Jumat, 22 Juli 2011

Rahasia Orion Part 8

Rahasia Orion Part 8
"Sisi yang Lain"

***

Shilla mengurangi kecepatan ayunan kakinya, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan avanza biru tua milik Rio. Ia menyandarkan tubuh pada kap mobil, dadanya naik-turun selaras napas yang memburu setelah dibawa berlari. Beberapa pengunjung ada yang meliriknya heran dan melontarkan umpatan saat Shilla tanpa sengaja menubruk beberapa diantara mereka. Shilla berusaha menenangkan diri, mengatur napas sambil memejamkan mata.

"Cemburu." begitu yang dibisikkan angin, ketika Shilla bertanya dalam hati, tentang apa yang sebenarnya ia rasakan. Sesak itu masih ada, tidak berkurang sedikit pun.

Detik itu juga, Shilla merasa sudah mempunyai jawaban untuk pertanyaan Alvin sore tadi.

"Lo suka sama Rio ?"

Ya, koar Shilla dalam hati. Ia menyukai Rio dan ia tidak rela melihat Rio dengan gadis lain. Entah sejak kapan, perasaan itu mulai muncul ? Mungkin sejak tangan kokoh pemuda itu menjabat jemarinya di bawah naungan bulan di desa Cihideung, dulu. Atau perasaan itu tumbuh, seiring senyum manis pemuda itu yang mengiringi Shilla menjalani hari-hari barunya ?
Entahlah. Yang Shilla tahu saat ini, perasaan apapun yang Shilla punya, harus segera Shilla kubur, karena Rio telah memilih. Dan pilihan pemuda tampan itu bukan jatuh pada dirinya, bukan Shilla.
Shilla menghirup udara malam, membiarkan dinginnya yang khas memenuhi rongga dada, hingga tidak ada lagi sudut yang terasa kosong dan hampa. Ia menegakkan tubuh, mencoba menarik kedua sudut bibirnya, dalam hati berdoa semoga senyumnya tidak terlihat sangat aneh. Dengan tangan kanan, disisir tatanan rambutnya yang sedikit berantakan.
Adakah yang bisa diperbuat untuk cinta yang tak berbalas ?
Jawabannya, tidak. Dan Shilla berusaha menerima kenyataan itu.

"Hosh.. Hosh.. Hosh.. Hhh Shil," masih dengan napas yang terengah, Rio memanggil Shilla. Ia membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut, "Shil hhh, kenapa sih ? Lo kok lari ?" tanya Rio sembari menghampiri Shilla.

"Emm, nggak pa-pa kok Yo, maaf ya kamu sampai harus lari-lari." Shilla tersenyum tipis untuk meyakinkan Rio.

Rio tidak mengerti makna dari tatapan Shilla yang tidak biasa. Yang ia tahu, gadis itu sedang bersedih, entah karena apa, "Lo nggak bakat bohong deh Shil," Rio menyentuh dagu Shilla dengan ibu jari dan telunjuknya, agar gadis cantik itu menatapnya, bukan malah terus-menerus merundukan wajah, "Ada apa Shil ?"

Shilla tidak habis fikir, kalau Rio ini ternyata tipe cowok pengobral kata-kata manis yang gemar mempermainkan perasaan seorang gadis. Jelas-jelas tadi Shilla mendengar sendiri, Rio menyatakan cinta pada Ify. Lalu apa maksud pemuda itu berlaku demikian lembut pada Shilla sekarang ?
Shilla menepis tangan Rio dengan kasar, pemuda itu sedikit terkesiap. Tapi sedetik kemudian Rio tersenyum penuh arti, matanya berbinar, "Gue tahu lo kenapa." celetuknya sok tahu, "Lo jealous ya lihat tadi gue sama Ify tadi ?" Rio memasukkan kedua telapak tangan pada saku jeansnya, matanya berkeliling menyapu area sekitarnya sambil sesekali melirik nakal pada Shilla.

"Apaan sih ? Ada-ada aja deh. Ngapain jealous, bukan urusan aku." jawab Shilla ketus.

"Ck, yang tadi cuma bercanda kok Shil. Nggak usah ngambek gitu dong."

"Siapa yang ngambek sih Yo, aku biasa aja kok. Udah ah, aku pingin pulang."

"Masa sih nggak ngambek ? Ngambek aja deh."

Shilla menekuk wajahnya. Benar-benar tidak paham dengan kata-kata Rio. Bercanda, Rio bilang? Memang yang seperti itu lucu apa untuk dijadikan bahan bercandaan ? Lagi pula yang tadi itu, tidak terlihat seperti sedang pura-pura atau bercanda. Shilla juga melihat sendiri kok, Rio begitu dalam menatap Ify yang duduk didepannya.
Okelah, bakat acting Rio memang tidak bisa diragukan. Keikut sertaan pemuda itu dalam suatu pertunjukan seni peran, seolah jadi jaminan bahwa pertunjukan tersebut pasti akan menuai sukses. Karena itu juga, kelompok ekskul Drama Musikal atau DM yang diikuti Rio, tidak jarang menyabet berbagai penghargaan dalam setiap ajang yang diikuti. Klub ekskul Drama Musikal, memang menjadi wadah untuk siswa-siswi Veronna yang menyukai dan mempunyai bakal dibidang seni peran. Meskipun bertajuk Drama Musikal, tadi ekskul ini tidak hanya stuck pada dunia drama musika, didalamnya, diajarkan pula seni peran lainnya seperti teater, kabaret, wayang orang, juga pantomim. Dan karena bakat acting Rio yang disebut-sebut bisa memainkan berbagai karakter secara total, pemuda itu didaulat sebagai ketuanya. Tapi benarkan pernyataan manis Rio pada Ify tadi, hanya bagian dari acting yang meyakinkan dari seorang Rio ?

"Gue bosen nungguin lo, makanya gue godain Ify. Lucu aja lihat mukanya merah setiap kali gue bilang sayang. Itu cuma pura-pura kok, cuma acting Shil, sekalian latihan kan, udah lama gue nggak ngumpul sama anak-anak DM. Lo nggak usah jealous, sampai kabur-kaburan segala," Rio menyilangkan tangan didada, kaki kanannya dihentak-hentakkan ke tanah dengan santai, "Nah tu ada Ifynya, lo tanya aja sendiri."

Ify berjalan gontai kearah Rio dan Shilla, "Tanya apa ?" sambungnya, karena sempat mendengar kalimat terakhir yang Rio ucapkan.

Shilla terdiam. Memandang Rio dan Ify bergantian.

Rio mendengus tidak sabar, "Gini lho Fy, Si Shilla ini kayaknya patah hati, lihat gue nembak lo tadi. Padahal itu kan cuma acting ya, main-main doang, kita kan sama-sama anak DM, sering juga kok latihat berdua. Iya nggak Fy ? Shilla ini ada-ada aja. " cerocos Rio, tanpa mempedulikan perubahan raut wajah gadis didepannya. Rio menyikut Ify, seketika gadis itu tergagap, "Woy, malah bengong deh lo."
"Eh, i.. i.. iyaa Shil. Yang tadi nggak serius kok." Ify terceguk, menelan bulat-bulat rasa kecewanya, "Cu.. Cuma pura-pura. Ya, main-main aja." lanjutnya dengan suara mengawang.

"Hahaha," Ify tertawa sarkatis dalam hati, "Bodoh." makinya pada diri sendiri. Bisa-bisanya tadi Ify menyangka kalau Rio sungguh-sungguh, "Ya Tuhan, memalukan sekali." ia terus merutuk dalam diam. Bukankah Rio sudah sering menggodanya seperti tadi, pemuda tampan itu akan bilang sayang, lalu setelah kedua pipinya memerah, Rio akan tertawa terbahak-bahak dan bilang kalau itu semua hanya kelakar isengnya.

Ify tersenyum hambar. Setelah dilambung begitu tinggi, kemudian dihempas jatuh hingga ke dasar palung lautan. Rasanya, masih sanggup berdiri tegak saja, ia sudah layak untuk mendapatkan standing applause besar-besaran.

"Rio…” lirih Ify dalam hati. Ya hanya nama itu dan akan selalu nama itu.

Tin tiiin

Suara klakson mobil yang melengking, membuyarkan lamunan Ify. Gadis manis itu reflek bergerak mundur, beberapa langkah. Saat menoleh, dilihatnya Rio dan Shilla sudah berada didalam mobil.

"Ngapain lo masih bengong disitu Fy, cepat masuk!" Rio menyembulkan kepalanya dari kaca jendela yang terbuka.

Ify mencoba melangkah, tapi kedua kakinya seperti beku, yang terjadi malah tubuhnya melorot jatuh, terduduk di tanah.

"Lho Fy ?" Rio yang melihat hal itu, dengan panik segera keluar dari mobilnya dan menghampiri Ify, "Lo kenapa Fy ?"

Airmata yang sejak tadi coba Ify bendung, akhir menetes juga, bergulir lambat di pipinya. Rio yang sangat jarang melihat Ify menangis, jadi khawatir dibuatnya. Sisi lain dalam diri seorang Ify yang nyaris tidak pernah diperlihatkan dihadapan Rio (kecuali diawal pertemuan mereka) akhirnya mencuat. Ify menangis. Gadis yang selalu terlihat kuat dan tegar di mata Rio, bahkan setelah perpisahan kedua orangtuanya, malam ini tampak begitu rapuh dan lemah.

"Fy, lo kenapa ?" Rio berjongkok, mengelus punggung tangan Ify dengan lembut.

"Sakit Yo." jawabnya, dengan suara tertahan.

"Sakit ? Sakit apanya Fy ? Yang mana yang sakit ?"

"Rio..." Ify menyebutkan nama itu dengan sejuta makna tak tersingkap, di sela-sela tangisnya.

"Iya, kenapa Fy ? Aduh kamu jangan nangis dong, yang mana yang sakit, kita ke rumah sakit ya?"

"Kaki.. Kaki aku sakit." tiba-tiba jawaban itu yang tercetus diotaknya, kemudian terlontar dari bibirnya.

"Kaki ?" Rio membimbing Ify agar meluruskan kakinya, "Yang mananya yang sakit ? Kok bisa tiba-tiba sakit Fy, tadi nggak pa-pa kan ?" Rio melepas sandal cantik yang mengalasi kaki Ify, ia memijat pergelangan kaki Ify, sebisanya, "Bisa jalan ke mobil ?"

Ify menggeleng lemah, sentuhan hangat tangan Rio masih terasa pada pergelangan kakinya.

"Shil !! Shilla ! Tolong bukain pintu belakang." seru Rio, lantas membopong Ify, menuju mobilnya.

Ify melingkarkan kedua tangannya pada leher Rio, dirasakan aliran ketenangan yang berasal dari setiap jengkal tubuhnya yang bersentuhan dengan kulit Rio.

"Kita ke rumah sakit ya ?"

"Nggak Yo. Aku mau pulang aja." tolak Ify.

"Tapi.."

"Pulang aja Yo, please."

"Ya udah. Shil, lo duduk di belakang aja ya, temenin Ify."

Shilla mengangguk patuh.

Sejurus kemudian, sedan mungil yang dikemudikan Rio, sudah merayap meninggalkan sepetak lahan yang dijadikan area parkir untuk para pengunjung PRJ.

***

Bulan dan bintang masih bercokol di atas sana, meski langit malam ini sedikit kelabu. Warna kuning terang ditambah kilau keperakan, terpantul cantik pada permukaan air kolam yang tenang. Sesekali oleh mata, tertangkap pijaran berwarna merah dari lampu pesawat terbang yang tampak sangat kontras bersanding dengan titik-titik putih yang bertaburan menghias langit malam.
Alvin duduk bersila ditepi kolam renang rumah Ify, tertegun senyap dengan pandangan menerawang. Hari ini keluarga Alvin bertemu dengan keluarga Ify yang hanya diwakili oleh sang Papa karena Ibunda Ify sedang berhalangan untuk hadir. Kedua keluarga itu berkumpul di rumah Ify untuk membicarakan perjodohannya dengan salah satu putra keluarga Haling, Alvin.

"Kami tidak memaksa, kalau suatu saat kalian menemukan orang yang lebih cocok, kami sebagai orang tua tidak akan menghalang-halangi. Tapi tidak ada salahnya kan kalau kalian mencoba dekat terlebih dulu. Bagaimana Alvin, Ify ? Kalian setuju ?"

"Alvin terserah Papa sama Mama aja."

"Ify juga Oom Rendra. Papa pasti pilih yang terbaik buat Ify."

Kalimat-kalimat itu seakan menemukan sound terbaik untuk terus bergaung di kepala Alvin. Membuat pemuda itu resah dalam lamunannya.
Narendra dan Cakra memang bersahabat, sejak mereka tanpa sengaja dipertemukan disebuah toko buku di Negara Inggris. Pada waktu itu keduanya, sedang melanjutkan study masing-masing. Setelah lulus, sebelum berpisah, mereka berangan-angan, akan menjodohkan putra-putri mereka kelak, setelah menikah. Kebetulan ketika dipertemukan kembali, Cakra mempunyai seorang putri, sedangkan Narendra dikarunianya seorang putra.
Tapi beberapa minggu yang lalu, saat Narendra membicarakan semua itu dengan Rio, pemuda itu dengan tegas langsung menolaknya. Narendra tidak ingin memaksakan kehendak, akhirnya pilihan jatuh pada Alvin. Gladys yang memang menyukai Ify, tidak merasa keberatan dan ikut membujuk putranya, hingga akhirnya Alvin setuju dengan rencana perjodohan itu.

"Menurut Rio itu konyol, pasti rasanya aneh."

