***
Sesuatu yang membuatmu menunggu akan terasa lama datangnya. Nikmatilah, resapilah setiap sedihmu. Renungi tetesan air matamu. Biarkan semua bergulir semestinya. Berjalan selaras alurnya. Dan, kebahagian itu akan menghampirimu. Semua akan jadi sempurna, bila masanya memang telah tiba.
***
Hiruk pikuk dan bising luar biasa yang menjadi backsong untuk satu lagi scene dalam kehidupan berlatar bandara ini, agaknya membuat gerik gelisah seorang pemuda, terabaikan. Jangankan orang-orang dengan koper dan tas-tas besar yang sekedar berlalu lalang didepannya, bahkan gadis berpipi gembil yang duduk disampingnya pun tampaknya tidak bisa membaca gelagat resah pemuda tampan itu. Berselang dua kursi dari pemuda tadi, dua lelaki paruh baya sedang duduk khidmat dalam diam. Pemuda tadi menoleh kearah dua lelaki paruh baya itu, sedetik kemudian ia tersenyum lebar. Seakan memperoleh kembali secerca kemantapan yang tadi sempat menguap, karena bayangan sempurna milik seorang gadis.
"Ini demi, Ayah." bisiknya, pelan.
"Kenapa, Kak ?" sahut, gadis disebelahnya, yang ternyata cukup cermat untuk mendengar ucapannya.
"Eh, gak kok Ke, gak pa-pa." jawab pemuda tadi seraya menggeleng.
"Oh" Keke membulatkan bibir, "Em, Kak Cakka sedih ya harus ninggalin temen-temen Kakak ?" tanyanya, prihatin.
"Bohong Ke, kalau gue bilang gak sedih. Apalagi keadaannya sekarang kayak gini. Harusnya sebagai sahabat gue ada disamping mereka, bukan malah pergi kayak gini. Tapi ya... mau gimana lagi ? Ini semua juga kan demi Ayah." terang Cakka dengan pandangan menatap lurus ke depan, datar tanpa ekspresi.
"Semoga semuanya berjalan lancar ya Kak. Jadi lo bisa cepet balik ke Indo. Em, ngomong-ngomong lo udah pamitan sama Kak Agni kan ?"
Cakka menoleh sekilas pada Keke, lantas mendesah tak kentara, "Udah Ke." timpalnya singkat.
Keke menepuk pundak Cakka, "Gak usah sedih gitu dong mamen. Kakak kan ganteng, di Singapore pasti banyak cewek-cewek cantik yang bakal naksir sama lo, Kak. Keep smile." Keke berusaha menggoda sepupu kesayangannya itu, berusaha membuatnya kembali tertawa.
Tapi sepertinya Cakka benar-benar sudah kehilangan kotak suaranya, ia hanya tersenyum tipis pada Keke.
"Gak asik deh." Keke menyikut pinggang Cakka.
"Gue tu sayang banget sama Agni, Ke. Secantik apapun cewek Singapore, gue gak yakin bisa bikin gue lupa sama Agni."
"Lagian ya, lo tu aneh-aneh aja sih Kak. Perasaan orang lo pake mainan, wajarlah orangnya sakit hati. Udah untung lo gak dibikin bonyok, lo bilang Kak Agni kan jagoan."
"Tapi kan paling nggak, karena taruhan itu gue jadi tau, bahwa gak semua cewek kayak nyokap gue. Yang ninggalin bokap cuma karena harta yang lebih. ada juga cewek yang baik kayak agni misalnya. Kalaupun akhirnya Agni benci sama gue, ya mungkin ini karma atas perbuatan gue selama ini."
Keke tersenyum kecil, "Sabar ya Kak, gue yakin, kalau kak Agni itu jodoh lo, dia bakal balik lagi ke elo." ujar Keke, penuh arti.
"Gue gak berani berharap lebih Ke, buat gue, Agni gak benci sama gue aja itu udah lebih dari cukup." Cakka tertawa miris diujung kalimatnya.
"Siapa bilang gue benci sama lo ?"
Ada bayanganmu dimataku
yang selalu membuatku rindu
aku yakin diantara kita masih ada cinta
bagaimana caranya, oh cintaku
kuingin juga kau mengerti
bagaimana caranya ??
Suara itu, reflek membuat Cakka menoleh. Ketika didapatinya sosok Agni dengan kedua tangan bertumpu pada lutut, nafas yang tersengal dan dandanannya yang berantakan, seluruh otot dalam tubuh Cakka mengejang seakan serentak melakukan kontraksi. Ah, betapa dalam keadaan seperti apapun, gadis itu tetap terlihat sempurna dimata Cakka.
"Agni..." gumam Cakka, setelah yakin kakinya masih berpijak pada bumi. Karena sesaat tadi, mendengar suara Agni membuatnya kepayang dan serasa diterbangkan ke langit tingkat tujuh.
"Kok elo disini, Ag ?" tanyanya, heran.
"Gue mau nganterin lo, sampe Bandara."
Cakka lagi-lagi mengurai senyum, "Gue kira dihari keberangkatan gue ini. Gak ada satu pun diantara kalian yang bakal say good bye sama gue di Bandara. Thanks ya lo udah nyempetin dateng kesini."
Agni mengangguk, "Sekalian Kka, ada yang mau gue omongin sama lo. Lo masih lama kan berangkatnya ?"
"Ya, masih lumayan lama sih. Mau ngomong apa Ag ?"
Agni terdiam sesaat, menatap dua bola mata milik Cakka yang dipenuhi sorot ketidak-mengertian dan satu sorot lagi, yang terasa begitu menohok jantung Agni. Ada sesuatu disana. Begitu nyata. Jelas. Sesuatu yang tidak mungkin bisa direka, butuh kemampuan setingkat lebih tinggi dari peraih piala oscar untuk kategori aktor paling berbakat, kalau ingin menyuguhkan acting sesempurna itu. Binar itu tidak mungkin berbohong. Cakka. Pemuda itu memandangi Agni dengan tatapan penuh kasih. Agni tidak mau menipu diri, ia mengakui tatapan Cakka itu membiusnya.
Ah, astaga... kemana saja gadis ini. Bukankah pemuda tampan dihadapannya itu telah puluhan atau bahkan mungkin ratusan kali menyatakan kesungguhannya. Hanya terabai. Pengakuan Cakka hanya sepintas mengusik gendang telinganya, lalu menghilang tersalip dengung tangis kecewa milik Agni sendiri.
"Cuma dua hal Kka. Pertama, gue udah maafin lo. Dan kedua, jangan... lama-lama ya Kka di Singaporenya." tutur Agni sambil menunduk.
Haruskah ku teteskan air mata dipipi
haruskah ku curahkan s'gala isi di hati
haruskah kau ku peluk dan tak ku lepas lagi
agar tiada pernah ada kata berpisah
Seperti orang yang disuguhi kopi rasa jus jambu, Cakka melongo. Tertegun. Setengah tak percaya, pada akurasi pendengarannya. Tidak lantas tersenyum, Cakka malah jadi sangsi dengan ucapan Agni barusan. Ia yakin ada yang tidak beres. Beberapa hari yang lalu Agni masih menatapnya dengan marah dan menuduh, masih bersikap tak acuh, bahkan seingat Cakka, Agni bilang kalau gadis itu masih begitu sakit hati pada Cakka.
Alih-alih bersorak riang mendengar dua kabar baik yang disampaikan Agni, pemuda itu malah bertanya dengan enggan, "Lo gak lagi bohongin gue kan Ag ?"
"Bohong ? Ya, gak lah. Bukannya yang selama ini suka bohong tu elo ya ?"
"Maksud gue bukan gitu Ag, lo gak lagi disuruh anak-anak kan buat ngomong kayak tadi sama gue, cuma buat bikin gue seneng sebelum ke Singapore ?"
"Ck. Cakka Kawekas Nuraga, gue yang bernama Agni Tri Nubuwati, membuat pernyataan tadi dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Jelas ?" tandas Agni, sedikit geram.
"Ja.. jadi.. Lo gak benci sama gue Ag ?"
"Gue emang sempet marah sama lo, tapi kalau benci sih... kayaknya nggak deh."
"Tapi bukannya dua hari yang lalu pas kita ke rumah pohon, lo masih marah banget sama gue seka.."
"Ya, gue gak tega aja kalau elo sampe nangis-nangis tiap malem cuma gara-gara gue. Makanya hari ini gue bela-belain nyusulin lo kesini." balas Agni santai.
"Nangis ? Gue ?" Cakka mengarahkan telunjuknya kedepan wajah, "Ya, gak mungkinlah. Gue sampe nangis, gue kan cowok." sergahnya.
"Masa sih ? Kata Keke lo suka nangis semenjak gue putusin." goda Agni.
Cakka langsung memandangi Keke dengan tatapan ngomong-apa-aja-lo-mulut-ember.
Faham, medan sudah berubah. Keke langsung mengangkat telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V, lantas memajang wajah polos bak anak kucing tanpa dosa.
Keke menyeringai lebar, "Pease mamen. Hehe. Kak Cakka jangan melotot gitu dong, serem tauuu." ujar Keke, cengengesan.
"Kok bisa sih kalian ketemuan, gak ngajak-ngajak gue ? Ngomong apa aja lo setan cilik, aib gue yang mana, yang lo bongkar ?" tanya Cakka, berang.
"Aduh please deh kak Cakka. Gak usah nanya yang mana, hidup lo tu kan emang udah aib semua. Lagian gue juga cuma bilang, setelah diputusi kak Agni, lo tu jadi aneh. Gak mau makan, suka bengong, dengernya lagu-lagu mellow, suka ngemil makanan kucing gue, trus jadi sering-sering nulis diary, sama nangis-nangis dipojokan kamar." Keke menganbsen satu persatu aib Cakka.
"Kekeee, lo apa banget deh. Fitnah. Sejak kapan gue suka nulis diary, lo kira gue perawan labil." Cakka mencak-mencak, memarahi Keke yang masih konsisten memajang ekspresi Gue-kan-gak-salah-apaapa.
"Ini sama aja dengan pembunuhan karakter tau. Penghancuran citra dimata public."
"Duh kak Cakka berisik deh. Yang penting kan sekarang hasilnya kak Agni mau ke bandara nganterin kakak. Harusnya kakak tu makasih sama aku."
"Ora sudi."
Agni hanya terkekeh mengamati 2 orang yang terikat tali persaudaraan karena garis keturunan dari sang ayah itu. Ia tidak bisa dan tidak ingin lagi membohongi diri sendiri, bahwa pemuda tampan itu benar-benar sumber kebahagiannya. Kembali melihat kelakarnya seperti sekarang, membuat Agni bagai disuguhi 2 supermoon sekaligus dalam satu malam. Tak peduli apa dan bagaimana Cakka pada masa yang dulu, toh kehidupan akan terus bergerak, berbagai perubahan mutlak terjadi. Yang paling penting bagi Agni ataupun Cakka adalah hati mereka telah sama-sama memilih. Bagaimanapun cara cinta itu datang, tak jadi soal.
"Kalau elo berantem mulu sama adik lo kayak gitu, elo malah kayak anak dibawah umur yang lagi galau Kka." ceplos Agni. Dan berhasil, Keke serta Cakka, akhirnya menuntaskan adu mulut mereka yang sebetulnya sangat tidak penting dan tidak berbobot.
"Cakka, 30 menit lagi pesawat kita berangkat." ujar paman Cakka. Adik dari Ayahnya, sekaligus Papa Keke, setelah beliau melirik arloji keperakan yang digunakan.
Cakka mengangguk kecil. Lantas menyambar jaketnya yang semula tergeletak pada kursi yang tadi ia tempati.
"Ag.. Sebelum gue berangkaat... emmh.. gue pengeen... hubungan kita jelas Ag. Maksud gue, kan lo bilang lo gak benci sama gue dan udah maafin gue, gue juga udah bilang dengan sejujur-jujurnya kalau gue sayang banget, dan gak bakalan kecewain lo lagi. Jadi apa.. emmh, kitaa... bisa balikan Ag ?"
Lupakanlah cerita kelabu
kita susun lagi langkah baru
bagaimana caranya oh cintaku
ku ingin bahagia denganmu
bagaimana caranya ??
"Maaf ya Kka, pada intinya kita emang udah sama-sama tau perasaan masing-masing. Gue juga sama sekali gak ragu sama lo, dan lo juga bisa percaya sepenuhnya sama gue, tapi... kalau buat balikan, maaf Kka, tapi mungkin gak sekarang."
"Tapi... Kenapa Ag, apa udah ada orang lain yang lebih baik dari gue ? Riko ?"
"Riko ?"
"Iya, gue sering liat kalian jalan berdua. Gue juga hampir tiap hari, liat Riko nongkrong depan CB kalau jam pulang."
Agni tertawa kecil, "Jelas lah, pacarnya kan anak CB.."
"Pacar ? Siapa ?"
FlashBack : on
Klenengan yang dipasang didepan pintu cafè, sudah bergerak berkali-kali. Setiap kerincing yang ditimbulkan, membuat dua gadis yang masih mengenakan rok abu-abu yang duduk dimeja no 14 disisi jendela besar Verona cafè, mengangkat wajah. Melongok kearah pintu, kalau-kalau pengunjung yang datang adalah orang yang mereka tunggu. Kedua gadis itu masih bertahan dalam diam, setelah beberapa menit yang lalu obrolan mereka terhenti tepat ketika topik gosip mereka mulai menyerempet-nyerempet, Sivia. Sahabat mereka sendiri. Menggunjingkan sahabat sendiri dibelakangnya, selain sangat pengecut, juga termasuk hal jahat, bukan ?? Maka dari itu, tidak ingin larut dalam perbincangan yang menguak aib orang lain, dua gadis tadi memutuskan lebih baik diam. Toh, tidak akan kentara. Cafè ini memang selalu ramai bila sore hari seperti sekarang. Sehingga, tanpa perlu dua gadis tadi ikut berceloteh pun, tempat ini sudah cukup ramai.
Ting-ting-ting
balok-balok es kecil dalam gelas terdengar beradu dengan wadahnya, ketika oknum pemegang sedotan begitu antusias memutar-mutar sedotan putih polos ditangannya.
