Rahasia
Orion Part 6
"Bintang
Jatuh"
***
"Sore Kia…"
Kia. Entah
untuk siapa sapaan itu diucapkan. Tapi toh dua orang yang tengah duduk di
gazebo itu sama-sama terongong.
Sore Kia. Dua
kata itu di rapal riang oleh seorang gadis dengan terusan warna lilac, yang
kini tengah melangkah menyusuri jalan setapak berdasar rumput teki hijau
terang, menuju gazebo tempat Rio dan Alvin tertegun rapi. Gadis tadi menggigit
bibir saat menyadari efek sapaannya untuk dua orang pemuda itu. Ia menutup
mulutnya dengan telapak tangan kanan, sadar bahwa nama itu tabu untuk di
rapalnya. Ia tahu bahwa satu dari dua pemuda yang sama-sama memicing mata
kearahnya, mempunyai history dengan nama itu. "Maaf ya, kelepasan..."
Gadis manis berambut ikal itu berujar lirih sambil memetakan ekspresi menyesal.
Rio melirik Alvin yang kebetulan
juga tengah mengintip siluet saudara tirinya itu lewat ekor mata sipitnya. Rio
mengangkat bahu.
Gadis
tirus lantas ikut duduk bersama Rio dan Alvin di Gazebo kecil itu. Bangunan
mungil yang merupakan bagian dari rumah mewah keluarga Haling itu, seperti apa
yang pernah Shilla katakan, tampak sangat mirip dengan saung-saung di pedesaan.
Kayu-kayu jati penyusunnya halus dan rapi meski tanpa pelitur. Lantainya yang
terbuat dari bilah-bilah bambu akan selalu menyuarakan nada yang sama setiap
kali di duduki, kreyot-kreyot. Ditambah dengan kentungan berbentuk cabai yang
bergemelutuk saat tersentuh angin, dan samak (tikar) dari anyaman jerami-jerami
kering yang di gelar disana, ah, gazebo ini jadi seperti saung yang dicomot
langsung dari desa untuk melengkapi keunikan Rumah Besar.
"Gue baru buat brownies. Cobain
ya." pinta Ify dengan wajah berbinar berusaha mencairkan suasana yang
tegang akibat sapaannya tadi. Dibukanya tutup tempat kue yang di bawanya dengan
semangat, "Cobain deh, enak nggak ?"
Rio dan Alvin saling berpandangan.
Sebuat pertanyaan seperti tercetak jelas dan besar-besar pada kening kedua
pemuda tampan itu, aman-nggak-ni ?
Mengingat
track record Ify yang lebih sering gagalnya dibanding berhasil dalam memasak,
akhirnya dengan enggan Rio dan Alvin meraih masing-masing satu kerat brownies
buatan Ify. Setelah gigitan pertama, Rio dan Alvin kompak melahap sisa brownies
di tangan mereka dengan sekali suap, lantas buru-buru ditelan tanpa menguyahnya
lama-lama. Ketika potongan brownies itu berhasil melewati pangkal lidah,
keduanya mendesah lega.
Ify menatapi kedua pemuda itu dengan
siratan kecewa, "Segitunya sih kalian," katanya, ketus.
"Emm, sebenarnya nggak
parah-parah banget kok, Fy. Cuma gue saranin, kalau lo mau belajar masak,
mending dari yang gampang-gampang aja dulu." hibur sekaligus usul Rio,
pemuda itu juga masih ketar-ketir merasakan pahit yang masih menempel pada
lidahnya.
"Ya udah deh, ini biar gue
kasih kucing aja." Ify segera merapikan dan menutup kembali kotak kuenya.
"Yakin kucingnya mau ?"
celetuk Alvin, datar.
"Ih, lo jahat banget sih Vin,
ngomongnya."
"Emang. Gue jahat dan Rio baik,
semua juga bilang gitu." timpal Alvin, ketus.
"Udah Fy, jangan dengerin Si
Alvin." Rio mengacak poni gadis yang memilih duduk di sebelahnya itu,
"Eh, Fy. Katanya ada tugas bikin makalah Bahasa Inggris ya ? Buatin dong
Fy, lo kan jago tu kalau buatin kayak gituan. Yayaya, buatin ya." pinta
Rio.
"Hobi banget sih ngerepotin
Ify, kenapa nggak minta buatin Shilla." cibir Alvin yang kini mulai
terlihat sibuk dengan SLRnya.
"Eh, nggak pa-pa kok. Biar gue
aja yang buatin." sergah Ify. Setidaknya dengan begini Ify merasa di
butuhkan oleh Rio, "Oh iya, lo mulai masuk sekolah lagi, kapan Yo ?"
"Gue keasikan libur ni Fy, jadi
malas sekolah. Hehe."
"Ck. Lo tu udah kelas XII,
Mario. Jangan main-main gitu dong sama sekolah lo. Lo udah ketinggalan banyak
materi tau, pokoknya gue mau paling lama lusa lo harus udah masuk. Kalau soal
catat-mencatat, nanti gue sama Shilla bisa bantu." tutur Ify panjang
lebar. Persis seperti seorang Ibu yang menasehati putranya agar tidak nakal dan
harus rajin ke sekolah.
