Rabu, 03 Agustus 2011

Rahasia Orion Part 9

Rahasia Orion Part 9
"Menara Merana"

*
Menara yang Merana
Ia di atas sana tapi berduka
Ia serba ada tapi tersiksa
Ia tinggi tapi sendiri
Ia sendiri dan rasanya nyeri
Merana-rana sang menara sedang merana

***

Alvin terlongong.

Foto-foto laknat itu melayang anggun di depan wajahnya. Ketika menyentuh lantai yang dingin dalam posisi tersibak, Alvin dibuat membesi. Matanya berkilat tak percaya. Berbanding terbalik dengan mata bening Gladys yang begitu sendu menampakkan rasa kecewa wanita itu pada Putranya. Ruangan yang berisikan satu set sofa mewah, guci-guci cantik yang mengkilat dan berbagai perabotan mahal lainnya itu, terasa kosong diliputi kebisuan dan ketegangan. Yang tertangkap oleh saraf-saraf pendengaran hanya bunyi srek-srek-srek dari foto-foto yang dipunguti Alvin dengan jari bergetar. Saat ini, ada dua buah foto yang menghuni genggaman tangannya.
Keduan foto itu menjadikan Alvin sebagai objeknya. Alvin sang ketua OSIS Veronna High School dalam foto pertama sedanga berdiri di depan area sebuah club malam, terlihat santai dengan tangan kiri yang tersembunyi di balik saku jaketnya dan tangan kanan pemuda itu sibuk memainkan handphone. Sedangkan pada foto kedua, terlihat Alvin memeluk seorang gadis berpakaian minim masih di depan clum malam tadi.
Sekarang Alvin faham, ada seseorang yang sengaja menjebaknya untuk mendapatkan foto-foto itu. Alvin ingat betul pada waktu itu, sebelumnya, Alvin mendapatkan pesan singkat dari nomor tidak dikenal yang mengabarkan bahwa Rio dipukuli oleh segerombolan pemuda yang sedang mabuk dan tengah terkapar di depan sebuah club malam. Pengirim pesan singkat itupun menyertakan alamat yang harus dituju Alvin untuk menolong Rio. Sesampainya disana Alvin tidak menemukan Rio, lalu ia menghubungi nomor yang tadi mengirirminya pesan singkat dan ternyata nomornya tidak aktif. Alvin akhirnya memutuskan untuk pulang karena yakin bahwa dia sedang dikerjai. Salahnya juga lah karena terlalu panik sehingga tidak mengecek terlebih dahulu keberadaan Rio. Padahal nyatanya waktu itu, Rio tidak pernah menjejakkan kaki disana, ia hanya sedang pergi bersama Shilla ke sebuah pusat perbelanjaan. Ketika Alvin akan berbalik ke arah mobilnya ada seorang wanita yang tiba-tiba menubruknya, wanita itu lantas mengalungkan tangannya ke leher Alvin agar tidak jatuh, “Maaf, maaf” ujar wanita itu. Saat itu Alvin hanya mengangguk dan berlalu.
Alvin baru mengerti sekarang, apa maksud dan tujuan Si Pengirim Pesan itu, jadi untuk foto-foto ini Alvin diberi berita bohong.

"Ini nggak kayak yang kalian pikir." Alvin mencoba memberikan klarifikasi, dengan manik mata yang tak beralih dari keenam foto ditangannya.

Eyang Putri tertawa mencela, "Apa Gladys juga mengajarimu untuk berkilah ?" Ekspresi wanita tua dengan tulang pipi tirus dibalut kulit kuning langsat yang mulai berkerut itu, tetap datar.

"Ini semua nggak ada hubungannya sama Mama."

"Apa kamu bilang ?" Eyang Putri memajukan kepalanya, seolah kurang jelas mendengar perkataan Alvin, "Nggak ada hubungannya ? Jelas-jelas kamu berkelakuan seperti ini karena Gladys tidak becus mendidikmu. Saya heran, apa yang sebenarnya membuat Narendra memilih Mamamu itu." Eyang Putri menggerakkan sedikit kepalanya yang dihiasi konde mungil, kearah Gladys yang berdiri bersisian dengan Shilla.

"Mama nggak sa-"

"Cukup Alvin." salak Gladys, keras, "Jangan membantah Eyang lagi. Beliau benar, Mama sudah gagal mendidik kamu." sambung Gladys, lirih diujung kalimatnya.

"Ma, yang terjadi sebenarnya nggak seperti yang kelihatan di foto-foto ini, Alvin nggak main-main ke club malam. Mama dengerin Alvin dulu, Alvin bisa jelasin semuanya, Ma."

"Baik. Sekarang Mama tanya, foto-foto itu asli atau hanya rekayasa ?" tanya Gladys dengan suara tegas.

Alvin tergagap. Beragam penjelasan yang tadi berpusar diotaknya, tiba-tiba saja menguar. Kenapa harus pertanyaan itu yang Gladys ajukan ? Mulut Alvin bergerak-gerak, tapi tidak sepatah katapun terdengar darinya.

"Jawab !!" bentak Gladys, galak.

"Fo..foto..fotonya... Fotonya asli Ma, tapi Alvin-"

"Cukup." lagi-lagi Gladys memotong ucapan Alvin, "Itu sudah lebih dari cukup. Mama tidak mau dengar lebih banyak lagi. Sekarang cepat pergi dari sini. Jangan temui Mama sebelum kamu menyadari kesalahanmu dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya. " Gladys memalingkan wajah, tidak ingin beradu pandangan dengan Alvin. Ia merasa terlalu lunak, tidak bisa bersikap tegas terhadap Alvin, sehingga sekarang anak itu benar-benar berada jauh diluar kontrolnya.

Alvin mengepalkan tangannya kuat-kuat. Meremas keenam foto petaka, yang membuatnya kehilangan kepercayaan Sang Mama. Dan itu sangat menyakitkan, mengingat hanya Gladys lah yang ia miliki saat ini, "Ma..." suaranya terdengar lemah, matanya sayu, "Alvin anak Mama. Alvin nggak akan pernah tega bikin Mama kecewa. Harusnya Mama percaya dan mau dengar penjelasan Alvin dulu." tambahnya dengan nada memohon.

"Jadi Mama harus dengar pembelaan kamu, Vin ? Siapa yang berani jamin kalau kamu tidak sedang membohongi Mama ? Siapa yang berani jamin kalau kamu tidak sedang mengarang alasan ?"

"Saya berani jamin." Rio menyela. Tidak ingin jadi lakon pasif dalam ruangan itu, kalau nyatanya ia bisa berbuat lebih untuk membela Alvin. Duduk, diam dan mendengarkan, hah, Rio tidak bisa hanya melakukan tiga hal itu sementara Alvin selalu melayangkan tatapan meminta bantuan kearahnya.

"Diam Rio !!" sergah Eyang Putri, "Tidak ada yang meminta kamu berbicara. Kamu jangan terus-terusan membela Alvin. Sekarang, cepat masuk kamar dan renungkan kejadian hari ini. Jangan sampai kamu mengulangi kesalahan yang sama dengan Alvin." kali ini Eyang Putri sepertinya sangat marah, terbukti, ia sampai tidak sadar telah membentak Rio seperti tadi.

Rio menunduk. Jarang sekali, Eyang Putri bicara dengan nada tinggi seperti barusan, membuat Rio sedikit ngeri untuk membantah, "Eyang, tapi Rio yakin, Alvin nggak-"

"Rio !! Masuk kamar !!"

“Tapi Rio tau cerita sebenernya Eyamg, Alvin nggak sa-“

“MARIO! MASUK KAMAR!” raung Eyang Putri, marah.

Rio menggerutu, dengan wajah ditekuk, akhirnya ia memilih untuk menurut. Rio berjalan gontai, menaiki tangga pualam menuju kamarnya dilantai atas. Sebelum sampai pada anak tangga terakhir, Rio sempat melempar pandangan berartikan maaf, yang dibalas anggukan kecil oleh Alvin.

Setelah bunyi derap kaki Rio yang sengaja dihentakan sangat keras oleh pemiliknya berakhir, ditutup dengan aksi Rio membanting pintu kamar, Eyang Putri kembali beralih menatap Alvin. Sudut matanya meruncing, berkilat mencela dengan senyum seadanya yang membuat tampang wanita tua itu ingin sekali Alvin lempari lumpur, saking mengesalkannya, "Seharusnya, sebelum bertindak bodoh dan memalukan seperti ini, kamu berpikir dulu ribuan kali. Sekarang kamu bukan lagi putra orang pinggiran yang bebas melakukan apapun tanpa aturan. Kamu sadar tidak? Kelakuan buruk kamu bisa menular kepada Rio, tentu saya tidak akan rela kalau itu terjadi. Kamu itu bagian dari kami, Alvin. Anggota keluarga besar Haling yang terhormat. Mau ditaruh dimana muka kami kalau kejadian ini sampai terendus orang luar. Benar-benar apatis kamu ini, hanya mementingkan diri kamu sendiri,” cerocos Eyang Putri.

"Ibu benar," Gladys meletakkan tangan kanannya di dada. Pemandangan yang membuat Alvin merasakan sayatan mata pisau paling tajam di setiap sisi hatinya. "Jangan sampai Rio meniru Alvin." imbuhnya, tertahan.

Alvin tergugu sejenak, tak menyangka hanya karena masalah foto yang belum jelas kebenarannya, Mamanya tega berujar demikian, "Saya tidak pernah berharap jadi bagian dari keluarga Haling yang terhormat. Kalau bukan karena Mama mencintai Papa, saya merasa lebih nyaman jadi putra orang pinggiran." tegas Alvin. Matanya memicing tajam, air mukanya yang keras kembali memetakan diri. Ia merasa tidak perlu lagi memelas atau memasang ekspresi memohon. Toh, percuma saja. Gladys apalagi Eyang Putri tidak akan tergerak untuk sekedar mendengarkan penjelasannya. Alvin memutuskan untuk segera berlalu dari tempat itu.

"Mau kemana kamu ?" Eyang Putri dan Alvin berdiri bersisian dengan posisi sejajar. Sama-sama memasang ekspresi datar.

"Kenapa ? Bukankah saya tidak diharapkan ada ditempat ini ?" sahut Alvin, ketus.

Eyang Putri mengulurkan tangan, "Kemarikan SLR mu!"

Alvin terpaku cukup lagi. Tanpa sadar kedua tangannya jadi semakin erat memegangi SLR yang tergantung dilehernya.

"SLRmu ditahan sementara. Sampai Rendra pulang, dan menjatuhkan hukuman yang pantas untuk kamu. Saya akan menghubunginya setelah ini. Mana SLRmu ??"

Letupan kemarahan berpendar pada kedua manik mata Alvin. Sejauh ini fotografi adalah satu-satunya tempat Alvin melarikan diri dari rasa penat yang membebaninya. Lantas bagaimana jadinya kalau SLR Alvin disita ? Hah, tapi toh hukum rimba memang benar-benar berlaku. Dunia memang hanya memihak pada mereka yang disertai kekuasaan. Alvin hanya bisa pasrah ketika Eyang Putri yang tidak sabar, segera menarik paksa SLR hibahan Rio itu darinya. Sejurus kemudian, wanita berpakaian terusan bunga-bunga coklat itu, melenggang anggun meninggalkan ruangan yang masih diselubungi atmosfer ketegangan itu.
Alvin mengulur napas berat. Rasanya udara sekitar entah bagaimana prosesnya berubah jadi bongkahan batu, yang semakin dihirup, semakin membuatnya sesak. Alvin menyeret kaki panjangnya menuju kamar dengan kedua tangan terkulai lemas disamping tubuh jangkungnya. Wajah yang digelayuti letih setelah seharian hunting foto bersama teman-temannya terlihat makin kuyu dan putus asa, selayaknya raut muka Rama saat pertama kali menyadari Shintanya dilarikan oleh Rahwana. Cocok kan, Alvin jadi Rama, SLRnya Shinta dan Eyang Putri itu Rahwana, Si Raksasa menyebalkan.

"Jangan pedulikan keluarga Haling kalau kamu memang tidak suka menjadi bagian darinya, tapi setidaknya pikirkan perasaan Ayahmu. Dia pasti akan sangat malu, melihat kamu seperti ini sekarang." Gladys berucap lirih, sebelum Alvin mencapai puncak anak tangga.

Pemuda itu tidak menunjukkan reaksi yang berarti, hanya tangan kokohnya yang meremas pegangan tangga secara berlebihan, membuat buku-buku jarinya memucat. Tanpa menoleh sedikitpun, Alvin meneruskan langkahnya menyusuri lantai granit yang mendasari Rumah Besar.
Gladys terduduk lemas. Wanita yang akhir-akhir ini sering mengenakkan baju-baju bersize longgar itu, merobohkan diri pada sofa coklat gelap yang beberapa menit lalu dihuni 4 orang dengan perasaan gelisah menanti kedatangan Alvin, semenjak hadirnya foto-foto itu. Gladys terisak, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisan yang ditahan agar tidak pecah membuatnya terceguk dengan bahu yang bergetar hebat. Di satu sisi, ia tidak tega melihat perlakuan Eyang Putri terhadap Alvin. Ia menyesali semua perkataannya, yang pasti menyakitkan untuk Alvin. Tapi bagaian hatinya yang lain, terlanjur kecewa. Yang ia tahu Alvin adalah putranya yang baik dan penurut, bukan anak nakal seperti yang secara tidak langsung diceritakan foto-foto itu.
Shilla yang juga masih berada ditempat itu, benar-benar iba melihatnya. Yang dirasakan Gladys saat ini, pasti sama dengan yang dirasakan Ibunya ketika dulu mendapat laporan dari tetangga bahwa Shilla dan pasukan alitnya mencuri jambu dikebun Teh Mirah. Pasti sedih sekali, mengetahui buat hati kebanggaannya berbuat tidak baik. Waktu itu, Ibu sampai sakit karena memikirkan Shilla kecil yang begitu nakal. Sekarang, saat Shilla sudah beranjak dewasa. Mulai berusaha untuk jadi gadis manis berperangai baik, justru Ibunya telah lebih dulu direngkuh maut. Shilla tidak ingin hal yang sama terulang pada orang lain. Semua anak harus bisa membuat orang tuanya bangga, sebelum menyesal dikemudian hari, setelah Tuhan lebih dulu memeluknya. Kalau memang Alvin punya penjelasan, Shilla harap Gladys mau mendengarkannya. Ia yakin Alvin tidak bersalah dan karena itu, tidak sepantasnya wanita anggun itu menangis.  Ia mencoba mendekati Gladys, mengambil porsi lebih dari sekedar jadi pendengar atau penonton saja, seperti tadi "Tante..." tutur Shilla lembut, disentuhnya punggung tangan Gladys, perlahan. Shilla tersenyum kalem saat Gladys merespon panggilannya dengan menurunkan kedua telapak tangannya dan berusaha menghentikan tangisannya, "Tante, sabar ya... Tante jangan terlalu sedih. Shilla yakin kok, Alvin punya penjelasan atas ini semua. Alvin itu anak yang baik, Tan. Tante percaya kan sama Alvin ?" Shilla menambahkan dua anggukan kecil diujung kalimatnya.

