye." pintu sudah
hampir tertutup rapat, ketika Feldy, berbalik kembali, "Eh iya, dia titip
salam. Salamnya nggak pernah berubah kok, masih kayak yang du-"
"Iiiihhh,
pergi nggaaakk ??" gadis tadi melempar dua bantal berturut-turut, membuat
Feldy harus segera beranjak pergi sebelum menuntaskan kalimat.
"Dasar
rese" cibir gadis tadi, seraya beringsut dari kursinya menuju kasur empuk
yang akan mengalasi tidur nyenyaknya, "Selamat malam Kak,” lirihnya,
merana.
***
Telunjuk Rio beradu dengan bidang datar permukaan meja
belajarnya. Menimbulkan bunyi tuk-tuk-tuk yang mengisi kekosongan dalam kamar
itu, yang sejak tadi hanya diisi oleh raungan mesin AC yang menyala. Pemuda itu
mencoba mengusir sepi dengan bersenandung kecil, lagu yang sering didendangkan
Veronna sebelum ia terlelap, kelima jari tangannya menyentuh lembut foto Sang
Mama. Bingkai kaca yang mengukung foto itu, memunculkan aurora cantik, saat
sinar lampu berlandas tepat di atasnya.
Saat terdengar ketukan samar pada lantai, Rio segera
menegakkan tubuh. Ada yang sedang berjalan mendekat kearah kamarnya dan Rio
tahu pasti, siapa orang itu. Dengan cepat, pemuda berkaos kuning pucat dengan
celana selutut berwarna hijau gelap itu berlari menuju balkon. Saking
terburu-buru tak sengaja kaki kirinya terantuk kaki ranjang. Pemuda itu
meringis kesakitan sambil melompat-lompat dengan satu kaki. Setelah berhasil
sampai dibalkon, Rio duduk manis lantas membuka buku dan membubuhkan coretan
angka-angka didalamnya dengan serius. Ia mengetuk-ngetukkan ujung pensil pada keningnya
yang berkerut rapat.
Tak lama, pintu kamar Matahari Room terjeblak terbuka. Shilla
datang membawa dua gelas tinggi berisi jus apel dan sepiring keripik singkong
yang akan menemani dating mereka malam ini dengan fisika. Sepertinya dua anak
manusia ini, benar-benar mengamini perintah Bu Sumarsih yang menganjurkan agar
selama beberapa bulan kedepan, untuk menyongsong UN, mereka harus lebih sering
berkencan dengan buku-buku pelajaran.
"Gimana
Yo ? Udah selesai soalnya ?" Shilla duduk didepan Rio. Dihadapan mereka,
berhamburan buku-buku fisika dengan ketebalan cukup untuk membuat guru killer
semaput bila terkena lemparan, salah satunya. Juga alat-alat tulis dan kertas
berisi coretan rumus serta angka, berserakan diatas meja kayu kecil.
"Belum
Shil, gue nggak ngerti yang ini, pakai rumus yang mana sih ?" Rio menunjuk
satu soal pada halaman buku paket yang terbuka. Dalam hati mensyukuri bakat
actingnya yang betul-betul jempolan, sehingga Shilla sepertinya tidak curiga,
kalau sebenarnya sejak Shilla pergi mengambil cemilan tadi, Rio malah
berleyeh-leyeh ria.
Shilla
meletakkan nampan yang dibawanya dengan hati-hati, kemudian merundukan kepala,
mengamati soal yang ditunjuk Rio, "Oh, kenapa udah ngerjain yang itu ?
Yang ini dulu aja, lebih gampang. Yang itu mah aku aja masih rada
bingung." Shilla menggunakan telunjuknya untuk menunjuk-nunjuk deretan
soal dalam buku tersebut.
"Oh,
hehe..." Rio menyeringai lebar, lalu kembali berkutat dengan soal yang
direkomendasikan Shilla, "Eh, iya Shil," Rio mendongakkan kepala,
"Lusa, jadi kan nonton gue tanding ?" tanyanya, berusaha mencairkan
suasana. Meski judulnya belajar bersama, tapi nggak asik juga kan kalau selama
berjam-jam kedepan meraka hanya diam dan bergelut dengan beragam soal yang
sudah menanti untuk ditaklukkan.