"Enak banget sih hidup lo,
Yo." sahut Alvin, singkat.
"Ya, beginilah nasib orang
ganteng, Vin. Apalagi gue orangnya suka nggak tegaan nolak bantuan dari orang
lain. Hehe." Rio terkekeh, kedua matanya yang masih sipit selepas tidur
siang, jadi tinggal segaris saat kedua ujung bibirnya ditarik membentuk senyum
memukau, "Iya, gue bakal masuk, fy.”
***
Potongan puzzle itu mulai dikirim
Orion...
Mungkin masanya telah tiba, sebuah
rahasia harus dikuar. Seharusnya penemu kepingan puzzle itu berkenan untuk
mulai merangkainya. Melongok pola hidup seperti apa yang sedang atau akan di
susun oleh sang takdir. Jika dulu kaki-kaki kecil milik bocah-bocah cilik itu,
bahkan belum cukup panjang untuk menjejak kulit bumi ketika mereka menunggangi
sepeda kumbang Eyang kakung, kini kaki-kaki itu telah begitu kokoh menyokong
tubuh masing-masing.
Sudah seharusnya, waktu mendewasakan
lakon-lakon itu.
Liku hidup yang terlalui, semestinya
membuat air mata mengkristal, tidak perlu ada tangis saat apa yang di harapkan
tak sesuai dengan yang telah di gariskan.
Ternyata ada rahasia kecil, di Rumah
Besar...
***
Ruangan
itu kosong, dalam artian tidak ada manusia lain selain Shilla, disana. Tadinya
gadis yang pandai memasak juga menyulam ini, berniat untuk duduk manis selama
menunggu kedatangan Eyang Putri, yang katanya menunggu Shilla di ruang kerja
Narendra Haling.
Tapi
ternyata, sulit untuk menahan dirinya agar tidak menelusuri ruangan yang baru
pertama kali dimasukinya itu, setelah sekian minggu menetap di Rumah Besar.
Ruangan ini terkesan begitu misterius, sama seperti pemiliknya yang lebih
sering berdiam khidmat dan memandang teduh pada Shilla, lewat kedua bola mata
di balik kaca mata tanpa bingkai yang sering digunakan putra tunggal keluarga
Haling itu.
Ada 3 lukisan
dalam ruangan ini, dan ketiganya menampilkan objek yang sama, pohon kiara.
Dengan daun-daunnya yang di pulas hijau cemerlang serta batangnya yang
kecoklatan, terbingkai anggun dalam figura-figura yang cantik. Shilla jadi
ingat, Rio pernah berkata bahwa Papanya sangat menyukai pohon Kiara.
Disisi
lain ada lemari kaca besar, memuat puluhan buku-buku tebal yang kebanyakan
judulnya berbahasa asing, dan satu set sofa warna karamel yang mengisi pojok
kanan ruangan ini. Penerangan yang minim, serta dominasi warna kecoklatan,
mempertegas kesan tenang dan tersembunyi.
Shilla
mundur teratur, sambil mengamati foto Rio kecil (balita tepatnya) bersama Papa
dan Almarhummah Mamanya yang dipasang didinding, bersisian dengan piagam
penghargaan untuk Narendra S. Haling sebagai pengusa muda terbaik, yang di
anugrahkan beberapa tahun silam pada pria itu. Wanita itu. Yang menggendong
bayi Rio, Shilla seperti sudah pernah melihatnya. Tapi enyah dimana. Tanpa
sengaja, lengan gadis itu menyenggol sebuah buku tebal bersampul merah hati
dengan gambar bendera Perancis. Buku itu jatuh berdegam, selembar foto keluar
dari dalamnya. Shilla meraih foto itu, keningnya lantas berkerut rapat. Itu
adalah potret Shilla cilik bersama Ibunya, "Kok om Haling punya foto ini
?" gumamnya pelan, satu pertanyaan baru tiba-tiba tercetus dalam benaknya,
"Narendra Haling. Kayaknya pernah dengar nama itu, tapi dimananya ?"
Tap-tap-tap
Dentum
suara sepatu yang kian jelas, mengisyaratkan seseorang telah berjalan mendekat
kearah ruangan ini, dan itu pasti Eyang Putri. Dengan asal Shilla meletakkan
foto dan buku tadi, "Mungkin Ibu pernah menyebut nama itu, wajar kan ? om
Haling kan sahabat dekatnya." begitu fikir Shilla.
Gadis yang
mewarisi mata jernih Sang Ibu itu, ternyata tidak mau repot-repot menyusun
potongan puzzle yang telah di kirimkan Orion. Ia lantas duduk manis di sofa dan
berlagak asik membolak-balikkan majalah flora yang di sambarnya dari kolong
meja kecil dihadapannya, tidak berminat untuk tahu lebih banyak lagi, mengenai
foto atau pun hal-hal lain yang berkenaan dengan hubungan persahabatan Sang Ibu
dengan Narendra Haling.
"Mengurus rumah saja tidak
becus. Rumput sudah setinggi itu tapi tidak di rapikan. Jam segini dapur masih
seperti kapal pecah. Dasar pemalas semua." gerutu Eyang Putri yang baru
saja masuk, seraya mengibas-ngibaskan kipas lipatnya di depan wajah.