"Tante juga maunya semua itu bohong, Shil. Semua itu nggak benar. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang Alvin bilang. Foto-foto itu asli." seloroh Gladys dengan suara sarat kekecewaan, "Sudah sejak lama Tante khawatir, takut karena satu dan lain hal yang terjadi belakangan di rumah ini, akan membuat Alvin tertekan. Tante sedikit lega, saat tahu Alvin melarikan diri ke dunia fotografi, paling tidak itu adalah kegiatan yang positif. Tapi ternyata fotografi hanya kamuflase. Tante tidak pernah menyangka kalau Alvin sudah terlibat jauh dalam pergaulan buruk seperti itu." Gladys menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Sungguh ia tidak rela, tidak akan pernah rela putra kebanggaannya terjerumus pada pergaulan yang hanya akan menghancurkan masa depannya. Ingin ia memuntahkan semua pil pahit yang dijejalkan secara paksa kepadanya, hari ini.

"Tante..." Shilla memiringkan wajahnya, menatap kedua bola mata Gladys yang digenangi selaput tipis air mata, "Bukan maksud Shilla menggurui, tapi terkadang apa yang kita pikirkan tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi," Shilla meraih tissue dari kotak persegi panjang cantik berbalut kain kotak-kotak warna krem yang terletak diatas meja dihadapan mereka, “Tante baca deh!" Shilla mengangsurkan ponselnya yang menampilkan satu message terbuka pada Gladys. Pesan dari Rio. Isinya menjelaskan kejadian sebenarnya pada waktu itu. Begitu Rio pulang dari pusat perbelanjaan dan menemui Alvin di kamarnya, pemuda sipit itu langsung menceritakan segalanya pada Rio. Tentang pesan singkat yang diterima Alvin dan club malam itu. Rio menceritakannya sejelas mungkin dan meminta Shilla menunjukkannya pada Gladys. Sementara Eyang Putri, Rion akan berusaha bicara dengannya nanti kalau amarahnya sudah mereda.

Gladys menghela napas sangat lega,  menyusut air mata dengan tissue yang diberikan Shilla tadi. Senyum lembutnya kembali mengembang, "Syukurlah kalau begitu." ia menepuk puncak kepala Shilla. Gadis berambut panjang itu, merasakan nyaman sekali. Sudah lama, ia tidak mendapatkan perlakuan seperti ini dari seorang Ibu. Tiba-tiba saja, sulur-sulur rindu pada Ibunya menyeruak, merambati sebentuk hatinya, menjalari sumsum dan setiap persediannya. Shilla ingin sekali menangis. Dua bola mata jernih gadis itu tampak berkaca-kaca, pandangannya mulai mengabur, "Boleh Shilla peluk Tante ? Sebentaaar aja..." pintanya, sedikit ragu. Takut kalau Gladys akan menolak meluluskan permohonan kecilnya.

Tapi wanita itu dititipi Tuhan jiwa yang begitu halus, tidak akan pernah terlontar kalimat penolakan darinya, apalagi untuk seorang gadis yatim piatu yang hanya menginginkan satu pelukan. Gladys merentangkan tangannya, detik berikutnya, tubuh Shilla sudah berada dalam rengkuhan hangatnya, "Tante harus minta maaf pada Alvin. Apa Tante boleh meminta bantuanmu, Shilla ?"

Shilla menarik tubuhnya dari pelukan Gladys, "Bantuan apa ?"

***

Alvin membanting tas yang disandangnya dengan kasar. Benda itu, menghantam jam pasir berbahan dasar kaca yang terletak diatas nakas dekat satu set peralatan elektronik penghuni kamar luas Alvin. Menimbulkan bunyi gaduh dengan serpihan kaca yang terpencar dilantai.

"Sial." rutuk pemuda itu, marah.

Ditariknya bedcover yang menyelimuti doublebed-nya, guling serta bantal yang tersusun rapi diatas sana, alhasil ikut terhambur jatuh menagdu diri dengan lantai dingin Edelweiss Room. Belum puas dengan usahanya menghancurkan kamar, Alvin menendang sebuah bantal yang paling dekat dengan jangkauan kakinya, lantas menendang bantal itu sekuat tenaga. Bantal tanpa dosa itu terpental, menabrak lampu tidur dimeja kecil sebelah double bed. Bunyi prang dari benda yang pecah kembali membahana.
Kemarahannya belum berkurang. Emosi masih bergolak. Tapi tenaganya sudah terkuras. Mengontrol diri sendiri, ternyata memerlukan energi yang lebih banyak, dibanding untuk melawan segerombolan preman. Alvin terduduk, dengan punggung menempel pada sisi ranjangnya. Dengan geram diajak rambutnya hingga beberapa helaian hitam itu mencuat tak beraturan.
Alvin mengulurkan tangan, meraih ponselnya, ketika benda mungil itu terus saja bergetar heboh dengan layarnya yang berkerjap-kerjap. Display ponsel keluaran terbaru itu, menunjukkan ikon gagang telepon plus sederet nomor yang tidak Alvin kenal. Meski enggan, Alvin tetap mengangkat panggilan yang baru masuk itu, takut-takut berasal dari staf OSIS yang ada kepentingan dengannya. Walau bagaimana pun Alvin harus tetap profesional.

"Hallo." sapanya, seraya mengatur deru napas, berusaha menormalkan suara.

"Gimana ? Udah sampai balasan dari tinju lo waktu itu ? Foto-fotonya keren kan, Vin ? Lebih keren dari semua hasil jepretan lo."

Tubuh pemuda berkulit putih itu kembali menegang. Pegangan pada ponselnya jadi ratusan kali lebih kuat dibanding sebelumnya.

"Oh ya, ada bonusnya juga lho," suara diseberang sana, terdengar mencibir dengan selingan tawa-tawa pendek yang sinis, "Dua tonjokkan di pipi saudara tiri lo, kemarin. Ya, gue rasa itu udah lebih dari cukup buat bikin lo paham bahwa nggak ada yang boleh berbuat seenaknya sama gue, Gabriel Damanik."

"Sialan lo Yel, jadi elo otak dari semua ini ? Sakit ya lo, keterlaluan."

"Hahaha... Gue bukan cuma otaknya Vin, tapi gue fotografer plus delivery-nya, sampai foto itu tiba didepan pintu rumah keluarga Haling yang emm... Busuk !!"

"Oh, terus sekarang lo ngerasa menang ? Lo kira gue nggak bisa berbuat yang lebih extreem dari ini, lo lihat aja nanti."

"Aduh, ckck, jadi takut ni gue. Tapi sayang ya, Vin, gue selangkah lebih maju dibanding lo. Gue masih simpan foto-foto itu, jadi lo jangan macam-macam kalau nggak mau, gambar Alvin dan wanita 'simpanannya' jadi cover Aruna edisi terbaru."

"OK. We'll see. Ingat, Yel. Lo yang sulut, jadi jangan nyesel kalau apinya membakar diri lo sen-"

"Hoaam, omongan lo kayak kakek-kakek deh Vin, bikin ngantuk. Ya udah lah, bye Vin, selamat malam dan semoga lo mimpi indah. Hahaha." Gabriel mengakhiti percakapan singkat itu dengan tawa mencela, membuat Alvin sangat berang.

tut-tut-tut

Sambungan diputus sepihak.

Alvin tertunduk lemas. Kemarahannya kian menjadi, tapi tenaganya belum pulih, jadilah pemuda itu memilih untuk membenamkan kepalanya pada kedua tangan yang terlipat diatas lututnya yang tertekuk. Pada dasarnya Alvin tidak suka bermusuhan, ia tidak pernah ingin menyakiti orang lain. Bahkan, kadang kala, Alvin sendiri bingung, kenapa Tuhan harus menciptakan rasa benci antar umat manusia. Tapi perbuatan gabriel sudah kelewatan Alvin tidak akan bereaksi kalau saja yang dilakukan Gabriel tidak melukai Mamanya. Pemuda itu memejamkan matanya rapat-rapat, berharap ini semua hanya sebatas mimpi yang akan segera berakhir setelah kedua kelopak matanya terbuka.

***

Kamar itu cantik. Dengan dindingnya yang dicat warna baby pink, ber-background kepala-kepala boneka dan bunga-bunga kecil. Bintang-bintang yang akan bersinar keperakan ketika lampu dikamar ini dipadamkan, tertempel pada langit-langitnya. Bedcover yang membungkus single bed dalam ruangan ini bercorak minnie mouse yang lagi-lagi didasari warna pink. Tirai victoria yang terjuntai menutupi jendela besar yang menghadap ke barat, juga berwarna senada dengat cat dinding. Selebihnya, perabot-perabot yang mengisi kamar dilantai dua sebuah rumah mewah itu, tidak berbeda jauh dengan kamar-kamar lainnya. Terdapat meralatan elektronik lengkap, dress-in built dengan koleksi pakaian-pakaian yang cantik, meja rias plus kaca besar yang dibingkai ukiran kayu jati, lalu pernak-pernik lainnya yang didominasi warna merah muda. Mempertegas karakter penghuninya yang begitu manis dan manja. Gadis itu terduduk jenuh dikursi putarnya, menghadap meja belajar. Sudah setengah jam ia berada dalam posisi seperti ini. Tugas membuat sebuah karangan dalam bahasa Perancis yang coba dikerjakannya bahkan baru sampai pada kalimat-kalimat pembuka. Merasa putus asa dengan tugas kuliahnya, ia menyentakkan bolpointnya. Berlanjut dengan aksi merentangkan tangan sambil menguap kecil. Diliriknya jam doraemon yang bertengger bersisian dengan foto seorang pemuda tampan, waktu ternyata berlalu begitu cepat, sudah lewat 20 menit dari tengah malam.
Gadis manis bermata bulat itu menggeser selembar kertas polio tempatnya menuliskan tugas tadi, ganti diraihnya buku harian dengan cover boneka beruang berwarna coklat muda. Ia tersenyum kecil, saat-saat seperti inilah yang paling ia sukai. Saat mengenang kembali sosok pangerannya. Saat ia dengan leluasa melukis wajah Si Masa Lalu dalam benaknya. Saat ia dengan senang hati, mengizinkan dirinya digeret dalam satu tahun penuh kenangan manis yang tak pernah berhasil ia kubur.
Jemari lentik dengan kukunya yang terkikir rapi, mulai menari lincah membubuhkan beberapa kalimat dalam buku hariannya, yang tanpa disadari, setiap lembarnya hanya menceritakan satu sosok yang sama, dia, dia, dan akan selalu dia.

Seandainya aku seorang penulis,
aku akan membuat kakak melihat orion lewat tulisanku.
Membayangkan betapa terang dan cantiknya rasi bintang itu.
Seperti yang sering kita lakukan dulu.
Siapa yang sekarang menemanimu melihat bintang kak ?
Siapa temanmu melihat Sirius dan Andromeda ?

Seandainya aku seorang penulis,
aku akan membuat kakak mengerti lewat tulisanku.
Tentang hidup, tentang takdir dan tentang sebuah perpisahan.
Siapa temanmu sekarang kak ?
Pada siapa mimpimu kau ceritakan ?

"Ekhm." seorang pemuda dengan jaket kulit hitam, menyembulkan kepala dari balik pintu berbahan dasar kayu aras disisi kamar itu, "Ck, udah tengah malam gini kok belum tidur sih lo ?"

Si Gadis tadi terpaksa menghentikan aktivitasnya, "Ini juga mau tidur kok." balasnya sambil tersenyum. Ia mulai membenahi berbagai alat tulis dan buku-buku yang berserakan diatas meja belajarnya.

"Ya udah, gue sekalian pamit pulang ya."

"Mau pulang ? Ya ampun ini kan udah tengah malam, nanti kalau ada apa-apa dijalan gimana ? Kenapa nggak besok aja sih pulangnya ?"

"Gue ada tugas kelompok, deadline-nya besok dikumpulin diketua kelompok, nggak enak kan kalau seorang Feldy yang terkenal rajin ini, telat ngumpulin tugas bagiannya." Pemuda tadi, Feldy, merentangkan tangan sembari menaikan kedua pundaknya.

"Huuu, apa banget deh." gadis berkulit kuning langsat itu melempar penghapusnya kearah Feldy.

Feldy bisa menangkapnya dengan sigap, "Mau titip salam nggak ?"

Gadis dalam balutan piyama pink pudar itu memajukan bibirnya, "Apaan sih, udah ah, bikin galau aja tahu nggak." ia menutup telinganya dengan kedua tangan.

