Jumat, 03 Juni 2011

Rahasia Orion Part 3

Rahasia Orion Part 3
"Gita-Gita Luka"

***

"Rio kenapa, Bi ?"

"Itu Nyonya, Mas Rio dia... di kamarnya, itu Mas Rio..."

"Bibi jangan panik gitu dong, jadi nggak jelas. Rio kenapa ?" ganti Alvin yang menanyai, pembantu kepercayaan alharhumah Veronna itu.

"Itu Mas Alvin, Mas Rionya pingsan di kamarnya." lapor bi Arum. Wanita paruh baya itu meremas ujung-ujung baju motif batiknya.

Tanpa babibu lagi, Gladys dan putranya segera berlari ke kamar Rio. Bi Arum dengan tubuh bergetar, membuntuti majikannya. Pintu kamar bertulis Matahari Room itu sudah terjeblak lebar. Saat Gladys dan Alvin masuk, terlihat Shilla sudah di dalam, tengah membaluri telapak kaki Rio dengan minyak angin. Tadi Bi Arum meminta bantuan gadis yang kebetulan lewat itu untuk memindahkan Rio ke tempat tidur.

"Kok bisa kayak gini sih, Bi? Ada apa?" tanya Gladys yang mulai ikut panik melihat putranya pucat pasi dan terkolek diatas ranjang.

"Tadi Mas Rio minta saya buatkan coklat panas, Nyonya. Tapi begitu saya kembali, Mas Rionya sudah pingsan." jawab Bi Arum.

"Jangan khawatir Tante, Rio cuma demam kok, mungkin karena tadi sore kehujanan. Di kompres aja, dan nanti kalau sudah bangun disuruh makan lalu minum obat pasti langsung baikan." tutur Shilla, kalem.

"Ya sudah, kalau gitu, tante boleh minta tolong kan, Shil ? Ambil kan air es dan handuk kecil ya, untuk kompresan." pinta Gladys. Ia lantas beringsut duduk, ditepi ranjang Rio, mengelus lembut kening putranya yang dibanjiri keringat dingin.

Shilla hanya mengangguk singkat, dan langsung berlalu menuju dapur. Alvin mengikuti siluet gadis cantik itu, hingga lekang dari jangkauan indera penglihatannya. Ia merasa tidak asing dengan belia bernama Shilla itu, ia seperti pernah melihatnya, atau bahkan mengenal baik gadis itu, sebelum ini?

"Apa sebaiknya Nyonya Besar di telepon saja, Nyonya ?"

 "Tidak usah, Bi. Saya masih bisa merawat Rio."

Percakapan singkat dua perempuan tadi membuat Alvin kembali tertegun, tapi untuk alasan yang berbeda. Kali ini bukan lagi soal Shilla, tapi Mamanya. Alvin sadar betul, kalau sampai kabar sakitnya Rio terdengar oleh Eyang Putri, Mamanya akan dalam masalah besar. Dengan langkah-langkah panjang, Alvin memutuskan meninggalkan kamar saudara laki-lakinya itu. Mamanya beruntung kali ini, karena Eyang Putri tidak ada di rumah. Alvin harus memastikan kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi, atau petaka terhadap Mamanya benar-benar akan terjadi.

"Ekhm." ia berdehem keras, membuat seorang gadis yang sejak tadi berdiri membelakanginya otomatis menoleh.

"Al... Alvin ?" sapa gadis  itu, entah kenapa jadi tergugup.

"Lo Shilla ?" tanya Alvin, dingin.

Shilla mengangguk. Selama beberapa hari ini, mereka memang belum berkenalan secara langsung. Keduanya hanya tau nama masing-masing, itu pun tentu saja dari Rio.

"Shilla, nama yang bagus," komentar Alvin, "Tapi kok gue sama sekali nggak menemukan hal bagus lainnya di diri lo, selain nama sama tampang lo, ya ?" cela Alvin, "Gue nggak ngerti, apa sih bagusnya elo, sampai-sampai Papa ngajak lo tinggal disini. Dan Rio... Ya, basicnya dia emang ramah sih, tapi aneh aja, kalian kok bisa langsung akrab banget, padahal baru beberapa hari kenal." ketus pemuda itu, kedua tangannya terlipat di depan dada.

Shilla masih bertahan dalam diam, menundukan kepalanya. 

"Gue cuma mau ingetin lo, Shil. Lo mungkin diterima di keluarga ini, tapi jangan seenaknya. Kalau
elo mau tetap jadi anak kampung, nggak usah ajak-ajak orang lain."

"Maksud kamu apa sih, Vin ? Kamu nggak suka aku tinggal disini ?"

Alvin memamerkan senyum miringnya, "Lo kira gue nggak tau, lo sama Rio pulang basah kuyup, magrib tadi. Iya kan? Lo ajak Rio hujan-hujanan? Atau lo ajak main dikali, mandiin kebo, heuh ? Shil, jangan paksa Rio, ngikutin kebiasaan lo dikampung. Liat, sekarang Rio sakit."

Shilla menunduk dalam-dalam. Ia tidak sepenuhnya menyangkal ucapan Alvin. Kalau saja, ia memilih makan di restoran atau cafè, seperti yang Rio tawarkan, mereka tentu tidak perlu hujan-hujanan. Warung tenda yang terletak di pinggiran jalan tentu tidak punya lahan parkir yang memadai, terpaksa Rio memarkirkan mobilnya di tempar parkir sebuah taman kota. Yang jaraknya cukup untuk membuat seluruh tubuh kebasahan kalau ditempuh dibawah guyuran hujan deras, meski telah berlari kencang sekalipun.
Alvin benar, ia tidak boleh meminta Rio untuk mengikuti kemauannya. Tapi itu kan juga baru sekali. Kenapa Alvin, bisa semarah itu padanya? Seolah-olah, Shilla telah meminta Rio membajak sawah, atau kerja bakti membersihkan seluruh desa saja.

"Ngerti kan? Gue harap kejadian kayak gini nggak terulang lagi." tegas Alvin, sebelum akhirnya meninggalkan dapur.

"Aku yakin ini bukan cuma soal Rio," seru Shilla, "Rio kan cuma demam biasa. Bilang aja, emang kamu nggak suka kan sama aku ?"

Alvin tidak menoleh, ia hanya menghentikan langkahnya, "Cuma demamnya Rio itu bakal jadi masalah buat nyokap gue. Dan lo bener, gue emang nggak suka sama lo." setelah berkata demikian, Alvin langsung pergi, meninggalkan Shilla yang masih mematung tak mengerti. Apa alasan pemuda itu tidak menyukainya ? Memangnya apa yang pernah Shilla lakukan terhadapnya? Bicara dengan Alvin pun baru sekarang.

 ***

 "Pagi Rio." sapa Ify, riang.

Gadis berdagu runcing itu, tampaknya sudah sangat siap menjalani tahun ajaran baru yang dimulai hari ini. Ify terlihat cantik dalam balutan seragam Veronna High School. Tas biru tua senada blazer sekolahnya tersampir rapi di pundaknya. Rambut panjang gadis itu, dibiarkan tergerai indah melewati bahunya dengan hiasan jepit kecil, berbentuk bunga matahari.

"Eh, pagi Fy." balas Rio, tanpa menoleh, karena tengah berkonsentrasi membentuk simpul untuk tali sepatunya.

Pemuda itu terlihat kurang nyaman dengan kemeja putihnya yang dimasukkan serta blazer yang melekat ditubuhnya.

"Gitu dong Yo, rapi. Kan tambah ganteng." puji Ify.

"Sebenarnya gue ngeri ditaksir Bu Sumarsih nih kalau rapi begini." celetuk Rio.

Bu Sumarsih adalah guru mata pelajaran PKn untuk siswa kelas XII, yang menurut berita yang beredar, sangat disiplin dan menyukai kerapihan, terutama dalam berseragam.

"Taraa. Nasi goreng special. Aku sendiri lho, yang buat." Shilla tiba-tiba datang, menyodorkan sepiring nasi goreng tepat didepan wajah Rio. Entah sengaja atau tidak, sepertinya gadis yang juga mengenakan seragam Veronna seperti Rio dan Ify itu, tidak begitu mempedulikan gadis lain, yang baru saja berhasil mengeluarkan sebuah kotak bekal dari dalam tasnya, "Ini sebagai permintaan maaf aku, karena paksa kamu makan di warung tenda. Ayo dicoba!" tambah Shilla.

Ify mengalah. Ia cukup tau diri, roti bakarnya sama sekali bukan saingan nasi goreng gadis yang tak dikenalnya itu. Dari baunya saja, Ify yakin masakan yang tersaji dalam piring putih bundar itu, tentu saja jauh lebih enak. Ify menunduk, mengamati ujung-ujung sepatunya yang masih kinclong, berharap bisa menyembunyikan binar kecewanya.

"Udah baikan lo?" suara dingin itu membuat Rio menghentikan perjuangannya yang kali ini tengah menjinakkan dasi biru tua yang harus kembali ia kenakkan setiap harinya, terhitung mulai hari ini.

"Udah." jawab Rio singkat, "Eh, nasi goreng lo enak banget, Shil." puji Rio, setelah Shilla-tanpa diminta-menyuapkan satu sendok pertama nasi goreng buatannya ke mulut pemuda yang sejak beberapa menit tadi bukannya mencoba nasi goreng special yang Shilla buat, malah sibuk dengan sepatu dan dasinya.