Komentar Rio dulu di depan kedua orang tuanya, di-iya-kan oleh Alvin. Ya, betapa konyol dan menggelikan ia dan Ify. Keduanya sama-sama tahu, tidak pernah ada sebersit pun perasaan istemewa yang tumbuh diantara mereka, tapi untuk bilang 'tidak' saja, sulitnya bukan main.
Alvin terus melamun, walaupun apa yang dilamunkan benar-benar tidak sesuai dengan topik obrolan antara ia dan gadis manis d isebelahnya. Tadi Ify sedang menceritakan kejadian beberapa waktu yang lalu di PRJ, tapi fokus Alvin malah merembet kemana-mana.

"Vin, lo dengerin gue nggak sih ?" Ify mengguncang-guncangkan pundak Alvin.

Alvin tersadar, "Hm ? Iya, iya dengar kok Fy." sahutnya.

Mereka lantas terdiam, tersedot dalam dunia masing-masing.

"Lo yakin Fy, sama semua ini ?" Alvin menatap Ify, "Gue takut, pada akhirnya semua ini cuma bakal menambah daftar orang yang tersakiti."

Ify tidak menjawab, berusaha merangkai jawaban pun sama sekali tidak. Entah sejak kapan, memikirkan hari esok dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi, menjadi begitu menakutkan untuknya.

"Hayoo.... Pacaran aja lo berdua." tegur Rio, seraya menyusup duduk ditengah-tengan antara Alvin dan Ify.

"Kalau tahu kita pacaran, ngapain lo kemari ?" timpal Alvin, dingin.

"Habis disana gue dianak-tirikan sama Papa." Rio menggerakkan dagu kearah patio kecil yang terletak di halaman samping rumah Ify.

Terlihat, orang tua mereka bercakap-cakap sangat seru, disana. Narendra tampak begitu semangat membicarakan segala hal tentang Shilla, yang diketahuinya melalui cerita Eyang Putri, Rio dan istrinya sendiri. Pria itu merangkul Shilla yang duduk di antara ia dan Gladys, dengan penuh kasih sayang. Shilla hanya kadang-kadang mengangguk dan tersenyum manis, saat Narendra ataupun yang lain memuji dirinya. Gadis dengan balutan short dress pastel itu, melotot geram saat Rio yang sudah kebosanan, pamit keluar tanpa mengajaknya turut.

"Masa Papa puji-puji Shilla terus, padahal gue kan anaknya juga." dumel Rio.

"Lo nggak guna sih Yo." tanggap Alvin.

"Sialan lo." Rio meninju pelan, bahu saudaranya tirinya itu, "Eh, kaki lo gimana Fy ?" Rio beralih menanyai Ify.

"Udah baikan kok Yo."

"Syukur deh kalau gitu." Rio mengacak poni Ify, "Sekarang lo udah ada yang punya ya Fy, gue nggak bisa sembarang nembak lo lagi deh." Rio tertawa kering di ujung kalimatnya.

Ify menghela napas dengan dramatis, "Lo bahagia, Yo ?"

"Maksudnya ?"

"Apa lo bahagia kalau gue sama Alvin ? Lo nggak sedih ?"

"Ck, gue paling benci kalau suasananya jadi mellow begini." Alvin beranjak dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Ify dan Rio.

"Lho, Vin ! Mau kemana lo ?"

"Gue mau cari orang yang nggak peka, buat gue tonjok." sahut Alvin, asal.

Rio menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, rasanya aneh ditinggal berdua Ify seperti sekarang. Apa kedatangannya sangat mengganggu, sampai-sampai Alvin memilih pergi.

"Lo belum jawab pertanyaan gue, Yo." tagih Ify.

Rio tersenyum sumringah, digenggamnya kedua tangan Ify, "Nggak ada alasan buat gue untuk nggak bahagia, Ify. Pertanyaan lo aneh deh. Alvin itu saudara gue, dan lo sahabat terbaik gue, jelas gue bahagia lah kalau kalian akhirnya bisa sama-sama."

Ify mengangguk samar, "Semoga gue juga bisa bahagia ya."

Rio mendekatkan wajahnya, menatap Ify lekat-lekat dalam diam. Ify berharap, kali ini saja, wajahnya tidak memerah. Ify tidak ingin Rio terus-menerus menggodanya dengan cara seperi ini. Hembusan napas pemuda itu, terasa hangat menerpa wajah Ify, "Pasti lo bahagia, Fy." bisik Rio.

Ify masih mematung, tenggelam dalam pesona Rio yang tak pernah bisa ditolaknya. Rio, pemuda yang selalu terlihat sempurna di mata Ify. Ujung bibirnya yang selalu melengkung keatas, meski tidak sedang tersenyum. Sorot matanya yang teduh, garis wajahnya yang ramah, suaranya yang lembut, selalu berhasil membuat Ify kepayang. Meski dalam kebisuan yang sunyi, Ify menikmati setiap detik yang terlewati bersama pemuda tampan itu, yang akhir-akhir ini tidak jelas karena apa menjadi semakin jarang terjadi. Ify menyandarkan kepalanya pada pundak Rio, pemuda itu mengelus rambut Ify dengan lembut, "Kita udah besar ya Fy. Nggak kerasa, bertahun-tahun udah berlalu semenjak gue nemuin lo nangis di bawah pohon gara-gara nyasar. Makasih ya Fy, atas semua yang udah lo kasih ke gue. Makasih karena lo udah mau kenal sama gue."

"Iya, bertahun-tahun...”Jawab Ify mengawang, “Dan lo tetep nggak bisa ngerti perasaan gue, Yo” lanjutnya dalam hati.

Rio mengulum senyum, "Semoga kita tetap bisa sahabatan kayak gini ya Fy."

Ify mengangguk setuju. Mungkin sudah suratan, seperti yang Rio bilang tadi, selamanya mereka akan jadi sahabat. Tidak seharusnya Ify berharap lebih dari itu.

Keduanya lagi-lagi membisu, membiarkan sepi bercerita lebih banyak pada mereka. Membiarkan potret-potret perjalanan hidup yang terekam dalam ingatan, menari mengusik pikiran masing-masing.

***
Sofa panjang yang semula menghadap kearah TV plasma 24" dalam ruangan itu, digesernya menghadap langsung ke arah jendela yang dibiarkan terbuka. Membentangkan lukisan malam karya Sang Maestro dengan kuas ajaibNya, terlihat sangat indah tanpa cela, dengan bulan dan bintang, serta semburat ungu, biru dan hitam yang berpadu di atas cakrawala. Malam semakin larut, bahkan udara mulai menghantarkan bau embun. Tapi rasa kantuk, tak kunjung menyerangnya. Ia sudah mencoba membenamkan tubuhnya di balik selimut, AC disetel sedemikian rupa agar nyaman untuk membuat matanya lekas terpejam. Musik-musik dengan ritme lambat juga sudah diputar untuk mengiringinya kealam mimpi. Tapi nihil. Hingga detik ini, ia masih saja betah terjaga.

"Kamu belum tidur, Vin?"

Saking asyiknya termenung, Alvin tidak menyadari kedatangan Mamanya yang telah ikut duduk disampingnya, turut melirik sebuah foto yang mulai menguning usang berbingkai kayu, yang kini menghuni genggaman Alvin.

"Mama..."

"Kamu belum tidur ?"

"Nggak bisa tidur, Ma..."

Gladys tersenyum lembut, "Sini !!" wanita asli Malang itu mengisyaratkan agar Alvin berbaring diatas pangkuannya. Alvin menurut, direbahkan kepalanya diatas pangkuan Sang Mama, "Kenapa nggak bisa tidur ? Kepikiran soal perjodohan itu ya ?" tangan Gladys bergerak menelusuri setiap helaian rambut putra kebanggaanya itu.

"Nggak kok Ma." Alvin memindahkan foto yang diambil sekitar 10 tahun yang lalu di sebuah desa kecil, di sebelah timur kota Bandung itu kedalam pelukannya. Mendekapnya begitu erat, seakan tidak mengizinkan seorang pun untuk menyentuh benda itu. Gestur kecil itu, terbaca oleh Gladys.

Alvin terduduk kembali, dipandangi Sang Mama tanpa berkedip, "Ma," Alvin seperti ragu mengeluarkan kalimat yang sudah tersangkut di ujung lidahnya, "Emm, mungkin ini kedengarannya konyol, tapi... tapi… Aya…" Alvin menggantung kalimatnya, telunjuknya menelususr pada foto gadis cilik yang tengah menyeringai lebar, memamerkan deretan giginya yang mulai tanggal satu-persatu karena doyan sekali makan makanan yang manis.

Aaaahh, dasar mengembala kambing yang usil. Kenapa ia begitu tega membiarkan Alvin menghabiskan bertahun-tahun hanya sekesar untuk menunggunya?
Apakah ia sadar telah menawan hati Alvin dan tidak pernah membebaskannya sampai detik ini. Gejolak perasaan rindu, terpajang sangat jelas pada raut wajah tampan Alvin. Seolah-olah pemuda itu akan bersedia menukar semua yang dimiliki, untuk sekedar bertemu dengan gadis cilik pengembala kambing itu lagi. Tidak ada yang tahu kecuali Alvin sendiri bahwa beberapa kali ia sudah berusaha mencari teman kecilnya itu. Bukan hanya sekali, Alvin pernah mengujungi rumah tempat tinggal teman kecilnya itu, tapi tetangganya bilang bahwa gadis kecil yang dicari Alvin sudah pindah bersama keluarganya.
Gladys tersenyum menenangkan. Masa kecil Alvin adalah masa-masa yang sulit untuk Alvin bahkan untuk Gladys sendiri. Alvin harus pindah ke desa, kehilangan teman-temannya, kehidupan kotanya, bahkan akhirnya kehilangan Ayahnya. Kemudian gadis kecil itu datang, Gladys memang belum pernah bertemu dengan gadis kecil itu tapi berdasarkan cerita yang didengar dari Alvin, gadis kecil itu adalah teman yang baik bagi putranya. Ia pastilah anak yang ceria yang bisa menularkan keceriaannya pada sosok Alvin yang dingin dan tertutup. Teman kecilnya itu datang disaat yang tepat. Dialah ramai yang ditunggu Alvvin dalam sepinya. Dialah suara yang ditunggu Alvin dalam bisunya, karena itu Gladys sangat mengerti bahwa teman kecilnya itu begitu berarti untuk Alvin.

“Alvin, di dunia ini banyak yang datang dan pergi. Saling bertemu lalu berpisah. Saling mengenal lalu melupakan. Aya. Mama yakin dia gadis yang baik, tapi Vin dia bukan satu-satunya gadis di dunia ini. Sampai kapan kamu akan menunggunya? Apa kamu yakin dia masih mengingatmu?” Gladys menatap Alvin dengan sungguh-sungguh. “Lagipula kamu juga sudah menyetujui perjodohanmu dengan Ify. Dia gadis yang cantik dan baik, tidak akan sulit untuk belajar menyayanginya." Alvin merasakan sentuhan lembut pada puncak kepalanya, Gladys tersenyum kecil sembari menegakkan tubuhnya. Sepertinya wanita dalam balutan piyama merah marun itu sedikit kesulitan menggapai puncak kepala Alvin yang tidak pasti sejak kapan, kedua tungkainya tumbuh begitu cepat, hingga sekarang tinggi pemuda itu jelas-jelas melampaui Gladys.

Alvin tercenung. Tidak tahu harus bicara atau berbuat seperti apa. Mamanya benar. Tapi siapa sih yang bisa mengingkari hati nurani ? Kalau ternyata ia belum lelah untuk menunggu dan berharap. Alvin mengulur napas, berat. Tidak seperti biasanya, percakapan malam ini dengan Mamanya tidak membuatnya merasa jauh lebih baik, justru sebaliknya.

Gladys kembali membuka suara, kali ini dengan arah pandangan memagut langit kelam diluar sana, “Sekarang cepat tidur, besok sekolah kan. Selamat malam sayang."

Bunyi ceklik dari daun pintu yang tertutup, kemudian disusul suara ketukan samar dari sandal yang beradu dengan lantai keramik yang dingin, menandakan Gladys sudah bergerak menjauh dari Edelweiss Room. Wanita itu berjalan sambil menggelung rambutnya menjadi konde mungil di belakang kepala. Ia sedikit terhuyung saat melewati ruang perpustakaan keluarga menuju tangga, mungkin karena rasa kantuk yang mulai melanda. Kedua kaki jenjangnya sudah meniti dua anak tangga untuk naik kelantai atas menuju kamarnya. Tapi diurungkan niat itu, ketika melihat pintu Matahari Room sedikit terbuka. Semula, ia hanya ingin menutupnya, tapi ternyata tubuhnya menginginkan yang lebih dari itu. Gladys melepas sandalnya di depan pintu, dengan berjingkat-jingkat ia masuk dan menghampiri ranjang Rio. Penerangan dalam kamar itu remang-remang, hanya berasal dari lampu tidur yang diletakkan diatas meja kecil disamping tempat tidur Rio.
Gladys menggigit bibir, berusaha tidak mengeluarkan bunyi-bunyian sekecil apapun. Dengan hati-hati, ia duduk ditepi ranjang Rio, pemuda itu terlihat begitu lucu saat tertidur sambil memeluk guling seperti itu. Ekspresi keras dan dingin yang biasa diperlihatkan pada Gladys, luruh tersapu damai dalam buaian mimpi. Saat terlelap, topeng berbahan dasar kebencian yang selalu Rio kenakan setiap kali bertatap muka dengan Gladys, tentu saja dilepas sementara. Pemuda itu jadi lebih terlihat seperti Rio yang dulu, Rio yang 6 tahun lalu dikenalkan Alvin sebagai sahabat barunya. Rio yang manis dan menggemaskan. Rio yang mudah sekali tertawa, untuk hal-hal yang sebenarnya tidak lucu.
Gladys merindukan bocah laki-laki berseragam putih-biru yang setiap hari mengunjungi rumahnya dengan mengendarai sepeda kebanggaanya, bocah laki-laki yang tidak pernah keberatan makan dari tangannya, bocah laki-laki yang selalu melontarkan pujian untuk setiap masakan Gladys.
Meskipun rasa benci yang dimiliki Rio, telah menyumsum dalam belulang, telah merekat kuat pada jantung pemuda itu, Gladys tidak merasa perlu untuk mempedulikannya. Karena pada dasarnya, Rio yang dikenalnya adalah anak yang baik, dan selamanya akan seperti itu. Mungkin yang dihadapinya saat ini tidak lebih dari perkara waktu.

