Cakka melongo.
Apa yang dilihatnya benar-benar membuat lututnya bagai dilolosi tulang-belulang. Desiran darahnya serasa beku, rahangnya seakan terpagut dalam posisi menganga dan sulit untuk dikembalikan seperti keadaan normal.
"Ada apa lagi, ini ?" lirih seorang gadis dengan suara bergetar.
Cakka menoleh, didapatinya Sivia sudah terduduk lemas disampingnya, dengan dua mata bersorot sendu yang mulai mengeluarkan air mata.
"Bangun, Vi..." Cakka meraih tangan gadis itu, lantas dengan lembut membingbingnya kearah objek yang membuat mereka sama-sama terpana. Benda mati itu... Ya, Cakka ataupun Via tentu hafal betul siapa pemiliknya.
Benda itu, satu dari sekian banyak yang sering berjejer rapi di selasar rumah Alvin. Mobil berwarna silver keluaran terbaru, dengan plat nomer yang didesain khusus untuk seorang Alvin. Mobil yang baru dua bulan ini kuncinya mendarat di tangan kokoh Alvin. Mobil yang dihadiahkan Omanya untuk Alvin, cucu kesayangannya. Tapi sekarang, mobil yang harganya bisa ditaksir mencapai 9 digit itu benar-benar tak berbentuk. Tidak bisa lagi dikategorikan dalam deretan kendaraan mewah. Entah telah besinggungan dengan apa mobil itu. Sampai-sampai bannya tidak lagi berjumlah empat, bagian depan dan belakang benar-benar ringsek, rusak parah.
Tapi tentu saja bukan itu yang jadi soal. Yang menggelayutkan rasa cemas dalam benak Cakka dan Sivia adalah, jika mobilnya saja separah ini lantas bagaimana dengan pengemudinya ? Bagaimana dengan Alvin ??
"Selamat siang, Pak." tegur Cakka, setelah berdiri tepat dihadapan seorang bapak berseragam polisi lengkap dengan segala macam atributnya.
"Selamat siang de. Ada yang bisa saya bantu ?" balas salah satu dari kedua polisi yang ada disana, yang lain masih sibuk memasang police line disekitar mobil Alvin.
"Mmh... apa mobil ini baru saja mengalami kecelakaan, Pak ?" tanpa diberitahu pun Cakka sudah tau betapa bodohnya pertanyaan yang baru saja ia ajukan.
"Astaga Cakka, anak idiot kena busung lapar juga tau kalau tau mobil ini abis kecelakaan. Bego banget lo." rutuknya dalam hati.
"Iya dik, baru saja terjadi kecelakaan dikawasan Dago, dan mobil ini yang mengalami kerusakan paling parah. Pengemudinya sudah ditangani oleh pihak rumah sakit sejak 5 jam yang lalu. Kami juga sudah mencoba menghubungi keluarga korban." papar polisi tadi.
"ba..bagaimana kronologisnya, Pak ? Lalu bagaimana kondisi terakhir korban ?" tanya Cakka dengan suara bergetar. Kalau saja bukan laki-laki, ia akan langsung histeris atau minimal menangis tersedu-sedu seperti yang tengah Sivia lakukan sekarang.
"Menurut saksi mata, mobil korban melaju dengan kecepatan tinggi dari arah timur, dari arah yang berlawanan mobil pick up berusaha menyalip kendaraan di depannya namun kehilangan kontrol dan menabrak mobil korban dari depan. Bersamaan dengan itu, dari belakang mobil truk pengangkut pasir juga lepas kendali dan menghantam bagian belakang mobil ini." jelas polisi tadi, ia menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, "Kami pihak kepolisian belum tau pasti bagaimana kondisi korban, karena saat tiba dilokasi, korban sudah dilarikan ke rumah sakit ini. Apa adik ini, mengenal korban ? Kami sudah menghubungi nomor milik saudara Gabriel, ia menyanggupi untuk segera datang kemari, tapi sampai saat ini, kami belum bertemu dengan saudara Gabriel." lanjut polisi tadi.
"Gabriel juga baru saja dilarikan kerumah sakit ini Pak. Begini saja, kebetulan saya keluarganya, nanti saya akan coba menghubungi orang tua Alvin." jawab Cakka, sedikit berbohong.
"kami harap adik bisa segera menghubungi keluarga korban, kami khawatir pihak rumah sakit akan ragu-ragu melakukan tindak penyelamatan kalau tidak ada persetujuan pihak keluarganya." kata polisi kedua yang sekarang ikut bergabung dalam kelompok kecil yang tampaknya tengah asik berdiskusi di selasar rumah sakit.
"Baik Pak, saya akan menghubunginya sesegera mungkin. Sekarang, Alvinnya sendiri dimana, Pak ?"
"Ruang ICU lantai dasar."
"trimakasih, Pak. Kalau begitu kami permisi dulu." Cakka mengangguk hormat.
"trimakasih juga atas kerjasamanya. Selamat sore." balas polisi pertama dengan nada yang tegas dan berwibawa.
Cakka segera menggandeng Sivia, meraih tangan gadis yang sedari tadi masih sibuk menangis.
Saat tiba ditikungan yang mengarah ke kiri untuk menuju ruang ICU Sivia menarik tangannya dari Cakka.
"Kenapa lagi, Vi ?" tanya Cakka gusar. Kenapa disaat-saat seperti ini, Sivia malah melancarkan aksi diam mematung seperti itu.
"Ak..akuu..ak..aku.."
"Kenapa Vi ? Ayolah kita mesti cepet liat keadaan Alvin."
"Maaf Kka, tapi aku..aku mau liat keadaan Iel dulu."
Sumpah demi apapun, saat ini ingin sekali Cakka menggunakan tangannya untuk menyadarkan gadis ini.
"Vi, lo jangan egois gini dong. Alvin tu masih cowok lo, dan posisinya sekarang dia pasti jauh lebih butuhin lo ketimbang Iel. Emang lo gak pengen tau apa, gimana kondisinya ?" Cakka memicing mata kearah Sivia, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat-kuat disisi tubuhnya.
"Tapi aku khawatir sama Iel." jawab Sivia sambil terus menunduk dalam-dalam dan memilin-milin ujung bajunya.
"Alvin tu selalu ada buat lo, dia sayang banget sama lo. Sekarang apa salahnya kalau elo prioritasin dia dulu dibanding Iel."
"Kka, aku cuma mau liat Iel dulu, sebentar."
"Ya Ok. Ok. Terserah, terserah lo Vi. Tapi lo inget baik-baik, kata-kata gue. Kehilangan itu gak enak, dan seharusnya elo jaga apa yang udah lo punya, jangan ngejar apa yang belum pasti." pesan Cakka. Ia lantas berbalik dan meninggalkan Sivia dengan hati dongkol setengah mati. Tak habis fikir.
Sedangkan Sivia, tanpa menunggu detik bergulir terlalu lama lagi, ia langsung berlari memutar arah setelah Cakka berlalu. Sivia tidak merasa perlu, repot-repot mencerna apa yang dikatakan Cakka tadi. Ia khawatir pada Alvin, tapi lebih dari 70% hatinya mencemaskan Iel, Sivia tidak bisa dan tidak ingin mengingkari kenyataan itu.
Ia berjalan cepat, menyusuri bangsal-bangsal rumah sakit. Melewati beberapa kamar dan ruang kerja dokter-dokter spesialis dirumah sakit ini.
Gadis ini kemudian mengatur nafasnya setelah sampai di depan pintu kamar rawat yang biasa Iel tempati. Setelah irama nafasnya dirasa telah kembali teratur, Sivia menyibak sejumput rambut yang jatuh ke depan tubuh melewati bahunya, setelah itu diputar kenop pintu kayu didiepannya.
Saat daun pintu terbuka, Sivia mendapati Iel sedang berusaha turun dari ranjangnya.
"Iel !! Kamu mau ngapain ?" tanya Sivia, seraya membantu memapah Iel, "Agninya mana ?" lanjutnya bertanya.
"Agni ke toilet. Via, Alvin, Vi.... Alvin. Tadi yang telfon aku tu polisi, mereka bilang Alvin kecelakaan jam sebelas tadi, dan dilarikan ke rumah sakit ini. Ayo Vi, kita cari Alvin." tutur Iel panik, kedua tangannya mengguncang-guncangkan pundak Sivia.
"Iya Yel, iya. Aku tau kok, sekarang Cakka lagi liat kondisi Alvin."
"Jadi kamu udah tau Alvin kecelakaan, Vi ?"
Sivia mengangguk.
Iel mendengus keras-keras. Matanya yang semula terlihat galau dan khawatir, kini berkilat marah.
"Terus kenapa kamu malah ada disini ? Kenapa gak ikut Cakka ?" kata Iel dengan nada menyentak.
"Ak..aku cu..cuma mau liat kondisi kamu dulu Yel, aku khawatir sama kamu." jawab Via takut-takut. Beda dengan sentakan Cakka sebelumnya, sentakan Iel tampaknya lebih berefek pada gadis berkulit putih ini. Matanya yang indah langsung meluncurkan jejak-jejak air mata yang lantas berpencar membasahi kedua pipinya, sebelum akhirnya jatuh menetes diatas permukaan lantai berkeramik putih yang dipijaknya.
"Aaaargh." Iel mengacak rambutnya, "Kamu tuu..." Iel menunjuk lurus kearah Sivia, lalu melempar tinjunya ke udara, entah apa maksudnya.
"Via, aku mohooon. Jangan lagi peduliin aku. Jangan bikin aku serba salah, Vi. Aku udah relain kamu buat Alvin dan sekalipun aku gak ada niat buat rebut kamu dari dia. Ok, Vi, dulu mungkin pernah ada kita. Mimpi kita, kisah kita, harapan kita. Tapi sekarang beda. Sekarang cuma ada aku dan kamu, aku dengan kehidupanku, begitu juga kamu. Kamu dan Alvin adalah dua orang yang sangat aku sayangi dan akan sangat membahagiakan buat aku kalau kalian bisa bersatu." Iel menyentuh kedua pipi Sivia dan menyeka air mata yang terpeta disana.
"Apapun yang pernah aku lakuin buat kamu, itu gak ada apa-apanya dibanding semua hal yang pernah Alvin lakuin buat kamu. Kamu harus bisa bahagia disisinya."
Tanpa membiarkan Sivia menimpali segala macam ucapannya tadi, Iel sudah berlalu. Sivia hanya bisa memandangi punggung pangeran masa kecilnya itu dengan perasaan tak menentu.
***
Cakka melongok ke dalam ruang ICU didepannya, lampu yang ada diatas pintunya padam. Berarti tidak ada tindakan medis yang sedang dilakukan didalam sana. Jantung Cakka berdegup kian cepat. Apa ia sudah terlambat ? Apa Alvin sudaahh...
Tidak. Tidak. Cakka segera menepis fikiran-fikiran buruk yang menyambangi otaknya.
Cakka sedikit kaget, saat dirasakan tepukan pelan di pundak kirinya. Seorang suster berdiri tepat dibelakangnya.
"Ada yang bisa saya bantu, dik ?" tanya suster tadi, dengan lembut.
"Mmh, iya Sus. Begini, tadi pukul 11 ada korban kecelakaan kan ? Katanya, dilarikan ke ICU lantai dasar, tapi kok tidak ada ya?"
"Oh, pasien itu ya ? Operasi yang dilakukan pada pasien telah usai 3 jam yang lalu. Sekarang pasien sudah di pindahkan ke kamar inap, di lantai 3. Kamar mawar nomor 11"
"Oh, gitu ya Sus. Trimakasih kalau begitu."
"Sama-sama, dik. Permisi."
Setelah suster tadi lenyap dari jangkauan matanya, Cakka segera berjalan kearah kanan, menaiki lift menuju lantai 3.
Tepat, setelah Cakka tiba dikamar mawar nomor 11, seorang pria berdasi pastel dengan kemeja warna senada yang dibalut jas putih, keluar dari kamar itu.
Ragu-ragu, Cakka mendekat lalu melontarkan pertanyaan yang sudah diujung lidahnya, "Bagaimana kondisi Alvin, dokter ??" tanya Cakka, pada pria yang diyakininya adalah seorang dokter itu.
"Adik keluarga pasien ?"
"Iya dok, saya sepupunya. Orang tua pasien sedang diperjalanan." jawab Cakka asal. Ia terpaksa berbohong karena kalau tidak mengaku keluarga Alvin, seperti pihak polisi ataupun rumah sakit enggan memberikannya informasilebih rinci.
"Sebelumnya kami pihak rumah sakit mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah melakukan tindakan medis tanpa menunggu persetujuan keluarga. Tapi ini terpaksa kami lakukan agar bisa sesegera mungkin menyelamatkan nyawa pasien. Kalau untuk kondisi pasien sendiri, mendengar kecelakan dahsyat yang menimpanya, rasanya untuk tetap hidup saja itu sudah mu'jizat. Tapi ternyata Tuhan memberikan lebih, pasien tidak mengalami cidera-cidera parah, hanya saja... Hanya saja.. Terjadi kerusakan pada bola mata pasien akibat tertancap serpihan-serpihak kaca. Kami sudan melakukan operasi dan berjalan lancar." tutur sang dokter dengan sangat jelas.
"Apaa.. apa kerusakan itu menyebabkan kebutaan, dok ?" tanya Cakka hati-hati.
"Ya, tapi tetap bisa sembuh apabila pasien mendapatkan donor mata."
Tubuh Cakka benar-benar lemas, serasa bumi sebentar lagi akan menenggelamkannya bersama keterkejutannya atas semua ini.
"Baiklah," ujar sang dokter sambil menepuk-nepuk pundak Cakka, "Pasien sudah bisa ditemui, tapi tidak boleh lebih dari 2 orang yang masuk kedalam. Dan kalau orang tuanya datang, tolong beritahu agar segera menemui saya. Permisi. Selamat sore."
Cakka membungkuk kecil,memberi hormat pada sang dokter, sebelum dokter itu berlalu.
Ceklik.
Pintu coklat itu dibuka Cakka setelah dokter tadi menghilang. Di dalamnya seorang pemuda dengan wajah oriental yang khas tengah duduk bersandar dialasi bantal yang menempel pada kepala tempar tidur, dengan bagian sekitar mata yang di tutupi kain perban.
"Alvin..." lirih Cakka.
"Cakka ya ?" tebak pria tadi, ia menyeringai lebar.
"Iya Vin, ini gue. Kok bisa jadi kayak gini sih Vin ? Sejak kapan elo ngebut segala ?" tanya Cakka yang telah duduk ditepi ranjang Alvin sekarang.