Shilla tersenyum kalem, "Ada
apa Eyang ?" tanyanya, basa-basi.
"Eh, Shilla, sudah lama ?"
"Shilla juga baru datang kok.
Eyang ada apa cari Shilla ?"
"Oh, tidak apa-apa, Shil. Eyang
hanya ingin ngobrol denganmu. Tidak ke beratan bukan ?"
Shilla menggeleng.
Eyang Putri kembali bersuara,
setelah sebelumnya merapikan tatanan rambutnya yang tergelung anggun,
"Kamu betah tinggal disini, Nak?"
"Betah Eyang. Betah sekali.
Semua baik sama aku."
"Bagus kalau begitu,"
wanita tua itu merapatkan punggungnya pada sofa, "Rio juga sepertinya
menyukai kehadiranmu. Kalian terlihat cukup akrab. Sejak Rendra memutuskan
untuk menikah lagi, setahun yang lalu, anak itu jadi pemarah dan sensitif. Tapi
setelah kamu tinggal disini, saya lihat Rio jadi lebih sering tertawa dan
jarang marah-marah. Sifat manjanya juga sepertinya mulai hilang."
Shilla menarik satu ujung bibirnya,
"Hilang dari mana coba ?" batinnya sarkatis. Mengingat beberapa malam
yang lalu Rio merajuk di depan pintu kamarnya hanya untuk meminta Shilla
menemaninya makan malam, padahal waktu itu Shilla sedang asik bermimpi
candlelight dinner bersama pangeran tampan dari negeri antah-berantah, "Lo
nggak makan juga nggak pa-pa, temenin gue aja." begitu seloroh Rio, dengan
ekspresi anak kucing manis meminta semangkuk susu.
Atau Rio yang entah dengan alasan
apa, hanya mau digantikan perban lengannya oleh Shilla saja. Itu pun harus
extra pelan, atau pemuda itu dengan berlebihan, akan mengaduh kesakitan.
Tapi anehnya, Shilla selalu senang
melakukan apapun yang Rio minta. Ia tak pernah merasa keberatan atau pun merasa
di repotkan untuk itu semua. Tanpa sadar Shilla menggeleng malu-malu, bibirnya
tersenyum tipis.
"Kenapa Shil ?"
"Eh, emm... Enggak Eyang, nggak
pa-apa."
"Oh iya, saya dengar dari
Rendra, Ibumu telah meninggal. Saya turut berduka cita ya. Lalu bagaimana kabar
Ayahmu sekarang ? Dimana dia tinggal ?" tanya Eyang Putri hati-hati,
seolah kata-katanya ibarat jarum yang salah-salah bisa memecahkan sesuatu yang
telah di jaga dengan begitu apik.
"Ayah sudah meninggal sejak aku
kecil, Eyang."
"Meninggal ?" mata Eyang
Putri melebar seketika seiring dengan mulutnya yang ternganga.
"Kenapa ? Apa Eyang juga
mengenal Ayahku ?"
Eyang Putri mengulur napas panjang,
"Ti…Tidak. Saya tidak mengenal Ayahmu. Saya hanya mengenal Lisha, dia
perempuan yang sangat baik dan menyenangkan. Dia juga cantik sepertimu."
Shilla hanya mengangguk kecil. Sudah
banyak yang berkata demikian padanya. Bahwa Shilla memang sangat mirip dengan
Ibunya. Shilla lebih senang menggerai rambut panjangnya, sama seperti Lisha.
Warna kulit kuning langsat dan bibirnya yang merah alami, serta bulu matanya
yang lentik, juga benar-benar di warisi dari Sang Ibu. Bukan hanya soal fisik,
sampai masakan dan warna favorit pun Shilla idem dengan Lisha.
"Oh, iya kamu boleh menyimpan
foto ini." Eyang Putri mengulurkan selembar foto yang baru saja diambilnya
dari meja kerja Haling. Kertas bergambar itu mengabadikan dua lengkungan senyum
milik Lisha dan... Narendra Haling. Shilla merasa belum pernah melihat Ibunya
tersenyum begitu bahagia seperti dalam foto di tangannya.
Shilla
mengamati kertas bergambar itu dengan heran, sebetulnya seberapa dekat Ibunya
dengan Haling. Kenapa Haling tidak pernah mengunjungi Ibunya dulu ?
Saat gadis cantik itu mengangkat
wajahnya kembali, di dapati seraut senyum pada wajah Eyang putri, "Foto
itu sebagai bukti bahwa Mahesa dan Rendra bersahabat, tidak berarti apa-apa.
Saya hanya ingin setelah melihat foto itu, kamu tidak perlu merasa sungkan
terhadap keluarga ini. Kami semua menyayangimu, sama seperti kami menyayangi
Lisha." terang Eyang Putri, "Dan mengenai Ayahmu. Yakinlah, walaupun
dia tidak memelukmu, mengantarkanmu kesekolah, atau pun membelikan kado saat
ulang tahunmu, tapi Ayahmu juga pasti sangat menyayangimu juga." imbuhnya
dengan suara bergetar, seperti menahan tangis.
