Rabu, 03 Agustus 2011

Rahasia Orion Part 9

Rahasia Orion Part 9
"Menara Merana"

*
Menara yang Merana
Ia di atas sana tapi berduka
Ia serba ada tapi tersiksa
Ia tinggi tapi sendiri
Ia sendiri dan rasanya nyeri
Merana-rana sang menara sedang merana

***

Alvin terlongong.

Foto-foto laknat itu melayang anggun di depan wajahnya. Ketika menyentuh lantai yang dingin dalam posisi tersibak, Alvin dibuat membesi. Matanya berkilat tak percaya. Berbanding terbalik dengan mata bening Gladys yang begitu sendu menampakkan rasa kecewa wanita itu pada Putranya. Ruangan yang berisikan satu set sofa mewah, guci-guci cantik yang mengkilat dan berbagai perabotan mahal lainnya itu, terasa kosong diliputi kebisuan dan ketegangan. Yang tertangkap oleh saraf-saraf pendengaran hanya bunyi srek-srek-srek dari foto-foto yang dipunguti Alvin dengan jari bergetar. Saat ini, ada dua buah foto yang menghuni genggaman tangannya.
Keduan foto itu menjadikan Alvin sebagai objeknya. Alvin sang ketua OSIS Veronna High School dalam foto pertama sedanga berdiri di depan area sebuah club malam, terlihat santai dengan tangan kiri yang tersembunyi di balik saku jaketnya dan tangan kanan pemuda itu sibuk memainkan handphone. Sedangkan pada foto kedua, terlihat Alvin memeluk seorang gadis berpakaian minim masih di depan clum malam tadi.
Sekarang Alvin faham, ada seseorang yang sengaja menjebaknya untuk mendapatkan foto-foto itu. Alvin ingat betul pada waktu itu, sebelumnya, Alvin mendapatkan pesan singkat dari nomor tidak dikenal yang mengabarkan bahwa Rio dipukuli oleh segerombolan pemuda yang sedang mabuk dan tengah terkapar di depan sebuah club malam. Pengirim pesan singkat itupun menyertakan alamat yang harus dituju Alvin untuk menolong Rio. Sesampainya disana Alvin tidak menemukan Rio, lalu ia menghubungi nomor yang tadi mengirirminya pesan singkat dan ternyata nomornya tidak aktif. Alvin akhirnya memutuskan untuk pulang karena yakin bahwa dia sedang dikerjai. Salahnya juga lah karena terlalu panik sehingga tidak mengecek terlebih dahulu keberadaan Rio. Padahal nyatanya waktu itu, Rio tidak pernah menjejakkan kaki disana, ia hanya sedang pergi bersama Shilla ke sebuah pusat perbelanjaan. Ketika Alvin akan berbalik ke arah mobilnya ada seorang wanita yang tiba-tiba menubruknya, wanita itu lantas mengalungkan tangannya ke leher Alvin agar tidak jatuh, “Maaf, maaf” ujar wanita itu. Saat itu Alvin hanya mengangguk dan berlalu.
Alvin baru mengerti sekarang, apa maksud dan tujuan Si Pengirim Pesan itu, jadi untuk foto-foto ini Alvin diberi berita bohong.

"Ini nggak kayak yang kalian pikir." Alvin mencoba memberikan klarifikasi, dengan manik mata yang tak beralih dari keenam foto ditangannya.

Eyang Putri tertawa mencela, "Apa Gladys juga mengajarimu untuk berkilah ?" Ekspresi wanita tua dengan tulang pipi tirus dibalut kulit kuning langsat yang mulai berkerut itu, tetap datar.

"Ini semua nggak ada hubungannya sama Mama."

"Apa kamu bilang ?" Eyang Putri memajukan kepalanya, seolah kurang jelas mendengar perkataan Alvin, "Nggak ada hubungannya ? Jelas-jelas kamu berkelakuan seperti ini karena Gladys tidak becus mendidikmu. Saya heran, apa yang sebenarnya membuat Narendra memilih Mamamu itu." Eyang Putri menggerakkan sedikit kepalanya yang dihiasi konde mungil, kearah Gladys yang berdiri bersisian dengan Shilla.

"Mama nggak sa-"

"Cukup Alvin." salak Gladys, keras, "Jangan membantah Eyang lagi. Beliau benar, Mama sudah gagal mendidik kamu." sambung Gladys, lirih diujung kalimatnya.

"Ma, yang terjadi sebenarnya nggak seperti yang kelihatan di foto-foto ini, Alvin nggak main-main ke club malam. Mama dengerin Alvin dulu, Alvin bisa jelasin semuanya, Ma."

"Baik. Sekarang Mama tanya, foto-foto itu asli atau hanya rekayasa ?" tanya Gladys dengan suara tegas.

Alvin tergagap. Beragam penjelasan yang tadi berpusar diotaknya, tiba-tiba saja menguar. Kenapa harus pertanyaan itu yang Gladys ajukan ? Mulut Alvin bergerak-gerak, tapi tidak sepatah katapun terdengar darinya.

"Jawab !!" bentak Gladys, galak.

"Fo..foto..fotonya... Fotonya asli Ma, tapi Alvin-"

"Cukup." lagi-lagi Gladys memotong ucapan Alvin, "Itu sudah lebih dari cukup. Mama tidak mau dengar lebih banyak lagi. Sekarang cepat pergi dari sini. Jangan temui Mama sebelum kamu menyadari kesalahanmu dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya. " Gladys memalingkan wajah, tidak ingin beradu pandangan dengan Alvin. Ia merasa terlalu lunak, tidak bisa bersikap tegas terhadap Alvin, sehingga sekarang anak itu benar-benar berada jauh diluar kontrolnya.

Alvin mengepalkan tangannya kuat-kuat. Meremas keenam foto petaka, yang membuatnya kehilangan kepercayaan Sang Mama. Dan itu sangat menyakitkan, mengingat hanya Gladys lah yang ia miliki saat ini, "Ma..." suaranya terdengar lemah, matanya sayu, "Alvin anak Mama. Alvin nggak akan pernah tega bikin Mama kecewa. Harusnya Mama percaya dan mau dengar penjelasan Alvin dulu." tambahnya dengan nada memohon.

"Jadi Mama harus dengar pembelaan kamu, Vin ? Siapa yang berani jamin kalau kamu tidak sedang membohongi Mama ? Siapa yang berani jamin kalau kamu tidak sedang mengarang alasan ?"