"Rio tahu ? Kenapa ya sekarang kita jadi jauh ? Kenapa kita nggak bisa main kayak dulu lagi ? Bertiga sama Alvin, Eh, berempat mungkin ya, sama Papa." Gladys berbicara sepelan mungkin, nyaris tak bersuara, hanya bibirnya yang bergerak-gerak.

Dulu, Gladys adalah orang pertama yang dicari Rio saat ia merindukan Mamanya, pada Gladys pula, Rio pertama kali bercerita tentang rasa sukanya pada Acha. Gladys juga yang pertama memeluk dan mengucapkan selamat, saat Rio memenangkan perlombaan badmintonnya yang pertama, tapi sekarang jangankan untuk memeluk Rio, bersentuhan kulit pun pemuda itu tampak jijik.

"Mama kangen Rio..."

Mungkin yang bernama takdir itu memang ada dan telah berhasil merubah segalanya. Dulu dan sekarang tak ubahnya dua kutub yang berlawanan.
Awalnya, Gladys berfikir, dengan menyetujui tawaran Narenda untuk memulai rumah tangga baru adalah keputusan yang tepat. Ia dan Narendra, sama-sama berharap, keluarga kecil mereka akan hidup rukun dan bahagia. Ia dan Alvin yang sejak meninggalnya Ayah Alvin, hanya hidup berdua, pasti tidak lagi kesepian dengan kehadiran Narendra dan Rio. Terlebih Rio itu termasuk anak yang bawel dan ramah. Rio juga akan mendapatkan sosok seorang Ibu yang akan merawat dan menjaganya dengan sungguh-sungguh. Alvin dan Rio juga pasti akan sangat senang, menjadi saudara dan tinggal satu rumah.

"Kenapa Papa bawa dia ? Rio nggak mau punya Mama, dia. Rio nggak mau. Jangan perempuan itu !!"

Kata-kata Rio saat pertama kali Narendra memboyongnya beserta Alvin ke Rumah Besar, kembali terngiang ditelinga Gladys. Menyayat relungnya, merobek jalinan angan-angan manisnya tentang keluarga kecil yang bahagia.
Tapi mau diapakan lagi ? Awan telah tergugus jadi hujan. Kayu telah dilebur jadi abu. Sekarang mungkin Rumah Besar tidak lebih dari sekedar kastil es yang menawarkan dingin dan kesenyapan.

"Mama nggak tahu, kenapa Rio jadi benci sama Mama. Tapi Rio sekarang Putra Mama dan Mama akan selalu sayang sama kamu, Nak."

Kalimat barusan, diucapkan Gladys seraya mendaratkan satu kecupan lembut didahi Rio, disertai setetes airmata yang menitik di pipi kiri Rio. Gladys segera menyusutnya.
Sejurus kemudian, wanita berambut ikal itu berdiri dan meninggalkan kamar Rio. Sepeninggalan Gladys, pemuda yang sejak tadi memejamkan mata dengan tubuh dibalut selimut tebal bergambar lambang salah-satu klub sepak bola ternama itu, bergerak dengan kikuk. Perlahan, Rio membuka matanya. Disentuh kening dan pipi kirinya. Ada perasaan menohok yang membuat dadanya sesak. Rio mendengar semuanya, setiap kalimat yang diucapkan Gladys dengan kesedihan yang nyata. Tanpa sadar, hatinya ikut menangis saat airmata itu leleh di atas pipinya, "Rio juga Bu, Rio juga..." tidak ada kalimat yang cocok untuk menggambarkan apa yang Rio rasakan, "Kangen Ibu.. Rio kangen Ibu..." Saat matanya bertumbuk dengan foto Veronna yang terbingkai cantik di dekat tumpukan buku-buku sekolahnya, Rio menggelengkan kepala, "Tapi Rio nggak mau ada satu orangpun yang gantiin Mama di rumah ini."

***

Shilla berjalan sedikit cepat dengan dua buah novel di tangannya, yang baru saja dibeli dari toko buku di seberang sekolah. Ia baru akan kembali ke Aula untuk menunggui Rio yang sedang mengikuti ekskul badminton. Tapi di depan pintu gerbang Veronna High School, gadis itu menghentikan langkahnya. Menyipitkan mata, melihat penuh konsentrasi pada satu titik. Gadis itu mengamati gerak-gerik dua orang laki-laki yang cukup membuatnya tertarik. Seorang bocah dengan seragam putih merah yang dilumuri lumpur, menenteng Si Kulit Bundar dan terlihat berdiri cemas menatap laki-laki satunya yang berlutup didepan Si Bocah. Laki-laki berkulit putih itu mengenakan blazer yang sana dengan yang dipakai Shilla, dia Alvin. Sepertinya Alvin baru saja menyelamatkan Si Bocahi dari kelalaian pengendara sepeda motor yang dikemudikan kendaraanya tanpa aturan. Padahal sudah jelas-jelas terpampang rambu-rambu lalu lintas yang mewajibkan pengendara mengurangi kecepatan saat melewati jalanan sekitar situ, tapi tetap saja diabaikan.

Alvin menepuk-nepuk lutut bocah laki-laki itu, kemudian tersenyum lebar sembari mengatakan sesuatu yang tidak terdengar jelas dari tempat Shilla berdiri, "Lain kali, kalau mau nyebrang lihat kanan-kiri dulu ya. Ayo, sekarang cepat pulang, pasti adik dicari sama Mama."

Shilla tersenyum simpul, "Aku tahu Vin, kamu sebenarnya baik. Kenapa mesti pura-pura jadi orang yang nyebelin sih ?" komentar gadis itu.

Sedangkan dari arah lain, Alvin menyampirkan ranselnya ke pundak, lantas berjalan terpincang-pincang. Shilla tetap mempertahankan senyum kecilnya, dan berniat untuk menawarkan pertolongan. Memapah pemuda itu sampai Ruang Kesehatan, atau sekedar membantu membawakan ransel dan setumpuk kertas fotocopy-an yang masih ditenteng Alvin. Tapi niat mulia itu, langsung pupus seketika, setelah Alvin melengos begitu saja. Melewati Shilla tanpa melirik sedikitpun, seolah-olah Shilla ini adalah patung selamat datang yang memang sudah biasa dipajang dipintu gerbang Veronna.

Shilla menyilangkan tangannya di dada, "Emang ya, sekali belagu, tetap aja belagu." ceplos Shilla karena jengkel.

Tanpa disangka, Alvin berbaik, menatap Shilla tajam, "Lo bilang apa ?"

"Oh dengar toh. Bukan apa-apa, lagian peduli apa kamu sama apa yang aku bilang ?" Shilla menaikan sebelah alis matanya dan mengangkat dagu.

Sebagai makhluk sosial, kita harus pandai-pandai menyesuaikan diri bukan ? Terutama dengan lawan bicara, dan apa yang Shilla praktekkan barusan merupakan salah-satu wujud adaptasi terbaik kalau berbicara dengan orang-orang pongah macam Alvin.
Alvin menarik satu ujung bibirnya, memasang ekspresi tersinis di dunia (menurut Shilla) plus tatapan tidak suka yang amat sangat mengesalkan. Shilla menghentakkan kaki kanannya, betul-betul dibuat sebal oleh kelakuan Alvin yang kelewat cuek terhadapnya. Padahal ia hanya ingin membantu kalau memang diperlukan. Kenapa sih pemuda itu selalu saja membuatnya ingin marah-marah, padahal jelas-jelas tadi Shilla melihat sosok Alvin yang begitu lembut dan peduli pada sekitarnya. Apa jangan-jangan Alvin, berkepribadian ganda ?
Shilla tetap berdiri di tempat, matanya mengikuti Alvin yang bergerak kearah sedan hitamnya. Pemuda itu mengeluarkan kotak P3K berwarna putih dari dalam mobil, kemudian terlihat mencoba mengobati lukanya sendiri. Tapi ia sedikit mengalami kesulitan. Kapas yang dipegangnya berulang kali jatuh, pun dengan cairan alkhohol yang coba diteteskan untuk membersihkan lukanya, malah tercecer kemana-mana. Shilla menggelengkan kepala. Ia tahu pasti, Alvin tidak akan bisa mengotati lukanya sendiri, karena telapak tangan kanan pemuda itu, sedikit sobek.

Shilla sempat melihatnya sekilas tadi, "Butuh bantuan ?" Shilla membungkuk, melihat luka yang tercetak pada kedua tangan Alvin. Blazer yang digunakan pemuda itu sampah sobek dibagian siku kiri. Untung seragam sekolah itu cukup tebal sehingga siku Alvin tidak cidera parah, hanya lecet ringan, tidak seperti telapak tangan kanannya yang masih meneteskan darah, "Nggak usah gengsi. Sini kotak obatnya."

Alvin tidak menggubris Shilla, masih bersikukuh bahwa ia bisa melakukannya sendiri.

Shilla mengerucutkan bibir, "Kalau kamu nggak suka aku yang obatin lukanya, kamu tutup mata aja. Bayangin yang ngobatin luka kamu itu Ify atau siapa kek gitu."

"Lo sama Ify beda, nggak usah pingin disama-samain."

Kali ini Shilla yang menulikan pendengarannya, ia tetap duduk disamping Alvin, lalu memindahkan kotak P3K ke pangkuannya.Mulai menesetkan cairan pada kapas.

"Lo peduli sama gue ?"

"Nggak usah GR, aku cuma pingin bantu orang yang memang lagi butuh bantuan." Shilla menutulkan kapas tersebut pada luka Alvin

"Aargh." Alvin meringis.

"Tahan ya..." tutur Shilla, pelan. Ia menyunggingkan senyum, meski tidak ada yang berubah dari ekspresi pemuda dihadapannya. Tetap datar, tanpa bisa diterka.

"Kenapa lo baik sama gue ?" Alvin kembali melontarkan sebuah pertanyaan.

Shilla menghentikan aktivitasnya sejenak, "Apa di Jakarta, berbuat baik itu harus ada alasannya ?" Shilla balik bertanya.

Alvin tidak menyerukan sebuah jawaban ataupun sanggahan. Ia merunduk. Tidak ingin terlalu lama menatap paras ayu Shilla yang akan kembali menyeretnya pada pusaran kenangan. Pemuda itu memilih diam, teremas dalam satu dunia bernama masa lalu. Sementara Shilla masih dengan telaten membalutkan perban pada tangan Alvin.

"Kenapa lo datang Shil ?"

Empat kata sejuta makna. Shilla tidak begitu pandai untuk mengartikan getar suara Alvin yang kali ini terdengar begitu jauh dan gamang, padahal pemuda itu berada tepat disebelahnya. Yang Shilla tahu, pemuda itu tengah menahan kekecewaan yang menyayat, itu terbaca dari sorot mata Alvin.

"Vin, maksud kamu a-"

"Gue nggak nyuruh lo bicara."

"Tapi Vin, ak-"

"Lo ngerti bahasa Indonesia kan ? JANGAN BICARA, KALAU GUE NGGAK MINTA."

Shilla tersentak. Ingin sekali meninju wajah Alvin, ada hak apa dia membentak Shilla seperti tadi. Sudah untung Shilla mau membantu mengobatinya, kenapa malah dibentak-bentak seperti itu. Karena jengkel, Shilla menekan kuat-kuat luka pada telapak tangan Alvin, "AAARGGH..." Alvin mengerang kesakitan. Reflek ditepisnya tangan Shilla dengan kasar. Tangan gadis itu membentur sandaran kursi besi panjang yang mereka duduki.

"Auww.." pekik Shilla.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, gadis itu segera bangkit. Kotak P3K dipangkuannya, berhambur jatuh dengan bunyi debam kecil ketika membentur aspal yang melapisi sebagian besar area parkiran Veronna. Tanpa melihat pun Alvin bisa menebak, dua bola mata jernih milik Shilla pasti sedang menatap marah kearahnya. Tapi tadi Alvin benar-benar tidak sengaja, lagi pula apa maksud Shilla menekan lukanya seperti itu. Jelaslah, Alvin kesakitan. Kalau harus meminta maaf, sayangnya Alvin belum terbiasa. Akhirnya, ia hanya memalingkan wajah, menatap barisan rapi kendaraan bermotor ditempat itu.

"Maaf." ujar Shilla singkat, sebelum melenggang pergi. Alvin baru berani melirik siluet Shilla setelah pemiliknya sudah sampai didepan koridor utama.

"Maaf, Shil." lirihnya, pasrah.

***

Sementara itu, Shilla berjalan menyusuri koridor utama yang sudah sepi, diatur ayunan kedua kakinya agar lebih lambat. Berharap lebam kebiruan yang membekas pada punggung tangannya akibat benturan keras tadi, sedikit berkurang. Atau Rio akan bertanya macam-macam kalau melihatnya. Shilla tidak merasa heran, mendapat perlakuan seperti tadi dari Alvin yang menurut Shilla memang tipe pemuda kasar yang arogan setengah mati.