"Hahaha, cie sepupu gue bisa galau juga. Ya udah, gue pamit ya, bye." pintu sudah hampir tertutup rapat, ketika Feldy, berbalik kembali, "Eh iya, dia titip salam. Salamnya nggak pernah berubah kok, masih kayak yang du-"

"Iiiihhh, pergi nggaaakk ??" gadis tadi melempar dua bantal berturut-turut, membuat Feldy harus segera beranjak pergi sebelum menuntaskan kalimat.

"Dasar rese" cibir gadis tadi, seraya beringsut dari kursinya menuju kasur empuk yang akan mengalasi tidur nyenyaknya, "Selamat malam Kak,” lirihnya, merana.

***

Telunjuk Rio beradu dengan bidang datar permukaan meja belajarnya. Menimbulkan bunyi tuk-tuk-tuk yang mengisi kekosongan dalam kamar itu, yang sejak tadi hanya diisi oleh raungan mesin AC yang menyala. Pemuda itu mencoba mengusir sepi dengan bersenandung kecil, lagu yang sering didendangkan Veronna sebelum ia terlelap, kelima jari tangannya menyentuh lembut foto Sang Mama. Bingkai kaca yang mengukung foto itu, memunculkan aurora cantik, saat sinar lampu berlandas tepat di atasnya.
Saat terdengar ketukan samar pada lantai, Rio segera menegakkan tubuh. Ada yang sedang berjalan mendekat kearah kamarnya dan Rio tahu pasti, siapa orang itu. Dengan cepat, pemuda berkaos kuning pucat dengan celana selutut berwarna hijau gelap itu berlari menuju balkon. Saking terburu-buru tak sengaja kaki kirinya terantuk kaki ranjang. Pemuda itu meringis kesakitan sambil melompat-lompat dengan satu kaki. Setelah berhasil sampai dibalkon, Rio duduk manis lantas membuka buku dan membubuhkan coretan angka-angka didalamnya dengan serius. Ia mengetuk-ngetukkan ujung pensil pada keningnya yang berkerut rapat.
Tak lama, pintu kamar Matahari Room terjeblak terbuka. Shilla datang membawa dua gelas tinggi berisi jus apel dan sepiring keripik singkong yang akan menemani dating mereka malam ini dengan fisika. Sepertinya dua anak manusia ini, benar-benar mengamini perintah Bu Sumarsih yang menganjurkan agar selama beberapa bulan kedepan, untuk menyongsong UN, mereka harus lebih sering berkencan dengan buku-buku pelajaran.

"Gimana Yo ? Udah selesai soalnya ?" Shilla duduk didepan Rio. Dihadapan mereka, berhamburan buku-buku fisika dengan ketebalan cukup untuk membuat guru killer semaput bila terkena lemparan, salah satunya. Juga alat-alat tulis dan kertas berisi coretan rumus serta angka, berserakan diatas meja kayu kecil.

"Belum Shil, gue nggak ngerti yang ini, pakai rumus yang mana sih ?" Rio menunjuk satu soal pada halaman buku paket yang terbuka. Dalam hati mensyukuri bakat actingnya yang betul-betul jempolan, sehingga Shilla sepertinya tidak curiga, kalau sebenarnya sejak Shilla pergi mengambil cemilan tadi, Rio malah berleyeh-leyeh ria.

Shilla meletakkan nampan yang dibawanya dengan hati-hati, kemudian merundukan kepala, mengamati soal yang ditunjuk Rio, "Oh, kenapa udah ngerjain yang itu ? Yang ini dulu aja, lebih gampang. Yang itu mah aku aja masih rada bingung." Shilla menggunakan telunjuknya untuk menunjuk-nunjuk deretan soal dalam buku tersebut.

"Oh, hehe..." Rio menyeringai lebar, lalu kembali berkutat dengan soal yang direkomendasikan Shilla, "Eh, iya Shil," Rio mendongakkan kepala, "Lusa, jadi kan nonton gue tanding ?" tanyanya, berusaha mencairkan suasana. Meski judulnya belajar bersama, tapi nggak asik juga kan kalau selama berjam-jam kedepan meraka hanya diam dan bergelut dengan beragam soal yang sudah menanti untuk ditaklukkan.

Bu Any, guru kimia mereka sering mengatakan bahwasanya, kelas XII bukan lah waktunya bermain-main dan santai-santai. Mereka harus rela meluangkan banyak waktu untuk mulai mempersiapkan diri menghadapi UN. Kegiatan yang kurang bermanfaat sebaiknya dihapuskan dari jadwal kegitan sehari-hari. Bahkan menurut beliau sebaiknya, siswa-siswa kelas XII berpacaran dengan fisika, kimia ataupun matematika, untuk sementara. Dan sepertinya, Rio serta Shilla adalah contoh murid teladan yang menuruti nasehat gurunya. Malam ini, mereka (terutama Rio) putuskan untuk melakukan pendekatan dengan 3 mata pelajaran angker itu. Sudah sekitar 1 jam Shilla menemani (atau memandori tepatnya) Rio agar belajar lebih.

"Emm, maaf ya Yo. Tap... Tapi, aku udah... Itu... Aku udaaah ada janji. Ya, aku udah ada janji, sama... Tante Gladys. Maaf yaaa." Shilla menjawab dengan suara terputus-putus dan terus bergerak gelisah ditempatnya.

"Janji ? Yaaah, tapi lo juga kan udah janji sama gue, Shil." Rio melemparkan pulpennya hingga beradu kecil dengan permukaan meja.

Shilla memasang raut sangat menyesal, tangannya terkatup didepan dada, "Maaf ya Yo... Jangan marah yaa, aku benar-benar serba salah kalau mau nolak waktu itu. Tante Gladys keliatan sedih banget setelah kejadian foto-foto itu. Aku janji deh, lain kali pasti aku datang dan nonton kamu dibarisan paling depan. Nggak pa-pa ya ?" Shilla mengangkat telunjuk serta jari tengahnya membentuk huruf V.

Rio memutar bola matanya, sambil mendengus sebal, "Ya udah lah." timpalnya, singkat sambil merengut.

"Yah, Rio ngambek deh pasti." Shilla mengerucutkan bibir, sambil merajuk menarik-narik lengan kiri Rio yang terkulai diatas meja kecil yang sengaja dipindahkan ke balkon untuk Rio dan Shilla belajar.
  
Shilla mendesah tak kentara. Lantas menopang dagunya di atas kedua tangan yang ditegakkan dengan siku sebagai titik tumpu. Matanya tak lepas dari sosok Rio, membuat pemuda itu sedikit jengah dipandangi Shilla tanpa berkedip seperti itu, "Jelek deh." cibirnya, sembari menjulurkan lidah.

"Hah ?"

"Kamu!"

"Kenapa ?"

"Jelek."

"Masa sih ?" Rio membenahi tatanan rambutnya. Sesudah itu, ikut bertopang dagu seperti Shilla dan balas mengamati lekuk wajah sempurna pahatan Sang Pencipta, yang dianugrahkanNya pada Shilla.

"Iya. Jelek banget kalau cemberut gitu."
  
"Gue tu ganteng kali. Muna aja lo bilang gue jelek." kelakar Rio, penuh percaya diri.

"Ih, emang selama ini nggak ada yang kasih tahu ya kalau kamu jelek ?"

"Ya nggak lah. Orang gue ganteng."

"Jelek."

"Ganteng."

"Jeleek."

"Ganteng."

"Jelek"

"Jelek."

"Ganteng."

"Nah, tu kan ganteng. Jujur kek dari tadi." pekik Rio sambil menunjuk-nunjuk Shilla yang menutup mulut dengan telapak tangannya.

"Ih, tadi tu keceplosan doang tauuu."

"Justru yang keceplosan itu biasanya jujur Shil."

"Ah, tau ah, makan ni jujur." Shilla melayangkan guling yang tadi bertebaran disekitar tempat belajar mereka, tepat mengenai wajah Rio.

"Duh, kuli deh tenaga lo Shil. Sakit tau." Rio meraih bantal yang paling dekat jangkauannya dan balik membalas Shilla yang menyeringai lebar ditempatnya. Shilla sempat berkilah, sehingga amunisi pertama Rio gagal mengenai sasaran.

Balas-membalas dengan saling lempar-lemparan bantal pun terjadi. Alhasil pecahlah perang bantal antara Rio vs Shilla dalam Matahari Room. Mereka berkejaran memutari ranjang, melompati sofa, mencari tameng, menggerutu ketika sasaran lemparan mereka meleset sedikit, persis seperti dua bocah SD yang ditinggal orang tuanya dan merasa bebas untuk melakukan apapun yang mereka mau dalam rumah. Tidak butuh waktu yang lama untuk meluluh-lantakkan kamar Rio yang semula tertata rapi itu. Ruangan itu, tampak seperti replika jalur gaza setelah digencar tentara Israel.

Eyang Putri dan Narendra yang sudah berdiri didepan pintu kamar (tanpa Rio dan Shilla sadari), hanya menggeleng-gelengkan kepala, dengan senyum kecil.

"Senang ya Ren, melihat mereka akrab seperti itu." Eyang Putri bersuara.

"Sangat, Mam. Rendra sangat senang. Rendra harap dengan memperlakukan Shilla sebaik mungkin, Lisha bisa lebih tenang."

"Ya, semoga." balas Eyang Putri, seraya memijat-mijat dahinya. Kepalanya terasa pening malam ini, mungkin karena terlalu lelah, menjamu tamunya, yang datang jauh-jauh dari Negeri Paman Syam sore tadi, "Kalau dilihat-lihat, mereka malah jadi seperti berjodoh ya, Ren? Mirip." imbuhnya, meracau.

Narendra tertawa ringan, "Hahaha, Mami ada-ada saja," Narendra terkekeh lagi.

"Papa, Eyang ?" Rio yang pertama menyadari keberadaan dua orang dewasa didepan pintu kamarnya. Dengan senyum mengembang, pemuda yang mewarisi garis ketampanan Sang Papa itu menyongsong Papa dan Nenek tercintanya, "Papa baru datang ?" tanyanya, kemudian mencium tangan Narendra.

Narendra menggangguk samar, "Ini pesanamu." ia mengangsurkan bungkusan kecil pada Rio.

Rio dengan cepat melongok isinya, "Yah, Rio udah beli Handphone Pa, sama Eyang." sahutnya setelah melihat isi bungkusan dari kertas berwarna cokelat itu.

"Udah terlanjur dibeli. Gimana dong ? Kamu simpan aja ya." Narendra membuka kedua tangannya, lantas mengendikkan bahu.

Rio tampak berpikir, lantas tersenyum sumringah, "Buat Shilla aja." usulnya.

Shilla menengok kearah Rio dengan cepat, "Hah ? Eh, nggak-nggak. Nggak usah. Kamu simpan aja Yo, aku udah ada Handphone kok." tolaknya, halus.

Rio merengut. Shilla paling benci ekspresi seperti itu, jurus andalan Rio agar semua orang menuruti kemauannya. Tapi anehnya, Shilla selalu meng-iya-kan keinginan Rio, setiap pemuda itu sudah memasang tampang belaga ngambek dengan tangan terlipat didada serta kedua bola mata yang memicing tajam.

Rio tidak mau menggunakan kata-kata untuk memaksa Shilla, salah-salah dia bisa menyinggung perasaan Shilla, mengingat handphone yang sekarang digunakan gadis itu adalah pemberian alharhumah Ibunya. Memasang ekspesi andalannya sepertinya lebih aman.

Dan. Sip. Selalu berhasil. Meski dengan sedikit enggan, Shilla akhirnya mau menerima handphone baru yang disodorkan kearahnya.

"Wah, berarti Shilla dapat dua hadiah dong. Oom juga bawa ini buat kamu." Narendra mengangsurkan sebuah boneka beruang manis berukuran sedang dengan bulunya yang halus, berwarna putih susu. Serta pita putih totol-tolol. Lucu sekali.

Mata Shilla berbinar-binar.

"Wah, manis banget." puji Shilla.

"Suka ?"

Shilla mengangguk cepat.

"Alvin ?" gumam Rio, menatap Papanya penuh arti.

Narendra menepuk puncak kepala putra semata wayangnya itu, mengerti maksud Rio, "Alvin juga dapat hadiah kok. Kamu kenal Papa kan Rio." balasnya, tenang.

Narendra memang jarang sekali berada di rumah. Tapi laki-laki bertubuh menjulang dengan perwatakan keras itu, tidak pernah mengabaikan putra-putranya. Dan setiap kali salah satu dari kedua putranya, 'memesan' sesuatu saat ia pulang ke rumah, Narendra selalu membelikan untuk keduanya, tidak pernah membeda-bedakan antara Rio dan Alvin. Paling hanya dari segi komunikasi saja yang berbeda. Narendra selalu menyempatkan menghubungi Rio, paling jarang seminggu sekali.

"Lho kok malah pada ngumpul-ngumpul didepan pintu gini ?" Gladys datang membawakan secangkir teh hangat untuk suaminya.

"Lho sayang, kok kamu tahu aku pulang ?" tanya Narendra heran, melihat istrinya yang sudah membawakannya secangkir teh, padahal mereka belum sempat bertemu. Narendra langsung menuju kamar Rio, disusul Eyang Putri, begitu mendengar suara teriakan-teriakan, yang ternyata, berasal dari Rio dan Shilla yang sedang menggelar perang bantal.

"Insting." sahut Gladys, diiringi senyum lembut.

"Hm. Tau deh, pasti jagoan Papa ini ya yang kasih tau ?" Narendra berjongkok, lantas mengelus-ngelus perut Gladys dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Ja-goan ?" pekik Rio, tertahan.

Narendra dan Gladys menoleh bersamaan, "Lho memang Mama belum kasih tahu kamu Yo, tentang calon adik kamu ?" Narendra menatap Rio dan Gladys bergantian.