"Saya berani jamin." Rio menyela. Tidak ingin jadi lakon pasif dalam ruangan itu, kalau nyatanya ia bisa berbuat lebih untuk membela Alvin. Duduk, diam dan mendengarkan, hah, Rio tidak bisa hanya melakukan tiga hal itu sementara Alvin selalu melayangkan tatapan meminta bantuan kearahnya.

"Diam Rio !!" sergah Eyang Putri, "Tidak ada yang meminta kamu berbicara. Kamu jangan terus-terusan membela Alvin. Sekarang, cepat masuk kamar dan renungkan kejadian hari ini. Jangan sampai kamu mengulangi kesalahan yang sama dengan Alvin." kali ini Eyang Putri sepertinya sangat marah, terbukti, ia sampai tidak sadar telah membentak Rio seperti tadi.

Rio menunduk. Jarang sekali, Eyang Putri bicara dengan nada tinggi seperti barusan, membuat Rio sedikit ngeri untuk membantah, "Eyang, tapi Rio yakin, Alvin nggak-"

"Rio !! Masuk kamar !!"

“Tapi Rio tau cerita sebenernya Eyamg, Alvin nggak sa-“

“MARIO! MASUK KAMAR!” raung Eyang Putri, marah.

Rio menggerutu, dengan wajah ditekuk, akhirnya ia memilih untuk menurut. Rio berjalan gontai, menaiki tangga pualam menuju kamarnya dilantai atas. Sebelum sampai pada anak tangga terakhir, Rio sempat melempar pandangan berartikan maaf, yang dibalas anggukan kecil oleh Alvin.

Setelah bunyi derap kaki Rio yang sengaja dihentakan sangat keras oleh pemiliknya berakhir, ditutup dengan aksi Rio membanting pintu kamar, Eyang Putri kembali beralih menatap Alvin. Sudut matanya meruncing, berkilat mencela dengan senyum seadanya yang membuat tampang wanita tua itu ingin sekali Alvin lempari lumpur, saking mengesalkannya, "Seharusnya, sebelum bertindak bodoh dan memalukan seperti ini, kamu berpikir dulu ribuan kali. Sekarang kamu bukan lagi putra orang pinggiran yang bebas melakukan apapun tanpa aturan. Kamu sadar tidak? Kelakuan buruk kamu bisa menular kepada Rio, tentu saya tidak akan rela kalau itu terjadi. Kamu itu bagian dari kami, Alvin. Anggota keluarga besar Haling yang terhormat. Mau ditaruh dimana muka kami kalau kejadian ini sampai terendus orang luar. Benar-benar apatis kamu ini, hanya mementingkan diri kamu sendiri,” cerocos Eyang Putri.

"Ibu benar," Gladys meletakkan tangan kanannya di dada. Pemandangan yang membuat Alvin merasakan sayatan mata pisau paling tajam di setiap sisi hatinya. "Jangan sampai Rio meniru Alvin." imbuhnya, tertahan.

Alvin tergugu sejenak, tak menyangka hanya karena masalah foto yang belum jelas kebenarannya, Mamanya tega berujar demikian, "Saya tidak pernah berharap jadi bagian dari keluarga Haling yang terhormat. Kalau bukan karena Mama mencintai Papa, saya merasa lebih nyaman jadi putra orang pinggiran." tegas Alvin. Matanya memicing tajam, air mukanya yang keras kembali memetakan diri. Ia merasa tidak perlu lagi memelas atau memasang ekspresi memohon. Toh, percuma saja. Gladys apalagi Eyang Putri tidak akan tergerak untuk sekedar mendengarkan penjelasannya. Alvin memutuskan untuk segera berlalu dari tempat itu.

"Mau kemana kamu ?" Eyang Putri dan Alvin berdiri bersisian dengan posisi sejajar. Sama-sama memasang ekspresi datar.

"Kenapa ? Bukankah saya tidak diharapkan ada ditempat ini ?" sahut Alvin, ketus.

Eyang Putri mengulurkan tangan, "Kemarikan SLR mu!"

Alvin terpaku cukup lagi. Tanpa sadar kedua tangannya jadi semakin erat memegangi SLR yang tergantung dilehernya.

"SLRmu ditahan sementara. Sampai Rendra pulang, dan menjatuhkan hukuman yang pantas untuk kamu. Saya akan menghubunginya setelah ini. Mana SLRmu ??"

Letupan kemarahan berpendar pada kedua manik mata Alvin. Sejauh ini fotografi adalah satu-satunya tempat Alvin melarikan diri dari rasa penat yang membebaninya. Lantas bagaimana jadinya kalau SLR Alvin disita ? Hah, tapi toh hukum rimba memang benar-benar berlaku. Dunia memang hanya memihak pada mereka yang disertai kekuasaan. Alvin hanya bisa pasrah ketika Eyang Putri yang tidak sabar, segera menarik paksa SLR hibahan Rio itu darinya. Sejurus kemudian, wanita berpakaian terusan bunga-bunga coklat itu, melenggang anggun meninggalkan ruangan yang masih diselubungi atmosfer ketegangan itu.
Alvin mengulur napas berat. Rasanya udara sekitar entah bagaimana prosesnya berubah jadi bongkahan batu, yang semakin dihirup, semakin membuatnya sesak. Alvin menyeret kaki panjangnya menuju kamar dengan kedua tangan terkulai lemas disamping tubuh jangkungnya. Wajah yang digelayuti letih setelah seharian hunting foto bersama teman-temannya terlihat makin kuyu dan putus asa, selayaknya raut muka Rama saat pertama kali menyadari Shintanya dilarikan oleh Rahwana. Cocok kan, Alvin jadi Rama, SLRnya Shinta dan Eyang Putri itu Rahwana, Si Raksasa menyebalkan.

"Jangan pedulikan keluarga Haling kalau kamu memang tidak suka menjadi bagian darinya, tapi setidaknya pikirkan perasaan Ayahmu. Dia pasti akan sangat malu, melihat kamu seperti ini sekarang." Gladys berucap lirih, sebelum Alvin mencapai puncak anak tangga.