"Enak Yo? Tapi itu yang masak anak kam-pung lho ?" Shilla menekankan kata kampung sembari melirik Alvin dengan sinis.

"Masih mending lah Shil, daripada noh, yang anak kota, masak mie instan aja gosong. Hehe." Rio menunjuk Ify, dengan dagunya.

Alvin baru menyadari keberadaan Ify, dan matanya langsung tertumbuk pada kotak bekal berwarna bening dengan tutupnya yang keunguan, "Bekal buat gue ya Fy ?" ia meraih kotak bekal itu, tanpa memberi kesempatan untuk Ify sempat menyembunyikannya.

"Tapi Vin, itu..."

Setelah membuka kotak itu dan mendapati sebuah nama yang diukir dengan selai blueberry diatas setangkup roti bakar, Alvin tersenyum tipis, "Pasti enak banget ya. Lo buatnya pasti pakai cinta." ujar Alvin.

"Magi-agi uhah phacaan ajah." Rio berbicara tidak jelas, karena sambil terus berusaha menguyah satu senduk penuh nasi goreng yang baru saja disuapkan Shilla.

"Lo ngomong apa deh, Yo." ujar Alvin tak mengerti.

"Shilla sih nih, nggak kira-kira nyuapin guenya. Kenapa nggak sekalian lo pakai skop pasir aja Shil," gerutu Rio, setelah berhasil menelan nasi gorengnya dengan bantuan dorongan air putih, "Eh, iya Put.
Lo mulai sekarang berangkat sama Alvin aja ya. Soalnya gue bareng Shilla. Ngaak pa-pa kan ?"

"Iya... Emm, nggak pa-pa kok." jawab Ify.

"Ck," Alvin berdecak kesal. Tapi bukan karena enggan berangkat bersama Ify, melainkan karena gadis cantik yang tengah menyuapkan sendok demi sendok nasi goreng pada Rio. Kenapa gadis itu bisa dengan mudah merusak tatanan kehidupan yang telah lama berputar. Sudah beberapa, mengantar dan menjemput Ify sekolah adalah rutinitas seorang Rio, lalu kenapa kedatangan gadis itu merubahnya dengan mudah,  "Ya udah Fy, berangkat sekarang aja yuk." ujar Alvin dengan sedikit malas.

Ify mengangguk. Keduanya lalu berjalan beriringan menuju sedan hitam Alvin, yang terparkir di selasar rumah, "Lo nggak perlu bawain bekal buat Rio, Fy. Dia udah punya pelayan pribadi mulai sekarang." bisik Alvin, pada gadis yang berjalan gontai disampingya. Ify hanya menanggapi dengan senyum masam. Dalam diam, ada yang dirasakannya mulai bernyanyi dalam relung hati. Bait-bait luka itu mulai terlantun lagi, membentuk gita-gita pelengkap elegi yang menyayat.

Tak berapa lama, mobil Alvin melaju, berbelok ke kiri setelah melewati gerbang utama, lalu menghilang.

"Perempuan yang tadi itu siapa Yo?"

"Oh, namanya Saufika Ayyara. Biasa di panggil Ify."

"Dia pacarnya Alvin ?" Tanya Shilla, ingin tahu.

"Calon sih kayaknya. Kenapa?”

Shilla mengendikan bahu. lantas berdiri "Makan sendiri ya, Yo. udah selesai kan pakai sepatu sama dasinya. Aku mau ke dalam ambil tas." pamitnya, setelah meletakkan pirung nasi goreng di meja besi kecil yang memang di letakkan di beranda Rumah Besar.

"Shil, sekalian ya. Ambilin kunci motor gue, dikamar. Ada diatas tempat tidur."

"Siap Boss." Shilla berdiri dengan sikap sempurna plus memberi hormat pada Rio.

Sejurus kemudian, gadis berambut panjang itu telah meniti anak-anak tangga, menuju lantai atas. Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah, ia yakin semuanya akan berjalan lancar dan menyenangkan.

***

Sudah hampir 15 menit Shilla mengitari kamar luas milik Rio. Tapi kunci yang dimaksud Rio sama sekali tidak ia temukan. Yang terlihat hanya barang-barang mahal, yang sama sekali tidak berani, Shilla menyentuhnya.

"Ini Rio, nyuruh aku cari kunci motor apa kunci hatinya sih, kok nggak ada wujudnya tu kunci." gumam Shilla, asal.

Bukannya kunci motor, Shilla malah menemukan satu benda yang sangat menarik perhatiannya. Pajangan dari kaca, berbentuk kuda. Pajangan itu di letakkan di meja kecil di samping tepat tidur. Berkilau, tertimpa sinar matahari yang masuk dari pintu kaca, pemisah kamar ini dengan balkon. 

"Shil, ternyata kuncinya udah gue kantongin. Hehe." Pemuda itu muncul dari balik pintu sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya, "Dasar kamu."
"Hehe, sorry ya. ya udah, berangkat sekarang yuk, ntar keburu macet."
Shilla menurut, ia segera keluar dari kamar Rio, menyejajarkan langkahnya dengan ayunan kaki pemuda tampan itu.

"Yo, pajangan kaca yang bentuknya kuda itu punya kamu?" tanya Shilla penasaran.

"Iya, dikasih sama orang. Kenapa emang?"
 Shilla tersenyum, “gapapa.” Katanya singkat.

***

Veronna High School, geger.
Di pagi yang masih sangat tenang dengan sisa-sisa embun yang bergelantungan pada dahan-dahan pohon. Udara yang masih kaya oksigen. Desau angin yang bertiup teratur, Veronna sudah dibuat heboh oleh seorang Rio.
Pukul 06.45 pemuda itu telah tiba di sekolah. Oke. Bagi yang belum tau, mungkin hal itu akan jadi biasa saja. Datang 15 menit sebelum bel masuk berbunyi, tentu bukan sesuatu yang Wah bukan? Tapi lain hal, kalau yang melakukannya adalah seorang Rio. Selama dua tahun ia bersekolah di Veronna, akan jarang sekali melihat Rio datang kurang dari pukul 7, bahkan beberapa kali pemuda itu harus bersitegang dengan satpam sekolah karena dilarang masuk saat datang terlambat. Selain datang pagi, penampilan acak-acakan khas Rio yang menurut beberapa kaum hawa, cool itu, entah ditanggalkan dimana.
Datang pagi. Seragamnya rapi. Dua hal yang masih bisa dimaklumi, mengingat Rio kini berstatus sebagai siswa kelas XII. Mungkin ia ingin berubah lebih tertib dan disiplin. Tapi yang ketiga ini yang bikin heboh. Rio sama cewek, cantik pula, murid baru pula, di gandeng pula, serasi pula. Aaaahh, tertutuplah sudah, kesempatan bagi siswi-siswi Veronna untuk mendapatkan cassanova itu.
Rio dan Shilla masih berjalan santai, mengumbar tawa renyah. Belum menyadari bahwa medan kini telah berubah. Kehadiran mereka seolah menyihir sekolah, membuat berpasang-pasang mata menggencar mereka. Terutama mereka dari kalangan kaum hawa. Kalau siswa-siswa putranya sih paling hanya memberikan komentar singkat, bahkan ada juga yang masa bodoh.
Di koridor utama, Rio dan Shilla berpisah. Shilla harus menemui wali kelasnya terlebih dulu di ruang guru, sedangkan Rio langsung berbelok ke kiri menuju deretan kelas XII. Ia segera masuk setelah menemukan kelas dengan plang kecil bertulis XII MIPA 1, di atas pintu. Setelah menyeruak masuk, Pemuda itu melempar tasnya dengan bunyi debam kecil, ia memilih tempat duduk disamping Alvin.

"Bosen gue Yo. Masa 6 tahun duduk sebangku mulu sama lo?"

"Lo jangan gitu dong, Vin. Kita tu memang diciptakan untuk selalu bersama-sama." Rio mencolek dagu, saudara tirinya itu.

"Riooo... Lo mau sarapan bogeman gue ?"

"Hehe. Selow bro. Selow.." Rio mengangkat jari tengah dan telunjuknya menbentuk huruf V. Pemuda itu, lantas segera membaur dengan teman-teman laki-lakinya yang lain, yang bergerombol dipojokkan kelas.

Beberapa menit kemudian, Bu Rini guru mata pelajaran seni budaya mereka, memasuki kelas. Dibelakangnya seorang gadis cantik berjalan dengan wajah tertunduk.

"Selamat pagi anak-anak."

"Pagi, Bu..."

"Hari ini, ditahun ajaran yang baru, kita juga kedatangan teman baru. Ayo, kamu. Silakan perkenalkan diri."

"Nama saya Shilla Azahra, kalian bisa panggil saya Shilla. Saya pindahan dari Cihideung, sekarang saya tinggal di Orion Estate. Senang berkenalan dengan kalian. Mohon bantuannya." Shilla membungkuknya tubuhnya sedikit, lalu tersenyum manis.

"Ok. Terima kasih Shilla, perkenalannya bisa kalian lanjutkan pada jam istirahat. Shilla, silakan kamu duduk bersama Gabriel." intruksi Bu Rini.