"Alvin tu beda banget sama Rio." Shilla mulai membandingkan keduanya, seraya mengelus-ngelus punggung tangannya. Rio itu ibarat lautan, semua yang ada dalam diri pemuda itu selalu bisa menghanyutkan setiap orang yang mengenalnya. Sedangkan Alvin layaknya puncak gunung. Untuk menggapainya saja, seseorang harus susah payah mendaki tebing yang terjal dan jurang berbatu.

"Nyebelin !! Dikira nggak sakit apa. Nggak bisa ya bersikap lebih lembut kalau sama cewek. Dasar cowok aneh, rese, ih sok oke." cibir Shilla. Ungkapan 'selalu ada sisi baik dalam diri seorang hamba' benar-benar mentah di mata Shilla. Yang seperti Alvin itu tu yang menurut Shilla nggak ada baik-baiknya. Ia yakin, beberapa waktu yang lalu Alvin pasti sedang kerasukan malaikat makanya mau menolong bocah laki-laki tadi.

"Hayoo !! Kenapa sih manyun aja Non ?" tegur Ify yang sudah berdiri dibelakang Shilla, membawa setumpuk pamflet berisi pengumuman acara camping tahunan Veronna High School.

"Eh, Ify. Nggak pa-pa kok." kilah Shilla.

"Kok belum pulang Shil ?"

"Belum. Rio ada ekskul dulu."

"Oh, emang belum berani pulang sendiri ya ?"

"Hehe," Shilla terkekeh, "Berani sih. Tapi mendingan pulang sama Rio, di rumah juga nggak ngapa-ngapain. Eh, sini Fy, biar aku bantu, lagi tempel-tempelin pamflet kan ?" Shilla mengulurkan tangannya.

"Makasih Shil. Tapi nggak usah. Gue bisa handle sendiri kok."

"Ify..." dengan paksa, Shilla meraih setengah dari tumpukan pamflet ditangan Ify, "Kalau dibantu kan bisa lebih cepat kelar," Shilla melepaskan doubletipe yang merekat pada bagian belakang pamflet, lantas menempelkannya pada mading di belakang mereka.

***

"Halo Mrs. Mario." Feldy menepuk pundak Shilla. Pemuda itu menyeringai lebar saat Shilla menoleh, "Dicari Rio tu, kangen katanya." pemuda dengan gaya slengekan itu, bicara sambil menggerak-gerakkan tangan dan kakinya mengikuti irama musik yang mengalun lewat aerphone yang terjuntai dari sebelah telinganya.

Shilla menyikut lengan Feldy, "Apaan sih ?" balasnya malu-malu.

"Cie tersipu-sipu cie." goda Feldy yang sukses menambah rona merah dipipi Shilla, "Udah buruan sono !! Masih disini aja lo."

"Ya udah, kalau gitu, aku titip ini ya, kasih sama Ify, bilangin maaf aku nggak bisa bantu sampai selesai." pesan Shilla sambil mengangsurkan lembaran pamflet yang tinggal beberapa.

Feldy tidak menjawab, hanya mengacungkan ibu jarinya.

Shilla tersenyum, "Sip. Makasih ya. Aku duluan, Fel." pamit Shilla.

"Ok. Bye Shilla."

Keduanya lalu terpisah. Feldy yang sudah menenteng ranselnya, pasti akan segera pulang sedangkan Shilla meninggalkan area lapangan futsal yang berada in door, menuju Aula yang saat ini untuk sementara digunakan klub badminton berlatih, karena lapangan badminton sedang direnovasi. Shilla berbelok diujung koridor yang menikung, disana ia berpapasan dengan Gabriel yang tersenyum kecut. Seperti biasa, ketua kelas XII MIPA 1 itu selalu terlihat kaku. Shilla tidak berani dan tidak berniat untuk menyapa, gadis itu mempercepat langkahnya karena perasaannya mulai tidak enak.

"Yo ?" panggilnya, setelah berdiri dihadapan orang yang menurut Feldy tadi sedang mencarinya.

"Eh, Shilla." Rio mengangkat wajahnya. Sudut bibir Rio terlihat lebam kebiruan.

"Ini kenapa ?" Shilla menyentuh lembut bagian wajah Rio yang seperti dihantam dengan keras oleh sesuatu.

"Auw," Rio memundurkan wajahnya, "Nggak Shil, nggak pa-pa kok."

"Gabriel ya ?"

"Hah ? Bu..bukan kok."

"Bohong ?"

Rio menghembuskan napas panjang, "Cuma salah paham kok. Tadi gue tanya apa Iel lihat HP gue, dia salah sangka dikiranya malah gue nuduh dia yang ambil." papar Rio. Ia mengelus rahangnya yang berdenyut nyeri. Tampaknya Gabriel menghadiahi Rio dua pukulan dengan segenap hasrat, "Eh, Shil. Lo lihat HP gue ?"

Shilla ikut duduk dilantai bersama Rio, gadis itu menggeleng, "Nggak lihat. Emang kenapa ? Hilang ?"

Rio mengangguk dua kali, "Iya hilang. Padahal tadi sebelum latihan gue taruh di tas, tapi sekarang nggak ada."

"Ketinggalan di kelas mungkin. Udah dicari ?"

"Udah di check sama Feldy tadi. Tapi nggak ada."

"Terus gimana ?"

"Ya udah, nggak gimana-gimana. Udah gue cari, kalau emang udahh ilang, mau diapain lagi ?" jawab Rio enteng.

Shilla lagi-lagi mengangguk, maklum. Sebuah handphone saja sih bukan perkara sulit buat Rio. Kalau mau, ia bisa saja gonta-ganti handphone setiap harinya. Yang membuat heran, justru kalau Rio mencarinya mati-matian, "Yo !! Emm..." Shilla memilin-milin rok abunya, sedikit ragu untuk melanjukan perkataannya, "Emm... Yo.."

"Kenapa ?"

"Aku... Mau... tanya aja sih, nggak pa-pa ya. Emm... Itu.. kenapa sih Yo, Alvin itu kok aneh banget ya kalau ke aku ? Dia nggak suka ya aku tinggal di Rumah Besar ?"

"Aneh gimana ?"

"Gimana ya, pokoknya gitu deh. Intinya sih, dia kayaknya kurang nyaman sama kehadiran aku. Sebenarnya dia kenapa sih ? Apa aku pernah salah ngomong ya sama Alvin ?"

"Kok lo tanya sama gue, ya tanya aja langsung ke Alvinnya."

"Ya kan siapa tahu Alvin pernah cerita sama kamu. Padahal kalau memang dia nggak suka sama aku karena suatu hal, aku mau kok berubah. Tapi Alvinnya nggak penah mau ngomong baik-baik sama aku. Jadi bingung." keluh Shilla. Ia menerawang, membayangkan wajah dingin Alvin yang akan berubah ratusan kali lebih dingin setiap berpapasan dengannya.

"Gue duluan."

Dua kata tadi memecah lamunan singkat Shilla. Saat tersadar, didapatinya Rio sudah berjalan sampai ambang pintu. Shilla terhenyak. Sejak kapan pemuda itu meninggalkannya. Kenapa Shilla sampai tidak sadar ?

"Rio !!" Shilla berlari menyusul pemuda jangkung dalam balutan kaos resmi klub badminton itu, yang terus menjauh.

Setelah berhasil menyusul dua langkah dibelakang Rio, Shilla menarik lengan kiri Pemuda itu, agar berhenti sebentar. Tanpa sengaja, karena jarak mereka yang sudah cukup dekat, saat tubuh Rio berbalik, bibir pemuda itu menyentuh tepat pipi kiri Shilla. Kecupan singkat mendarat disana. Dengan cepat, Rio mundur satu langkah kebelakang.

"So..sorry Shil. Gue... Gue nggak sengaja." Rio tergagap. Baru kali ini merasa sangat malu. Wajahnya seperti terbakar, desiran darahnya mengalir dengan cepat, "Aduh bego banget sih gue." Rio merutuk dalam hati. Menepuk bibirnya dengan telepak tangan.

Shilla melirik sekilas, kemudian menunduk lagi, menyembunyikan kedua pipinya yang merah padam. Susah payah ia mengatur debaran jantungnya, atau organ krusial itu akan rusak seketika karena berdenyut sangat cepat. Keduanya terdiam cukup lama.

"Maaf." Shilla dan Rio berujar secara bersamaan, terlihat sangat kikuk dan salah tingkah. Persis seperti bocah-bocah SD jaman sekarang yang baru mengenal cinta monyet.

"Tangan lo..." Rio melirik lengan kirinya yang masih dipegangi Shilla.

"Eh iya, maaf." tutur Shilla (lagi), dengan cepat ditarik tangannya dari lengan Rio.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Rio berbalik dan langsung pergi.

Shilla menuntaskan aksi tersipu-sipunya dan segera menyusul Rio yang sudah berjarak puluhan langkah didepannya, "Rio !! Tunggu dong. Kok ninggalin aku gitu sih ?" rajuk gadis itu.

"Tadi juga lo udah gue panggil-panggil, tapi kayaknya lo lagi asyik ya, mikirin Alvin." balas Rio santai, sambil meneguk botol air mineralnya, "Emang sih, cewek aneh aja yang nggak kepikiran Alvin. Cakep, pintar, keren, beda banget sama gue. Lo juga tadi pakai acara mau berubah-berubahan segala, manis bener." tanpa terasa, suara Rio terdengar sinis.

Shilla mengernyit heran. Kalau boleh berbangga diri, apa Rio sedang cemburu ??

Shilla berdiri didepan Rio, membuat pemuda itu terpaksa harus menghentikan langkahnya, "Siapa sih yang mikirin Alvin ? Gini ya Yo, aku kan cuma numpang di Rumah Besar, kalau memang ada sifat aku yang bikin penghuni lain nggak nyaman, udah seharusnya dong aku berubah. Itu bukan berlaku buat Alvin aja kok. Maaf deh kalau tadi aku nggak dengar, kamu jangan marah dong Yo." pinta Shilla.

"Ya udah nggak perlu di bahas." Rio melengos.

"Ck," Shilla berdecak, "Kamu marah deh. Kalau kamu nggak suka aku tanya-tanya soal Alvin, aku janji deh nggak akan tanya-tanya lagi."

"Kalau aku maunya kamu jauh-jauh dari Alvin gimana ?" Rio memasang ekspresi menantang.

Shilla balas menatap Rio tanpa berkedip, "Kalau kamu yang minta aku setuju aja. Lagian selama ini emang aku nggak dekat juga kan sama Alvin. Asal kamu jangan marah sama aku." kata Shilla tanpa ragu.

Rio mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk puncak kepala Shilla, "Maaf ya, gue juga nggak ngerti, kenapa tiba-tiba jadi kesal lo tanya-tanya tentang Alvin. Hehe. Gue nggak akan minta lo jauhin siapapun kok." Rio tersenyum lembut, lalu melingkarkan tangannya dipundak Shilla, "Pulang yuk. Ni sekolah jadi serem kalau udah sepi gini." Rio bergidik ngeri.

Keduanya lalu meninggalkan sekolah, sambil mengumbar tawa yang menggema disepanjang koridor antar kelas.

"Mungkin memang sebaiknya lo jauhin gue Shil." desis Alvin yang sejak tadi mencuri dengar pembicaraan Shilla dan Rio dari dalam ruang klub fotografi, tak jauh dari tempat Shilla dan Rio tadi bercakap-cakap.

Sedangkan dari sudut tempat yang lain, seseorang gadis bukan hanya mendengar, bahkan melihat kecupan singkat yang dilayangkan Rio pada pipi pualam Shilla. Awalnya, Ify ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan yang Shilla berikan. Tapi sepertinya, Ify harus double mengucapkan terima kasih. Karena adegan manis yang disuguhkan kepadanya, membuat Ify semakin yakin, bahwa cintanya memang hanya tumbuh untuk kemudian mati perlahan. Meskipun membuatnya muak, tapi tidak apa-apa. Tidak perlu dipusingkan. Anggap saja yang tadi itu, ia sedang menonton cuplikan dari drama korea yang sedang booming akhir-akhir ini. Begitu kurang lebih cara Ify, mensugesti dirinya sendiri untuk bisa move on.
Ify melihat lagi sekilas, tampak Rio sedang tersenyum seraya menepuk-nepuk puncak kepala Shilla. Ify memiringkan kepalanya, tanpa sadar ikut tersenyum. Setelah puas megoleksi pesakitan yang akan menambah endapan nyeri dalam hatinya, Ify memutuskan berbalik. Mencoba mengayunkan kakinya yang seperti digelayuti beban ribuan kilo, berat sekali. Ia sengaja tidak memilih pulang bersama Alvin, karena hari ini Ify ingin sekali menemui Bundanya dan bercerita banyak hal pada wanita yang mengandungnya selama 9 bulan itu.
Langit mulai berwarna orange. Burung-burung yang berterbangan untuk kembali ke sarang, tampak seperti garis-garis hitam yang bergerak kesana kemari. Matahari membulat sempurna, berwarna merah darah, dengan paduan semburat jingga. Ditemani semilir angin yang menyejukkan, Ify menapaki trotoar jalan menuju perumahan tempat Bundanya tinggal. Hari menjelang malam, tapi pedagang-pedagang kaki lima belum juga menutup 'lapak' mereka, bahkan mungkin semakin malam sepertinya para penjajak makanan akan semakin ramai memadati bahu jalan.
Ify tertawa kecil, keramaian seperti ini sangat ia sukai, karena membuatnya merasa tidak lagi kesepian.