Pemuda itu tidak menunjukkan reaksi yang berarti, hanya tangan kokohnya yang meremas pegangan tangga secara berlebihan, membuat buku-buku jarinya memucat. Tanpa menoleh sedikitpun, Alvin meneruskan langkahnya menyusuri lantai granit yang mendasari Rumah Besar.
Gladys terduduk lemas. Wanita yang akhir-akhir ini sering mengenakkan baju-baju bersize longgar itu, merobohkan diri pada sofa coklat gelap yang beberapa menit lalu dihuni 4 orang dengan perasaan gelisah menanti kedatangan Alvin, semenjak hadirnya foto-foto itu. Gladys terisak, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisan yang ditahan agar tidak pecah membuatnya terceguk dengan bahu yang bergetar hebat. Di satu sisi, ia tidak tega melihat perlakuan Eyang Putri terhadap Alvin. Ia menyesali semua perkataannya, yang pasti menyakitkan untuk Alvin. Tapi bagaian hatinya yang lain, terlanjur kecewa. Yang ia tahu Alvin adalah putranya yang baik dan penurut, bukan anak nakal seperti yang secara tidak langsung diceritakan foto-foto itu.
Shilla yang juga masih berada ditempat itu, benar-benar iba melihatnya. Yang dirasakan Gladys saat ini, pasti sama dengan yang dirasakan Ibunya ketika dulu mendapat laporan dari tetangga bahwa Shilla dan pasukan alitnya mencuri jambu dikebun Teh Mirah. Pasti sedih sekali, mengetahui buat hati kebanggaannya berbuat tidak baik. Waktu itu, Ibu sampai sakit karena memikirkan Shilla kecil yang begitu nakal. Sekarang, saat Shilla sudah beranjak dewasa. Mulai berusaha untuk jadi gadis manis berperangai baik, justru Ibunya telah lebih dulu direngkuh maut. Shilla tidak ingin hal yang sama terulang pada orang lain. Semua anak harus bisa membuat orang tuanya bangga, sebelum menyesal dikemudian hari, setelah Tuhan lebih dulu memeluknya. Kalau memang Alvin punya penjelasan, Shilla harap Gladys mau mendengarkannya. Ia yakin Alvin tidak bersalah dan karena itu, tidak sepantasnya wanita anggun itu menangis.  Ia mencoba mendekati Gladys, mengambil porsi lebih dari sekedar jadi pendengar atau penonton saja, seperti tadi "Tante..." tutur Shilla lembut, disentuhnya punggung tangan Gladys, perlahan. Shilla tersenyum kalem saat Gladys merespon panggilannya dengan menurunkan kedua telapak tangannya dan berusaha menghentikan tangisannya, "Tante, sabar ya... Tante jangan terlalu sedih. Shilla yakin kok, Alvin punya penjelasan atas ini semua. Alvin itu anak yang baik, Tan. Tante percaya kan sama Alvin ?" Shilla menambahkan dua anggukan kecil diujung kalimatnya.

"Tante juga maunya semua itu bohong, Shil. Semua itu nggak benar. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang Alvin bilang. Foto-foto itu asli." seloroh Gladys dengan suara sarat kekecewaan, "Sudah sejak lama Tante khawatir, takut karena satu dan lain hal yang terjadi belakangan di rumah ini, akan membuat Alvin tertekan. Tante sedikit lega, saat tahu Alvin melarikan diri ke dunia fotografi, paling tidak itu adalah kegiatan yang positif. Tapi ternyata fotografi hanya kamuflase. Tante tidak pernah menyangka kalau Alvin sudah terlibat jauh dalam pergaulan buruk seperti itu." Gladys menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Sungguh ia tidak rela, tidak akan pernah rela putra kebanggaannya terjerumus pada pergaulan yang hanya akan menghancurkan masa depannya. Ingin ia memuntahkan semua pil pahit yang dijejalkan secara paksa kepadanya, hari ini.

"Tante..." Shilla memiringkan wajahnya, menatap kedua bola mata Gladys yang digenangi selaput tipis air mata, "Bukan maksud Shilla menggurui, tapi terkadang apa yang kita pikirkan tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi," Shilla meraih tissue dari kotak persegi panjang cantik berbalut kain kotak-kotak warna krem yang terletak diatas meja dihadapan mereka, “Tante baca deh!" Shilla mengangsurkan ponselnya yang menampilkan satu message terbuka pada Gladys. Pesan dari Rio. Isinya menjelaskan kejadian sebenarnya pada waktu itu. Begitu Rio pulang dari pusat perbelanjaan dan menemui Alvin di kamarnya, pemuda sipit itu langsung menceritakan segalanya pada Rio. Tentang pesan singkat yang diterima Alvin dan club malam itu. Rio menceritakannya sejelas mungkin dan meminta Shilla menunjukkannya pada Gladys. Sementara Eyang Putri, Rion akan berusaha bicara dengannya nanti kalau amarahnya sudah mereda.

Gladys menghela napas sangat lega,  menyusut air mata dengan tissue yang diberikan Shilla tadi. Senyum lembutnya kembali mengembang, "Syukurlah kalau begitu." ia menepuk puncak kepala Shilla. Gadis berambut panjang itu, merasakan nyaman sekali. Sudah lama, ia tidak mendapatkan perlakuan seperti ini dari seorang Ibu. Tiba-tiba saja, sulur-sulur rindu pada Ibunya menyeruak, merambati sebentuk hatinya, menjalari sumsum dan setiap persediannya. Shilla ingin sekali menangis. Dua bola mata jernih gadis itu tampak berkaca-kaca, pandangannya mulai mengabur, "Boleh Shilla peluk Tante ? Sebentaaar aja..." pintanya, sedikit ragu. Takut kalau Gladys akan menolak meluluskan permohonan kecilnya.

Tapi wanita itu dititipi Tuhan jiwa yang begitu halus, tidak akan pernah terlontar kalimat penolakan darinya, apalagi untuk seorang gadis yatim piatu yang hanya menginginkan satu pelukan. Gladys merentangkan tangannya, detik berikutnya, tubuh Shilla sudah berada dalam rengkuhan hangatnya, "Tante harus minta maaf pada Alvin. Apa Tante boleh meminta bantuanmu, Shilla ?"

Shilla menarik tubuhnya dari pelukan Gladys, "Bantuan apa ?"

***

Alvin membanting tas yang disandangnya dengan kasar. Benda itu, menghantam jam pasir berbahan dasar kaca yang terletak diatas nakas dekat satu set peralatan elektronik penghuni kamar luas Alvin. Menimbulkan bunyi gaduh dengan serpihan kaca yang terpencar dilantai.

"Sial." rutuk pemuda itu, marah.