"Mama hamil Rio, sekarang sudah memasuki bulan keempat. Kamu dan Alvin, sebentar lagi akan punya adik." papar Gladys, ragu. Ia sengaja tidak memberitahu Rio, karena tahu Rio tidak akan merespon positif. Malah bisa jadi, pemuda itu akan semakin membencinya.

"Wah, Tante Gladys hamil ? Ih, kok nggak kasih tahu Shilla, mana nggak kelihatan lagi hamilnya," Shilla mengamati Gladys dari atas sampai bawah. Bingung juga karena perut Gladys tidak terlihat membesar, atau mungkin karena wanita kalem itu sekarang lebih sering menggunakan baju-baju yang longgar, "Sebentar lagi ada adik bayi dong ya ? Selamat ya om, Tante." sambungnya, terlihat turut bahagia mendengar kabar baik itu.

"Iya mungkin karena baru masuk 4 bulanan Shil, jadi perut Tante belum buncit." Gladys melirik suaminya yang tertawa kecil, pun dengan Shilla yang menanggapi penuturan Gladys dengan senyum lebar.
 Sementara Rio, membesi ditempatnya. Tanpa berkata-kata lagi, pemuda itu segera pergi. Seruan Papanya dan Eyang Putri tidak digubrisnya. Tanpa menoleh sedikit pun, Rio menuruni anak-anak tangga, dua-dua sekaligus.

"Kamu kenapa Yo ?" batin Shilla. Ia paham betul bahwa berita bahagia kehamilan Gladys membuat pemuda itu merana.

***
Gabriel terlihat sangat tampan dengan setelan kemeja biru tua polosnya. Lengan kemeja panjang itu disinsingkan hingga ke siku, sangat match dengan jeans dan jam tangan hitam yang ia kenakan. Rambut lebatnya dibiarkan jatuh secara asal membingkai wajah lonjong pemuda itu. Aroma maskulin yang terkuar dari tubuh jangkungnya, benar-benar bisa membuat setiap gadis kepayang. Belum lagi, setangkai mawar putih yang ia sodorkan. Tidak akan ada gadis normal yang mampu menolak tebaran pesona seorang Gabriel, kecuali..... Ify. Justru gadis manis berdagu lancip itulah yang bisa mementahkan pesona Gabriel. Padahal Ify lah, gadis yang dikagumi Gabriel dalam diam, dicintai sepenuh hati meski tersembunyi, dijaga segenap jiwa meski dari jauh. Ify. Hanya Ify satu-satunya yang ia harapkan.
Gadis itu kini hanya berdiri santai, mengulurkan tangannya untuk meneriwa mawar putih yang diangsurkan Gabriel. Tidak ada pipi yang merah merona atau bahasa tubuh yang tersipu malu-malu, yang Gabriel terima hanya segaris senyum simpul dan ucapan terimakasih dari Ify.
Malam ini keduanya janjian untuk nonton. Saat Gabriel menjemput Ify dikediaman Sang Bunda, Ify tampak sudah siap. Gadis manis itu bertambah manis dalam balutan terusan berwarna senada kemeja Gabriel. Rambutnya yang indah, dibiarkan tergerai melewati bahu. Hanya sejumput poninya yang dijepit dengan jepitan mungil beraksen kupu-kupu.

"Berangkat sekarang ?" tanya Ify, sembari berusaha merapikan anak-anak rambutnya yang berterbangan dimainkan angin malam. Ify menerima ajakan nonton dari Gabriel sebagai ucapan terimakasih karena telah mengantarnya pulang tempo hari.

"Ya udah. Yuk." Gabriel mengulurkan tangannya.

"Fy !!" tepat ketika mereka baru saja berjalan beberapa langkah menuju ninja hitam Gabriel, seorang pemuda dengan penampilan awut-awutan menyebutkan nama satu-satunya gadis ditempat itu.

"Rio..."

pemuda yang disapa Rio tadi mendekat, dengan langkah terseok-seok, "Mau pergi ya ?" Rio mengeluarkan tatapan mengiba, yang diharapkan akan membuat Ify tetap tinggal dan mendengarkan leluh kesahnya.

"Iya sih, tapi.,"

"Ya udah, kalau gitu gue balik deh."

"Eh, tunggu Yo." cegah Ify, "Yel nontonnya lain waktu aja ya, nggak pa-pa kan ? Kayaknya Rio lagi kacau banget, gue nggak mungkin pergi. Nggak pa-pa ya. Maaf."

Gabriel mendesah kecewa, berjam-jam ia habisnya untuk berdiri didepan cermin. Melakukan berbagai eksperimen dengan gaya rambut dan baju yang akan digunakan untuk jalan dengan Ify malam ini. Berbagai kalimat dan topik obrolan bahkan telah ia siapkan, agar Ify terkesan dengannya. Bayangan tentang malam yang menyenangkan sudah menari-nari dengan lincah dalam angannya, tapi semua yang telah direncanakan, harus berai begitu saja, hanya karena kehadiran pemuda tidak penting dan menyebalkan bernama Rio Haling. Cih, nama belakang pemuda itu benar-benar membuat
Gabriel mual. Gabriel tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Kedua mata pemuda itu menghujam dua telaga bening milik Rio, yang kali ini tampak mengeruh.

Melihat Gabriel yang malah membatu, Ify menjadi tidak enak. Ia mengguncang-guncangkan lengan pemuda itu, "Yel !! Marah ya ?"

Gabriel terhenyak. Dengan kilat, diterbitkannya selengkung senyum, menutupi raut kekesalan yang sebenarnya telah terlanjur terbaca oleh Ify. Tapi sungguh Gabriel dan Rio sama sekali bukan pilihan, jiwa ataupun raga, mimpi atau terjaga, jelas Ify akan selalu mendahulukan Rio. Itu seperti jadi mutlak, tidak bisa dinego lagi.

"Ya udah Fy. Nggak apa, mungkin kapan-kapan. Kalau gitu aku pamit ya."

Ify menganguk lega. Tidak menunggu sampai Gabriel lenyap dari jangkauan pandangannya, bahkan sebelum pemuda itu menaiki motornya, Ify sudah berlalu dan menggandeng Rio menuju rumah. Gabriel mengepalkan tinjunya, menahan amarah yang mendidih dalam dadanya. Menekan luapan emosinya, untuk tidak menyusul dua orang itu, lantas menganugrahkan dua bogeman (lagi) pada Rio.

"Sial. Rio sial." makinya, sebelum menggas motornya gila-gilaan, menimbulkan deru yang memekik telinga.

Sementara Ify, gadis manis itu mengajak Rio duduk diayunan dari rotan yang dipasang bundanya dih alaman depan yang tidak begitu luas. Ify tidak mendesak Rio untuk segera bercerita, meski rasa ingin tahu dan berbagai dugaan menggelembung dalam pikirannya. Apa gerangan yang membuat Rio sekacau ini ? Terakhir kali Ify melihat Rio patah arang begini adalah ketika membaca surat kecil Acha. Lantas sekarang perkara apa lagi yang bisa membuat pemuda 'ramai' itu, nelangsa ?

"Tante Gladys hamil, Fy" lirih Rio tiba-tiba.

Ify menggeser duduknya menghadap Rio, mengernyit heran, “terus?” tanya gadis itu tak mengerti.

“Kok terus sih?” jawab Rio ketus.

“Ya maksud gue, terus kenapa? Tante Gladys hami? Oke, Fine. Itu kabar bagus dong. Terus kenapa elo keliatan semerana ini, bukannya lo harusnya seneng? Dari dulu kan Lo bilang lo pengen punya Adik cewek, harusnya lo bersyuk-“

“TAPI BUKAN DARI PEREMPUAN ITU IFY!”

Ify tersentak, gadis manis itu sampai reflek bangkit dari ayunan. Sekarang matanya menatap tajam pada sosok Rio yang menunduk seraya mengepalkan kedua tangannya. Napas pemuda itu masih menderu akibat usahanya meneriaki Ify tadi.

“Sorry,” lirih Rio.

Masih dalam posisi berdiri, Ify membelai puncak kepala Rio. Membiarkan pemuda itu menyadarkan kepalanya pada Ify, “Nggak apa-apa. Gue yang harusnya minta maaf. Maaf gue nggak peka, gue ga paham kalau lo masih belum bisa terima keberadaan Tante Gladys.”

Rio menarik napas berat, suaranya bergetar saat berkata, “Setelah anak itu lahir, Papa nggak bakal sayang lagi sama gue, Fy. Dan Mama… Mama pasti bakal semakin dilupain di rumah itu. Gue nggak mau fy, nggak mau…”

“Sssttt,” Ify berlutut dihadapan Rio, menggenggam kedua tangan pemuda itu yang terasa sangat dingin, “Jangan mikir hal-hal buruk, Rio. Gue mungkin nggak bisa kasih saran apa-apa karena jujur ini masalah internal keluarga lo. Tapi gue bakal temenin lo disini sampe lo ngerasa lebih baik dan habis itu kita pulang, ya?”

“Gue nggak mau pulang, Fy.”

“Yo, jangan kayak gitu.” Ify berujar dengan lembut, “Lo harus dewasa jangan kabur-kaburan gini, keluarga lo pasti khawatir. Kita pulang ya?”

“Sebentar lagi,” balas Rio. Pemuda itu memejamkan matanya, berusaha menenggelamkan segalanya dalam gelap. Berusaha mengosongkan pikirannya dari kenyataan yang tidak ingin ia percayai.

Ify mengangguk faham, kembali duduk di ayunan rotan di samping Rio. Mengamati wajah kunyu milik pemuda di sampingnya. Diam-diam ia rasakan pedih yang diderita Rio.

***


Jumat, 22 Juli 2011

Rahasia Orion Part 8

Rahasia Orion Part 8
"Sisi yang Lain"

***

Shilla mengurangi kecepatan ayunan kakinya, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan avanza biru tua milik Rio. Ia menyandarkan tubuh pada kap mobil, dadanya naik-turun selaras napas yang memburu setelah dibawa berlari. Beberapa pengunjung ada yang meliriknya heran dan melontarkan umpatan saat Shilla tanpa sengaja menubruk beberapa diantara mereka. Shilla berusaha menenangkan diri, mengatur napas sambil memejamkan mata.

"Cemburu." begitu yang dibisikkan angin, ketika Shilla bertanya dalam hati, tentang apa yang sebenarnya ia rasakan. Sesak itu masih ada, tidak berkurang sedikit pun.

Detik itu juga, Shilla merasa sudah mempunyai jawaban untuk pertanyaan Alvin sore tadi.

"Lo suka sama Rio ?"

Ya, koar Shilla dalam hati. Ia menyukai Rio dan ia tidak rela melihat Rio dengan gadis lain. Entah sejak kapan, perasaan itu mulai muncul ? Mungkin sejak tangan kokoh pemuda itu menjabat jemarinya di bawah naungan bulan di desa Cihideung, dulu. Atau perasaan itu tumbuh, seiring senyum manis pemuda itu yang mengiringi Shilla menjalani hari-hari barunya ?
Entahlah. Yang Shilla tahu saat ini, perasaan apapun yang Shilla punya, harus segera Shilla kubur, karena Rio telah memilih. Dan pilihan pemuda tampan itu bukan jatuh pada dirinya, bukan Shilla.
Shilla menghirup udara malam, membiarkan dinginnya yang khas memenuhi rongga dada, hingga tidak ada lagi sudut yang terasa kosong dan hampa. Ia menegakkan tubuh, mencoba menarik kedua sudut bibirnya, dalam hati berdoa semoga senyumnya tidak terlihat sangat aneh. Dengan tangan kanan, disisir tatanan rambutnya yang sedikit berantakan.
Adakah yang bisa diperbuat untuk cinta yang tak berbalas ?
Jawabannya, tidak. Dan Shilla berusaha menerima kenyataan itu.

"Hosh.. Hosh.. Hosh.. Hhh Shil," masih dengan napas yang terengah, Rio memanggil Shilla. Ia membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut, "Shil hhh, kenapa sih ? Lo kok lari ?" tanya Rio sembari menghampiri Shilla.

"Emm, nggak pa-pa kok Yo, maaf ya kamu sampai harus lari-lari." Shilla tersenyum tipis untuk meyakinkan Rio.

Rio tidak mengerti makna dari tatapan Shilla yang tidak biasa. Yang ia tahu, gadis itu sedang bersedih, entah karena apa, "Lo nggak bakat bohong deh Shil," Rio menyentuh dagu Shilla dengan ibu jari dan telunjuknya, agar gadis cantik itu menatapnya, bukan malah terus-menerus merundukan wajah, "Ada apa Shil ?"

Shilla tidak habis fikir, kalau Rio ini ternyata tipe cowok pengobral kata-kata manis yang gemar mempermainkan perasaan seorang gadis. Jelas-jelas tadi Shilla mendengar sendiri, Rio menyatakan cinta pada Ify. Lalu apa maksud pemuda itu berlaku demikian lembut pada Shilla sekarang ?
Shilla menepis tangan Rio dengan kasar, pemuda itu sedikit terkesiap. Tapi sedetik kemudian Rio tersenyum penuh arti, matanya berbinar, "Gue tahu lo kenapa." celetuknya sok tahu, "Lo jealous ya lihat tadi gue sama Ify tadi ?" Rio memasukkan kedua telapak tangan pada saku jeansnya, matanya berkeliling menyapu area sekitarnya sambil sesekali melirik nakal pada Shilla.

"Apaan sih ? Ada-ada aja deh. Ngapain jealous, bukan urusan aku." jawab Shilla ketus.

"Ck, yang tadi cuma bercanda kok Shil. Nggak usah ngambek gitu dong."

"Siapa yang ngambek sih Yo, aku biasa aja kok. Udah ah, aku pingin pulang."

"Masa sih nggak ngambek ? Ngambek aja deh."