Alvin mengangkat bahunya dengan santai, "Semalem gue tu ke Malang, nemuin orang tua gue, kebetulan mereka lagi di Indonesia. Gue pengen ngobrol banyak, terutama tentang Iel. Setelah semaleman ngobrol, pas paginya gue bangun, gue baru inget ada final pertandingan basket hari ini. Akhirnya, karena gak mau telat, gue nekat nyetir sendiri Malang-Jakarta, pas udah deket-deket Dago dan gak tau gimana kejadiannya, gue cuma denger ada bunyi BRAK, terus gak tau lagi. Semuanya gelap."
"Terus sekarang perasaan lo gimana ?"
"Legaa..."
Cakka mengerutkan kening, "Lega gimana maksud lo ?"
"Yang lain mana ? Iel mana, Kka ?" bukannya menjawab pertanyaan Cakka sebelumnya, Alvin malah balik bertanya.
Cakka sempat kelimpungang mengarang jawaban yang baik dan benar, karena tidak mungkin ia bercerita semua yang telah terjadi, pada Alvin.
"Iel lagi cari minum di cafètaria, Via lagi ke toilet, yang lain masih nunggu prosesi penyerahan tropi bergilir di GOR."
"Oh, jadi kita menang ??" wajah Alvin semakin berbinar, sama sekali tidak seperti orang yang baru saja kehilangan penglihatannya.
"Iya Vin, kita menang."
"Good job, boys. Sayang gue gak bisa ikutan tadi."
"Alvin..." suara berat milik seorang pria terdengar hampir bersamaan dengan suara lembut milik gadisnya. Disusul oleh langkah rusuh kaki-kaki mereka yang mendekat kearah Alvin.
"Syukur, elo selamet Vin." Iel mengurut dada.
"Iel ?" tangan kanan Alvin terjulur seperti mencari-cari sesuatu.
Iel tersenyum getir melihat keadaan saudaranya itu, "Gue disini Vin." Iel meraih tangan kanan Alvin.
"Gue masih tetep ganteng kan, Yel, walaupun pake-pake perban begini." celetuk Alvin, lalu terkekeh pelan.
"Apa sih lo Vin, malah cengengesan kayak gitu." cibir Iel.
"Biar aja. Elo juga yang sakit parah, masih suka cengengesan." Alvin membela diri.
"Lo aneh deh Vin, ada apa sih ?"
"Gak ada apa-apa." timpal Alvin santai, "Via.. Mana Via ? Tadi gue denger suaranya."
Melihat kenyataan bahwa Alvin masih mencari-cari dan menyadari keberadaannya, membuat Sivia makin merasa bersalah. Ia hanya bisa melempar pandangan takut-takut kearah Alvin dan Iel, bergantian.
"Ii..iya Vin. Aku disini." jawab Sivia, gugup.
"Aku mau ngomong Vi, sama kamu. Berdua aja, boleh ?"
Sivia mengangguk, meski sadar Alvin tidak akan melihat anggukannya.
Cakka dan Iel yang sudah merasa diusir secara halus, merekapun keluar dari kamar itu.
Awalnya, baik Alvin maupun Sivia sama-sama terdiam. Menunggu yang lain untuk memulai pembicaraan.
"Vin, maafin aku ya.." akhirnya Sivialah yang berinisiatif menyudahi keheningan yang tercipta beberapa detik lalu.
"Maaf buat apa?"
"buat semuanya. Buat kebodohan aku, buat keegoisan aku, buat kebohongan yang pernah aku lakuin. Aku bener-bener minta maaf atas semua itu."
"kenapa harus kamu yang minta maaf ? Justru disini aku yang paling salah, dan wajar aja kalau karena kesalahan itu, aku juga yang paling sakit. Aku gak peka, aku gak mau peduli, padahal segala macam fakta udah dibeberkan didepan mata aku. Aku dengan PDnya tetap berfikir bahwa kamu sayang sama aku, dan cuma sama aku. Gak ada yang lain. Dan tanpa sadar aku nyakitin banyak hati, termasuk hati aku sendiri. Sekarang kamu bebas Via, kamu gak perlu lagi belajar sayang sama aku, sayangi orang yang emang bener-bener pilihan kamu, aku akan tetap turut bahagia atas itu." Alvin mengucapkan kalimat panjang itu dengan tulus.
Sivia memandangi lelat-lekat pemuda yang sedikit pucat, dihadapannya itu. Ada perasaan tidak rela, ketika ia mendapati kalimat-kalimat yang baru saja dilontarkan pemuda itu.
Sivia tidak lagi menangis, tapi sorot matanya terlihat lebih nelangsa dibanding sebelumnya. Air wajahnya, seakan menunjukkan gadis 16 tahun ini tengah memikul beban orang sedunia.
"Maksud kamu apa Vin ??"
"Hubungan kita berakhir, sampai sini aja Vi. Mungkin, Aku gak cukup sabar untuk bertahan dengan orang yang sama sekali gak bisa membuka hatinya buat aku. Kamu dan iel adalah dua orang yang sangat aku sayangi, dan akan sangat membahagiakan buat aku kalau kalian bisa bersatu. Aku rasa itu akan jauh lebih baik."
Kalimat itu lagi. Kalimat yang sama persis dengan kalimat yang diucapkan Iel. Sivia membatin sedih. Merasakan dirinya seperti disetarakan dengan bola yang bisa dengan mudah dioper kesana-kesini. Ia menggigit bibir, menahan tangisnya agar tidak pecah.
Bukan, Sivia bukan menangis karena pada akhirnya ia tidak mendapatkan satu pun dari dua saudara ini. Itu terlalu picik.
Ia menangisi kebodohannya sendiri. Ia menangis karena sadar, telah melukai dua hati yang sejatinya sama-sama sangat menyayanginya.
"Dari aku kecil kalian selalu jagain aku, lalu kenapa sekarang saat kalian sama-sama dalam kesulitan, kalian malah minta aku jauhin kalian ? Aku cuma pengen ada selalu disamping kalian berdua, gak peduli apapun status aku." batin Sivia.
"Via...kok kamu diem aja sih? Kamu pasti lagi nangis ya ? Maaf Vi, aku gak bermaksud bikin kamu sedih, tapi aku bener-bener minta supaya mulai sekarang kamu harus selalu ada disamping Iel. Anggap aja ini permintaan aku yang terakhir."
"Kamu ngomong apa sih, Vin ?"
"Aku gak pernah minta apapun sama kamu sebelum ini. Aku harap permintaan aku kali ini, bisa kamu penuhin Vi. Jadilah malaikat hidupnya Iel, ajak dia bermimpi, suruh dia bertahan, bujuk dia supaya cepet sembuh. Kamu mau kan Vi ?"
"Kenapa mesti aku Vin ? Aku rasa kalau kamu mau Iel sembuh, harusnya kamu minta tolong sama dokter-dokter ahli. Bukan aku."
"Satu-satunya tindakan medis yang bisa menyelamatkan Iel adalah cangkok sumsum tulang, tapi sayangnya itu udah gak mungkin lagi..."
Alvin menerawang, mengingat pembicaraannya kemarin malam dengan kedua orang tuanya.
Ia merasa perlu untuk menceritakan obrolan singkat itu pada Sivia.
"Kemarin malam aku menemui orang tuaku di Malang...."
FlashBack : On
Tiga orang dalam ruangan ini terbalut hening. Hiruk pikuk kendaraan yang melintasi jalan raya didepan salah satu hotel di daerah Malang ini, sama sekali tidak menggugah minat mereka untuk melanjutkan obrolan yang sempat terhenti. Detik terus berlalu, tapi tetap tak ada jawaban untuk pertanyaan pemuda sipit yang tengah duduk diapit kedua orang tuanya itu.
Sesekali hanya helaan nafas panjang yang sering terdengas, menggambarkan dengan tegas betapa berat beban yang tengah merundung penghuni-penghuni salah satu kamar hotel ini.
"Kenapa pada diem sih ? Atau jangan-jangan bener ya, yang anak pungut itu Alvin bukan Iel , iya ?" desak pemuda sipit tadi, pada kedua orang tuanya yang masih terlihat letih dalam balutan baju kantor mereka.
"Cukup Alvin !! Itu pertanyaan yang sangat bodoh. Jelas-jelas kamu ini anak kami. Kamu putra kandung papa." balas sang papa dengan suara tegas.
"Lalu kenapa banyak banget yang kalian sembunyiin dari aku. Bahkan aku gak tau kalau kalian bangun panti asuhan dan parahnya pembangunan panti asuhan itu atas permintaan Iel. Kenapa kalian lebih sayang sama Iel, kenapa ? Aku ngerasa jadi orang asing ditengah keluargaku sendiri." pemuda sipit tadi, Alvin, ia setengah berteriak, otot-ototnya nampak sangat kentara, menyembul disekitar pelipisnya.
"Alvin, maafkan mama, kalau kamu merasa di perlakukan tidak adil. Tapi percayalah, kamu putra kandung mama. Mama hanya berfikir diusianya yang belum genap 17 tahun dengan penyakit separah itu, Iel lebih labil dan butuh diperhatikan dibanding kamu. Mama tidak bermaksud membeda-bedakan, kalian berdua sama-sama putra kebanggaan mama. Mama rela berkorban apapun untuk kalian." tutur mama Alvin dengan mata berkaca-kaca.
"Papa juga minta maaf, Vin. Kalau selama ini terlalu keras pada kamu. Papa juga sering membanding-bandingkan kamu dengan Iel, tapi itu semata-mata karena Papa mau dengan kondisi kamu yang jauh lebih baik dari Iel, kamu paling tidak bisa selangkah lebih maju darinya, kamu lebih bisa membuat kami, orang tua kandungmu bangga. Tapi kenyataannya, selama ini kamu malah lebih sibuk dengan band, basket, fotografi, kamu tidak pernah serius dengan nilai-nilai akademikmu. Papa hanya takut, masa depan kamu akan terbengkalai karena hobi-hobi yang kamu jadikan prioritas itu. Mama ataupun papa tidak ada yang berniat membuatmu tidak nyaman, maafkan kami kalau selama ini kamu merasa tersisih." kata Papa Alvin, sungguh-sungguh. Sorot matanya begitu hangat, tidak lagi berang dan penuh kekesalan.
Alvin tercenung, Papanya benar. Selama ini, dengan egois, Alvin selalu menganggap apa yang dipilihnya adalah yang terbaik. Ia lebih sering memberontak, berbeda dengan Iel yang selalu mengangguk patuh, apapun yang dititahkan atas dirinya.
Alvin melirik Papa dan Mamanya bergantian, "Maafin Alvin ya Ma, maafin Alvin, Pa... Alvin sering bikin mama sama papa kesel. Alvin lebih sering ngelawan kalian." ucapnya penuh sesal. Alvin lantas memeluk mamanya dengan erat. Sesaat Ia terbius oleh usapan lembut sang mama di kepalanya. Belaian halus seorang ibu yang entah sudah berapa lama tidak dirasakannya.
"Kamu sudah besar, Alvin. Pertanyaan semacam tadi Papa harap tidak akan kamu lontarkan lagi. Kamu yang lahir dari rahim Mama, dan DNAmu yang cocok dengan Papa. Apapun yang terjadi, kamu anak kandung kami, dan tidak ada yang bisa merubah itu." tandas sang Papa, sambil menggulung kemeja garis-garisnya lalu berjalan kearah meja, meraih sebotol air mineral yang ada diatasnya.
"Ma, Pa... Apa Iel, tidak bisa sembuh dari penyakitnya ? Kata dokter, penyakitnya sudah sangat parah ?" tanya Alvin, tiba-tiba.
Ekspresi kedua orang tuanya yang semula tersenyum hangat kini berubah muram. Alvin sadar pertanyaannya barusan benar-benar berosmosis ria dengan cepat, atmoser ruangan ini tiba-tiba saja jadi pilu.
"Iel bisa sembuh hanya dengan transplantasi sumsum tulang, tapi pendonornya harus dari pihak keluarga kandung dan dilakukan sebelum menginjak usia 12 tahun. Papa sudah berusaha mencari orang tua Iel kemana-mana, tapi saat menemukan alamatnya ternyata kedua orang tua Iel sudah meninggal. Papa terus berusaha mencari tau dimana kediaman keluarga Iel yang lain. Tapi hingga detik ini hasilnya nihil. Lagipula usia Iel sudah menginjak 17 tahun." tutur sang Papa, terlihat sangat sedih.
"Jadi maksudnya Iel gak bisa sembuh ?" Alvin merasa hatinya dihujani gumpalan-gumpalan rasa bersalah yang bermetamorfosa menjadi batu-batu besar yang menyesakkan. Mengingat pertengkaran terakhirnya dengan Iel, dan sampai detik ini Alvin belum bertegur sapa lagi dengan saudara angkatnya itu.
"keajaiban itu bisa saja terjadi, Nak. kita hanya bisa berdoa.." ujar Mama Alvin singkat.
FlashBack : Off
"Baguslah, berarti hubungan kamu sama orang tua kamu membaik kan, sekarang." timpal Sivia setelah Alvin menyelesaikan cerita.
"Ya, tapi bukan itu point pentingnya. Intinya, Iel gak butuh lagi pertolongan medis. Dia butuh seorang motivator, dan aku yakin kamulah orangnya."
"Kita, Vin. Bukan cuma aku atau kamu aja. Tapi kita."
"Jadi kamu mau bantu aku, supaya Iel sembuh ?"
"Asalkan kamu mau janji satu hal sama aku?"
"janji ? Janji apa ?"
"biarin aku ngerawat kamu Vin, paling gak sampai mata kamu sembuh. Anggap aja itu tanda trimakasih aku atas semua kebaikan kamu selama ini. Kau mau janji ?"
Alvin tidak mengiyakan, karena dalam hatinya, ia telah berjanji untuk tidak berhubungan lagi dengan gadis ini lagi. Demi saudaranya, demi Iel.
Alvin memilih untuk tersenyum kecil, dan untungnya Sivia sepertinya menganggapnya senyum itu sebagai jawaban 'iya'. jadi Alvin tidak perlu repot-repot menampik janji yang di ajukan Sivia sebagai syarat untuknya.
"Ya udah kalau gitu, aku keluar ya. Kamunya istirahat." pamit Sivia.
Alvin mengangguk. Sivia kemudian membantu Alvin berbaring, membenahi letak selimutnya, lalu mengelus rambut hitam Alvin beberapa kali.
"Kamu orang baik Vin, sangat baik. Kata malaikat itu lebih cocok buat kamu, dibanding aku." tutur Sivia dalam hatinya.