Ditariknya bedcover yang menyelimuti doublebed-nya, guling serta bantal yang tersusun rapi diatas sana, alhasil ikut terhambur jatuh menagdu diri dengan lantai dingin Edelweiss Room. Belum puas dengan usahanya menghancurkan kamar, Alvin menendang sebuah bantal yang paling dekat dengan jangkauan kakinya, lantas menendang bantal itu sekuat tenaga. Bantal tanpa dosa itu terpental, menabrak lampu tidur dimeja kecil sebelah double bed. Bunyi prang dari benda yang pecah kembali membahana.
Kemarahannya belum berkurang. Emosi masih bergolak. Tapi tenaganya sudah terkuras. Mengontrol diri sendiri, ternyata memerlukan energi yang lebih banyak, dibanding untuk melawan segerombolan preman. Alvin terduduk, dengan punggung menempel pada sisi ranjangnya. Dengan geram diajak rambutnya hingga beberapa helaian hitam itu mencuat tak beraturan.
Alvin mengulurkan tangan, meraih ponselnya, ketika benda mungil itu terus saja bergetar heboh dengan layarnya yang berkerjap-kerjap. Display ponsel keluaran terbaru itu, menunjukkan ikon gagang telepon plus sederet nomor yang tidak Alvin kenal. Meski enggan, Alvin tetap mengangkat panggilan yang baru masuk itu, takut-takut berasal dari staf OSIS yang ada kepentingan dengannya. Walau bagaimana pun Alvin harus tetap profesional.

"Hallo." sapanya, seraya mengatur deru napas, berusaha menormalkan suara.

"Gimana ? Udah sampai balasan dari tinju lo waktu itu ? Foto-fotonya keren kan, Vin ? Lebih keren dari semua hasil jepretan lo."

Tubuh pemuda berkulit putih itu kembali menegang. Pegangan pada ponselnya jadi ratusan kali lebih kuat dibanding sebelumnya.

"Oh ya, ada bonusnya juga lho," suara diseberang sana, terdengar mencibir dengan selingan tawa-tawa pendek yang sinis, "Dua tonjokkan di pipi saudara tiri lo, kemarin. Ya, gue rasa itu udah lebih dari cukup buat bikin lo paham bahwa nggak ada yang boleh berbuat seenaknya sama gue, Gabriel Damanik."

"Sialan lo Yel, jadi elo otak dari semua ini ? Sakit ya lo, keterlaluan."

"Hahaha... Gue bukan cuma otaknya Vin, tapi gue fotografer plus delivery-nya, sampai foto itu tiba didepan pintu rumah keluarga Haling yang emm... Busuk !!"

"Oh, terus sekarang lo ngerasa menang ? Lo kira gue nggak bisa berbuat yang lebih extreem dari ini, lo lihat aja nanti."

"Aduh, ckck, jadi takut ni gue. Tapi sayang ya, Vin, gue selangkah lebih maju dibanding lo. Gue masih simpan foto-foto itu, jadi lo jangan macam-macam kalau nggak mau, gambar Alvin dan wanita 'simpanannya' jadi cover Aruna edisi terbaru."

"OK. We'll see. Ingat, Yel. Lo yang sulut, jadi jangan nyesel kalau apinya membakar diri lo sen-"

"Hoaam, omongan lo kayak kakek-kakek deh Vin, bikin ngantuk. Ya udah lah, bye Vin, selamat malam dan semoga lo mimpi indah. Hahaha." Gabriel mengakhiti percakapan singkat itu dengan tawa mencela, membuat Alvin sangat berang.

tut-tut-tut

Sambungan diputus sepihak.

Alvin tertunduk lemas. Kemarahannya kian menjadi, tapi tenaganya belum pulih, jadilah pemuda itu memilih untuk membenamkan kepalanya pada kedua tangan yang terlipat diatas lututnya yang tertekuk. Pada dasarnya Alvin tidak suka bermusuhan, ia tidak pernah ingin menyakiti orang lain. Bahkan, kadang kala, Alvin sendiri bingung, kenapa Tuhan harus menciptakan rasa benci antar umat manusia. Tapi perbuatan gabriel sudah kelewatan Alvin tidak akan bereaksi kalau saja yang dilakukan Gabriel tidak melukai Mamanya. Pemuda itu memejamkan matanya rapat-rapat, berharap ini semua hanya sebatas mimpi yang akan segera berakhir setelah kedua kelopak matanya terbuka.

***

Kamar itu cantik. Dengan dindingnya yang dicat warna baby pink, ber-background kepala-kepala boneka dan bunga-bunga kecil. Bintang-bintang yang akan bersinar keperakan ketika lampu dikamar ini dipadamkan, tertempel pada langit-langitnya. Bedcover yang membungkus single bed dalam ruangan ini bercorak minnie mouse yang lagi-lagi didasari warna pink. Tirai victoria yang terjuntai menutupi jendela besar yang menghadap ke barat, juga berwarna senada dengat cat dinding. Selebihnya, perabot-perabot yang mengisi kamar dilantai dua sebuah rumah mewah itu, tidak berbeda jauh dengan kamar-kamar lainnya. Terdapat meralatan elektronik lengkap, dress-in built dengan koleksi pakaian-pakaian yang cantik, meja rias plus kaca besar yang dibingkai ukiran kayu jati, lalu pernak-pernik lainnya yang didominasi warna merah muda. Mempertegas karakter penghuninya yang begitu manis dan manja. Gadis itu terduduk jenuh dikursi putarnya, menghadap meja belajar. Sudah setengah jam ia berada dalam posisi seperti ini. Tugas membuat sebuah karangan dalam bahasa Perancis yang coba dikerjakannya bahkan baru sampai pada kalimat-kalimat pembuka. Merasa putus asa dengan tugas kuliahnya, ia menyentakkan bolpointnya. Berlanjut dengan aksi merentangkan tangan sambil menguap kecil. Diliriknya jam doraemon yang bertengger bersisian dengan foto seorang pemuda tampan, waktu ternyata berlalu begitu cepat, sudah lewat 20 menit dari tengah malam.
Gadis manis bermata bulat itu menggeser selembar kertas polio tempatnya menuliskan tugas tadi, ganti diraihnya buku harian dengan cover boneka beruang berwarna coklat muda. Ia tersenyum kecil, saat-saat seperti inilah yang paling ia sukai. Saat mengenang kembali sosok pangerannya. Saat ia dengan leluasa melukis wajah Si Masa Lalu dalam benaknya. Saat ia dengan senang hati, mengizinkan dirinya digeret dalam satu tahun penuh kenangan manis yang tak pernah berhasil ia kubur.
Jemari lentik dengan kukunya yang terkikir rapi, mulai menari lincah membubuhkan beberapa kalimat dalam buku hariannya, yang tanpa disadari, setiap lembarnya hanya menceritakan satu sosok yang sama, dia, dia, dan akan selalu dia.

Seandainya aku seorang penulis,
aku akan membuat kakak melihat orion lewat tulisanku.
Membayangkan betapa terang dan cantiknya rasi bintang itu.
Seperti yang sering kita lakukan dulu.
Siapa yang sekarang menemanimu melihat bintang kak ?
Siapa temanmu melihat Sirius dan Andromeda ?