Kring kriingg

Ify menepi, sepertinya ia menghalangi laju sebuah sepeda.
Kring kriingg

"Sendiri aja Non ?"

Ify memutar tubuhnya, "Gabriel ?"

"Hehe, baru pulang ya Fy ?" Gabriel menghentikan sepedanya. Menjejakkan satu kaki ke tanah. Ia sudah mengenakkan pakaian rumahan dengan kaos biru tua dan celana selutut berwarna hitam, ditambah topi yang dikenakan terbalik. Pemuda itu terlihat lebih santai dan keren, tidak kaku seperti saat berseragam sekolah. Gabriel memang senang sekali mengenakan topi yang bagian belakangnya menghadap kedepan, itu kebiasaannya sejak kecil.

"Iya Yel, ini juga untung dibantuin Shilla."

"Oh, kok pulangnya lewat sini Fy ? Jalan kaki pula."

"Hehe iya. Lagi nggak pingin naik mobil. Sekalian mau ke rumah Bunda, dulu."

"Ya udah, aku antar aja yuk. Searah kan ?"

Bunda Ify dan Gabriel memang tinggal dikomplek perumahan yang sama. Malahan mereka tetangga, rumahnya hanya berselang dua rumah lain.

"Emm... Nggak usah deh Yel. Tapi makasih atas tawarannya."

"Kenapa ? Nggak mau ya naik sepeda ?"

"Eh bukan. Bukan gitu kok. Cuma kan sepedanya nggak ada boncengannya, Yel."

"Ya, didepan dong Fy." sahut Gabriel gemas, dilepasnya satu tangan dari stang, "Ayo !!"

"Tapi..."

"Di jamin nggak akan jatuh kok. Udah ayo, tenang aja."

"Beneran ya ? Kalau sampai jatuh, awas lho." ancam Ify, mengangkat tinjunya ke depan wajah Gabriel.

Ify akhirnya setuju. Menuruti semua yang Gabriel instruksikan agar perjalanan mereka selamat sampai tujuan. Sejurus kemudian, Gabriel mulai mengayuh sepadanya. Kedua rodanya segera berputar, sepeda mulai bergerak teratur membelah udara.
Gabriel bersyukur sekali, hari ini akhirnya Tuhan mendengarkan doanya. Memberikan kesempatan padanya untuk merasakan sedekat ini dengan gadis pujaannya. Ia bisa mencium wangi rambut Ify, mendengar dengan jelas suara tawa Ify, mengamati dengan puas setiap lekuk wajah cantik Ify. Benar-benar hasil pahatan Tuhan yang tanpa cacat dan cela.
Jeritan kecil dari Ify saat sepeda oleng setelah melintasi polisi tidur, membuat Gabriel tertawa kecil. Atau cubitan pada punggung tangannya yang dilayangkan Ify setiap kali Gabriel menambah kecepatan sepedanya, membuat pemuda itu tiba-tiba saja bercita-cita ingin jadi seorang sutradara untuk kemudian menyisipkan adegan bersepeda seperti ini disetiap film buatannya.
Di belakang mereka, senja mulai luruh. Seiring cipratan keemasan di kaki angit yang turut memudar. Matahari sudah tenggelam sempurna.
Angin berdesau kian kencang, memuntahkan risalah yang dititipkan bumi pada manusia.
Katanya,
Anakku...
malam akan segera datang beserta kegelapan. Tapi tak perlu risau, karena Tuhan selalu menitipkan lentera kasih dan sayangnya pada bulan dan bintang hingga pagi menjelang.

***

Alvin menarik pegangan pintu besar di depannya. Kemudian menyeruak masuk, sambil bersiul-siul santai. Matanya memaku fokus pada foto-foto hasil jepretannya. Alvin ini memang maniak sekali dengan yang namanya fotografi, sejak usia 8 tahun, saat Ayahnya menghadiahi Alvin kamera pertamanya. Semenjak itu alvin serius menekuni dunia fotografi. Saat kamu memotret sesuatu, mungkin kamu mengabadikan satu hal yang tidak akan pernah terulang dua kali didunia ini. Begitu kata Ayah tercintanya, yang merupakan salah-satu fotografer handal.

"Darimana kamu ?"

Suara sinis Eyang putri, memaksa Alvin menghentikan langkahnya. Ia mengangkat wajah. Semua terlihat memicing mata, seperti menguliti Alvin dari ujung kaki sampai pangkal kepala dengan tatapan tajam.

"Ada apaan sih ?" batin Alvin bingung, "Habis hunting foto, Eyang." jawab Alvin takut-takut.

Diruang keluarga itu, terdapat Gladys yang memasang ekspresi kecewa, sedangkan Eyang Putri terlihat begitu marah, sementara Rio dan Shilla duduk sambil menundukkan kepala.

"Hunting foto ? Hunting foto-foto apa, HAH ? Foto-foto seperti ini ?" Eyang Putri melempar dua lembar foto, tepat di depan wajah Alvin, "Memalukan !!" umpatnya.

"Kamu tega sekali Alvin, kamu bikin Mama malu. Malu Alvin." Gladys berujar dengan suara bergetar.

Alvin terlongong.


***

Sabtu, 09 Juli 2011

Rahasia Orion Part 7

Rahasia Orion Part 7
"Inilah Aku"

***

"Ify..." suara berat seseorang menyerukan nama gadis yang tengah asik melamun di balkon kamar itu.

Ify menoleh.

Cakra Nugraha, Ayahanda Ify, berdiri kaku di dekat pintu. Pria berkacamata dengan frame hitam itu, tersenyum seadanya pada putri tunggalnya, "Kamu sudah menghubungi bundamu untuk acara lusa, Fy ?" suara berat laki-laki berusia sekitar 40 tahunan itu, memaksa Ify segera beranjak dari balkon kamarnya.

"Udah, Pa. Bunda bilang, nanti diusahakan buat datang."

"Bagus kalau begitu." sahut Cakra seraya melonggarkan dasi abu-abu yang mencekat lehernya, kemeja garis-garis pria itu terlihat kusut, beberapa bagian malah sudah keluar dari celana bahan berwarna hitam yang ia kenakan, "Ya sudah, lekas tidur sana. Tidak baik, malam-malam melamun di balkon seperti tadi." imbuhnya, singkat. Setelah bekerja seharian, Cakra tentu ingin segera membilas tubuhnya yang lengket oleh keringat dengan berendam di air hangat. Lantas, rebah diatas kasur empuknya dalam kamar dengan wangi aromatherapy, bunga Lavender.

Ify hanya mengangguk patuh. Mengamati Sang Papa yang mulai berjalan kearah pintu. Tapi sejurus kemudian, pria yang sejak 2 tahun lalu menjadi single parent untuk Ify itu, menghentikan langkahnya. Matanya berkilat ganjil, menitik pada satu objek.
Seketika Ify merasa tubuhnya di lolosi tulang-belulang, saat menyadari, apa yang menarik perhatian Sang Papa. Secarik kertas dengan angka 50 yang ditulis besar-besar dengan spidol merah, disisi kanannya. Kertas itu adalah hasil ulangan biologi yang baru dibagikan tadi pagi, dan celakanya Ify belum sempat menyembunyikan kertas sial itu. Seakan itu saja belum cukup, keadaan diperparah dengan dua 'buku' kumpulan cerpen-cerpen buatan Ify, yang terletak tak jauh dari kertas ulangan tersebut. Gadis yang gemar menulis itu memang terbiasa mencetak hasil-hasil tulisannya untuk kemudian dijilid rapi dan dibukukan. Paling tidak, walaupun Ify tidak akan pernah punya kesempatan untuk menerbitkan cerita-cerita karangannya, ia sudah cukup bangga memiliki dokumen pribadi yang memuat karya-karyanya itu.

Cakkra menyipitkan mata. Selembar kertas bergetar dalam genggaman tangannya, "Materi peredaran darah." ujarnya dingin. Senyum mencela tersungging nyata pada seraut wajah letih laki-laki itu, "Mana ada dokter yang nilai biologinya 50. Salah-salah semua pasien akan mati, kalau ditangani dokter bodoh sepertimu." lanjutnya, sinis.

Ify mengangkat wajahnya, menatap nanar pada Cakra yang bergeming dekat meja belajar. Kata-kata Papanya tadi, bak mata pisau yang tanpa ampun, menghujam tepat di ulu hatinya. Seandainya sanggup, ingin sekali Ify berteriak, menyanggah ucapan Papanya barusan. Apa masih kurang belasan tahun waktunya yang dikorbankan untuk menuruti semua permintaan orang tuanya, terutama Sang Papa ? Apa semua itu masih belum cukup, hingga pria yang begitu Ify hormati, tega memakinya seperti itu, "Kok Papa ngomong kayak gitu ?" lirih Ify.

"Lho, memang apa yang salah dari omongan Papa. Benar kan ? Hanya orang bodoh yang mau membuang-buang waktunya untuk menulis SAMPAH-SAMPAH INI." suara Cakra meninggi, ia mengacungkan dua 'buku' berjilid biru muda, yang keduanya kalau digabungkan memuat sekitar 30 judul cerita di dalamnya.

Ify mencelos. Digigitnya bibir bagian dalam untuk menahan tangis, "Pa, Ify minta maaf."

"Kamu ya Fy, susah sekali dinasehati. Sudah berapa kali Papa bilang, menulis cerita-cerita seperti tidak ada gunanya. Apa sih yang kamu peroleh, heuh ?" Cakra, tampak sangat marah kali ini.

"Pa, apa Papa nggak sayang sama Ify ? Kenapa Papa-"

"Justru karena Papa sangat menyayangimu." potong Cakra sedikit geram, tubuhnya yang digelayuti penat dan sudah melolong minta diistirahatkan, membuat pria itu lebih sulit mengontrol emosi daripada biasanya, "Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Apalagi kamu putri Papa satu-satunya, Fy. Dan karena itu pula, Papa tidak ingin kamu salah memilih jalan untuk masa depanmu, Papa tidak mau kamu menyesal, nanti. Menulis itu hanya buang-buang waktu, kamu hanya akan jadi manusia tertutup yang tidak pernah berani, tidak percaya diri untuk mengungkapkan pemikiran, pendapat dan perasaanmu. Kamu akan lebih nyaman menuangkan segalanya dalam bentuk tulisan. Dan yang seperti ini, akan sangat menghambat kemajuanmu."

"Papa berlebihan. Ify suka menulis dan-"

"Dan kamu bersedia jadi tukang khayal, begitu ?" lagi-lagi Cakra menyela kalimat yang belum rampung Ify ucapkan, "Lihat bundamu ! Dia habiskan waktunya untuk menulis. Tapi apa yang didapatnya ? Rumah kontrakan dan motor butut. Kamu mau seperti itu ? Kamu itu jadi anak harus nurut sama Papa, Fy. Toh Papa juga menginginkan yang terbaik buat kamu. "

"Iya Pa. Ify akan tetap jadi dokter seperti yang Papa mau. Ify janji itu nilai 50 yang pertama dan terakhir buat Ify." Ify mengangguk, pasrah. Tidak ada gunanya berdebat lebih jauh dengan Papanya.

"Bagus kalau begitu. Mulai sekarang, berhenti melakukan hal bodoh, seperti menulis sampah-sampah seperti-"

"PA !" Sela Ify dengan nada tinggi, "Berhenti bilang bodoh dan sampah didepan Ify, Pa. Ify anak Papa. Bukan pengemis yang pantas Papa caci-maki." Ify benar-benar tidak habis fikir, kenapa Papanya masih saja menjudge dirinya dan dunia yang ia sukai, dengan kata-kata sekasar itu, padahal Ify kira perdebatan itu sudah usai. Air mata gadis manis itu meleleh, "Ini kehidupan Ify, Pa. Bukan hidup Papa. Jadi dokter itu mimpi Papa kan ? Sama sekali bukan cita-cita Ify. Mimpi yang terpaksa kandas karena Opa dan Oma paksa Papa jadi pemimpin perusahaan keluarga. Papa tahu rasanya di paksa, Papa tau sedihnya nggak punya kesempatan mewujudkan mimpi kita, terus.. terus kenapa Papa ulangi semua ini sama Ify, Pa ? Kenapa ? Ify nggak mau, Ify nggak suka jadi dokter." tegas Ify dengan suara bergetar hebat. Ify tidak tahu, darimana ia memperoleh keberanian untuk bicara seperti itu di depan Papanya. Ia bahkan mengatakan semua itu sambil memejamkan mata, tadi.

"Oh, sudah berani membantah Papa rupanya. Siapa yang mengajarimu, Bundamu ? Kamu betul-betul keras kepala, harus diberi pelajaran. Sini ikut Papa !" Cakra menarik pergelangan tangan putrinya dengan kasar. Diseretnya Ify keluar kamar.

"Papa, lepas Pa. Sakit." Ify maronta, berusaha melepas pergelangan tangannya dari cengkraman kuat lengan kokoh Sang Papa. Gadis itu meringis kesakitan.

Cakra mengabaikan Ify yang tertatih mengimbangi langkah-langkah panjang kedua kakinya. Pria itu menyeret Ify sampai halaman depan, "Mang Suhe, bakar kertas-kertas ini." perintah Cakra, pada laki-laki paruh baya, tukang kebun rumah Ify.

"Pa, jangan Pa. Ify mohon. Jangan. Ify janji nggak akan nulis lagi."

"Cepat bakar, Mang !"

"Tapi Tuan..."

"Cepat bakar, atau kamu saya pecat." ancam Cakra.

"Pa, jangan..." pinta Ify, memelas. Ify bersimpuh, lengan kirinya yang masih bebas bergerak, memeluk kaki Cakra. Tapi pria itu tetap membesi, tak peduli.