"Bu!" Rio mengangkat tangannya.

"Iya, ada apa, Rio ?"

"Shilla duduk sama Ify aja, Bu. Kursi samping Ify udah susah-susah saya kosongin nih. Kalau sama Iel, kasian nanti Shillanya bisa beku. Gabriel kan pangeran es, dingin, cool, Brrr..." ledek Rio yang di sahuti gelak tawa teman-temannya.

Rio tak menyadari, bahwa karena ucapannya barusan seseorang dengan berlebih mencengkram pensilnya hingga patah untuk menahan emosi. Rio tidak sadar, betapa ucapannya barusan bak anak panah yang baru saja dilepasnya dari busur dan akan balik menyerang tuannya, tidak lama lagi.
Shilla segera berjalan ke meja Ify. Saat murid baru di kelasnya itu sudah duduk manis, Bu Rini mulai mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kelas. Matanya yang tegas mampu membungkam mulut-mulut ceriwis anak didiknya.

"Hari ini, setelah libur panjang. Materi yang akan saya berikan tidak terlalu rumit, hanya menggambar sketsa wajah. Hanya sketsa jadi tidak perlu diwarnai, cukup gunakan unsur gelap-terang yang pasti sudah kalian pelajari sebelumnya. Bagaimana, faham?"

"Faham Bu."

"Ok. Kalau begitu, kerjakan sekarang!"

***

Setelah berkutat dengan dua jam pelajaran seni budaya yang entah kenapa menggambar sketsa wajah saja menjadi begitu rumit dimata bu Rini, lalu diteruskan pelajaran bahasa Perancis bersama madame Dian, dan berlanjut dengan Matematika yang pada pertemuan pertama saja sudah menghabiskan empat halaman untuk mencatat deretan rumus beserta angka-angka kriting dengan lima sampai enam digit di belakang koma. Bel istirahat akan jadi seperti nyanyian para peri-peri syurga. Anak-nak XII MIPA 1, mereka semua segera berhamburan keluar kelas, membaur dengan siswa-siswa kelas lain yang sepertinya tidak jauh berbeda dengan mereka. Sudah harus menghadapi pertempuran sengit, di hari pertama masuk sekolah.

"Untung aku sempat les bahasa waktu Ibu masih ada. Tapi aku tetap minta diajarin ya Yo. Supaya nggak ketinggalan jauh belajar bahasa perancisnya." pinta Shilla.

Rio hanya meng-iya-kan permintaan gadis itu, dengan mengangguk kecil. Ia dan Shilla kini berjalan menyusuri koridor kelas XII menuju kantin. Mereka sengaja keluar belakangan, karena koridor yang mereka lalui ini akan sangat penuh begitu bel istirahat berbunyi.

"Rio !!"

Rio menghentikan langkahnya, lantas berbalik saat mendengar ada yang memanggilnya. Gabriel, terlihat berlari kecil ke arahnya. Pemuda itu terlihat kerepotan membawa alat-alat kimia seperti, gelas ukur,  tabung reaksi, pipet-pipet berbagai ukuran dan 2 buah tissue gulung.

"Lo disuruh Bu Any ambilin aquadest di lab kimia anak kelas XI, bawa ke Lab anak kelas XII, sekalian dituangin ke 5 buret 50 ml, masing-masing diisi 30 ml aqueadest. Cepat ya."

"Ogah, ogah. Apaan lo, nyuruh-nyuruh gue segala. Kenapa nggak sama lo aja."

"Lo nggak liat gue udah kerepotan begini ?"

"Dan lo, nggak liat gue mau ke kantin ?"

"Ya elah, kan masih ada istirahat kedua Yo. Disuruh begitu aja masa nggak mau, atau... lo nggak bisa? Manja banget sih." Ledek Gabriel.

"Ya udah, ya udah. Dasar ya, nyela mulu sih lo bisanya."

"Aquadestnya dibotol plastik yang bening." imbuh Gabriel, lalu melengos pergi.

"Na, Asna..." Rio memanggil salah satu teman sekelasnya yang kebetulan lewat.
Gadis yang dipanggil Asna tadi pun menghampiri Rio dengan malas, "Ape lo manggil-manggil ? Pasti ada maunya," tebak Asna. Ia tau betul, seorang Rio hanya akan memanggil teman perempuannya kalau ada perlunya saja.

"Hehe. Galak banget sih lo. PMS ya ? Mau kemana ?"

"Jajan."

"Ke Kantin ?"

"Bukan Yo, Lab Komputer. Ya, iyalah ke Kantin. Pertanyaan bodoh tingkat dewa." balas Asna, sewot.

"Lo mah ngomel mulu dih, gue cuma mau minta tolong, kalau mau ke Kantin ajak Shilla ya, ntar gue nyusul. Lo pesan apa deh, terserah, ntar gue yang bayar."

"Oh, cuma itu ? Ada lagi nggak yang bisa gue bantu?"

"Woo, tadi aja lo, judes banget. Giliran makan gratis aja sok-sok manis." cibir Rio, "Shil, bareng Asna ya."

Shilla mengangguk, lalu mengacungkan ibu jarinya.

"Sering-sering aja Yo, lo minta tolong sama gue. hehehe" ujar Asna yang sudah mengandeng lengan kanan Shilla.

Kedua gadis itu, langsung tak terlihat, begitu membaur dengan siswa-siswi lain di koridor utama, menuju kantin.

***

Butuh lebih dari 20 menit untuk seorang Rio berhasil menemukan buret-buret yang dimaksud. Ia segera menyusun 5 buret itu diatas sebuah nampan kayu. Setelah selesai, ia beralih mencari cairan dalam sebuah botol plastik bening yang tadi dijelaskan oleh Gabriel tadi.
Rio melirik jam digital yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sepertinya pemuda itu telah terlambat 5 menit memasuki kelas. Jam istirahat sudah berakhir sejak tadi. Dengan cepat, segera disambar botol plastik bening yang di temukan berada dekat tiang statif. pemuda itu terlalu tersgesa-gesa hingga tak menyadari ceceran air deterjen yang tumpah-ruah di sekitar area yang akan dipijaknya.
Sreet. braaakk.

Lantai yang licin membuat rio terpeleset. lengannya tanpa sengaja menyenggol sebuah botol lain yang berisi cairan entah apa. Botol yang tidak tertutup dan terisi penuh itu memuntahkan sebagian isinya. Cairan di dalamnya jatuh bercecer, ke lantai, pakaian yang Rio kenakan dan sebagian ada yang mengenai tangan kanan Rio.

“AAARGH," erang Rio, seketika tangannya memerah. Rio segera berlari kearah pintu. Sebelum bertambah parah, ia harus segera membasuh tangannya. Cairan dalam botol tadi pastilah cairan kimia, entah apa jenisnya.

"Sial," umpat Rio, setelah pintu tidak juga terbuka, meski Rio telah berulang kali memutar-mutar knopnya, "Kekunci pula, Aaaargh, Woy siapapun yang diluar. Tolong bukain pintu..." koar Rio dari dalam.

Brak-brak-brak

Pemuda itu dengan gusar mengebrak-gebrak daun pintu yang masih juga tertutup rapat, "AARGH, WOY TOLONG BUKAIN PINTUNYA..." Rio kembali mengerang, ditiup-tiup telapak tangan kanannya yang melepuh.

Sedang disudut lain sekolah ini, seseorang berujar sinis dengan mata berkilat penuh luka, "Apa yang lo terima hari ini nggak sebanding sama penderitaan gue, Yo." orang itu melirik bekas luka ditangan kirinya. Dan seperti kembali ternganga, luka yang membekas itu memunculkan sakit yang juga tertoreh dalam dihatinya.

***

"Oke. Anak-anak, hari ini Ibu hanya akan mengulas kembali sedikit konsep-konsep dasar pelajaran kimia, yang tentunya sudah kalian terima sebelumnya," tutur guru mungil itu dengan suara lantang, ia menyisir setiap sudut kelas, memastikan tidak ada yang aneh-aneh di dalam kelasnya, "Satu kursi kosong. Siapa yang tidak mengikuti pelajaran saya?"

"Mario, Bu!" jawab Alvin.

"Mario Haling? Kemana anak itu”

"Maaf Bu," Shilla mengacungkan tangannya, "Bukannya tadi ibu suruh Rio mengambil buret dan aquadest di Lab?"

"Menyuruh Rio mengambil buret?" Bu Any melotot lebar seperti tidak terima, seolah-olah ia baru saja di fitnah telah mempekerjakan pangeran William menjadi OB, "Saya tidak pernah meminta Rio melakukan itu. Jangan ngaco kamu."

"Tapi tadi Gabriel bilang begitu, Bu." kukuh Shilla.

"Saya tidak pernah bilang apa-apa pada Rio." tukas Gabriel, santai.

Shilla melongo, tak paham.

"Bu, biar saya yang susul Rio." usul Alvin.

"Ya, ya, Baiklah cari dia Alvin.” ujar Bu Any, kemudian melanjutkan kegiatan mengajarnya.

Setelah mendapat ijin demikian, Alvin segera berlari keluar kelasnya. Ia tau kemana harus mencari
Rio. Lab kimia. Seperti kata Shilla tadi. Karena Alvin yakin, anak baru tidak mungkin berani berbohong.