Siapa pula
yang tak merasa sakit, saat menerima kenyataan, belasan tahun seorang anak
terpaksa hidup dalam kebohongan, hanya karena perjanjian konyol, yang
terabaikan.
***
Horisan
tanpa pulasan jingga. Senja mulai merayap, tapi mendunglah yang berkuasa. Matahari
pulang ke peraduannya di giring gulungan awan hitam. Rintik gerimis mulai luruh
satu-persatu. Menimbulnya denting, ketika beradu dengan genting-genting
bangunan ini. Membuat bercak-bercak gelap padan jalana beraspal diluar sana.
Hawa dingin mulai ikut ambil bagian, menusuki setiap pori-pori kulit,
mengayun-ambing setiap insan agar segera merapat dengan kasur dan selimut
tebal.
Ify mendesah pelan, "Setengah
enam." katanya, setelah melirik jam tangan merah muda senada bando dan tas
selempang yang ia kenakan.
Gadis manis itu segera menggerakan
kursor dan melakukan beberasa prosedur untuk mematikan laptopnya. Setelah
selesai, Ify lantas merapikan serakan kertas-kertas penuh coretan yang memenuhi
meja di hadapannya.
Semuanya sudah rampung, dan Ify baru
menyadari sekelilingnya, sangat sepi dan mulai temaram, "Kayaknya udah
nggak ada orang di sekolah."
Ify baru
saja menyelasaikan cerita bersambung yang kelanjutannya harus segera di
setorkan ke Aruna, lusa. Dan untuk menulis dengan tenang, tentu tidak bisa
dilakukannya dirumah. Ayahnya sangat tidak suka melihat Ify menekuni dunia
tulis-menulis, dunia yang sebetulnya bisa membuat Ify merasa sangat bahagia.
Sebetulnya,
Ify mempunyai satu impian. Impian yang sama sekali tidak berkenan Ayahnya untuk
sekedar mendengarkannya. Ya, mendengarkan kemauan Ify akan jadi hal terakhir
yang ingin di lakukan Sang Ayah dalam hidupnya.
Masuk
jurusan bahasa dan ambil fakultas sastra untuk kuliahnya, itulah sebenarnya
impian Ify. Tapi tentu tidak akan pernah terwujud, karena ia merupakan salah
satu dari beberapa orang yang tidak diperbolehkan bermimpi dan memilih oleh
Sang Takdir. Kalau untuk kebanyakan orang, hidup adalah suatu pilihan, maka
untuk Ify kehidupan tak lebih dari sebuah keharusan yang menjenuhkan.
Kalau di
rumah, gadis itu harus bermain kucing-kucingan dengan Sang Ayah, setiap ingin
mengasah bakat menulis Ify yang didapat dari Bunda tercintanya. Ayah Ify
menginginkan putri semata wayangnya menjadi seorang dokter, dan itu sudah tidak
bisa ditawar lagi. Kadang Ify berfikir, hidupnya sama sekali bukan miliknya, ia
tak lebih dari seorang robot yang dipaksa melakukan banyak hal untuk
membahagiakan orang lain, bukan untuk kebahagiaan dirinya sendiri.
Ceklik
Glek. Ify menelan ludah. Detik
berikutnya, rasa panik mengbungkus rapat tubuhnya yang mematung.
Pintunya terkunci. Sepertinya
petugas sekolah tidak melihatnya didalam saat mengunci semua pintu ruangan.
Ify segera
mengaduk-ngaduk isi tasnya, mencari benda mungil, produk dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang kian hari, kian canggih. Setelah mendapatkan
handphonenya, Ify berniat menghubungi Alvin, tapi kemudian teringat isi sms
yang di kirimkan pemuda itu beberapa waktu yang lalu.
Gue mau hnting foto k kta tua. Mau ikt
g?
"Pasti Alvin belum pulang."
batin Ify. Dengan cepat, otaknya mengusulkan satu nama, di tekannya beberapa
tombol pada keypad handphonenya lalu benda mungil itu di dekatkan ke telinga,
"Halo Yo, lo dimana ? Oh, Ok. Ok. Sama supir kan ? Yo, jemput gue,
please..... Gue masih di sekolah... Ke kunci di ruang OSIS..... Iya, ya udah,
buruan ya Yo.... Gue takut ni, disini sepi banget. Ok. Gue tunggu."
Ify
menghela napas lega, Rio bilang sedang ditaman kota. Kalau tidak terjebak
macet, dalam waktu 15 menit, seharusnya pemuda itu sudah sampai di sekolah. Ify
mencoba untuk tenang, ia memilih duduk di salah satu kursi yang paling dekat
dengan pintu.
Sebentar-sebentar
gadis itu melirik jam tangannya. Sudah 15 menit, tapi Rio belum juga datang.
Langit di luar sana bertambah gelap. Guyuran hujan menjajah bumi tanpa ampun.
Ify semakin ketakutan, wajahnya pucat pasi, ketika di dengar bunyi
kresek-kresek dari dalam lemari besar tempat beberapa arsip lawas di simpan.