Tak bisa menampik, Via menyadari ada rasa nyaman yang menjalari tubuhnya, saat kedua matanya menelusuri lekuk sempurna wajah Alvin, "Apa rasa itu mulai ada, Tuhan? Kalaupun iya, ia datang terlambat, sangat terlambat." lagi-lagi batinnya riuh bergumam, berbanding terbalik dengan bibir tipisnya yang terkunci rapat.
Perlahan, Sivia melangkah keluar, meninggalkan Alvin yang entah sudah tertidur atau belum, Sivia tidak tau, karena kedua mata Alvin berbalut kain perban.
Diluar, Cakka dan Iel tengah berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Disisi kanan pintu terdapat sederet kursi berwarna biru yang dua diantaranya telah ditempati Agni dan Ify. Via menatap mereka satu-persatu, tapi tiba-tiba saja kepalanya berkunang, perutnya sakit, keringat dingin mulai meluncur dari dahinya.
"Alvin bilang apa, Vi ?" tanya Iel.
Sivia tidak menjawab, ia terlalu sibuk dengan sakit yang menderanya.
Sivia merasakan tubuhnya limbung, kedua kakinya lemas, lantas semua jadi hitam dan gelap.
Ia pingsan.
***
"Via tidak apa-apa, hanya kelelahan. Kalian sudah bisa menjenguknya didalam. Silahkan." ujar seorang dokter
yang baru saja usai memeriksa Sivia.
Setelah berkata demikian, sang dokter melonggarkan dasi garis-garis hitam-abu yang mencekat lehernya, lalu melenggang pergi meninggalkan 4 orang anak yang tengah memandangnya dengan tatapan menuntut suatu penjelasan.
"Dok !!" panggil Iel.
Dokter tadi berhenti berjalan, lalu menoleh.
"Apa Sivia itu pasien dokter Raka ?" tanya Iel, pada dokter yang bernama Raka tadi.
"Ya, Via pasien saya." jawab dokter Raka seraya mengangguk.
"Mmh, setau saya... Dokter biasa menangani pasien yang bermasalah dengan ginjalnya, lalu... apa.. Sivia juga mengalami masalah pada ginjalnya, sehingga harus ditangani oleh dokter ?"
Dokter Raka tersenyum sekilas, "Kamu Gabriel ya ? Pasien kebanggaannya dokter Fadli ?" tanyanya.
Ia menganggukkan kepala.
"Pantas. Kamu sepertinya sudah hafal ya dokter-dokter disini berikut spesialisasinya." Dokter Raka menepuk pundak Iel, sebelum melanjutkan kalimatnya, "Sivia memang pasien baru saya. Awalnya Via ditangani oleh dokter kulit, karena sering gatal-gatal terutama dibagian punggungnya, tapi beberapa waktu lalu, terdeteksi bahwa ginjalnya mengalami kerusakan. Via sering minum obat-obat sakit kepala dalam jangka waktu yang sudah cukup lama dan kurang mengkonsumsi air putih, sehingga kinerja kedua ginjalnya mengalami penurunan."
"Maksud dokter, Via mengalami gagal ginjal ?" kini giliran Ify yang bersuara.
"Mungkin terlalu ekstrem kalau dibilang gagal ginjal, kedua ginjalnya masih berfungsi walaupun tidak sempurna. Tapi itu bisa saja terjadi kalau Via terus-terusan menolak melakukan transplantasi ginjal."
"Jadi sampai sekarang Via masih menolak melakukan tranplantasi dok ? Tapi kenapa memangnya ? Setau saya transplantasi semakin cepat dilakukan akan semakin baik." kata Agni, ikut menimpali.
"Pendonor ginjal harus dari keluarga kandung. Ginjal Via dengan ibunya cocok, tapi Via menolak kalau ibunya harus mendonorkan satu ginjal untuknya. Kami sudah meyakinkan Via bahwa seseorang tetap bisa hidup normal dengan satu ginjal, tapi Via tetap bersikukuh menolaknya. Selain itu masalah biaya juga menjadi kendalanya." dokter Raka kembali memaparkan semua hal yang diketahuinya dengan sangat rinci.
Semua terdiam. Alvin, lalu sekarang Via.
Ya, tidak heran kalau Cakka, Iel, Ify ataupun Agni, sama-sama tidak berselera untuk bicara.
"Ada lagi yang ingin kalian tanyakan ?" tawar dokter Raka.
"tidak dok. Kami rasa cukup. Trimakasih banyak." balas Cakka.
"Baiklah saya permisi kalau begitu. Selamat malam." pamit dokter Raka, diiringin seulas senyum.
Setelah sosok dan bayangan dokter Raka hilang ditelan remang malam, Cakka, Iel, Ify dan Agni segera masuk ke dalam kamar rawat umum yang berisi 4 ranjang tidur. Disalah satu kepala satu ranjang itulah, Sivia menyandarkan tubuhnya yang lemas.
Sivia mengangkat wajahnya, ketika bunyi tap-tap-tap dari sepatu yang beradu dengan lantai, berhenti. Dihadapannya 4 orang tengah kompak mempertontonkan raut kecewa di wajah mereka.
"Maafin aku..." lirih Sivia, ia sudah tau dimana letak kesalahannya. Menutupi hal sekrusial itu dari sahabat-sahabatnya tentu bukan suatu tindakan yang patut dibenarkan.
"Kita maafin kamu kok cantik, sama kayak kita bersedia maafin Iel dulu." tutur Agni, sembari merengkuh tubuh sahabatnya itu dalam sebuah pelukan hangat.
"Tapi mulai sekarang janji ya, gak pake rahasia-rahasiaan lagi kalau ada apa-apa." tambah Ify, yang juga turut memeluk kedua sahabatnya.
Cakka dan Iel, hanya bisa memandangi tiga sahabat itu dengan sorot mata penuh kerinduan.
"Kapan kita terakhir kumpul-kumpul di kantin ya, Yel ? Gue sampai lupa, gue kangen d'orions." ujar Cakka setengah berbisik. Gabriel mengangguk setuju.
***
Agni berjalan gontai menyusuri trotoar jalan yang masih dihuni beberapa penjajak makanan kecil. Tangannya mencengkram erat tas selempang yang ia kenakan, sesekali kakinya menendang-nendang kerikil kecil yang bergeletakan disepanjang jalan yang dilalui. Angin malam yang dingin membuatnya berkali-kali harus membenahi cardigan coklatnya agar lebih erat menempel pada tubuhnya, kadang Agni juga menggosok-gosokan telapak tangannya untuk
menghalau rasa dingin.
Tin.. Tiinn
Sebuah cagiva hitam berhenti tepat didepannya. Sang pengemudi tersenyum ramah setelah melepas helm fullface yang dikenakan.
"Riko ?"
"Sendirian Ag ?? Darimana ?"
"Eh, iya, gue sendiri. Abis dari RS, jengukin temen."
"Oh, ya udah, yuk. Gue anter pulang aja. Udah malem, gak baik cewek jalan sendirian malem-malem."
Agni melirik jam digital hitam yang melingkari pergelangan tangannya. Jam 9 malam. Ternyata memang sudah larut malam, pantas saja sudah mulai sepi.
"Gak deh Ko, gak enak kalau cewek lo liat. Apalagi dia sobat gue juga, entar malah salah faham lagi." Agni menolak dengan halus.
"Ya elah, nyantai aja kali, Ag. Cewek gue gak cemburuan kok. Udah ah, ayo naik." bujuk Riko.
"Beneran gak pa-pa nih ?"
"Iya, iya, bawel deh. Udah pegangan lo." perintah Riko setelah Agni diboncengnya.
Meski enggan, Agni menurut. Dilingkarkan kedua tangannya pada pinggang Riko. Setelah itu, cagiva hitam andalan Riko melesat cepat, membelah lalu lintas malam kota Bandung.
Dari kejauhan, seseorang yang memperhatikan Agni dan Riko, mulai berbisik perih pada angin, "Semoga lo bahagia sama pilihan lo." gumamnya, sarat akan nada kecewa.
Percayalah,
tidak ada hal lain yang lebih menyesakkan,
selain penyesalan yang selalu datang dibuntuti kata terlambat.
***
"Iya Yo... Aku janji gak akan nangis lagi. Ya aku cuma ngerasa gak enak aja. Iya.... Kamu juga baik-baik ya disana.... Jangan lupa makan..... Hahaha, Ok. Kamu hutang satu lagu sama aku kalau gitu..... Sip-sip, bye..."
Shilla mengulum senyum simpul, setelah menekan tombol merah pada keypad handphonenya.
"Dimana Rio ?" suara berat itu membuat Shilla terperejat. Hampir saja handphonenya terlepas dari genggaman tangannya.
"De.. Debo, sejak kapan lo disitu ?"
"udah lama. Cukuplah buat denger semua pembicaraan lo sama Rio barusan."
"Jangan sok tau deh lo, tadi tu bukan Rio." sergah Shilla, gadis ini menekan seluruh rasa gugupnya dan betul-betul berusaha untuk bersikap sewajar mungkin. Ia tidak ingin, rencana yang sudah tersusun apik, berantakan hanya karena keteledorannya.
"Elo gak usah ngelak deh, Shil. Gue udah mergokin lo telfon sembunyi-sembunyi kayak gini, 3 kali. Pertama, pas final basket. Kedua, pas kita jenguk Alvin dan ketiganya, sekarang. Gue yakin yang lo telfon itu Rio kan ?"
"Bukan !!"
"Bohong !!"
"Udah deh, lo jangan ngaco."
"Ok. Kalau gitu, siniin HP lo." Debo dengan sigap merebut handphone Shilla.
"Privat number." gumamnya, setelah beberapa detik memeriksa handphone Shilla.
"Udah gue bilang, yang telfon tadi tu bukan Rio. Ngeyel sih lo." Shilla masih terus mempertahankan argumennya, dengan kasar ia merebut kembali handphonenya dari tangan Debo.
"Shil, gue yakin lo pasti tau kan dimana Rio sekarang ? Lo harus kasih tau Ify, dia jauh lebih berhak tau ketimbang lo." desak Debo, ia merasa berhutang budi pada Ify, dan berharap ia bisa membalasnya dengan mendesak Shilla agar memberitahukan keberadaan Rio.
"kenapa emangnya? Kenapa Ify lebih berhak tau dari gue ?"
"Karena Ify bener-bener sayang sama Rio."
"Oh, trus Rionya ? Apa dia juga sayang sama Ify, kalau iya kenapa Rio ngehindarin Ify ?"
"Jadi benerkan lo tau sesuatu, lo tau kan Rio dimana ?"
"Iya, gue emang tau dimana Rio. Terus lo mau apa, heuh ?"
"SHIL, ELO HARUS KASIH TAU IFY DIMANA RIO." raung Debo. Untungnya saat itu seluruh siswa kelas XI IPA 1 sedang berolahraga, sehingga pertengkaran dua orang ini tidak terlalu menyita perhatian.
"GAK-AKAN-PERNAH." ujar Shilla tegas.
"Elo jangan keterlaluan gitu dong Shil."
"Gue ?" Shilla mengarahkan telunjuknya kedepan wajahnya, "heh, justru yang keterlaluan tu mereka, gak Ify, gak Iel, cuma nambah-nambahin beban fikirannya Rio doang. Si alvin juga, seenak-enaknya gebukin anak orang. Pas Rio ada, disalah-salahin, Rio menghindar dibilang pengecut. Mereka gak ada yang ngerti kan, gimana perasaan Rio ? So, yang keterlaluan siapa ? Mereka semua tu yang keterlaluan. Terutama lo, perusak. Jadi jangan sok care deh, sama Ify, Rio ataupun yang lain." cibir Shilla sinis, "Tapi tenang aja, gue gak sejahat yang lo fikir kok, gue bakal kasih tau Ify dimana Rio, tapi nanti kalau Rio udah siap ketemu Ify."
"Gimana kalau Rio gak pernah siap ketemu Ify lagi ?"
"Gampang aja. Berarti Ify gak akan pernah ketemu Rio lagi." Shilla menyeselesaikan kalimatnya dengan santai. Lalu berlenggang keluar kelas menuju lapangan, setelah sekilas melempar senyum menyebalkan lengkap dengan tatapan extra mencibir pada Debo.
"Rio-Shilla ? Kok jadi gini sih." gumam Debo, bingung.
***
Waktu sudah beranjak setengah jam dari tengah malam, tapi kedua mata indah milik pemuda ini tak kunjung terpejam. Tetesan cairan yang kemudian mengalir melalui selang yang menempel pada lengan kirinya serta bunyi tik-tok-tik-tok dari jam dinding persegi panjang didepannya terdengar lebih jelas daripada sebelumnya. Ia selalu benci saat-saat sendiri seperti ini. Ini kelewat sunyi, terlalu sepi, dan bayangan itu pasti akan datang lagi. Menyeretnya hingga kedasar yang paling gelap dalam hidupnya, memaksanya untuk kembali pada sebuah masa yang harusnya sudah terlupakan sejak lama.
Pemuda ini tidak tau lagi, mana yang lebih sakit. Tubuhnya atau hatinya. Masa lalu itu terus menghantui langkahnya. Mengusiknya saat terjaga, menekannya saat terlelap, ia benar-benar tersiksa.
Mungkin terlalu lelah, akhirnya sayup-sayup kelopak matanya mengatup, alis-alis matanya teranyam sempurna. Pemuda itu, ia tertidur.
Mereka bilang setiap kali angin berhembus,
seseorang disuatu tempat tengah menitipkan salam rindu untuk orang terkasihnya.
Mereka bilang setiap kali langit gelap,
seseorang disuatu tempat telah meminta bintang-bintang untuk menghiasi mimpi orang tersayangnya.
Mimpi... Terkadang jadi isyarat tak terbaca berisi jawaban atas pertanyaan yang kau ajukan.
Pemuda tadi berjalan disebuah padang. Luas. Hijau. Dan sangat indah. Disisi kirinya tampak mawar-mawar dengan aneka warna tengah di gandrungi kawanan kupu-kupu. Disisi kanannya, pantulan mentari sore terbias jelas dipermukaan air danau yang tenang. Di depan serta belakang pemuda tadi, ilalang-ilalang setinggi pinggul berayun luwes disentuh angin. Pemuda tadi terlihat bingung, dimana Ia sekarang ? Disurga kah ??
Ya, ini pasti surga, karena tepat saat pemuda tadi menoleh, matanya menangkap sosok cantik bak malaikat degan cahaya putih yang memancar dari setiap inci tubuhnya, senyum manis terpeta pada parasnya yang ayu, tatapannya lembut seumpama lembayung senja, rambutnya terurai, berkilau dan meliuk mengikuti gerak tubuhnya.