Dalam sekejap, api mengepul. Dua 'buku' Ify tadi di lempar dengar kasar kedalam kobaran nyala kemerahan, Ify menangis tersedu. Si jago merah dengan senang hati, langsung melumatnya, dengan cepat menggosongkan beberapa bagian.

"Jangan pernah melawan Papa lagi, atau kamu akan mendapatkan yang lebih buruk dari ini." Cakra memperingatkan Ify, lalu beranjak pergi. Meninggalkan putri semata wayangnya yang terduduk lemas dengan wajah dibanjiri air mata.

Ada elegi dan symphony yang telah susah payah Ify tuangkan dalam rangkaian kata. Tapi kini, api telah menjadikannya abu. Entahlah, Ify hanya bisa duduk memeluk lutut, membiarkan gada-gada raksasa milik bima menggodam hatinya. Meninggalkan denyutan menyakitkan yang akan coba untuk Ify abaikan.

***

"Rio, buruan dong!" Shilla mendorong tubuh jangkung Rio, sambil terus berkoar agar pemuda itu mempercepat rutinitas pagi harinya.

"Sebentar dong, Shil. Ini kan baru jam 6, lo mau bersih-bersih sekolah dulu? Lihat ni, dasi gue aja masih berantakan." seloroh Rio sembari terus mencoba membentuk simpul yang apik pada dasinya, "Lagian ya, gue bangun jam 5 pagi aja harusnya udah dapat nobel, tau nggak ?" rancau Rio.

"Nggak tau." balas Shilla tak acuh.

Rambut tebal pemuda itu, yang belum sempat tersentuh sisir, diacaknya dengan tangan kanan secara asal. Dengan gerakan cepat, Rio berjalan kearah sedan biru tuanya, membukakan pintu untuk Shilla. Pemuda tampan itu sedikit membungkuk dengan tangan kiri terlipat di belakang punggung. Sikap sempurna untuk seorang supir yang hendak mengantarkan seorang putri cantik berpergian, "Silakan ?" katanya, santun.

Shilla terkekeh, " Terima kasih."

"Yeah, thanks are nice but kiss is better." Rio memajukan wajahnya, sambil menutup mata.

"You wish." desis Shilla.

Tapi sebelum masuk ke dalam mobil mewah berplat B itu, Shilla menjulurkan tangannya. Membenahi poni rambut Rio yang kelewat panjang menutupi alis mata pemuda itu. Jemarinya menyisir lembut, rambut hitam Rio.
Tiba-tiba Rio membuka matanya, dua manik mata mereka beradu untuk sesaat. Dalam satuan detik yang kelewat singkat itu, paling tidak keduanya sama-sama merasakan ada deburan halus yang mengetuk perlahan hati masing-masing dari mereka. Layaknya ombak lautan yang membelai lembut serpihan pasir-pasir di pantai. Meski merasa canggung dan malu-malu, tapi Rio ataupun Shilla sepertinya enggan membuang pandangan kearah lain, sampai akhirnya deheman usil beberapa begawai yang lalu lalang, membuat mereka harus rela menyudahi adegan klise tadi.

"Ekhm, Pagi Mas Rio. " goda seorang pelayan muda yang berjalan menuju pintu samping sambil menenteng belanjaan.

Dengan kikuk, setelah Shilla duduk manis dalam mobilnya, Rio menutup pintu, kemudian duduk dibalik kemudinya.

Sejurus kemudian, mobil yang merupakan hadiah dari Eyang Putri untuk cucu kesayangannya itu, mulai merangkak teratur, menggilan jalanan beraspal Ibu Kota. Lalu lintas kota Jakarta masih cukug lengang, mengingat waktu baru beranjak 5 menit dari pukul 6 pagi. Shilla memang ngotot mengajak Rio untuk berangkat ke sekolah lebih awal, karena mereka akan terlebih dulu mampir ke taman kota. Shilla ingin mencicipi nasi uduk yang dijual di pinggir-pinggir jalan sepanjang taman kota.

"Eh, iya Shil, gue mau tanya ?" ujar Rio, setelah beberapa menit terlewati dalam diam. Sedikit terasa aneh, karena sebelumnya Rio dan Shilla tidak pernah sekaku ini meskipun duduk hanya berdua selama berjam-jam, selalu saja ada yang bisa di bicarakan dari hal-hal krusial tentang mereka pribadi sampai topik-topik tidak penting seperti menu makan malam atau jadwal arisan Eyang Putri. Mungkin kali ini, efek dari tatap-tatapan singkat tadi masih bekerja.

"Tanya apa ?"

"Emm..." Rio mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada stir, dengan ekor matanya, Rio melirik Shilla yang terlihat asik mengamati jalanan yang masih sepi dari balik kaca jendela, "Yang semalam itu... Maksudnya apa ?"

"Semalam ? Yang mana ?"

"Aduh... Yang 'aku minta kamu' itu lho. Maksudnya apa ?"

"Oh, itu..." Shilla tersenyum simpul, gadis itu mulai duduk menyamping menghadap Rio, "Emm, dari pertama aku tinggal di Jakarta, aku selalu minta sama Tuhan supaya turunin seseorang yang bisa bikin aku betah tinggal di kota ini. Siapapun orangnya. Dan semalam aku fikir, mungkin yang selama ini aku minta itu, kamu. Kalau bukan karena kamu yang selalu baik sama aku, aku pasti udah pulang ke kampung dari kemarin-kemarin." papar Shilla.

Setelah kalimat panjang yang dituturkan Shilla, tidak ada lagi suara yang terdengar dari dalam mobil yang terus melaju. Hanya samar-samar terdengar Rio yang bersenandung kecil, melantunkan sebuah lagu featuring antara grup band Ungu dengan Andien, dengan judul Saat Bahagia.
Pagi ini, entah karena pengaruh Mataharinya yang bersinar terang atau karena udaranya yang masih segar, wajah tampan Rio terlihat lebih cerah dari biasanya. Sorot matanya tampak begitu hidup.

"Lagi senang ya ?" Shilla memiringkan kepalanya, menyangganya dengan tangan kiri, lantas mengamati Rio dengan tatapan menyelidik, "Atau... Lagi jatuh cinta ?" tebaknya, asal.

Rio mengendikkan bahu, "Maybe..."

"Cie Rio..." Shilla berusaha terlihat wajar dan biasa saja mendengar pernyataan Rio barusan, "Ayooo sama siapa ? Aku kenal nggak sama cewek beruntung itu ? Aaaa... Aku tahu, sama Ify yaaa ? " Shilla menyikut lengan Rio, sembari memasang senyum jahil.

Rio mengerutkan keningnya, "Kok Ify sih ? Bukan dong."

"Lha, terus siapa dong ? Aku liat cewek yang dekat sama kamu cuma Ify deh."

"Emangnya lo bukan cewek ?"

"Ha ?" Shilla membulatkan mulutnya.

"Hahaha. Pokoknya ada deh Shil, tapi bukan Ify."

"Kenapa bukan Ify aja, dia baik kan ?" pancing Shilla. Ia hanya ingin tahu bagaimana perasaan Rio terhadap kawan semejanya itu, karena selama ini yang Shilla lihat, keduanya sangat dekat dan (harus Shilla akui) mereka serasi.

"Ya, emang sih dulu gue sempat berfikir kalau gue suka sama Ify. Dia cewek yang nyaris sempurna, tapi... Gue pernah lihat Alvin meluk Ify dan ya…mereka cocok kok." cerita Rio, dengan pandangan lurus kearah jalan, berusaha tetap fokus mengendalikan mobilnya.

"So ? Mereka pelukan juga belum tentu ada apa-apa kan ?"

"Iya sih, tapi kalau menurut gue, emang seharusnya kayak gitu. Ify sama Alvin. Tipe ceweknya Alvin tu yang mandiri, yang bisa ngelakuin banyak hal sendiri, yang nggak manja dan selalu ngandalin orang lain, cerdas, tegas, Ify banget kan ? Lagi pula, gue sama Ify memang lebih pas jadi sahabat aja."

"Kalau kamu ?"

"Gue ? Apanya ?"

"Tipe cewek kamu yang kayak gimana ?"

Rio tersenyum penuh arti, "Emm yang gimana ya ??" Rio mengetuk-ngetukkan telunjuk pada dagunya, tampak berfikir serius untuk sekedar menjawab pertanyaan Shilla, "Mungkin yang rambutnya panjang, jago masak, perhatian, lembut, polos, ya... Kayak lo gitu juga nggak pa-pa sih." Jawabnya, sambil melirik nakal pada Shilla.

"Hah ? Aku ?" Shilla mengarahkan telunjuknya ke depan wajah.

"Hehehe, udah ah, buruan sana. Udah sampai tu, lo sendiri aja ya yang beli, gue tunggu di mobil." perintah Rio.

Tidak terasa, mobil Rio sudah menghentikan lajunya tepat di depan sebuah taman kota. Seperti tempat-tempat yang lain, taman ini juga masih cukup sepi. Hanya terlihat segelintir orang yang sedang jogging dan gerobak pedagang bubur ayam yang di kerumuni ibu-ibu berdaster dengan roll rambut yang masing menyembul dari beberapa kepala.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan Ibu pedagang nasi uduk yang ia incar, setelah melakukan transaksi jual beli yang cukup singkat, Shilla sudah akan kembali ke mobil Rio dengan menentrng dua bungkus nasi uduk masih hangat yang baunya menguar kemana-mana menggugah selera.

Gadis yang kali ini mengenakan jepitan mungil beraksen kumbang warna merah untuk menghiasi rambut panjangnya itu berjalan ringan sambil bersenandung, ketika kemudian di melihat seorang gadis yang duduk membelakanginya di salah satu bangku taman.

Shilla berjalan perlahan, memberanikan diri untuk menghampiri gadis yang sepertinya dikenalnya itu, "Fy..." sapanya, lirih.

Ify yang duduk di salah satu bangku usang di taman itu dengan kedua tangan menutupi wajah dan pundak bergetar, tergagap mendengar suara lembut Shilla yang memanggilnya. Dengan satu gerakan cepat, di sapunya seluruh air mata yang menggenangi Pipinya dengan punggung tangan, "Shilla. Kamu... Kok kamu ada disini ?"

"Harusnya aku yang tanya kayak gitu, kamu ngapain disini ? Nggak ke sokalah ?"

"Aku... Aku.."

"Kamu habis nangis ya ? Kenapa ?" Shilla ikut duduk di sebelah Ify, mengusap-ngusap pundak Ify dengan lembut.

"Nggak kok, Shil. Tadi cuma kelilipan." kilah Ify.

"Ayolah Ify, kamu kenapa ? Kita kan sahabat, cerita aja, aku mau dengerin kok."

"Sa-Sahabat ?"

Shilla mengangguk mantap, "Iya, kita sahabat kan ?"

Ify tergugu. Gadis ini, apa benar menganggap Ify sebagai sahabatnya ? Seingat Ify, Shilla adalah gadis pertama yang berkata demikian. Yang menganggapnya sahabat, meski Ify sama sekali belum pernah membantunya. Bahkan sejauh ini, Ify masih belum bisa bersikap lebih baik pada Shilla. Padahal, teman-temannya yang lain, baru akan bilang "Lo kan sahabat gue, Fy." hanya kalau mereka membutuhkan bantuan, menyelesaikan tugas kelompok atau menyalin pekerjaan rumah.
Ify menitikkan air mata sambil tertawa kecil, gadis itu memeluk Shilla dengan erat, "Kita sahabat, Shil." dari balik punggung Shilla, Ify menangis sepuasnya. Menceritakan segala hal yang memang sudah sejak lama ingin ia bagi. Menumpahkan seluruh keluh-kesah dan beban yang selama ini di simpannya seorang diri. Ify mungkin memang memiliki Alvin dan Rio yang akan selalu mau mendengarkan ceritanya, tapi tentu tidak senyaman kalau berbagi cerita dengan sesama kaum hawa.
"Udah ya Fy. Cup-cup-cup. Kamu udahan dong nangisnya, nanti aku malah ikutan nangis jadinya." Shilla mengibas-ngibaskan tangan di depan mata beningnya yang mulai berkaca-kaca, "Udah ya, Rio atau Alvin mungkin simpan salinan beberapa cerpen kamu, nanti kamu minta dan print ulang aja. Sabar ya..." hibur Shilla, seraya mengelus-ngelus punggung Ify.
Ify melepas pelukannya, mata bulat gadis itu tampak sembab. Pipinya basah oleh air mata, dengan anak-anak rambut yang ikut menempel disana, "Nggak usah Shil. Mungkin aku mau nyerah aja. Aku bakal berhenti nulis seperti apa yang Papa mau." tutur gadis itu terdengar lemah dan rapuh. Shilla benar-benar iba, melihatnya. Andai bisa, apapun akan Shilla berikan agar Ify bersemangat lagi, seperti biasanya, "Kenapa ya Shil. Inilah aku, aku yang selalu berusaha jadi yang terbaik bagi orang tua aku meskipun itu harus ngorbanin diri aku sendiri, tapi kenapa ya Papa nggak ngerti aku sedikit aja.”

"Kebahagiaan itu ibarat cahaya fy dan kamu nggak perlu jadi lilin kok." Shilla memandang kearah langit yang masih menyisakan warna keemasan di ufuk timur, "Lebaynya gini Fy, kamu nggak perlu kok membakar diri kamu sendiri kayak lilin supaya bisa kasih cahaya ke orang lain. Kamu nggak perlu mengorbankan banyak hal, mulai dari waktu, masa remaja, mimpi, bahkan kehidupan kamu demi sahabat, pacar, keluarga termasuk Papa kamu. Masih banyak cara buat bikin orang-orang yang kamu sayang bahagia dan bangga sama kamu, tanpa harus menyakiti diri kamu sendiri. Yang paling penting kamu nggak boleh nyerah." Shilla mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, "Harapan kamu nggak boleh mati, kalau jadi penulis itu adalah takdir kamu, Tuhan pasti akan kasih jalan. Kamu jangan nyerah gitu aja," Imbuh Shilla, penuh keyakinan.