Kilat memainkan perannya, membelah langit dengan cahaya biru keunguan. Di susul
guntur yang ditabuh bersahutan bak genderang perang Negeri Indraprasta dan
Gandara. Membuat Ify terlonjak kaget dan semakin was-was. Di tambah lagi dari
luar terdengar bunyi langkah-langkah kaki. Padahal tidak ada deru mobil yang
datang sejak tadi. Mulut Ify terus berkomat-kamit merapal doa, lengannya
memilin-milik rok dengan gelisah. Suara langkah kaki itu kian dekat kearah
Ruang OSIS. Suara apa itu ? Rio kah atau.....
"KYAAA... Bukain dong, gue
mohon. Siapa pun, tolong bukain. Ya Tuhan lindungi hamba. Toloong..." Ify
berteriak sekencang mungkin, sambil menggebrak-gebrak daun pintu yang masih
tertutup rapat.
Sedangkan
diluar, tak jauh dari Ruang OSIS, Gabriel tertegun. Menatap langit yang dengan
brutal tengah mencurahkan hujan. Pemuda yang menjabat sebagai ketua ekskul
jurnal itu, baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai editor majalah Aruna.
Ketika hendak pulang, hujan deras malah menghadangnya.
Lamat-lamat
Gabriel mendengar teriakan panik yang di serukan Ify. Sedikit enggan, Gabriel
mencari sumber suara itu. Dalam hati, ia mengucap doa. Semoga yang di dengarnya
adalah benar suara manusia. Bukan makhluk halus, jin atau saudara-saudaranya.
"Ify ? Yang didalam kamu, Fy
?" tanya pemuda itu, setelah memastikan bahwa teriakan tadi berasal dari
Ruang OSIS. Gabriel yakin, yang tadi di dengarnya adalah suara Ify. Percuma
mengagumi Ify hampir dua tahun kalau suara manja khas gadis itu saja , ia tidak
mengenalinya.
"Iya Yel, ini gue. Tolong
bukain, gue ke kunci." sahut suara dari dalam.
"Ok. Ok. Kamu minggir ya Fy.
Pintunya biar aku dobrak."
Pemuda itu
mengambil ancang-ancang. Dengan kekuatan penuh, dibenturkannya tubuh bagian
kanan pada pintu, beberapa kali. Pada kali ketiga, pintu baru terjeblak
terbuka. Bersamaan dengan itu, Rio datang bersama Shilla dan supirnya. Tanpa
aba-aba apaun, Ify yang telah berhasil keluar dari ruangan yang hampir
membuatnya mati ketakutan tadi, lantas berlari melewati Gabriel dan langsung
menubruk tubuh tegap Rio. Pemuda itu sampai terhuyung beberapa langkah
kebelakang. Ify menumpahkan tangisnya pada dada bidang Rio, memeluk pemuda itu
dengan kedua tangannya yang gemetar, "Rio... Rio.." nama itu beberapa
kali terdengar diucap dengan lirih, di sela tangis ketakutannya.
Gadis yang
mahir berbahasa Belanda itu, entah terlalu sibuk menangis atau masih di dera
kepanikan, sampai-sampai ia melupakan dua hal yang sebenarnya cukup krusial.
Pertama,
ia lupa mengucapkan terima kasih pada orang yang menyelamatkannya tadi. Karena
sialnya, dewa penolong itu bukan seperti apa yang diharapkan Ify, dia bukan
Rio, bukan Rio.
Kedua,
seharusnya ia menyadari, bahkan Rio tidak bereaksi apapun setelah Ify menangis
tersedu-sedu di dekatnya. Tidak balas merangkul atau mengelus lembut rambut
Ify, bahkan kedua bibirnya masih terkatup rapat. Tidak ada kalimat-kalimat
penenang yang seharusnya di dengar Ify. Lengan kanan pemuda itu tergantung di
samping tubuhnya, sedang yang lain masih bertautan dengan jemari gadis cantik
yang menatap Ify dengan ekspresi yang sulit diartikan. Oh, mungkin Rio
bereaksi. Ya, reaksi yang bisa di sebut penolakan, barangkali. Rio tamp[ak
sekali kurang nyaman mendapat pelukan dari gadis yang hampir selama 6 tahun
menjadi sahabatnya itu.
Tanpa ada
yang mencoba untuk mendengarnya, malam ini, ada tiga tangisan yang mengguyur
bumi. Tangisan langit, tangisan Ify dan tangisan sebentuk hati milik Gabriel. Ia
merasakan denyutan menyakitkan yang mengoyak hatinya, membuat kakinya harus
mengeluarkan kekuatan extra untuk tetap dapat berdiri tegak. Nyeri itu ternyata
bukan hanya pada tubuhnya yang berkali-kali bertumbukan dengan pintu, tapi juga
pada hatinya.
Apa disaat
sepanik itu, Ify masih sempat memilih atau memang nalurinya yang bekerja ?
Naluri, dimana hanya ada nama Rio yang terpahat begitu dalam, disana.
Kenapa ia tidak pernah diinginkan
oleh semua orang, seperti Rio ?
Kenapa gadis itu selalu
mengabaikannya, setiap kali ada Rio ?
Sebenarnya, apa dosa yang pernah
dilakukannya pada pemuda itu , mengapa Rio selalu menghancurkan kehidupannya ?