Shilla menekuk wajahnya. Benar-benar tidak paham dengan kata-kata Rio. Bercanda, Rio bilang? Memang yang seperti itu lucu apa untuk dijadikan bahan bercandaan ? Lagi pula yang tadi itu, tidak terlihat seperti sedang pura-pura atau bercanda. Shilla juga melihat sendiri kok, Rio begitu dalam menatap Ify yang duduk didepannya.
Okelah, bakat acting Rio memang tidak bisa diragukan. Keikut sertaan pemuda itu dalam suatu pertunjukan seni peran, seolah jadi jaminan bahwa pertunjukan tersebut pasti akan menuai sukses. Karena itu juga, kelompok ekskul Drama Musikal atau DM yang diikuti Rio, tidak jarang menyabet berbagai penghargaan dalam setiap ajang yang diikuti. Klub ekskul Drama Musikal, memang menjadi wadah untuk siswa-siswi Veronna yang menyukai dan mempunyai bakal dibidang seni peran. Meskipun bertajuk Drama Musikal, tadi ekskul ini tidak hanya stuck pada dunia drama musika, didalamnya, diajarkan pula seni peran lainnya seperti teater, kabaret, wayang orang, juga pantomim. Dan karena bakat acting Rio yang disebut-sebut bisa memainkan berbagai karakter secara total, pemuda itu didaulat sebagai ketuanya. Tapi benarkan pernyataan manis Rio pada Ify tadi, hanya bagian dari acting yang meyakinkan dari seorang Rio ?

"Gue bosen nungguin lo, makanya gue godain Ify. Lucu aja lihat mukanya merah setiap kali gue bilang sayang. Itu cuma pura-pura kok, cuma acting Shil, sekalian latihan kan, udah lama gue nggak ngumpul sama anak-anak DM. Lo nggak usah jealous, sampai kabur-kaburan segala," Rio menyilangkan tangan didada, kaki kanannya dihentak-hentakkan ke tanah dengan santai, "Nah tu ada Ifynya, lo tanya aja sendiri."

Ify berjalan gontai kearah Rio dan Shilla, "Tanya apa ?" sambungnya, karena sempat mendengar kalimat terakhir yang Rio ucapkan.

Shilla terdiam. Memandang Rio dan Ify bergantian.

Rio mendengus tidak sabar, "Gini lho Fy, Si Shilla ini kayaknya patah hati, lihat gue nembak lo tadi. Padahal itu kan cuma acting ya, main-main doang, kita kan sama-sama anak DM, sering juga kok latihat berdua. Iya nggak Fy ? Shilla ini ada-ada aja. " cerocos Rio, tanpa mempedulikan perubahan raut wajah gadis didepannya. Rio menyikut Ify, seketika gadis itu tergagap, "Woy, malah bengong deh lo."
"Eh, i.. i.. iyaa Shil. Yang tadi nggak serius kok." Ify terceguk, menelan bulat-bulat rasa kecewanya, "Cu.. Cuma pura-pura. Ya, main-main aja." lanjutnya dengan suara mengawang.

"Hahaha," Ify tertawa sarkatis dalam hati, "Bodoh." makinya pada diri sendiri. Bisa-bisanya tadi Ify menyangka kalau Rio sungguh-sungguh, "Ya Tuhan, memalukan sekali." ia terus merutuk dalam diam. Bukankah Rio sudah sering menggodanya seperti tadi, pemuda tampan itu akan bilang sayang, lalu setelah kedua pipinya memerah, Rio akan tertawa terbahak-bahak dan bilang kalau itu semua hanya kelakar isengnya.

Ify tersenyum hambar. Setelah dilambung begitu tinggi, kemudian dihempas jatuh hingga ke dasar palung lautan. Rasanya, masih sanggup berdiri tegak saja, ia sudah layak untuk mendapatkan standing applause besar-besaran.

"Rio…” lirih Ify dalam hati. Ya hanya nama itu dan akan selalu nama itu.

Tin tiiin

Suara klakson mobil yang melengking, membuyarkan lamunan Ify. Gadis manis itu reflek bergerak mundur, beberapa langkah. Saat menoleh, dilihatnya Rio dan Shilla sudah berada didalam mobil.

"Ngapain lo masih bengong disitu Fy, cepat masuk!" Rio menyembulkan kepalanya dari kaca jendela yang terbuka.

Ify mencoba melangkah, tapi kedua kakinya seperti beku, yang terjadi malah tubuhnya melorot jatuh, terduduk di tanah.

"Lho Fy ?" Rio yang melihat hal itu, dengan panik segera keluar dari mobilnya dan menghampiri Ify, "Lo kenapa Fy ?"

Airmata yang sejak tadi coba Ify bendung, akhir menetes juga, bergulir lambat di pipinya. Rio yang sangat jarang melihat Ify menangis, jadi khawatir dibuatnya. Sisi lain dalam diri seorang Ify yang nyaris tidak pernah diperlihatkan dihadapan Rio (kecuali diawal pertemuan mereka) akhirnya mencuat. Ify menangis. Gadis yang selalu terlihat kuat dan tegar di mata Rio, bahkan setelah perpisahan kedua orangtuanya, malam ini tampak begitu rapuh dan lemah.

"Fy, lo kenapa ?" Rio berjongkok, mengelus punggung tangan Ify dengan lembut.

"Sakit Yo." jawabnya, dengan suara tertahan.

"Sakit ? Sakit apanya Fy ? Yang mana yang sakit ?"

"Rio..." Ify menyebutkan nama itu dengan sejuta makna tak tersingkap, di sela-sela tangisnya.

"Iya, kenapa Fy ? Aduh kamu jangan nangis dong, yang mana yang sakit, kita ke rumah sakit ya?"

"Kaki.. Kaki aku sakit." tiba-tiba jawaban itu yang tercetus diotaknya, kemudian terlontar dari bibirnya.

"Kaki ?" Rio membimbing Ify agar meluruskan kakinya, "Yang mananya yang sakit ? Kok bisa tiba-tiba sakit Fy, tadi nggak pa-pa kan ?" Rio melepas sandal cantik yang mengalasi kaki Ify, ia memijat pergelangan kaki Ify, sebisanya, "Bisa jalan ke mobil ?"

Ify menggeleng lemah, sentuhan hangat tangan Rio masih terasa pada pergelangan kakinya.

"Shil !! Shilla ! Tolong bukain pintu belakang." seru Rio, lantas membopong Ify, menuju mobilnya.

Ify melingkarkan kedua tangannya pada leher Rio, dirasakan aliran ketenangan yang berasal dari setiap jengkal tubuhnya yang bersentuhan dengan kulit Rio.

"Kita ke rumah sakit ya ?"

"Nggak Yo. Aku mau pulang aja." tolak Ify.

"Tapi.."

"Pulang aja Yo, please."

"Ya udah. Shil, lo duduk di belakang aja ya, temenin Ify."

Shilla mengangguk patuh.

Sejurus kemudian, sedan mungil yang dikemudikan Rio, sudah merayap meninggalkan sepetak lahan yang dijadikan area parkir untuk para pengunjung PRJ.

***

Bulan dan bintang masih bercokol di atas sana, meski langit malam ini sedikit kelabu. Warna kuning terang ditambah kilau keperakan, terpantul cantik pada permukaan air kolam yang tenang. Sesekali oleh mata, tertangkap pijaran berwarna merah dari lampu pesawat terbang yang tampak sangat kontras bersanding dengan titik-titik putih yang bertaburan menghias langit malam.
Alvin duduk bersila ditepi kolam renang rumah Ify, tertegun senyap dengan pandangan menerawang. Hari ini keluarga Alvin bertemu dengan keluarga Ify yang hanya diwakili oleh sang Papa karena Ibunda Ify sedang berhalangan untuk hadir. Kedua keluarga itu berkumpul di rumah Ify untuk membicarakan perjodohannya dengan salah satu putra keluarga Haling, Alvin.

"Kami tidak memaksa, kalau suatu saat kalian menemukan orang yang lebih cocok, kami sebagai orang tua tidak akan menghalang-halangi. Tapi tidak ada salahnya kan kalau kalian mencoba dekat terlebih dulu. Bagaimana Alvin, Ify ? Kalian setuju ?"

"Alvin terserah Papa sama Mama aja."

"Ify juga Oom Rendra. Papa pasti pilih yang terbaik buat Ify."

Kalimat-kalimat itu seakan menemukan sound terbaik untuk terus bergaung di kepala Alvin. Membuat pemuda itu resah dalam lamunannya.
Narendra dan Cakra memang bersahabat, sejak mereka tanpa sengaja dipertemukan disebuah toko buku di Negara Inggris. Pada waktu itu keduanya, sedang melanjutkan study masing-masing. Setelah lulus, sebelum berpisah, mereka berangan-angan, akan menjodohkan putra-putri mereka kelak, setelah menikah. Kebetulan ketika dipertemukan kembali, Cakra mempunyai seorang putri, sedangkan Narendra dikarunianya seorang putra.
Tapi beberapa minggu yang lalu, saat Narendra membicarakan semua itu dengan Rio, pemuda itu dengan tegas langsung menolaknya. Narendra tidak ingin memaksakan kehendak, akhirnya pilihan jatuh pada Alvin. Gladys yang memang menyukai Ify, tidak merasa keberatan dan ikut membujuk putranya, hingga akhirnya Alvin setuju dengan rencana perjodohan itu.

"Menurut Rio itu konyol, pasti rasanya aneh."

Komentar Rio dulu di depan kedua orang tuanya, di-iya-kan oleh Alvin. Ya, betapa konyol dan menggelikan ia dan Ify. Keduanya sama-sama tahu, tidak pernah ada sebersit pun perasaan istemewa yang tumbuh diantara mereka, tapi untuk bilang 'tidak' saja, sulitnya bukan main.
Alvin terus melamun, walaupun apa yang dilamunkan benar-benar tidak sesuai dengan topik obrolan antara ia dan gadis manis d isebelahnya. Tadi Ify sedang menceritakan kejadian beberapa waktu yang lalu di PRJ, tapi fokus Alvin malah merembet kemana-mana.

"Vin, lo dengerin gue nggak sih ?" Ify mengguncang-guncangkan pundak Alvin.

Alvin tersadar, "Hm ? Iya, iya dengar kok Fy." sahutnya.

Mereka lantas terdiam, tersedot dalam dunia masing-masing.

"Lo yakin Fy, sama semua ini ?" Alvin menatap Ify, "Gue takut, pada akhirnya semua ini cuma bakal menambah daftar orang yang tersakiti."

Ify tidak menjawab, berusaha merangkai jawaban pun sama sekali tidak. Entah sejak kapan, memikirkan hari esok dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi, menjadi begitu menakutkan untuknya.

"Hayoo.... Pacaran aja lo berdua." tegur Rio, seraya menyusup duduk ditengah-tengan antara Alvin dan Ify.

"Kalau tahu kita pacaran, ngapain lo kemari ?" timpal Alvin, dingin.

"Habis disana gue dianak-tirikan sama Papa." Rio menggerakkan dagu kearah patio kecil yang terletak di halaman samping rumah Ify.

Terlihat, orang tua mereka bercakap-cakap sangat seru, disana. Narendra tampak begitu semangat membicarakan segala hal tentang Shilla, yang diketahuinya melalui cerita Eyang Putri, Rio dan istrinya sendiri. Pria itu merangkul Shilla yang duduk di antara ia dan Gladys, dengan penuh kasih sayang. Shilla hanya kadang-kadang mengangguk dan tersenyum manis, saat Narendra ataupun yang lain memuji dirinya. Gadis dengan balutan short dress pastel itu, melotot geram saat Rio yang sudah kebosanan, pamit keluar tanpa mengajaknya turut.

"Masa Papa puji-puji Shilla terus, padahal gue kan anaknya juga." dumel Rio.

"Lo nggak guna sih Yo." tanggap Alvin.

"Sialan lo." Rio meninju pelan, bahu saudaranya tirinya itu, "Eh, kaki lo gimana Fy ?" Rio beralih menanyai Ify.

"Udah baikan kok Yo."

"Syukur deh kalau gitu." Rio mengacak poni Ify, "Sekarang lo udah ada yang punya ya Fy, gue nggak bisa sembarang nembak lo lagi deh." Rio tertawa kering di ujung kalimatnya.

Ify menghela napas dengan dramatis, "Lo bahagia, Yo ?"

"Maksudnya ?"

"Apa lo bahagia kalau gue sama Alvin ? Lo nggak sedih ?"

"Ck, gue paling benci kalau suasananya jadi mellow begini." Alvin beranjak dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Ify dan Rio.

"Lho, Vin ! Mau kemana lo ?"

"Gue mau cari orang yang nggak peka, buat gue tonjok." sahut Alvin, asal.

Rio menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, rasanya aneh ditinggal berdua Ify seperti sekarang. Apa kedatangannya sangat mengganggu, sampai-sampai Alvin memilih pergi.

"Lo belum jawab pertanyaan gue, Yo." tagih Ify.

Rio tersenyum sumringah, digenggamnya kedua tangan Ify, "Nggak ada alasan buat gue untuk nggak bahagia, Ify. Pertanyaan lo aneh deh. Alvin itu saudara gue, dan lo sahabat terbaik gue, jelas gue bahagia lah kalau kalian akhirnya bisa sama-sama."

Ify mengangguk samar, "Semoga gue juga bisa bahagia ya."

Rio mendekatkan wajahnya, menatap Ify lekat-lekat dalam diam. Ify berharap, kali ini saja, wajahnya tidak memerah. Ify tidak ingin Rio terus-menerus menggodanya dengan cara seperi ini. Hembusan napas pemuda itu, terasa hangat menerpa wajah Ify, "Pasti lo bahagia, Fy." bisik Rio.