Ify beranjak dari duduknya, membenahi rok kotak-kotaknya yang sedikit kusut, "Yuk !!" serunya dengan nada ceria.

"Kemana ?" tanya Shilla, polos.

"Ke sekolah dong, Shil. 15 menit lagi masuk, kamu nggak mau telat kan ? Pelajaran pertama Bu Rizki lho."

Shilla mendesah lega, mendapati senyum manis yang kembali terpeta pada paras ayu Ify. Gadis tirus itu pasti sudah merasa lebih baik, sekarang.

***

Bu rizki masih sangat asik menulis rentetan rumus dan angka-angka pada kedua whiteboard di depan kelas. Tulisan tegak sambung khas orang tempo dulu, bukan hanya membuat malas siswa-siswinya untuk mencatat, bahkan melihatnya saja sudah membuat mata berkunang-kunang. Butuh iman dan dedikasi yang kuat untuk bisa meresapi, dan kemudian menyalin tulisan-tulisan semrawut milik Bu Rizki ke dalam buku tulis masing-masing. Seperti belum cukup menyiksa, guru bertubuh besar itu juga menjelaskan setiap materi mata pelajarannya dengan sangat membosankan dan berbelit-belit. Membuat setiap siswa yang menyukai pelajaran fisika, dianggap abnormal oleh teman-temannya. Mengingat bagaimana cara mengajar guru mata pelajaran tersebut yang sangat jauh untuk bisa di bilang mengasyikan, menyerempet sedikitpun tidak sama sekali.
Pagi ini, kelas XII MIPA 1 yang ketiban sial, harus menghadapi guru killer pecinta kebersihan itu, di jam pertama. Sudah lebih dari 1 jam, Bu Rizki mengajar di kelas, dan seperti biasanya suasana kelas hening dan tenang. Tapi bukan karena murid-muridnya yang memperhatikan, lebih karena sebagian besar dari mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang SMSan, baca novel di kolong meja, berpetualang di dunia maya, curhat di halaman belakang buku tulis, bahkan anak-anak yang duduk di barisan paling belakang sudah terlelap dengan wajah di halangi buku paket fisika masing-masing. Hanya sedikit dari mereka yang masih setia mendengarkan Bu Rizki yang sedang mengulas materi kalor. Pun dengan Rio, pemuda tampan itu, asyik memainkan handphonenya. Rio hampir saja juga ikut memejamkan mata, sebelum terdengar bunyi gebrakan meja yang membuatnya terlonjak kaget.

BRAK

"Gabriel !! Bangun kamu !" raung Bu Rizki dengan suara keras, kayu yang biasa digunakannya menunjuk tulisan-tulisan di papan tulis, di hentakan ke meja, "Sudah merasa pintar, heuh ? Berani-beraninya kamu tidur saat saya mengajar. Ke depan dan kerjakan contoh soal nomer 3." perintahnya, galak.

Walaupun bukan cuma Gabriel yang tertidur saat pelajaran fisika, tapi jelas pemuda itu yang paling kentara karena duduk di barisan depan, "Tumben, " Rio mengernyitkan dahi, melihat siapa yang kali ini jadi korban amukan Bu Rizki. Bu Rizki termasuk guru yang terkenal cukup galak, beliau tidak pernah segan mencantumkan nilai 40 pada rapor siswa-siswi yang bermasalah dengannya.

"Kenapa kamu diam saja ? Tidak bisa ?" sentak Bu Rizki pada Gabriel yang masih mematung di depan papan tulis. Mungkin nyawa pemuda itu belum benar-benar berkumpul sepenuhnya, "Soal seperti ini saja kamu tidak bisa, tapi berani-beraninya tidur saat saya menjelaskan. Mau jadi apa kamu ? Orang malas tidak akan punya masa depan. " cemooh guru 'bermulut pedas' itu.

Belakangan tersiar kabar, bahwa Bu Rizki memang sedang ada masalah dengan keluarganya, mungkin itu juga yang membuat beliau lebih mudah terselut emosi akhir-akhir ini. Tapi sebagai guru yang sudah senior, alasan itu tidak bisa dijadikan pemakluman seharusnya masalah keluarga tidak dibawa-bawa dalam pekerjaan kan.

Karena alasan itu pula Rio mengeluarkan celetukan isengnya, "Bu, kami membayar mahal bukan untuk melihat adegan tidak mendidik seperti ini,” selorohnya sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

"Kamu mengajari saya ?" Bu Rizki melotot tidak terima.

"Tidak Bu, mengajar kan tugas Ibu. " jawab Rio, cuek.

"Maju kamu !" Bu Rizki menggerakan dagunya, mengisyaratkan agar Rio cepat maju, "Gantikan Gabriel, kerjakan soal nomer 3! " intruksi guru yang mengajar mata pelajaran Fisika untuk siswa kelas XII itu.

Rio maju. Diraihnya spidol hitam dari tangan Gabriel, dalam waktu kurang dari lima menit, soal yang diberikan kepadanya, sudah selesai Rio kerjakan. Sebetulnya, Rio bukan termasuk siswa yang pandai. Nilai ulangannya di bidang eksakta tidak pernah jauh dari tangga nada, do-re-mi-fa-sol. Kebetulan saja, semalam Shilla baru mengajarinya soal yang sama persis dengan yang diberikan Bu Rizki, hanya berbeda di angka-angkanya saja.

"Saya bisa belajar menyelesaikan soal seperti ini dalam waktu kurang dari 2 jam. Tapi untuk mulai belajar menghargai orang lain, umur Ibu sepertinya sudah terlalu sepuh." sindir Rio, telak, "Gabriel dibesarkan orang tuanya, bukan untuk Ibu kecilkan di depan kami semua." Imbuhnya, kalem.

"Jangan lancang kamu. Saya ini guru kamu dan saya bisa saja memberikan kamu hukuman. Satu lagi, saya punya hak penuh atas nilai fisika kamu di rapor. "

"Oh, silakan kalau ibu mau menghukum saya, tapi itu artinya Ibu sudah siap kehilangan pekerjaan."

Bu Rizki tersenyum ganjil, "Bagus. Bagus sekali. Kamu mau menggunakan kekuasaan orang tuamu atas sekolah ini, begitu Rio ?"

"Ibu menggunakan otoritas Ibu sebagai guru untuk memberikan hukuman pada saya, padahal belum tentu apa yang saya katakan tadi salah. Jadi apa salahnya kalau saya mencontoh Ibu ? Menggunakan otoritas orang tua saya untuk memecat Ibu."

Kelas benar-benar hening. Padahal seluruh penghuninya dalam keadaan terjaga. Tidak ada yang berani bersuara, bahkan bernapas pun sepertinya dilakukan sepelan mungkin. Siswa-siswi dalam kelas ini, duduk dengan tegang sambil merapal doa, agar tidak ada sesuatu yang buruk menimpa kedua teman mereka, Rio dan Gabriel. Rio dianggap kelewat berani atau bodoh, entahlah.

"Baru masuk kok udah cari masalah aja sih, Yo." lirih Shilla, khawatir.

Sedangkan Bu Rizki tampak marah sekali. Wajahnya merah padam, tubuh gempalnya berdiri kaku. mata besarnya melotot kearah Rio. Sejurus kemudian, ia segera membenahi buku-buku dan alat tulisnya, "Mario-Kiara-Haling,” Bu Rizki mengeja nama itu satu persatu dengan tegas,” temui saya di kantor." ujarnya, lantas keluar dari ruangan kelas XII MIPA 1. Padahal bel tanda habisnya mata pelajaran Fisika baru akan berbunyi 20 menit ke depan.

"Gila lo, Yo. Cari mati. Bu Rizki, Bro. Lo berani apa bego sih ?" koar Feldy, yang langsung menghampiri Rio di depan kelas, setelah Bu Rizki tidak terlihat lagi.

"Hidup tu nggak asyik, Bro, kalau lempeng-lempeng aja." balas Rio, seraya menjotos pundak Feldy.

Seluruh kelas hanya menggelengkan kepala, mendengar jawaban Rio. Mereka kembali pada aktivitas masing-masing setelah adegan yang lebih menegangkan dari pertarungan Harry Potter VS Lord Voldemort tadi, usai.

Sedangkan Si Oknum yang di bela Rio tadi malah melengos keluar kelas.

"Sama-sama, Yel." teriak Rio, "Wah, manis banget ya cara lo berterima kasih." lanjutnya, saat Gabriel sampai di ambang pintu kelas.

Gabriel sama sekali tidak berkomentar, hanya menghentikan langkahnya sejenak, lantas kembali berjalan tanpa dosa, meninggalkan kelasnya.

***
Rio membawa tiga gelas karton berisi orange jus, menyodorkan dua diantaranya pada Shilla dan Ify. Dua gadis itu baru saja membantu Rio secara sembunyi-sembunyi untuk membersihkan semua toilet di lantai dasar sekolah mereka. Selama hampir tiga tahun Rio bersekolah di Veronna High School, belum pernah ada guru yang berani menghukumnya seberat ini. Rio diminta membersihkan seluruh toilet di lantai dasar sekolahnya tanpa bantuan dari siapapun sebagai hukuman dari bu Rizki. Sebelumnya, telinga Rio rasanya sudah sangat panas karena diceramahi habis-habisan oleh bu Rizki tentang sopan santun, etika dan lain sebagainya.

“Thanks ya,” ujar Rio pada Ify dan Shilla yang sedang meneguk minumannya.

“Fy,” Shilla mencoleh lengan kanan Ify, “Lusa, ikut aku sama Rio yuk ke PRJ.”

“Kalian mau jalan-jalan? Emang gapapa kalo gue ikut?” Ify melirik Shilla dan Rio bergantian.

“Ya nggaklah kenapa juga ngeganggu, iya kan yo?”

Rio mengangguk samar, “Iya ikut aja fy kalo lo mau,” jawabnya.

Setelah menandaskan isi gelas karton miliknya, pemuda jangkung itu berdiri, "Pulang yuk Shil, udah sore, " ajaknya, "Fy, lo mau bareng gue, apa sama Alvin ? Dia masih di Ruang OSIS kayaknya.”

"Gue bareng kalian aja, nggak pa-pa kan ?"

"Ok. Yuk, balik kalau gitu. " Rio berjalan lebih dulu. Tapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Ternyata, hujan berniat menghadang kepulangan mereka. Rio sudah akan melepas blazernya untuk dijadikan payung, karena jarak dari kantin menuju parkiran cukup jauh, tapi kemudian Ify menyodorkan sesuatu, "Gue bawa payung kok, ni pakai ! "

"Bagus. Kalau gitu, gue pinjam dulu ya buat anterin Shilla ke mobil, nanti gue balik lagi. "

Sebelum Ify sempat mengamini permintaan Rio, pemuda itu sudah meraih payung merah tua milik Ify, "Ayo Shil ? " Rio menggandeng Shilla. Membimbing gadis itu agar lebih dekat dengannya, mereka berlalu sambil sedikit berjingkat melewati lapangan futsal dan sepetak area yang ditanami tumbuhan apotek hidup.

Ify memperhatikan keduanya, sembari memaksakan seulas senyum.

"Nggak usah sok senyum-senyum, kalau hati lo nangis." suara yang tak kalah dingin dengan udara saat ini, terlantun dari mulut seorang pemuda sipit yang sekarang berdiri menyandarkan tubuh pada salah satu pilar bangunan, tak jauh dari tempat Ify berdiri.

Ify berusaha melebarkan senyumnya, "Lho, Memang kenapa hati gue mesti nangis ? " tanya Ify, sok tidak mengerti.

"Harusnya lo yang diantar Rio duluan. " komentar Alvin, singkat.

"Whatever. " Ify mengibaskan lengan kanannya, "Yang penting sekarang, lo berhenti liatin gue kayak gitu. Gue nggak suka. " tegas Ify.

Ia memang tidak suka dengan cara Alvin memandanginya. Alvin jadi terkesan seperti sedang mengejeknya, menganggap Ify bodoh dan lemah.

"Pangeran lo datang." Alvin menggerakkan dagunya kearah Rio yang berlari kecil, mendekati mereka.

"Fy, yuk !! Eh, Vin. Duluan Ya. " pamit Rio.

Alvin mengangguk, lalu mengacungkan ibu jarinya.

Rio dan Ify berjalan melewati rute yang sama, yang tadi dilewati Rio dengan Shilla. Ify melirik Rio, yang melingkarkan lengan kokohnya pada pundak Ify. Gadis itu, balas melingkarkan lengannya di pinggang Rio. Dalam hati Ify berdoa, supaya secara ajaib jarak dari selasar kantin menuju parkiran setara dengan jarak antara Manado dengan Jakarta.