"Fuuih." seorang dari mereka mulai mendesah, bosan. Gadis berambut panjang itu melirik jam tangannya, "Udah jam setengah 4 nih, temen lo lama banget sih Ag, gue nemenin Rio nyari gaun aja dulu ya ?" ujar Si Rambut panjang tadi, meminta izin.
"nyari gaun ? Emang sejak kapan Rio pake gaun ?"
"Aduh please deh Ag, gak usah pake ngejayus. Bikin tambah BT, tau." omel Shilla,
"hehe. iya, iya udah sono kalau mau pergi. tapi balik lho, awas aja kalau kagak balik lagi kesini."
"Iya, gue balik lagi kok. Titip tas ya." gadis tadi berlalu, melenggang pergi. Berjalan melewati beberapa meja berpenghuni, lalu menghilang dibalik pintu utama cafè.
Tak lama berselang setelah kepergian gadis tadi, seorang pemuda dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru tua, menyeruak masuk kedalam cafè. Beberapa meja yang diisi gadis-gadis remaja mulai berkasak-kusuk. Bahkan ada yang dengan berani menunjuk langsung kearah Pemuda tadi, atau mengantarkannya melalui tatapan sampai ke meja no 14.
"Ekhm." ia berdehem, membuat penghuni lama meja no 14 yang tak lain adalah Agni, mendongak. Pemuda tadi melempar senyum terbaiknya, saat gadis dengan kaos biru gelap didepannya nampak tertegun.
Agni memang sempat pangling. Pemuda itu tidak seperti biasanya. Terlihat jauh lebih... Emm.. Tampan mungkin. Kameja senada kaos Agni yang dikenakan, lengannya di gulung hingga ke siku, dipadupadankan dengan jins hitam dan sepatu kets warna biru gelap. Rambutnya juga tampaknya baru dipotong sedikit lebih pendek, sehingga terlihat lebih fresh. Ditambah aroma maskulin alami yang terkuar dari tubuh pemuda itu. Nah, pantaslah, gadis-gadis penghuni meja dekat pintu utama cafè tadi, langsung ricuh karenanya.
"Hei, kok bengong ?" pemuda tadi mengibaskan lengannya didepan wajah Agni. Agni bahkan tidak begitu menyadari, sejak kapan pemuda itu duduk manis pada kursi di depannya.
"Sorry ya lama." lanjutnya, masih tetap dengan mengurai senyum.
"Hehe. Gak pa-pa kok. Ke salon dulu sih ya ?" celetuk Agni, setelah menuntaskan keterkesimaannya pada pemuda tadi.
"Enak aja. Gue abis nganterin nyokap dulu tadi." protes pemuda tadi.
"Hahaha. Iya, iya, Riko ngambekan nih. Kan bercanda doang." Agni terkekeh.
"Eh, Ag, tadi katanya sama temen lo. Mana orangnya ?"
"Oh, lagi ke mall depan dulu. Udah janji sama orang katanya. Tapi ntaran juga balik kok."
"Bagus deh." desis Riko pelan.
"Apa Ko ?"
"Eh, gak pa-pa Ag. Lo udah pesen makan ?"
"Nggak deh, gue minum aja. Tadi sebelum kesini udah sempet makan juga dirumah Ify. Kalau lo mau pesen, silakan aja."
"Gue juga gak deh, kalau elo gak mau makan."
"Oh. Ya udah."
Keduanya lalu terdiam. Agni sibuk menelusuri bibir gelas lemon teanya yang sudah tinggal setengah gelas, sedang Riko, sepertinya tengah asik memikirkan sesuatu. Suasana dalam cafè semakin lenggang. Beberapa mahasiswa dan anak-anak SMA yang tadi nongkrong-nongkrong di cafè ini, terlihat mulai berkurang. Agni, pun dengan Riko baru menyadari desain cafè ini ternyata cukup romantis. Dengan lilin-lilin aroma teraphy, lalu gemerik air sungai buatan, di tambah lantunan satu lagu barat entah apa judulnya, membuat suasana cafè menjadi lebih tenang.
"Eh, iya Ko. Kalau gak salah pas telepon tadi lo bilang mau ngomong sesuatu sama gue. Mau ngomong apa Ko ?"
Riko tersenyum tipis. Untuk urusan yang seperti ini tidak perlu nervous apalagi gugup, toh ini bukan kali pertamanya untuknya menyatakan perasaan pada seorang gadis. Ya, walaupun Agni memang sedikit berbeda tentunya.
Agni pun demikian. Ia terlalu mengenal Riko, karena pemuda inilah yang pertama kali memperkenalkan cinta kepadanya. Jadi Agni sudah siap dengan berbagai antisipasi, kalau perkiraannya nanti tepat.
"Emm.. Lo sama Cakka, gimana Ag ?" Riko mulai membuka pembicaraan.
"Gimana apanya maksud lo ?"
"Ya, hubungan kalian, apa.. ada kemungkinan kalian emm.. balikan ?"
Agni menyeruput minumannya, sebelum memjawab pertanyaan Riko. Sekilas, diliriknya pemuda yang tengah menset ekspresi harap-harap cemas diwajahnya itu.
"Untuk balikan sih, dari guenya sama sekali gak ada niat Ko. Butuh waktu cukup lama buat maafin dia, dan pasti bakal lebih lama lagi untuk bisa sampai dititik, dimana gue bisa terima dia lagi. Untuk sekarang itu masih imposibble"
"Tapi gak tau kenapa ya Ag, gue kok berasanya lo masih sayang banget ya sama Cakka dan ya... mungkin Cakkanya juga gitu." Riko menyandarkan tubuhnya pada kursi, membuat dirinya serileks mungkin duduk disana.
"Gitu ya ?" sahut Agni, " Ya, gue emang masih susah buat lupain Cakka. Tapi bukan berarti gak bisa kan ?"
"Gue mau bantu lo Ag ?"
"Bantu ?" kening Agni berkerut rapat, "Bantu gimana maksudnya ?" tanyanya tak mengerti.
"Lo pasti butuh seseorang Ag, yang bisa gantiin posisinya Cakka. Lo butuh seseorang yang bisa lo kangenin, yang bisa lo fikirin, lo andelin, dan selain Cakka pastinya."
"Tapi Ko, gue rasa belum saatnya gue cari penggantinya Cakk.."
"Lo gak mungkin bisa lupain dia, kalau tiap harinya elo relain diri lo terus-terusan inget sama Cakka." sela Riko, "Lo harus punya alesan yang cukup kuat supaya bisa lupain dia, iya kan ? Gue tau ini terlalu cepet, lo baru putus sama Cakka, tapi justru karena itu, gue mau ada disamping lo saat lo lagi sedih, gue mau selalu ada buat lo. Gue sayang sama lo, Ag." Riko menggenggam tangan Agni yang memang letaknya semula diatas meja. Dipandangi Agni kian dalam, begitu sungguh-sungguh.
Tapi perlahan Agni menarik tangannya, seperti yang sudah dibilang tadi, Agni telah memprediksi kejadian seperti ini. Bukannya GR, tapi Agni tau hari ini Riko akan menyatakan perasaannya pada Agni. Sesaat, Agni merasa begitu bodoh kalau menolak pemuda dihadapannya itu. Tapi hati kecilnya masih terus berkoar menyebut nama Cakka. Agni tidak ingin membohongi Riko, semua alasan dan jawaban untuk pemuda itu sudah tersusun rapi diujung lidahnya.
"Makasih ya Ko, gue juga sayang sam lo, tapi cuma sebagai temen dan itu gak bisa lebih." tutur Agni selembut mungkin.
"Lo baik Ko, banget malah. Perhatian, romantis, penyayang, tapi justru itu semua yang bikin gue gak nyaman Ko. Gue bukan tipe-tipe cewek berbie, gue gak cocok sama Lo."
"Tapi gue mau berubah buat lo. Dan gue terima lo apa adanya."
"Iya, Ko, gue tau. Tapi masalahnya ada di gue. Gue gak bisa terima lo. Gue gak sayang sama lo. Sorry Ko. Gue gak mau bohongin lo. Gue lebih suka cowok kayak Cakka, yang usil, yang tiap satnite lebih seneng main basket dibanding nonton atau dinner, yang asal nyeplos, yang susah dibilangin, yang.."
"Lo bisa kan gak muji-muji dia didepan gue Ag ?" sela Riko, sewot.
Agni tertawa tertahan, "OK. OK. Maaf. Tapi gue serius. Kita gak cocok. Lo lebih cocok sama temen gue. Dia cantik banget. Manis, trus manja-manja gimana gitu, tipe lo banget kan ? Anaknya juga cerdas, aktif di OSIS, sama kayak lo. Bisa nyanyi dan nari ballet. Cewek barbie banget, klop sama lo yang kayak pangeran-pangeran negri dongeng gitu." ujar Agni antusias. Mirip sales atau tukang obat yang sedang menawarkan produknya pada khalayak.
"Kok lo malah jodoh-jodohin gue sih, Ag ?" gerutu Riko, setengah dongkol.
"Bukan jodoh-jodohin, tapi kita kan temen, gak ada salahnya dong, kalau gue rekomendasiin cewek yang emang bener-bener baik dan cocok buat lo. Gue cuma pengen lo bahagia Ko."
Riko yang semula antipati sekali dengan topik pembicaraan Agni, sedikit demi sedikit mulai melunak.
"Lagian ya Ko, gue yakin kok, lo tu gak sepenuhnya sayang sama gue. Kayak yang pernah lo bilang, lo bakal buktiin sama Cakka, kalau elo bisa gantiin posisinya dia. Ya mungkin perasaan lo buat gue, cuma sesaat doang Ko, cuma karena ego lo." Agni mengangkat kedua bahunya, Riko yang duduk diseberang malah terlihat menunduk.
"Kita tetep temenan kan Ko ?" tanya Agni, setelah dalam hitungan puluhan detik, Riko tidak juga bersuara.
Riko mengangkat wajahnya, tersenyum tipis lalu berkata, "Selalu Agni. Kita tetep akan selalu temenan, anggap aja yang tadi itu cuma bercandaan jayus dari gue. Mungkin lo bener, kita bakal lebih cocok kalau jadi temen aja."
"Nah, gitu dong. Hehe. Gue masih belum mau menjalin hubungan dengan siapapun dalam waktu dekat ini. Masih trauma, takut dijadiin taruhan bakso lagi." papar Agni, terus terang. Sejujurnya, tidak mudah mengucapkan kalimat terakhirnya tadi, tapi itulah kenyataan. Itulah yang Agni alami.
"Jadi gimana nih ? Berminat gak sama temen gue ?"
"Ah, lo apaan sih Ag. Lo kira gue gak laku, sampe harus dijodoh-jodohin begini."
"Yee, bukannya gak laku, justru lo tu orang terpilih. Temen gue nih limited edition lho. Jarang ada cewek paket lengkap kayak gini."
"Apa banget deh lo, Ag."
"Eh, panjang umur. Tuh orangnya datang." Agni menunjuk kearah seorang gadis yang baru saja masuk ke cafè ini, dengan dagunya.
Gadis itu tersenyum kecil pada Agni yang melambaikan tangannya. Sambil berjalan, gadis itu melepas tali rambut yang semula mengikat asal rambutnya. Helaian hitam itu, lantas berkibar lembut ditiup angin. Terlihat cantik sekali. Langkah-langkah gadis itu begitu anggun, menbuat Riko yang sedari tadi ikut menoleh kearahnya, merasakan duk-duk-duk pada jantungnya. Seakan sepatu gadis itu beradu dengan jantungnya, bukan dengan lantai marmer cafè ini.
"Lho Riko ?" ujar gadis tadi setelah sampai dimeja Agni dan Riko.
"Shilla ??"sapa Riko.
"Eh, udah pada kenal ya ?" tanya Agni, seraya tersenyum penuh arti.
Mereka semua saling berpandangan.
"Iya..." jawab Riko dan Shilla, kompak.
FlashBack : Off
"Gitu, Kka. Jadi sebetulnya mereka emang udah deket sebelumnya, katanya sih karena acara baksos gitu deh. Shilla kan Ketos CB, kalau Riko waketos Nusantara. Mereka jauh lagi, ya karena waktu itu Shilla kesengsem sama Rio. Jadi Riko tu ke CB, buat jemput Shilla, bukan jemput gue." tambah Agni setelah selesai menceritakan kejadian di cafè Verona, akhir pekan, sekitar hampir 2 bulan yang lalu.
"Jadi beneran dong Shilla gak suka lagi sama Rio ?"
"Ya iyalah. Orang Riko sama Shilla, udah resmi jadian lebih dari dua minggu yang lalu."
"Kalau bukan karena ada orang lain, trus kenapa lo gak mau balikan sama gue, Ag ?"
"Gue mau balikan sama lo, kalau lo udah balik lagi ke Indo. Gue gak mau LDR. Makanya, kalau sayang sama gue, setelah bokap lo sembuh, lo harus cepet balik ya."
"Cakka, Ayo !!" suara berat sang paman, terdengar memanggil Cakka agar ia segera turut memasuki sebuah ruangan.
"Yeah, it's time to go..." seru Cakka dengan berat, "Take care ya Ag, gue harap masalah temen-temen disini juga cepet selesai. hubungin gue kalau terjadi sesuatu. Gue janji bakal secepatnya balik buat lo, gue minta doanya semoga semua berjalan lancar."
Dengan gerakan cepat, Cakka merengkuh tubuh Agni, memeluknya erat, mengelus rambut Agni perlahan, dibisikannya beberapa kalimat untuk Agni, "Apapun yang terjadi, gue bakal selalu sayang sama lo, Agni Tri Bunuwati. Tunggu gue ya."
"Gue bakal kangen banget sama lo, Kka. Pasti gue doain semuanya lancar." suara Agni bergetar, tapi gadis tomboy ini benar-benar sekuat tenaga menahan tangisnya agar tidak meledak. Agni sama sekali tidak ingin menberatkan Cakka.
"Ekhm." Keke berdehem usil, "Lo, gak kepengen pamitan sama gue ya Kak?" ia menggelembungkan kedua pipinya, pura-pura marah.
Cakka lantas melepaskan pelukannya pada agni. Pelan, wajahnya mulai bergerak maju kearah wajah Agni.
"Weist, mau apa lo ?" Agni mengangkat kepalan tangannya, membentuk sebuah tinju kokoh yang patut diperhitungkan, jika mendarat dibagian tubuh manapun.