Seandainya aku seorang penulis,
aku akan membuat kakak mengerti lewat tulisanku.
Tentang hidup, tentang takdir dan tentang sebuah perpisahan.
Siapa temanmu sekarang kak ?
Pada siapa mimpimu kau ceritakan ?

"Ekhm." seorang pemuda dengan jaket kulit hitam, menyembulkan kepala dari balik pintu berbahan dasar kayu aras disisi kamar itu, "Ck, udah tengah malam gini kok belum tidur sih lo ?"

Si Gadis tadi terpaksa menghentikan aktivitasnya, "Ini juga mau tidur kok." balasnya sambil tersenyum. Ia mulai membenahi berbagai alat tulis dan buku-buku yang berserakan diatas meja belajarnya.

"Ya udah, gue sekalian pamit pulang ya."

"Mau pulang ? Ya ampun ini kan udah tengah malam, nanti kalau ada apa-apa dijalan gimana ? Kenapa nggak besok aja sih pulangnya ?"

"Gue ada tugas kelompok, deadline-nya besok dikumpulin diketua kelompok, nggak enak kan kalau seorang Feldy yang terkenal rajin ini, telat ngumpulin tugas bagiannya." Pemuda tadi, Feldy, merentangkan tangan sembari menaikan kedua pundaknya.

"Huuu, apa banget deh." gadis berkulit kuning langsat itu melempar penghapusnya kearah Feldy.

Feldy bisa menangkapnya dengan sigap, "Mau titip salam nggak ?"

Gadis dalam balutan piyama pink pudar itu memajukan bibirnya, "Apaan sih, udah ah, bikin galau aja tahu nggak." ia menutup telinganya dengan kedua tangan.

"Hahaha, cie sepupu gue bisa galau juga. Ya udah, gue pamit ya, bye." pintu sudah hampir tertutup rapat, ketika Feldy, berbalik kembali, "Eh iya, dia titip salam. Salamnya nggak pernah berubah kok, masih kayak yang du-"

"Iiiihhh, pergi nggaaakk ??" gadis tadi melempar dua bantal berturut-turut, membuat Feldy harus segera beranjak pergi sebelum menuntaskan kalimat.

"Dasar rese" cibir gadis tadi, seraya beringsut dari kursinya menuju kasur empuk yang akan mengalasi tidur nyenyaknya, "Selamat malam Kak,” lirihnya, merana.

***

Telunjuk Rio beradu dengan bidang datar permukaan meja belajarnya. Menimbulkan bunyi tuk-tuk-tuk yang mengisi kekosongan dalam kamar itu, yang sejak tadi hanya diisi oleh raungan mesin AC yang menyala. Pemuda itu mencoba mengusir sepi dengan bersenandung kecil, lagu yang sering didendangkan Veronna sebelum ia terlelap, kelima jari tangannya menyentuh lembut foto Sang Mama. Bingkai kaca yang mengukung foto itu, memunculkan aurora cantik, saat sinar lampu berlandas tepat di atasnya.
Saat terdengar ketukan samar pada lantai, Rio segera menegakkan tubuh. Ada yang sedang berjalan mendekat kearah kamarnya dan Rio tahu pasti, siapa orang itu. Dengan cepat, pemuda berkaos kuning pucat dengan celana selutut berwarna hijau gelap itu berlari menuju balkon. Saking terburu-buru tak sengaja kaki kirinya terantuk kaki ranjang. Pemuda itu meringis kesakitan sambil melompat-lompat dengan satu kaki. Setelah berhasil sampai dibalkon, Rio duduk manis lantas membuka buku dan membubuhkan coretan angka-angka didalamnya dengan serius. Ia mengetuk-ngetukkan ujung pensil pada keningnya yang berkerut rapat.
Tak lama, pintu kamar Matahari Room terjeblak terbuka. Shilla datang membawa dua gelas tinggi berisi jus apel dan sepiring keripik singkong yang akan menemani dating mereka malam ini dengan fisika. Sepertinya dua anak manusia ini, benar-benar mengamini perintah Bu Sumarsih yang menganjurkan agar selama beberapa bulan kedepan, untuk menyongsong UN, mereka harus lebih sering berkencan dengan buku-buku pelajaran.

"Gimana Yo ? Udah selesai soalnya ?" Shilla duduk didepan Rio. Dihadapan mereka, berhamburan buku-buku fisika dengan ketebalan cukup untuk membuat guru killer semaput bila terkena lemparan, salah satunya. Juga alat-alat tulis dan kertas berisi coretan rumus serta angka, berserakan diatas meja kayu kecil.

"Belum Shil, gue nggak ngerti yang ini, pakai rumus yang mana sih ?" Rio menunjuk satu soal pada halaman buku paket yang terbuka. Dalam hati mensyukuri bakat actingnya yang betul-betul jempolan, sehingga Shilla sepertinya tidak curiga, kalau sebenarnya sejak Shilla pergi mengambil cemilan tadi, Rio malah berleyeh-leyeh ria.

Shilla meletakkan nampan yang dibawanya dengan hati-hati, kemudian merundukan kepala, mengamati soal yang ditunjuk Rio, "Oh, kenapa udah ngerjain yang itu ? Yang ini dulu aja, lebih gampang. Yang itu mah aku aja masih rada bingung." Shilla menggunakan telunjuknya untuk menunjuk-nunjuk deretan soal dalam buku tersebut.

"Oh, hehe..." Rio menyeringai lebar, lalu kembali berkutat dengan soal yang direkomendasikan Shilla, "Eh, iya Shil," Rio mendongakkan kepala, "Lusa, jadi kan nonton gue tanding ?" tanyanya, berusaha mencairkan suasana. Meski judulnya belajar bersama, tapi nggak asik juga kan kalau selama berjam-jam kedepan meraka hanya diam dan bergelut dengan beragam soal yang sudah menanti untuk ditaklukkan.

Bu Any, guru kimia mereka sering mengatakan bahwasanya, kelas XII bukan lah waktunya bermain-main dan santai-santai. Mereka harus rela meluangkan banyak waktu untuk mulai mempersiapkan diri menghadapi UN. Kegiatan yang kurang bermanfaat sebaiknya dihapuskan dari jadwal kegitan sehari-hari. Bahkan menurut beliau sebaiknya, siswa-siswa kelas XII berpacaran dengan fisika, kimia ataupun matematika, untuk sementara. Dan sepertinya, Rio serta Shilla adalah contoh murid teladan yang menuruti nasehat gurunya. Malam ini, mereka (terutama Rio) putuskan untuk melakukan pendekatan dengan 3 mata pelajaran angker itu. Sudah sekitar 1 jam Shilla menemani (atau memandori tepatnya) Rio agar belajar lebih.