Bu
Any, guru kimia mereka sering mengatakan bahwasanya, kelas XII bukan lah
waktunya bermain-main dan santai-santai. Mereka harus rela meluangkan banyak
waktu untuk mulai mempersiapkan diri menghadapi UN. Kegiatan yang kurang
bermanfaat sebaiknya dihapuskan dari jadwal kegitan sehari-hari. Bahkan menurut
beliau sebaiknya, siswa-siswa kelas XII berpacaran dengan fisika, kimia ataupun
matematika, untuk sementara. Dan sepertinya, Rio serta Shilla adalah contoh
murid teladan yang menuruti nasehat gurunya. Malam ini, mereka (terutama Rio)
putuskan untuk melakukan pendekatan dengan 3 mata pelajaran angker itu. Sudah
sekitar 1 jam Shilla menemani (atau memandori tepatnya) Rio agar belajar lebih.
"Emm,
maaf ya Yo. Tap... Tapi, aku udah... Itu... Aku udaaah ada janji. Ya, aku udah
ada janji, sama... Tante Gladys. Maaf yaaa." Shilla menjawab dengan suara
terputus-putus dan terus bergerak gelisah ditempatnya.
"Janji
? Yaaah, tapi lo juga kan udah janji sama gue, Shil." Rio melemparkan
pulpennya hingga beradu kecil dengan permukaan meja.
Shilla
memasang raut sangat menyesal, tangannya terkatup didepan dada, "Maaf ya
Yo... Jangan marah yaa, aku benar-benar serba salah kalau mau nolak waktu itu.
Tante Gladys keliatan sedih banget setelah kejadian foto-foto itu. Aku janji
deh, lain kali pasti aku datang dan nonton kamu dibarisan paling depan. Nggak
pa-pa ya ?" Shilla mengangkat telunjuk serta jari tengahnya membentuk
huruf V.
Rio
memutar bola matanya, sambil mendengus sebal, "Ya udah lah."
timpalnya, singkat sambil merengut.
"Yah,
Rio ngambek deh pasti." Shilla mengerucutkan bibir, sambil merajuk
menarik-narik lengan kiri Rio yang terkulai diatas meja kecil yang sengaja
dipindahkan ke balkon untuk Rio dan Shilla belajar.
Shilla
mendesah tak kentara. Lantas menopang dagunya di atas kedua tangan yang
ditegakkan dengan siku sebagai titik tumpu. Matanya tak lepas dari sosok Rio,
membuat pemuda itu sedikit jengah dipandangi Shilla tanpa berkedip seperti itu,
"Jelek deh." cibirnya, sembari menjulurkan lidah.
"Hah
?"
"Kamu!"
"Kenapa
?"
"Jelek."
"Masa
sih ?" Rio membenahi tatanan rambutnya. Sesudah itu, ikut bertopang dagu
seperti Shilla dan balas mengamati lekuk wajah sempurna pahatan Sang Pencipta,
yang dianugrahkanNya pada Shilla.
"Iya.
Jelek banget kalau cemberut gitu."
"Gue
tu ganteng kali. Muna aja lo bilang gue jelek." kelakar Rio, penuh percaya
diri.
"Ih,
emang selama ini nggak ada yang kasih tahu ya kalau kamu jelek ?"
"Ya
nggak lah. Orang gue ganteng."
"Jelek."
"Ganteng."
"Jeleek."
"Ganteng."
"Jelek"
"Jelek."
"Ganteng."
"Nah,
tu kan ganteng. Jujur kek dari tadi." pekik Rio sambil menunjuk-nunjuk
Shilla yang menutup mulut dengan telapak tangannya.
"Ih,
tadi tu keceplosan doang tauuu."
"Justru
yang keceplosan itu biasanya jujur Shil."
"Ah,
tau ah, makan ni jujur." Shilla melayangkan guling yang tadi bertebaran
disekitar tempat belajar mereka, tepat mengenai wajah Rio.
"Duh,
kuli deh tenaga lo Shil. Sakit tau." Rio meraih bantal yang paling dekat
jangkauannya dan balik membalas Shilla yang menyeringai lebar ditempatnya.