***

BRAKK

Alvin menggebrak meja Gabriel. Kedua manik matanya, mengisyarakatkan hasrat yang luar biasa untuk menonjoki wajah sok cool pemuda di depannya itu. Berbeda dengan Alvin yang emosinya sudah meletup-letup, Gabriel masih dengan santai membenahi buku-buku catatan dan alat tulisnya. Kelas sudah sepi. Bel tanda pulang, sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu. Alvin sengaja tidak langsung menjotosi Gabriel, pasca didapatinya Rio dengan tangan terluka meringkup menahan sakit didalam Lab kimia yang dikunci dari luar. Ia tidak ingin, citranya sebagai ketua OSIS yang disiplin hancur gara-gara tidak bisa mengontrol emosi.

"Lo celakain Rio." tuduh Alvin, to the point.

"Nggak."

"BOHONG !!"

"lo ada bukti ?"

"Masalah lo apa sih Yel, sama saudara gue. Rio ada salah apa sama lo ?"

"Nggak ada."

BUGG

Alvin benar-benar habis kesabaran. Sikap Gabriel yang dingin dan tak acuh malah menyulut api kemarahannya. Gabriel jatuh tersungkur, sudut bibirnya menitikkan darah segar.

"Lo suruh Rio ambil Buret dan Aquadest di Lab, terus lo kunci pintunya dari luar? iya kan? lo juga yang tumpahin deterjen di lantai supaya Rio kepleset, iya kan? otak lo kriminal banget sih Yel, pasti itu turunan dari bokap lo yang mantan Napi." Cela Alvin.

Gabriel meradang, ia mencoba bangkit, "Lo buta atau gimana sih? udah jelas-jelas dari tadi gue di kelas, dan deterjen itu, lo harusnya salahin petugas kebersihan yang ga becus kerjanya. Lo nggak bisa nuduh orang tanpa bukti, Vin. Dan satu lagi, jangan pernah hina bokap gue." Gabriel meraih tas hitamnya, lantas berjalan keluar kelas, ketika sampai di ambang pintu pemuda itu berbalik, "Dan tonjakkan lo tadi..." Gabriel mengelus rahangnya yang memar, "lo bakal dapat balasannya nanti." Ancam penuda itu, sepertinya sungguh-sungguh.

Alvin hampir saja akan menyusul dan menghadiahi pemuda menyebalkan itu dengan 10, 11, 12 atau lebih banyak lagi, tinju-tinjunya, tepat dimulut Gabriel agar pemuda yang menjabat sebagai ketua kelas mereka itu tidak asal bicara.
Tapi sayangya, Gabriel cukup cerdik. Ia berjalan dibelakang wakasek kesiswaan yang terkenal tegas dan galak. Alvin tentu tidak ingin, paradigma positif yang selama ini ia bangun, hancur gara-gara manusia menyebalkan, macam Gabriel. Akhirnya, udaralah yang jadi pelampiasan kemarahannya. Kepalan tangannya berkali-kali dihantamkan pada desingan angin.

"Sial. Ada masalah apa sih tu orang sama Rio ?" umpatnya.

Butuh sekitar 5 menit untuk Alvin bisa kembali mengontrol dirinya. Merasa sudah cukup tenang, Alvin memutuskan untuk segera pulang. Ia berjalan cepat menuju parkiran, tempat sedan hitamnya berbaris rapi bersama kendaraan siswa-siswi lain. Pemuda itu kemudian menghentikan langkahnya, saat melihat seorang gadis berjalan mondar-mandir dibawah pohon trembesi di tepi lapangan basket.

"Belum pulang lo?"

Gadis tadi menoleh ke sumber suara yang sepertinya sedang menanyainya, "Be..belum, Vin."

"Nunggu siapa, Rio? Dia dibawa ke rumah sakit sama Ify daritadi, mungkin sekarang udah di rumah. Kalau elo nggak tau jalan balik, mending lo bareng gue."

Shilla terdiam cukup lama. Pulang bersama Alvin memang bukan ide yang bagus, tapi ia sepertinya tidak punya pilihan lain. Lagipula ia ingin segera pulang dan melihat kondisi Rio. Akhirnya, gadis itu pun mengangguk lemah. Alvin sepertinya memang tidak suka dengannya, tidak jelas karena apa, tapi kalau cuma sekedar ucapan-ucapan pedas yang dilontarkan pemuda itu sih, Shilla tidak akan ambil pusing, Ia akan berusaha menulikan telinganya selama setengah jam ke depan. Gadis bermata bening itu, mengikuti Alvin menuju sedannya. Tak berapa lama, mobil itu sudah meliuk-liuk menyatu dengan kendaraan-kendaraan lain, membelah lalu lintas ibu kota yang tak pernah alpa dari bising, semrawut dan macet.
Diam. Sepi. Tidak ada yang mau mencoba memulai percakapan. Apalagi setelah Alvin memproklamirkan satu sisi tentangnya yang membuat Shilla jadi semakin tidak berhasrat untuk mengajak pemuda itu bicara.

"Gue bukan Rio. Gue nggak suka banyak ngomong." begitu katanya.

Sampai disebuah perempatan, laju mobil Alvin di hadang lampu merah.

"Turun."

"Hah ?"

"Turun!" Alvin mengulangi perintahnya, "Gue ada urusan. Jadi lo turun disini. Udah nggak jauh-jauh banget kok. Lo tinggal ikutin jalan."

Shilla masih belum bergerak dari tempatnya, masih tak menyangka kalau ternyata selain galak, Alvin juga tegaaa.

"Cepat turun! Malah bengong lagi lo."

Dengan terpaksa, Shilla melepas seatbeltnya. Setelah gadis itu keluar dari sedan Alvin, mobil itu langsung melejit cepat, menyalip beberapa kendaraan didepannya dan kemudian menghilang.

Shilla tertegun. Alvin bilang, tinggal ikutin jalan. Tapi jalan yang kearah mana. Jalan raya ini kan perempatan. Seketika kakinya langsung lemas, ia sudah ingin menangis, apalagi kalau teringat cerita pamannya. Katanya tersesat di Jakarta akan lebih mengenaskan ketimbang hilang di hutan belantara. Shilla merogoh saku blazernya, mencoba menghubungi Rio. Tapi berulang kali di coba, Rio tetap tidak bisa di hubungi. Shilla memutuskan untuk menyisir jalanan yang terbagi empat ini. Berharap Tuhan selalu melindunginya dan membimbing langkahnya sampai di rumah keluarga Haling.

 ***

Ditemani Rio yang asyik menonton TV, Ify masih sibuk menyalin catatannya ke dalam buku tulis bersampul coklat milik Rio. Ia sendiri yang menawarkan diri untuk membantu Rio mencatat, selama tangan kanan Rio belum sembuh. Beruntung Asam Asetat yang mengenai tangan Rio sudah dicampuri air untuk kepentingan praktikum, sehingga luka ditangan Rio pun tidak terlalu parah.

"Thanks ya, Fy. Sorry nih, gue selalu ngerepotin lo."

"Nggak pa-pa kali, Yo. Kayak sama siapa aja sih lo."

"Udah balik, lo?" tegur Rio pada pemuda sipit yang baru saja memasuki rumah, "Shillanya mana?"

"Shilla ?" Alvin menautkan kedua ujung alisnya, heran, "Emang dia belum balik ?"

"Belum balik gimana maksud lo? Dia pulang bareng sama lo kan?"

"Iya sih, dari sekolah kita emang bareng. Tapi dia gue suruh pulang duluan, gue ada urusan soalnya. Jadi sampai sekarang dia belum nyampe ?"

"Alvin! Lo keterlaluan banget sih. Lo turunin Shilla ditengah jalan ? Vin, dia tu baru beberapa hari di Jakarta. Lo nggak mikir banget sih. Emang lo ada urusan apa ? Palingan sama orang-orang nggak penting dari klub fotografi lo itu lagi kan ?"

"Siapa yang lo bilang nggak penting ? Jelas-jelas mereka lebih penting di banding Shilla."

"Lo kenapa sih, Vin ? Lo benci sama Shilla ? Karena dia dekat sama gue?"

"Maksud lo, gue cemburu gitu? Heuh, kebagusan banget tu cewek."

Rio mengibaskan lengan kirinya, "Udah lah nggak penting. Yang jelas kalau sampai Shilla hilang, gue bakal kasih lo satu pelajar tentang menghargai perempuan." tegas Rio.

Pemuda itu segera keluar, di ikuti Ify.

"Lo mau cari Shilla kan ? Gue ikut ya, biar gue yang nyetir" tawar Ify.

Meski tidak di-iya-kan, tapi toh Rio manut saja saat Ify duduk dibalik kemudi avanza biru tuanya yang kemudian bergerak teratur meninggalkan kastil keluarga Haling.