Ify masih mematung, tenggelam dalam pesona Rio yang tak pernah bisa ditolaknya. Rio, pemuda yang selalu terlihat sempurna di mata Ify. Ujung bibirnya yang selalu melengkung keatas, meski tidak sedang tersenyum. Sorot matanya yang teduh, garis wajahnya yang ramah, suaranya yang lembut, selalu berhasil membuat Ify kepayang. Meski dalam kebisuan yang sunyi, Ify menikmati setiap detik yang terlewati bersama pemuda tampan itu, yang akhir-akhir ini tidak jelas karena apa menjadi semakin jarang terjadi. Ify menyandarkan kepalanya pada pundak Rio, pemuda itu mengelus rambut Ify dengan lembut, "Kita udah besar ya Fy. Nggak kerasa, bertahun-tahun udah berlalu semenjak gue nemuin lo nangis di bawah pohon gara-gara nyasar. Makasih ya Fy, atas semua yang udah lo kasih ke gue. Makasih karena lo udah mau kenal sama gue."

"Iya, bertahun-tahun...”Jawab Ify mengawang, “Dan lo tetep nggak bisa ngerti perasaan gue, Yo” lanjutnya dalam hati.

Rio mengulum senyum, "Semoga kita tetap bisa sahabatan kayak gini ya Fy."

Ify mengangguk setuju. Mungkin sudah suratan, seperti yang Rio bilang tadi, selamanya mereka akan jadi sahabat. Tidak seharusnya Ify berharap lebih dari itu.

Keduanya lagi-lagi membisu, membiarkan sepi bercerita lebih banyak pada mereka. Membiarkan potret-potret perjalanan hidup yang terekam dalam ingatan, menari mengusik pikiran masing-masing.

***
Sofa panjang yang semula menghadap kearah TV plasma 24" dalam ruangan itu, digesernya menghadap langsung ke arah jendela yang dibiarkan terbuka. Membentangkan lukisan malam karya Sang Maestro dengan kuas ajaibNya, terlihat sangat indah tanpa cela, dengan bulan dan bintang, serta semburat ungu, biru dan hitam yang berpadu di atas cakrawala. Malam semakin larut, bahkan udara mulai menghantarkan bau embun. Tapi rasa kantuk, tak kunjung menyerangnya. Ia sudah mencoba membenamkan tubuhnya di balik selimut, AC disetel sedemikian rupa agar nyaman untuk membuat matanya lekas terpejam. Musik-musik dengan ritme lambat juga sudah diputar untuk mengiringinya kealam mimpi. Tapi nihil. Hingga detik ini, ia masih saja betah terjaga.

"Kamu belum tidur, Vin?"

Saking asyiknya termenung, Alvin tidak menyadari kedatangan Mamanya yang telah ikut duduk disampingnya, turut melirik sebuah foto yang mulai menguning usang berbingkai kayu, yang kini menghuni genggaman Alvin.

"Mama..."

"Kamu belum tidur ?"

"Nggak bisa tidur, Ma..."

Gladys tersenyum lembut, "Sini !!" wanita asli Malang itu mengisyaratkan agar Alvin berbaring diatas pangkuannya. Alvin menurut, direbahkan kepalanya diatas pangkuan Sang Mama, "Kenapa nggak bisa tidur ? Kepikiran soal perjodohan itu ya ?" tangan Gladys bergerak menelusuri setiap helaian rambut putra kebanggaanya itu.

"Nggak kok Ma." Alvin memindahkan foto yang diambil sekitar 10 tahun yang lalu di sebuah desa kecil, di sebelah timur kota Bandung itu kedalam pelukannya. Mendekapnya begitu erat, seakan tidak mengizinkan seorang pun untuk menyentuh benda itu. Gestur kecil itu, terbaca oleh Gladys.

Alvin terduduk kembali, dipandangi Sang Mama tanpa berkedip, "Ma," Alvin seperti ragu mengeluarkan kalimat yang sudah tersangkut di ujung lidahnya, "Emm, mungkin ini kedengarannya konyol, tapi... tapi… Aya…" Alvin menggantung kalimatnya, telunjuknya menelususr pada foto gadis cilik yang tengah menyeringai lebar, memamerkan deretan giginya yang mulai tanggal satu-persatu karena doyan sekali makan makanan yang manis.

Aaaahh, dasar mengembala kambing yang usil. Kenapa ia begitu tega membiarkan Alvin menghabiskan bertahun-tahun hanya sekesar untuk menunggunya?
Apakah ia sadar telah menawan hati Alvin dan tidak pernah membebaskannya sampai detik ini. Gejolak perasaan rindu, terpajang sangat jelas pada raut wajah tampan Alvin. Seolah-olah pemuda itu akan bersedia menukar semua yang dimiliki, untuk sekedar bertemu dengan gadis cilik pengembala kambing itu lagi. Tidak ada yang tahu kecuali Alvin sendiri bahwa beberapa kali ia sudah berusaha mencari teman kecilnya itu. Bukan hanya sekali, Alvin pernah mengujungi rumah tempat tinggal teman kecilnya itu, tapi tetangganya bilang bahwa gadis kecil yang dicari Alvin sudah pindah bersama keluarganya.
Gladys tersenyum menenangkan. Masa kecil Alvin adalah masa-masa yang sulit untuk Alvin bahkan untuk Gladys sendiri. Alvin harus pindah ke desa, kehilangan teman-temannya, kehidupan kotanya, bahkan akhirnya kehilangan Ayahnya. Kemudian gadis kecil itu datang, Gladys memang belum pernah bertemu dengan gadis kecil itu tapi berdasarkan cerita yang didengar dari Alvin, gadis kecil itu adalah teman yang baik bagi putranya. Ia pastilah anak yang ceria yang bisa menularkan keceriaannya pada sosok Alvin yang dingin dan tertutup. Teman kecilnya itu datang disaat yang tepat. Dialah ramai yang ditunggu Alvvin dalam sepinya. Dialah suara yang ditunggu Alvin dalam bisunya, karena itu Gladys sangat mengerti bahwa teman kecilnya itu begitu berarti untuk Alvin.

“Alvin, di dunia ini banyak yang datang dan pergi. Saling bertemu lalu berpisah. Saling mengenal lalu melupakan. Aya. Mama yakin dia gadis yang baik, tapi Vin dia bukan satu-satunya gadis di dunia ini. Sampai kapan kamu akan menunggunya? Apa kamu yakin dia masih mengingatmu?” Gladys menatap Alvin dengan sungguh-sungguh. “Lagipula kamu juga sudah menyetujui perjodohanmu dengan Ify. Dia gadis yang cantik dan baik, tidak akan sulit untuk belajar menyayanginya." Alvin merasakan sentuhan lembut pada puncak kepalanya, Gladys tersenyum kecil sembari menegakkan tubuhnya. Sepertinya wanita dalam balutan piyama merah marun itu sedikit kesulitan menggapai puncak kepala Alvin yang tidak pasti sejak kapan, kedua tungkainya tumbuh begitu cepat, hingga sekarang tinggi pemuda itu jelas-jelas melampaui Gladys.

Alvin tercenung. Tidak tahu harus bicara atau berbuat seperti apa. Mamanya benar. Tapi siapa sih yang bisa mengingkari hati nurani ? Kalau ternyata ia belum lelah untuk menunggu dan berharap. Alvin mengulur napas, berat. Tidak seperti biasanya, percakapan malam ini dengan Mamanya tidak membuatnya merasa jauh lebih baik, justru sebaliknya.

Gladys kembali membuka suara, kali ini dengan arah pandangan memagut langit kelam diluar sana, “Sekarang cepat tidur, besok sekolah kan. Selamat malam sayang."

Bunyi ceklik dari daun pintu yang tertutup, kemudian disusul suara ketukan samar dari sandal yang beradu dengan lantai keramik yang dingin, menandakan Gladys sudah bergerak menjauh dari Edelweiss Room. Wanita itu berjalan sambil menggelung rambutnya menjadi konde mungil di belakang kepala. Ia sedikit terhuyung saat melewati ruang perpustakaan keluarga menuju tangga, mungkin karena rasa kantuk yang mulai melanda. Kedua kaki jenjangnya sudah meniti dua anak tangga untuk naik kelantai atas menuju kamarnya. Tapi diurungkan niat itu, ketika melihat pintu Matahari Room sedikit terbuka. Semula, ia hanya ingin menutupnya, tapi ternyata tubuhnya menginginkan yang lebih dari itu. Gladys melepas sandalnya di depan pintu, dengan berjingkat-jingkat ia masuk dan menghampiri ranjang Rio. Penerangan dalam kamar itu remang-remang, hanya berasal dari lampu tidur yang diletakkan diatas meja kecil disamping tempat tidur Rio.
Gladys menggigit bibir, berusaha tidak mengeluarkan bunyi-bunyian sekecil apapun. Dengan hati-hati, ia duduk ditepi ranjang Rio, pemuda itu terlihat begitu lucu saat tertidur sambil memeluk guling seperti itu. Ekspresi keras dan dingin yang biasa diperlihatkan pada Gladys, luruh tersapu damai dalam buaian mimpi. Saat terlelap, topeng berbahan dasar kebencian yang selalu Rio kenakan setiap kali bertatap muka dengan Gladys, tentu saja dilepas sementara. Pemuda itu jadi lebih terlihat seperti Rio yang dulu, Rio yang 6 tahun lalu dikenalkan Alvin sebagai sahabat barunya. Rio yang manis dan menggemaskan. Rio yang mudah sekali tertawa, untuk hal-hal yang sebenarnya tidak lucu.
Gladys merindukan bocah laki-laki berseragam putih-biru yang setiap hari mengunjungi rumahnya dengan mengendarai sepeda kebanggaanya, bocah laki-laki yang tidak pernah keberatan makan dari tangannya, bocah laki-laki yang selalu melontarkan pujian untuk setiap masakan Gladys.
Meskipun rasa benci yang dimiliki Rio, telah menyumsum dalam belulang, telah merekat kuat pada jantung pemuda itu, Gladys tidak merasa perlu untuk mempedulikannya. Karena pada dasarnya, Rio yang dikenalnya adalah anak yang baik, dan selamanya akan seperti itu. Mungkin yang dihadapinya saat ini tidak lebih dari perkara waktu.

"Rio tahu ? Kenapa ya sekarang kita jadi jauh ? Kenapa kita nggak bisa main kayak dulu lagi ? Bertiga sama Alvin, Eh, berempat mungkin ya, sama Papa." Gladys berbicara sepelan mungkin, nyaris tak bersuara, hanya bibirnya yang bergerak-gerak.

Dulu, Gladys adalah orang pertama yang dicari Rio saat ia merindukan Mamanya, pada Gladys pula, Rio pertama kali bercerita tentang rasa sukanya pada Acha. Gladys juga yang pertama memeluk dan mengucapkan selamat, saat Rio memenangkan perlombaan badmintonnya yang pertama, tapi sekarang jangankan untuk memeluk Rio, bersentuhan kulit pun pemuda itu tampak jijik.

"Mama kangen Rio..."

Mungkin yang bernama takdir itu memang ada dan telah berhasil merubah segalanya. Dulu dan sekarang tak ubahnya dua kutub yang berlawanan.
Awalnya, Gladys berfikir, dengan menyetujui tawaran Narenda untuk memulai rumah tangga baru adalah keputusan yang tepat. Ia dan Narendra, sama-sama berharap, keluarga kecil mereka akan hidup rukun dan bahagia. Ia dan Alvin yang sejak meninggalnya Ayah Alvin, hanya hidup berdua, pasti tidak lagi kesepian dengan kehadiran Narendra dan Rio. Terlebih Rio itu termasuk anak yang bawel dan ramah. Rio juga akan mendapatkan sosok seorang Ibu yang akan merawat dan menjaganya dengan sungguh-sungguh. Alvin dan Rio juga pasti akan sangat senang, menjadi saudara dan tinggal satu rumah.

"Kenapa Papa bawa dia ? Rio nggak mau punya Mama, dia. Rio nggak mau. Jangan perempuan itu !!"

Kata-kata Rio saat pertama kali Narendra memboyongnya beserta Alvin ke Rumah Besar, kembali terngiang ditelinga Gladys. Menyayat relungnya, merobek jalinan angan-angan manisnya tentang keluarga kecil yang bahagia.
Tapi mau diapakan lagi ? Awan telah tergugus jadi hujan. Kayu telah dilebur jadi abu. Sekarang mungkin Rumah Besar tidak lebih dari sekedar kastil es yang menawarkan dingin dan kesenyapan.

"Mama nggak tahu, kenapa Rio jadi benci sama Mama. Tapi Rio sekarang Putra Mama dan Mama akan selalu sayang sama kamu, Nak."

Kalimat barusan, diucapkan Gladys seraya mendaratkan satu kecupan lembut didahi Rio, disertai setetes airmata yang menitik di pipi kiri Rio. Gladys segera menyusutnya.
Sejurus kemudian, wanita berambut ikal itu berdiri dan meninggalkan kamar Rio. Sepeninggalan Gladys, pemuda yang sejak tadi memejamkan mata dengan tubuh dibalut selimut tebal bergambar lambang salah-satu klub sepak bola ternama itu, bergerak dengan kikuk. Perlahan, Rio membuka matanya. Disentuh kening dan pipi kirinya. Ada perasaan menohok yang membuat dadanya sesak. Rio mendengar semuanya, setiap kalimat yang diucapkan Gladys dengan kesedihan yang nyata. Tanpa sadar, hatinya ikut menangis saat airmata itu leleh di atas pipinya, "Rio juga Bu, Rio juga..." tidak ada kalimat yang cocok untuk menggambarkan apa yang Rio rasakan, "Kangen Ibu.. Rio kangen Ibu..." Saat matanya bertumbuk dengan foto Veronna yang terbingkai cantik di dekat tumpukan buku-buku sekolahnya, Rio menggelengkan kepala, "Tapi Rio nggak mau ada satu orangpun yang gantiin Mama di rumah ini."