Shilla sempat berkilah, sehingga amunisi pertama Rio gagal mengenai sasaran.
Balas-membalas
dengan saling lempar-lemparan bantal pun terjadi. Alhasil pecahlah perang
bantal antara Rio vs Shilla dalam Matahari Room. Mereka berkejaran memutari
ranjang, melompati sofa, mencari tameng, menggerutu ketika sasaran lemparan
mereka meleset sedikit, persis seperti dua bocah SD yang ditinggal orang tuanya
dan merasa bebas untuk melakukan apapun yang mereka mau dalam rumah. Tidak
butuh waktu yang lama untuk meluluh-lantakkan kamar Rio yang semula tertata
rapi itu. Ruangan itu, tampak seperti replika jalur gaza setelah digencar
tentara Israel.
Eyang
Putri dan Narendra yang sudah berdiri didepan pintu kamar (tanpa Rio dan Shilla
sadari), hanya menggeleng-gelengkan kepala, dengan senyum kecil.
"Senang
ya Ren, melihat mereka akrab seperti itu." Eyang Putri bersuara.
"Sangat,
Mam. Rendra sangat senang. Rendra harap dengan memperlakukan Shilla sebaik
mungkin, Lisha bisa lebih tenang."
"Ya,
semoga." balas Eyang Putri, seraya memijat-mijat dahinya. Kepalanya terasa
pening malam ini, mungkin karena terlalu lelah, menjamu tamunya, yang datang
jauh-jauh dari Negeri Paman Syam sore tadi, "Kalau dilihat-lihat, mereka
malah jadi seperti berjodoh ya, Ren? Mirip." imbuhnya, meracau.
Narendra
tertawa ringan, "Hahaha, Mami ada-ada saja," Narendra terkekeh lagi.
"Papa,
Eyang ?" Rio yang pertama menyadari keberadaan dua orang dewasa didepan
pintu kamarnya. Dengan senyum mengembang, pemuda yang mewarisi garis ketampanan
Sang Papa itu menyongsong Papa dan Nenek tercintanya, "Papa baru datang
?" tanyanya, kemudian mencium tangan Narendra.
Narendra
menggangguk samar, "Ini pesanamu." ia mengangsurkan bungkusan kecil
pada Rio.
Rio
dengan cepat melongok isinya, "Yah, Rio udah beli Handphone Pa, sama
Eyang." sahutnya setelah melihat isi bungkusan dari kertas berwarna
cokelat itu.
"Udah
terlanjur dibeli. Gimana dong ? Kamu simpan aja ya." Narendra membuka
kedua tangannya, lantas mengendikkan bahu.
Rio
tampak berpikir, lantas tersenyum sumringah, "Buat Shilla aja."
usulnya.
Shilla
menengok kearah Rio dengan cepat, "Hah ? Eh, nggak-nggak. Nggak usah. Kamu
simpan aja Yo, aku udah ada Handphone kok." tolaknya, halus.
Rio
merengut. Shilla paling benci ekspresi seperti itu, jurus andalan Rio agar
semua orang menuruti kemauannya. Tapi anehnya, Shilla selalu meng-iya-kan
keinginan Rio, setiap pemuda itu sudah memasang tampang belaga ngambek dengan
tangan terlipat didada serta kedua bola mata yang memicing tajam.
Rio
tidak mau menggunakan kata-kata untuk memaksa Shilla, salah-salah dia bisa
menyinggung perasaan Shilla, mengingat handphone yang sekarang digunakan gadis
itu adalah pemberian alharhumah Ibunya. Memasang ekspesi andalannya sepertinya
lebih aman.
Dan.
Sip. Selalu berhasil. Meski dengan sedikit enggan, Shilla akhirnya mau menerima
handphone baru yang disodorkan kearahnya.
"Wah,
berarti Shilla dapat dua hadiah dong. Oom juga bawa ini buat kamu."
Narendra mengangsurkan sebuah boneka beruang manis berukuran sedang dengan
bulunya yang halus, berwarna putih susu. Serta pita putih totol-tolol. Lucu
sekali.
Mata
Shilla berbinar-binar.
"Wah,
manis banget." puji Shilla.
"Suka
?"
Shilla
mengangguk cepat.
"Alvin
?" gumam Rio, menatap Papanya penuh arti.