"Yaelah, cipika-cipiki doang, boleh kali Ag, kita kan bakalan lama gak ketemu." keluh Cakka.
"Tetep gak boleh. Titik" vonis Agni.
Cakka memanyunkan bibir.
Ia lalu berjalan gontai kearah Keke, "Gue pamit ya Ke. Baik-baik lo disini. Tu kalau si leak Bali macem-macem, lo colok aja matanya."
"Idih, sadis amat sih lo, Kak. kasian dong, kalau deva di colok. Lo juga baik-baik ya disana." Keke memeluk Cakka, pemuda itu mengacak rambut Keke, "Gue pasti balan kangen banget sama lo, Kak." tambah Keke.
"Gue juga." Cakka lantas melepas pelukannya dan benar-benar melangkah pergi, saat Ayah Keke kembali memanggilnya. Beberapa kali Cakka menoleh kebelakang dan melempar senyum, sebelum akhirnya pemuda itu memasuki sebuah ruangan, lalu menghilang.
Haruskah ku teteskan air mata dipipi
haruskah ku curahka s'gala isi di hati
haruskah kau ku peluk dan tak ku lepas lagi
agar tiada pernah ada kata berpisah
"Makasih ya Kak Agni. Kakak udah mau penuhin permintaan Keke buat datang hari ini untuk kak Cakka." tutur Keke pada Agni yang tampak masih menerawang.
Ya, Keke memang sempat mendatangi Agni dua hari yang lalu, tepat setelah Cakka mengantarkan Agni pulang dari rumah pohon. Keke bercerita banyak hal tentang Cakka, termasuk kesungguhannya menyayangi Agni dan perubahan Cakka setelah Agni memutuskan hubungan mereka. Keke juga membawakan sebuah album foto cukup tebal, yang dipenuhi foto-foto Agni dalam berbagai pose. Katanya, Cakka sendirilah yang menyusun dan mengumpulkan semua foto-foto itu, tapi ia tidak pernah berani memberikannya pada Agni.
"Bukan buat Cakka, Ke. Justru buat gue sendiri. Gue bakal nyesel banget kalau gak datang hari ini." kedua gadis manis itu saling melempar senyum, lalu berbalik badan, berniat segera meninggalkan bandara itu.
Agni mungkin tidak bisa berharap kisahnya berakhir romantis seperti dalam FTV-FTV yang marak sekarang ini. Dimana seorang gadis menyusul pemuda yang dicintainya, yang akan segera pergi keluar negri. Lalu dengan
begitu mudah, pemuda itu akan membatalkan kepergiannya. Ah, rasanya akan sangat jarang hal semacam itu terjadi. Keberangkatan keluar negri pasti sudah di planning dengan sangat matang, tidak mungkin dibatalkan begitu saja hanya karena seseorang. Sangat tidak dewasa.
Lihat saja buktinya. Cakka. Ia tetap pergi kan ? Karena memang urusan hati tidak selalu harus jadi prioritas kehidupan. Agni dan Cakka, harus sama-sama merelakan, sampai tiba saatnya nanti, takdir akan berbaik hati mempertemukan keduanya lagi.
***
Kidung klasik. Layaknya dulu.
Jaka Tarub dan Nawang wulan...
Karena kebohongan Jaka Tarub mendapatkan dan ditinggalkan bidadarinya.
Serupa tapi tak sama. Aku lebih beruntung.
Awal yang sama. Kebohongan.
Tapi Tuhan lebih berbaik hati kepadaku.
Kepura-puraan, Kebahagiaan, Kehilangan lalu kesempatan. Aku belajar. Lebih dari satu hal, bukan hanya tentang cinta. Tapi juga perihal hidup. Tuhan mengirimkan malaikatnya pada siapapun yang Ia kehendaki. Dan aku benar-benar beruntung menjadi salah satunya. T'rimakasih Agni Tri Nubuwati. You're my fairy.
-Cakka Kawekas Nuraga-
***
Ia yang memilih sendiri jalannya. Cinta.. Ia punya banyak ragam cara untuk hadir diantara dua manusia pilihannya.
Kebohongan, atas dasar apapun, itu tetap satu dari sekian banyak bentuk kejahatan. Lantas, mau apa ? Bisa apa?
Kalau ini caranya untuk tumbuh, harus berawal dari kebohongan. Adakah aku mempunyai cukup kuasa untuk menolakknya ? Aku rasa jawabannya tidak.
Kebohongan tidak akan membuahkan apapun selain kebohongan-kebohongan yang berikutnya.
Aku harap Cakka bisa mematahkan pernyataan itu. aku percaya dia, sama seperti aku mempercayai hati kecilku.
'mencintaimu adalah hal terbesar di hidupku, jadi jangan kecewakan aku...?'
-Agni Tri Nubuwati-
***
***
Angin berdesau lirih. Seperti mengeluh, setelah lelah di titah berkelana begitu jauh. Dayanya saat menerpa daun-daun kamboja ditempat ini, begitu lemah. Bahkan tidak mampu menerbangkan satu kelopak bunga kamboja yang masih bergelantung lemah pada tangkainya yang mulai goyah. Awan mendung, sudah berarak melingkupi salah satu kota diujung pulau Sulawesi ini. Barisan nisan-nisan ditempat ini, menggetarkan naluri. Tidak ada yang betah berlama-lama disini. Dimana ratusan raga tanpa jiwa tertanam, dipeluk erat oleh bumi. Meremang. Ya tidak ada yang bertahan lama mengunjungi sebuah komplek pemakaman, kecuali pemuda ini. Bukan sepuluh atau dua puluh menit. Entahlah sudah menginjak jam keberapa, selama ia berada disini. Mengelus marmer putih dengan pahatan nama gadis yang begitu ia sayangi. Pemuda ini mengusapnya demikian lembut, seakan yang disentuhnya adalah helaian rambut indah gadis yang hampir 2 tahun terbujur kaku didalam sana. Tak ada air mata, karena ia tidak cengeng. Tak ada ekspresi kalut, karena ia sudah dibebaskan. Tinggal binar ragu yang masih tersisa. Masa lalu atau masa depan. Pilihan yang sangat gampang untuk orang normal. Tapi setelah hampir 2 tahun hidup dengan masa lalunya, pemuda ini menjadi sulit menentukan pilihan.
"Makasih ya De, buat semuanya. Dan seperti yang kamu bilang, aku harus mulai terbiasa menjalani hari-hari aku tanpa kamu lagi. Aku akan terus berusaha De, berusaha untuh bangkit, buat kamu Dea, dan buat diri aku sendiri. Jangan marah ya De, kalau pada akhirnya sekarang aku pilih masa depanku. Aku mau mulai menata hidup De, dan mungkin semuanya harus diawali dengan menata hati terlebih dulu." Pemuda tadi tiba-tiba mengulum senyum. Terbayang olehnya seraut wajah manis milik seorang gadis, yang Dea 'bilang' adalah mataharinya.
Setelah dicekoki berbagai mimpi aneh dengan Dea sebagai tamu bunga tidurnya dan setelah diberi banyak nasehat, kritik dan sarah atau omelan dari Shilla, lebih tepatnya. Pemuda ini tersadar. Hidupnya harus berlanjut. Meski orang normal bisa menjejakan kaki 2 atau 3 langkah dan ia hanya mampu bergerak setengah langkah pun, pemuda ini harus tetap berjalan. Karena tidak ada yang akan ia peroleh, kalau hanya bertahan pada tempatnya, selain kesia-siaan.
"Sejak kapan lo jadi kuncen ??" suara itu menggetarkan gendang telinga pemuda tadi, secara langsung otaknya bekerja lantas tercetuslah satu nama, pemilik suara itu. Pemuda tadi menoleh, untuk menyelaraskan pandangannya dengan prediksi otaknya.
"Ify ?" ucapnya, tertahan.
Gadis yang disapa Ify itu tersenyum remeh. Menghampiri pemuda tadi dengan kedua tangan tersimpul didada.
"Haii Rio," sapanya riang, "Eh, ya ampun udah lama ya gak ketemu. Apa kabar ? Lo kemana aja, tau gak sih kita-kita tu nyariin lo. Eh, taunya lo jadi kuncen disini, betah Yo ?" ujar gadis itu berentet, terlihat sekali nada bicaranya yang dibuat-buat.
"I.. Ify.. Kok.. Kok lo disini ?"
"Lha, emang kenapa ? Gak boleh, ini kan tempat umum." Ify memutar kedua bola matanya.
Rio menarik sedikit kedua ujung bibirnya. Ia baru menyadari, ternyata ia begitu merindukan gadis itu. Merindukan sorot matanya, ekspresi lucunya, celoteh dan keceriannya. Rio benar-benar rindu pada Ify. Terakhir kali, Rio melihat raut gadis itu sarat kesedihan. Menangis karenanya. Dan Rio benci, melihat Ify menangis. Ia tidak suka. Ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan membiarkan gadis itu menitikkan air mata lagi.
"Gue gak lagi jadi kuncen. Gue lagi cari ilham."
"Oh." timpal Ify singkat.
"Juteknya Shilla pindah ke elo ya Fy ?"
Ify semakin merengut, "Shilla ya ? Gue mau tanya soal tu cewek. Ada apa sih, antara lo sama dia ? Ok. Gak usah dijawab. Pokoknya lo perlu tau ya, Yo. Gue tu benci banget sama dia, kenapa Shilla tau tentang keberadaan lo, sedangkan gue yang udah jatuh bangun plus keinjek-injek bantuin lo, sama sekali gak tau." Ify mencak-mencak dengan penuh hasrat, seolah-olah ia sudah tidak pernah marah-marah dan meluapkan kejengkelannya sejak zaman purbakala.
"Jadi lo kesini cuma buat nanyain kayak ginian doang ?"
"Bukanlah. Gue kesini mau minta pertanggung jawaban lo."
"Ish, sumpah deh Fy. Gue belum ngapa-ngapain lo. Kok udah dimintain pertanggung jawaban sih ?"
"Emang dasar otak lo mesum sih ya, susah jadinya. Pertanggung jawaban karena lo sama Shilla si nenek lampir, udah bikin gue strees dan sakit hati. Faham ?"
"Oh, jadi masih soal Shilla. Ya, kalau gue kasih tau dimana gue, sama lo. Itu namanya gue gak ngehindar dong."
"Terus ngapain lo pake acara ngehindar segala ? Takut lo, sama gue ?"
"Bukan takut Fy, gue cuma gak mau semuanya tambah rumit. Ada baiknya gue mulai ngejauh dari kalian. Waktu itu gue ngerasa dunia kita beda. Kalian orang-orang realistis yang hidup untuk masa depan. Sedangkan gue ? Gue sama sekali gak berani ngusir bayang-bayang masa lalu gue. Gue juga gak yakin kalian bisa maafin semua kesalahan-kesalahan yang gue perbuat. Dan saat itu satu-satunya orang yang mau dengerin gue dan bisa gue mintain tolong tu ya cuma Shilla."
"Please deh Yo, kenapa juga harus Shilla."
"Apa kira-kira lo punya usul, menurut lo siapa yang bisa gue mintain tolong selain Shilla pada saat itu ?"
Ify terdiam.
"Gue gak mungkin minta bantuan Sivia, Agni, ataupun Cakka. Mereka punya masalah masing-masing yang juga belum beres. Alvin ? Waktu itu dia lagi marah banget sama gue. Iel ? Orang waras gak akan tega ngerepotin orang sakit kayak Iel. Gak ada opsi lain kan ? Dan gue gak ada apa-apa sama Shilla, kita temenan. Shilla juga udah punya Riko."
"Gue udah tau."
"Masa sih ? Shilla bilang yang tau cuma Agni aja. Dia gak mau dikatain gak tau sikon sama anak-anak ?"
"Gue udah tau kok. Rikonya langsung yang bilang ke gue. Emmh.. Gara-gara.. Shilla nangis kare..na, karena... gue tampar."
"Hah ? Lo tampar ? Kriminal banget lo, Fy. Anak orang tuh." cibir Rio.
"Ih, ya kan gue kesel banget waktu itu. Semua juga kan gara-gara lo." Ify membela diri.
"Trus lo tau gue di Manado dari siapa ?"
"Debo."
"Debo ?" Rio mengangkat kedua alisnya.
"Iya. Gak usah heran gitu kali, dia udah insaf kok. Kartu matinya ada di gue jadi dia gak bakal macem-macd. Debo juga udah jadian lho sama gita."
"Wah, banyak banget ya yang terjadi selama gue disini."
"Woyadong, masih banyak lagi kabar-kabar terbaru, kayak guru fisika yang di mutasi, Ray yang jadian sama Oik, trus film luar negri yang gak boleh tayang dibioskop indonesia.. Tim basket CB yang jadi juara bertahan. Pokoknya banyak deh. Lo juga pastinya ketinggalan banyak banget materi pelajaran."
"Gue gak ketinggalan kok, Shilla sering kirimin e-mail materi yang dipelajarin disekolah. Terus kontes piano lo gimana ? Gue gak sempet nanya sama Shilla waktu dia kesini."
"Gue juara 3. Eh, emang Shilla suka kesini ? Ke Manado ? Ngapain dia kesini ?" tanya Ify, sarkatis.
"Iya, cuma dua kali sih. Itu juga sama nyokapnya, sekalian liburan gitu."
"Lo kapan balik ke Bandung, Yo ?"
"Berhubung lo udah jauh-jauh jemput gue sampe Manado, kayaknya gue bakal balik ke Bandung bareng lo." jawab Rio.
"Idih, siapa juga yang mau jemput lo, niat banget. Orang gue kesini, mau liat Losari tuh."
"Losari tuh di Makassar kali, bukan di Manado. Ngeles aja lo bisanya."
Pipi Ify bersemu merah, menahan malu, "Kan elo yang ngajarin. Wlek." Ify menjulurkan lidahnya.
"Nyalahin orang pula."
"Lo kan bukan orang."
"CK" Rio berdecak keras, gadis dihadapannya ini memang sangat menggemaskan sekaligus menyebalkan, "Lo kesini sama siapa ? Debo juga ?"
"Bukan. Gue dijemput sama kak Acel."
"Ha ? Kak Acel, kakak gue maksud lo ?"
"Kalau dia masih sudi nganggep lo adik, berarti ya itu dia, kak Acek, kakak lo."