***

Rahasia Orion Part 2

Rahasia Orion Part 2
"Tante, Bukan Mama"

***    

Shilla masih terlongo-longo. Benar kata Pamannya dulu, Jakarta tidak pernah tidur. Waktu telah beranjak setengah jam dari pukul sembilan malam. Tapi jalan-jalan raya di kota ini sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan sepi. Lampu-lampu gemerlapan disana-sini, melumpuhkan fungsi benda-benda langit yang seharusnya berpijar terang ketika malam. Gedung-gedung bertingkat berdiri kokoh, seolah ingin berlomba mencakari langit-langit Jakarta. Dan belum usai keterkesimaan Shilla, ia lagi-lagi ternganga lebar, saat mobil yang ditumpanginya memasuki komplek sebuah perumahan. Komplek perumahan ini pastilah termasuk kawasan elite, terlihat dari kebersihannya, lalu pohon-pohon di sepanjang jalan yang terawat rapi. Gapura depan yang indah, bertulis Orion Estate.
Semua bangunan di komplek perumahan ini, benar-benar mewah. Terlihat bahwa keseluruhannya dibangun dengan perhitungan matang arsitek-arsitek handal. Tapi tetap saja, rumah yang ada di depannya ini adalah yang paling indah, yang paling cantik di banding yang lain. Rumah 3 lantai itu tidak terlalu besar, cukup manis dan sederhana, yang membuatnya unik dan berbeda adalah halamannya. Shilla bahkan sempat berfikir, itu bukan halaman sebuah rumah, melainkan taman nasional, kebun raya, atau sebagainya.
Dari pintu gerbang menuju rumah, yang menjadi titik pusat tempat ini, sebelumnya, harus melewati jalan dengan batu-batu kerikil hitam. Tanaman mandeville, dengan bunganya yang putih terjuntai dan daun-daunnya meliuk-liat pada batang-batang besi berwarna putih membentuk kanopi, memayungi jalanan tadi.
Meski dalam remang malam, Shilla masih bisa menangkap ada beberapa pohon apel di halaman itu. Tidak jauh dari rumah, ada juga gazebo yang atapnya dibuat dari jerami-jerami kering. Dibeberapa titik, tersebar pohon-pohon Kiara. Ada juga rumpun tanaman Tebu disudut-sudut halaman rumah ini dan yang paling menarik adalah tumbuhnya satu pohon berbunga orange menyala, pohon Flamboyan.
Disisinya yang lain, terdapat rumah berukuran sedang seperti terbuat dari kaca sepertinya berisi bunga-bunga cantik. Dari komposisi warna-warni yang sangat harmonis, Shilla yakin, halaman ini pun hasil dari tangan dingin arsitek handal.

"Hei! Kok bengong sih?" suara baritone sekaligus tepukan pelan dipundaknya, membuat Shilla terkejut.

"Eh, iya. Kenapa?"

"Lo, kenapa bengong?"

"Hehe. Nggak kok. Nggak apa-apa. Aku terpesona aja sama rumah kamu. Hehe." balas gadis itu, jujur. Sambil melempar seringai lebar.

Sejurus kemudian, ia lagi-lagi ternganga. Shilla memutar kepalanya, mengamati keadaan sekelilingnya. Sejak kapan ia memasuki rumah ini? Pasti saking asyiknya memikirkan betapa 'wah'nya halaman rumah keluarga Haling, Shilla sampai tidak menyadari kakinya sudah berpijak dan menyusuri keramik-keramik mengkilat, lantai rumah ini, sejak tadi. Ia dan Rio kini sedang meniti anak-anak tangga menuju lantai atas.

"Eh, Yo... Em... Kita mau kemana ?"

Rio menghentikan langkahnya, menoleh pada Shilla yang tertinggal dua undakan darinya, "Ke kamar lo, lah." jawab Rio.

"Oh," Shilla mengangguk faham, "Eh, itu biar aku aja yang bawa." Shilla mengulurkan tangannya, meminta tas hitam berisi baju-bajunya yang tengah dijinjing Rio.

"Walaupun badan gue kurus, kalau cuma bawa ginian doang gue kuat kok." timpal Rio, asal. Pemuda yang didaulat Papanya mengantarkan Shilla ke kamar itu, terus berjalan mendahului Shilla.

"Rumah kamu unik banget ya, Yo." ungkap Shilla.

"Halamannya maksud lo?"

"Semuanya sih, kayaknya natural banget. Nuansa alamnya berasa banget."

"Dari buyut sampai Papa-Mama gue, maniak banget sama yang berbau alam-alaman gitu. Gue yakin ni ya, kalau gunung bisa dipindahin, mereka dari dulu pasti bakal taruh di belakang rumah. Papa malah dulu punya ide gokil piara hewan-hewan gitu, tapi dibiarin hidup bebas tanpa kandang." tutur Rio yang sekarang mulai menarik kenop pintu bertulis Krisan Room, di depannya.

"Pantesan alam banget. Itu dinding-dinding yang di teras juga lucu banget, dari pecahan batu-batu kali asli ya, gazebonya juga. Mirip banget sama saung di desaku."

Rio tersenyum tipis, menanggapi antusiasme Shilla bercerita tentang rumahnya yang memang selalu menuai kagum orang-orang yang baru pertama kali mengunjunginya. Apalagi kalau bukan karena halamannya dan desainnya yang 'alam banget' itu, "Besok gue ajak lo keliling-keliling deh. By the way, ini kamar lo. Kuncinya gue taruh sini ya." Rio menaruh sebuah kunci diatas meja rias dekat sebuah lemari besar.

"Hah ? Serius ? Ini kamarku ?" tanya Shilla tak percaya, "Luas banget !!"

"Masa sih? Perasaan yang paling Luas itu kamar gue deh." timpal Rio santai, memasang tampang sok polos.

"Iya, ini sih hampir sama luasnya kayak satu rumah Bi Asih." ujar Shilla, masih dengan nada takjub. Ia berkeliling kamar dan asyik mengamati pernak-pernik ruangan itu yang hampir semua berbau Krisan, dari background, selimut, lukisan, "Ini tema kamarnya bunga Krisan ya, Yo?" tanya Shilla penasaran.

"He-em,  karena Eyang Putri sama Mama gue itu suka banget bunga-bungaan, jadilah setiap kamar di rumah ini ada tema dan namanya, yang diambil dari nama bunga-bunga gitu. Tapi ngasih namanya juga nggak asal lho. Kayak kamar gue misalnya, dikasih nama Matahari Room, soalnya dari atas balkon kamar gue, bisa keliatan Matahari terbit. Ya, walaupun nggak sejelas kalau di gunung atau tepi pantai juga sih. Terus, kamar yang di ujung, namanya Edelweiss Room, itu karena kamarnya paling terpencil. Jadi sepi gitu deh. Mana setiap buka jendela pemandangannya cuma rumpun tebu sama pohon Kiara, benar-benar sepi, kayak di puncak gunung tempatnya bunga Edelweiss. Kamar lo juga ada sejarahnya. Krisan Room. Lo sini deh, Shil !!" Rio melambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Shilla mendekat kearah jendela.

Dan saat daun jendela berukiran rumit itu terbuka, terlihat halaman samping rumah itu. Ada beberapa bale panjang dari kayu. Disana, sekumpulan orang berseragam tengah bercengkrama dalam gurau dan obrolan seru.

"Kata Papa, dulu nyokap lo punya toko florish, Lo pasti tau arti warna-warna krisan kan Shil?"

"Merah itu simbol dari cinta, pink itu kasih sayang, kuning kebahagian, orange keinginan dan putih itu ketulusan." jawab Shilla, lancar.

"Mereka itu pegawai-pegawai Rumah Besar, dari supir, tukang kebun sampai pelayan. Bale-bale itu tempat mereka melepas lelah, setiap malam. Mereka itu kayak Krisan, Shil. Mereka punya 'cinta' dan 'kasih sayang' yang 'tulus'. Mereka punya 'keinginan' buat 'membahagiakan' keluarga mereka, di rumah ataupun di desa, yang lagi nunggu kiriman gaji mereka. Lengkapkan ? Bunga Krisan itu simbol, dan mereka wujud aslinya. Dan dari Krisan Room, lo bisa liat mereka tiap malam."

"Yeee!" sorak Shilla, entah untuk apa, "Kamar aku, mengagumkan banget ya. Hehe."

"Dan nggak tau karena kekuatan magic atau apa, setiap kamar juga biasanya mencerminkan karakter penghuninya. Misalnya, Cattleya Room, dulu kamar itu ditempatin sama sepupu gue dari Mama, asli dia tuh cantik dan anggun banget kayak Cattleya. Terus Rose Room, dulu ditempatin cucu angkatnya Eyang Putri, yang manis tapi jago karate jadi bisa lindungin diri sendiri kayak mawar. Lalu Edelweiss Room, lo bisa liat sendiri deh, nanti gimana penghuninya. Dan Krisan's room... Gue rasa, lo cocok dapat kamar ini. Polos dan tulus, kamu banget kan?" Rio melempar senyum terbaiknya, membuat Shilla tanpa sadar ikut menarik kedua ujung bibirnya.

"Sok tahu, kamu. Kita kan baru kenal. Bisa-bisanya udah bilang aku polos dan tulus."

"Feeling cowok seganteng gue tu jarang meleset, Shil."

"Ish, pede banget"

"Eh, iya Shil, sebenernya gue pengen tanya. Lo itu... anak selingkuhannya Papa ya? Atau jangan-jangan lo istri mudanya?" celetuk Rio.

"Ih, apaan sih? Kalau kamu memang nggak suka aku tinggal disini, bilang aja. Nggak usah pakai nuduh yang aneh-aneh kayak gitu deh."