Narendra
menepuk puncak kepala putra semata wayangnya itu, mengerti maksud Rio,
"Alvin juga dapat hadiah kok. Kamu kenal Papa kan Rio." balasnya,
tenang.
Narendra memang jarang sekali berada di rumah. Tapi laki-laki
bertubuh menjulang dengan perwatakan keras itu, tidak pernah mengabaikan
putra-putranya. Dan setiap kali salah satu dari kedua putranya, 'memesan' sesuatu
saat ia pulang ke rumah, Narendra selalu membelikan untuk keduanya, tidak
pernah membeda-bedakan antara Rio dan Alvin. Paling hanya dari segi komunikasi
saja yang berbeda. Narendra selalu menyempatkan menghubungi Rio, paling jarang
seminggu sekali.
"Lho
kok malah pada ngumpul-ngumpul didepan pintu gini ?" Gladys datang
membawakan secangkir teh hangat untuk suaminya.
"Lho
sayang, kok kamu tahu aku pulang ?" tanya Narendra heran, melihat istrinya
yang sudah membawakannya secangkir teh, padahal mereka belum sempat bertemu.
Narendra langsung menuju kamar Rio, disusul Eyang Putri, begitu mendengar suara
teriakan-teriakan, yang ternyata, berasal dari Rio dan Shilla yang sedang
menggelar perang bantal.
"Insting."
sahut Gladys, diiringi senyum lembut.
"Hm.
Tau deh, pasti jagoan Papa ini ya yang kasih tau ?" Narendra berjongkok,
lantas mengelus-ngelus perut Gladys dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Ja-goan
?" pekik Rio, tertahan.
Narendra
dan Gladys menoleh bersamaan, "Lho memang Mama belum kasih tahu kamu Yo,
tentang calon adik kamu ?" Narendra menatap Rio dan Gladys bergantian.
"Mama
hamil Rio, sekarang sudah memasuki bulan keempat. Kamu dan Alvin, sebentar lagi
akan punya adik." papar Gladys, ragu. Ia sengaja tidak memberitahu Rio, karena
tahu Rio tidak akan merespon positif. Malah bisa jadi, pemuda itu akan semakin
membencinya.
"Wah,
Tante Gladys hamil ? Ih, kok nggak kasih tahu Shilla, mana nggak kelihatan lagi
hamilnya," Shilla mengamati Gladys dari atas sampai bawah. Bingung juga
karena perut Gladys tidak terlihat membesar, atau mungkin karena wanita kalem
itu sekarang lebih sering menggunakan baju-baju yang longgar, "Sebentar
lagi ada adik bayi dong ya ? Selamat ya om, Tante." sambungnya, terlihat
turut bahagia mendengar kabar baik itu.
"Iya
mungkin karena baru masuk 4 bulanan Shil, jadi perut Tante belum buncit."
Gladys melirik suaminya yang tertawa kecil, pun dengan Shilla yang menanggapi
penuturan Gladys dengan senyum lebar.
Sementara
Rio, membesi ditempatnya. Tanpa berkata-kata lagi, pemuda itu segera pergi.
Seruan Papanya dan Eyang Putri tidak digubrisnya. Tanpa menoleh sedikit pun,
Rio menuruni anak-anak tangga, dua-dua sekaligus.
"Kamu
kenapa Yo ?" batin Shilla. Ia paham betul bahwa berita bahagia kehamilan
Gladys membuat pemuda itu merana.
***
Gabriel terlihat sangat tampan dengan setelan kemeja biru tua
polosnya. Lengan kemeja panjang itu disinsingkan hingga ke siku, sangat match
dengan jeans dan jam tangan hitam yang ia kenakan. Rambut lebatnya dibiarkan
jatuh secara asal membingkai wajah lonjong pemuda itu. Aroma maskulin yang
terkuar dari tubuh jangkungnya, benar-benar bisa membuat setiap gadis kepayang.
Belum lagi, setangkai mawar putih yang ia sodorkan. Tidak akan ada gadis normal
yang mampu menolak tebaran pesona seorang Gabriel, kecuali..... Ify. Justru
gadis manis berdagu lancip itulah yang bisa mementahkan pesona Gabriel. Padahal
Ify lah, gadis yang dikagumi Gabriel dalam diam, dicintai sepenuh hati meski tersembunyi,
dijaga segenap jiwa meski dari jauh. Ify. Hanya Ify satu-satunya yang ia
harapkan.