"Emm, maaf ya Yo. Tap... Tapi, aku udah... Itu... Aku udaaah ada janji. Ya, aku udah ada janji, sama... Tante Gladys. Maaf yaaa." Shilla menjawab dengan suara terputus-putus dan terus bergerak gelisah ditempatnya.

"Janji ? Yaaah, tapi lo juga kan udah janji sama gue, Shil." Rio melemparkan pulpennya hingga beradu kecil dengan permukaan meja.

Shilla memasang raut sangat menyesal, tangannya terkatup didepan dada, "Maaf ya Yo... Jangan marah yaa, aku benar-benar serba salah kalau mau nolak waktu itu. Tante Gladys keliatan sedih banget setelah kejadian foto-foto itu. Aku janji deh, lain kali pasti aku datang dan nonton kamu dibarisan paling depan. Nggak pa-pa ya ?" Shilla mengangkat telunjuk serta jari tengahnya membentuk huruf V.

Rio memutar bola matanya, sambil mendengus sebal, "Ya udah lah." timpalnya, singkat sambil merengut.

"Yah, Rio ngambek deh pasti." Shilla mengerucutkan bibir, sambil merajuk menarik-narik lengan kiri Rio yang terkulai diatas meja kecil yang sengaja dipindahkan ke balkon untuk Rio dan Shilla belajar.
  
Shilla mendesah tak kentara. Lantas menopang dagunya di atas kedua tangan yang ditegakkan dengan siku sebagai titik tumpu. Matanya tak lepas dari sosok Rio, membuat pemuda itu sedikit jengah dipandangi Shilla tanpa berkedip seperti itu, "Jelek deh." cibirnya, sembari menjulurkan lidah.

"Hah ?"

"Kamu!"

"Kenapa ?"

"Jelek."

"Masa sih ?" Rio membenahi tatanan rambutnya. Sesudah itu, ikut bertopang dagu seperti Shilla dan balas mengamati lekuk wajah sempurna pahatan Sang Pencipta, yang dianugrahkanNya pada Shilla.

"Iya. Jelek banget kalau cemberut gitu."
  
"Gue tu ganteng kali. Muna aja lo bilang gue jelek." kelakar Rio, penuh percaya diri.

"Ih, emang selama ini nggak ada yang kasih tahu ya kalau kamu jelek ?"

"Ya nggak lah. Orang gue ganteng."

"Jelek."

"Ganteng."

"Jeleek."

"Ganteng."

"Jelek"

"Jelek."

"Ganteng."

"Nah, tu kan ganteng. Jujur kek dari tadi." pekik Rio sambil menunjuk-nunjuk Shilla yang menutup mulut dengan telapak tangannya.

"Ih, tadi tu keceplosan doang tauuu."

"Justru yang keceplosan itu biasanya jujur Shil."

"Ah, tau ah, makan ni jujur." Shilla melayangkan guling yang tadi bertebaran disekitar tempat belajar mereka, tepat mengenai wajah Rio.

"Duh, kuli deh tenaga lo Shil. Sakit tau." Rio meraih bantal yang paling dekat jangkauannya dan balik membalas Shilla yang menyeringai lebar ditempatnya. Shilla sempat berkilah, sehingga amunisi pertama Rio gagal mengenai sasaran.

Balas-membalas dengan saling lempar-lemparan bantal pun terjadi. Alhasil pecahlah perang bantal antara Rio vs Shilla dalam Matahari Room. Mereka berkejaran memutari ranjang, melompati sofa, mencari tameng, menggerutu ketika sasaran lemparan mereka meleset sedikit, persis seperti dua bocah SD yang ditinggal orang tuanya dan merasa bebas untuk melakukan apapun yang mereka mau dalam rumah. Tidak butuh waktu yang lama untuk meluluh-lantakkan kamar Rio yang semula tertata rapi itu. Ruangan itu, tampak seperti replika jalur gaza setelah digencar tentara Israel.

Eyang Putri dan Narendra yang sudah berdiri didepan pintu kamar (tanpa Rio dan Shilla sadari), hanya menggeleng-gelengkan kepala, dengan senyum kecil.

"Senang ya Ren, melihat mereka akrab seperti itu." Eyang Putri bersuara.

"Sangat, Mam. Rendra sangat senang. Rendra harap dengan memperlakukan Shilla sebaik mungkin, Lisha bisa lebih tenang."

"Ya, semoga." balas Eyang Putri, seraya memijat-mijat dahinya. Kepalanya terasa pening malam ini, mungkin karena terlalu lelah, menjamu tamunya, yang datang jauh-jauh dari Negeri Paman Syam sore tadi, "Kalau dilihat-lihat, mereka malah jadi seperti berjodoh ya, Ren? Mirip." imbuhnya, meracau.

Narendra tertawa ringan, "Hahaha, Mami ada-ada saja," Narendra terkekeh lagi.

"Papa, Eyang ?" Rio yang pertama menyadari keberadaan dua orang dewasa didepan pintu kamarnya. Dengan senyum mengembang, pemuda yang mewarisi garis ketampanan Sang Papa itu menyongsong Papa dan Nenek tercintanya, "Papa baru datang ?" tanyanya, kemudian mencium tangan Narendra.

Narendra menggangguk samar, "Ini pesanamu." ia mengangsurkan bungkusan kecil pada Rio.

Rio dengan cepat melongok isinya, "Yah, Rio udah beli Handphone Pa, sama Eyang." sahutnya setelah melihat isi bungkusan dari kertas berwarna cokelat itu.

"Udah terlanjur dibeli. Gimana dong ? Kamu simpan aja ya." Narendra membuka kedua tangannya, lantas mengendikkan bahu.

Rio tampak berpikir, lantas tersenyum sumringah, "Buat Shilla aja." usulnya.

Shilla menengok kearah Rio dengan cepat, "Hah ? Eh, nggak-nggak. Nggak usah. Kamu simpan aja Yo, aku udah ada Handphone kok." tolaknya, halus.

Rio merengut. Shilla paling benci ekspresi seperti itu, jurus andalan Rio agar semua orang menuruti kemauannya. Tapi anehnya, Shilla selalu meng-iya-kan keinginan Rio, setiap pemuda itu sudah memasang tampang belaga ngambek dengan tangan terlipat didada serta kedua bola mata yang memicing tajam.