Pemuda tadi terpana.
"Apa kabar Yo ? Lama ya kita gak ketemu." suara itu menyapanya syahdu, terdengar merdu seperti nyanyian putri-putri duyung penghuni danau hitam pada film Harry Potter and The Goblet of Fire.
Pemuda tadi terkesiap. Sosok itu mengenalnya, "Dea ?" gumam pemuda tadi, ragu-ragu.
Sosok cantik tadi mengangguk.
"kamu betul-betul Dea ?"
"Iya Rio, aku Dea. Aku nemuin kamu buat ngembaliin ini." sosok cantik yang mengaku jelmaan Dea itu menarik lengan kanan Rio dan menggambarkan lambang Love yang dibubuhi tulisan hati ditengah-tengahnya.
"Ini hatimu," katanya seraya tersenyum, "Maaf, aku menahannya terlalu lama. Aku rasa kamu mulai membutuhkannya untuk menyayangi orang lain. Kamu selalu bilang aku adalah bintangmu. Tapi kamu perlu tau Rio, gadis yang jatuh bangun membantumu itu adalah mataharimu. Orang bisa hidup tanpa bintang, tapi gak ada yang sanggup hidup tanpa matahari. Aku gak akan pernah rela, kalau tempatku di hatimu digantikan orang lain, tapi aku akan lebih gak rela kalau kamu hancurin hidup kamu, dan jadiin aku sebagai alasannya. Itu konyol."
Pemuda tadi masih mematung. Rio, dengan kaku hanya satu kalimat yang ia ucapkan, "Aku kangen kamu, De."
Sosok Dea lagi-lagi hanya mengumbar senyum. Sepertinya ia sadar betul senyumnya lebih indah dari seluruh bunga-bungaan yang ada didunia.
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Dea menjauh, semakin lama semakiiin jauh. Tangan Rio terus terulur berusaha menyentuh sosok cantik itu, tapi Dea tak lagi ada dalam jarak yang bisa Rio jangkau.
"De, kamu mau kemana ? Jangan tinggalin aku lagi, De. Aku ikut kamu, Deaa..."
"Aku bahagia ditempatku Yo, dan kamu juga harus bahagia disana. Salam untuk malikatmu dan untuk Debo."
Sosok Dea lantas menghilang ditelan gumulan kabut putih.
Bruk.
Rio menjatuhkan dirinya. Bersamaan dengan itu, akalnya dibenturkan pada sebuah kesadaran. Masa lalu telah melepaskan belenggunya. Sekarang tinggal Rio sendiri, sudah beranikah ia hengkang dari masa lalu dan menjemput masa depannya ? Sudah cukup tangguhkah ia kalau suatu saat, ia harus kehilangan lagi ??
"aku akan membantumu..."
Suara lembut itu membuat Rio mengangkat wajahnya ?? Seorang gadis dengan kedua sayap dibalik punggungnya, mengulurkan tangan dengan tulus kearah Rio.
"kamu..."
Rio terhenyak, tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya memburu. ia terbangun dari tidur singkatnya. Apa yang barusan ia alami ? Mimpikah ?
Tapi kenapa terasa begitu nyata.
"Shilla..." gumam Rio, tanpa sadar.
***
Sabtu, 12 Maret 2011
Catatan Si Putih (cerpen)
***
Dia terbatas.
Dia hanya tau tentang saling menyayangi, tanpa pernah mengerti selubung misteri yang menutup rupa asli bumi.
Dia hanya butuh sebentuk hati untuk menjalani hidup, lantas akan selalu tersenyum tulus.
Tak peduli busur-busur jahanam telah mengintai tepat kearahnya.
Dia sederhana. Sesederhana kasih sayang seorang kakak pada adiknya.
***
Minggu, 27 Februari 2011
Seorang gadis menunduk dalam-dalam. Rambutnya yang panjang bergelombang terjuntai menutupi wajahnya yang kian tirus. Tak jelas apa yang menarik dibawah sana, tapi sepertinya gadis ini sangat betah memaku pandangannya pada tanah kemerahan yang becek setelah berbaur dengan air hujan. Renda-renda berwarna senada vanilla yang menghiasa ujung-ujung gaun hitamnya sudah dipenuhi bercak-bercak kecoklatan dari lumpur yang bercipratan saat kaki kecilnya melangkah kemari tadi. Ia memang tidak sendiri di tempat menyedihkan ini, tapi ketahuilah, saat ini apapun dan siapapun akan jadi tak kasat mata untuk gadis dengan bola mata indah ini. Gadis tadi tersenyum samar, berusaha menyarukan sedih yang merangkulnya sejak lama. Ini akhirnya. Ini doanya, untuk segera tau nasib orang yang disayanginya. Lantas, kenapa ia harus menangis ?
Seorang pemuda disisinya hanya bisa berdoa dalam hati, "Kuatkan dia, Tuhan..."
***
Kamis, 21 Oktober 2010
Ini catatanku. Catatan Si Putih. Catatan kecil tentang sebuah kekuatan. Kekuatan besar yang berawal dari sepercik rasa sederhana yang telah jadi hal langka dalam opera panjang bernama kehidupan ini.
Tidak, ini tidak serumit kisah-kisah cinta klasik atau sesukar kata-kata sayang yang kadang tersimpul membentuk jerat yang mencekik tanpa ampun. Kisah dalam catatan ini tidak berinti seberat itu. Hanya bercerita tentang sesuatu yang simpel tapi bermakna, sesuatu yang akan mempertegas segala rupa yang samar, yang akan melapangkan setiap sisi yang sempit, yang akan menguatkan setiap insan yang rapuh, serta yang akan memudahkan setiap jalan yang kadang terasa sulit.
Sesuatu yang sederhana itu, adalah...
panji-panji ketulusan.
Aku ingin membagi catatanku, sebuah cerita tentang dua anak manusia yang menyelami arti dan makna ketulusan dengan sangat benar dan sempurna...
***
Jum'at, 22 Oktober 2010
Aku tengah mengepakkan kedua sayapku yang lembab disentuh rintik hujan. Seperti biasa, bulan Oktober. Hujan sudah mulai berkeracak tiada henti. Tuhan memang sangat menganak-emaskan sang air, setiap kali musim penghujan tiba. Sehingga tidak aneh, kalau disetiap titik yang ku dapati hanya air, air dan air. Ah, kemana sih Si Matahari ? Kenapa ia lebih memilih bersembunyi dibalik dekapan awan, sementara penduduk bumi merindukan kehadirannya.
Pagi ini kupaksakan untuk terbang. Sayap-sayapku bisa lumpuh kalau selama beberapa bulan harus berdiam, tanpa ku kepakan. Gerimis masih terus bersenandung, membuat sang kodok penghuni danau kecil ditaman ini bersorak riang. Ya, aku memilih taman kecil ini sebagai tempat menghabiskan pagi yang sangat dingin ini. Biasanya, setiap aku mengunjungi tempat ini barisan bunga tapak dara dan asoka akan berayun kompak seperti memberi ucapan selamat datang. Menurutku, taman ini juga memiliki rumput paling sempurna, hijau cerah dan segar. Tapi nampaknya hujan telah banyak merubah tempat ini, sekarang yang ada hanya genangan-genangan air dan guguran dedaunan.
Tapi ada satu yang tidak berubah. Gadis itu. Gadis manis dengan slayer putih yang membelit tangan kirinya. Gadis itu tetap pada kebiasaannya, menggambar ditaman ini. Tak peduli pada rinai air yang kian gencar mendera tubuhnya, tangan gadis berambut panjang itu tetap luwes menari diatas buku gambar ukuran A4nya. Disisi kanannya, seorang pemuda berusia sekitar 16 tahun dengan kaos hijau lumut, tengah menggerutu kesal, entah karena apa.
Oya, karena ada pepatah tak kenal maka tak sayang, maka kenalkan aku Putih, Si Putih. Aku seekor merpati. Karena buluku putih senada salju, jadilah kunamai diriku sendiri dengan julukan Si Putih. Hehe..
"Bosan.. Bosan.. Bosaaaan." teriak pemuda tadi, seraya menghentak-hentakkan kakinya.
Merasa belum cukup, pemuda tadi melempar tempat pensil Si Gadis. Tindakan semacam itu benar-benar tidak layak dilakukan pemuda seusianya.
Gadis tadi hanya tersenyum sabar, lalu memunguti isi tempat pensilnya yang berserakan.
Mmh, pemuda itu memang sedikit berbeda dengan yang lain. Dia idiot. Ah, bukan-bukan, rasanya itu terlalu kasar. Terbelakang. Ya pemuda dengan kulit sawo matang itu terbelakang.
Duh, kok rasanya, kata terbelakang tidak jauh lebih baiknya dari idiot.
Ya, intinya dia berbeda. Dia terbatas.
"Kak Rio sabar dong, Acha sebentar lagi selesai kok." hibur gadis yang akrab disapa Acha tadi, sebelum ia kembali menekuni gambarnya.
Seperti mengabaikan kata-kata Acha, pemuda berambut acak dengan poni sedikit melewati alis, yang dipanggil Rio tadi, malah berdiri.
"Ehh." Acha mendongak saat merasakan bayangan jangkung tubuh Rio, menghalau cahaya yang jatuh diatas buku gambarnya, membuat permukaan putih itu, menggelap. Di dapati kakak tercintanya, tengah berdiri dengan kedua tangan bertaut diatas kepala Acha.
"Kakak ngapain ?" tanya Acha heran.
"Jagain kamu, dari hujan. Biar gak sakit." jawab Rio, polos.
"Acha gak akan sakit, air hujan doang sih, kecil." Acha menjentikka ibu jari dan kelingkingnya.
Diraihnya lengan-lengan kokoh Rio, dibimbing agar turun, lalu Acha mengedipkan sebelah matanya, "Achanya Kak Rio kan kuat." lanjutnya, yakin.
"Aku benci hujan." kata Rio setelah kembali duduk manis disamping Acha. Dua buah kursi dan satu meja bundar yang ada ditaman ini, sepertinya sudah mereka kontrak dan akan selalu jadi tempat favorit keduanya setiap kali mengunjungi taman komplek ini.
"Kenapa emangnya ?" tanya Acha, lembut, tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku gambar.
"karena menurutku setiap kali hujan turun, pasti ada seseorang yang sedang sedih dan menangis."
Acha tertawa kecil, "Masa sih kak ?"
"Iya, buktinya aku sering liat kamu nangis kalau liat hujan."
Acha menghentikan aktivitasnya. Jadi kakaknya sering melihatnya menangis ??
Acha melirik Rio, sekilas. Pemuda itu tengah asik memainkan genangan air dengan ujung-ujung kaki yang dibiarkan tak beralas.
"Setiap hujan turun, Acha gak sedih kok, Aku cuma kangen sama Ayah dan Bunda. Kak Rio kangen gak sama mereka ?"
Rio hanya menggangguk, pelan.
"Itu gambar apa ?" tanya Rio setelah menilik buku gambar yang sedari tadi menyita adik semata wayangnya itu.
"Istana diatas awan." jawab Acha, singkat.
"Bagus." puji Rio, "Kasih Tuhan aja. Minta buatin yang seperti itu untuk tempat tinggal Ayah dan Bunda diatas awan." saran Rio.
Setelah kalimat tidak masuk akal yang Rio ucapkan, keduanya tidak bicara apa-apa lagi untuk beberapa saat. Keduanya terdiam.
"Kalau itu apa ?" Rio menunjuk kearahku yang bertengger di salah satu batang pohon Kiara.
"Itu Merpati kak."
"Merprati ?"
"Mer-pa-ti."
"meraptri ??"
Acha menggeleng, "Bukan kak Rio. Itu mer-pa-ti."
"Mer-pa-ti. Merpati ?"
"Yapp. Merpati." Acha mengacungkan kedua jempolnya.
"Hehehe, namanya susah ya." Rio terkekeh lucu.
Kalian tau ? Aku selalu kagum pada kakak beradik ini. Si adik yang begitu menyayangi kakaknya, bagaimanapun kondisi kakaknya. Dan si kakak, yang dengan segala keterbatasannya, masih tetap berusaha menjaga adik kecilnya. Berbeda sekali dengan kebanyakan orang diluar sana, yang bahkan tega menciderai saudaranya hanya karena hal-hal sepele.
Banyak orang yang mengecilkan, memandang sebelah mata sosok-sosok tak sempurna seperti Rio. Padahal belum tentu, dimata Tuhan derajatnya lebih tinggi daripada orang yang dihinakannya. Menurutku, justru orang-orang seperti Rio jauh lebih tulus, ia hidup bukan untuk pujian, bukan untuk segala hal yang berbau duniawi. Baginya selama masih ada orang yang disayangi dan menyayanginya itu sudah cukup. Dan pada hakekatnya, bukankah itu makna sejati dari kehidupan. Saling mengasihi dan menyayangi. Bagi Rio cukuplah Acha sebagai dunianya. Saat Acha tersenyum, itu berarti dunia juga tersenyum untuknya. Sesederhana itu.
"Nah, selessaaiii..." seru Acha bangga, "Ini buat kak Rio." Acha menyodorkan gambar yang baru saja diselesaikannya. Sebuah gambar dengan dominasi warna hitam dan putih, melukiskan sebuah istana megah yang mencuat dari balik gumulan-gumulan awan. Indah, sangat terkesan nyata.
"Buat aku lagi ? Kenapa bukan kamu yang simpen. Ini kan gambar kamu."
"gak pa-pa, ini buat kak Rio. Kalau gak mau dibuang aja."
"Setelah aku bosen nungguin kamu ngegambar, udah jadi trus dibuang gambarnya ? Apa ada hal lain yang lebih bodoh yang bisa kamu sarankan ?"
"Hehehe. Makanya kakak simpen ya."
Rio akhirnya mengangguk, ditelusuri gambar itu dengan kelima jarinya, "Aku mau belikin kamu pensil warna. Punya kamu udah kecil terus cuma tinggal warna hitam sama putih aja. Tapi aku gak ada uangnya." celetuk Rio, tampak sangat menyesal.
Acha pasti menjerit pilu dalam hati, mendengar kata-kata Rio. Di pandangi lekuk-lekuk sempurna wajah kakak tersayangnya itu. Betapa gurat-gurat tegas dan bijaksana itu masih ada, sorot cerdas dan tenang itu masih tersisa, garis-garis ketampanan pun masih terpancar jelas. Rio...
kenapa takdir begitu seenaknya saja memutar balikkan nasib seseorang??