"Bercanda deh lo, gak mungkin Kakak gue mau jauh-jauh ke Bandung cuma buat jemput lo."
"Ya jelas mau lah, daripada adiknya strees karena kangen sama gue."
"iiwaw, gak kebalik tuh."
"Udah deh, Yo. Lo ngaku aja susah banget sih. Lo juga sayang kan sama gue, tapi disisi lain lo gak bisa lupain Dea. Lo gak mau nyakitin gue, jadi lo milih ngehindar dari gue, gitu kan ? Mau sampai kapan sih lo kayak gini Yo ? Gue yakin beribu-ribu persen. Dea sama sekali gak akan bahagia tuh, kalau lo selalu inget sama dia, tapi lo gak peduli sama masa depan lo sendiri."
Tepat. Telak. Paparan Ify barusan, memang benar adanya. Itulah alasan Rio memilih kembali ke Manado. Kotanya, tempat ia dilahirkan, tumbuh, dewasa, jatuh cinta lalu kehilangan.
"aaaa, lo kali yang sayang sama gue. Sampe nangis-nangis waktu itu." Rio menaik-naikan alisnya.
"Ih, Rio apaan sih. Yang itu jangan diungkit-ungkit dong, itu tu aib buat gue, kesalahan terbesar dalam sejarah hidup gue."
"Waktu itu pake acara nyanyi-nyanyi segala lagi didepan gue. Gak nyadar ujan apa, mana jelas lo nyanyi apa." Rio terus menggoda Ify, kedua pipi gadis itu sudah benar-benar merah merona.
"Iiiih, Lo rese banget sih, Riooo." Ify mencubit lengan kiri Rio sekuat tenaga, hingga si empunya tangan meringis kesakitan.
"Ah, lepas dong Fy, sakit tau." Rio mengusap-ngusap lengannya, "Kan selama ini ngeselin adalah hal yang Rio pelajari dari Ify yang unyuuu."
"Mana mungkin ? Udah jelas-jelas lo lebih ngeselin dari gue."
"Ootidakbisa Fy. Gue kan ketularan elo. Nah kalo elo mah emang udah ngeselin dari orok."
"Pokoknya elo ngeselin. Elo kan masternya."
"Elo tu ngeselin."
"Elo. Rio ngeselin. Titik."
"Elo !!"
"Lo !!"
"Lo !!"
"Lo."
"Lo."
"Lo tu."
"Elo. Pokoknya elo."
"Pokoknya elo, elo, elo."
"Iya, iya gue. Capek, berantem sama lo. Baru ketemu udah cari ribut." kata Rio, akhirnya.
"Ada juga lo tu yang ngajak ribut."
"Bodo. Capek gue."
"Ya udah kalau cape diem lah."
"Ini juga diem."
"Apaan, tu masih ngomong."
"Ya, elonya ngajakin gue ngomong mulu sih." timpal Rio sewot.
"Ya, suka-suka gue, mulut juga mulut gue." balas Ify, tak acuh.
"Lo udah bikin gue kesel, Fy. Gak mau tau, pokoknya lo nembak gue sekarang !!"
"HA ?? Sorry, mameen. Ogah gila, gue nembak lo. Dimana-mana tu ya, cowok yang nembak ceweknya."
"Buat cewek spesies lo sih, lain cerita. Udah, buruan nembak gue, yang romantis ya."
"Eh, Rio. Lo tu bener-bener gak tau malu ya. Bodo ah. Pokoknya gue gak mau."
"Beneran ? Mumpung gue punya jawaban yang bagus nih buat lo. Dulu kan lo nyampe nangis-nangis depan gue, sekarang kesempatan buat lo jadian sama Mario Stevano Aditya. Buruan sebelum gue berubah pikiran."
"Harusnya tu elo yang nembak gue, Riooo."
Rio jadi kurang yakin dengan cerita Shilla yang mengatakan bahwa gadis ini begitu rapuh dan sedih setelah, Rio pergi. Terutama dengan kata-kata Shilla, "Ify tu gak pernah ketawa-ketiwi kayak dulu lagi Yo. Senyum aja maksa banget."
Setelah bertemu lagi dengan Ify hari ini, sama sekali tak terbayang, kalau gadis ini pernah menangisinya atau merasa kehilangan atas kepergian Rio. Ify, ya tetap Ify. Bahkan ditengah-tengah orang mati yang seharusnya membawa atmosfer horror, Ify malah membuat hawa panas dan menyulut pertengkaran-pertengkaran kecil yang sama sekali tidak penting. Ify, gadis itu tetap manja dan ceria, tidak ada yang berubah darinya, menurut Rio.
Rio malah merasa, yang aneh itu ya dirinya sendiri. Gundah, takut, sedih, bimbang, perasaan semacam itu, hilang begitu saja setiap Ify didekatnya. Berganti semangat untuk terus menimpali ejekan-ejekan Ify. saat gadis itu jauh, Rio sangat merindukannya, tapi begitu dekat, yang ada bawaanya selalu saja ribut.
"Woi, ngapain lo bengong ?" Ify menyenggol pinggang Rio, "Ngelamun jorok ya lo." tuduh Ify asal.
"Enak aja lo. Ayo buruan dong, katanya mau nembak gue."
"Gue gak mau. Gak mau. Titik."
"nembak."
"gak."
"nembak."
"gak mau."
"gue bilang nembak."
"No."
"Ify !!!"
"gak mau."
"Ah, elah, jadi gue nih yang mesti nembak lo ? Udah lah mending kita langsung jadian aja deh ya, Fy."
"Mana bisa kayak gitu ?"
"Abisan gue gak bisa nembak lo Fy. Gak pernah kebayang aja, bakal nembak lo, mana dikuburan pula."
"aaaa... gue tau, lo gak bisa nembak gue, karena 'dia' kan ?" Ify berkacak pinggang, dengan dagu terangkat.
"Dia, siapa ?" tanya Rio heran.
"Itu lho yang waktu itu lo bilang ditaman. Kalau ada yang bisa gantiin Dea ya cuma 'dia' (re : part10)"
"Oh, itu. Emang lo gak tau ya, siapa 'dia' itu ?"
"Kalau gue tau, udah gue bejek-bejek tu cewek kali." batin Ify dongkol.
"Masa sih gak tau ? Itu lho, orang yang banyangannya gue tunjukkin dikolam renang rumah lo dulu (re : part13)" Rio tersenyum penuh arti.
Ify melirik Rio sekilas, kemudian bertanya, "Gue boleh GR gak ?"
Rio mengeluarkan senyum miringnya, "GR aja udah kayak mau gak masuk sekolah lo, pake izin segala. KeGRan sama kePDan kan emah udah Ify banget." lagi-lagi Rio meledek Ify.
"Yang lo maksud dia itu... Gue ?" Ify mengarahkan telunjuknya ke depan wajah, lengkap dengan ekspresi polos bercampur mimik penuh harap.
Rio terkekeh. Sesaat kemudian, pemuda tampan itu mengubah air wajahnya menjadi lebih serius. Perlahan diraihnya kedua tangan Ify, lalu didekatkan pada dada bidang Rio. Lembut, Rio mulai merapal nama gadis yang entah bagaimana bisa menggantikan Si-Masa-Lalu itu, "Fy..."
"Ya ?" balas Ify, tidak kalah lembut.
"Je t'aime beaucoup. J'ai besoin de toi. Maaf Fy, gue baru berani ngakuin itu semua sekarang. Gue gak punya cukup kekuatan buat lupain kenangan pahit di hidup gue. Tapi gue janji bakal terus berusaha, asal elo selalu ada di samping gue. Dia itu elo, Alyssa Saufika Umari."
kalau saja ini bukan kuburan dan urat malunya sudah putus, ingin sekali sekarang ini juga Ify berteriak, melompat, menari atau apapun, untuk meluapkan rasa gembiranya. Dilanjutkan dengan, gerakan memeluk pemuda menjulang yang tengah berdiri di depannya dengan sorot mata yang lembut dan penuh kasih sayang itu.
Tapi saat itu juga, ditekannya buncahan kebahagiannya sekuat mungkin. Hingga yang muncul adalah senyum tipis dan sorot matanya yang usil.
"Udah nih, gitu doang ?" ucapan tadi sama sekali tidak terdengar sebagai sebuah pertanyaan, tapi lebih kepada cibiran untuk Rio.
"Ya, elo maunya gimana ? Udah bagusan gue yang nembak lo. Harusnya kan elo. Elo kan yang duluan suka sama gue." Rio memeletkan lidahnya dan menjulingkan matanya.
"Ya.. Lo kan sukanya sama mojang Bandung, berarti nembaknya pake bahasa sunda dong. Jangan sok-sokan pake bahasa prancis. Kita kan harus mencintai budaya sendiri." Ify mengangkat dagu tirusnya, memandang menantang pada Rio.
"Please deh Fy, lo tau sendiri kan nilai bahasa sunda gue gak pernah jauh dari angka 6. Yang lain deh, apa kek gitu ?" tawar Rio.
"Emmh," Ify mengetuk-ngetukan telunjuknya ke pelipis. Nampak seperti berfikir, sesaat kemudian ia memasang mimik penuh sesal, "Yaaah, sayang sekali Yo, gue maunya ditembak pake bahasa sunda gak ada opsi lain."
Rio melempar tatapan membunuh pada Ify. Ify semakin tidak bisa menahan tawanya. Rasanya tangisan Ify beberapa malam terakhir ini, terbanyar lunas hari ini. Ify benar-benar merasakan hidupnya lengkap dan sempurna.
"Ok. Ok. Bahasa sunda ya ?"
"Tunggu. Lo harus berlutut dong Yo, biar kayak di film-film." intruksi Ify, ia lantas mengulurkan tangannya yang kemudian disambut genggaman hangat lengan kokoh Rio.
"Neng Ipy..."
"Ify, Yo. 'ef' bukan 'pe."
"Orang sunda kan katanya begitu. Udah deh, jangan bawel."
"Ya udah, ya udah. Sok mangga dilajeungkeun. Gitu aja sewot."
"Neng Ipy anu geulis kacida, dangukeun yak. Upami neng Ipy palay terang mah, abdi teh deudeuh pisan ka eneng. Bilih kersa, purun teu eneng janten kabogoh abdi." tutur Rio kikuk. Tidak perlu dikomentari, Rio sudah tau, betapa hancurnya kata-kata yang ia lafalkan barusan.
"BHAHAHA..." Ify tertawa, sampai menyentakkan kedua tangannya dari genggaman Rio dan genti memegangi perut. Rio memang menggunakan bahasa sunda, tapi aksen manado lah yang justru kental terdengar. Sangat, sangat, sangat menggelikan. Terutama bagi Ify yang memang orang sunda tulen.
"HAHAHAaaduhuh, gue gak bisa berhenti, hahaha." gadis itu masih terpingkal-pingkal. Sedangkan si objek tertawaan masih merengut kesal.
"Puas cantik, heuh ? Ketawa lo pengen gue bayarin deh, Fy." gerutu Rio.
Ify tidak menanggapi, setelah puas dengan tawanya, Ify mengalihkan pandangannya pada nisan Dea. Dielusnya batu marmer putih itu, sambil tersenyum.
"Dea.." panggilnya, pelan, "Kenalin, ini gue Ify. Rio pasti udah cerita banyak kan tentang gue ke elo."
"Ish, kagak pernah." sela Rio.
"Sst, berisik." Ify meletakkan telunjuknya ke bibir, sesaat.
"Gue mau minta izin De. Emmh... Rionya sekarang sama gue ya. Tenang aja, gue gak akan nyuruh dia lupain lo kok. Gue yakin lo cewek yang baik banget, jadi lo gak pantes di lupain sama siapapun yang pernah kenal sama lo, termasuk Rio. Gue janji De, bakal sayang sama Rio, gak bakal bikin dia sedih dan kecewa. Gue gak akan macem-macem. Janji."
Rio yang mendengar janji Ify, tersenyum lebar seraya menggelengkan kepalanya. Ya, Rio memang tidak mengerti, bagaimana mungkin, dari seorang Dea yang 'cewek' banget, lemah lembut, kalem dan dewasa. Rio kini bisa menyayangi seorang gadis 'ajaib' yang terus mengaku bahwa dirinya manis. Tapi yang paling penting, dan yang Rio tau, Ify telah membuat hari-harinya penuh warna dan kejutan. Dea mungkin mengajarinya cara meraih berbagai hal positif, tapi Ify lebih daripada itu. Ia mengajari Rio, bagaimana caranya bertahan saat yang teraih, tiba-tiba terlepas seluruhnya.
"Gue juga selalu berdoa, semoga lo bahagia ya De, disana. Amin." Ify mengusapkan kedua tangannya ke wajah setelah selesai dengan kalimat-kalimat yang ia tujukan untuk Dea.
"Udah kan, pulang yuk kerumah gue, nanti gue kenalin orang tua gue." ajak Rio.
"Lo gak mau denger jawaban gue Yo ?" tanya Ify.
"Ngapain ? Cuma dua kemungkinan kak, kalau gak 'mau' paling 'iya', bener kan?" jawab Rio sambil berlalu.
"dasar." cibir Ify, "Emang udah ketemu ya ilhamnya ? Tadi katanya lo cari ilham."
Rio yang semula sudah melangkah pergi, berbalik dan kembali menghampiri Ify yang tertinggal beberapa langkah dibelakangnya.
"Tuhan sayang banget sama gue. Bukan cuma ilham, tapi gue langsung dikirimin malaikatnya." bisik Rio, tepat ditelinga Ify. Bulu kuduk gadis berdagu tirus itu meremang, karena saat ini ia begitu dekat dengan Rio. Ify sampai bisa merasakan, deru nafas pemuda itu yang berlandas dikedua pipinya.
Tiba-tiba, awan hitam yang memang sudah berarak pekat sejak tadi, meluncurkan titik-titik air langit. Semakin lama, rinainya kian cepat dan banyak, menghujam bumi. Rio dan Ify tergagap. Dengan gerakan cepat, Rio menyambar lengan gadisnya dan mengajak Ify segera berlari menerobos hujan. Mereka berlari dengan satu tangan masing-masing memayungi kepala, sedang yang lain tetap bertautan. Tapi setelah keluar dari komplek pemakaman dan tiba disebuah tanah lapang yang terlihat kurang terurus, karena ilalang-ilalang mulai tumbuh setinggh pinggang, Ify menarik lengannya.