Air langit
boleh saja luruh, udara boleh saja dingin, tapi tidak dengan hati Gabriel.
Setelah apa yang di lihatnya, saat Ify berlari melewatinya. Saat Ify merengkuh
tubuh milik pemuda lain. Saat Ify lebih memilih menumpahkan tangisnya di dada
Rio. Ah, mungkin Gabriel akan belajar merelakan Ify bersama Rio, kalau saja Rio
bisa menjaga dan menyayangi Ify. Tapi sekarang lihat saja, pemuda itu malah
bergeming, "Lo brengsek, Yo." tutur hatinya.
Potongan
adegan-adegan tadi, bagai api yang kemudian menyulut bambu-bambu kebencian.
Asap kemarahannya mengepul dan membuat sesak. Menyisakan jelaga yang kian
berkerak, membuat sebentuk hati itu makin gelap dan menyedihkan.
***
"Lo suka bintang ya ?"
suara baritone Rio terdengar kembali, setelah beberapa menit terlewati dalam
diam.
Ah, tapi
tak selamanya kata-kata itu penting, bukan ? Kadang diam, bisa lebih pandai bercerita
dan mengungkap apa yang oleh lisan sulit terungkap. Ada deburan kecil yang
menggetarkan jiwa, saat dua telaga beningnya melirik siluet cantik milik Shilla
dan Rio baru menyadari itu. Rio juga baru tahu, duduk berjam-jam bersama Shilla
tidak pernah membuatnya bosan, walaupun keduanya lebih banyak diam dan hanya
memandangi langit gelap dengan bintang-bintang yang jumlahnya tidak begitu
banyak.
"Nggak." jawab gadis yang
duduk disamping Rio, sambil memeluk lututnya.
"Kalau gitu lo pasti suka bulan
?" tanya Rio, lagi.
Yang
diajak bicara, hanya menjawab dengan gelengan kepala. Sepertinya, gadis itu
tengah berkonsentrasi penuh mengamati langit kelam yang memayungi bumi, malam
ini. Seolah-olah ada sesuatu yang amat penting yang akan muncul dari langit dan
ia akan sangat menyesal kalau sesuatu itu terlewat.
"Terus, kenapa lo ngeliatin
langit sampai segitunya ?"
Tanpa menoleh, gadis yang mengenakan
piama biru tua dan sendal kelinci lucu itu menjawab, "karena aku suka
malam.”
"Malam ?" Rio melirik
gadis di sebelahnya dengan kening berkerut tipis, "Kenapa ?"
lanjutnya, bertanya.
"Karena, kalau malam, nggak ada
matahari. Nggak ada surya."
"Haha," Rio tertawa
mendengar penuturan gadis di sebelahnya, "Ya iyalah Shil, di belahan bumi
manapun kalau lagi malam pasti nggak ada matahari. Alasan lo aneh deh."
cibir Rio.
Shilla menoleh, mencondongkan
kepalanya sedikit ke kanan. Mata indahnya berkilau, memantulkan cahaya bulan
sabit yang bercokol anggun di peraduannya. Ditatapi pemuda tampan itu dengan
seksama, "Tapi buat aku nggak sesederhana itu Yo." sahutnya,
"Matahari itu surya, surya itu matahari. Dari kecil aku nggak suka
matahari, karena tiap liat matahari aku selalu ingat Ayah. Ayah jahat, dia
pergi bahkan sebelum aku punya sesuatu tentang Ayah, yang bisa aku
kenang." tutur Shilla seraya menerawang. Menenggelamkan diri dalam
genangan kisah manis yang kemudian jadi tangis miris saat Sang Ibu pada
akhirnya juga harus berlutut takluk pada maut.
"Tapi itu kan takdir, Shil.
Siapa sih yang mau mati ? Nggak ada, termasuk Ayah lo."
"Pada awalnya aku juga berfikir
kayak gitu, tapi setelah aku dewasa, aku rasa ada yang aneh. Aku dan Ibu nggak
pernah dapat kunjungan dari keluarga Ayah. Mungkin kami adalah orang-orang yang
nggak pernah di harapkan kehadirannya di kehidupan Ayah. Mungkin aja Ayah
tinggalin kami gitu aja, tapi Ibu tutupin semuanya dari aku, bisa aja kan
?"
"Lo terlalu banyak nonton
sinetron deh Shil. Dugaan lo itu berlebihan."
"Kamu bisa bilang gitu, karena
kamu nggak tau gimana rasanya nggak punya Ayah. Ayah kamu baik dan sayang
banget sama kamu." ujar Shilla, tertahan. Suaranya bergetar, ia sudah
ingin menangis. Tapi tidak, tidak di depan Rio lagi.
"Hei." Rio membentangkan
kedua tangannya, kemudian merengkuh Shilla menyandarkan kepala gadis itu pada
pundaknya, "Jangan sedih gitu dong. Mulai sekarang, Papa gue itu Ayah lo.
hibur Rio, sehalus mungkin.
Shilla
tersenyum bahagia. Tuhan memang maha adil. Shilla fikir setelah Ibunya
meninggal ia akan merasa sendiri dan kesepian, tapi ternyata di tempat yang
baru ini, Shilla menemukan begitu banyak orang-orang yang peduli dan
menyayanginya.