***

Shilla berjalan sedikit cepat dengan dua buah novel di tangannya, yang baru saja dibeli dari toko buku di seberang sekolah. Ia baru akan kembali ke Aula untuk menunggui Rio yang sedang mengikuti ekskul badminton. Tapi di depan pintu gerbang Veronna High School, gadis itu menghentikan langkahnya. Menyipitkan mata, melihat penuh konsentrasi pada satu titik. Gadis itu mengamati gerak-gerik dua orang laki-laki yang cukup membuatnya tertarik. Seorang bocah dengan seragam putih merah yang dilumuri lumpur, menenteng Si Kulit Bundar dan terlihat berdiri cemas menatap laki-laki satunya yang berlutup didepan Si Bocah. Laki-laki berkulit putih itu mengenakan blazer yang sana dengan yang dipakai Shilla, dia Alvin. Sepertinya Alvin baru saja menyelamatkan Si Bocahi dari kelalaian pengendara sepeda motor yang dikemudikan kendaraanya tanpa aturan. Padahal sudah jelas-jelas terpampang rambu-rambu lalu lintas yang mewajibkan pengendara mengurangi kecepatan saat melewati jalanan sekitar situ, tapi tetap saja diabaikan.

Alvin menepuk-nepuk lutut bocah laki-laki itu, kemudian tersenyum lebar sembari mengatakan sesuatu yang tidak terdengar jelas dari tempat Shilla berdiri, "Lain kali, kalau mau nyebrang lihat kanan-kiri dulu ya. Ayo, sekarang cepat pulang, pasti adik dicari sama Mama."

Shilla tersenyum simpul, "Aku tahu Vin, kamu sebenarnya baik. Kenapa mesti pura-pura jadi orang yang nyebelin sih ?" komentar gadis itu.

Sedangkan dari arah lain, Alvin menyampirkan ranselnya ke pundak, lantas berjalan terpincang-pincang. Shilla tetap mempertahankan senyum kecilnya, dan berniat untuk menawarkan pertolongan. Memapah pemuda itu sampai Ruang Kesehatan, atau sekedar membantu membawakan ransel dan setumpuk kertas fotocopy-an yang masih ditenteng Alvin. Tapi niat mulia itu, langsung pupus seketika, setelah Alvin melengos begitu saja. Melewati Shilla tanpa melirik sedikitpun, seolah-olah Shilla ini adalah patung selamat datang yang memang sudah biasa dipajang dipintu gerbang Veronna.

Shilla menyilangkan tangannya di dada, "Emang ya, sekali belagu, tetap aja belagu." ceplos Shilla karena jengkel.

Tanpa disangka, Alvin berbaik, menatap Shilla tajam, "Lo bilang apa ?"

"Oh dengar toh. Bukan apa-apa, lagian peduli apa kamu sama apa yang aku bilang ?" Shilla menaikan sebelah alis matanya dan mengangkat dagu.

Sebagai makhluk sosial, kita harus pandai-pandai menyesuaikan diri bukan ? Terutama dengan lawan bicara, dan apa yang Shilla praktekkan barusan merupakan salah-satu wujud adaptasi terbaik kalau berbicara dengan orang-orang pongah macam Alvin.
Alvin menarik satu ujung bibirnya, memasang ekspresi tersinis di dunia (menurut Shilla) plus tatapan tidak suka yang amat sangat mengesalkan. Shilla menghentakkan kaki kanannya, betul-betul dibuat sebal oleh kelakuan Alvin yang kelewat cuek terhadapnya. Padahal ia hanya ingin membantu kalau memang diperlukan. Kenapa sih pemuda itu selalu saja membuatnya ingin marah-marah, padahal jelas-jelas tadi Shilla melihat sosok Alvin yang begitu lembut dan peduli pada sekitarnya. Apa jangan-jangan Alvin, berkepribadian ganda ?
Shilla tetap berdiri di tempat, matanya mengikuti Alvin yang bergerak kearah sedan hitamnya. Pemuda itu mengeluarkan kotak P3K berwarna putih dari dalam mobil, kemudian terlihat mencoba mengobati lukanya sendiri. Tapi ia sedikit mengalami kesulitan. Kapas yang dipegangnya berulang kali jatuh, pun dengan cairan alkhohol yang coba diteteskan untuk membersihkan lukanya, malah tercecer kemana-mana. Shilla menggelengkan kepala. Ia tahu pasti, Alvin tidak akan bisa mengotati lukanya sendiri, karena telapak tangan kanan pemuda itu, sedikit sobek.

Shilla sempat melihatnya sekilas tadi, "Butuh bantuan ?" Shilla membungkuk, melihat luka yang tercetak pada kedua tangan Alvin. Blazer yang digunakan pemuda itu sampah sobek dibagian siku kiri. Untung seragam sekolah itu cukup tebal sehingga siku Alvin tidak cidera parah, hanya lecet ringan, tidak seperti telapak tangan kanannya yang masih meneteskan darah, "Nggak usah gengsi. Sini kotak obatnya."

Alvin tidak menggubris Shilla, masih bersikukuh bahwa ia bisa melakukannya sendiri.

Shilla mengerucutkan bibir, "Kalau kamu nggak suka aku yang obatin lukanya, kamu tutup mata aja. Bayangin yang ngobatin luka kamu itu Ify atau siapa kek gitu."

"Lo sama Ify beda, nggak usah pingin disama-samain."

Kali ini Shilla yang menulikan pendengarannya, ia tetap duduk disamping Alvin, lalu memindahkan kotak P3K ke pangkuannya.Mulai menesetkan cairan pada kapas.

"Lo peduli sama gue ?"

"Nggak usah GR, aku cuma pingin bantu orang yang memang lagi butuh bantuan." Shilla menutulkan kapas tersebut pada luka Alvin

"Aargh." Alvin meringis.

"Tahan ya..." tutur Shilla, pelan. Ia menyunggingkan senyum, meski tidak ada yang berubah dari ekspresi pemuda dihadapannya. Tetap datar, tanpa bisa diterka.

"Kenapa lo baik sama gue ?" Alvin kembali melontarkan sebuah pertanyaan.

Shilla menghentikan aktivitasnya sejenak, "Apa di Jakarta, berbuat baik itu harus ada alasannya ?" Shilla balik bertanya.

Alvin tidak menyerukan sebuah jawaban ataupun sanggahan. Ia merunduk. Tidak ingin terlalu lama menatap paras ayu Shilla yang akan kembali menyeretnya pada pusaran kenangan. Pemuda itu memilih diam, teremas dalam satu dunia bernama masa lalu. Sementara Shilla masih dengan telaten membalutkan perban pada tangan Alvin.

"Kenapa lo datang Shil ?"

Empat kata sejuta makna. Shilla tidak begitu pandai untuk mengartikan getar suara Alvin yang kali ini terdengar begitu jauh dan gamang, padahal pemuda itu berada tepat disebelahnya. Yang Shilla tahu, pemuda itu tengah menahan kekecewaan yang menyayat, itu terbaca dari sorot mata Alvin.

"Vin, maksud kamu a-"

"Gue nggak nyuruh lo bicara."

"Tapi Vin, ak-"

"Lo ngerti bahasa Indonesia kan ? JANGAN BICARA, KALAU GUE NGGAK MINTA."

Shilla tersentak. Ingin sekali meninju wajah Alvin, ada hak apa dia membentak Shilla seperti tadi. Sudah untung Shilla mau membantu mengobatinya, kenapa malah dibentak-bentak seperti itu. Karena jengkel, Shilla menekan kuat-kuat luka pada telapak tangan Alvin, "AAARGGH..." Alvin mengerang kesakitan. Reflek ditepisnya tangan Shilla dengan kasar. Tangan gadis itu membentur sandaran kursi besi panjang yang mereka duduki.

"Auww.." pekik Shilla.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, gadis itu segera bangkit. Kotak P3K dipangkuannya, berhambur jatuh dengan bunyi debam kecil ketika membentur aspal yang melapisi sebagian besar area parkiran Veronna. Tanpa melihat pun Alvin bisa menebak, dua bola mata jernih milik Shilla pasti sedang menatap marah kearahnya. Tapi tadi Alvin benar-benar tidak sengaja, lagi pula apa maksud Shilla menekan lukanya seperti itu. Jelaslah, Alvin kesakitan. Kalau harus meminta maaf, sayangnya Alvin belum terbiasa. Akhirnya, ia hanya memalingkan wajah, menatap barisan rapi kendaraan bermotor ditempat itu.

"Maaf." ujar Shilla singkat, sebelum melenggang pergi. Alvin baru berani melirik siluet Shilla setelah pemiliknya sudah sampai didepan koridor utama.

"Maaf, Shil." lirihnya, pasrah.

***

Sementara itu, Shilla berjalan menyusuri koridor utama yang sudah sepi, diatur ayunan kedua kakinya agar lebih lambat. Berharap lebam kebiruan yang membekas pada punggung tangannya akibat benturan keras tadi, sedikit berkurang. Atau Rio akan bertanya macam-macam kalau melihatnya. Shilla tidak merasa heran, mendapat perlakuan seperti tadi dari Alvin yang menurut Shilla memang tipe pemuda kasar yang arogan setengah mati.

"Alvin tu beda banget sama Rio." Shilla mulai membandingkan keduanya, seraya mengelus-ngelus punggung tangannya. Rio itu ibarat lautan, semua yang ada dalam diri pemuda itu selalu bisa menghanyutkan setiap orang yang mengenalnya. Sedangkan Alvin layaknya puncak gunung. Untuk menggapainya saja, seseorang harus susah payah mendaki tebing yang terjal dan jurang berbatu.

"Nyebelin !! Dikira nggak sakit apa. Nggak bisa ya bersikap lebih lembut kalau sama cewek. Dasar cowok aneh, rese, ih sok oke." cibir Shilla. Ungkapan 'selalu ada sisi baik dalam diri seorang hamba' benar-benar mentah di mata Shilla. Yang seperti Alvin itu tu yang menurut Shilla nggak ada baik-baiknya. Ia yakin, beberapa waktu yang lalu Alvin pasti sedang kerasukan malaikat makanya mau menolong bocah laki-laki tadi.

"Hayoo !! Kenapa sih manyun aja Non ?" tegur Ify yang sudah berdiri dibelakang Shilla, membawa setumpuk pamflet berisi pengumuman acara camping tahunan Veronna High School.

"Eh, Ify. Nggak pa-pa kok." kilah Shilla.

"Kok belum pulang Shil ?"

"Belum. Rio ada ekskul dulu."

"Oh, emang belum berani pulang sendiri ya ?"

"Hehe," Shilla terkekeh, "Berani sih. Tapi mendingan pulang sama Rio, di rumah juga nggak ngapa-ngapain. Eh, sini Fy, biar aku bantu, lagi tempel-tempelin pamflet kan ?" Shilla mengulurkan tangannya.

"Makasih Shil. Tapi nggak usah. Gue bisa handle sendiri kok."

"Ify..." dengan paksa, Shilla meraih setengah dari tumpukan pamflet ditangan Ify, "Kalau dibantu kan bisa lebih cepat kelar," Shilla melepaskan doubletipe yang merekat pada bagian belakang pamflet, lantas menempelkannya pada mading di belakang mereka.

***

"Halo Mrs. Mario." Feldy menepuk pundak Shilla. Pemuda itu menyeringai lebar saat Shilla menoleh, "Dicari Rio tu, kangen katanya." pemuda dengan gaya slengekan itu, bicara sambil menggerak-gerakkan tangan dan kakinya mengikuti irama musik yang mengalun lewat aerphone yang terjuntai dari sebelah telinganya.

Shilla menyikut lengan Feldy, "Apaan sih ?" balasnya malu-malu.

"Cie tersipu-sipu cie." goda Feldy yang sukses menambah rona merah dipipi Shilla, "Udah buruan sono !! Masih disini aja lo."

"Ya udah, kalau gitu, aku titip ini ya, kasih sama Ify, bilangin maaf aku nggak bisa bantu sampai selesai." pesan Shilla sambil mengangsurkan lembaran pamflet yang tinggal beberapa.

Feldy tidak menjawab, hanya mengacungkan ibu jarinya.

Shilla tersenyum, "Sip. Makasih ya. Aku duluan, Fel." pamit Shilla.

"Ok. Bye Shilla."

Keduanya lalu terpisah. Feldy yang sudah menenteng ranselnya, pasti akan segera pulang sedangkan Shilla meninggalkan area lapangan futsal yang berada in door, menuju Aula yang saat ini untuk sementara digunakan klub badminton berlatih, karena lapangan badminton sedang direnovasi. Shilla berbelok diujung koridor yang menikung, disana ia berpapasan dengan Gabriel yang tersenyum kecut. Seperti biasa, ketua kelas XII MIPA 1 itu selalu terlihat kaku. Shilla tidak berani dan tidak berniat untuk menyapa, gadis itu mempercepat langkahnya karena perasaannya mulai tidak enak.

"Yo ?" panggilnya, setelah berdiri dihadapan orang yang menurut Feldy tadi sedang mencarinya.

"Eh, Shilla." Rio mengangkat wajahnya. Sudut bibir Rio terlihat lebam kebiruan.

"Ini kenapa ?" Shilla menyentuh lembut bagian wajah Rio yang seperti dihantam dengan keras oleh sesuatu.

"Auw," Rio memundurkan wajahnya, "Nggak Shil, nggak pa-pa kok."

"Gabriel ya ?"

"Hah ? Bu..bukan kok."

"Bohong ?"

Rio menghembuskan napas panjang, "Cuma salah paham kok. Tadi gue tanya apa Iel lihat HP gue, dia salah sangka dikiranya malah gue nuduh dia yang ambil." papar Rio. Ia mengelus rahangnya yang berdenyut nyeri. Tampaknya Gabriel menghadiahi Rio dua pukulan dengan segenap hasrat, "Eh, Shil. Lo lihat HP gue ?"