"Kenapa ?" tanya Rio yang reflek menoleh pada gadisnya.
Ify tersenyum lebar, gadis itu berjalan ke sisi Rio lantas memeluk lengan kanan pemuda itu dan bergelayut manja disana.
Ajari aku 'tuk bisa
menjadi yang engkau cinta
agar ku bisa memiliki
rasa yang luar biasa
untukmu dan untukku.
Ify bersenandung merdu. Lantunan lagu itu diiringi keracak air hujan yang kian deras.
Rio membimbing tubuh Ify agar kembali berdiri tepat di hadapannya.
Ku harap engkau mengerti
akan semua yang ku pinta
karena kau cahaya hidupku
malamku
'tuk terangi jalanku yang berliku
Rio meneruskan lagu yang Ify lantunkan sebelumnya. Kepala mereka bergerak kekiri-kekanan, sesuai ritme lagu. Tanpa sadar keduanya menari ditengah guyuran air hujan. Rio melingkarkan kedua lengannya dipinggal Ify. Sedangkan Ify mengalungkan lengannya dileher Rio. Tatapan mereka beradu. Senyum terkulum sempurna. Beruntung tempat ini selalu sepi, karena kalau tidak mereka pasti akan langsung jadi tontonan.
Hanya engkau yang tau
hanya engkau yang bisa
hanya engkau yang mengerti
semua inginku.
Keduanya bernyanyi bersama, seperti hari-hari mereka kedepannya, akan selalu bersama-sama apapun aral yang melintang nantinya.
Andai waktu bisa dihentikan, tentu saat inilah waktu yang paling tepat untuk Ify dan Rio, berharap agar masa berhenti menggulirkan detiknya.
Hujan terus menunaikan tugasnya membasahi bumi. Tapi lebih dari itu. Hujan sore ini sepertinya akan bertahan lama, tidak ingin melewatkan potongan adegan romantis yang di lakonkan Ify dan Rio.
Tidak ada lagi susah, sedih, gundah, mulai sekarang dan seterusnya, Ify dan Rio telah mengikat janji tak terikrar dengan saksi sang alam, bahwa keduanya akan mulai menata hidup. Mengisi lembaran-lembaran kosong hari-hari mereka, dengan kisah-kisah emas, tinta warna-warni, menulis bersama, dan akan saling mengingatkan saat bait-bait yang tertoreh mulai melenceng dari kaidah hidup sejatinya.
Ajari aku tuk bisa...
Rio melepaskan jaket yang ia kenakan, menyampikannya dipundak Ify.
Ajari aku tuk bisa... Mencintaimu.
Berbeda dengan senyum sumringah yang Rio pamerkan setelah menutup lagu hits Adrian Marthadinata itu, Ify malah menitikkan air mata. Ia ingat satu kalimat yang Debo teriakkan di depan kediamannya waktu itu. Kalimat yang membuat Ify akhirnya bersedia datang ke Manado.
"Hey, kok nangis sih ? Kenapa ?" Rio menghapus air mata di pipi Ify dengan ibu jarinya.
"Lo sakit Yo ?" tanyanya.
Rio menatap Ify dengan heran, "Nggak deh, gue baik-baik aja." sahutnya.
"Bohong ?"
"Gue gak bohong Fy, gue baik-baik aja."
"Tapi Debo bilang lo... Debo.. Bilaang.." Ify menarik nafasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya, "Waktu itu gue gak mau ikut ke Manado, tapi Debo bilang lo sakit, dirawat dirumah sakit, dan.. dan.. Lo pernah kena kanker darah. Apa itu bener Yo ?"
Rio mulai mengerti kemana arah pembicaraan Ify dan apa maksudnya. Rio bisa menangkap gurat khawatir benar-benar menguasai gadis itu.
Tanpa banyak mengelak, Rio hanya mengangguk pasrah.
***
Senin, 18 April 2011
Dia Bintang dan Aku Pengagumnya
Dia...
Aku hafal betul, betapa dia sempurna dalam detailnya
Aku faham betul, sugesti macam apa yang akan muncul terhadap tubuhku saat dengan fasih kurapal namanya
Aku bahkan terlalu kenal nama miliknya, huruf konsonan dan vokal yang menyusunnya, bisa kusebut hanya dalam satuan angin
Dia.....
Tanpa pernah alpa, aku berdoa bisa berada didekatnya untuk selalu mengingatkan bahwa, "Kamu sempurna, Tuhan begitu baik padamu."
Seperti bintang
Ia indah
Selalu memesona
Bercahaya
Tapi tak terjamah
Sungguh, tidak mungkin tergapai tangan
Lalu apa peduliku?
Selama ia masih mau menerangi malam-malamku
Menemaniku mengayam mimpi di gelap hari
Aku akan tetap mengaguminya
Ia seperti buliran debu
Berdesir, terbang berputar dalam angin, menempel pada kaca yang basah
Lantas sulit sekali lekang
Sungguh, ia begitu mudah diingat tapi setelahnya sulit sekali untuk terabai
Bagai candu, saat mengingat apapun tentangnya
Anganku seperti diajak melayang
Bagai ranjau, ia memisahkan aku dengan dunia luar
Asik dengan dimensiku
Asik dengan duniaku
Dunia, dimana hanya ada aku, dia dan rasa kagumku yang berlebih
Dunia, dimana kuizinkan diri memujinya tanpa jeda dan reda
Melihatnya, seperti melahap hijau yang sejukkan mata
Mendengar senandungnya, seperti nikmati bisikkan suara dari nirvana
Membingkai figurnya dalam satu pandangan, layaknya disodori lukisan terbaik Sang Maestro yang digurat dengan kuas emas dalam kanvas sutra
Dia selalu istimewa
Karena dia bintang dan aku pemujanya...
karena dia bintang dan aku penikmat cahayanya...
Ini bukan puisi
Bukan sajak
Terikat oleh bait-bait berima
Hanya sulaman kata yang jadi lembaran kalimat sederhana
Yang bercerita tentang...
DIA, SANG BINTANG DAN AKU PENGAGUMNYA...
*untuk Mario Stevano Aditya, bintang yang paling terang
Aku hafal betul, betapa dia sempurna dalam detailnya
Aku faham betul, sugesti macam apa yang akan muncul terhadap tubuhku saat dengan fasih kurapal namanya
Aku bahkan terlalu kenal nama miliknya, huruf konsonan dan vokal yang menyusunnya, bisa kusebut hanya dalam satuan angin
Dia.....
Tanpa pernah alpa, aku berdoa bisa berada didekatnya untuk selalu mengingatkan bahwa, "Kamu sempurna, Tuhan begitu baik padamu."
Seperti bintang
Ia indah
Selalu memesona
Bercahaya
Tapi tak terjamah
Sungguh, tidak mungkin tergapai tangan
Lalu apa peduliku?
Selama ia masih mau menerangi malam-malamku
Menemaniku mengayam mimpi di gelap hari
Aku akan tetap mengaguminya
Ia seperti buliran debu
Berdesir, terbang berputar dalam angin, menempel pada kaca yang basah
Lantas sulit sekali lekang
Sungguh, ia begitu mudah diingat tapi setelahnya sulit sekali untuk terabai
Bagai candu, saat mengingat apapun tentangnya
Anganku seperti diajak melayang
Bagai ranjau, ia memisahkan aku dengan dunia luar
Asik dengan dimensiku
Asik dengan duniaku
Dunia, dimana hanya ada aku, dia dan rasa kagumku yang berlebih
Dunia, dimana kuizinkan diri memujinya tanpa jeda dan reda
Melihatnya, seperti melahap hijau yang sejukkan mata
Mendengar senandungnya, seperti nikmati bisikkan suara dari nirvana
Membingkai figurnya dalam satu pandangan, layaknya disodori lukisan terbaik Sang Maestro yang digurat dengan kuas emas dalam kanvas sutra
Dia selalu istimewa
Karena dia bintang dan aku pemujanya...
karena dia bintang dan aku penikmat cahayanya...
Ini bukan puisi
Bukan sajak
Terikat oleh bait-bait berima
Hanya sulaman kata yang jadi lembaran kalimat sederhana
Yang bercerita tentang...
DIA, SANG BINTANG DAN AKU PENGAGUMNYA...
*untuk Mario Stevano Aditya, bintang yang paling terang
Label:
Puisi
Malaikat Hidup Gue Part 22
***
"Shilla ?" gumam Rio tanpa sadar.
Dengan separuh jiwa yang telah berhasil ia tarik kembali dari alam mimpi, Rio meraih handphonenya. Detik berikutnya, pemuda berambut hitam dengan poni ke samping itu mulai sibuk berkutat dengan alat komunikasi praktis hasil perkembangan IPTEK di tangannya. Setelah menekan tombol angka 3 yang biasanya secara otomatis akan langsung menghubungkannya dengan pemilik nomor +6285724101997, Rio segera mendekatkan handphonenya ketelinga.
"Shilla, angkat Shil." ujarnya tidak sabar. Entah mengapa, Rio merasa perlu untuk segera menghubungi gadis itu dan menceritakan mimpinya.
Dari sebrang sana nada tunggu terus terlantun samar, mengisi sepi yang begitu nyata dalam ruangan ini. Detik terus terlewati, dan yang tercipta masih saja sebentuk keheningan.
Percayalah..
Hanya dirinya paling mengerti
Kegelisahan jiwamu kasih
Dan arti kata kecewamu
Rio... Yakinlah..
Hanya dia yang paling memahami
Besar arti kejujuran diri
Indah sanubarimu kasih
Percayalaah..
Bulu kuduk Rio meremang, ia mengusap tengkuknya. Merasakan ada yang membisiki bait-bait nada itu, dekaaat sekali. Suara itu, suara yang sangat Rio kenal. Milik penawan hatinya, milik gadis cinta pertamanya yang Rio hantarkan sendiri keharibaan Tuhan, suara itu... Dea. Hatinya mencelos, tertohok kian dalam, seperti diingatkan tentang sesuatu yang selama ini terabaikan. Sebuah rasa tersembunyi yang sebaiknya segera ia kuat. Lantas apa ??
"Astaga, gue pasti udah gila." gerutunya, setengah frustasi.
Tanpa fikir panjang, apa efek bagi tubuhnya, Rio mencabut paksa selang bening yang semula menempel pada lengan kirinya. Lantas menyibuk selimut dengan kasar dan berlalu meninggalkan ruangan yang selama hampir 2 minggu ini memenjarakannya.
***
Si-Masa-Lalu itu telah melepas jeratnya...
Berbeda dengan Rio yang 'seharusnya' mulai terlepas dari rantai-rantai masa lalu yang selama ini mengepung gerak-geriknya dari segala penjuru, gadis dengan dagu tirus berkulit sawo matang itu, dimalam yang sama malah mendapati dirinya semakin terseok-seok dalam menapaki hari-harinya, mendapati dirinya semakin tidak logis kalau tidak mau dibilang gila. Berpijak pada harapan-harapan kosong yang sejatinya, ia tau tidak akan pernah menjadi kenyataan. Ia melambungkan angannya, dan disaat yang bersamaan harus kembali merasakan sakitnya dihempas kenyataan. Munafik, kalau sebelumnya, gadis itu bilang semua akan baik-baik saja. Toh, sekarang buktinya tidak ada yang jadi baik, semenjak pemuda itu menghilang. Ada sisi kosong yang begitu kentara dalam dirinya dan menuntut untuk diisi. Meski akal sehatnya gencar berorasi menuntut agar sebentuk hati itu segera melengserkan kekuasaannya atas diri gadis ini, itu sama sekali tidak merubah apapun. Semuanya akan tetap sama. Detik-detik terasa begitu lama terurai, tapi setelah terangkai, satuan waktu itu malah membentuk temali bersimpul rindu yang menjeratnya tanpa ampun. Mengikatnya disatu titik menyebalkan yang bertajuk penantian.
"...kontestan terakhir pada malam hari ini, dengan nomor urut 28, Alyssa Saufika..."
Suara berirama khas, yang dikumandangkan seorang belia berbusana long dress dengan motif batik lewat mikrofon ditangannya, memaksa gadis tadi, Ify, agar segera beringsut dari posisi duduknya. Sekilas, Ify merapikan gaunnya. Gaun putih susu dengan detail manik sederhana disekitar dada dan ujung-ujungnya, gaun pemberian Rio. Perlahan ia berjalan menyusuri panggung megah itu. Lighting yang sempurna, desain yang mengagumkan, serta sorot mata seluruh penonton yang tertuju padanya, membuat Ify gugup. Ia berusaha mengulum senyum dengan kikuk.
"Kalau gugup, liat kita aja Fy. Kita di kursi barisan depan sisi kiri. Good luck ya sista gue tersayang."
Kata-kata Agni sebelumnya, dibackstage, membuat Ify menoleh ke sisi kiri kursi barisan depan. Dilihatnya Sivia tengah melambai-lambai kearahnya, serta Agni dan Gabriel yang kompak mengepalkan tangan mereka dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Tapi, Ify, hatinya malah semakin bergetar melihat semua itu. Ya, ada yang kurang. Ada yang masih Ify tunggu. Orang yang merekomendasikan kontes ini untuknya. Orang yang berkata sangat ingin melihat permainan piano Ify. Sejenak Ify tercenung, lantas batu-batu kebenaran itu ditindihkan dengan paksa kedalam dadanya. Terasa menyesakkan. Pangeran dari Kerajaan Menyebalkan itu, benar-benar tidak datang untuknya malam ini.
Ify memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam, mengusir perasaan ingin menganulir keputusannya mengikuti kontes ini. Sekali lagi, ditiliknya setiap sudut gedung ini, semua penonton mulai berbisik-bisik ricuh. Dewan juri yang semula duduk tegap dengan antusias, kini nampak mulai bosan menunggu Ify mulai menunjukkan kepiawaiannya memakinkan piano. Ify semakin nervous, ia merutuki jari-jarinya yang entah mengapa tiba-tiba saja jadi beku.
Ingin sekali Ify mencoret namanya dari daftar peserta kontes ini, apalagi kalau melihat peserta-peserta sebelumnya yang selain begitu apik dalam memaikan tuts-tuts nada, ditunjang juga oleh kualitas vocal yang memang diatas standart. Dalam kontes ini, setiap kontestan diperkenankan turut bernyanyi, bukan sekedar bermain musik.