"Hehehe. Iya, iya. Gue bercanda kali Shil. Tapi penasaran juga, apa alasannya Papa mau bela-belain jemput cewek udik kayak lo, jauh-jauh ke Cihideung."

"Rioo... Kamu rese banget sih. Siapa juga yang udik." protes Shilla yang sudah berniat melempari Rio dengan apa saja yang ada dalam genggamannya. Sayangnya yang dipegang adalah HP butut pemberian terakhir Ibunya untuk ulang tahun Shilla yang ke-17. Jadilah diurungkannya niat mulia itu.

"Yang udik elo lah, masa gue. Gue kan anak gaul metropolitan, hahaha." Rio tertawa renyah, "Eh, ya udah deh Shil, lo mau istirahat kan? Udah malam pula, gue tinggal ya. Kalau perlu apa-apa, kamar gue disebelah kamar lo, pas." Rio mulai berjalan kearah pintu, sebelum benar-benar keluar dari kamar Shilla, pemuda itu lagi-lagi tersenyum manis, membuat Shilla spontan menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan pipinya yang memerah.

"Kalau panas, ACnya nyalain aja. Pipi lo sampai merah, gitu." Goda Rio sambil berlalu.
Setelah pintu berdebam, tertutup, shilla masih bertahan ditempatnya dengan bibir masih menyunggingkan seulas senyum. Sejurus kemudian gadis cantik itu berbalik, lantas menjatuhkan tubuhnya dikasur empuknya, kedua tangan gadis itu mendekap dadanya.

"Rio baik banget." ujarnya, tersipu-sipu.

***

"Mau kemana, Vin ?" suara bernada tanya itu, membuat Alvin menghentikan langkah sekaligus siulannya. Ia menoleh, didapati saudara laki-lakinya bersama sebuah majalah otomotif.

"Main layangan." jawab Alvin singkat. Ya, memang begitulah, singkat dan seperlunya. Dua kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan seorang Alvin.

"Gue ikut, gue ikut." pemuda yang sejak tadi merebahkan tubuhnya di sofa empuk berwarna biru laut itu, dengan cepat-cepat berjingkat bangun, "Eh, tapi... Lo main dimana ?" selidiknya.

"Taman komplek."

"Bareng siapa?"

"Ify."

Pemuda tadi memutar bola matanya, "Kalau gitu, gue nggak jadi ikut deh. Ntar ganggu lagi." ia kembali duduk dan menekuni majalahnya.

"Ganggu apa sih, Yo ? Biasanya juga kita main bertiga. Buruan ambil layangan lo, kalau mau ikut."

"Nggak jadi ikut, Vin." tolak Rio, "Eh lo udah kenalan belum sama penghuni baru rumah kita ?"

"Penghuni baru?"

Rio menganggukkan kepala, "Namanya Shilla. Anaknya cantik lho."

"Elo sih cewek model gimana juga di bilang cantik semua." balas Alvin santai.

"Alvin, kamu gimana sih?" Seorang wanita anggun berparas keibuan, menghampiri Alvin beserta
segelas minuman ditangannya, "Tadi katanya minta mama buatin jus apel. Nih, udah jadi, diminum dulu kek, main pergi aja." cerewet wanita tadi, sambil menyodorkan gelas ditangannya pada Alvin. Sejurus kemudian, kedua lengannya mulai sibuk membenahi rambut putra kesayangannya itu.

Gerak-gerik ibu dan anak itu tertangkap jelas oleh dua telaga bening milik Rio. Membuatnya, merasakan buncahan rindu pada Sang Mama yang kemudian menggiring pemuda itu pada rasa sakit yang tidak biasa. Sudah berapa lama ia tidak dibelai seperti itu, sudah berapa tahun Rio tidak bisa memeluk dan di peluk Mama tercintanya. Sudah berapa waktu yang harus Rio lewati tanpa seorang Ibu. Bahkan Rio sendiri kerap tak menyangka, ia yang sejak dulu begitu manja dengan Mamanya, bisa tumbuh sampai sebesar ini tanpa Sang Mama.
Seperti hukum aksi-reaksi yang dicanangkan Newton, aksi Alvin dan Mamanya menimbulkan reaksi yang tidak sederhana pada Rio.  

BRAAK 

Rio melempar majalah otomotifnya dengan kasar. Alvin dan Mamanya tersentak kaget, dipandanginya tubuh tegap Rio yang sekarang melenggang menaiki tangga, dengan tatapan heran.

"Emang dasar anak aneh." cela Alvin.

"Hush, jangan ngomong begitu." komentar Mamanya.

***

Shilla masih asik memandangi halaman samping rumah ini dari jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka. Masih setengah empat sore, pantas baru segelintir pegawai yang sudah duduk-duduk di bale panjang yang kemarin Rio tunjukkan. Desau angin menerpa wajah cantiknya dengan lembut, menebar wangi khas buah apel ranum yang sepertinya telah siap petik.
Gadis berambut panjang itu, baru 20 menit yang lalu berhasil menyelesaikan prosesi membilas tubuh, yang kali ini benar-benar menyulitkan. Di kamar mandinya, terlalu banyak botol-botol berisi cairan yang Shilla sendiri tidak tau pasti apa fungsinya. Juga beberapa alat yang sama sekali tidak berani Shilla sentuh, "Ngeri tiba-tiba meledak." begitu fikirnya.
Shilla tertawa geli, mengingat acara mandinya tadi, "Orang kaya emang aneh. Sukanya yang ribet-ribet." gumamnya.

Tok-tok-tok

"Shil... Shilla.."

Shilla menoleh cepat, berjalan ke arah pintu dengan cepat pula, tak ingin pemilik suara yang menyerukan namanya tadi menunggu terlalu lama. Tapi sebelumnya, entah untuk apa, gadis itu merasa perlu untuk melirik cermin besar di meja riasnya. Merasa ia sudah cukup 'siap', Shilla segera menarik kenop pintu kamarnya.

"Heii, udah mandi kan ?" sapa, sekaligus tanya Rio.

Shilla mengangguk.

"Sip. Kalau gitu, jalan yuk!"

"Jalan?"

"Iya, kita ke Mall aja, mau nggak ? Gue lagi BT nih di rumah. Lo juga perlu buku-buka sama alat tulis kan buat sekolah ?"

"Ya udah, kalau gitu aku ganti baju dulu ya," pamit Shilla. Beberapa detik kemudian, gadis itu kembali, "Emm, Yo, aku titip aja deh ya."

"Lho, kenapa ?"

"Emm... Aku... Aku... nggak ada baju yang bagus Yo." jawab Shilla, pelan.

"Hahaha, Shilla, Shilla. Emang kalau ke Mall kudu pakai baju bagus apa ? Yang penting sopan aja kali Shil, yang lo pake  itu juga nggak pa-pa." ujar Rio, masih sambil menahan tawa geli.

"Beneran nggak apa-apa pakai ini ?"

Rio memperhatikan Shilla dari ujung kaki sampai pangkal kepala, rok putih polos dipadu-padankan dengan baju lengan panjang berwarna coklat muda, plus rambut kuncir dua, "Emm, paling lo di kira pembantu gue, Shil."

"Ih, Riooo udah ah, aku nggak mau ikut."

"Hehe, nggak ko. Tapi..." Rio mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu, "Ininya, mending dilepas aja kali ya." Rio mengulurkan kedua lengan kokohnya, melepas tali rambut coklat muda yang di gunakan Shilla untuk mengikat rambutnya. Helaian hitam berkilau itupun langsung terurai lembut melewati bahu pemiliknya. Membuat Rio tanpa sadar menahan lengannya disana, membiarkan helaian rambut gadis itu menyelusup halus diantara jemarinya.

"Yo, jadi pergi kan ?" tegur Shilla yang mulai jengah dipandangi Rio tanpa kedip.

"Eh iya jadi, jadi. Yuk!!"

 Rio berjalan lebih dulu, disusul Shilla yang sengaja berjalan dua langkah dibelakangnya.

***

Karena Shilla ngotot ingin lewat bale-bale yang sekarang mulai terisi pelayan-pelayan wanita yang sepertinya telah menyelesaikan tugas-tugas mereka, akhirnya ia dan Rio terpaksa harus lewat pintu samping untuk menuju halaman depan.

"Mas Rio sama Shilla cocok banget ya."

"Iya, cantik sama ganteng. Serasi."

"Tapi kan Si Shilla cuma keponakannya Bi Arum."

Bisik-bisik para pelayan itu semakin santer saat Shilla dan Rio berjalan beriringan melewati mereka.

"Hayo, gosipin saya ya?" tegur Rio.

"Cie, Mas Rio mau kemana ni?" tanya salah seorang dari Mereka.

"Kemana aja boleh dong, kan udah gede." timpal Rio ramah, disertai seringai lebar.

Lebih sering ditinggal sendiri dirumah sebesar itu, membuat Rio jadi lebih akrab dengan para pegawai Rumah Besar.
Tidak jarang Rio bergabung dengan Mereka, berbincang-bincang, bergurau bersama bahkan kadang-kadang minum teh bersama. Kebanyakan dari mereka, terutama yang sudah sepuh dan telah lama bekerja pada keluarga Haling, telah menganggap Rio seperti putra mereka sendiri. Dan Rio sama sekali tidak keberatan.
Rio masih mempertahankan senyum di bibirnya setelah melewati kerumunan para pelayan tadi. Tapi air wajahnya segera berubah saat melewati rumah kaca berisi berbagai jenis bunga yang menurut cerita Rio dan Bi Arum pada Shilla, rumah kaca itu memiliki arti yang mendalam untuk Rio maupun Papanya. Kening Shilla berkerut rapat mendapati pemuda di sampingnya berdiri kaku dengan kedua tangan terkepal kuat dan rahang yang mengeras.