Rio, pemuda ini adalah satu-satunya anggota keluarga inti yang Acha punya, setelah kepergian kedua orang tuanya. Rio dan Acha sebenarnya bukan lahir dari kalangan keluarga tidak mampu. Orang tua mereka meninggalkan warisan yang lebih dari cukup untuk biaya hidup mereka hingga dewasa. Tapi sayangnya paman mereka, adik dari sang Ayah yang dipercaya menjadi wali mereka sekaligus mengelola seluruh aset kekayaan keluarga Rio dan Acha, tidak bertanggung jawab. Perusahan Ayah mereka belakangan mengalami kemunduran drastis, hutang bertumpuk, klien banyak yang pergi, bahkan rumah mewah yang Rio dan Acha tempati sekarang akan disita oleh bank kalau paman mereka tidak segera melunasi hutang-hutangnya.
Keadaan Rio saat ini, juga dikarenakan perlakuan paman mereka yang kerap memukuli Rio dengan kalap. Tidak manusiawi. Dari sapu, sabuk, bahkan Rio pernah dilempar sebuah vas cantik dari keramik tepat mengenai kepalanya. Tidak akan ada yang menyangka kalau Rio ini adalah ketua OSIS dan termasuk the most wanted boy di SMAnya, dulu ketika masih bersekolah. Benturan dikepalanya yang menciderai organ krusial tubuh rio, yaitu otaknya, hampir setahun yang lalu, membuat Rio jadi seperti ini sekarang. Kini untuk mengucapkan beberapa kata saja Rio terdengar kaku. Perbendaharaan katanya bahkan tidak lebih banyak dari anak kelas 5 SD.
"Kenapa aku gak kayak yang lain ? Aku udah besar tapi cuma bisa ngerepotin kamu." tutur Rio, masih dengan kosakata tak beraturan khasnya.
"Kakak, sama sekali gak ngerepotin Acha. Kakak gak perlu kayak orang lain, karena Acha sayangnya sama Kak Rio yang ini, yang ada didepan Acha, sekarang." balas Acha lembut, bukan hanya bibirnya, sorot matanya juga ikut berbicara tentang ketulusan hatinya.
"Acha..."
"Ya ?"
"aku mau digambarin bunga krisan sama kamu."
"Bunga Krisan ? Emang kayak apa bentuknya, kak Rio udah pernah liat bunga Krisan ?"
Rio mengangguk.
"Oya ? Dimana ? Acha belum pernah liat."
Rio menggeleng, "Gak inget, dimana." jawabnya singkat.
Acha hanya tersenyum, faham betul bagaimana ingatan kakaknya itu, "Ya udah nanti kalau Acha udah liat kayak apa bunga Krisan itu, Acha bakal gambarin buat kakak." janji Acha.
Rio mengangguk antusias, matanya yang polos kini berbinar senang.
Krisan. Queen of the east. Lambang ketulusan.
Tulus... Sama seperti Rio. Dia tulus.
***
Minggu, 24 Oktober 2010
Eerrr, hujan lagi-hujan lagi. Huh. Begini nih, kalau hidup didaerah tropis. Musim penghujannya berlangsung lebih lama, setengah tahun. Rasanya sayap-sayapku sudah mulai kelu dan beku. Lama sekali, aku tidak terbang jauh.
Beruntung, kali ini aku tidak perlu repot-repot mencari tempat berteduh dari bengisnya air langit. Rio membuka jendela kamarnya, dan karena dia terlihat sangat sibuk dengan lamunannya, aku rasa tidak perlu meminta izin dulu untuk sekedar berteduh sebentar dikusen-kusen dari kayu jati itu. Ku kepak-kepakkam kedua sayapku untuk merontokan titik-titik air yang bersembunyi dibalik bulu-buluku.
PRAANG
Dari luar terdengar bunyi suatu benda yang sepertinya telah pecah.
"Jangan. Jangan. Aku takut. Aku takut. Aku takut."
Aku menoleh saat mendengar jerit ketakutan itu.
Rio. Dia meringkuk disalah satu ujung ranjangnya, kedua tangannya menutup rapat telinganya, wajah Rio memucat. Jelas, ia sangat ketakutan.
Aku terbang ke meja disisi dekat tempat tidur Rio. Berharap saat melihatku Rio tidak akan merasa sendiri dan ketakutan seperti itu lagi. Dari tempatku, aku baru bisa melihat, ada beberapa kertas yang berserkan diatas ranjang berseprai coklat muda itu.
Gambar bernuansa hitam putih. Ya, pasti gambar-gambar buatan Acha, siapa lagi ??
Aku menjulurkan leherku, melongok salah satu gambar yang paling terjangkau penglihatanku. Gambar yang terlihat, adalah gambar seorang pemuda tampan dengan sepasang sayap menyembul dari balik punggungnya.
Oh, iya, iya. Aku ingat gambar itu. Kalau tidak salah gambar itu diberikan Acha pada Rio, seminggu setelah kedua orang tua mereka meninggal.
"kak Rio sekarang adalah malaikat penjaga buat Acha. Acha gak punya siapa-siapa lagi selain kakak. Janji ya, kakak jangan pernah tinggalin Acha."
Seingatku, itulah kalimat yang diucapkan Acha saat memberikan gambar itu. Pada waktu itu, dengan dewasa Rio masih bisa mengayomi adiknya dengan kata-kata bijak dan menenangkan.
Gambar selanjutnya yang bisa aku lihat adalah gambar sebuah padang bunga matahari lengkap dengan sang surya yang terkesan berpendar angkuh disisi kanannya. Meski bukan dipulas dengan warna kuning menyala, tapi gambar itu tetap terkesan hidup. Malah terkesan lebih dramatis dan sendu.
"Bunga matahari akan selalu tumbuh mengikuti arah datangnya cahaya matahari. Begitu pula Acha. Kakak mataharinya Acha, dan Acha akan selalu jadiin kakak panutan, gimanapun keadaan kakak. Kakak tetep kakak nomor satu sedunia."
makna itulah yang coba Acha siratkan dalam gambarnya, gambar sang surya dan padang bunga matahari.
Dan masih banyak lagi gambar-gambar yang lain. Tetap dengan nuansa hitam putih yang sepertinya menjadi ciri khas Acha. Menurutku gadis itu memiliki jemari ajaib yang bisa menyeret setiap orang dalam dimensi lain melalui gambar-
gambarnya. Gadis itu bisa bercerita tentang segala hal hanya dengan goresan pensil serta pulasan warna dalam selembar kertas.
"RIO...ACHA.." teriakan itu memekak telinga, terdengar lantang dan liar, disusul bunyi-bunyi rusuh yang sepertinya berasal dari barang-barang yang dilempar.
"Jangan bentak. Jangan bentak. Takut. Jangan bentak, aku takut." Rio kembali merancau. Kini seluruh tubuhnya terlihat dibanjiri keringat. Wajahnya pucat pasi.
BRAK
Pintu dibuka dengan kasar, seorang gadis segera menghambur kedalam, lantas memeluk Rio, setelah mengunci pintu kamar dari kayu Aras berplitur mengkilap disisi kanan ruangan ini.
"Kakak, Om datang kak. Acha mesti gimana, Acha takut, Kak." keluh gadis itu, rautnya tak kalah tegang dari Rio.
Rio mengelus rambut panjang Acha dengan penuh kasih sayang. Ia lalu berbisik, "Berjanjilah !!"
Acha melepas pelukannya, keningnya berkerut.
"Untuk ?"
"Aku akan keluar. Kamu pergi, lari yang jauh. Jangan pernah kembali, jangan pernah tengok kebelakang."
"terus kak Rio gimana ? Aku mau sama kakak."
"Aku menyusul."
"Nggak." Acha menggeleng mantap, "Acha mau sama kak Rio. Ayo kak kita lari sama-sama. Aku gak mungkin ninggalin kakak."
"RIO...ACHA.." suara keras sang paman kembali menggelegar, sekarang malah bertambah suara ribut-ribut dari beberapa orang. Sepertinya sang paman tidak sendiri.
"Ayo cepet lari"
"Nggak kak. Jangan paksa Acha, Acha gak mau."
"Aku gak mau kamu dijual. Aku gak mau. Ayo lari. Aku mohon."
"kak Rio, Acha gak mauu. Acha gak mau kak."
Acha menangis tersedu. Air matanya terurai kesana-kemari, rata terpeta di seluruh wajahnya. Rambut ikalnya sebagian menempel pada pipi gembilnya dan sebagian lagi berayun luwes seirama gelengan kepalanya.
"Jangan nangis. Aku mohon pergilah. Aku akan menyusul, aku janji." pinta Rio, sungguh-sungguh.
"tapi Kak..."
"Kalau kamu tertangkap, kamu gak akan bisa buatin aku gambar bunga Krisan, kamu udah janji mau buatin."
"Kak.."
Rio segera mengacungkan jari kelingkingnya, menuntut Acha untuk berjanji.
"nana..nana..nanananana..nanananana..nanana..nanaaa" Rio melagukan sebuah nada tanpa syair sambil tersenyum tulus. Menurut Rio nada itu bisa mengusir rasa sedih dan takut.
Acha tidak langsung menautkan kelingkingnya, ia mengikatkan slayer putih yang biasa di gunakannya. Membentuk sebuah simpul pada pergelangan tangan kanan Rio yang masih tergantung diudara.
Acha menghapus air matanya, "tapi kakak juga harus janji ya, kakak bakal nyusul Acha." tuntut Acha.
"Janji." balas Rio mantap.
Keduanya menautkan jari mereka yang sama-sama terlihat putih memucat.
Perlahan keduanya keluar, lalu berpisah di pintu dapur. Rio menuju ruang tamu, sedangkan Acha mengendap-ngendap kearah pintu belakang.
Aku terus mengikuti pergerakan mereka, dari atas pohon jambu tempatku bertengger sekarang.
Aku bisa menangkap sosok Rio seorang diri, berdiri tegap didepan pamannya yang terlihat jelas sangat marah dan murka.
"DIMANA ADIKMU ?" tanyanya dengan nada tinggi.
Rio diam. Manik matanya, menatap tajam pada coklat gelap milik adik sang Ayah.
"TULI YA KAMU ? DIMANA ACHA ?" bentaknya lagi.
Rio mempertahankan diamnya. Tak kuasa menahan amarah, sang paman melayangkan tinjunya ke perut Rio.
"JAWAB IDIOT. DIMANA ADIKMU, SURUH DIA KEMARI." makinya, sambil melayangkan tinjunya yang kedua. Tubuh kurus Rio terhempas jatuh, membentur sofa di sisinya.
Sang paman, hari ini berniat menjual Acha pada seorang germo sekaligus bandar narkoba kelas kakap, buronan nomer wahid kepolisian Indonesia. Acha yang berparas cantik dengan lekuk tubuh sempurna sepertinya akan dijadikan 'perempuan tidak baik'. Tapi sebelum rencana penjualan Acha untuk melunasi hutang terlaksana, Rio dan Acha sudah lebih dulu mengetahuinya. Mereka tidak sengaja menguping pembicaraan pamannya dengan seseorang di telepon, tempo hari.
"JAWAB BODOH. DIMANA ACHA. JANGAN MEMBUATKU MARAH."
BUGG
kaki kanan sang paman ikut beraksi, kaki besar itu menendang Rio yang meringkuk lemas dilantai.
Aku bisa melihat sekilas pemuda menganggumkan itu tersenyum tulus pada seorang gadis yang tengah menangis dibalik pintu dapur tak jauh dari situ.
"nana..nana..nanananana..nanananana..nanananana.." Rio kembali bersenandung lirih. Senandung tanpa syair yang sering ia lantunkan untuk Acha, "Lari adik manis.." ucapnya, pelan.
Acha mengangguk meski ragu. Ia segera mengambil ancang-ancang untuk lari, tapi sialnya salah satu dari tiga orang berpakaian serba hitam, yang entah siapa itu, memergokinya.
Orang itu dengan cepat menarik kerah baju Rio, memaksanya berdiri.
"HEH KAMU !! Jangan lari kamu. Kalau kamu lari, orang ini akan saya tembak." ancam orang itu.
Acha tersentak, ia menghentikan langkahnya.
"Ayo lari. Kamu udah janji." seru Rio dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.
"DIAM KAMU." sentak orang yang sama, seraya memukulkan pistolnya ke pelipis Rio.
"Aaargh." Rio mengerang, darah segar menetes dari dahinya.
"Kak.."
"Lari ayo, lari."
"Diam disitu atau dia akan mati. Kamu seret dia kemari." perintah orang tadi pada rekannya.
"Aku sayang Acha. Ayo Acha pergi. Jangan kecewakan aku." lirih Rio setengah putus asa mendapati Acha yang masih bertahan ditempatnya.
"kak Rio akan menyusulmu Cha. Dia sudah janji. Ayo lari, Cha." bisik hatinya.
Acha pun mengangguk mantap, ditariknya nafas dalam-dalam. Mengumpulkan tenaga untuk lari secepat mungkin, nantinya. Pada saat otak serta hatinya mengkomandoi agar kedua kakinya segera lari, tanpa ragu Achapun langsung berlari.
Ia terus berlari, sambil menghalau segala fikiran buruk dan rasa takut dalam benaknya.
"Ayo lari, Raissa. Lari." tekadnya dalam hati.
"AKU SAYANG KAMU, CHA.." hanya teriakan itulah yang Acha dengar, saat ia telah melewati gerbang menjulang didepan rumahnya.
DOORR
CETTARR..
Petir, kilat dan suara asing itu melumpahkan seluruh daya yang Acha punya. Mencekat nafasnya, membekukan aliran darahnya. Hingga gadis ini sempat berfikir, bahwa kematian akan terasa lebih menggembirakan untuknya.
Suara asing itu..
Apa ? Tembakankah ? Lalu, lalu, siapa yang ditembak ? Riokah ?
Aku yang sedari tadi mengikuti Acha berlari, tentu juga bertanya-tanya. Apa yang terjadi didalam rumah mewah itu ? Bagaimana nasib Rio ?
Aku yakin, saat ini Acha pasti sangat ingin kembali.
Tapi ribuan jempol untuk gadis cantik ini, saat ku lihat kaki-kaki jenjangnya terus berlari. Air matanya membaur dengan air hujan, seakan ingin menunjukan, mana yang lebih deras. Tanpa alas kaki, diselusuri jalanan beraspal didepannya. Acha pasti merasakan dingin yang luar biasa, dan parahnya sekarang ia sendiri. Seorang diri.
"Kak Rio bilang jangan berbalik. Jangan kembali. Kak Rio akan menyusul. Terus lari Cha." aku bisa mendengar Acha mengeja kalimat-kalimat itu secara terus-menerus. Kasihan Acha.