"Ini buat nenek dan buat kamu, Mario." ujar Ify, dalam hati.
Berangkat dari ikrar hatinya, Ify memperoleh kekuatan untuk kembali menggerakkan jemarinya. Sebuah intro lagu anak-anak yang sudah lama lekang, mengalun sederhana, membius ricuh yang sempat membahana, lantas menggantinya dengan hening.
Satu-satu..
Daun-daun..
Berguguran, tinggalkan tangkainya.
Satu-satu..
Burung kecil.
Berterbangan, tinggalkan sarangnya.
Jauh-jauh, tinggi.
Kelangit yang biru.
Andaikan, aku punya sayap
Ku kan terbang jauh
Mengelilingi angkasa
Kan kuajak, ayah bundaku
Terbang bersamaku
Mengelilingi dunia.
Beberapa penonton yang hadir dan dewan juri, tampak mulai larut dalam permainan piano Ify. Jari-jari gadis manis ini dengan lincah masih menari diatas grand piano putih itu, mendentingkan alunan nada sederhana yang memanjakan indera pendengaran. Lagi-lagi Ify menyapu pandangannya, melirik sisi kiri kursi barisan depan. Disana ada Cakka dan Agni yang entah kompakan atau memang ber-chemistry kuat, keduanya sama-sama mengenakan baju berwarna merah marun. Lalu disebelahnya, terlihat Sivia yang terus menggandeng lengan Alvin, gadis itu melempar senyum kearah Ify saat mata mereka beradu. Disisi Alvin, ada sang Mama yang merangkul Iel yang duduk di kanannya. Dikursi berikutnya, ditempati mama dan papa Ify yang sengaja datang malam ini, untuk menyaksikan kembali putri tunggalnya bermain piano. Dan siluet terakhir adalah milik sosok cantik Shilla, gadis berambut panjang itu terlihat sangat bahagia, duduk diapit mama dan papanya.
Mereka semua nampak tersenyum lebar, seakan telah menemukan kembali sayap-sayap yang akan mampu membawa mereka terbang, menjangkau angan dan cita yang tergantung diujung kerlip bintang. Semua tampak begitu indah dan sempurna, malam ini. Layaknya sebuah kisah, bergenre happy ending, maka malam ini seakan jadi scene terakhir untuk menutup satu lagi balada seorang anak manusia.
Permainan piano Ify terus berlanjut, tapi suara ribut-ribut kembali terdengar. Seharusnya Ify sudah mulai kembali bernyanyi sejak tadi, tapi gadis itu malah memandang kosong. Konsentrasinya buyar, Ify, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Jujur saja ia, iri. Kenapa sepertinya, diantara teman-temannya, hanya ia yang tidak diijinkan bahagia ??
"Apa-apaan sih tu orang ? Gak niat banget mainnya." cibir family dari salah-satu kontestan yang duduk dibelakang Shilla.
"Satu-satu.. Burung kecil, berterbangan tinggalkan sarangnya. Jauh-jauh.. Tinggi, kelangit yang biru..."
Suara merdu Shilla, terdengar mengimbangi permainan piano Ify, dari kursi penonton. Ify terkesiap, menyadari dirinya telah melewatkan beberapa part dalam lagunya. Saat ia mengalihkan fokusnya kebangku penonton, tanpa di aba-abai terlebih dulu, suara rancak dan serentak, terdengar berkumandang, melengkapi alunan nada yang dihasilkan tuts-tuts putih-hitam yang Ify tekan. Beberapa penonton, terutama sobat-sobat Ify, ikut melantunkkan reff lagu yang Ify mainkan.
Andaikan, aku punya sayap
Ku kan terbang jauh
Mengelilingi angkasa
Kan kuajak ayah bundaku
Terbang bersamaku, mengelilingi dunia...
Terbang bersamakuu.. Mengelilingi duniaa..
Suara sopran milik Ify menutup lagu itu dengan sempurna. Standing applause dihadiahkan sebagian penonton dan dewan juri, yang benar-benar terkesan pada performance Ify.
Ify tau, permainan pianonya tidak cukup baik malam ini. Tepuk-tangan yang dihadiahkan kepadanya, Ify rasa semata-mata memang karena feel dari lagu itu sendiri yang sudah sangat mendalam. Apalagi lagu anak-anak itu sudah jarang diperdengarkan, saat Ify membawakannya malam ini, seakan mengobati rasa rindu sebagian orang-orang itu, akan masa kecil mereka.
Saat memberikan salam hormat, tanpa bisa dicegah mata Ify kembali menelusur setiap sudut gedung serba guna itu. Pangeran Kerjaan Menyebalkan itu, benar-benar tidak datang. Tak kuasa menahan tangisnya, Ify segera turun dari stage, dan memeluk mamanya.
"Kenapa sih dia nyebelin banget. Tinggal datang aja apa susahnya sih. Ify benci, benci banget sama dia." adu Ify, pada wanita anggun yang tengah membelai lembut rambut panjang Ify.
"Dia siapa, Nak? Siapa yang kamu maksud, sayang ??" tanya sang Mama.
Ify tidak menjawab, memilih menenggelamkan diri dalam dekapan hangat mamanya, berharap tetesan air matanya yang belum begitu deras, bisa secepatnya dibendung.
Masih dari balik pelukan mama, Ify menangkap siluet Shilla yang duduk tak jauh dari tempatnya, bersama Iel. Saat bola mata indah milik dua gadis cantik itu beradu, cepat-cepat Shilla melempar pandangannya ke objek lain.
Setelah melepas pelukannya, Ify menghampiri Shilla, berniat mengucapkan terima kasih karena sedikit banyak, gadis itu telah membantu performance pertamanya malam ini, setelah lama vacum bermain piano.
Tapi kemudian Ify terpaku ditempatnya. Sederet tulisan tangan Shilla yang tersusun rapi dalam secarik kertas, mengingatkan Ify pada sesuatu. Tidak ada yang istimewa, kertas itu hanya berisi sebuah e-mail dan keyword untuk searching sebuah video di youtobe, sepertinya Iel meminta Shilla menyalinkan untuknya.
"Jadi surat ditaman itu, elo yang tulis Shil ?" tegur Ify, tiba-tiba.
Shilla terkesiap. Saat mengangkat kepalanya, Shilla mendapati Ify tengah berdiri angkuh didepannya. Melipat kedua tangan didada, lengkap dengan ekspresi wajah menuduh.
"Surat ? Surat apa Fy ? Maksud lo apa ?"
"Gak usah sok gak ngerti deh lo." Ify merebut kertas yang Shilla pegang, "Ini tulisan lo kan ? Sama persis, sama tulisan yang ada disurat itu. Surat yang gue terima ditaman komplek perumahan Rio, gue hafal banget. Jadi elo yang tulis surat itu, apa sih maksud lo ? Kalau lo masih suka sama Rio, jangan kayak gini dong Shil, caranya." ujar Ify, panjang lebar.
"Kok lo ngomongnya gitu sih Fy ? Gue gak ngerti, maksud lo apa ?" kilah Shilla, wajahnya kian memucat.
"Gak usah bohong deh, Shil." Ify mendorong bahu Shilla.
"Weis, sabar girl. Gak pake emosi bisa kali ya ? Malu diliat orang." bela Iel.
Beruntung saat itu, seorang penyanyi solo sedang tampil sebagai penutup kontes malam ini, jadi suara-suara bernada tinggi yang dikeluarkan sedikit tersaru oleh dentum soundsystem.
"Yel, cewek ini tu pembohong. Dia tau dimana Rio, tapi di.."
"Nggak, gue gak tau dimana Rio. Lo jangan asal gitu dong, Fy."
"BOHONG.. Lo bohong kan. Lo tau dimana Rio kan?"
"Gue gak tau Fy."
Pada saat yang bersamaan handphone Shilla menyala, menampilkan ikon gagang telfon dan sederet nomor. Shilla menggigit bibir. Dengan satu gerakan cepat, buru-buru direjectnya panggilan yang baru masuk itu.
Tapi detik berikutnya,handphone Shilla kembali menyala. Lagi-lagi Shilla merejectnya.
"Kenapa gak diangkat ? Dari Rio ?" tebak Ify, "Ada apa sih sama kalian, kenapa gue gak tau apa-apa tentang Rio, sedangkan lo, lo tau semuanya ? Padahal selama ini, gue yang bantu dia." lanjut Ify sarkatis.
Shilla semakin memucat dan salah tingkah. Jari-jari tangannya, bergerak gelisah, meremas-remas gaun biru laut yang ia kenakan. Ify tersenyum sinis. Dan saat handphone Shilla kembali menyala, Ify dengan gesit buru-buru menyambarnya.
"Kalau ini bukan Rio, boleh dong gue yang angkat. Pengen tau suaranya." kata Ify, santai.
Shilla tidak sempat mengelak, hanya bisa berdoa, agar apapun yang terjadi sesudah ini, itu akan jadi yang terbaik untuk semuanya.
Klik
Tombol hijau pada keypad handphone Shilla ditekan, dan...
"Hallo Shil.." sapa orang disebrang sana.
Darah Ify berdesir cepat. Suara baritone itu, suara yang sangat Ify rindukan. Meski terdengar serak dan parau, Ify tetap bisa mengenalinya.
"Hallo Shil, kok direject sih, gue telfonin daritadi juga."
Ify masih terdiam. Menikmati setiap gelombang bunyi yang dihantarkan ke ruang dengarnya. Menyimak dengan seksama, seakan-akan mulai besok ia akan tuli dan tidak bisa lagi, mendengar suara berat pemuda disebrang sana, lagi.
"Shil, kok diem aja sih ? Kenapa ?"
"Ri.. Rioo.."
Hanya satu kata itu yang bisa Ify keluarkan, sisanya menolak untuk terkuar. Lebih memilih, tertahan di tenggorokannya. Tapi tidak perlu merangkai kata-kata yang lebih panjang lagi, karena penelfon diujung sana, sudah langsung menutup sambungannya setelah mendengar suara Ify.
Ify memicing mata pada Shilla, dengan kasar dilempar handphone Shilla, kearah kursi. Dan..
PLAKK
tamparan keras dari Ify, mendarat tepat dipipi kanan Shilla.
"Ambil Rio buat lo." tandas Ify, lalu berlari meninggalkan Shilla dan Iel yang sama-sama masih shock dengan apa yang Ify lakukan.
"Ada apa nih ?" tanya Cakka yang datang bersama Agni, Sivia dan Alvin.
Perlakuan Ify tadi tampaknya terlihat juga oleh keempat orang ini.
"Gue sama sekali gak ngerti, apa lo mau jelasin Shil? Ada apa sebenarnya?" tanya Iel hati-hati. Melihat, Shilla masih bengong sembari memegangi pipi kanannya yang memerah.
Iel memagut dua bola mata coklat cemerlang milik Shilla dalam sorot tajam. Seakan menegaskan bahwa gadis dihadapannya itu tidak boleh dan tidak akan bisa membohongi seorang Gabriel.
"Gak ko. Gak ada apa-apa, Yel." jawab Shilla, suaranya terdengar bergetar.
Iel menggelengkan kepalanya, lantas berdecak, "Ck, Shilla.." Iel meletakkan kedua tangannya pada bahu Shilla. Membimbing tubuh gadis itu, agar berhadapan lurus dengannya, "Gue gak akan maksa lo buat cerita. Tapi gue yakin, ada sesuatu yang lo sembunyiin. Ify gak mungkin marah-marah kayak tadi tanpa alasan kan ? Kalau lo bener-bener tau dimana Rio, tolong bilang sama dia, kita kangen." lanjut Iel.
Shilla menunduk dalam, tak kuasa menatap manik mata Iel yang tenang namun menyudutkan.
"Maafin gue Yo.." bisiknya dalam hati. Shilla memutuskan untuk jujur pada mereka, paling tidak ia bisa mengatakan bahwa Rio baik-baik saja, sehingga mereka tidak perlu khawatir.
"Ma.. Maaf.. Maafin gue. Maaf, gue emang tau dimana.. Dimana Rio, sekarang." aku Shilla, berbata-bata.
Semua terperangah.
"Jadi selama ini kamu tau dimana Rio, Shil ? Dan.. Dan kamu gak kasih tau kita. Ya Tuhan, Shilla, keterlaluan banget sih kamu." cibir Sivia, tak habis fikir.
"Ma.. Maaf, tapi.. tapi ini permintaan Rio, gue udah terlanjur janji sama Rio. Gue sama sekali gak ada maksud buat bohongin kalian. Please, percaya sama gue. Gue juga kepaksa."
"Kenyataannya kamu bohongin kita semua Shil, gimana kita bisa percaya sama kamu. Kamu tau Rio dimana, dan dengan teganya kamu biarin kita cari-cari dia, kita bahkan udah kayak orang bego sempet mikir kalau Rio diculik. Terutama Ify, lo gak kasian sama dia ? Bukannya akhir-akhir ini kalian deket, paling gak harusnya lo kasih tau dia." timpal Sivia.
"Jadi selama ini Rio menghilang ? Bukan lagi ke luar negri sama orang tuanya, kayak yang selama ini kalian bilang ? Apa Rio pergi karena gue nyalahin dia tempo hari." Alvin melontarkan sebuah pertanyaan. Pemuda berkemeja kotak-kotak putih itu diizinkan dokter, untuk malam ini saja keluar dari rumah sakit dan menghadari kontes piano yang diikuti Ify.
"Sumpah demi apapun gue selalu berusaha bujuk Rio, buat balik ke Bandung. Atau paling gak, dia bisa datang kesini malam ini, tapi kondisinya gak memungkinkan sekarang. Gue udah gak tau lagi harus dengan cara apa bujuk Rio, supaya mau nelfon Ify barang sekali. Gue gak berniat jahat, sumpah. Kalian percaya sama gue." papar Shilla sungguh-sungguh. Masih dengan kepala tertunduk, Shilla melanjutkan perkataannya, "Emm, dan soal kenapa lo gak dikasih tau tentang semua ini, mungkin lo bisa tanya sama yang lain. Karena gue juga gak tau, kenapa mereka gak mau kasih tau yang sebenarnya ke elo, Vin. Tapi kalau alasan kenapa Rio milih ngehindarin kalian, dia cuma bilang tempatnya bukan ditengah-tengah kalian lagi.