***

Hari ini matahari benar-benar menuai banyak sumpah serapah dari penduduk bumi, karena ia lalai dalam menjalankan kewajibannya. Udara yang dingin, membuat matahari enggan beranjak dari peraduannya yang nyaman. Seharian hanya gulungan mendung yang terlihat memulas cakrawala. Gumulan awan kelabu itu memang sangat menyebalkan. Sebentar-sebentar menurunkan hujan lalu berhenti, kemudian hujan lagi, lalu berhenti. Lalu hujan lagi, terus berhenti, haaah, betul-betul cuaca yang tidak bersahabat. Membuat malas melakukan aktivitas, terutama yang dikerjakan di luar rumah.
Tapi sepertinya, pernyataan tadi tidak berlaku untuk Shilla. Dengan hanya mengenakan cardigan baby pinknya, Shilla betah berlama-lama duduk di tepi kolam ikan sambil memandangi secarik kertas putih ditangannya. Kertas berukuran A4 itu berisikan gambar sketsa wajah Shilla. Rio baru memberikannya, siang tadi.
Shilla meraba sekitar wajahnya, apa benar ia terlihat secantik itu dimata Rio. Karena jujur saja, gambar sketsa wajah itu tampak begitu sempurna. Sangat cantik.
Desingan angin musim pancaroba meliuk-liuk, di setiap sudut. Menguarkan dingin yang khas. Rambut panjang Shilla sepertinya jadi objek yang sangat menarik untuk di permainkan. Angin mengoyak anak-anak rambut gadis itu hingga melayang ringan kesana kemari. Shilla menumpukan dagu diatas lututnya yang ditekuk. Tangannya menelusuri selembar kertas, yang kelihatannya akan mampu menggeser posisi sapu tangan biru cerah, sebagai barang kesayangan Shilla.

"Hayoo !! " lengkingan suara Ify dan tepukkan keras pada pundaknya, membuat Shilla terperejat.

"Ih, Fy, ngagetin aja sih." gerutu Shilla.

"Hehehe. Lo ngapain disini, Shil ? Kan dingin tau. "

"Nggak ngapa-ngapain juga sih, habis di dalam bosen."

"Oh, " Ify manggut-manggut, "Eh, by the way Shil kapan-kapan boleh dong, gue diajarin masak?"

"Cie mau belajar masak ya ceritanya ? Boleh kok. "

"Ok. Kalau gitu hari minggu nanti, kita mulai belajar ya Shil, di rumah gue."

"Sip." Shilla mengacungkan kedua ibu jarinya tanda sepakat. Ify tersenyum senang.

"Ok deh. Thanks ya Shil, gue masuk dulu deh ya. Di tunggu Rio kayaknya." pamit Ify sambil mengacungkan makalah bersampul kecoklatan dengan tulisan, English Paper 'Kind of The Paragraph', terketik rapi pada cover makalahnya. Sepertinya itu 'pesanan' Rio.

Tanpa menunggu Shilla menyahuti perkataannya, Ify sudah lebih dulu melenggang pergi. Shilla mengendikkan bahu. Detik berikutnya, seperti tidak akan pernah ada bosannya, Shilla kembali menekuni kertas ditangannya.

"Lo ada apa sama Rio ?"

Shilla merutuk dalam hati. Merasa mengenali pemilik suara irit itu. Ia sungguh tidak mengerti, kenapa pemuda berkulit putih itu suka datang dan pergi begitu saja. Bicara pun asal ceplos. Tidak pernah basa-basi lebih dulu. Tidak sopan. Di mata Shilla atitude pemuda itu benar-benar bernilai merah.

"Lo suka sama Rio ? " tak kunjung mendapatkan jawaban, Alvin mengganti pertanyaannya.

Shilla membisu. Selain karena tidak suka urusan pribadinya dikorek-korek, gadis itu juga tidak tahu harus menjawab apa.

"Kok nggak di jawab ?"

Shilla memutar kedua bola matanya, tak acuh. Sedangkan Alvin, sambil menunggu gadis di sebelahnya buka suara, ia menyibukkan diri dengan mengulik handphonenya. Fokus pemuda itu kini tertuju sepenuhnya pada layar handphone yang menampilkan ikon amplop kuning yang bergerak-gerak, menandakan ada pesan singkat yang baru masuk. Alvin menekan tombol tengah pada keypad handphonenya.

From : Mario

Apa gue ska sm shilla y vin?

Alvin tertegun. Sejak dari perjalanan pulang setelah hunting foto bersama klub fotografi sekolahnya ke beberapa museum di Jakarta, ia dan Rio memang saling berkirim pesan singkat, karena Rio bilang ingin menceritakan sesuatu pada Alvin. ia mengulang membaca pesan yang di kirim Rio, berkali-kali. Tapi tetap tidak ada yang berubah dengan isi SMS itu.

Pemuda sipit itu segera menanggalkan ekspresi aneh yang terpeta pada wajah tampannya, begitu menyadari Shilla tengah menatapnya dengan heran. Dengan cepat, air wajah pemuda itu kembali datar, "Lo nggak bisu kan Shil ? " Alvin sepertinya masih berusaha mendesak Shilla untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya.

"Ck." Shilla berdecak kesal, "Memang apa sih peduli kamu heuh ? Kalau aku suka sama Rio kenapa ? Urusan kamu ? masalah buat kamu, iya ? " balas Shilla, super ketus.

"Kalau elo, betulan suka sama Rio, gue punya kabar baik buat lo." jawab Alvin, tanpa melihat Shilla, "Kabar baiknya, Rio juga suka sama lo." Alvin mengalihkan pandangannya dari sebatang pohon flamboyan di depannya. Ia menatap lekat-lekat kedua bola mata jernih milik Shilla.

Shilla menoleh dengan cepat. Bibir tipisnya ternganga, seperti ingin berseru "HAH ? " tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Mata bulat gadis itu melebar maksimal.

Jepret

Tiba-tiba, Alvin membidikkan lensa kameranya. Mengabadikan ekspresi tak percaya Shilla dalam jepretan LSR yang tergantung di lehernya.

"Eh ? " Shilla terkesiap, "Apaan sih ? Kok pakai foto-foto segala. " omelnya.

"Kenapa marah ? Wajah lo di lukis Rio, lo nyantai aja. Kenapa lo mesti marah kalau gue foto ? " jawab Alvin, menyebalkan.

"Hapus !! "

"Nyuruh gue ? Siapa lo ?"

"Kamu tu nyebelin banget sih, Vin. "

"Thanks."

Shilla menggelembungkan pipinya, meremas-remas rok abu-abu yang ia pakai dengan kuat, untuk mengalihkan hasratnya yang sangat ingin meninju dan meremas-remas wajah sok cool, pemuda menyebalkan di hadapannya.

"Sini gue mau lihat. " Alvin merebut secarik kertas dari tangan Shilla dengan cepat, "Oh jadi gambar beginian yang bikin lo senyum-senyum sendiri daritadi. Manipulatif. " komentar Alvin, skeptis.

"Nggak usah sok kasih komentar deh. Nggak penting."

Alvin tidak mempedulikan ucapan Shilla tadi, "Lo nggak secantik ini kali, dan yang paling kelihatan bohongnya, jelas-jelas di balik punggung lo nggak tumbuh sayap." lanjut Alvin.

"Udah sini balikin." Shilla menyambar gambar sketsa wajah miliknya dari Alvin, dengan cepat.

"Emang lo masih minat simpan gambar itu ? Mending juga hasil potretan gue kali, lebih real dan apa adanya."

Shilla tertawa mencibir, "Denger ya, Vin. Terserah deh, mau foto-foto kamu tu jutaan kali lebih bagus pun aku nggak peduli. Karena yang bikin berkesan itu bukan barangnya, tapi siapa yang ngasihnya. Buat aku, yang ngasih gambar ini jelas-jelas lebih berarti dibanding kamu. " tegas Shilla yang kemudian berlaku pergi seraya melirik Alvin dengan sinis.

Sementara Alvin, dalam beberapa detik ke depan masih larut dalam keterkesimaannya akan kata-kata Shilla barusan.

"...jelas-jelas lebih berarti di banding kamu."

Kali ini, Alvin memilih bernego dengan Tuhan. Bisakah ia dimasukkan ke dalam sarkofagus dan di lesakkan ke tanah, detik ini juga. Atau, bolehkan hatinya terbuat dari bongkahan batu, agar ia tidak bisa merasakan apapun, sekarang.

***

Ify menyesap sedikit demi sedikit hot chocolate yang mengisi gelas plastik dalam genggaman tangannya. Uap yang menguarkan aroma coklat masih mengepul diatas gelas plastik tadi. Sementara Rio hanya memainkan minumnya, sambil mengamati lautan umat yang hilir-mudik di hadapannya. Rio memang sudah lama tinggal di Jakarta, tapi jarang sekali ia mengunjungi Pekan Raya Jakarta, acara tahunan yang biasanya berlangsung menjelang hari ulang tahun kota yang pada masa Belanda dulu bernama Batavia ini. Jadilah  malam ini, ia sedikit norak melihat begitu banyaknya manusia di tempat ini.

Keduanya tengah menunggu Shilla yang beberapa waktu lalu pamit untuk membeli arum manis. Mereka memilih duduk-duduk pada kursi yang di sediakan salah satu lapak penjual minuman yang lebih sepi di banding lapak-lapak pedagang yang lain.
Ify melirik jam tangan kuning pucat yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Jarum pendek berhenti tepat di angka sepuluh sedangkan jarum panjangnya menyempil antara angka 11 dan 12. Tinggal beberapa menit sebelum tepat pukul 10 malam.

"Kenapa Fy ? Kemalaman ya ? Lo nanti pasti dimarahin Oom Cakra." seloroh Rio.

Rio, Shilla dan Ify terlalu menikmati jalan-jalan mereka malam ini, sampai-sampai lupa waktu.

"Nggak akan. Tadi kan gue udah izin perginya bareng lo."

"Om Cakra aneh ya ? Kayaknya percaya banget gitu sama gue. Padahal kadang otak gue kriminal juga. Bisa aja, gue culik anak gadisnya, terus gue jual. Duitnya buat beli kaset PS baru." cerocos Rio mirip sales sebuah produk yang membeberkan keunggulan produk dagangannya.

"Boleh aja. Tapi itu berarti lo udah siap nggak lulus, karena nggak ada lagi yang mau bantuin lo bikin tugas. " ujar Ify, kalem.

Keduanya lalu terdiam cukup lama. Seperti kehabisan topik untuk ditanyakan atau diceritakan.

"Fy... ? "

"Hm ? "

"Bintangnya indah ya ? "

Ify mendelik, gadis itu malah tertawa mendengar perkataan Rio, "Hahaha. Dangdut banget deh lo." cibirnya.

Rio merengut, "Kok dangdut sih ? Serius kali. Bintangnya malam ini cantik banget. Tapi... Lo jauh lebih cantik."

Ify tertawa semakin keras. Wajahnya memerah, menahan tawanya agar tidak semakin menjadi. Ify sampai harus membekap mulutnya sendiri dengan tangan, "Hahahaaduh, aduh udah deh Yo. Cukup ya. Please. Lo nggak bakat gombal. Lagian lihat tu keatas, lagi nggak ada bintang kali. "

"Ah, lo nggak asik deh, Fy. Ketawa mulu, gue lagi mau ngomong serius ni, " dumel Rio. Pemuda itu melempar-lempar kulit kacang diatas meja dengan asal, "Fy, gue mau jujur sama lo tentang perasaan gue. Tapi please ya, gue mohon lo jangan ketawa..."

Ify mengangguk setuju. Penasaran juga, apa yang kira-kira ingin Rio sampaikan pada Ify.

"Gue... Sebenarnya.. Gue suka sama lo, Fy. Udah sejak lama. Tapi gue baru berani bilang sama lo, sekarang. Gue tahu ini pengecut banget, maka dari itu gue nggak akan minta lo buat jadi cewek gue. Lo tahu perasaan gue aja itu udah lebih dari cukup. Tapi... Kalau seandainya lo mau kasih gue kesempatan buat jagain lo dan buktiin rasa... emm.. sayang gue, gue bakal berterima kasih banget, Fy."

Rio menatap lembut, coklat gelap kedua manik mata Ify. Lengan kokoh pemuda itu, menggenggam jemari gadis yang terpaku di hadapannya. Suara halus Rio terdengar begitu tulus dalam mengucapkan setiap kalimatnya tadi. Ia menyunggingkan senyum terbaiknya. Ify terdiam. Benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Merasakan tubuhnya seperti melayang, ditemani kawanan kupu-kupu bersayap merah jambu. Jantungnya berdegup tak beraturan. Wajahnya terasa panas membara.
Mungkin sebentar lagi ia akan meledak saking bahagianya. Haaah, setelah sekian lama waktu terlewati, akhirnya Tuhan berbaik hati mengakhiri segala penantiannya. Malam ini perasaan yang lama terpendam itu, menuai balasan. Ingin sekali, detik itu juga, Ify melompat dan memeluk Rio.

"I love you..." ujar Rio, sungguh-sungguh.

Ify menarik nafas, "Lov-."

"Rio ? "

Shilla merasakan pandangannya mulai samar, matanya memanas, ada yang diam-diam mengembang dan siap mengalir dari pelupuk mata indahnya. Gadis itu tanpa sadar menggelengkan kepala, seolah tidak terima. Suaranya bergetar saat memanggil nama pemuda yang duduk berdua Ify, tak jauh dari tempatnya berdiri. Shilla tidak mengerti, tapi apa yang baru saja dilihat dan didengarnya, membuat seluruh tubuhnya lemas, ada rasa nyeri yang menohok hatinya. Shilla mundur perlahan dengan kepala tertunduk. Gadis itu lantas berbalik dan memutuskan untuk berlari menjauh.

"Lho ? Shilla kenapa ? Shillaa... Shil !! " Rio segera bangkit dan berusaha mengejar Shilla.

Ify merasakan sesuatu yang menyakitkan akan terjadi, begitu Rio menyentakkan pegangan pada kedua tangannya. Gadis itu berjalan dengan sedikit enggan, menyusul Rio.


 ***