Shilla ikut duduk dilantai bersama Rio, gadis itu menggeleng, "Nggak lihat. Emang kenapa ? Hilang ?"

Rio mengangguk dua kali, "Iya hilang. Padahal tadi sebelum latihan gue taruh di tas, tapi sekarang nggak ada."

"Ketinggalan di kelas mungkin. Udah dicari ?"

"Udah di check sama Feldy tadi. Tapi nggak ada."

"Terus gimana ?"

"Ya udah, nggak gimana-gimana. Udah gue cari, kalau emang udahh ilang, mau diapain lagi ?" jawab Rio enteng.

Shilla lagi-lagi mengangguk, maklum. Sebuah handphone saja sih bukan perkara sulit buat Rio. Kalau mau, ia bisa saja gonta-ganti handphone setiap harinya. Yang membuat heran, justru kalau Rio mencarinya mati-matian, "Yo !! Emm..." Shilla memilin-milin rok abunya, sedikit ragu untuk melanjukan perkataannya, "Emm... Yo.."

"Kenapa ?"

"Aku... Mau... tanya aja sih, nggak pa-pa ya. Emm... Itu.. kenapa sih Yo, Alvin itu kok aneh banget ya kalau ke aku ? Dia nggak suka ya aku tinggal di Rumah Besar ?"

"Aneh gimana ?"

"Gimana ya, pokoknya gitu deh. Intinya sih, dia kayaknya kurang nyaman sama kehadiran aku. Sebenarnya dia kenapa sih ? Apa aku pernah salah ngomong ya sama Alvin ?"

"Kok lo tanya sama gue, ya tanya aja langsung ke Alvinnya."

"Ya kan siapa tahu Alvin pernah cerita sama kamu. Padahal kalau memang dia nggak suka sama aku karena suatu hal, aku mau kok berubah. Tapi Alvinnya nggak penah mau ngomong baik-baik sama aku. Jadi bingung." keluh Shilla. Ia menerawang, membayangkan wajah dingin Alvin yang akan berubah ratusan kali lebih dingin setiap berpapasan dengannya.

"Gue duluan."

Dua kata tadi memecah lamunan singkat Shilla. Saat tersadar, didapatinya Rio sudah berjalan sampai ambang pintu. Shilla terhenyak. Sejak kapan pemuda itu meninggalkannya. Kenapa Shilla sampai tidak sadar ?

"Rio !!" Shilla berlari menyusul pemuda jangkung dalam balutan kaos resmi klub badminton itu, yang terus menjauh.

Setelah berhasil menyusul dua langkah dibelakang Rio, Shilla menarik lengan kiri Pemuda itu, agar berhenti sebentar. Tanpa sengaja, karena jarak mereka yang sudah cukup dekat, saat tubuh Rio berbalik, bibir pemuda itu menyentuh tepat pipi kiri Shilla. Kecupan singkat mendarat disana. Dengan cepat, Rio mundur satu langkah kebelakang.

"So..sorry Shil. Gue... Gue nggak sengaja." Rio tergagap. Baru kali ini merasa sangat malu. Wajahnya seperti terbakar, desiran darahnya mengalir dengan cepat, "Aduh bego banget sih gue." Rio merutuk dalam hati. Menepuk bibirnya dengan telepak tangan.

Shilla melirik sekilas, kemudian menunduk lagi, menyembunyikan kedua pipinya yang merah padam. Susah payah ia mengatur debaran jantungnya, atau organ krusial itu akan rusak seketika karena berdenyut sangat cepat. Keduanya terdiam cukup lama.

"Maaf." Shilla dan Rio berujar secara bersamaan, terlihat sangat kikuk dan salah tingkah. Persis seperti bocah-bocah SD jaman sekarang yang baru mengenal cinta monyet.

"Tangan lo..." Rio melirik lengan kirinya yang masih dipegangi Shilla.

"Eh iya, maaf." tutur Shilla (lagi), dengan cepat ditarik tangannya dari lengan Rio.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Rio berbalik dan langsung pergi.

Shilla menuntaskan aksi tersipu-sipunya dan segera menyusul Rio yang sudah berjarak puluhan langkah didepannya, "Rio !! Tunggu dong. Kok ninggalin aku gitu sih ?" rajuk gadis itu.

"Tadi juga lo udah gue panggil-panggil, tapi kayaknya lo lagi asyik ya, mikirin Alvin." balas Rio santai, sambil meneguk botol air mineralnya, "Emang sih, cewek aneh aja yang nggak kepikiran Alvin. Cakep, pintar, keren, beda banget sama gue. Lo juga tadi pakai acara mau berubah-berubahan segala, manis bener." tanpa terasa, suara Rio terdengar sinis.

Shilla mengernyit heran. Kalau boleh berbangga diri, apa Rio sedang cemburu ??

Shilla berdiri didepan Rio, membuat pemuda itu terpaksa harus menghentikan langkahnya, "Siapa sih yang mikirin Alvin ? Gini ya Yo, aku kan cuma numpang di Rumah Besar, kalau memang ada sifat aku yang bikin penghuni lain nggak nyaman, udah seharusnya dong aku berubah. Itu bukan berlaku buat Alvin aja kok. Maaf deh kalau tadi aku nggak dengar, kamu jangan marah dong Yo." pinta Shilla.

"Ya udah nggak perlu di bahas." Rio melengos.

"Ck," Shilla berdecak, "Kamu marah deh. Kalau kamu nggak suka aku tanya-tanya soal Alvin, aku janji deh nggak akan tanya-tanya lagi."

"Kalau aku maunya kamu jauh-jauh dari Alvin gimana ?" Rio memasang ekspresi menantang.

Shilla balas menatap Rio tanpa berkedip, "Kalau kamu yang minta aku setuju aja. Lagian selama ini emang aku nggak dekat juga kan sama Alvin. Asal kamu jangan marah sama aku." kata Shilla tanpa ragu.

Rio mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk puncak kepala Shilla, "Maaf ya, gue juga nggak ngerti, kenapa tiba-tiba jadi kesal lo tanya-tanya tentang Alvin. Hehe. Gue nggak akan minta lo jauhin siapapun kok." Rio tersenyum lembut, lalu melingkarkan tangannya dipundak Shilla, "Pulang yuk. Ni sekolah jadi serem kalau udah sepi gini." Rio bergidik ngeri.

Keduanya lalu meninggalkan sekolah, sambil mengumbar tawa yang menggema disepanjang koridor antar kelas.

"Mungkin memang sebaiknya lo jauhin gue Shil." desis Alvin yang sejak tadi mencuri dengar pembicaraan Shilla dan Rio dari dalam ruang klub fotografi, tak jauh dari tempat Shilla dan Rio tadi bercakap-cakap.

Sedangkan dari sudut tempat yang lain, seseorang gadis bukan hanya mendengar, bahkan melihat kecupan singkat yang dilayangkan Rio pada pipi pualam Shilla. Awalnya, Ify ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan yang Shilla berikan. Tapi sepertinya, Ify harus double mengucapkan terima kasih. Karena adegan manis yang disuguhkan kepadanya, membuat Ify semakin yakin, bahwa cintanya memang hanya tumbuh untuk kemudian mati perlahan. Meskipun membuatnya muak, tapi tidak apa-apa. Tidak perlu dipusingkan. Anggap saja yang tadi itu, ia sedang menonton cuplikan dari drama korea yang sedang booming akhir-akhir ini. Begitu kurang lebih cara Ify, mensugesti dirinya sendiri untuk bisa move on.
Ify melihat lagi sekilas, tampak Rio sedang tersenyum seraya menepuk-nepuk puncak kepala Shilla. Ify memiringkan kepalanya, tanpa sadar ikut tersenyum. Setelah puas megoleksi pesakitan yang akan menambah endapan nyeri dalam hatinya, Ify memutuskan berbalik. Mencoba mengayunkan kakinya yang seperti digelayuti beban ribuan kilo, berat sekali. Ia sengaja tidak memilih pulang bersama Alvin, karena hari ini Ify ingin sekali menemui Bundanya dan bercerita banyak hal pada wanita yang mengandungnya selama 9 bulan itu.
Langit mulai berwarna orange. Burung-burung yang berterbangan untuk kembali ke sarang, tampak seperti garis-garis hitam yang bergerak kesana kemari. Matahari membulat sempurna, berwarna merah darah, dengan paduan semburat jingga. Ditemani semilir angin yang menyejukkan, Ify menapaki trotoar jalan menuju perumahan tempat Bundanya tinggal. Hari menjelang malam, tapi pedagang-pedagang kaki lima belum juga menutup 'lapak' mereka, bahkan mungkin semakin malam sepertinya para penjajak makanan akan semakin ramai memadati bahu jalan.
Ify tertawa kecil, keramaian seperti ini sangat ia sukai, karena membuatnya merasa tidak lagi kesepian.

Kring kriingg

Ify menepi, sepertinya ia menghalangi laju sebuah sepeda.
Kring kriingg

"Sendiri aja Non ?"

Ify memutar tubuhnya, "Gabriel ?"

"Hehe, baru pulang ya Fy ?" Gabriel menghentikan sepedanya. Menjejakkan satu kaki ke tanah. Ia sudah mengenakkan pakaian rumahan dengan kaos biru tua dan celana selutut berwarna hitam, ditambah topi yang dikenakan terbalik. Pemuda itu terlihat lebih santai dan keren, tidak kaku seperti saat berseragam sekolah. Gabriel memang senang sekali mengenakan topi yang bagian belakangnya menghadap kedepan, itu kebiasaannya sejak kecil.

"Iya Yel, ini juga untung dibantuin Shilla."

"Oh, kok pulangnya lewat sini Fy ? Jalan kaki pula."

"Hehe iya. Lagi nggak pingin naik mobil. Sekalian mau ke rumah Bunda, dulu."

"Ya udah, aku antar aja yuk. Searah kan ?"

Bunda Ify dan Gabriel memang tinggal dikomplek perumahan yang sama. Malahan mereka tetangga, rumahnya hanya berselang dua rumah lain.

"Emm... Nggak usah deh Yel. Tapi makasih atas tawarannya."

"Kenapa ? Nggak mau ya naik sepeda ?"

"Eh bukan. Bukan gitu kok. Cuma kan sepedanya nggak ada boncengannya, Yel."

"Ya, didepan dong Fy." sahut Gabriel gemas, dilepasnya satu tangan dari stang, "Ayo !!"

"Tapi..."

"Di jamin nggak akan jatuh kok. Udah ayo, tenang aja."

"Beneran ya ? Kalau sampai jatuh, awas lho." ancam Ify, mengangkat tinjunya ke depan wajah Gabriel.

Ify akhirnya setuju. Menuruti semua yang Gabriel instruksikan agar perjalanan mereka selamat sampai tujuan. Sejurus kemudian, Gabriel mulai mengayuh sepadanya. Kedua rodanya segera berputar, sepeda mulai bergerak teratur membelah udara.
Gabriel bersyukur sekali, hari ini akhirnya Tuhan mendengarkan doanya. Memberikan kesempatan padanya untuk merasakan sedekat ini dengan gadis pujaannya. Ia bisa mencium wangi rambut Ify, mendengar dengan jelas suara tawa Ify, mengamati dengan puas setiap lekuk wajah cantik Ify. Benar-benar hasil pahatan Tuhan yang tanpa cacat dan cela.
Jeritan kecil dari Ify saat sepeda oleng setelah melintasi polisi tidur, membuat Gabriel tertawa kecil. Atau cubitan pada punggung tangannya yang dilayangkan Ify setiap kali Gabriel menambah kecepatan sepedanya, membuat pemuda itu tiba-tiba saja bercita-cita ingin jadi seorang sutradara untuk kemudian menyisipkan adegan bersepeda seperti ini disetiap film buatannya.
Di belakang mereka, senja mulai luruh. Seiring cipratan keemasan di kaki angit yang turut memudar. Matahari sudah tenggelam sempurna.
Angin berdesau kian kencang, memuntahkan risalah yang dititipkan bumi pada manusia.
Katanya,
Anakku...
malam akan segera datang beserta kegelapan. Tapi tak perlu risau, karena Tuhan selalu menitipkan lentera kasih dan sayangnya pada bulan dan bintang hingga pagi menjelang.

***

Alvin menarik pegangan pintu besar di depannya. Kemudian menyeruak masuk, sambil bersiul-siul santai. Matanya memaku fokus pada foto-foto hasil jepretannya. Alvin ini memang maniak sekali dengan yang namanya fotografi, sejak usia 8 tahun, saat Ayahnya menghadiahi Alvin kamera pertamanya. Semenjak itu alvin serius menekuni dunia fotografi. Saat kamu memotret sesuatu, mungkin kamu mengabadikan satu hal yang tidak akan pernah terulang dua kali didunia ini. Begitu kata Ayah tercintanya, yang merupakan salah-satu fotografer handal.

"Darimana kamu ?"

Suara sinis Eyang putri, memaksa Alvin menghentikan langkahnya. Ia mengangkat wajah. Semua terlihat memicing mata, seperti menguliti Alvin dari ujung kaki sampai pangkal kepala dengan tatapan tajam.

"Ada apaan sih ?" batin Alvin bingung, "Habis hunting foto, Eyang." jawab Alvin takut-takut.

Diruang keluarga itu, terdapat Gladys yang memasang ekspresi kecewa, sedangkan Eyang Putri terlihat begitu marah, sementara Rio dan Shilla duduk sambil menundukkan kepala.

"Hunting foto ? Hunting foto-foto apa, HAH ? Foto-foto seperti ini ?" Eyang Putri melempar dua lembar foto, tepat di depan wajah Alvin, "Memalukan !!" umpatnya.

"Kamu tega sekali Alvin, kamu bikin Mama malu. Malu Alvin." Gladys berujar dengan suara bergetar.

Alvin terlongong.


***