Yang gue tangkep sih, kayaknya Rio mulai ngerasa asing ditengah persahabatan kalian bertiga yang emang udah lama banget, Yel, Vin, Kka. Rio ngerasa saat dia ngelakuin kesalahan, gak akan ada satu orang pun yang bersedia belain dia. Rio gak berarti apa-apa buat kalian bertiga, dan bukan gak mungkin suatu saat akhirnya kalian juga bakal jauhin Rio karena sebuah kesalahan kayak yang kemarin terjadi, toh dia cuma orang baru, bukan siapa-siapa kan buat lo bertiga. Dan sebelum itu terjadi, Rio milih ngejauh lebih dulu dari kalian. Belum lagi soal Ify kalian tau sendiri kan, jadi manusiawi lah menurut gue kalau Rio milih pergi." tutur Shilla, sekarang dengan nada yang lebih tenang dari sebelumnya.
"Kita gak anggap Rio orang asing, kita cuma berusaha netral. Waktu masalah Alvin sama Rio, kita gak mungkin kan memihak salah satunya. Dua-duanya sahabat kita." bela Cakka.
"Gue ngerti Kka, dan gue yakin Rio juga ngerti. Cuma fikirannya lagi rancu waktu itu ini. Rio sangka, kalian gak akan bisa terima dia lagi."
"Tunggu deh, Shil. Kenapa kok kayaknya lo tau banyak banget tentang Rio. Emang ada apa sama kalian berdua ?" selidik Cakka.
Shilla tersenyum tipis "Gue tu.."
"Shilla sayang, pulang yuk." suara lembut seorang wanita membuat Shilla dan yang lain menoleh. Mama Shilla sedang berjalan kearah mereka, "Papa udah nunggu dimobil. Yuk, pulang." ajak sang Mama.
"Iya Ma, bentar lagi aja, Shilla mau.."
"Kan ngobrolnya bisa besok lagi. Udah ah, ayo, kasian Papa udah nunggu daritadi. Udah malam."
Shilla mendengus kesal, "Ya udah deh, gue duluan ya, guys. Gak usah khawatir, Rio bakal baik-baik aja. Nanti gue sampaiin salam kangen dari kalian." ujar Shilla. Gadis itu, lantas melambaikan tangan kanannya kearah empat orang temannya yang masih konsisten dengan tatapan penasaran mereka.
***
Aku bertahan, karena ku yakin cintaku kepadamu
Sesering kau coba 'tuk mematikan hatiku
Tak 'kan terjadi, karena ku tau kau hanya untukku...
Meski angin berhembus demikian kencang. Lihatlah, seberapa jauh ia sanggup menerbang kenangan yang telah terpintal, lantas merajut sebuah kisah yang kemudian menyelimuti relung hati.
Meski hujan begitu semangat menggulirkan rinainya. Lihatlah, cukup kuatkah ia, sampai mampu mengikis satu nama yang tanpa sengaja telah tertoreh dalam asa dengan begitu apik dan sempurna.
Kenangan. Tidak akan ada yang bisa membuatnya lekang. Bahkan otoriter sang waktu.
Agni menghentak-hentakkan ujung sepatunya dengan lantai, menghasilkan bunyi tuk-tuk-tuk untuk mengisi sepi yang ada. Benar kata orang, hal yang paling menyebalkan adalah dibuat menunggu. Hatinya terus saja mengumpat pemuda yang mengiriminya pesan singkat beberapa waktu yang lalu dan berjanji akan menjemputnya tepat pukul 4 sore, lantas dengan sangat menyebalkannya pemuda itu, ia entah lupa atau bagaimana, hingga sampai detik ke 21.600 sejak Agni pertama kali menunggunya, ia belum juga datang. Tapi anehnya, tubuh Agni sama sekali tak berniat bergeser barang seinci pun dari tempatnya menunggu. Tidak seperti biasa, kakinya juga tidak memprovokasi agar segera hengkang dari sana.
Agni melipat kedua tangannya didada, memasang tampang kesal yang sekesal-kesalnya, saat deru mesin kendaraan bermotor terdengar memasuki selasar rumahnya.
"Sorry ya gue telat. Ya udah, jalan sekarang aja yuk." ajak Si Pengemudi cagiva hitam yang kini terparkir didepan Agni.
"Ulang tahun lo, kapan ?" tanya Agni dengan nada sewot, sambil berjalan gontai menghampiri Si Pengemudi tadi.
"Masih lama sih, kenapa emang ?" jawabnya santai. Belum menyadari, medan kini telah berubah. Gadis kuncir kuda itu, telah menebar aura neraka kemana-mana.
"Gak pa-pa sih, kalau elo ulang tahun, gue bakal kasih kado jam tangan segede papan tulis kalau perlu. Jam tangan segede gitu, kayaknya gak ngefek sama sekali buat lo." Agni menunjuk jam tangan digital biru tua, yang melingkari pergelangan tangan kiri Si Pengemudi tadi.
"Hehe. Sorry ya gue ngaret banget. Eh, tapi kita jadi kayak dè javu gini ya, dulu waktu pertama kali kita jalan juga gue telat. Cuma bedanya, sekarang lo gak pake gaun.Hehehe." kekehnya.
Agni terdiam, mendengar penuturan Si Pengemudi dihadapannya itu. Kalau orang tadi bisa terkekeh beberapa kali, Agni sama sekali tidak ingin tersenyum barang sedikitpun. Bagi Agni, saat-saat itu sama sekali tidak layak untuk diungkit, hanya akan membuatnya semakin sakit.
Kenangan. Masa yang terkistralkan. Dimensi yang terbekukan. Yang bisa diputar ulang kapanpun saat Sang Pemilik ingin kembali mengenang tapak-tapak yang pernah dilewati. Yang bernama kenangan, bak debu pada kaca yang basah, sekali menempel akan sulit untuk dienyahkan.
"Dan bedanya, sekarang gue udah tau, kalau elo sebenarnya gak pernah sayang sama gue." tandas Agni.
Si Pengemudi tadi, Cakka, ia tersenyum miris, tidak tau harus bagaimana lagi meyakinkan Agni tentang perasaannya terhadap gadis itu.
***
Aku bertahan, ku akan tetap pada pendirianku.
Sekeras kau coba 'tuk membunuh cintaku.
Dan aku tau, kau hanya untukku.
Tempat yang sama. Dengan senja dalam balutan warna jingga yang sama. Rimbunan daun yang sama, bahkan tangan yang menggenggamnya pun masih milik orang yang sama.
Tapi yang melingkupinya justru rasa yang berbeda. Bukan lagi sejuk dan tenang seperti kala itu, tapi lebih kepada sedih dan perih. Seakan tempat ini menyimpan ribuan bilah pisau tak kasat mata yang terus menghunus hatinya.
Rumah pohon ini. Sama seperti dulu, dari sini Agni bisa melihat hampir semua lukisan alam yang disuguhkan "Sang Maestro". Tapi yang tampak jelas dimata Agni justru hanya sebuah kenyataan, bahwa semua yang telah ia berikan, hanya dihargai segelas jus dan semangkuk baso oleh pemuda yang duduk disampingnya itu.
Agni tidak tau, apa maksud Cakka mengajaknya ketempat ini lagi, pemuda itu juga masih memilih diam. Agni yang tidak ingin berlama-lama tinggal disini, akhirnya membuka suara, "Jadi apa yang mau lo omongin, Kka ?" tanya Agni, mengingat isi pesan singkat yang Cakka kirimkan.
Cakka menoleh lantas tersenyum kecil, "Gue cuma mau pamit Ag, lusa gue mau ke Singapore dan menetap disana."
"Singapore ? Emang... Kenapa Kka?"
"Karena lo, Ag. Habisnya, lo gak mau maafin gue sih." balas Cakka, bercanda.
Agni mengerutkan kening, "Gue serius kali Kka, nanyanya." protes Agni.
"Hehe, iya. Gue ke Singapore buat nemenin bokap gue berobat. Kata Om gue, dengan teraphy dan serangkaian pengobatan disana, bokap gue bisa sembuh total. Gue minta doa lo ya."
Agni mengangguk kecil, "Iya, gue doain."
Setelah tiga kata yang dilotarkan Agni, keduanya kembali terdiam. Membiarkan desau angin yang sibuk bercerita, tentang balada-balada tempat yang dikunjunginya. Membiarkan daun-daun saling berbisik, mengimbangi ricuh suara burung yang hendak kembali ke sarang.
"Gue udah mau pergi Ag, dan gak tau kapan gue bisa balik ke Indonesia. Apa.. Apaa.. Elo belum mau maafin gue Ag ??" tanya Cakka, ragu.
"Emm, gue selalu coba lupain semuanya, supaya gue bisa maafin lo. Tapi itu gak gampang, Kka."
"Berarti elo juga belum percaya, kalau gue bener-bener sayang sama lo dan gue nyesel atas semua perbuatan gue ke elo ?"
"Itu bukan urusan gue lagi Kka. Semuanya udah lewat, buat gue ada ataupun enggak rasa sayang itu di hati lo, semua udah gak berpengaruh apapun."
"Dulu gue pernah bilang kan Ag, elo cewek pertama yang gue kasih tau keadaan bokap gue, elo cewek pertama yang gue kasih tau, tentang tempat rahasia gue ini. Dan elo Ag, elo cewek pertama yang bener-bener gue sayang. Itu semua bukan gombalan kayak yang sering gue bilang sama cewek-cewek lain. Itu serius Agni, dari sini." Cakka meraih tangan kanan Agni dan meletakkan didadanya.
"Gue mau pulang Kka." Agni menarik tangannya dengan kasar. Lantas berdiri, lalu menuruni rumah pohon itu.
Cakka segera menyusulnya, "Ag.. Agni.. Gerimis Ag, lo tau kan kita naik motor. Kalau pulang sekarang nanti lo kehujanan." cegah Cakka, seraya mengimbangi, langkah-langkah cepat Agni.
Tiba-tiba Agni menghentikan langkahnya. Menatap marah pada Cakka, dan berkata, "Kka, gue gak mau lama-lama disini. Gue gak mau. Kenapa sih lo ajak gue kesini lagi, gue mau lupain lo Kka, gue mau lupain lo. Gue sakit, sampai sekarang sakit itu masih ada... harusnya... harusnya lo ngerti, Kka. Lo ngertiin gue." Agni meraung, suaranya membaur dengan isak tangis miliknya sendiri.
Cakka hanya bisa memandangi bulir-bulir air mata Agni jatuh, lalu bermuara pada tanah berlumut di bawah sana. Ia sadar betul, kata-kata maaf tidak akan ada maknanya lagi. Ia terlalu sering melafalkannya didepan gadis ini. Satu gerakan reflek, Cakka menarik tubuh Agni dalam pelukannya. Mengizinkan gadis itu membagi tangisnya, menbiarkan relungnya semakin di penuhi rasa bersalah, membiarkan batinnya semakin sedih karena rintihan gadis dalam rengkuhannya itu.
Yang bernama kenangan itu, bila manis ia akan jadi candu. Sedang bila pahit, ia akan jadi ranjau, bahkan untuk dua hati yang sejatinya saling memilih.
***
Guguran bunga-bunga bougenville berwarna pink tua yang berjatuhan, menjadi background yang sangat cantik untuk gadis cantik yang tengah berdiri dibawah pohonnya.
Berulang kali gadis ini melongok kekiri jalan, lalu melirik jam abu-abu senada rok seragamnya yang melingkah dipergelangan tangannya. Sesekali ia mengibas-ngibaskan selembar kertas foto copyan yang sejak tadi dipegangnya.
"Ini taksi pada kemana sih, heran deh giliran ditunggu gak ada yang nongol. Mana panas banget pula." gerutunya kesal.
"Shil, Shillaa.."
Gadis tadi menoleh, mendengar teriakan yang mengumandangkan namanya. Zevana dan Angel, dua orang gadis yang telah Shilla coret dari list best friendnya, berjalan tergesa kearah Shilla.
"Kenapa ?" tanya Shilla, jutek. Dengan santai, ia menggelembungkan permen karet rasa strawberry yang sejak tadi dikunyahnya.
"Mmh, kita.. Anu Shil, kita mau.. Anu.." Angel tampak menyenggol-nyenggol lengan Zevana, "Lo juga bantuin ngomong dong, Ze." bisiknya.
Zevana, atau Zeze begitu ia akrab disapa, malah menggeleng keras-keras.
"Kenapa lo, geleng-geleng begitu, kayak ayam mabok aja lo." cibir Shilla.
"Shil, kita mau.. Kita mau.. Mau.."
"Mau apaan, permen karet gue? Nih." Shilla melemparkan beberapa buah permen karetnya.
"KitaMauMintaMaafShil." ucap Zeze dengan cepat, takut Shilla tiba-tiba akan meledak dan menghujaninya dengan caci maki.
Shilla mendelik.
"Iya Shil, kita mau minta maaf. Kita tau kita salah, kita gak tulus sahabatan sama lo, selama ini kita manfaatin lo." tambah angel.
"Kemana aja Jeng, eh ya ampun, baru pada sadar ya, rupanya." celetuk Shilla, meniru gaya bicara ibu-ibu PKK.
"Shilla, kita serius tau." ujar Zeze.
"Maca ciih ?"
"Kita tau Shil, lo kecewa banget sama kita.."
"Emang." potong Shilla, menyela ucapan Angel.
"Please Shil, maafin kita. Kita kangen sama lo, gue sama Zeze pengen, kita sahabatan kayak dulu. Kita mau berubah Shil, kita juga mau punya banyak temen kayak lo sekarang. Maafin gue, Shilla." tutur Angel, sungguh-sungguh.
"Kalian gak tau kan gimana perasaan gue waktu Gabriel bilang kalian lebih mentingin liburan dibanding nyawa gue, gue sakit hati tau gak ? Kalian gak peduli sama gue, waktu gue lagi susah. Apa itu namanya sahabat ??"
"Shilla, kita tau kita salah. Kita janji gak akan kayak gitu lagi. Gue kangen saat-saat kita ngumpul bertiga kayak dulu lagi. Gue gak pengen persahabatan kita hancur, Shil. Kita bersedia ngelakuin apapun, asal lo maafin kita." Zeze terlihat hampir menangis saat berkata demikian.