Siapapun bisa berkorban untuk orang yang dicintainya. Berkorban tidak membutuhkan keahlian khusus. Hanya butuh sedikit ketulusan.
***
Satu hari sebelum dirimu pergi
kau berikan segela yang kau punyai
jika saja ku tau engkau kan pergi...
Indah kau jalani hidup
tapi ku mengerti, sampai disini
engkau kan menjadi bintang
dipelukan malam yang memelukku dan menjagaku
Satu hari sebelum dirimu pergi
kau padamkan letihku dengan pelukan
jika saja ku tau engkau akan pergi
sisa waktu, ku habiskan merawatmu.
***
Minggu, 27 Februari 2011
Gadis bergaun hitam dengan renda-renda senada vanila tadi masih terpekur dalam diamnya. Sedih pastinya. Tapi dia tidak menangis, barangkali air matanya sudah terkuras habis tak bersisa. Acha. Ia terus mengelus-elus marmer putih yang menjadi nisan untuk makam sang kakak. Seorang kakak yang rela telah mengorbankan nyawanya, demi supaya Acha bisa hidup dalam kehormatan.
Teriakan terakhir kakaknya masih terus bergaung dalam ruang dengarnya, "Aku sayang kamu, Cha."
Astaga, hanya orang tolol saja yang tidak tau betapa besar rasa sayang kakaknya terhadap Acha.
"Kenapa kakak tinggalin Acha. Acha sendirian kak, Acha takut."
Setelah empat bulan berselang, Acha baru berani kembali kerumahnya ditemani Ozy. Rumah itu ternyata sudah disegel oleh bank. Tapi Acha berhasil memperoleh informasi yang ia inginkan, nasib kakaknya ?
Dan inilah. Pemakaman inilah yang ditunjukkan penduduk setempat saat Acha menanyakan perilah Rio. Disinilah, kakak kebanggaannya tertidur tenang. Tanpa iringan doa ataupun taburan bunga dari Acha, selama 4 bulan. Ia berpulang, sebelum sempat berpamitan dengan Acha. Sebelum Acha sempat mengucapkan trimakasih atas pengorbanannya.
"Kakak udah janji mau nyusul Acha."
"Udah dong Cha, Rio bertaruh nyawa buat kamu supaya kamu bahagia. Dia pasti sedih kalau liat kamu gak bisa relain kepergiannya. Hujan-hujan Rio dateng kerumahku, dia minta supaya aku jemput kamu hari itu. Hari dimana, Rio nyuruh kamu lari. Dan liat Cha, sekarang kamu selamat dari rencana busuk Om mu, Rio pasti senang, dan dia akan jauh lebih senang kalau kamunya yang kuat, yang tegar, terus semangat jalanin hidup kamu. Jangan buat pengorbanan Rio sia-sia." pemuda yang sedari tadi berjongkok disisi Acha, mulai angkat bicara.
Namanya Ozy, dia adalah satu-satunya sahabat Rio yang masih mau peduli pada Rio dan Acha setelah keadaan Rio berubah.
"Rio kakak yang hebat, semua tau itu. Sampai kapanpun gak akan ada yang bisa gantiin dia, termasuk aku. Tapi Cha, aku harap seenggaknya aku bisa gantiin tugas Rio buat jagain kamu. Aku bakal selalu ada dan akan selalu jagain Acha." tutur Ozy, sungguh-sungguh.
Acha melirik sekilas pemuda manis yang dengan murah hati, telah mau menolongnya dihari pelariannya. Dan telah bersedia menampung Acha di panti asuhan milik bundanya selama 4 bulan terakhir ini. Pemuda itu memang benar-benar perhatian dan sangat baik pada Acha. Menurut penglihatanku, sepertinya Ozy menyimpan perasaan yang lebih pada Acha.
"makasih ya kak Ozy. Maafin Acha, Acha selalu ngerepotin kakak." Acha melempar senyum manisnya kearah Ozy.
Pemuda itu terlihat lega, mendapati senyum Acha kembali tersungging di wajah ayunya.
Ozy mengangguk pelan. Dengan lembut disekanya buliran-buliran air mata dipipi Acha.
Acha kembali mengalihkan pandangannya ke makam Rio, "Kak Rio, Acha kangen." lirihnya.
"Mmh, ini buat kakak. Gambar bunga krisan yang dulu Acha janjiin. Maaf ya, Acha baru bisa kasih ini sekarang. Tapi Acha harap, malaikat-malaikat Tuhan mau turun sebentar ke bumi dan ngambil gambar ini buat kakak. Supaya kakak bisa liat gambar Acha. Acha bakal berusaha ikhlasin kakak, Acha gak mau kecewain kakak. Acha sayang banget sama kak Rio. Salam buat ayah sama bunda ya." Acha mengecup nisan dengan ukiran nama 'Mario Haling' berikut hari jadi dan tanggal wafatnya, yang ada didepan Acha.
"nana..nana..nanananana..nanananana..nananananaa.." Acha melantunkan senandung itu lagi. Senandung kecil favorit Rio, yang sebetulnya, syairnya sudah berulang kali Acha ajarkan pada Rio. Tapi Rio tetap kesulitan untuk mengingatnya, "Cangkul..cangkul..cangkul yang dalam. Menanam jagung..dikebun kita. Semoga sekarang kakak bisa inget ya syair lagu itu." tambah Acha.
Perlahan ia bangkit, lantas membenahi roknya yang sedikit kusut.
"Mau pulang sekarang ?" tanya Ozy yang turut bangkit.
Acha mengangguk, yakin, "aku harus secepatnya menata hidupku kan kak? Disini lama-lama, cuma bakal buang-buang waktu. Yang penting aku akan selalu doain kak Rio." jawab Acha, lebih bijak.
"Bagus, kalau gitu." timpal Ozy.
Keduanya lalu berjalan menyusuri barisan-barisan nisan di komplek pemakaman umum ini. Aku masih memandangi mereka dengan rasa haru bercampur bangga.
Inilah potret asli kehidupan. Tidak ada pangeran tampan kaya raya yang kemudian menikah dengan putri cantik dari negara tetangga, lantas hidup bahagia selamanya. Sekali lagi ini bukan negeri dongeng. Ada kalanya kita dipaksa menangis, lalu disuruh bangkit kemudian dititah untuk terus berjalan.
***
Kasih dan sayang...
Adalah dua nada yang saat ia mulai bernyanyi, seharusnya semua akan terasa lebih mudah dan indah.
Cinta...
Adalah milik mereka, orang-orang yang mau menerima kekurangan dan dengan tulus bersedia untuk menyempurnakannya.
Ya, jika ada yang mau belajar tentang kasih sayang dan cinta yang sempurna..
Maka terlebih dulu, belajarlah tentang ketulusan dengan sebenar-benarnya.
***
Senin, 28 Februari 2011
'akhir...'
Rio.
Manusia...
kalian tau dia terbatas.
Lantas tak malukah kalian kepadanya ? Dia yang dengan jahat sering kalian anggap idiot, mampu menyibak tabir seluas langit yang sering menyarukan cara pandang manusia tentang cinta dan kasih sayang. Hawa, yang bernama cinta bukan berarti menyerahkan harga diri dan kehormatan kalian.
Adam, yang namanya sayang tidak bisa diuji lewat ciuman. Itu dangkal.
Lihat pengorbanan Rio. Itulah sejatinya cinta dan sayang.
Rio bisa membuktikan bahwa hidup
sesederhana pergantian siang dan malam. Mengalir begitu saja. Tanpa harus diskenario dulu. Tanpa harus diatur dulu. Tidak rumit, karena sebetulnya manusia sendirilah yang membuatnya rumit.
Rio.
Manusia..
Kalian tau dia terbatas.
Lantas tak malukah kalian kepadanya ??
Mencibirnya, mengabaikan kehadirannya. Padahal dari orang-orang sepertinyalah, Tuhan mengajarkan kita tentang ketulusan hakiki. Ia menangis saat ia sedih, ia tertawa saat bahagia, ia menjerit saat tersakiti, tidak perlu topeng, tidak perlu kepura-puraan, tidak perlu sekat dengan tirai-tirai kemunafikan. Hidup Rio lurus, jauh dari kebohongan.
Manusia..
Aku catat jalan hidup dua anak manusia ini untuk kalian jadikan pelajaran. Untuk bahan renungan.
Kadang Tuhan menyimpan mutiara dibalik pekatnya lumpur. Tuhan kadang menyertakan aroma melati dibalik busuk barak sampah.
Jangan belajar meremehkan, jangan terbiasa menghina dan mencela.
Jangan menyarukan kejahatan dengan mengatasnamakan cinta.
Jangan melancarkan kemungkaran dengan kasih sayang kau jadikan tamengnya.
Itu pesanku...
Akhirnya, ku sudahi catatan ini dengan bait dan lantunan doa untuk Rio.
Semoga dunia ini masih cukup layak untuk disinggahi orang-orang berhati malaikat sepertinya.
Salam sayang,
Putih.
The End
***
Dia terbatas.
Dia hanya tau tentang saling menyayangi, tanpa pernah mengerti selubung misteri yang menutup rupa asli bumi.
Dia hanya butuh sebentuk hati untuk menjalani hidup, lantas akan selalu tersenyum tulus.
Tak peduli busur-busur jahanam telah mengintai tepat kearahnya.
Dia sederhana. Sesederhana kasih sayang seorang kakak pada adiknya.
***
Minggu, 27 Februari 2011
Seorang gadis menunduk dalam-dalam. Rambutnya yang panjang bergelombang terjuntai menutupi wajahnya yang kian tirus. Tak jelas apa yang menarik dibawah sana, tapi sepertinya gadis ini sangat betah memaku pandangannya pada tanah kemerahan yang becek setelah berbaur dengan air hujan. Renda-renda berwarna senada vanilla yang menghiasa ujung-ujung gaun hitamnya sudah dipenuhi bercak-bercak kecoklatan dari lumpur yang bercipratan saat kaki kecilnya melangkah kemari tadi. Ia memang tidak sendiri di tempat menyedihkan ini, tapi ketahuilah, saat ini apapun dan siapapun akan jadi tak kasat mata untuk gadis dengan bola mata indah ini. Gadis tadi tersenyum samar, berusaha menyarukan sedih yang merangkulnya sejak lama. Ini akhirnya. Ini doanya, untuk segera tau nasib orang yang disayanginya. Lantas, kenapa ia harus menangis ?
Seorang pemuda disisinya hanya bisa berdoa dalam hati, "Kuatkan dia, Tuhan..."
***
Kamis, 21 Oktober 2010
Ini catatanku. Catatan Si Putih. Catatan kecil tentang sebuah kekuatan. Kekuatan besar yang berawal dari sepercik rasa sederhana yang telah jadi hal langka dalam opera panjang bernama kehidupan ini.
Tidak, ini tidak serumit kisah-kisah cinta klasik atau sesukar kata-kata sayang yang kadang tersimpul membentuk jerat yang mencekik tanpa ampun. Kisah dalam catatan ini tidak berinti seberat itu. Hanya bercerita tentang sesuatu yang simpel tapi bermakna, sesuatu yang akan mempertegas segala rupa yang samar, yang akan melapangkan setiap sisi yang sempit, yang akan menguatkan setiap insan yang rapuh, serta yang akan memudahkan setiap jalan yang kadang terasa sulit.
Sesuatu yang sederhana itu, adalah...
panji-panji ketulusan.
Aku ingin membagi catatanku, sebuah cerita tentang dua anak manusia yang menyelami arti dan makna ketulusan dengan sangat benar dan sempurna...
***
Jum'at, 22 Oktober 2010
Aku tengah mengepakkan kedua sayapku yang lembab disentuh rintik hujan. Seperti biasa, bulan Oktober. Hujan sudah mulai berkeracak tiada henti. Tuhan memang sangat menganak-emaskan sang air, setiap kali musim penghujan tiba. Sehingga tidak aneh, kalau disetiap titik yang ku dapati hanya air, air dan air. Ah, kemana sih Si Matahari ? Kenapa ia lebih memilih bersembunyi dibalik dekapan awan, sementara penduduk bumi merindukan kehadirannya.
Pagi ini kupaksakan untuk terbang. Sayap-sayapku bisa lumpuh kalau selama beberapa bulan harus berdiam, tanpa ku kepakan. Gerimis masih terus bersenandung, membuat sang kodok penghuni danau kecil ditaman ini bersorak riang. Ya, aku memilih taman kecil ini sebagai tempat menghabiskan pagi yang sangat dingin ini. Biasanya, setiap aku mengunjungi tempat ini barisan bunga tapak dara dan asoka akan berayun kompak seperti memberi ucapan selamat datang. Menurutku, taman ini juga memiliki rumput paling sempurna, hijau cerah dan segar. Tapi nampaknya hujan telah banyak merubah tempat ini, sekarang yang ada hanya genangan-genangan air dan guguran dedaunan.
Tapi ada satu yang tidak berubah. Gadis itu. Gadis manis dengan slayer putih yang membelit tangan kirinya. Gadis itu tetap pada kebiasaannya, menggambar ditaman ini. Tak peduli pada rinai air yang kian gencar mendera tubuhnya, tangan gadis berambut panjang itu tetap luwes menari diatas buku gambar ukuran A4nya. Disisi kanannya, seorang pemuda berusia sekitar 16 tahun dengan kaos hijau lumut, tengah menggerutu kesal, entah karena apa.
Oya, karena ada pepatah tak kenal maka tak sayang, maka kenalkan aku Putih, Si Putih. Aku seekor merpati. Karena buluku putih senada salju, jadilah kunamai diriku sendiri dengan julukan Si Putih. Hehe..
"Bosan.. Bosan.. Bosaaaan." teriak pemuda tadi, seraya menghentak-hentakkan kakinya.
Merasa belum cukup, pemuda tadi melempar tempat pensil Si Gadis. Tindakan semacam itu benar-benar tidak layak dilakukan pemuda seusianya.
Gadis tadi hanya tersenyum sabar, lalu memunguti isi tempat pensilnya yang berserakan.
Mmh, pemuda itu memang sedikit berbeda dengan yang lain. Dia idiot. Ah, bukan-bukan, rasanya itu terlalu kasar. Terbelakang. Ya pemuda dengan kulit sawo matang itu terbelakang.
Duh, kok rasanya, kata terbelakang tidak jauh lebih baiknya dari idiot.
Ya, intinya dia berbeda. Dia terbatas.
"Kak Rio sabar dong, Acha sebentar lagi selesai kok." hibur gadis yang akrab disapa Acha tadi, sebelum ia kembali menekuni gambarnya.