Gadis itu kini hanya berdiri santai, mengulurkan tangannya
untuk meneriwa mawar putih yang diangsurkan Gabriel. Tidak ada pipi yang merah
merona atau bahasa tubuh yang tersipu malu-malu, yang Gabriel terima hanya
segaris senyum simpul dan ucapan terimakasih dari Ify.
Malam ini keduanya janjian untuk nonton. Saat Gabriel
menjemput Ify dikediaman Sang Bunda, Ify tampak sudah siap. Gadis manis itu
bertambah manis dalam balutan terusan berwarna senada kemeja Gabriel. Rambutnya
yang indah, dibiarkan tergerai melewati bahu. Hanya sejumput poninya yang
dijepit dengan jepitan mungil beraksen kupu-kupu.
"Berangkat
sekarang ?" tanya Ify, sembari berusaha merapikan anak-anak rambutnya yang
berterbangan dimainkan angin malam. Ify menerima ajakan nonton dari Gabriel
sebagai ucapan terimakasih karena telah mengantarnya pulang tempo hari.
"Ya
udah. Yuk." Gabriel mengulurkan tangannya.
"Fy
!!" tepat ketika mereka baru saja berjalan beberapa langkah menuju ninja
hitam Gabriel, seorang pemuda dengan penampilan awut-awutan menyebutkan nama
satu-satunya gadis ditempat itu.
"Rio..."
pemuda
yang disapa Rio tadi mendekat, dengan langkah terseok-seok, "Mau pergi ya
?" Rio mengeluarkan tatapan mengiba, yang diharapkan akan membuat Ify
tetap tinggal dan mendengarkan leluh kesahnya.
"Iya
sih, tapi.,"
"Ya
udah, kalau gitu gue balik deh."
"Eh,
tunggu Yo." cegah Ify, "Yel nontonnya lain waktu aja ya, nggak pa-pa
kan ? Kayaknya Rio lagi kacau banget, gue nggak mungkin pergi. Nggak pa-pa ya.
Maaf."
Gabriel mendesah kecewa, berjam-jam ia habisnya untuk berdiri
didepan cermin. Melakukan berbagai eksperimen dengan gaya rambut dan baju yang
akan digunakan untuk jalan dengan Ify malam ini. Berbagai kalimat dan topik
obrolan bahkan telah ia siapkan, agar Ify terkesan dengannya. Bayangan tentang
malam yang menyenangkan sudah menari-nari dengan lincah dalam angannya, tapi
semua yang telah direncanakan, harus berai begitu saja, hanya karena kehadiran
pemuda tidak penting dan menyebalkan bernama Rio Haling. Cih, nama belakang
pemuda itu benar-benar membuat
Gabriel mual. Gabriel tidak bisa menyembunyikan rasa
kecewanya. Kedua mata pemuda itu menghujam dua telaga bening milik Rio, yang
kali ini tampak mengeruh.
Melihat
Gabriel yang malah membatu, Ify menjadi tidak enak. Ia mengguncang-guncangkan
lengan pemuda itu, "Yel !! Marah ya ?"
Gabriel
terhenyak. Dengan kilat, diterbitkannya selengkung senyum, menutupi raut
kekesalan yang sebenarnya telah terlanjur terbaca oleh Ify. Tapi sungguh
Gabriel dan Rio sama sekali bukan pilihan, jiwa ataupun raga, mimpi atau
terjaga, jelas Ify akan selalu mendahulukan Rio. Itu seperti jadi mutlak, tidak
bisa dinego lagi.
"Ya
udah Fy. Nggak apa, mungkin kapan-kapan. Kalau gitu aku pamit ya."
Ify menganguk lega. Tidak menunggu sampai Gabriel lenyap dari
jangkauan pandangannya, bahkan sebelum pemuda itu menaiki motornya, Ify sudah
berlalu dan menggandeng Rio menuju rumah. Gabriel mengepalkan tinjunya, menahan
amarah yang mendidih dalam dadanya. Menekan luapan emosinya, untuk tidak
menyusul dua orang itu, lantas menganugrahkan dua bogeman (lagi) pada Rio.