Rio tidak mau menggunakan kata-kata untuk memaksa Shilla, salah-salah dia bisa menyinggung perasaan Shilla, mengingat handphone yang sekarang digunakan gadis itu adalah pemberian alharhumah Ibunya. Memasang ekspesi andalannya sepertinya lebih aman.

Dan. Sip. Selalu berhasil. Meski dengan sedikit enggan, Shilla akhirnya mau menerima handphone baru yang disodorkan kearahnya.

"Wah, berarti Shilla dapat dua hadiah dong. Oom juga bawa ini buat kamu." Narendra mengangsurkan sebuah boneka beruang manis berukuran sedang dengan bulunya yang halus, berwarna putih susu. Serta pita putih totol-tolol. Lucu sekali.

Mata Shilla berbinar-binar.

"Wah, manis banget." puji Shilla.

"Suka ?"

Shilla mengangguk cepat.

"Alvin ?" gumam Rio, menatap Papanya penuh arti.

Narendra menepuk puncak kepala putra semata wayangnya itu, mengerti maksud Rio, "Alvin juga dapat hadiah kok. Kamu kenal Papa kan Rio." balasnya, tenang.

Narendra memang jarang sekali berada di rumah. Tapi laki-laki bertubuh menjulang dengan perwatakan keras itu, tidak pernah mengabaikan putra-putranya. Dan setiap kali salah satu dari kedua putranya, 'memesan' sesuatu saat ia pulang ke rumah, Narendra selalu membelikan untuk keduanya, tidak pernah membeda-bedakan antara Rio dan Alvin. Paling hanya dari segi komunikasi saja yang berbeda. Narendra selalu menyempatkan menghubungi Rio, paling jarang seminggu sekali.

"Lho kok malah pada ngumpul-ngumpul didepan pintu gini ?" Gladys datang membawakan secangkir teh hangat untuk suaminya.

"Lho sayang, kok kamu tahu aku pulang ?" tanya Narendra heran, melihat istrinya yang sudah membawakannya secangkir teh, padahal mereka belum sempat bertemu. Narendra langsung menuju kamar Rio, disusul Eyang Putri, begitu mendengar suara teriakan-teriakan, yang ternyata, berasal dari Rio dan Shilla yang sedang menggelar perang bantal.

"Insting." sahut Gladys, diiringi senyum lembut.

"Hm. Tau deh, pasti jagoan Papa ini ya yang kasih tau ?" Narendra berjongkok, lantas mengelus-ngelus perut Gladys dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Ja-goan ?" pekik Rio, tertahan.

Narendra dan Gladys menoleh bersamaan, "Lho memang Mama belum kasih tahu kamu Yo, tentang calon adik kamu ?" Narendra menatap Rio dan Gladys bergantian.

"Mama hamil Rio, sekarang sudah memasuki bulan keempat. Kamu dan Alvin, sebentar lagi akan punya adik." papar Gladys, ragu. Ia sengaja tidak memberitahu Rio, karena tahu Rio tidak akan merespon positif. Malah bisa jadi, pemuda itu akan semakin membencinya.

"Wah, Tante Gladys hamil ? Ih, kok nggak kasih tahu Shilla, mana nggak kelihatan lagi hamilnya," Shilla mengamati Gladys dari atas sampai bawah. Bingung juga karena perut Gladys tidak terlihat membesar, atau mungkin karena wanita kalem itu sekarang lebih sering menggunakan baju-baju yang longgar, "Sebentar lagi ada adik bayi dong ya ? Selamat ya om, Tante." sambungnya, terlihat turut bahagia mendengar kabar baik itu.

"Iya mungkin karena baru masuk 4 bulanan Shil, jadi perut Tante belum buncit." Gladys melirik suaminya yang tertawa kecil, pun dengan Shilla yang menanggapi penuturan Gladys dengan senyum lebar.
 Sementara Rio, membesi ditempatnya. Tanpa berkata-kata lagi, pemuda itu segera pergi. Seruan Papanya dan Eyang Putri tidak digubrisnya. Tanpa menoleh sedikit pun, Rio menuruni anak-anak tangga, dua-dua sekaligus.

"Kamu kenapa Yo ?" batin Shilla. Ia paham betul bahwa berita bahagia kehamilan Gladys membuat pemuda itu merana.

***
Gabriel terlihat sangat tampan dengan setelan kemeja biru tua polosnya. Lengan kemeja panjang itu disinsingkan hingga ke siku, sangat match dengan jeans dan jam tangan hitam yang ia kenakan. Rambut lebatnya dibiarkan jatuh secara asal membingkai wajah lonjong pemuda itu. Aroma maskulin yang terkuar dari tubuh jangkungnya, benar-benar bisa membuat setiap gadis kepayang. Belum lagi, setangkai mawar putih yang ia sodorkan. Tidak akan ada gadis normal yang mampu menolak tebaran pesona seorang Gabriel, kecuali..... Ify. Justru gadis manis berdagu lancip itulah yang bisa mementahkan pesona Gabriel. Padahal Ify lah, gadis yang dikagumi Gabriel dalam diam, dicintai sepenuh hati meski tersembunyi, dijaga segenap jiwa meski dari jauh. Ify. Hanya Ify satu-satunya yang ia harapkan.
Gadis itu kini hanya berdiri santai, mengulurkan tangannya untuk meneriwa mawar putih yang diangsurkan Gabriel. Tidak ada pipi yang merah merona atau bahasa tubuh yang tersipu malu-malu, yang Gabriel terima hanya segaris senyum simpul dan ucapan terimakasih dari Ify.
Malam ini keduanya janjian untuk nonton. Saat Gabriel menjemput Ify dikediaman Sang Bunda, Ify tampak sudah siap. Gadis manis itu bertambah manis dalam balutan terusan berwarna senada kemeja Gabriel. Rambutnya yang indah, dibiarkan tergerai melewati bahu. Hanya sejumput poninya yang dijepit dengan jepitan mungil beraksen kupu-kupu.

"Berangkat sekarang ?" tanya Ify, sembari berusaha merapikan anak-anak rambutnya yang berterbangan dimainkan angin malam. Ify menerima ajakan nonton dari Gabriel sebagai ucapan terimakasih karena telah mengantarnya pulang tempo hari.

"Ya udah. Yuk." Gabriel mengulurkan tangannya.

"Fy !!" tepat ketika mereka baru saja berjalan beberapa langkah menuju ninja hitam Gabriel, seorang pemuda dengan penampilan awut-awutan menyebutkan nama satu-satunya gadis ditempat itu.