Seperti mengabaikan kata-kata Acha, pemuda berambut acak dengan poni sedikit melewati alis, yang dipanggil Rio tadi, malah berdiri.
"Ehh." Acha mendongak saat merasakan bayangan jangkung tubuh Rio, menghalau cahaya yang jatuh diatas buku gambarnya, membuat permukaan putih itu, menggelap. Di dapati kakak tercintanya, tengah berdiri dengan kedua tangan bertaut diatas kepala Acha.
"Kakak ngapain ?" tanya Acha heran.
"Jagain kamu, dari hujan. Biar gak sakit." jawab Rio, polos.
"Acha gak akan sakit, air hujan doang sih, kecil." Acha menjentikka ibu jari dan kelingkingnya.
Diraihnya lengan-lengan kokoh Rio, dibimbing agar turun, lalu Acha mengedipkan sebelah matanya, "Achanya Kak Rio kan kuat." lanjutnya, yakin.
"Aku benci hujan." kata Rio setelah kembali duduk manis disamping Acha. Dua buah kursi dan satu meja bundar yang ada ditaman ini, sepertinya sudah mereka kontrak dan akan selalu jadi tempat favorit keduanya setiap kali mengunjungi taman komplek ini.
"Kenapa emangnya ?" tanya Acha, lembut, tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku gambar.
"karena menurutku setiap kali hujan turun, pasti ada seseorang yang sedang sedih dan menangis."
Acha tertawa kecil, "Masa sih kak ?"
"Iya, buktinya aku sering liat kamu nangis kalau liat hujan."
Acha menghentikan aktivitasnya. Jadi kakaknya sering melihatnya menangis ??
Acha melirik Rio, sekilas. Pemuda itu tengah asik memainkan genangan air dengan ujung-ujung kaki yang dibiarkan tak beralas.
"Setiap hujan turun, Acha gak sedih kok, Aku cuma kangen sama Ayah dan Bunda. Kak Rio kangen gak sama mereka ?"
Rio hanya menggangguk, pelan.
"Itu gambar apa ?" tanya Rio setelah menilik buku gambar yang sedari tadi menyita adik semata wayangnya itu.
"Istana diatas awan." jawab Acha, singkat.
"Bagus." puji Rio, "Kasih Tuhan aja. Minta buatin yang seperti itu untuk tempat tinggal Ayah dan Bunda diatas awan." saran Rio.
Setelah kalimat tidak masuk akal yang Rio ucapkan, keduanya tidak bicara apa-apa lagi untuk beberapa saat. Keduanya terdiam.
"Kalau itu apa ?" Rio menunjuk kearahku yang bertengger di salah satu batang pohon Kiara.
"Itu Merpati kak."
"Merprati ?"
"Mer-pa-ti."
"meraptri ??"
Acha menggeleng, "Bukan kak Rio. Itu mer-pa-ti."
"Mer-pa-ti. Merpati ?"
"Yapp. Merpati." Acha mengacungkan kedua jempolnya.
"Hehehe, namanya susah ya." Rio terkekeh lucu.
Kalian tau ? Aku selalu kagum pada kakak beradik ini. Si adik yang begitu menyayangi kakaknya, bagaimanapun kondisi kakaknya. Dan si kakak, yang dengan segala keterbatasannya, masih tetap berusaha menjaga adik kecilnya. Berbeda sekali dengan kebanyakan orang diluar sana, yang bahkan tega menciderai saudaranya hanya karena hal-hal sepele.
Banyak orang yang mengecilkan, memandang sebelah mata sosok-sosok tak sempurna seperti Rio. Padahal belum tentu, dimata Tuhan derajatnya lebih tinggi daripada orang yang dihinakannya. Menurutku, justru orang-orang seperti Rio jauh lebih tulus, ia hidup bukan untuk pujian, bukan untuk segala hal yang berbau duniawi. Baginya selama masih ada orang yang disayangi dan menyayanginya itu sudah cukup. Dan pada hakekatnya, bukankah itu makna sejati dari kehidupan. Saling mengasihi dan menyayangi. Bagi Rio cukuplah Acha sebagai dunianya. Saat Acha tersenyum, itu berarti dunia juga tersenyum untuknya. Sesederhana itu.
"Nah, selessaaiii..." seru Acha bangga, "Ini buat kak Rio." Acha menyodorkan gambar yang baru saja diselesaikannya. Sebuah gambar dengan dominasi warna hitam dan putih, melukiskan sebuah istana megah yang mencuat dari balik gumulan-gumulan awan. Indah, sangat terkesan nyata.
"Buat aku lagi ? Kenapa bukan kamu yang simpen. Ini kan gambar kamu."
"gak pa-pa, ini buat kak Rio. Kalau gak mau dibuang aja."
"Setelah aku bosen nungguin kamu ngegambar, udah jadi trus dibuang gambarnya ? Apa ada hal lain yang lebih bodoh yang bisa kamu sarankan ?"
"Hehehe. Makanya kakak simpen ya."
Rio akhirnya mengangguk, ditelusuri gambar itu dengan kelima jarinya, "Aku mau belikin kamu pensil warna. Punya kamu udah kecil terus cuma tinggal warna hitam sama putih aja. Tapi aku gak ada uangnya." celetuk Rio, tampak sangat menyesal.
Acha pasti menjerit pilu dalam hati, mendengar kata-kata Rio. Di pandangi lekuk-lekuk sempurna wajah kakak tersayangnya itu. Betapa gurat-gurat tegas dan bijaksana itu masih ada, sorot cerdas dan tenang itu masih tersisa, garis-garis ketampanan pun masih terpancar jelas. Rio...
kenapa takdir begitu seenaknya saja memutar balikkan nasib seseorang??
Rio, pemuda ini adalah satu-satunya anggota keluarga inti yang Acha punya, setelah kepergian kedua orang tuanya. Rio dan Acha sebenarnya bukan lahir dari kalangan keluarga tidak mampu. Orang tua mereka meninggalkan warisan yang lebih dari cukup untuk biaya hidup mereka hingga dewasa. Tapi sayangnya paman mereka, adik dari sang Ayah yang dipercaya menjadi wali mereka sekaligus mengelola seluruh aset kekayaan keluarga Rio dan Acha, tidak bertanggung jawab. Perusahan Ayah mereka belakangan mengalami kemunduran drastis, hutang bertumpuk, klien banyak yang pergi, bahkan rumah mewah yang Rio dan Acha tempati sekarang akan disita oleh bank kalau paman mereka tidak segera melunasi hutang-hutangnya.
Keadaan Rio saat ini, juga dikarenakan perlakuan paman mereka yang kerap memukuli Rio dengan kalap. Tidak manusiawi. Dari sapu, sabuk, bahkan Rio pernah dilempar sebuah vas cantik dari keramik tepat mengenai kepalanya. Tidak akan ada yang menyangka kalau Rio ini adalah ketua OSIS dan termasuk the most wanted boy di SMAnya, dulu ketika masih bersekolah. Benturan dikepalanya yang menciderai organ krusial tubuh rio, yaitu otaknya, hampir setahun yang lalu, membuat Rio jadi seperti ini sekarang. Kini untuk mengucapkan beberapa kata saja Rio terdengar kaku. Perbendaharaan katanya bahkan tidak lebih banyak dari anak kelas 5 SD.
"Kenapa aku gak kayak yang lain ? Aku udah besar tapi cuma bisa ngerepotin kamu." tutur Rio, masih dengan kosakata tak beraturan khasnya.
"Kakak, sama sekali gak ngerepotin Acha. Kakak gak perlu kayak orang lain, karena Acha sayangnya sama Kak Rio yang ini, yang ada didepan Acha, sekarang." balas Acha lembut, bukan hanya bibirnya, sorot matanya juga ikut berbicara tentang ketulusan hatinya.
"Acha..."
"Ya ?"
"aku mau digambarin bunga krisan sama kamu."
"Bunga Krisan ? Emang kayak apa bentuknya, kak Rio udah pernah liat bunga Krisan ?"
Rio mengangguk.
"Oya ? Dimana ? Acha belum pernah liat."
Rio menggeleng, "Gak inget, dimana." jawabnya singkat.
Acha hanya tersenyum, faham betul bagaimana ingatan kakaknya itu, "Ya udah nanti kalau Acha udah liat kayak apa bunga Krisan itu, Acha bakal gambarin buat kakak." janji Acha.
Rio mengangguk antusias, matanya yang polos kini berbinar senang.
Krisan. Queen of the east. Lambang ketulusan.
Tulus... Sama seperti Rio. Dia tulus.
***
Minggu, 24 Oktober 2010
Eerrr, hujan lagi-hujan lagi. Huh. Begini nih, kalau hidup didaerah tropis. Musim penghujannya berlangsung lebih lama, setengah tahun. Rasanya sayap-sayapku sudah mulai kelu dan beku. Lama sekali, aku tidak terbang jauh.
Beruntung, kali ini aku tidak perlu repot-repot mencari tempat berteduh dari bengisnya air langit. Rio membuka jendela kamarnya, dan karena dia terlihat sangat sibuk dengan lamunannya, aku rasa tidak perlu meminta izin dulu untuk sekedar berteduh sebentar dikusen-kusen dari kayu jati itu. Ku kepak-kepakkam kedua sayapku untuk merontokan titik-titik air yang bersembunyi dibalik bulu-buluku.
PRAANG
Dari luar terdengar bunyi suatu benda yang sepertinya telah pecah.
"Jangan. Jangan. Aku takut. Aku takut. Aku takut."
Aku menoleh saat mendengar jerit ketakutan itu.
Rio. Dia meringkuk disalah satu ujung ranjangnya, kedua tangannya menutup rapat telinganya, wajah Rio memucat. Jelas, ia sangat ketakutan.
Aku terbang ke meja disisi dekat tempat tidur Rio. Berharap saat melihatku Rio tidak akan merasa sendiri dan ketakutan seperti itu lagi. Dari tempatku, aku baru bisa melihat, ada beberapa kertas yang berserkan diatas ranjang berseprai coklat muda itu.
Gambar bernuansa hitam putih. Ya, pasti gambar-gambar buatan Acha, siapa lagi ??
Aku menjulurkan leherku, melongok salah satu gambar yang paling terjangkau penglihatanku. Gambar yang terlihat, adalah gambar seorang pemuda tampan dengan sepasang sayap menyembul dari balik punggungnya.
Oh, iya, iya. Aku ingat gambar itu. Kalau tidak salah gambar itu diberikan Acha pada Rio, seminggu setelah kedua orang tua mereka meninggal.
"kak Rio sekarang adalah malaikat penjaga buat Acha. Acha gak punya siapa-siapa lagi selain kakak. Janji ya, kakak jangan pernah tinggalin Acha."
Seingatku, itulah kalimat yang diucapkan Acha saat memberikan gambar itu. Pada waktu itu, dengan dewasa Rio masih bisa mengayomi adiknya dengan kata-kata bijak dan menenangkan.
Gambar selanjutnya yang bisa aku lihat adalah gambar sebuah padang bunga matahari lengkap dengan sang surya yang terkesan berpendar angkuh disisi kanannya. Meski bukan dipulas dengan warna kuning menyala, tapi gambar itu tetap terkesan hidup. Malah terkesan lebih dramatis dan sendu.
"Bunga matahari akan selalu tumbuh mengikuti arah datangnya cahaya matahari. Begitu pula Acha. Kakak mataharinya Acha, dan Acha akan selalu jadiin kakak panutan, gimanapun keadaan kakak. Kakak tetep kakak nomor satu sedunia."
makna itulah yang coba Acha siratkan dalam gambarnya, gambar sang surya dan padang bunga matahari.
Dan masih banyak lagi gambar-gambar yang lain. Tetap dengan nuansa hitam putih yang sepertinya menjadi ciri khas Acha. Menurutku gadis itu memiliki jemari ajaib yang bisa menyeret setiap orang dalam dimensi lain melalui gambar-
gambarnya. Gadis itu bisa bercerita tentang segala hal hanya dengan goresan pensil serta pulasan warna dalam selembar kertas.
"RIO...ACHA.." teriakan itu memekak telinga, terdengar lantang dan liar, disusul bunyi-bunyi rusuh yang sepertinya berasal dari barang-barang yang dilempar.
"Jangan bentak. Jangan bentak. Takut. Jangan bentak, aku takut." Rio kembali merancau. Kini seluruh tubuhnya terlihat dibanjiri keringat. Wajahnya pucat pasi.
BRAK
Pintu dibuka dengan kasar, seorang gadis segera menghambur kedalam, lantas memeluk Rio, setelah mengunci pintu kamar dari kayu Aras berplitur mengkilap disisi kanan ruangan ini.
"Kakak, Om datang kak. Acha mesti gimana, Acha takut, Kak." keluh gadis itu, rautnya tak kalah tegang dari Rio.
Rio mengelus rambut panjang Acha dengan penuh kasih sayang. Ia lalu berbisik, "Berjanjilah !!"
Acha melepas pelukannya, keningnya berkerut.
"Untuk ?"
"Aku akan keluar. Kamu pergi, lari yang jauh. Jangan pernah kembali, jangan pernah tengok kebelakang."
"terus kak Rio gimana ? Aku mau sama kakak."
"Aku menyusul."
"Nggak." Acha menggeleng mantap, "Acha mau sama kak Rio. Ayo kak kita lari sama-sama. Aku gak mungkin ninggalin kakak."
"RIO...ACHA.." suara keras sang paman kembali menggelegar, sekarang malah bertambah suara ribut-ribut dari beberapa orang. Sepertinya sang paman tidak sendiri.
"Ayo cepet lari"
"Nggak kak. Jangan paksa Acha, Acha gak mau."
"Aku gak mau kamu dijual. Aku gak mau. Ayo lari. Aku mohon."
"kak Rio, Acha gak mauu. Acha gak mau kak."
Acha menangis tersedu. Air matanya terurai kesana-kemari, rata terpeta di seluruh wajahnya. Rambut ikalnya sebagian menempel pada pipi gembilnya dan sebagian lagi berayun luwes seirama gelengan kepalanya.
"Jangan nangis. Aku mohon pergilah. Aku akan menyusul, aku janji." pinta Rio, sungguh-sungguh.
"tapi Kak..."
"Kalau kamu tertangkap, kamu gak akan bisa buatin aku gambar bunga Krisan, kamu udah janji mau buatin."
"Kak.."
Rio segera mengacungkan jari kelingkingnya, menuntut Acha untuk berjanji.
"nana..nana..nanananana..nanananana..nanana..nanaaa" Rio melagukan sebuah nada tanpa syair sambil tersenyum tulus. Menurut Rio nada itu bisa mengusir rasa sedih dan takut.