"Sial.
Rio sial." makinya, sebelum menggas motornya gila-gilaan, menimbulkan deru
yang memekik telinga.
Sementara Ify, gadis manis itu mengajak Rio duduk diayunan
dari rotan yang dipasang bundanya dih alaman depan yang tidak begitu luas. Ify
tidak mendesak Rio untuk segera bercerita, meski rasa ingin tahu dan berbagai
dugaan menggelembung dalam pikirannya. Apa gerangan yang membuat Rio sekacau
ini ? Terakhir kali Ify melihat Rio patah arang begini adalah ketika membaca
surat kecil Acha. Lantas sekarang perkara apa lagi yang bisa membuat pemuda
'ramai' itu, nelangsa ?
"Tante
Gladys hamil, Fy" lirih Rio tiba-tiba.
Ify
menggeser duduknya menghadap Rio, mengernyit heran, “terus?” tanya gadis itu
tak mengerti.
“Kok
terus sih?” jawab Rio ketus.
“Ya
maksud gue, terus kenapa? Tante Gladys hami? Oke, Fine. Itu kabar bagus dong.
Terus kenapa elo keliatan semerana ini, bukannya lo harusnya seneng? Dari dulu
kan Lo bilang lo pengen punya Adik cewek, harusnya lo bersyuk-“
“TAPI
BUKAN DARI PEREMPUAN ITU IFY!”
Ify tersentak, gadis manis itu sampai reflek bangkit dari
ayunan. Sekarang matanya menatap tajam pada sosok Rio yang menunduk seraya
mengepalkan kedua tangannya. Napas pemuda itu masih menderu akibat usahanya
meneriaki Ify tadi.
“Sorry,”
lirih Rio.
Masih
dalam posisi berdiri, Ify membelai puncak kepala Rio. Membiarkan pemuda itu
menyadarkan kepalanya pada Ify, “Nggak apa-apa. Gue yang harusnya minta maaf.
Maaf gue nggak peka, gue ga paham kalau lo masih belum bisa terima keberadaan
Tante Gladys.”
Rio
menarik napas berat, suaranya bergetar saat berkata, “Setelah anak itu lahir,
Papa nggak bakal sayang lagi sama gue, Fy. Dan Mama… Mama pasti bakal semakin
dilupain di rumah itu. Gue nggak mau fy, nggak mau…”
“Sssttt,”
Ify berlutut dihadapan Rio, menggenggam kedua tangan pemuda itu yang terasa
sangat dingin, “Jangan mikir hal-hal buruk, Rio. Gue mungkin nggak bisa kasih
saran apa-apa karena jujur ini masalah internal keluarga lo. Tapi gue bakal
temenin lo disini sampe lo ngerasa lebih baik dan habis itu kita pulang, ya?”
“Gue
nggak mau pulang, Fy.”
“Yo,
jangan kayak gitu.” Ify berujar dengan lembut, “Lo harus dewasa jangan
kabur-kaburan gini, keluarga lo pasti khawatir. Kita pulang ya?”
“Sebentar
lagi,” balas Rio. Pemuda itu memejamkan matanya, berusaha menenggelamkan
segalanya dalam gelap. Berusaha mengosongkan pikirannya dari kenyataan yang
tidak ingin ia percayai.
Ify
mengangguk faham, kembali duduk di ayunan rotan di samping Rio. Mengamati wajah
kunyu milik pemuda di sampingnya. Diam-diam ia rasakan pedih yang diderita Rio.
***
1 komentar:
keren banget ini kak!!!
walaupun siaga Agan,Aya sama Kia udah di sebut tapi masih penasaran sama 'misteri' selanjutnya!
mau gimana si Rio? di suruh apa si Ify...
aaaa Rio jadi jahat aja deh yaaa -_-
jarang2 dia jadi peran antagonis,eh yang tau semuanya berarti cuma Ify sama Rio deng
aku suka sama bahasa tulisan kakak...
rasanya kayak baca novel giduuu
lanjut aja deh ya kak
jangan lama-lama yaaa :p
hihihi :D
Posting Komentar