"Bintang jatuh, Yo."
Shilla menarik tubuhnya dari pelukan Rio, ia menunjuk kelebatan cahaya
keperakan yang meluncur cepat dari langit, "Make a wish." seru gadis
itu, ia sudah lebih dulu menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan
memejamkan mata, bibir tipisnya bergerak-gerak merapal sesuatu. Rio malah asik
memandangin Shilla yang dengan naifnya masih percaya pada keajaiban yang dibawa
bintang jatuh. Pemuda itu tersenyum kecil, sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Beberapa waktu kemudian, Shilla
telah usai dengan acara 'make a wish' nya. Diusapkan kedua telapak tangannya
kewajah, sambil bergumam, "Amin."
"Masih percaya Shil, sama yang begituan
?" tanya Rio.
Shilla menggeleng, "Nggak juga
sih, tapi lucu aja gitu. Hehe. Eh, kamu tadi minta apa ?" tanya Shilla
dengan nada riang, sepertinya ia sudah melewati fase-fase mellow pasca
mengingat Ayahnya, tadi.
"Minta supaya mama selalu bahagia
dan di kasihi Tuhan." jawab Rio asal, karena jelas-jelas ia tidak meminta
apapun tadi, malah sibuk menatapi profil Shilla. Tapi ia tak sepenuhnya
mengarang, permintaan seperti yang Rio sebutkan tadi memang selalu di rapalnya.
Ada ataupun tidak ada bintang jatuh, Rio selalu mendoakan Mama tercintanya.
"Itu aja ?"
Rio mengangkat kedua alis tebal yang
melintang diatas kedua bola matanya, "Emang lo kira, gue mesti minta apa
lagi ? Gue udah punya semuanya. Jadi orang kan nggak boleh serakah Shil, nanti
Tuhan marah. Gitu kata Mama, dulu." papar Rio.
Shilla mengetuk-ngetukkan
telunjuknya pada dagu, "Iya juga sih, kamu mau minta apa lagi coba, kamu
udah punya segalanya." aku Shilla.
"Kalau elo ?"
"Emm... Kalau aku punya dua
permintaan. Pertama aku minta supaya Mama selalu bahagia dan nggak perlu
ngerasani sakit lagi kayak dulu. Dan yang kedua, aku minta..." Shilla
menggantung kalimatnya sampai disitu, tiba-tiba saja wajahnya terasa panas.
Sepertinya darah sedang melakukan keduri pada kedua pipinya, hingga kini merona
merah, "Aku minta... Aku.. Minta Kamu.." selesai berujar demikian,
Shilla berdiri lantas berjalan meninggalkan gazebo yang mulai rutin mereka
kunjungi setiap malamnya sejak satu pekan terakhir.
"Shil, mau kemana ?" tanya
Rio. Pemuda itu sebetulnya masih sedikit bingung mengartikan 'aku-minta-kamu'
nya Shilla tadi. Seharusnya ada kalimat penjelas setelah tiga kata itu,
misalnya aku minta kamu jadi kakakku, atau aku minta kamu jadi teman aku,
sahabatku, pacarku, atau aku minta kamu menemaniku, pokoknya kalimat penjelas
lah. Bukan sekedar pernyataan gantung seperti yang Shilla ucapkan.
"Kedalam. Aku ngantuk. Lagian
udah malam." jawab Shilla, yang sudah sampai pada jembatan kecil yang
merentang diantara kolam ikan besar di salah satu sudut halaman Rumah Besar.
"Oh, good night kalau
gitu."
"Night too."
Shilla
langsung berlari kecil, memasuki Rumah Besar. Selepas kepergian Shilla, Rio
tertegun. Ia menyadari, ada sesuatu yang tidak biasa yang sedang terjadi pada
dirinya. Dulu Rio pernah memohon satu permintaan, agar Tuhan membiarkannya
jatuh cinta lagi, setelah kepergian Acha. Dan mungkinkah apa yang ia rasakan
pada Shilla adalah jawaban atas doanya selama ini?
Pluk
Sebuah pesawat dari kertas, entah
berasal darimana tiba-tiba saja mendarat mulus tepat diatas punggung Rio. Rio
lantas menoleh, diraihnya pesawat kertas itu, "Ada tulisannya," gumam
Rio.
Anggaplah ini analogi.
Adakah sama ulat dengan perasaanku,
Rio ?
Ulat itu menjijikkan. Kalau kamu
janjikan kelak ia akan jadi kupu-kupu cantik, ulat itu rela meluangkan
waktunya, lebih dari yang pernah diluangkannya. Ulat itu bersedia ditutup,
diselubungi serat-serat lapisan kepompong. Disembunyikan dulu sebelum akhirnya
jadi indah.
Tapi kalau kamu tidak bisa berjanji
bahwa kelak ulat itu akan jadi kupu-kupu. Biarkan saja ia mati. Jangan peduli.
Jangan beri daun-daun harapan yang hanya akan membuatnya tumbuh kian besar dan
tambah menjijikkan.