Acha tidak langsung menautkan kelingkingnya, ia mengikatkan slayer putih yang biasa di gunakannya. Membentuk sebuah simpul pada pergelangan tangan kanan Rio yang masih tergantung diudara.
Acha menghapus air matanya, "tapi kakak juga harus janji ya, kakak bakal nyusul Acha." tuntut Acha.
"Janji." balas Rio mantap.
Keduanya menautkan jari mereka yang sama-sama terlihat putih memucat.
Perlahan keduanya keluar, lalu berpisah di pintu dapur. Rio menuju ruang tamu, sedangkan Acha mengendap-ngendap kearah pintu belakang.
Aku terus mengikuti pergerakan mereka, dari atas pohon jambu tempatku bertengger sekarang.
Aku bisa menangkap sosok Rio seorang diri, berdiri tegap didepan pamannya yang terlihat jelas sangat marah dan murka.
"DIMANA ADIKMU ?" tanyanya dengan nada tinggi.
Rio diam. Manik matanya, menatap tajam pada coklat gelap milik adik sang Ayah.
"TULI YA KAMU ? DIMANA ACHA ?" bentaknya lagi.
Rio mempertahankan diamnya. Tak kuasa menahan amarah, sang paman melayangkan tinjunya ke perut Rio.
"JAWAB IDIOT. DIMANA ADIKMU, SURUH DIA KEMARI." makinya, sambil melayangkan tinjunya yang kedua. Tubuh kurus Rio terhempas jatuh, membentur sofa di sisinya.
Sang paman, hari ini berniat menjual Acha pada seorang germo sekaligus bandar narkoba kelas kakap, buronan nomer wahid kepolisian Indonesia. Acha yang berparas cantik dengan lekuk tubuh sempurna sepertinya akan dijadikan 'perempuan tidak baik'. Tapi sebelum rencana penjualan Acha untuk melunasi hutang terlaksana, Rio dan Acha sudah lebih dulu mengetahuinya. Mereka tidak sengaja menguping pembicaraan pamannya dengan seseorang di telepon, tempo hari.
"JAWAB BODOH. DIMANA ACHA. JANGAN MEMBUATKU MARAH."
BUGG
kaki kanan sang paman ikut beraksi, kaki besar itu menendang Rio yang meringkuk lemas dilantai.
Aku bisa melihat sekilas pemuda menganggumkan itu tersenyum tulus pada seorang gadis yang tengah menangis dibalik pintu dapur tak jauh dari situ.
"nana..nana..nanananana..nanananana..nanananana.." Rio kembali bersenandung lirih. Senandung tanpa syair yang sering ia lantunkan untuk Acha, "Lari adik manis.." ucapnya, pelan.
Acha mengangguk meski ragu. Ia segera mengambil ancang-ancang untuk lari, tapi sialnya salah satu dari tiga orang berpakaian serba hitam, yang entah siapa itu, memergokinya.
Orang itu dengan cepat menarik kerah baju Rio, memaksanya berdiri.
"HEH KAMU !! Jangan lari kamu. Kalau kamu lari, orang ini akan saya tembak." ancam orang itu.
Acha tersentak, ia menghentikan langkahnya.
"Ayo lari. Kamu udah janji." seru Rio dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.
"DIAM KAMU." sentak orang yang sama, seraya memukulkan pistolnya ke pelipis Rio.
"Aaargh." Rio mengerang, darah segar menetes dari dahinya.
"Kak.."
"Lari ayo, lari."
"Diam disitu atau dia akan mati. Kamu seret dia kemari." perintah orang tadi pada rekannya.
"Aku sayang Acha. Ayo Acha pergi. Jangan kecewakan aku." lirih Rio setengah putus asa mendapati Acha yang masih bertahan ditempatnya.
"kak Rio akan menyusulmu Cha. Dia sudah janji. Ayo lari, Cha." bisik hatinya.
Acha pun mengangguk mantap, ditariknya nafas dalam-dalam. Mengumpulkan tenaga untuk lari secepat mungkin, nantinya. Pada saat otak serta hatinya mengkomandoi agar kedua kakinya segera lari, tanpa ragu Achapun langsung berlari.
Ia terus berlari, sambil menghalau segala fikiran buruk dan rasa takut dalam benaknya.
"Ayo lari, Raissa. Lari." tekadnya dalam hati.
"AKU SAYANG KAMU, CHA.." hanya teriakan itulah yang Acha dengar, saat ia telah melewati gerbang menjulang didepan rumahnya.
DOORR
CETTARR..
Petir, kilat dan suara asing itu melumpahkan seluruh daya yang Acha punya. Mencekat nafasnya, membekukan aliran darahnya. Hingga gadis ini sempat berfikir, bahwa kematian akan terasa lebih menggembirakan untuknya.
Suara asing itu..
Apa ? Tembakankah ? Lalu, lalu, siapa yang ditembak ? Riokah ?
Aku yang sedari tadi mengikuti Acha berlari, tentu juga bertanya-tanya. Apa yang terjadi didalam rumah mewah itu ? Bagaimana nasib Rio ?
Aku yakin, saat ini Acha pasti sangat ingin kembali.
Tapi ribuan jempol untuk gadis cantik ini, saat ku lihat kaki-kaki jenjangnya terus berlari. Air matanya membaur dengan air hujan, seakan ingin menunjukan, mana yang lebih deras. Tanpa alas kaki, diselusuri jalanan beraspal didepannya. Acha pasti merasakan dingin yang luar biasa, dan parahnya sekarang ia sendiri. Seorang diri.
"Kak Rio bilang jangan berbalik. Jangan kembali. Kak Rio akan menyusul. Terus lari Cha." aku bisa mendengar Acha mengeja kalimat-kalimat itu secara terus-menerus. Kasihan Acha.
Siapapun bisa berkorban untuk orang yang dicintainya. Berkorban tidak membutuhkan keahlian khusus. Hanya butuh sedikit ketulusan.
***
Satu hari sebelum dirimu pergi
kau berikan segela yang kau punyai
jika saja ku tau engkau kan pergi...
Indah kau jalani hidup
tapi ku mengerti, sampai disini
engkau kan menjadi bintang
dipelukan malam yang memelukku dan menjagaku
Satu hari sebelum dirimu pergi
kau padamkan letihku dengan pelukan
jika saja ku tau engkau akan pergi
sisa waktu, ku habiskan merawatmu.
***
Minggu, 27 Februari 2011
Gadis bergaun hitam dengan renda-renda senada vanila tadi masih terpekur dalam diamnya. Sedih pastinya. Tapi dia tidak menangis, barangkali air matanya sudah terkuras habis tak bersisa. Acha. Ia terus mengelus-elus marmer putih yang menjadi nisan untuk makam sang kakak. Seorang kakak yang rela telah mengorbankan nyawanya, demi supaya Acha bisa hidup dalam kehormatan.
Teriakan terakhir kakaknya masih terus bergaung dalam ruang dengarnya, "Aku sayang kamu, Cha."
Astaga, hanya orang tolol saja yang tidak tau betapa besar rasa sayang kakaknya terhadap Acha.
"Kenapa kakak tinggalin Acha. Acha sendirian kak, Acha takut."
Setelah empat bulan berselang, Acha baru berani kembali kerumahnya ditemani Ozy. Rumah itu ternyata sudah disegel oleh bank. Tapi Acha berhasil memperoleh informasi yang ia inginkan, nasib kakaknya ?
Dan inilah. Pemakaman inilah yang ditunjukkan penduduk setempat saat Acha menanyakan perilah Rio. Disinilah, kakak kebanggaannya tertidur tenang. Tanpa iringan doa ataupun taburan bunga dari Acha, selama 4 bulan. Ia berpulang, sebelum sempat berpamitan dengan Acha. Sebelum Acha sempat mengucapkan trimakasih atas pengorbanannya.
"Kakak udah janji mau nyusul Acha."
"Udah dong Cha, Rio bertaruh nyawa buat kamu supaya kamu bahagia. Dia pasti sedih kalau liat kamu gak bisa relain kepergiannya. Hujan-hujan Rio dateng kerumahku, dia minta supaya aku jemput kamu hari itu. Hari dimana, Rio nyuruh kamu lari. Dan liat Cha, sekarang kamu selamat dari rencana busuk Om mu, Rio pasti senang, dan dia akan jauh lebih senang kalau kamunya yang kuat, yang tegar, terus semangat jalanin hidup kamu. Jangan buat pengorbanan Rio sia-sia." pemuda yang sedari tadi berjongkok disisi Acha, mulai angkat bicara.
Namanya Ozy, dia adalah satu-satunya sahabat Rio yang masih mau peduli pada Rio dan Acha setelah keadaan Rio berubah.
"Rio kakak yang hebat, semua tau itu. Sampai kapanpun gak akan ada yang bisa gantiin dia, termasuk aku. Tapi Cha, aku harap seenggaknya aku bisa gantiin tugas Rio buat jagain kamu. Aku bakal selalu ada dan akan selalu jagain Acha." tutur Ozy, sungguh-sungguh.
Acha melirik sekilas pemuda manis yang dengan murah hati, telah mau menolongnya dihari pelariannya. Dan telah bersedia menampung Acha di panti asuhan milik bundanya selama 4 bulan terakhir ini. Pemuda itu memang benar-benar perhatian dan sangat baik pada Acha. Menurut penglihatanku, sepertinya Ozy menyimpan perasaan yang lebih pada Acha.
"makasih ya kak Ozy. Maafin Acha, Acha selalu ngerepotin kakak." Acha melempar senyum manisnya kearah Ozy.
Pemuda itu terlihat lega, mendapati senyum Acha kembali tersungging di wajah ayunya.
Ozy mengangguk pelan. Dengan lembut disekanya buliran-buliran air mata dipipi Acha.
Acha kembali mengalihkan pandangannya ke makam Rio, "Kak Rio, Acha kangen." lirihnya.
"Mmh, ini buat kakak. Gambar bunga krisan yang dulu Acha janjiin. Maaf ya, Acha baru bisa kasih ini sekarang. Tapi Acha harap, malaikat-malaikat Tuhan mau turun sebentar ke bumi dan ngambil gambar ini buat kakak. Supaya kakak bisa liat gambar Acha. Acha bakal berusaha ikhlasin kakak, Acha gak mau kecewain kakak. Acha sayang banget sama kak Rio. Salam buat ayah sama bunda ya." Acha mengecup nisan dengan ukiran nama 'Mario Haling' berikut hari jadi dan tanggal wafatnya, yang ada didepan Acha.
"nana..nana..nanananana..nanananana..nananananaa.." Acha melantunkan senandung itu lagi. Senandung kecil favorit Rio, yang sebetulnya, syairnya sudah berulang kali Acha ajarkan pada Rio. Tapi Rio tetap kesulitan untuk mengingatnya, "Cangkul..cangkul..cangkul yang dalam. Menanam jagung..dikebun kita. Semoga sekarang kakak bisa inget ya syair lagu itu." tambah Acha.
Perlahan ia bangkit, lantas membenahi roknya yang sedikit kusut.
"Mau pulang sekarang ?" tanya Ozy yang turut bangkit.
Acha mengangguk, yakin, "aku harus secepatnya menata hidupku kan kak? Disini lama-lama, cuma bakal buang-buang waktu. Yang penting aku akan selalu doain kak Rio." jawab Acha, lebih bijak.
"Bagus, kalau gitu." timpal Ozy.
Keduanya lalu berjalan menyusuri barisan-barisan nisan di komplek pemakaman umum ini. Aku masih memandangi mereka dengan rasa haru bercampur bangga.
Inilah potret asli kehidupan. Tidak ada pangeran tampan kaya raya yang kemudian menikah dengan putri cantik dari negara tetangga, lantas hidup bahagia selamanya. Sekali lagi ini bukan negeri dongeng. Ada kalanya kita dipaksa menangis, lalu disuruh bangkit kemudian dititah untuk terus berjalan.
***
Kasih dan sayang...
Adalah dua nada yang saat ia mulai bernyanyi, seharusnya semua akan terasa lebih mudah dan indah.
Cinta...
Adalah milik mereka, orang-orang yang mau menerima kekurangan dan dengan tulus bersedia untuk menyempurnakannya.
Ya, jika ada yang mau belajar tentang kasih sayang dan cinta yang sempurna..
Maka terlebih dulu, belajarlah tentang ketulusan dengan sebenar-benarnya.
***
Senin, 28 Februari 2011
'akhir...'
Rio.
Manusia...
kalian tau dia terbatas.
Lantas tak malukah kalian kepadanya ? Dia yang dengan jahat sering kalian anggap idiot, mampu menyibak tabir seluas langit yang sering menyarukan cara pandang manusia tentang cinta dan kasih sayang. Hawa, yang bernama cinta bukan berarti menyerahkan harga diri dan kehormatan kalian.
Adam, yang namanya sayang tidak bisa diuji lewat ciuman. Itu dangkal.
Lihat pengorbanan Rio. Itulah sejatinya cinta dan sayang.
Rio bisa membuktikan bahwa hidup
sesederhana pergantian siang dan malam. Mengalir begitu saja. Tanpa harus diskenario dulu. Tanpa harus diatur dulu. Tidak rumit, karena sebetulnya manusia sendirilah yang membuatnya rumit.
Rio.
Manusia..
Kalian tau dia terbatas.
Lantas tak malukah kalian kepadanya ??
Mencibirnya, mengabaikan kehadirannya. Padahal dari orang-orang sepertinyalah, Tuhan mengajarkan kita tentang ketulusan hakiki. Ia menangis saat ia sedih, ia tertawa saat bahagia, ia menjerit saat tersakiti, tidak perlu topeng, tidak perlu kepura-puraan, tidak perlu sekat dengan tirai-tirai kemunafikan. Hidup Rio lurus, jauh dari kebohongan.
Manusia..
Aku catat jalan hidup dua anak manusia ini untuk kalian jadikan pelajaran. Untuk bahan renungan.
Kadang Tuhan menyimpan mutiara dibalik pekatnya lumpur. Tuhan kadang menyertakan aroma melati dibalik busuk barak sampah.
Jangan belajar meremehkan, jangan terbiasa menghina dan mencela.
Jangan menyarukan kejahatan dengan mengatasnamakan cinta.
Jangan melancarkan kemungkaran dengan kasih sayang kau jadikan tamengnya.
Itu pesanku...
Akhirnya, ku sudahi catatan ini dengan bait dan lantunan doa untuk Rio.
Semoga dunia ini masih cukup layak untuk disinggahi orang-orang berhati malaikat sepertinya.
Salam sayang,
Putih.
The End
***
Label:
Cerpen Sad Ending