"Rio..."

pemuda yang disapa Rio tadi mendekat, dengan langkah terseok-seok, "Mau pergi ya ?" Rio mengeluarkan tatapan mengiba, yang diharapkan akan membuat Ify tetap tinggal dan mendengarkan leluh kesahnya.

"Iya sih, tapi.,"

"Ya udah, kalau gitu gue balik deh."

"Eh, tunggu Yo." cegah Ify, "Yel nontonnya lain waktu aja ya, nggak pa-pa kan ? Kayaknya Rio lagi kacau banget, gue nggak mungkin pergi. Nggak pa-pa ya. Maaf."

Gabriel mendesah kecewa, berjam-jam ia habisnya untuk berdiri didepan cermin. Melakukan berbagai eksperimen dengan gaya rambut dan baju yang akan digunakan untuk jalan dengan Ify malam ini. Berbagai kalimat dan topik obrolan bahkan telah ia siapkan, agar Ify terkesan dengannya. Bayangan tentang malam yang menyenangkan sudah menari-nari dengan lincah dalam angannya, tapi semua yang telah direncanakan, harus berai begitu saja, hanya karena kehadiran pemuda tidak penting dan menyebalkan bernama Rio Haling. Cih, nama belakang pemuda itu benar-benar membuat
Gabriel mual. Gabriel tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Kedua mata pemuda itu menghujam dua telaga bening milik Rio, yang kali ini tampak mengeruh.

Melihat Gabriel yang malah membatu, Ify menjadi tidak enak. Ia mengguncang-guncangkan lengan pemuda itu, "Yel !! Marah ya ?"

Gabriel terhenyak. Dengan kilat, diterbitkannya selengkung senyum, menutupi raut kekesalan yang sebenarnya telah terlanjur terbaca oleh Ify. Tapi sungguh Gabriel dan Rio sama sekali bukan pilihan, jiwa ataupun raga, mimpi atau terjaga, jelas Ify akan selalu mendahulukan Rio. Itu seperti jadi mutlak, tidak bisa dinego lagi.

"Ya udah Fy. Nggak apa, mungkin kapan-kapan. Kalau gitu aku pamit ya."

Ify menganguk lega. Tidak menunggu sampai Gabriel lenyap dari jangkauan pandangannya, bahkan sebelum pemuda itu menaiki motornya, Ify sudah berlalu dan menggandeng Rio menuju rumah. Gabriel mengepalkan tinjunya, menahan amarah yang mendidih dalam dadanya. Menekan luapan emosinya, untuk tidak menyusul dua orang itu, lantas menganugrahkan dua bogeman (lagi) pada Rio.

"Sial. Rio sial." makinya, sebelum menggas motornya gila-gilaan, menimbulkan deru yang memekik telinga.

Sementara Ify, gadis manis itu mengajak Rio duduk diayunan dari rotan yang dipasang bundanya dih alaman depan yang tidak begitu luas. Ify tidak mendesak Rio untuk segera bercerita, meski rasa ingin tahu dan berbagai dugaan menggelembung dalam pikirannya. Apa gerangan yang membuat Rio sekacau ini ? Terakhir kali Ify melihat Rio patah arang begini adalah ketika membaca surat kecil Acha. Lantas sekarang perkara apa lagi yang bisa membuat pemuda 'ramai' itu, nelangsa ?

"Tante Gladys hamil, Fy" lirih Rio tiba-tiba.

Ify menggeser duduknya menghadap Rio, mengernyit heran, “terus?” tanya gadis itu tak mengerti.

“Kok terus sih?” jawab Rio ketus.

“Ya maksud gue, terus kenapa? Tante Gladys hami? Oke, Fine. Itu kabar bagus dong. Terus kenapa elo keliatan semerana ini, bukannya lo harusnya seneng? Dari dulu kan Lo bilang lo pengen punya Adik cewek, harusnya lo bersyuk-“

“TAPI BUKAN DARI PEREMPUAN ITU IFY!”

Ify tersentak, gadis manis itu sampai reflek bangkit dari ayunan. Sekarang matanya menatap tajam pada sosok Rio yang menunduk seraya mengepalkan kedua tangannya. Napas pemuda itu masih menderu akibat usahanya meneriaki Ify tadi.

“Sorry,” lirih Rio.

Masih dalam posisi berdiri, Ify membelai puncak kepala Rio. Membiarkan pemuda itu menyadarkan kepalanya pada Ify, “Nggak apa-apa. Gue yang harusnya minta maaf. Maaf gue nggak peka, gue ga paham kalau lo masih belum bisa terima keberadaan Tante Gladys.”

Rio menarik napas berat, suaranya bergetar saat berkata, “Setelah anak itu lahir, Papa nggak bakal sayang lagi sama gue, Fy. Dan Mama… Mama pasti bakal semakin dilupain di rumah itu. Gue nggak mau fy, nggak mau…”

“Sssttt,” Ify berlutut dihadapan Rio, menggenggam kedua tangan pemuda itu yang terasa sangat dingin, “Jangan mikir hal-hal buruk, Rio. Gue mungkin nggak bisa kasih saran apa-apa karena jujur ini masalah internal keluarga lo. Tapi gue bakal temenin lo disini sampe lo ngerasa lebih baik dan habis itu kita pulang, ya?”

“Gue nggak mau pulang, Fy.”

“Yo, jangan kayak gitu.” Ify berujar dengan lembut, “Lo harus dewasa jangan kabur-kaburan gini, keluarga lo pasti khawatir. Kita pulang ya?”

“Sebentar lagi,” balas Rio. Pemuda itu memejamkan matanya, berusaha menenggelamkan segalanya dalam gelap. Berusaha mengosongkan pikirannya dari kenyataan yang tidak ingin ia percayai.

Ify mengangguk faham, kembali duduk di ayunan rotan di samping Rio. Mengamati wajah kunyu milik pemuda di sampingnya. Diam-diam ia rasakan pedih yang diderita Rio.

***


1 komentar:

ArthyKim mengatakan...

keren banget ini kak!!!
walaupun siaga Agan,Aya sama Kia udah di sebut tapi masih penasaran sama 'misteri' selanjutnya!

mau gimana si Rio? di suruh apa si Ify...
aaaa Rio jadi jahat aja deh yaaa -_-
jarang2 dia jadi peran antagonis,eh yang tau semuanya berarti cuma Ify sama Rio deng

aku suka sama bahasa tulisan kakak...
rasanya kayak baca novel giduuu

lanjut aja deh ya kak
jangan lama-lama yaaa :p

hihihi :D

Posting Komentar