Pun dengan perasaanku Rio, adakah
kamu mau menyadarinya. Di alam mimpi pun tak apa, mau kah kamu menjanjikan aku
sesuatu ? Agar ada alasan buatku menunggu lebih lama, karena sejujurnya, aku
belum ingin menyerah.
Rio membaca tulisan yang menyemut
rapi, mengisi pesawat kertas tadi, "Rio ? Rio gue ? Tapi siapa yang nulis
ini ?"
***
"Kalian berdua kan sudah kenal
dekat dengannya, bagaimana ?"
"Lupakan dia Vin, Mama hanya
ingin kamu bahagia. Ini masa depanmu. Dan manusia hidup untuk masa depan, bukan
bertahan dengan masa lalu."
"Menurut Rio itu konyol, pasti
rasanya aneh."
Dalam
balutan diam, dialog-dialog itu justru kegirangan. Seperti mendapat sound
terbaik untuk terus berdengung, mengusik Alvin.
Seperti
teratai yang mengapung pada permukaan air, kemudian dilempari kerikil, setika
ia jadi oleng. Alvin ingin berkata tidak, tapi rasanya sulit sekali. Ah,
benar-benar tidak enak. Gamang. Tak ada yang jelas dan pasti.
Semua jadi
seperti tebak-tebakkan. Ia bisa saja bahagia, tapi tidak tertutup kemungkinan,
Alvin akan menyesali keputusannya di kemudian hari. Kenapa sih, Alvin tidak
bisa seperti Rio yang mulutnya benar-benar mewakili hatinya. Sedangkan ia,
terlalu banyak berfikir dan menimbang.
Pemuda
berwajah oriental itu, terduduk dikusen jendela kamarnya. Sepertinya Alvin
berniat menghabiskan sisa malam disitu. Saat ditatapnya langit dengan pandangan
nanar, dua bola mata sipinya menangkap kelebatan cahaya keperakan dari langit,
Alvin segera merapal doa dalam hatinya. Sebetulnya, ia tidak percaya dan
menganggap hal ini konyol, tapi untuk kali ini, ia benar-benar berharap bintang
jatuh atau apapun yang baru saja dilihatnya itu dapat membawa sebuah keajaiban
untuk hidupnya.
“Apa ini saatnya aku lupain kamu,
Aya?”
***
"Love you, dear."
"Me too."
klik.
Sambungan telepon terputus. Ify
tersenyum lebar sesudahnya. Mendengar suara penelpon tadi, suara Bundanya, memang
benar-benar bagai mereguk air es teh manis favouritenya, di tengah Sahara.
"... Juara tidak selalu yang
pertama atau yang terdepan, Ify. Tapi mereka yang berjuang sungguh-sungguh dan
mereka yang bersabar juga seoarang juara..."
Kalimat
itu adalah bagian dari dialog yang dilakukan via telepon oleh Ify dan seseorang
di seberang sana, barusan. Gadis itu berniat kembali menata hatinya, menjadikan
kata-kata tadi sebagai pondasi. Harapan yang ia bangun selama ini, tidak boleh
porak-poranda, hanya karena gadis desa seperti Shilla.
Tadinya
Ify sempat berfikir Rio tidak lagi peduli padanya setelah ada Shilla, karena
selama perjalanan pulang setelah Ify terkunci di Ruang OSIS, Rio malah lebih
banyak bergurau dengan Shilla dibanding menanyakan bagaimana keadaannya? Tapi
fikiran itu segera ditepis, ketika pesan singkat yang di kirimkan Rio, masuk
dalam list inbox nya.
Gue khawatir, Fy. Lo gk pa-pa kan?
Meski
terkesan terlambat, tapi tak apa, toh pesan itu tetap mampu membuatnya sedikit
merasa lebih baik. Ify mengulas senyum simpul, seraya memandangi LCD ponselnya.
Ia beringsut bangun dari posisi tengkurap di kasur empuk ber-bed cover gambar
bunga-bunga lavender itu, lantas beralih duduk di depan meja belajarnya. Ada
tumpukkan buku-buku, alat-alat tulis, frame foto, dan pernak-pernik lainnya.
Tepat diatas meja bercat pastel itu, tertempel jadwal pelajaran kelas XII MIPA
1.
Gadis
pendiam itu, kemudian menggerakkan jari-jari lentiknya, meraih secarik kertas
yang tadi sudah dibubuhi beberapa kalimat dengan tinta hitam. Kertas itu,
dilipatnya membentuk sebuah pesawat mainan. Simpul-simpul lipatan itu dengan
rapi membentuk pesawat kertas yang lucu. Dengan langkah pelan, Ify berjalan
menuju balkon kamarnya. Balkon di seberang sana masih menyala lampunya, berarti
pemiliknya masih terjaga.
"Bintang jatuh," desis
gadis manis itu, ketika cerca sinar keperakan itu terlihat olehnya, meluncur
membelah langit malam, "Bintang bawa surat kecil ini pada orang yang
memang pantas membacanya." pinta Ify dalam hati. Lantas di terbangkanlah
pesawat kertas itu, lalu di pandangi hingga menghilang.
"Ify..." suara berat
seseorang menyerukan nama gadis yang tengah asik melamun di balkon kamar itu.
Ify menoleh.
***