Shilla memutar bola matanya,dan memandangi Zevana serta Angel dari atas sampai kebawah dengan tatapan yang sangat menyebalkan, hal yang sudah lama tidak dilakukan oleh Seorang Ashilla Zahrantiara yang dulu begitu angkuh dan sengak.
Kedua sobat kental Shilla, sudah menyerah. Mendesah keras-keras, karena tau, Shilla tidak mungkin mau memaafkan mereka.
"HAHAHAHA.." tiba-tiba Shilla tertawa keras-keras, "MISS YOU TOO, SISTAAA. Gue juga kangen banget sama kalian. Shilla yang baik hati ini sudah memaafkan kalian." tutur Shilla riang dan langsung memeluk kedua sahabatnya.
Angel dan Zevana tersenyum lebar, hampir bersamaan, mereka berkata, "Jadi kita dimaafin Shil ?"
"Woyadong. Tapi awas aja, kalau diulangin lagi. Gue bikin galau seumur hidup, lo berdua." ancam Shilla, setelah melepas pelukannya.
Tin.. Tiiinnn
Suara klakson vios silver milik Gabriel, membuat tiga belia tadi menepi.
"Belum pulang, Shil ?" tanya Iel , setelah menurunkan kaca mobilnya. Shilla menggeleng, "Mau bareng ?" tawar Iel.
"Gak deh Yel, gue mau bareng Angel sama Zeze aja." tolak Shilla dengan iringan seulas senyum.
"Oh, ya udah kalau gitu. Girls, duluan ya..." pamit Iel, Vios silvernya langsung meluncur meninggalkan kepulan debu yang melayang beberapa centi dari permukaan aspal, setelah dilewati ban mobil Iel.
"Ecie, cie. Princess baik hati kita ini jadi idola baru ya rupanya ? denger-denger direbutin tiga pangeran ganteng sekaligus." goda Angel jail.
Pipi Shilla bersemu merah, "Idih apaan sih, pada lebay deh." tukasnya, salah tingkah.
"Beruntung banget ya, Si Itu tu, berhasil memenangkan sayembara cintanya princess Shilla." tambah Zeze.
"Yang beruntung tu gue kali. Bisa jadian sama cowok keren, pinter, jago basket, perhatian pula." tutur Shilla, malu-malu.
"Aaarrh, cerita, cerita. Lo ditembak dimana Shil sama dia, trus romantis gak, ayo dong cerita ke kita." desak Angel, kabar bahwa sahabatnya telah memiliki kekasih sejak sekitar dua minggu yang lalu memang sudah Angel dan Zevana ketahui.
"Romantis dong pastinya. Dia main gitar dan nyanyiin satu lagu buat gue, diatas perahu kecil ditengah-tengah danau. Udah gitu, malam itu bintangnya banyaaaak banget. Romantis be.ge.te deh pokoknya." pamer Shilla.
"Aaaaaarh, maauuu.." koar Angel dan Zeze kompak.
"Emang ya, kalau udah jodoh gak kemana." tutur Angel, yakin.
"Ya udah ceritanya kita lanjut di cafè depan sana aja yuk. Gue yang traktir deh, itung-itung PJ buat kalian." Usul Shilla.
Ketiga gadis berseragam putih abu itupun melenggang menyebrangi jalan raya, menuju sebuah cafè yang memang tidak begitu jauh dari gedung SMA Citra Bangsa.
Sahabat..
adalah orang yang tidak akan memberimu cahaya saat gelap menjelang. Tapi ia akan senantiasa menjadi lilin, yang rela habis demi terangmu.
Sahabat...
Adalah orang yang tidak akan beranjak jauh dari tempatnya disisimu, meski berulang kali kamu memintanya pergi.
Sahabat...
Ia tidak merasa perlu untuk dendam, saat kamu lupa membagi tawamu dengannya, dan akan selalu mencurahkan maafnya saat kamu digelincirkan khilaf dan terseret dalam salah.
***
Hahaahaa
Suara tawa renyah itu, membuat Debo mempercepat ritme ayunan kedua kakinya. Ify tertawa ?? Setelah Rio menghilang yang Debo tau Ify tidak pernah tertawa seriang itu. Bahkan saat Cakka bertingkah konyol sekonyol konyolnya orang konyol sekalipun, gadis itu tidak pernah tertawa. Tentu saja derai tawa Ify tadi membuat Debo penasaran, apa Rio sudah kembali dan ada didalam ??
Setelah sampai didepan pintu rumah Ify, Debo berniat mengetuknya. Tapi kemudian pintu lebih dulu terbuka, dari dalam muncul Ify dan seorang pria hitam manis yang setahu Debo bernama Riko, kapten basket SMA Nusantara. Ada apa dia dirumah Ify malam-malam begini ? Debo mematung dengan tangan yang masih terangkat diudara.
"Patung baru Fy ? Tadi perasaan pas gue masuk belum ada deh." celetuk Riko seraya menyeringai lebar kearah gadis berpiyama merah jambu disampingnya.
"Helloo, mas.. Mas !!" Riko mengibas-ngibaskan lengannya didepan wajah Debo.
Debo terkesiap.
"Eh iya. Anu Fy, eh, gue mau.." Debo tampak kelimpungan, merangkai kalimat untuk mengklarifikasi maksud dibalik ekspresi bodohnya tadi.
"Kenapa De ?" tanya Ify, heran.
"Emm, gue ada perlu Fy sama lo." Debo melirik Riko dengan tatapan Elo-Mendingan-Cepet-Pergi.
Riko yang seakan bisa mengerti bahasa isyarat lewat mata yang digunakan Debo, segera berinisiatif untuk pamit sebelum diusir, "Ya udah deh, gue balik ya Fy. Semoga sekarang lo ngerti." pamit Riko, ia segera berlalu setelah menerima anggukan kecil dan seulas senyum manis dari Ify.
Setelah sosok Riko menghilang ditengah temaranya malam, Ify kembali fokus pada pemuda didepannya, Debo.
Ify bersandar pada pintu dan memasukan kedua tangannya kedalam saku piyama yang ia kenakan.
"Ada perlu apa sama gue ?" tanya Ify, malas.
"Tadi Riko ngapain kesini, Fy ? Terus tadi lo ketawa-ketawa gitu sama dia, ngetawain apaan sih ?"
Ify mengangkat alisnya, "Sejak kapan lo hobi ngurusin, urusan gue ?" balas Ify, jelas sekali nada tidak suka yang Ify tekankan pada kalimatnya.
"Okelah, emang bukan urusan gue. Fy, lo masih peduli sama Rio ?"
"Lo kesini cuma buat nanya hal gak penting kayak gitu ke gue ?"
"Ck" Debo berdecak kesal, "Gak pake sinis gitu bisa kali Fy. Gue kesini cuma mau nolongin Kak Acel, dia jauh-jauh datang dari Manado buat ketemu lo. Kebetulan dia ketemunya sama gue, ya udah gue anter dia kesini. Itu orangnya.." Debo menunjuk seorang pemuda dengan garis wajah mirip Rio, yang sekarang sedang memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya pada jok mobil mercedes benz yang ia bawa. Pemuda yang kata Rio hanya berbeda 17 bulan dengannya itu terlihat begitu lelah dan sedih.
"Kak Acel, kakaknya Rio kan ? Ngapain dia mau ketemu gue ?"
Debo mengangkat bahunya, "Katanya buat sesuatu yang penting, kayaknya sih berhubungan sama Rio."
Rio. Mendengar nama itu darah Ify kembali berdesir cepat. Jantungnya lagi-lagi berdetak abnormal. Ify memang sudah berusaha melupakan pemuda itu, menghapusnya, mengabaikannya, sama seperti yang telah Rio lakukan terhadapnya. Tapi ternyata, sia-sia. Lihat saja, hanya dengan mendengar nama itu, tubuh Ify sudah memberikan respon yang tidak biasa. Semua masih begitu jelas, tidak tersamar, apalagi pudar.
"Sorry deh, tapi gue gak mau tau lagi soal Rio. Dia punya kehidupan sendiri, gue juga punya kehidupan sendiri. Gue gak mau berurusan lagi sama dia, toh emang itu kan yang Rio mau ?" tolak Ify tegas.
"Tapi Fy, kak Acel gak mungkin repot-repot sampai ke Bandung segala, kalau gak ada sesuatu yang penting. Paling gak lo temuin dia, atau biar gue panggil aja dianya kesini ?"
"Gak perlu." cegah Ify, "Gue udah bilang kan, gue gak mau ada urusan apa-apa lagi sama Rio. Bilang sama kakaknya Rio itu, gue minta maaf gak bisa bantu apa-apa. ada hal lain yang mau lo sampaiin ? Kalau cuma soal Rio, maaf tapi gue udah gak peduli." tandas Ify.
"Fy, lo kira gue peduli sama Rio. Kalau mau jujur gue juga masih benci sama dia. Tapi ini demi kemanusiaan. Ada seorang kakak yang jauh-jauh mau nemuin lo, demi adiknya, apa lo sama sekali gak tergerak buat bantu. Gimana kalau yang dimaksud penting itu menyangkut nyawa Rio ?"
Ify melengos tetap tidak peduli, "Bagus dong, kalau dia mati kan dia jadi bisa bersatu sama sepupu lo." jawab Ify sekenanya, ia benar-benar marah didikte macam-macam oleh Debo, seakan-akan Ify adalah gadis paling tidak berperasaan.
"Tapi Fy, lo kan.."
"Selamat malam Debo." Ify tidak menunggu Debo menuntaskan kalimatnya, ia lantas menutup pintu rumahnya dengan kasar, hingga terdengar bunyi BRAK yang cukup keras.
Didalam, Ify bersandar lemas pada pintu. Perlahan, tubuhnya melorot ke lantai. Ify terus menggeleng sambil merapal sebuah kalimat, "Jangan nangis Ify. Jangan nangis." kalimat itu terus diulang Ify, sebelum akhirnya berhenti karena Si Perapal mendengar satu kalimat yang diteriakkan Debo dari luar.
Tidak ada hujan, kilat apalagi petir. Tapi Ify merasa bagai disambar guntur-guntur dengan gelegar maha dahsyat. Tubuhnya bergetar. Tertatih Ify menggapai handle pintu, berharap Debo masih bertahan diluar sana. Dan Tuhan mau berbaik hati menormalkan lidahnya yang tiba-tiba jadi beku, untuk sekedar bertanya, tentang kebenaran kalimat yang tadi Debo teriakkan.
***
Jendela yang menghadap langsung kearah timur itu, dibiarkan terbuka. Berharap sirkulasi udara yang berjalan lancar bisa merubah atmosfer ruangan ini menjadi lebih segar. Tapi ternyata tidak, angin malam yang bertiup sepoi, mengusap lembut apapun yang dilewatinya, nyatanya sama sekali tidak bisa membuat para penghuni ruangan ini untuk setidaknya melonggarkan argumen.
"Mau ya sayang, demi Mama Vin, demi masa depan kamu juga, Nak." Mama Alvin masih terus berusaha membujuk putranya itu agar mau menjalani pengobatan sekaligus operasi di Singapore. Sang Mama sengaja menggunakan kata-kata sehalus mungkin, agar Alvin luluh.
"Gak mau Ma, kenapa harus di Singapore sih, Ma ? Kalaupun nanti Alvin dapat donor mata, terus dioperasi dan sukses, yang pengen Alvin liat pertama kali tu temen-temen Alvin. Dan seandainya operasinya gagal, lalu terjadi sesuatu sama Alvin, Alvin mau selalu deket sama temen-temen Alvin. Alvin gak mau ke Singapore. Lagi pula disana Alvin juga belum dapat donor mata yang pasti kan ?"
"Tapi Vin, akhir-akhir ini kamu bilang bagian sekitar mata kamu sering sakit kan ? Pihak rumah sakit sudah membuat surat rujukan agar kamu berobat ke Singapore. Alvin, kami ingin yang terbaik buat kamu, Nak." Papa ikut menimpali.
"Alvin gak mau Pa, Ma... Alvin takut."
"Vin, elo gak perlu takut, gue bakal ikut nemenin lo ke singapore. Kalau elo udah sembuh, kita bisa pulang secepatnya, elo bisa segera ketemu sama anak-anak, yang penting lo sembut dulu." Iel turut membujuk Alvin.
"Gabriel, kamu gak mungkin ikut Nak, kondisi kamu sendiri belakangan ini gak stabil. Singapore itu gak deket, Mama gak mau kamu malah drop nantinya." cegah Sang Mama, tampak khawatir.
"Ma, Iel baik-baik aja kok. Selama ini Iel juga sering kan keluar negri sama Papa. Iel mau nemenin Alvin Ma, Pa.." rajuk Iel, setengah memohon. Entah karena apa, Ia merasa perlu untuk ikut. Iel merasa akan terjadi sesuatu, dan ia akan sangat dibutuhkan disana. Hati kecilnya terus memerintahkan Iel agar ikut bersama Alvin serta Mama dan Papanya ke Singapore.
"Baiklah, Yel. Kamu boleh ikut." ujar Sang Papa pada akhirnya.
"Tapi Mas.."
"Kebetulan dokter Fadli sedang riset bersama timnya di Singapore juga, kalaupun Iel drop, dokter Fadli pasti bersedia memback up. Tapi semoga saja, tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Jadi bagaimana Alvin, kamu setuju berangkat ke Singapore ?" tanya Papa kembali pada Alvin yang terduduk diatas ranjangnya.
"Alvin mau Pa, tapi Via juga ikut ya. Alvin mau Via juga ditangani tim medis yang lebih profesional di Singapore, lagipula Via sakitnya belum parah, masih mungkin sembuh tanpa harus transplantasi, kalau ditangani oleh dokter-dokter ahli."
"Kalau ibu Sivia setuju, mama sih tidak masalah kalau Sivia ikut."
"Papa juga. Papa harap kalian berdua akan lekas sembuh, siapa tau setelah sehat kalian berniat untuk melangsungkan pertunangan, nantinya." goda Papa Alvin, tanpa memperhatikan perubahan ekspresi kedua putranya.
"Semoga Tuhan memperkenankan itu semua terjadi." pinta Iel dalam hati. Ia tersenyum simpul. Paling tidak pengorbanannya selama ini tidak akan sia-sia kalau pada akhirnya dua orang yang paling berarti untuk Iel, keduanya bisa bersatu dalam kidung bahagia yang sempurna.
***
Label:
Malaikat Hidup Gue