"TANTE GLADYS!! JANGAN SENTUH BUNGA-BUNGA MAMA!!" raung Rio, sangat marah.
Baik Shilla ataupun wanita bernama Gladys itu terlonjak kaget, mendengar bentakan Rio.

"Ri... Rio.."

"APA? Tante itu ngeyel banget sih, udah aku bilang jangan pernah sentuh bunga-bunga Mamaku ?" hardik Rio.

"Ri... Rio.. Mama cuma... Cuma mau bersihin daun-daun mawar yang kering ini aja kok. Mama nggak akan merusaknya. Sungguh."

Rio tersenyum sinis, "Nggak usah sok baik deh. Papa masih sanggup bayar tukang kebun. Jadi tante gak perlu repot-repot ngurusin bunga-bunga Mama." tegas Rio.

"Yo, jangan kasar gitu dong. Niat tante itu baik kok, bunga-bunga mawar kalau daun keringnya nggak secepatnya dipotong bakal mengganggu banget." bela Shilla yang tidak tega melihat Gladys di hujani bentakan-bentakan oleh Rio. Gadis itu juga masih heran, kenapa tiba-tiba Rio bisa semarah dan sekasar itu.

"Gue nggak suka dia sentuh bunga-bunga Mama."

Rio memang lebih suka, kalau rumah kaca beserta isinya dirawat oleh tukang kebun. Ia akan sangat marah kalau sampai Gladys berani masuk apalagi menyentuh bunga-bunga mamanya. Rio tidak ingin, ibu tirinya itu merusak tempat yang dibangun Mamanya dengan 'susah payah'. Ia sangat membenci Gladys. Menurut Rio, Gladys telah berusaha menggantikan posisi Mamanya di rumah dan di hati Sang Papa.

"Ngapain masih di situ. Ayo keluar! Keluar Tante!" salak Rio, telunjuknya mengarah lurus ke pintu keluar, "Keluar, saya bilang!"

"Yo, Mama minta ma-"

"Nggak usah banyak ngomong, cepat keluar!"

"Yo, lo bisa nggak sih sopan dikit. Itu Mama kita, Yo." seorang pemuda sipit dengan layangan ditangannya ikut berkoar, mengimbangi suara keras Rio yang diyakini terdengar sampai gerbang utama. Shilla menoleh ke arah datangnya suara. Bersamaan dengan itu pemuda tadipun melihat kearah Shilla. Sejenak dua pasang mata itu beradu pandang.

"Aya…" Alvin membatin, lirih. Otaknya langsung bekerja, memunguti kembali puzzle-puzzle kenangan yang kemarin sempat ia buang, lantas menyusunnya hingga memunculkan berbagai dugaan. Memunculkan sebuah harapan yang sempat hilang di telan waktu yang kian menua.

"Nyokap lo kali, Vin. Tapi bukan nyokap gue." kilah Rio sinis.

Alvin mengakhiri kelebatan masa lalu yang tiba-tiba berpusar cepat sejak dua manik hitamnya bertumbukan dengan coklat terang milik gadis yang berdiri dengan ekspresi bingung,disisi Rio. Ia melayangkan tatapan dingin pada saudara tirinya, "Gue aja bisa terima Papa lo, kenapa sih lo nggak bisa terima Ma-"

"Gue nggak nyuruh," potong Rio, cepat, "Gue sama sekali nggak pernah nyuruh lo, buat terima Papa. Vin, gue mungkin bisa terima lo sebagai saudara, karena jauh sebelum ini, kita emang sahabatan dan gue udah anggap lo saudara gue. Tapi kalau Tante Gladys, sorry, tapi gue nggak mau dan nggak akan pernah bisa terima dia, gantiin posisi Mama."

"Nggak ada yang menggantikan ataupun di gantikan Yo. Semua punya porsi masing-masing di rumah ini dan di hatinya Papa. Lo harusnya bisa lebih dewasa nanggapin semua ini."

"Ck. Udahlah, mending cepat lo bawa nyokap lo pergi dari sini. Atau gue yang bakal seret dia keluar." ancam Rio.

"Rio, maafkan Mama, kalau menurut kamu, Mama salah. Mama janji nggak akan lancang lagi."

"Udahlah Ma, kebagusan banget minta maaf sama dia, nanti makin kurang ajar." cibir Alvin, yang langsung menghampiri dan menggandeng Mamanya keluar. Meninggalkan Rio dan Shilla dalam rumah kaca itu.

"Yo !!" panggil Shilla pelan, sedikit takut.

"Maaf ya Shil, lo jadi harus liat yang kayak tadi. Gue cuma... Gue-"

"Nggak pa-pa Yo," sahut Shilla cepat. Lengan lembut gadis itu, mengelus pundak Rio, "Kita jadi pergi... atau..."

"Jadi kok. Yuk !!"

***

Kalau bukan karena permintaan Shilla, seorang Mario Haling tentu saja tidak akan pernah mau makan di tempat seperti ini. Apa enaknya, makan di pinggiran jalan, banyak asap, bising, pengamen, debu, haah, sangat jauh untuk bisa dikatakan nyaman-untuk standart seorang Rio-. Rio benar-benar tidak habis fikir kenapa warung tenda ini, masih begitu banyak peminatnya. Sepulang berbelanja segala macam kebutuhan sekolah Shilla, Rio mengajak gadis itu makan dan menawarkan agar Shilla sendiri yang memilih tempat makannya. Dan Rio benar-benar sadar kalau hal itu adalah salah besar, setelah Shilla menjatuhkan pilihan pada warung tenda pinggir jalan ini.

"Shil, yakin mau makan disini ?"

"He-em. Warung ini rame banget, pasti masakannya enak."

Glek. Rio menelan ludah. Ia baru tau, kalau campuran debu ditambah sedikit kontaminasi asap kendaraan akan membuat makanan lebih enak.

"Eh, tadi gimana Yo ? Jadi Veronna itu nama Mama kamu ?"

"Iya. Jadi setelah Mama meninggal, perusahan keluarga, atas permintaan Papa di ganti nama jadi Veronna corporation. Jadi semua usaha yang ada dibawah naungan Veronna corporation, namanya juga Veronna." papar Rio, “termasuk sekolah gue.”

"Oh, gitu. Jadi perusahan Papa kamu itu bergerak dibidang pariwisata ya dari mulai hotel, travel agent, penerbangan gitu-gitu ya? Pantes kamu kaya." tutur Shilla polos, "Terus kenapa sih, orang-orang nyebut rumah kamu itu Rumah Besar ?"

"Oh, itu karena kakek buyutku dulu kan orang Belanda. Kamu tahu sendiri kan, orang-orang Belanda jaman dulu kayak gimana?" Rio mengamati Shilla yang masih asyik mendengarkannya, "Mereka suka punya banyak istri. Nah, kakek buyutku juga gitu. Setiap istri-istrinya ditempatkan di rumah-rumah yang berbeda, tapi salah satu istri kesayangannya bakal diajak tinggal di rumahku itu, kalau ada acara-acara besar, semua istri akan dikumpulkan di rumah itu, kayak semacam rumah utama gitu lah, makanya disebut Rumah Besar, sampai sekarang sebutan itu juga masih berlaku, tapi dikalangan pegawai aja sih. Soalnya kalau aku sama Papa, udah nggak pernah nyebut begitu."

"Oh, kalau gitu pasti Papa kamu itu keturunan dari istri kesayangan kakek buyut kamu ya? Makanya rumah itu diwariskan ke Papa kamu."

"Ya, kurang lebih begitu."

Shilla mengangguk faham,”Sekolah kamu itu katanya punya Papa kamu juga ya?”
Rio mengangguk, “Iya Shil, namanya juga Veronna, sekolah pertama dan satu-satunya yang dibangun sama Eyang Kakungku sebelum beliau meninggal.”

"Permisi Mas, Mbak. Ini pesanannya." ujar seorang pelayan yang kemudian mengatur 2 mangkok soto betawi dan 2 gelas es teh manis di atas meja. Setelah itu, pelayan belia itu pun segera pergi.

"Kalau Papamu sendiri, Shil ?"

"Emm, aku juga nggak tau, Yo. Kata ibu, Ayah udah meninggal sejak aku kecil, tapi nggak tahu kenapa aku belum pernah diajak ibu ke makamnya. Sekedar foto pun, Ibu nggak pernah tunjukkin ke aku."

"Rio," sapa seorang pemuda tinggi denagn kresek hitam dalam jinjingannya, "Kok lo sama dia? Harusnya kan lo sama Ify." ujarnya tiba-tiba.

Rio mengangkat alisnya tinggi-tinggi, heran juga atas pertanyaan yang di lontarkan teman satu sekolahnya itu, "Emang di muka gue ada tulisannya ya, ha-rus-sa-ma-I-fy ? Perasaan nggak ada deh." timpal Rio, santai.

"Ya, nggak ada sih. Eh, tapi tumben lo makan di tempat beginian, kenapa ? Bokap lo bangkrut ya ? Lo jadi miskin ?" ledek Orang tadi seraya melempar senyum meremehkan, "Keluarga busuk, emang pantesnya makan di tempat begini." tambahnya dalam hati.

"Ck." Rio berdecak kesal, "Lo ada masalah apa sih Yel, sama gue ? Mulut lo kayaknya ngajak ribut banget."

"Ah, perasaan biasa aja deh. Elonya aja kali yang berlebihan nanggapinnya." tambahnya. Pemuda bersenyum menawan itupun lantas pergi tanpa permisi, persis jelangkung. Datang tak dijemput, pulang pun tanpa diantar.

"Kurang ajar banget tu anak." Rio merutuki pemuda yang berjalan kaki dengan santai kearah sebuah toko Florish itu, "Shil, pulang aja yuk. Gue udah nggak mood makan nih."

Rio segera berdiri, lalu merogoh sakunya, mengeluarkan dompet untuk membayar semua pesanan.

"Mampus. Gue nggak ada uang cash, Shil. Lo bawa uang nggak ?"

"Nggak. Abis tadi kamu ngajak akunya, buru-buru sih. Bayar pakai kartu yang tadi di pakai di Mall aja. Bisa kan ?"

"Kalau tadi lo pilih tempat makan, resto atau cafè, mungkin bisa. Tapi kalau wareng tenda begini, ya nggak mungkin dong, Shillaa..."

"Lha? Emang apa bedanya? Pasti bisa kok." jawab Shilla sok tau, "Pak !!" Shilla memanggil seorang bapak dengan tubuh gempal.

"Eh Shil, lo mau ngapain ?"

"Sstt," gadis itu meletakkan telunjuk pada bibir tipisnya, "Pak, kami nggak bawa uang cash, bayar pakai kartu ini bisa kan ?" tanya gadis itu pada bapak pemilik warung tenda ini.

"Kartu ?" bapak bertubuh gempal tadi, tampak kesal, "Mbak, Mas, saya belanja bahan-bahan makanan ini tu pakai uang, bukan kartu. Kalau nggak punya uang mendingan nggak usah makan."

"Sabar Pak, Sabar. kami pasti bayar kok." ujar Rio, seraya menyeringai lebar. Dalam hati mencibir gadis sok tau di sampingnya, "Lo main langsung panggil aja sih, Shil." batin pemuda itu.

"Sabar, sabar, kamu kira anak istri saya bisa dikasih makan sabar. Dasar anak muda jaman sekarang. Gayanya aja keren, tapi kere. Sudah sana, kalau kalian tidak bisa bayar, cuci piring-piring kotor itu." Pak gempal tadi menunjuk tumpukan piring dan gelas kotor.

"Waduh, ini Bapak songong amat ngomongnya." bisik Rio pada Shilla.

"Budek ya, udah cepat sana, tunggu apa lagi ? malah bisik-bisik." perintah Bapak gempal berkumis lebat itu.

"Iyeee. Tapi nggak usah pakai melotot juga kali, Pak." celetuk Rio.

"Cepat sana! Begajul." Si Tubuh Gempal tadi pun berlalu setelah sebelumnya melempar lap kotor yang mendarat tepat diwajah Rio.

"Puih, dasar gendut, botak. Lap bekas apa sih tu, bau, gila." Rio mencak-mencak. Shilla hanya tersenyum geli melihatnya, kemudian melangkah menuju tempat tumpukan piring dan gelas kotor yang tadi di tunjukkan bapak pemilik warung.

Setelah beberapa menit, mengamati Shilla membersihkan perabot-perabot itu, Rio tertarik untuk mencoba. Sepertinya gampang, fikir pemuda itu. Ia pun mulai meraih satu piring kotor ang paling dekat dengannya.

"Eh, mau apa Yo ?"

"Bantuin lo, biar cepat selesai."

"Eh, nggak usah Yo, biar aku aja, nanti tangan kamu kotor. Biar sama aku."

"Nggak pa-pa lah, Shil. Sekali-kali, aku pengen coba cuci piring. Lagian kayaknya gam-"

PRAANGG

"O-ow." Rio membulatkan mulutnya.

"Tu kaaan, pecah deh."

"Ada apa ini ?" Si Bapak tadi, muncul dan langsung sangat marah melihat ulah membeli kerenya itu,

"Saya suruh kalian membersihkannya bukan memecahkannya. Kalau cuma mecahin, anak balita juga bisa." salaknya tidak terima, seolah-olah yang hancur adalah harga diri dan kehormatannya, bukan sekedar sebuah piring.

“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini." ujar Rio, seraya menengadahkan wajah kearah langit. Membuat Shilla tidak bisa menahan tawa geli, melihat ekspresi berlebihan itu.

"Malah ketawa-ketiwi. Sudah, cepat kalian keluar sana. Lama-lama disini, bisa-bisa warung saya kalian hancurkan."

"Tapi Pak, diluar kan hujannya deras banget." tutur Shilla dengan tatapan setengah memohon agar diijinkan tinggal, paling tidak sampai derasnya rinai hujan diluar sana berubah jadi rintik gerimis.

"Bukan urusan saya. Sudah sana, sana, sana." Usir Si Bapak Gempal, sungguh-sungguh.

Rio dan Shilla menurut, mereka tidak ingin membuat lebih banyak lagi mata-mata para pengunjung, melirik kearah mereka.

BYUURR

Sebelum Rio dan Shilla benar-benar keluar dari warungnya, Si Bapak tadi membuang air cucian piring dengan semena-mena, dan lagi-lagi tepat mengenai Rio. Seluruh tubuh pemuda itu basah kuyup, padahal air hujan sama sekali belum sempat menyentuhnya.

"Makan aja, udah kayak mau nikahan ya, pakai prosesi siraman segala. Orang Indonesia emang unik." celetuk Rio.

Shilla tersenyum masam, "Maaf ya Yo, coba kalau aku pilih makan di restoran, pasti nggak kayak gini jadinya." sesal Shilla.

"Never mind, pengalaman juga lah buat gue." pemuda jangkung itu, lantas menyuguhkan senyumnya yang biasa. Senyum yang selalu membuat orang-orang disekitarnya ingin ikut tersenyum.

***

"Darimana kamu, Vin?" tanya Gladys, saat mendapati putranya menyeruak masuk menenteng notebooknya.

"Dari rumah Ify mah, ngerjain proposal OSIS."

"Kalau ngerjain tugas di rumah Ify tu ya jangan sampai malam begini dong, Vin. Liat, udah jam 10, nggak enak sama tetangga."

"Tapi kan ada pembantu, supir, sama satpamnya rumahnya Ify juga kali, Ma. Kita nggak cuma berdua-duaan kok."

Alvin merebahkan diri disamping Gladys yang tengah menekuni rajutannya yang sudah setengah jadi. Hampir empat jam, duduk di depan notebooknya, menyusun proposal untuk dua agenda OSIS sekaligus, membuat leher dan punggungnya pegal-pegal. Untung ada Ify, gadis itu memang cukup cerdas dan cekatan dalam mengerjakan semua tugasnya, bahkan terkadang bagian Alvin pun, Ify yang handle.

"Ma," Alvin melirik Mamanya penuh arti, "emmh, Alvin boleh minta tolong nggak ?"

"Boleh, minta tolong apa ?"

"Gini Ma, Alvin kan mau ikut lomba fotografi, emang sih masih rada lama, tapi Alvin maunya belajar dari sekarang. Lombanya tingkat nasional lho, Ma."

"Terus ?"

"Emmh, Alvin pengen... SLR baru, Ma. Tapi Alvin udah nabung kok, cuma belum cukup. Mama tambahin yaaa, please... Paling 30 persenan lagi lah. Mau ya Ma, yayaya.. Mau ya ?" pinta Alvin.

"Kan katanya lombanya masih lama, ya udah nabung aja dulu sampai uangnya cukup. Lagian, kalau beli sekarang, nanti pas lomba udah rusak lagi."

"Ya, nggak akan lah, Ma. Mama pelit nih, nggak asik. Rio aja minta mobil gampang banget, Alvin kan cuma minta SLR." Alvin mulai menggerutu, merasa tidak adil, mengingat 2 minggu yang lalu sebuah avanza biru tua sudah terparkir diselasar Rumah Besah, dan tentu saja atas permintaan Ri

Gladys tersenyum tipis pada putranya, di elus kepala Alving dengan lembut, "Vin, Mama paling nggak suka, kalau kamu mulai membanding-bandingkan segala sesuatunya dengan Rio. Kalian berbeda. Jauh. Kamu ingat kan ?"

"Iya, Ma. Maafin Alvinnya, Alvin cuma-"

"Nanti Mama tambahin ya, uang tabungannya, minggu depan kita beli SLR yang kamu mau." potong Gladys, sebelum Alvin menyelesaikan kalimatnya.

"Nyonya, Mas Alvin, itu... itu... itu Mas Rio..." Bi Arum datang dengar tergopoh-gopoh, dari wajahnya tersirat kepanikan yang luar biasa.

"Rio kenapa, Bi ?"

"Itu Nyonya, Mas Rio dia... di kamarnya, itu Mas Rio..."

***